BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Islam adalah aqidah, ibadah, negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan moral, material, sosial, ekonomi, peradaban dan perundang-undangan. Sesungguhnya
seorang
muslim
dengan
hukum
Islamnya
dituntut
untuk
memperhatikan semua persoalan umat. Barangsiapa yang tidak memperhatikan persoalan kaum Muslimin, dia bukan termasuk golongan mereka.1 Syariat Islam yang datang dari Allah SWT itu ditujukan kepada manusia sebagai khalifah Allah SWT di bumi. Karena sumber syariat adalah Allah SWT, maka realisasi syariat Islam dalam kehidupan manusia telah terencana dengan sempurna sebagai perbuatan yang mampu dilakukan manusia, karena kapasitas kemanusiaannya telah disesuaikan dengan beban dan bobot syariat. Karena itu tidak heran jika Syariah Islam sesuai dengan kodrat tersebut. Dengan demikian penolakan manusia terhadap Syariah Islam merupakan penolakan manusia terhadap kodrat asasi dirinya sebagai manusia. Ajaran Islam yang universal pada hakikatnya terwujud dari hal yang paling mendasar dan pokok dari seluruh konsep Islam, yaitu keyakinan akan keesaan Allah SWT atau Tauhidullah. Konsep Tauhidullah adalah konsep khas Islam dan menjadi
1
Hasan Al-Banna, Risalah pergerakan Ikhwanul Muslimin II, (Surakarta: Era Intermedia, 1999), hal.67
1
Universita Sumatera Utara
2
asas yang paling esensial dalam seluruh sistem Islam yang dapat melahirkan jiwa kaum Muslimin merdeka dari intervensi, penekanan, dan intimidasi manusia lain. Al-Quran memecahkan problem-problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem Al-Quran meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasardasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan sesuai dengan setiap zaman dalam menjawab berbagai masalah yang ada. Al-Quran selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi.2 Sepanjang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup di tengahtengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasiorganisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha,
2
Manna Khalil Al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2006),
hal.14
Universita Sumatera Utara
3
dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan PutusanTarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persia, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.3 Perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip Syariah sudah cukup lama dinantikan umat Islam di Indonesia maupun dari belahan dunia lainnya. Penerapan dan nilai-nilai lain dan prinsip Syariah dalam segala aspek kehidupan dan dalam aktifitas transaksi antar umat didasarkan pada aturan-aturan Syariah yang sudah cukup lama diperjuangkan dan diharap eksis dalam pembangunan ekonomi. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total dalam segala aspek kehidupan, sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat (208) yang terjemahannya berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan (kaffah). Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan, sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.4 Ayat tersebut dengan tegas mengingatkan bahwa selama Islam diterapkan secara parsial, maka umat Islam akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi. Sistem Mudharabah (bagi hasil) telah disyariat melalui Ijma’ (Kesepakatan) para Sahabat Rasulullah SAW dan berdasarkan kesepakatan para Imam yang menyatakan kebolehannya. Hal itu pada Zaman Rasulullah SAW, telah diketahui dan hanya tinggal ditetapkan saja. Kemudian praktek Mudharabah juga dipraktekkan di 3
Amrullah Ahmad, Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1996), hal. 3 4 Al Quran terjemahan Al Karim,( Bandung: PT Al Ma’rif , 2000), hal. 30
Universita Sumatera Utara
4
zaman Pemerintahan Umar Bin Khattab, dimana Umar Bin Khatab, RA melakukan Mudharabah dalam harta anak yatim, dan menyerahkannnya kepada orang yang akan mengelolanya secara Mudharabah. Adapun unsur produksi dalam Mudharabah adalah pekerjaan dan harta, dimana pekerjaan disini mencakup pekerjaan Mudhariib (pelaksana usaha) dan pekerjaan para buruh yang digaji oleh Mudharib untuk bekerja samanya, sedangkan harta mencakup modal uang dan modal barang.5 Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menjadi suatu sarana strategis dan sangat mengembirakan bagi para pengusaha terutama pengusaha Muslim dan meneruskan produksi usahanya. Hal ini disebabkan kemampuan pemodalan Syariah yang berorientasi kepada sistem bagi hasil yang dapat memberikan keuntungan tidak hanya kepada pemilik modal tetapi juga kepada Mudharib sebagai pengelola dalam mengembangkan usaha mereka. 6 Mudharabah atau disebut juga Muqaradah berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah berarti pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang
(mudharib)
untuk
diperdagangkan/diusahakan.
