BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan tanah merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan tersebut pada umumnya disebabkan karena tidak ada atau kurangnya bukti kepemilikan. Pada masyarakat pedesaan misalnya, secara turun temurun masyarakat tinggal di tanah yang berasal dari nenek moyang dengan bukti kepemilikan yang sangat minim bahkan ada yang tidak ada buktinya. Padahal tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang diakui oleh hukum pertanahan Indonesia adalah sertifikat. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria bahwa akhir kegiatan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah pemberian surat-surat bukti tanda hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, yang kemudian ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah bahwa pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah pertama kali menghasilkan surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,
1
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah.3 Tanah yang tidak memiliki atau belum memiliki sertifikat umumnya terdapat dalam kutipan Letter C. Letter C diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, Letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa/Kelurahan.4 Letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak. 5 Namun masyarakat masih banyak yang belum memahami apa Letter C itu, meskipun sering menyebut istilah “Tanah Letter C”. Lebih-lebih Letter C jarang dibahas atau dikemukakan dalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan. Padahal ini ada dalam kehidupan masyarakat meskipun sebutannya berbeda-beda. Hak milik atas tanah dapat “beralih” dan “dialihkan” kepada pihak lain.6 Salah satu contoh perbuatan hukum yang berbentuk “dialihkan” adalah jual-beli, artinya hak milik atas tanah dapat diperjualbelikan oleh pemiliknya kepada pihak lain.7
3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696, Pasal 32. 4 Edy Suparyono, “Kutipan Buku Letter C sebagai Alat Bukti untuk memperoleh hak atas tanah di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hlm. 11. 5 Ibid. 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 164 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043, Pasal 20 ayat 2. 7 Urip Santoso, “Jual Beli Tanah Hak Milik yang bertanda bukti petuk pajak bumi (Kutipan Letter C)”, Jurnal Perspektif, Volume XVII, No 2 Tahun 2012, Mei, hlm. 63.
2
Jual beli tanah yang berlaku sekarang ini adalah berdasarkan konsepsi jual beli tanah menurut hukum adat. 8 Pada saat melakukan jual-beli tanah, masyarakat merasa sudah melaksanakan peralihan tanah jika tanah yang dibeli sudah dibayar dengan harga sesuai dengan kesepakatan, kemudian mereka tinggal mengurus administrasi di kantor Kelurahan. Penulis sendiri pernah mengalami pada saat melakukan jual beli tanah di Kabupaten Magelang, ketika sudah membayar uang muka. Hal tersebut sudah berarti telah terlaksana adanya jual beli. Ini sesuai dengan yang disampaikan Effendi Perangin terkait sifat-sifat jual beli tanah menurut hukum adat yaitu :9 1. Kontan atau tunai. Harga tanah yang dibayar itu bisa seluruhnya tetapi bisa juga sebagaian. Tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Jual beli menurut hukum adat telah selesai, sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai suatu utang pembeli kepada bekas pemilik tanah. 2. Terang Jual beli tanah dilakukan dihadapan kepala desa atau kepala adat. Hal ini dilakukan agar pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik tanah yang baru dan mendapatkan perlindungan hukum jika di kemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tanah tersebut tidak sah. Masyarakat seringkali hanya mengurus sampai dengan
perangkat
desa dan menyerahkan keseluruhannya di sana. Masalah sering timbul karena perkembangan zaman yang membuat peranan kepala adat serta kepala desa 8
I.G.N. Sugangga, 1994, Pengantar Hukum Adat, Universitas Diponegoro, Semarang
hlm.146. 9
Efendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm.16.
3
berubah. Masyarakat sering mengeluhkan ketidakjelasan prosedur di kantor kepala desa. Seringkali perubahan nama dalam bukti pembayaran pajak disebut sebagai balik nama kepemilikan hak atas tanah, serta memposisikan surat keterangan pajak sebagai alat bukti kepemilikan. Padahal jelas Mahkamah Agung dalam perkara PT. Astra International Inc vs PT. Green Garden es, No. 3176 K/Pdt/1988 menyatakan Sertifikat Hak Tanah merupakan bukti otentik dan mutlak tentang pemilikannya, sedangkan girik hanya sebagai tanda untuk membayar pajak.10 Selain itu dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diatur sebagai berikut: 1.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya.
2.
Dalam hal atas suatu bidang tanah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak lagi dapat menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu (5) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang
10
Erman Slaats, dkk, Masalah Tanah di Indonesia dari Masa Ke Masa, 2007, Lembaga Studi Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hlm. 115.
