BAB I PENDAHULUAN “The essential idea of a usage-based linguistics is the dialectic nature of the relation between language use and the language system” (Geeraerts, et.al. 2010: 4).
1.1 Latar Belakang Peribahasa,
baik
kajian
(paremiologi)
maupun
dokumentasinya
(paremiografi), telah menarik minat banyak sarjana dari seluruh dunia karena esensi kearifannya. Ribuan karya ilmiah berupa artikel, buku, dan disertasi seperti yang tercantum dalam sejumlah bibliografi yang ditulis oleh Mieder (1982; 1990; 1993; 1994; 2001; 2009; 2011)1, Mieder dan Bryan (1996)2, Mieder dan Sobiesky (1999; 2003)3 telah melaporkan kajian peribahasa menurut ketertarikan penelitinya berdasarkan pendekatannya masing-masing.
1
Wolfgang Mieder menerbitkan daftar publikasi kajian peribahasa teranotasi dalam 4 jilid, yaitu: Jilid Pertama (1982), “International Proverb Scholarship: An Annotated Bibliograpy” memuat 2142 judul penerbitan; Jilid Kedua (1990), “International Proverb Scholarship: An Annotated Bibliograpy. Supplement I (1800-1981)” membuat 3034 judul penerbitan; Jilid Ketiga (1993), “International Proverb Scholarship: An Annotated Bibliograpy. Supplement II (1982-1991) memuat 1565 judul penerbitan; dan jilid Keempat (2001) “International Proverb Scholarship: An Annotated Bibliograpy. Supplement III (1990-2000)” memuat 2769 judul publikasi. Kumpulan kajian peribahasa yang lebih khusus terhimpun dalam karya Mieder (1994) “African Proverb Scholarship: An Annotated Bibliograpy.” Kemudian, Mieder (2009) menerbitkan International Bibliography of Paremiology and Phraseology. 2 vols. Berlin: Walter de Gruyter. Terakhir, Mieder (2011) menerbitkan “International Bibliography of Paremiology of Paremiography, Collections of Proverbs, Proverbial Expressions and Comparisons, Graffiti, Slang, and Wellerisms”. Total terbitan kajian peribahasa ini di seluruh dunia lebih dari 10.000 judul. 2 Kemudian, bersama koleganya George B. Bryans, Wolfgang Mieder (1996) menerbitkan “Proverbs in World Literature: A Bibliography”. 3 Seterusnya, bersama asistennya Janet Sobiesky, Wolfgang Mieder (1999) menghimpun kajian ikonografi peribahasa dalam “Proverb Iconography: An International Bibliography”. Mieder dan Sobiesky (2003) menerbitkan lagi bibliografi peribahasa dalam kaitannya dengan ilmu Sosial
1
2
Dilihat dari pendekatannya, kajian peribahasa dapat dikelompokkan ke dalam pendekatan deskriptif ataupun komparatif. Kajian peribahasa secara deskriptif ditemukan pada kajian-kajian yang lebih awal seperti terlihat pada jurnal Proverbium 1960an-1970an, misalnya, Srivastava (1969), Elcin (1970), Ting (1972), walaupun tidak menutup kemungkinan kajian serupa terdapat pada karya-karya mutakhir seperti Barajas (2010) tentang fungsi, dan Baruah (2015) tentang kewanitaan dalam peribahasa sebagai kajian pendahuluan. Di samping itu,
sejumlah karya akademis yang menulis peribahasa secara komparatif
seperti terlihat pada karya Gleason (1992), Yusuf (1996), Mosello (1993), Mieder (1997), Ley (1998), Kelly (2002 dg editor Mieder), Schipper (2004), Alexander (2004), Stone (2006), dan Amali (2015). Karya-karya ini sebagian tertarik pada dokumentasi pembandingan peribahasanya dan sebagian lain tertarik pada kajian analitis perbandingannya. Selain kajian yang dikemukakan di atas, kajian peribahasa dapat pula dikelompokkan berdasarkan perspektif teoretis tertentu atau sejumlah perspektif teoretis.