Sedangkan
keuntungan dagang/usaha itu dibagi menurut kesepakatan bersama.7 Menurut istilah
Fiqih
Muamalah 8 , pengertian Mudharabah mempunyai
banyak arti yang berbeda antara satu ulama dengan yang lainnya.
5
Jaiban bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi UMAR bin Al khattab, (Jakarta :Pustaka Al kautsar-Group, tt). Hal.67 6 Kutipan Muhammmad Nur, Tesis Pelaksanaan pemberian pembiayaan Mudharabah Kepadakoperasi, (Medan :Sekolah Pasca sarjana Universitas Sumatra Utara, 2009). Hal.46 7 Hasballah Thaib, Hukum Aqat kontrak Dalam Fiqih Islam dan Praktek Di Bank System Islam (Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca sarjana USU, 2005) Hal.36 8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, cet. 8, 2013).
Universita Sumatera Utara
5
Mudharabah adalah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh kedua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.9 Dasar hukum pelaksanaan Mudharabah adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib, RA, yang artinya: “Ada tiga perkara yang diberkati: Jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum yang kualitasnya bagus dengan kualitasnya yang tidak bagus untuk keluarga, bukan untuk dijual.”10 Menurut Ulama Syafi’iah Rukun Mudharabah ada 6 yaitu: 1. Pemilik barang yang menyerahkan barang –barangnya; 2. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang; 3. Aqad Mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan mengelola barang; 4. Mal, yaitu harta pokok atau modal; 5. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba; 6. Keuntungan. Menurut Sayyid Sabiq, Rukun Mudharabah ialah
ijab dan qabul yang
dikeluarkan dari orang yang memiliki keahlian. Hubungan keterikatan antara kedua pihak tersebut akan melahirkan konsekuensi yang harus dipenuhi oleh masing-masing
9
Lihat : Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hal. 136-138 Ibid, hal 301
10
Universita Sumatera Utara
6
pihak yaitu keseluruhan kewajiban yang harus ditunaikan dan menjadi apa-apa yang menjadi hak masing-masing yang akan diterima.11 Dalam hal ini Al-Quran sebagai pedoman dari ajaran Islam yang ditafsirkan dengan realisasi Muamalah Fiqih menerangkan perjanjian merupakan pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain.12 Didalam Kompilasi Hukum Islam sendiri Syarat dan Rukun Mudharabah telah diatur didalam pasal 519, 520, 521 tentang Rukun dan pasal 522,523, tentang syarat pemberian kuasa, kemudian juga diatur tentang umum pemberian kuasa yaitu, didalam pasal 526-533.13 Sistem ekonomi yang berbasis Syariah di Aceh sudah ada dan hidup dalam kehidupan masyarakat. Aturan-aturan telah dibuat dan hidup dengan sendirinya tanpa dikodifikasikan. Aturan-aturan itu menjadi alat yang mengatur hubungan ekonomi masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah “Mawah”. Istilah Mawah sudah dikenal masyarakat Aceh sejak abad ke 16. Di Aceh Besar umpamanya, Mawah atau bagi hasil dilakukan untuk harta yang menghasilkan, seperti peternakan, perkebunan, persawahan, perladangan, pertambakan. Banyak orang-orang kaya yang me-mawah-kan harta benda mereka kepada orang lain, jika nantinya sudah menghasilkan maka akan dibagi menurut perjanjian lisan mereka.