4
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Kemudian dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa: 1.
Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridisnya yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tecantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.
2.
Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi yang murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 Undang-Undang Pokok Agraria
5
bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam peraturan pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi menggunakan lembaga acquisitive verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu 6
lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34, dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah merupakan ketentuan baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud kongkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah. Sertifikat tanah hanya dapat diberikan jika telah dilakukan pendaftaran tanah sesuai dengan ketentuan dalam UUPA serta Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, dan terbuka. 11 Didalam kenyataan, pemberian sertifikat tanah atas permintaan individu tidak sederhana, memakan waktu
11
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696, Pasal 2.
7
yang lama, sekitar setahun dan biaya yang relatif tidak terjangkau oleh rakyat biasa.12 Selain itu masih terdapat tanah dengan Girik, atau Letter C, Letter D atau Petuk, dan kwitansi serta alat bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lainnya, yang tidak dianggap sebagai bukti hak atas tanah, melainkan hanya dianggap sebagai hak menguasai saja. Oleh karena itu, kedudukannya sebagai bukti hak atas tanah masih sangat lemah dibandingkan sertifikat”.13 Meskipun dalam posisi tanah dengan Girik atau Letter C, Letter D atau Petuk, dan kwitansi serta alat bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), masyarakat banyak yang ingin melakukan peralihan hak atas tanah tersebut dan banyak yang tidak tahu bagaimana pengurusannya. Untuk mencari perlindungan hukum, masyarakat biasanya datang ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Meskipun mereka belum mengenal apa itu peran PPAT. Padahal keberadaannya ditegaskan dalam berbagai peraturan Perundang-undangan. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Pasal 1 angka 1 tentang Peraturan Jabatan PPAT disebutkan bahwa: “PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu dan mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satu rumah susun.” 12 13
Erman Slaats dkk, Op. Cit., hlm 115. Ali Sofwan Husein, 1997, Konflik Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 81.
8
Kemudian di sebutkan pula dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah disebutkan bahwa : “PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 yang merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 dan tindak lanjut dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dijelaskan tugas pokok dan kewenangan PPAT yakni melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tersebut. Adapun akta yang dibuat oleh PPAT terdapat 8 (delapan) akta PPAT yang merupakan alat bukti dan dasar perubahan data pendaftaran tanah, sebagaimana terdapat dalam Pasal 95 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006) yakni:
9
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Akta Jual Beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan Kedalam Perusahaan ( Inbreng), Akta Pembagian Bersama, Akta pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan Akta Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Masyarakat datang ke PPAT untuk meminta bantuan bagaimanakah
pengurusan tanah serta dibuatkan akta sesuai kewenangannya didasarkan Undang-Undang serta sesuai kewenangannya agar tidak merugikan berbagai pihak, terkait dengan tanah Letter C. Mereka percaya atas jabatan PPAT sebagai antisipasi masalah di kemudian hari. Posisi seperti ini sering kurang dipahami oleh PPAT sehingga kurang memperhatikan kehati-hatian yang hasilnya adalah terdapat masalah dengan objek akta, subjek akta, serta mengancam reputasi dari PPAT itu sendiri. Sebagai
contoh
perlunya
prinsip
kehati-hatian
PPAT
dalam
pengurusan peralihan tanah Letter C adalah permasalahan yang terjadi di Desa Donorejo, yang terkait dengan jual beli tanah Letter C antara Bapak Haryoto 14 (pembeli) dengan Bapak Suwarno 15 (penjual). Pembeli yang kurang mengetahui bagaimanakah jual-beli tanah datang ke PPAT untuk dibuatkan Akta Jual Beli terkait dengan perjanjian jual beli dengan penjual. PPAT melakukan pelayanan masyarakat, menyarankan pembeli untuk 14 terdapat dalam Akta Jual Beli No.78/2015, yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Muhammad Nizam Fanani, SH, Mkn sebagai pihak kedua. 15 terdapat dalam Akta Jual Beli No.78/2015, yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah Muhammad Nizam Fanani, SH, Mkn sebagai pihak pertama.