Kajian peribahasa yang tertarik satu perspektif tertentu
ditemukan antara lain dalam tulisan Barley (1972), Dundes (1975) yang masingmasing mengkaji peribahasa dari perspektif struktur, dan Mele (2013) yang mengkaji metafora konseptualnya saja. Sementara itu, kajian peribahasa yang tertarik dengan pendekatan multiperspektif ditemukan dalam karya Lee (1979),
dalam “Proverbs and the Social Sciences: An Annotated International Bibliography” yang memuat 1169 judul publikasi.
3
Mieder (1989), Jaradat (2007), dan Krikman (2009) yang berturut-turut mengkombinasikan perspektif pragmatik dan sosiolinguistik,
kemudian teks
dengan konteks, lalu sintaktik, semantik dan konteks, serta struktur, logika dan metafora. Kim Hui Lim (2001: 185) mengakui bahwa kajian peribahasa dalam konteks bahasa dan masyarakat Indonesia, termasuk Melayu, mengalami kelesuan dan kurang menarik perhatian sarjana Indonesia-Melayu dibandingkan dengan ribuan kajian dan dokumentasi peribahasa yang dilakukan sarjana internasional. Observasi serupa juga diakui oleh Badudu (1993) dan Danandjaja (1991) lebih dari dua dasawarsa yang lalu. Namun demikian, bukan berarti tidak ada karya yang menulis tentang peribahasa Indonesia atau Melayu, misalnya, Salmah (1984), Santosa (1988), Desari (1994), Wijana (1998), Arimi (2000a-b), Lim (2001), Fanany dan Fanany (2003), Ho-Abdullah (2011) dan beberapa yang lain. Mempertimbangkannya sebagai entitas kebahasaan, peribahasa dapat dilihat sebagai bentuk penggunaan bahasa yang menarik dan penting bagi masyarakat pemiliknya. Peribahasa merupakan media linguistik tempat penyimpanan memori kearifan. Ia juga tempat potongan sejarah peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat. Di samping orang mengenalinya sebagai bentuk kebahasaan figuratif, peribahasa bagi penggunanya adalah sarana menjelaskan fenomena kehidupan, sebagai pengungkap, ilustrator, pernyataan, dan alat penasihat yang berharga.
Karena bentuknya yang ringkas, peribahasa
merupakan solusi bagi sejumlah orang untuk menyederhanakan masalah yang
4
kompleks, bahkan seperti diakui sejumlah ahli (lih. Lord John Russell dalam Mieder, 1993; Taylor, 1996), kemampuan menguasai peribahasa itu tidak mudah sehingga orang yang mahir menggunakannya mendapatkan posisi terhormat di mata masyarakat (Lee, 1979: 4)4. Selain pandangan masyarakat pemakainya, peribahasa juga dipandang krusial bagi para peneliti sebagai objek kajian. Karena bentuknya yang khas, peribahasa banyak diteliti berdasarkan struktur, makna, fungsi, referen, dan gayanya. Karena kandungan kearifan yang terdapat di dalamnya, banyak pula peneliti tertarik membongkar isi peribahasa itu, baik yang menyangkut karakter individu, masyarakat maupun kebangsaan, di samping berkaitan dengan adat kebiasaan atau budaya yang berlaku pada masyarakat pemiliknya. Demikian pula karena sifatnya yang klasik, produk bahasa masa lalu, banyak pula peneliti tertarik terhadap asal-usul kemunculan, persebaran, kebertahanan, dan perkembangannya. Karena sarat dengan metafora dan bentuk figuratif lainnya, sejumlah peneliti juga tertarik untuk mengkaji makna, dan mencari model pemahamannya, baik sebagai teks maupun dalam konteks komunikasi. Begitu pula, karena penggunaannya yang diragukan, sejumlah peneliti mengamati pemakaiannya, eksistensinya berdasarkan bahasa dan budaya yang berbeda, sampai pada daya gunanya pada teks-teks lain seperti dalam lagu, teka-teki, puisi, iklan, dan sebagainya.
Lee (1979: 4) mengatakan “Proverbs are also available as a means by which the users can become socially dominant”. 4
5
Baik secara praktis maupun akademis, peribahasa ini menyimpan segudang misteri yang bernilai untuk diketahui dan dijelaskan. Dalam konteks inilah ini, disertasi ini mengambil peran untuk mengkaji peribahasa Indonesia secara lebih khusus. Esensinya adalah membangun basis penelitian untuk mengetahui identitas peribahasa Indonesia.