11
Sayyid sabiq, Fiqih sunnah (Beirut : Dar al-fikr, 1977) hal. 22 Gemala Dewi, dkk, Hukum perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal, 45 13 Mahkamah Agung Republik Indonesia,kompilasi hukum ekonomi syariah(naskah akademik 2007), hal. 15 12
Universita Sumatera Utara
7
Mawah adalah suatu akad kerjasama dalam usaha di Aceh, dimana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dikelola dengan pembagian hasilnya sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian yang ditetapkan bersama. Didalam prakteknya Mawah mempunyai kesamaan arti dengan Mudharabah. Adapun kata Mudharabah ini berasal dari bahasa Arab, yakni Dharb, yang berarti bepergian atau berjalan. Sebagaiman firman Allah Dalam Surat Al Muzammil ayat 20 yang artinya: “Dan yang lainnya, berpergian dimuka bumi mencari karunia Allah” Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang bersal dari al-qardhu, yang berarti al qadh’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebahagian keuntungannya. Ada pula yang menyebutkan Mudharabah dengan Muamalah14 Didalam sistem ekonomi, Mawah tidak mengenal pemilik modal lebih untung atau buruh lebih untung. Mereka sama-sama akan menikmati hasil dan keberuntungan. Demikian juga kalau nantinya usaha mereka mengalami kegagalan, maka mereka sama-sama mengalami kerugian. Sebagai contoh, seorang petani diminta untuk mengurus kebun durian pemilik kebun durian. Petani tersebut sebagai penjaga atau pengurus akan mengurus kebun tersebut dari mulai bunga durian hingga panen. Nah disini kalau nanti bunga durian jadinya banyak maka diantara pemilik kebun dan pengurusnya akan menikmati hasilnya menurut perjanjian lisan diantara mereka yaitu biasanya dibagi dengan rasio 50:50. Setengah hasil panen durian untuk pemilik kebun dan setengahnya lagi untuk pengelola kebun. 14
Hendi Suhendi, Fiqih MuamalahMembahas Ekonomi Islam, hal. 10
Universita Sumatera Utara
8
Jika dalam logika sistem ekonomi kapital penjaga kebun adalah buruh dan mendapatkan keuntungan sedikit dibandingkan pemilik kebun atau pemillik modal. Tapi itu tidak berlaku bagi sitem ekonomi Mawah yang dipraktekkan di Aceh yang menempatkan penjaga mendapatkan porsi yang sama dalam pembagian hasilnya dengan pemilik modal.15 Dari sudut pandangan ekonomi, Praktek Mawah melalui Mudharabah ini merupakan suatu sistem bagi hasil
dalam memperlancar roda perekonomian
masyarakat yang dianggap mampu membantu perekonomian serta mata pencaharian masyarakat. Mawah merupakan bagian dari sistem ekonomi tradisional masyarakat Aceh yang berazaskan Islam. Di satu sisi, pada sistem Mawah melekat tradisi saling membantu dan bekerja sama untuk kesejahteraan bersama. Sebaliknya pada sisi yang lain, Mawah merupakan salah satu bentuk budaya berekonomi (berusaha) di dalam masyarakat Aceh. Dalam prakteknya kemudian, Mawah berkembang secara meluas didalam masyarakat Aceh yang pada awalnya hanya meliputi pada bidang pertanian dan peternakan saja, sekarang meliputi bidang perdagangan dan industri. Selain itu, Mawah telah menjadi media silaturrahmi antara para “petua pangkay” (pemilik modal) dan “ureung useuha” (para pengelola usaha). Dalam bidang pertanian, Mawah telah berkembang sedemikian rupa, sehingga Mawah bukan hanya dipraktekkan dalam bidang usaha sub sistem (sara diri) akan
15
Konvensional Syariah, Mawah Kearifan local Aceh dalam mengatur Perekonomian, (BDSP-DATA-ACEH).