10
melengkapi dokumen-dokumen untuk mendukung kehendak pembeli tersebut serta berkas terkait identitas para pihak serta menghadirkan penjual dihadapannya. Sebagai seorang yang awam dengan pendaftaran tanah, pembeli meminta bantuan PPAT dalam hal pengurusan peralihan hak atas tanah sejak persiapan pembuatan akta, pembuatan akta serta pendaftaran peralihan hak karena pemindahan hak agar diterbitkan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun kehendak pembeli itu terhambat, padahal sejak awal sudah berusaha dengan itikad baik. Permasalahan diakibatkan oleh itikad penjual, itikad perangkat desa serta kurang hati-hatinya PPAT sehingga niat pembeli untuk membuat sertifikat itu terhambat, padahal transaksi sudah dilakukan dan pembeli sudah melakukan pembayaran atas administrasi dari pendaftaran tanah. Perangkat desa tiba-tiba mengeluarkan surat pernyataan dari kelurahan yang mengakibatkan pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan, padahal pembeli dengan itikad baik sudah empat kali mendatangi kelurahan sebelum transaksi dilaksanakan. Hal ini membuat pembeli bingung dan merasa dirugikan oleh berbagai pihak padahal secara tidak langsung sejak awal pembeli tersebut meminta perlindungan hukum agar tidak memperoleh masalah pertanahan kepada PPAT. Hal ini mungkin yang kadang kurang disadari oleh PPAT sehingga mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan jabatannya.
11
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut dalam bentuk tesis yang berjudul :”Prinsip Kehatihatian Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT dalam Pengurusan Peralihan Tanah Letter C”. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut; 1.
Bagaimanakah PPAT melakukan Pengurusan Peralihan Tanah Letter C, dalam hal diminta bantuan oleh masyarakat (Studi Kasus Pengurusan Peralihan Tanah Letter C 2412 di Donorojo, Mertoyudan, Magelang)?
2.
Mengapa prinsip kehati-hatian sangat diperlukan oleh PPAT dalam pengurusan peralihan tanah Letter C?
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Prinsip Kehati-hatian PPAT dalam pengurusan peralihan tanah Letter C belum banyak diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Beberapa peneliti melakukan penelitian tentang prinsip kehatihatian PPAT yaitu: 1.
Slamet Sumardi,16 dengan pembimbing Prof. Dr Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M. yang menulis “Prinsip kehati-hatian Notaris/PPAT dalam praktik pembuatan Covernote pada saat realisasi kredit” sebagai Tesis
Slamet Sumardi, “Prinsip Kehati-hatian Notaris/PPAT dalam Praktik Pembuatan Covernote pada saat Realisasi Kredit”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011. 16
12
S2 Magister Kenotariatan UGM pada tahun 2011 yang menjelaskan bahwa Prinsip Kehati-hatin Notaris/PPAT dalam Praktik Penerbitan Covernote ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana diperlukan kehati-hatian Notaris/PPAT dalam menerbitkan Covernote dan apa yang menjadi hambatan Notaris/PPAT dalam berhati-hati untuk menerbitkan
Covernote.
Bank/Kreditur
menjadikan
Covernote
Notaris/PPAT sebagai syarat penutup dalam realisasi kredit dan menjadi pegangan bahwa kredit yang diberikan telah terjamin meskipun secara yuridis formal pembebanan jaminan belum dilaksanakan atau masih dalam proses. Hambatan-hambatan yang terjadi berupa kurang cermat, kurang teliti, dan tidak profesionalnya Notaris/PPAT dalam menangani proses kredit. Hal ini karena ada perasaan tertekan yang kuat dari bank/kreditur untuk segera menerbitkan Covernote. Selain itu adanya sikap terburu-buru dalam memberikan pelayanan kepada bank/kreditur. Hal lainnya juga disebabkan perasaan takut kehilangan klien
sehingga
tekanan
perasaan
mempengaruhi
Notaris/PPAT
menggunakan logika kemandirian bahwa keberadaannya dibutuhkan oleh bank/kreditur, akibat tidak dilaksanakannya kehati-hatian dalam menerbitkan Covernote dapat merugikan bank/kreditur yang membawa konsekuensi pada pertanggung jawaban secara hukum baik pidana, perdata ataupun sanksi organisasi;
13
2.