Pentingnya identitas peribahasa Indonesia
diketahui ini dapat dikaitkan dengan motif untuk mengetahui kandungan makna pada
peribahasa
itu,
menemukan
pola
pikirnya,
mengetahui
strategi
mengomunikasikan kearifan dalam suatu masyarakat (lih. Mieder, 2000), mengetahui tipe-tipenya, dan mengetahui dinamika vitalitasnya. Latar penelitian yang digambarkan di atas sebenarnya menyarikan satu konsep kebahasaan (sebagai das Sollen5) yang mempertanyakan penggunaan peribahasa yang muncul dalam komunikasi masyarakat Indonesia dan dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Realitas penggunaan peribahasa itu (sebagai das Sein6) akan memberi jawaban terhadap apa dan bagaimana identitas peribahasa itu. Tentu saja persoalan ini diajukan dalam relevansinya sebagai bagian dari penggunaan bahasa yang dinamis. 1.2 Rumusan Masalah Sejalan
dengan
gejala
dan
fakta
penggunaan
peribahasa
yang
dikemukakan di atas, penelitian ini memperlakukan peribahasa sebagai entitas kebahasaan yang dinamis sebagaimana sifat bahasa dan budaya itu sendiri.
5 6
Das Sollen adalah konstruk ilmu atau pengetahuan teoretis yang bersifat normatif. Das Sein adalah realitas atau sebuah entitas yang senyatanya (kongkret).
6
Dinamika7 peribahasa adalah mekanisme yang dialami peribahasa agar dapat bertahan
atau
berubah
melalui
proses
eksaminasi
sedemikian
rupa
dipertentangkan satu sama lain sehingga mendapatkan hasilnya dalam bentuk fakta keperibahasaan. Berangkat dari kerangka pemikiran tersebut, objek kajian peribahasa ini dilihat sebagai teks, konteks, dan memiliki hubungan interteks. Satu masalah pokok mengenai keperibahasaan yang dirumuskan dalam disertasi ini adalah bagaimana identitas peribahasa Indonesia. Identitas adalah representasi sebuah entitas yang mencirikannya sebagai pembeda dari entitas lain. Thomas dan Schwarzbaum (2005: 5) menandaskan identitas itu bersifat tidak statis, sebaliknya dinamis dan cair,…. berada dalam konstruksi dan rekonstruksi yang bersinambung. Masalah penelitian ini akan dipecahkan berdasarkan data dan analisis relasi linguistik dan ekstralinguistik pada teks, konteks dan interteks peribahasa ke dalam empat submasalah penelitian tentang identitas8 peribahasa yaitu (1) karakteristik dan model pemahaman peribahasa, (2) kategorisasi peribahasa dilihat dari bentuk, penalaran, kefiguratifan, dan gaya, (3) pemetaan pola kognisi peribahasa, dan (4) repertoar peribahasa kontekstual. Berikut akan diuraikan satu per satu.
7
Dinamika adalah daya ubah, daya kembang, proses pasang surut alamiah sebuah entitas.
Kajian mengenai identitas dalam linguistik atau sosiolinguistik di satu sisi berorientasi pada entitas kebahasaan (identitas linguistik), di sisi lain berorientasi pada diri seseorang atau masyarakat (identitas individual atau sosial). Dalam disertasi ini identitas lebih berorientasi pada identitas linguistik yaitu identitas peribahasa. Namun demikian arus utama kajian identitas lebih banyak pada identitas sosial (lih. Omoniyi & White, 2006; Bucholtz & Hall, 2004), bukan identitas individual apalagi identitas linguistik. 8
7
Pertama, pemahaman esensial akan identitas peribahasa adalah memahami karakteristik dan maknanya. Pertanyaan emik dan etik diajukan di dalam penelitian ini, yaitu secara emik bagaimana masyarakat pemilik peribahasa itu mendefinisikan peribahasanya dan apakah contoh-contoh yang diberikan relevan dengan esensi definisi yang diberikan, kemudian secara etik peribahasa diamati secara linguistik baik struktur formal, semantik, maupun fungsional oleh sarjana, ahli atau pengamat bahasa. Mereka dipandang menjaga jarak dengan objek kajiannya dan memberikan penilaian objektif terhadap peribahasa tersebut. Baik definisi masyarakat (folk definitions) maupun definisi para sarjana (scholar’s definitions) itu berguna sebagai landasan untuk mencoba mendefinisikan ulang peribahasa itu. Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan para sarjana dan masyarakat ditambah dengan pemikiran peneliti, maka dihasilkan sejumlah karakteristik yang mencirikan peribahasa. Pertanyaannya apakah ciri-ciri yang ditawarkan itu dapat menjadi fitur pembeda dengan produk penggunaan bahasa yang mirip seperti pada frasa, idiom, kata mutiara, klise, slogan, pantun, teka-teki, dan basa-basi. Setaut dengan itu, setelah peribahasa didefinisikan dan ditemukan bentuk-bentuk tipikal peribahasa itu, pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana peribahasa dipahami maknanya. Sebagai bentuk penggunaan bahasa yang mapan (fixed forms) dan syarat dengan bahasa figuratif semestinya makna peribahasa dapat ditentukan baik sebagai teks maupun melekat pada konteks komunikasi. Berdasarkan analisis semacam ini kemudian diperoleh model-model pemahaman peribahasa.