Universita Sumatera Utara
9
tetapi juga dalam bidang usaha komersil. Dengan demikian tradisi Mawah telah berkembang luas didalam masyarakat Aceh. Sebagai contoh, pada abad ke 16 hingga 19 tradisi Mawah mewarnai perkembangan perkebunan komersil di Aceh, khususnya lada.16 Memang perjanjian bagi hasil ini mempunyai masing-masing istilah di berbagai daerah di Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Roestandi Adiwilaga, Di Jawa Barat dinamakan dengan Negah, Maporo atau Maro, Tceplok di Suka Bumi, Memperdui di Minangkabau, Minahasa dengan nama Tojo, di Sulawesi Selatan dengan nama Tesang, Jawa tengah ada Maro, Memaro, Malih atau Mertanduk kake, Mertalu, Mapat, Mara lima, Di Bali Mandu, Pariangan dengan nama Jejuron. Demikian juga di Aceh yang mempunyai istilahnya sendiri yaitu Mawah.17 Propinsi Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan kebudayaannya, hal ini tersirat dalam adagium Adat bak Poe Teu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. HadihMaja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat-istiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan diserahkan sepenuhnya pada raja(Po Teu Meureuhôm). Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan kembali, dan takut sekali melanggar adat. Sikap ini merupakan pengejawantahan 16
Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, (Jeumala Edisi 29 Januari-Maret, 2009). Sofyan Ibrahim, Kutipan Tesis, Perjanjian Bagi Hasil Tani Ditinjau Dari Sudut Sosial Budaya masyarakat, (1990). 17
Universita Sumatera Utara
10
pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja, “Boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” yang berarti buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diikuti.18 Masyarakat Aceh sangat kental dengan nilai-nilai Islam, dengan berlatar belakang sejarah sehingga kini disebut serambi Mekah. Aceh yang merupakan sebagian besar penduduknya beragama Islam banyak menggunakan hukum Islam untuk diadopsi sebagai hukum adatnya. Dasar hukum Syariah Islam di Aceh tertuang dalam Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dan MOU Helsinksi, yang merupakan cita-cita masyarakat Aceh untuk melaksanakan Syariah Islam secara kaffah di Aceh. Hukum adat di Aceh banyak mengatur tentang berbagai macam hal pola hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu yang diatur dalam hukum adat Aceh adalah tentang Muamalah yang telah menjadi hukum positif dengan di undangkannya Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariah Islam. Dalam qanun tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah mempunyai kewenangan dan kekuasaan mengadili salah satunya dalam hal Muamalah. Seperti yang tertera didalam pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariah Islam yaitu “Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang: 1. Ahwal al – Syakhshiyah; 18
Abdurrahman adnan, Selayang pandang adat Aceh (Ranub Lam puan, 2012) Edisi 10.
Universita Sumatera Utara
11
2. Mu'amalah; dan 3. Jinayah Persengketaan merupakan suatu hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan masyarakat, tetapi disisi lain menciptakan ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat yang komunal dan didasari pada prinsip-prinsip kebersamaan, keharmonisan, maka keseimbangan hidup merupakan tatanan ideal yang selalu ingin dipertahankan. Gangguan terhadap hal tersebut, seperti terjadinya persengketaan harus segera diakhiri. Dalam berkehidupan bernegara
sekarang ini tersedia beberapa alternatif
penyelesain sengketa, bisa melalui lembaga peradilan formal (litigasi)
dan
memungkinkan diselesaikan diluar peradilan (non-litigasi). Penyelesaian
sengketa
diluar
pengadilan
tersebut
ada
tiga
cara
penyelesaiannya yang masing-masing diatur dalam: 1. Perda Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggraan Kehidupan Adat; 2. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat istiadat. 3. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Lembaga Adat.19 Aceh adalah daerah yang terletak di ujung paling Barat Pulau Sumatra. Meskipun jauh dari negara asal agama Islam, Arab, namun penduduk yang menganut agama Islam sangatlah besar yaitu hampir 100 persen,
tidak heran daerah ini
19
Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Adat dan Qanun, Jurnal Ilmu Hukum, (Nomor 50, 2010).hal.32
Universita Sumatera Utara
12
meminta dan menuntut kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan Syari’ah Islam secara kaffah dan menyeluruh disegala pundi-pundi kehidupan sosial masyarakat, yang akhir pemerintah Indonesia memenuhi tuntutan masyarkat Aceh tersebut melalui MOU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Meskipun MOU Helsinksi baru
ditandatangani namun masyarakat Aceh telah lama hidup dalam
sistem Syari’ah, yaitu sejak Pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada saat itu masyarakat Aceh telah mengenal dan hidup dalam bingkai Syari’ah, yang meliputi segala lini kehidupan individu dan bermasyarakat. Misalnya dalam bidang Muamalah. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dalam Tesis ini dibatasi dalam Mawah Tanah seperti Sawah dan Kebun, tidak termasuk Binatang dan perlu adanya suatu penelitian tentang Mawah sebagai salah satu bentuk Mudharabah yang dipraktekkan oleh masyarakat Aceh, yang dituangkan dalam judul tesis: Praktek Mawah Melalui Mudharabah Dalam Masyarakat Aceh. (Study Penelitian di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pelaksanaan Praktek Mudaharabah / Mawah di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. 2. Bagaimana Hukum Mawah Dalam Islam.