Micko Kusuma Yudhistira17 yang menulis “Sikap Kehati-hatian PPAT dalam membuat akta jual beli tanah” yang dibimbing oleh Prof. Dr. Sudjito, S.H, M.Si. sebagai Tesis S2 Magister Kenotariat UGM pada tahun 2010 yang menjelaskan bahwa sikap kehati-hatian dan ketelitian yang baik agar hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat dapat terjamin dalam pembuatan akta jula beli yang dilakukan di kota Yogyakarta, Sleman dan Klaten. Hasilnya adalah PPAT wajib menerapkan sikap hati-hati di dalam proses pembuatan akta jual beli tanah dengan cara menerapkan kebenaran formal dan kebenaran material dari akta yang dibuat oleh PPAT karena adanya keterkaitan antara sikap hati-hati ini dengan jaminan kepastian hukum. PPAT yang membuat akta jual beli tanah tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian maka akta yang dibuatnya tersebut tidak memiliki jaminan kepastian hukum selain itu juga memiliki risiko untuk diberhentikan dari jabatannya sebagai PPAT dan digugat oleh pihak yang dirugikan atas perbuatannya tersebut. Disamping penelitian diatas terdapat peneliti yang melakukan
penelitian terkait dengan tanah Letter C dengan sudut pandang yang berbeda, seperti:
Micko Kusuma Yudhistira, “Sikap Kehati-hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Membuat Akta Jual Beli Tanah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010. 17
14
1.
Muaz Efendi,18pada tahun 2009, Universitas Sumatera Utara melakukan penelitian terkait dengan “Peralihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertifikat di Kecamatan Medan Johor dan Pendaftaran Haknya di Kantor Pertanahan Medan” yang membahas tentang jual/beli hak atas tanah yang belum bersertifikat yang dibuat oleh camat dan pelepasan hak dengan ganti rugi yang dibuat oleh notaris serta pendaftaran haknya di kantor pertanahan Medan;
2.
Reza Febriantina
19
, menulis tentang “Kewenangan PPAT dalam
Pembuatan Akta Otentik” sebagai Tesis Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada tahun 2005 yang mendefinisikan bahwa PPAT dijabat oleh camat yang karena jabatannya menjalankan sementara jabatan PPAT yang sebagian besar tidak
bergelar
sarjana
hukum,
sehingga
untuk
memudahkan
pelaksanaann jabatannya itu dibuatlah formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir (blanko akta); 3.
Anna Ismudiyatun20, meneliti tentang “Tugas dan Fungsi PPAT dalam Pendaftaran Tanah” ditemukan beberapa tugas dan fungsi PPAT yaitu:
Muaz Efendi,“Peralihan Hak Atas Tanah yang Belum Bersertifikat di Kecamatan Medan Johor dan Pendaftaran Haknya di Kantor Pertanahan Medan”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009. 19 Reza Febriantina, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pembuatan Akta Otentik”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2005. 20 Anna Ismudiyatun,“Tugas dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pendaftaran Tanah”, Tesis, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2006. 18
15
a.
Membantu pihak-pihak dalam perbuatan hukum mengajukan permohonan ijin pemindahan dan permohonan penegasan konversi serta pendaftaran hak atas tanah;
b.
Membuat akta mengenai perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah dan hak tanggungan. Wewenang PPAT sebagai berikut:
a.
Membuat akta mengenai semua perbuatan hukum, mengenai jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan, pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan, pemberian hak
tanggungan,
dan
pemberian
kuasa
pembebanan
hak
tanggungan; b.
Membuat akta mengenai perbuatan hukum mengenai hak atas tanah termasuk hak guna usaha dan tanah bekas milik adat.
4.
Sri Wahyuni21, meneliti mengenai “Peranan PPAT dalam Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Milik Adat”, didalam tulisannnya dijelaskan mengenai peranan PPAT dalam membuat dan menerbitkan sertifikat hak atas tanah harus sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sebelum PPAT membuat akta tersebut harus memperhatikan terlebih dahulu mengenai status hukum hak atas tanah yang bersangkutan. Untuk hak atas tanah yang telah terdaftar akan tetapi belum memiliki sertifikat atas tanah, maka sebagai penggantian dari sertifikat hak atas tanah yang belum diterbitkan tersebut adalah Surat Keterangan Pendaftaran Hak atas Tanah yang diterbitkan oleh
Sri Wahyuni, “Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pelaksanaan Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Milik Adat”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2005. 21
16
kantor pertanahan kabupaten/kotamadya setempat, yang menerangkan bahwa hak atas tanah tersebut belum memiliki “Sertifikat Hak Atas Tanah”. Disini peranan PPAT meluas dari yang ditentukan oleh Peraturan
Perundang-undangan
dimana
dalam
praktek
yang
mendaftarkan pada kantor pertanahan adalah PPAT; 5.
Aditya Christy Hanggara22, meneliti mengenai “Pelaksanaan Konversi Hak Atas Tanah Adat (Letter C) menjadi hak milik di Kabupaten Magelang” adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Kendala konversi adalah persyaratan yang tidak lengkap dan domisili jauh;
6.