8
Kedua, untuk mendalami bentuk dan makna peribahasa perlu diajukan pertanyaan taksonomis keperibahasaan. Bagaimana peribahasa-peribahasa itu dilihat dari bentuk, penalaran, makna figuratif, dan gaya bahasa yang dipakainya. Pentingnya
kategorisasi
ini
menyangkut
sejumlah
bentuk
pernyataan,
pertanyaan, perintah, dan pelarangan dalam peribahasa, di samping yang lebih prinsipil berkaitan dengan penalaran yang tercermin dari metafora sebagai bahan baku peribahasa. Isu kategorisasi ini krusial dalam membangun identitas keperibahasaan itu sendiri sehingga membedakannya dengan penggunaan bahasa yang lain. Ketiga, ketika sebuah kebudayaan mewadahi subset peribahasa yang sarat makna figuratif maka akan muncul satu pertanyaan lain apakah peribahasa itu bersifat culture specific atau justru culture generic. Analisis pada lapis-lapis kebahasaan peribahasa baik itu bentuk, makna, informasi, maupun kognisi diasumsikan dapat menjelaskan pertanyaan ini sehingga pemikiran ke arah pemetaan identitas kognitif masyarakat antarbudaya itu dapat dikemukakan. Ditandaskan bahwa pemetaan kognisi itu salah satunya bisa dicapai lewat pemolaan
(patterning)
peribahasa.
Dalam
konteks
masalah
ini
perlu
dikemukakan apa yang dikatakan Peukes (1977) secara optimis bahwa ”speaking of structural matters, it is also important to mention that the thousands of proverbs of any language can be reduced to certain structures or patterns.” Sejumlah ahli telah mengusulkan pola peribahasa berdasarkan aspek-aspek di luar kognisinya. Milner (1969) misalnya mengajukan struktur peribahasa berdasarkan bentuk-
9
bentuk yang teramati,
Abrahams (1972) mengusulkan struktur menurut
perilaku pengisi verbanya, dan Dundes (1975) menemukan pola peribahasa berdasarkan isi peribahasa yang mengandung topik dan komen. Ketiga ahli ini belum berhasil mengajukan satu tipe pemolaan yang mencakup peribahasa lintasbudaya (cross-culture), di samping tidak dapat membuktikan secara linguistik hubungan yang kuat antara materi teks (peribahasa) dengan referen (luar teks peribahasa) yang diacu. Ruang kosong ini dimanfaatkan untuk mengupayakan satu formulasi struktur peribahasa yang dipandang dapat menjelaskan dua relasi tersebut, di samping mengonstruksi pandangan (kognisi) manusia dalam peribahasa. Keempat, peribahasa seringkali tidak dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran ko-teks lainnya dalam situasi, peristiwa, dan konteks komunikasi verbal. Kemunculan beragam situasi, peristiwa dan konteks komunikasi membuat peribahasa menjadi objek kebahasaan yang rentan pergeseran dan perubahan identitas. Semua bentuk dinamika peribahasa ini akhirnya mempertanyakan vitalitas peribahasa Indonesia itu baik dalam konteks keberadaan
peribahasa
dalam
masyarakatnya
maupun
dalam
konteks
komunikasi dengan bahasa dan budaya di luar masyarakatnya. Pertanyaan ini penting dan strategis untuk menakar sejauh mana identitas bentuk kebahasaan klasik dipandang sebagai bagian dari sifat kebahasaan yang produktif dan hidup. Apakah peribahasa termasuk gejala kebahasaan yang produktif, bagaimana dampak globalitas dan lokalitas pada peribahasa, dan bagaimana pula intensitas
10