Universita Sumatera Utara
13
3. Bagaimana Penyelesaian Masalah Mawah bila Terjadi Sengketa di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Pelaksanaan PraktekMawahdi Aceh. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan dan kaitan serta dasar hukum Pelaksanaan Mudharabah dengan Mawah dengan Ekonomi Islam. 3. Untuk
mengetahui
dan
menjelaskan
cara
penyelesaian
Masalah
Mudharabah/Mawah bila terjadi Sengketa di Aceh. D. Manfaat Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu : 1.
Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi dan untuk pengembangan wawasan dan kajian tentang
Pelaksanaan Mawah untuk dapat menjadi bahan
perbandingan bagi penelitian lanjutan. b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Universita Sumatera Utara
14
2.
Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan bagi para
praktisi maupun memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat mengenai pemahaman dan penerapan Praktek Mudharabah melalui Mawah dan hubungannya dengan Syariah Islam pada masyarakat Aceh khususnya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul tentang “Praktek Mudharabah Melalui Mawah Dalam Masyarakat Aceh”, dan tidak ada satu pun penelitian yang membahas mengenai Pelaksanaan Mawah dalam masyarakat Aceh, akan tetapi ada beberapa penelitian yang membahas mengenai antara lain diteliti oleh: 1. Netti Sumiati, NIM: 097011126 Mahsiswa Program Kenotariatan Universitas Sumatra Utara, dengan Judul Anilisi Yuridis Terhadap Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Perbankkan Syariah (Mudharbah, Murabaah, Musyakarah). 2. Muhammad Nur, NIM: 067011057, Mahasiswa Universitas Sumatra Utara, dengan judul, Pelaksanaan Pemberiaan Pembiayaan Mudhrabah Kepada Koperasi, Study pada Bank Muamalad Cabang Medan , Tahun 2009. 3. Heriani NIM
077011025, Mahasiswa Kenotariatan Universitas Sumatra
Utara, dengan Judul : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil
Universita Sumatera Utara
15
melalui Baitul Mall Washil, (study kasus pada Baiulmallwashil Medan) tahun 2009 Oleh karena itu, maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi baik peneliti atau akademis dan belum pernah diteliti. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang
telah diuji kebenarannya, berpedoman pada teori maka akan dapat menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi,suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.20 Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik.21 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.22 20 21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Hal 6 Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2006 ),Hal. 259
Universita Sumatera Utara
16
Menurut J.J.H Bruggink, Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih lanjut sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum, dengan itu harus cukup mengurai tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum.23 Sebagai tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:24 a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti. d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan penelitian. 22 J.J.J.M.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asasasas,(Jakarta:FE UI, 1996), hal.203 23 J.J.H Bruggink, Refleksi tentang hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), Hal 2 24 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 254
Universita Sumatera Utara
17
Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
pegangan
teoritis,
yang
mungkin
disetujui
ataupun
tidak
disetujuinya. 25 Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.26 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun teori yang dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian adalah Teori Ta’uwun (membantu), Teori ‘Urf Kata,Urf, dan teori keadilan, serta teori Mashlahat.Teori Ta’uwun yaitu yang juga dikenal dengan Teori jaringan sosial melalui pembahagian peranan berasaskan keperluan dan kebolehan anggota masyarakat yang istilahkan dengan Al -Ta’awun, yang dikemukan oleh Ibnu Khaldun. Melalui al Ta’awun beliau menjelaskan bagaimana manusia hidup dalam masyarakat yang berubah dari simple kepada kompleks dimana pergantungan antara satu dengan yang lain menjadi semakin canggih. Apa yang diuraikan oleh Ibnu Khaldun ini dikenali dalam sosilogi modern sebagai division of labour.27
25
M.Solly Lubis, Filsafat Imu Dan Penelitian, (Medan: PT.Sofmedia, 2012), hal. 129 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal.19 27 Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu khaldun (trj), Kuala lumpur;dewan Bahasa dan Pustaka 2001) Hal.76 26
Universita Sumatera Utara