Purnandari Damayanti 23 , meneliti mengenai “Tinjauan Yuridis Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah (Studi di Kantor PPAT Kabupaten Gunungkidul)”, yang menyatakan bahwa Peran PPAT dalam Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah di Kabupaten Gunungkidul berdasarkan kewenangan
Aditya Christy Hanggara, “Pelaksanaan Konversi Hak ats Tanah Adat (Letter C) menjadi Hak milik di Kabupaten Magelang”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2013. 23 Purnandari Damayanti, “Tinjauan Yuridis Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah (Studi di Kantor PPAT Kabupaten Gunungkidul), Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015. 22
17
yang diberikan oleh peraturan tersebut berupa pelayanan terhadap masyarakat di dalam pembuatan akta tanah dan pendaftaran tanah melalui Notaris/PPAT yang memberikan pelayanan Prona (Program Nasional Agraria) selaku pejabat yang memiliki tugas pokok untuk memberikan pelayanan berupa pembuatan akta tanah dan pendaftaran tanah seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 PPAT dan PPATS juga memberikan kepastian hukum berupa jaminan atas bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu. Kepastian hukum tersebut berupa diterbitkannya akta peralihan hak milik atas tanah sampai diterbitkannya sertifikat tanah oleh kantor pertanahan. Namun, dalam pelaksanaan wewenang beserta menjalankan perannya sebagai pejabat yang bertugas pokok menjalankan sebagian tugas pendaftaran tanah dan pembuatan akta tanah, PPAT maupun PPATS Kabupaten Gunungkidul sering menemukan penghambat. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh PPAT dalam Pendaftaran Peralihan Hak Milik atas Tanah muncul disebabkan oleh para pihak, dari masyarakat pada umumnya, oleh PPAT dan PPATS ataupun dari pihak Badan Pertanahan Nasional. Penulis dalam penelitian ini cenderung berbeda dengan penelitian sebelumnya karena lebih menitik beratkan pada posisi PPAT dalam Pengurusan Peralihan Tanah Letter C, bagaimana bersikap dengan 18
kewaspadaan/hati-hati karena kewenangan PPATn berhubungan dengan klien yang datang padanya baik yang beritikad baik maupun kurang baik serta objek tanah baik yang belum bersertifikat (Letter C) atau telah bersertifikat. Penelitian juga lebih terfokus pada daerah tertentu dan pada kasus tertentu yang terjadi di Kabupaten Magelang. Dalam Tesis ini penulis mengangkat satu kasus guna menunjukan pentingya prinsip kehati-hatian seorang PPAT dalam membantu klien yang datang dalam pengurusan peralihan tanah letter C mengingat ketiadaan prinsip tersebut akibatnya bisa merugikan pihak yang datang pada PPAT, ketidakjelasan objek, serta jabatan PPAT itu sendiri.
D. Tujuan Penelitian Tujuan
Penelitian
merupakan
pernyataaan
operasional
yang
merincikan apa yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini 24 . Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Untuk mengetahui dan mengkaji kehati-hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pengurusan peralihan tanah Letter C. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji perlunya prinsip kehati-hatian dalam pengurusan peralihan tanah Letter C.
24
Lexi J. Moleong, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 93.
19
E. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, secara lebih rinci manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Secara Teoritis. a. Penelitian ini akan memberikan manfaaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum dibidang hukum pertanahan dan informasi bagi masyarakat mengetahui pengurusan peralihan tanah Letter C terutama jual beli serta Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada PPAT. b. Bagi kalangan akdemisi untuk para peneliti yang mengambil objek kajian yang sama sangat diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi literatur. 2. Secara Praktis. a. Sebagai bahan masukan bagi PPAT yang melaksanakan pengurusan peralihan tanah Letter C agar menerapkan prinsip kehati-hatian. b. Sebagai bahan masukan bagi Badan Pertanahan Nasional agar dilaksanakannya pendaftaran tanah atas semua tanah Letter C secara serentak sehingga permasalahan terkait tanah Letter C semakin berkurang bahkan tidak ada. c. Sebagai bahan masukan untuk perangkat desa agar menerapkan itikad baik guna membantu pengurusan peralihan tanah Letter C agar bermanfaat untuk umum. 20
d. Sebagai
bahan
masukan
untuk
masyarakat
agar
memahami
bagaimanakan mengurus peralihan tanah Letter C dan dengan itikad baik melakukan peralihan hak atas tanah terutama terkait jual beli.
21