kontak bahasa dan budaya yang semakin meluas karena globalisasi dan lokalitas pada produktivitas peribahasa. Pertanyaan ini bermuara pada isu pemberdayaan peribahasa lama dan baru pada era sekarang ini. Semua submasalah yang dirumuskan di atas bertumpu pada satu masalah pokok identitas peribahasa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, berikut dirumuskan kembali secara ringkas masalah yang dipecahkan dalam penelitian ini, yaitu: (1) apa karakteristik dan bagaimana peribahasa dipahami; (2) bagaimana kategorisasi peribahasa dilihat dari kategori bentuk, penalaran, kefiguratifan, dan gaya bahasanya; (3) bagaimana pemetaan pola kognisi peribahasa; dan (4) bagaimana repertoar pemakaian peribahasa secara kontekstual. Setiap submasalah ini dipecahkan dalam satu bab dalam disertasi ini. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan menjelaskan identitas peribahasa Indonesia. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan karakteristik peribahasa dan menjelaskan model pemahamannya; (2) menguraikan dan menjelaskan kategorisasi peribahasa berdasarkan bentuk, penalaran, kefiguratifan, dan gaya bahasanya; (3) menjelaskan pemetaan pola kognisi dalam peribahasa; dan
11
(4) menjelaskan repertoar pemakaian peribahasa secara kontekstual. 1.4 Relevansi Penelitian Peribahasa dalam penelitian ini dapat
dilihat dari dua sisi, pertama
sebagai korpus penggunaan bahasa (usage-based corpus) yang bermanfaat menurut perspektif subjek masyarakat pemakainya, dan kedua sebagai objek kajian yang menarik menurut perspektif subjek penelitinya. Relevansi penelitian ini bisa ditangkap dari dua orientasi itu. Relevansi peribahasa bagi masyarakat bahasa menyangkut dua hal. Pertama, masyarakat pemakainya bisa mempelajari kearifan di dalamnya, kemudian menggunakan kearifan itu untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan tertentu. Kedua, peribahasa merupakan entitas bahasa yang bentuk metafora, makna figuratif, dan fungsi-tipikalnya tidak mudah dipahami dan didayagunakan oleh khalayak karena harus sesuai dengan adekuasi konteks dalam sebuah komunikasi yang utuh. Keandalan seseorang baru akan meningkat manakala ia mempelajari dengan sungguh-sungguh seluk-beluk peribahasa ini. Selama yang dipahami oleh masyarakat, penguasaan peribahasa merupakan ketangkasan individual,
“the wit of one’s, the wisdom of all men’s” (lih. Taylor,
1996), dan manakala ketangkasan verbal itu diakui ia akan dipandang terhormat oleh masyarakat itu. Tidak jarang orang yang mempunyai kemampuan ini adalah tokoh masyarakat yang dikenal. Sisi lain dari peribahasa menurut perspektif peneliti, sarjana, atau peminatnya ialah bahwa dengan meneliti peribahasa dapat ditemukan kearifan
12
yang terkandung dalam simbol-simbol verbalnya. Temuan-temuan kandungan peribahasa itu menyangkut bagaimana masyarakat pemakainya berpikir, menggunakannya untuk mengatasi sebagian masalah kehidupan sosial budaya, memahami gejala-gejala sosial masyarakat, termasuk pula gejala alam semesta (air, tanaman, hewan, hujan, panas, angin, dsb). Di samping itu, para peneliti peribahasa dapat menemukan keberaturan pola komunikasi masyarakat lewat peribahasa, lalu memahami dan menjelaskan satu esensi keadaban (civilization) manusia.