18
Ta,awun mensyaratkan adanya saling pengertian dan saling menjaga antara satu pihak dengan
pihak lainnya dalam rangka memperoleh mashlahah dan
keuntungan secara bersama-sama. Hal ini berarti, bahwa setiap orang tidak bisa mengejar kepentingan individu untuk meraih kemanfatan individu tanpa melihat kondisi saudara–saudara dan lingkungan dimana dia berada. Seorang Muslim tidak akan merasa puas dengan kesuksesan pribadinya, sementara saudara-saudaranya berada dalam keterpurukan. Dalam tatanan tehnis hal ini dilakukan dengan cara saling memberikan perhatian dan bahkan pertolongan bilamana diperlukan. Lebih jauh lagi, dalam bahasa ekonomi yang lebih teknis hal ini ditunjukkan dengan terkaitnya (unseparability) fungsi mashlahah dari suatu kelompok orang dengan kelompok orang lainnya.”28Dalam hal ini antara pemilik usaha dan pekerja. Teori yang ke dua yang digunakan adalah Teori ‘Urf Kata ,Urf, yang sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti adat, diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu ‘Urf berarti sesuatu yang baik.29 Secara Terminologi, kata ‘Urf ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas umat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan.‘Urf ini merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syarak.30 Dengan demikian, adat dalam pengertian umum adalah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan.Adat kebiasaan memainkan peran 28 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam(P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), Hal. 7 29 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), Hal. 117 30 Ibid.
Universita Sumatera Utara
19
penting dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya.Peranannya di dalam hal tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan semangat kebangsaan. 31 Kebiasaan semakin tambah kuat kedudukannya dengan perantaraan tradisionil 32 yang membawanya hingga menjadi kepastian di dalam kehidupan bangsa. Berdasarkan pengertian di atas, Mustafa Ahmad al-Zarqa, Ahli Fiqih di Universitas Amman Jordania, mengatakan bahwa ‘Urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘Urf.Suatu uruf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘Urf muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan suami, atau penentuan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.33 Adat dan kebiasaan dapat dikatakan memiliki arti yang sama, menurut definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Naja di dalam syarh al-Mughni adalah suatu pengertian
31
Kitab Montesqoieu De L Esprit des lois, v. 1, kitab 14; Kitab Curs usder Instionen, 1893, Leipzig (dalam bagian muqaddimah) karangan puchta, dan Kitab Saving System des Heutegen Romischen Rechts. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT Ma’arif, 1981), Hal. 191 32 Lihat: kitab Les Lois de L’imitation, karangan Tarde. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandung: PT Ma’arif, 1981), Hal. 191 33 M. Al-Zarqa, Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Damaskus Univ., 1997), hlm. 35
Universita Sumatera Utara
20
dari yang ada dalam jiwa orang-orang berupa perkara yang berulang-ulang kali terjadi yang dapat diterima oleh tabiat yang waras.34 Teori ‘Urf yang berkaitan dengan Mawah adalah ‘Urf Amali, yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa, atau mu’amalah keperdataan.35 Yang dimaksud dengan perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus, atau meminum minuman tertentu, atau kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara tertentu.36 Teori yang ke tiga digunakan adalah Teori keadilan, Kata ‘adl adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘adala-ya’dilu-‘adlan-wa’udulan-wa’adalatan.Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf’- ain-dal, dan lam yang makna pokoknya adalah al-istiwa = keadaan lurus dan lawan ‘ al-‘wijaj=keadaan menyimpang.37Jadi rangkaian hurufhuruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni lurus atausama dan bengkok atau berbeda dari makna pertama, kata ‘adl berarti “menetapkan hukum dengan benar”. 38 Jadi seorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda, Persamaan itulah
yang
merupakan makna kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya tidak berpihak kepada salah
34
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha’ir, (Beirut: Daar al-Turats al-Islami, 2001), Hal 37 35 Op.cit, Hal 122. 36 Ibid. 37 Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam Dalam fiqih dan ushul fiqih,(cita pusaka media perintis, 2013), Hal. 48 38 Ali al-Jurjani, al Ta’riifaat, (Beirut: Daar al kitab al-arabi, 1985, Hal 173.
Universita Sumatera Utara
21
seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang adil berpihak pada yang benar, karena baik benar maupun salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang. Secara Etimologi, Al-adlu berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (Al musawah). Secara terminology adil berarti “mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah, dan menjadi tidak berbeda antara satu dengan yang satu dengan yang lain.39Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Keadilan lebih dititik beratkan kepada meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ibnu Qudamah, ahli fiqih bermazhab Hambali, mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya. Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait juga dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negative lainnya. Kata ‘adl didalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl. 39
Raghib Al-Isfahani, mufradaat alfadhil Qur’an, (Beirut: Daar al- Ma’rifah 2005), hal 168
Universita Sumatera Utara
22
Menurut penelitian Quraish Syihab, paling tidak ada empat makna keadilan. : 1. ‘Adl dalam arti sama, pengertian ini sangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya didalam surat An nisa ‘(4) :58 yang artinya, “Apabila (kamu) menetapkan hukum diantara manusia hendaklah menetapkan dengan adil”. 2. ‘Adl dalam arti seimbang, pengertian ini ditemukan dalam surah Al-Maidah (5) : 95 dan Surah. Al-Infithar (82): 7. Pada ayat yang disebut terakhir misalnya dinyatakan, ”Allah SWT yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu (susunan tubuh)-mu seimbang”. 3. ‘Adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. (lihat Al-An’am (6): 152) yang artinya, “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). 4. ‘Adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah SWT.(lihatQ.S. Ali Imran (3) 18. Keadilan Allah SWT mengandung konsekwensi bahwa rahmat Allah SWT, tidak tertahan
untuk diperoleh sejauh makluk itu dapat meraihnya. Allah SWT
memiliki hak atas semua yang ada.Sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu disisinya. Didalam pengertian inilah harus difahami kandungan QS. Ali Imran (3):
Universita Sumatera Utara
23
18 yang menunjukkan Allah SWT sebagai Qaiman bil-qisthi yang menegakkan keadilan.40 Sebagai pendukung teori diatas, digunakan juga teori Maslahat muktabarah karena praktek Mawah sejalan dengan nash hadis. Yang dimaksud dengan muktabarah ialah kemaslahatan yang terdapat dalam nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, yang termasuk dalam kemaslahatan ini adalah maslahat dharuriyat yang tersebut diatas. Sebagai contoh diperintahkannya untuk berjihad mempertahankan agama, disyariatkannya qishas untuk memelihara jiwa. Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada maslahat mukhtabarah wajib tegak dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatannya ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan. 41 2.