1.5 Kajian Terkait Malinowski (1943) memandang bahasa sebagai instrumen yang muncul menengahi interaksi verbal manusia dalam dua modus, yaitu modus sosial dan modus pikiran. Bahasa berupa modus sosial ditujukan untuk keperluan membina dan mempertahankan hubungan antarpenutur. Pemakaian bahasa semacam ini direalisasikan dalam bentuk komunikasi fatis, yaitu sebuah komunikasi yang menempatkan informasi tidak begitu penting. Sebaliknya, yang dipentingkan adalah hubungan sosial yang diciptakan kode-kode tuturan itu. Bentuk-bentuk komunikasi fatis semacam ini misalnya tegur-sapa (greetings), sopan-santun (courtesy), dan ramah-tamah (small-talks; chit-chats). Dalam masyarakat bahasa Indonesia pemakaian bahasa dengan modus sosial ini seringkali disebut basabasi (lih. Arimi,
1998). Seterusnya, bahasa dalam bentuk modus pikiran
diwujudkan bukan sebagai komunikasi fatis atau basa-basi tadi, melainkan sebagai interaksi verbal untuk menyampaikan gagasan, konsep, atau persepsi,
13
baik yang berasal dari diri seseorang maupun dari sekelompok orang. Bentukbentuk komunikasi semacam ini diwujudkan, antara lain, dalam ungkapan perasaan, hasrat atau pendapat, idiom, slogan, kata-kata mutiara, dan peribahasa. Berbeda dengan bahasa dalam bentuk modus sosial, bahasa dalam bentuk modus pikiran justru lebih mementingkan informasi daripada relasi sosial tadi. Antara modus sosial dan modus pikiran di atas masing-masingnya mengacu pada fungsi yang berbeda. Halliday (1977) memilah fungsi bahasa ke dalam dua ekstrak fungsi yaitu fungsi interpersonal dan fungsi ideasional. Pemakaian bahasa modus sosial dalam hal ini basa-basi, atau percakapan rutin (speech formula, discourse routines), termasuk ke dalam fungsi interpersonal, sedangkan
pemakaian
bahasa
modus
pikiran,
seperti
peribahasa
dan
semacamnya, termasuk dalam fungsi ideasional. Sejalan dengan pendapat sarjana yang mengatakan bahwa kemunculan bahasa dalam modus sosial menunjuk pada fungsi hakiki bahasa untuk saling menjadi sesamanya, dan kemunculan bahasa dalam
modus
pikiran
menunjuk
pada
fungsi
hakiki
bahasa
untuk
mengembangkan akal budi (Sudaryanto, 1990). Kajian pemakaian bahasa dalam modus sosial yang sesuai dengan fungsi interpersonal atau fungsi hakiki bahasa untuk saling menjadi sesamanya itu, antara lain, dilakukan oleh Arimi (1998) dalam “Basa-Basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”, dan kajian pemakaian bahasa dalam modus pikiran yang sesuai dengan fungsi ideasional atau fungsi hakiki bahasa untuk mengembangkan akal budi akan diuraikan di bawah ini.
14
Disertasi ini hanya mengambil satu dari pemakaian bahasa yang disebutkan
di
atas,
yaitu
pemakaian
peribahasa.
Seluk-beluk
kajian
keperibahasaan pada dasarnya dilihat berdasarkan “paradigma” formal, semantik, struktural, fungsional, developmental, dan stilistika. Paradigma satu dengan lainnya kadang-kadang sulit dipisahkan sehingga dalam berbagai kajian yang ada seringkali dijumpai dalam dua paradigma atau lebih. Secara formal, peribahasa dilihat berdasarkan apa yang tervisualiasi secara diskursif, sintaktis, dan leksikologis, termasuk kajian isi atau referen dari peribahasa. Dipandang dari sudut diskursif, peribahasa awalnya bersumber dari wacana lisan (spoken discourse). Menurut kategorisasi genre dalam bidang ilmu kesusastraan, peribahasa digolongkan dalam genre folklor (folklore). Folklor dapat diartikan sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun baik dalam bentuk lisan maupun yang disertai dengan isyarat atau alat bantu ingatan (mnemonic device) (c.f Danandjaja, 1991: 2). Jika dilihat keberadaannya lebih menyosok ke dalam pemilahan wacana yang lebih spesifik, wacana menurut Brewer & Lichtenstein (Allan, 1989) dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu wacana interaktif (seperti wacana basa-basi), wacana persuasif (seperti wacana iklan, pidato kampanye, dan sebagainya), wacana informatif (seperti wacana ilmiah, berita, humor, peribahasa, dan lainlain) (lih. Wijana, 1995: 2). Peribahasa yang menjadi objek kajian disertasi ini dapat digolongkan ke dalam wacana informatif karena sesuai dengan fungsinya
15
untuk menyampaikan pesan, gagasan-gagasan, atau persepsi kebenaran yang telah diterima secara umum dalam sebuah masyarakat bahasa tertentu. Peribahasa, menurut Barajas (2010: 66), adalah alat wacana (discursive tool) karena peribahasa melakukan lebih daripada yang ia maksudkan (proverbs do more than they mean). Pengamatan Barajas terhadap skrip film Visa Zapata karya penulis terkenal John Steinbeck menunjukkan bagaimana peribahasa digunakan sebagai alat wacana untuk menarik empati masyarakat agar lebih meyakinkan dan secara kontekstual mempunyai daya tarik. Dalam film tersebut diceritakan bagaimana pakaian yang dipakai seorang pria mendapat respons atas apa yang dipakainya itu dengan menggunakan peribahasa Spanyol “Conforme ven el traje, tratan al paje” yang ekivalen dengan peribahasa Inggrisnya, yaitu “It is the clothes that make the man” (Adalah pakaian yang membuat seorang pria). Pertentangan tokoh Zapata ini juga dibangun dengan alat wacana peribahasa Spanyol lain yaitu “Aunque la mona se vista de seda, mona se queda” yang dalam peribahasa Inggris “Even if the ape dresses in silk, she remains an ape” (Sekalipun kera berpakaian sutra, dia tetap kera). Pada tataran sintaksis, para ahli seringkali menyebut peribahasa adalah kalimat pendek, ringkas, atau kalimat saja. Sebutlah Mieder (1993: 24) mengategorikannya sebagai “wisdom expressed in a sentence”. Krikmann (2009) menguraikan aspek sintaktik peribahasa Estoania secara mendalam. Ciri-ciri sintaktik peribahasa Estoania ditandai oleh formula “kes…, see…” (Dia yang…); “Kui…, siis…” (Jika/ketika …, maka….), “kuidas…, nonda…” (seperti…., seperti….),
16
“parem…, kui….” (lebih baik…, daripada…), “igal…, oma…” (setiap…, mempunyai sendiri…), dll. Setiap formula itu dirinci pula ke dalam sejumlah pola. Krikmann (2009: 180-204) mengambil model formula “Dia …, yang…” ke dalam tiga pola, yaitu pertama, pola ”Dia…,yang…” yang berhubungan dengan formula implikatif lain, misalnya “Kes huntidega elab, hakkab ukguma” (Dia yang hidup di antara serigala akan mulai melolong); “Oled huntide hulgas, pead huntidega ulguma” (Ketika kamu hidup di antara serigala kamu pasti melolong seperti serigala); “Kui oled huntide hulgas, siis ulu huntidega koos” ( Jika kamu di antara serigala, maka melolong dengan serigala); kedua pola paralel misalnya “kis hiljaks jaab, sii ilma jaab, kis kaua magab, see kahjatseb” (Dia yang datang terlambat, tidak mendapat apa-apa, dia yang terlelap panjang, akan menyesal), ketiga pola struktur modalitas kalimat, misalnya “Kes viiga umbre kau, tuu oks hammest ka saa” (Siapa yang memegang air akan basah), dan “Kes korgest kukub, saab kova hoobi” ( Siapa yang jatuh dari ketinggian akan terserang angin kencang). Lebih rendah lagi tatarannya pada leksikon-leksikon yang digunakan peribahasa, Fanany dan Fanany (2000) menganalisis korelasi metafora peribahasa dengan alam kehidupan masyarakat Minangkabau, di Sumatera Barat, Indonesia. Bagi Fanany dan Fanany alam berkaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau sebagaimana tercermin dalam metafora-metafora peribahasa seperti metafora hutan, metafora air, metafora iklim, dan metafora kampung dan pertanian. Kedekatan masyarakat Minang dengan alam sebagaimana ditunjukkan pemakaian metafora hutan misalnya, “Namun