Konsepsi Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti
untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. 42 Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping
40
Op.cit, hal . 96,97,98. H. M. Hasballah Thaib, Tajid, Reaktualitas dan elastisitas Hukum Islam. Konsenntrasi Hukum Islam Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 2002 41
42
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 3
Universita Sumatera Utara
24
yang lainnya, seperti asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep
diartikan
sebagai
kata
yang
menyatakan
abstraksi
yang
digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus.43 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi dengan realitas.44 “Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri didalam menangani proses penelitian dimaksud.”45 Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: 1. Kajian Yuridis adalah penyelidikan, penjabaran sekaligus pemecahan secara hukum terhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang timbul untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
43
Ibid, hlm. 4 Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 34 45 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 107-108 44
Universita Sumatera Utara
25
2. Mudharabah adalah Akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. 3. Mawah adalah konsep bagi hasil usaha berasaskan tradisi (adat-kebiasaan) di Aceh berdasarkan syari’ah. 4. Adat adalah merupakan pencerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.46 5. Masyarakat Aceh adalah individu-individu sebagai suatu kesatuan yang tinggal, menetap dan hidup di daerah Aceh.
G. Metode Penelitian 1.
Spesifikasi Penelitian Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam
pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
46
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji Masagung 1988), Hal. 13
Universita Sumatera Utara
26
sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.47 Dalam setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.48 Kata metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 49 Berdasarkan dengan permasalahan yang dikemukan maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menjumpai langsung respondennya dan informan dengan melakukan wawancara. Yuridisempiris ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu tidak semata-mata sebagai satu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dan membentuk pola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan seperti aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif
47
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2001), Hal 42. 48 Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Hal. 328 49 Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 16
Universita Sumatera Utara
27
menekankan pada penemuan fakta-fakta yang digambarkan sebagaimana keadaan yang sebenarnya, dan selanjutnya data maupun fakta diolah dan ditafsirkan. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Penelitian ini bersifat deskriptif karena dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian dilakukan suatu analisis terhadap data yang diperoleh dan pada akhirnya didapat pemecahan masalah. 2.
Sumber Data Dalam penelitian ini, sumber data yang dipergunakan adalah data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier. Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber, baik sumber data tertulis seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian. a.
Data Sekunder Data sekunder meliputi beberapa hal yaitu: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif.Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
Universita Sumatera Utara
28
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian.50Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah.Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik diperpustakaan fakultas, universitas, maupun perpustakaan umum lainya. Beberapa bahan hukum primer yang bisa digunakan dalam penelitian adalah: a) Undang-undang yang berkaitan tentang Pemerintahan Aceh, yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006. b) Qanun-Qanun, yang terkait dengan penelitian. c) Undang-undang.
2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks, konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut kajian yuridis tentang Mudharabah dan hubungannya dengan Mawah dalam masyarakat Aceh. 3) Bahan Hukum Tersier. 50
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hlm. 53
Universita Sumatera Utara
29
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lainlain.Bahan hukum tersier biasanya memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada pada ruangan khusus. b. Data Lapangan Penelitian lapangan (Field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mewawancarai beberapa orang responden dan informan yaitu pemilik modal dan pelaku usaha dan tokoh tokoh adat. 3.
Teknik Pengumpulan Data Adapun untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan pengumpulan data atau dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, artikel, yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa narasumber yaitu terdiri dari pelaku usaha 2 (dua) orang, pemilik modal 2 (dua)
Universita Sumatera Utara
30
orang, Imam Meunasah 2 (dua) orang. Imam Mukim 2 (dua) orang serta Ketua MAA (majelis adat aceh) 1 orang. 4.
Analisis Data Tabel 1.1 No
Keterangan
Jumlah
1
Pelaku Usaha
2 Orang
2
Pemilik Modal
2 Orang
3
Imam Menasah
2 Orang
4
Imam Mukim
1 Orang
5
Ketua MAA
1 Orang
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan penelahaan dan penguraian data, sehingga data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yaitu dengan penguraian deskriptis analitis dan preskriptif, 51 yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yakni
51
Soekanto, Soerjono, Pengertian Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,Jakarta, 1986,
Hal.1
Universita Sumatera Utara
31
cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum, untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dan disajikan dalam bentuk preskriptif. Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, informasi media cetak, dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.
Universita Sumatera Utara