17
kacambah kayu Aro, indak manjadi puluik-puluik” (Namun putik kayu Aro tidak akan menjadi semak) yang maknanya, ‘Tabiat seseorang tidak akan berubah’ ; “Kok samo gadang kayu di rimbo, ka ma angin ka lalu” (Kalau sama besar kayu di hutan, ke mana angin akan pergi) yang maknanya ‘Setiap orang memiliki kebolehan yang berbeda-beda’). Kemudian, kedekatan masyarakat Minangkabau dengan alam sebagaimana ditunjukkan dengan metafora air misalnya, “Indak lauik nan indak baombak” (Tidak laut jika tidak berombak) yang maknanya ‘Apa pun yang dikerjakan pasti ada tantangannya’), “Ka mudiak tantua ulunyo, ka ilia tantu muaronyo” (Ke mudik jelas hulunya, ke hilir jelas muaranya) yang maknanya ‘Apa pun yang dikerjakan harus jelas perencanaannya/tujuannya’). Seterusnya, penggunaan metafora Iklim ditemukan dalam peribahasa “Paneh sataun, ujan saari, lipuik tanjuang jo pulau” (Panas setahun, hujan sehari, menutup tanjung dan pulau) yang maknanya ‘Kebaikan seseorang yang banyak dihapus oleh sekali keburukan), “Putiah manganduang awan, mangalimbajo manganduang ujan” (Putih mengandung awan, mendung mengandung hujan) yang maknanya, ‘Setiap peristiwa mengandung pertanda kejadian’. Di samping metafora di atas, terdapat pula metafora kampung dan pertanian seperti terlihat pada peribahasa “Kok sayang ka padi, siangi rumpuik” (Kalau sayang pada padi, siangi rumput) yang maknanya ‘Kalau barang itu penting, maka harus dirawat’, “Di mano bumi dipijak, langik dijujuang” (Di mana bumi dipijak, langit dijunjung), “Aia disauak, rantiang dipatah” (Air ditimba, ranting dipatahkan), “Di sinan adaik dipakai, lasin dituruik” (Di situ adat dipakai, lasin diikuti). Ketiga peribahasa
18
terakhir ini bermakna ‘Ke mana Anda pergi di situ Anda harus menyesuaikan diri dengan penduduk dan kebiasaan setempat’) . Analisis Fanany dan Fanany di atas didukung dengan pemerian wilayah dan alam Minangkabau dan beberapa aspek linguistik peribahasa seperti struktur, sintaksis, dan satuan leksikal peribahasa. Simpulan kajian Fanany dan Fanany (2000) dinyatakan sebagai berikut: (1) peribahasa Minangkabau menggunakan metafora dan pencitraan yang berbeda, tetapi memberikan makna yang sama, (2) dengan peribahasa orang penting menyesuaikan cara-cara hidup perantauan yang berbeda dengan di kampung halaman, (3) melalui peribahasa orang penting membuat perencanaan yang cermat dan pemikiran yang jernih, sesuatu yang baik tidak mudah dilakukan terutama kaitannya dengan perilaku di rantau, (4) asosiasi metaforis antara alam dan merantau sangat kuat. Pengamatan Fanany dan Fanany ini berguna sebagai awal pemahaman peribahasa Minangkabau dan penempatannya dalam kebudayaan Minangkabau modern, terutama bagaimana cara mereka melihat diri mereka sendiri dan dunia sekitar mereka. Dua isu terpenting yang dikemukakan Taylor (1931) dalam bukunya “The Proverb”
adalah isi peribahasa dan sifat-sifat ras dan kebangsaan dalam
peribahasa. Taylor (1931: 66-134) mengelaborasi isi peribahasa ke dalam beberapa jenis, yaitu adat dan takhyul, sejarah, hukum, cuaca, dan pengobatan medis.
Kemudian ia mendeskripsikan sifat rasial dan kebangsaan seperti
ditemukan dalam peribahasa “The devil is not as black as he is painted”, “Day follows even on the winter night”, “A life without love, a year without summer”,
19
“Make hay while the sun shines”.
Taylor (1931: 165) berpendapat bahwa
argumentasi karakter bangsa yang ditunjukkan dalam peribahasa memberikan bukti berlimpah untuk menjelaskan bahwa peribahasa mencerminkan karakter sebuah bangsa. Berdasarkan metode yang dilakukan untuk menganalisis akan disimpulkan berbeda antara karakter dalam sebuah bangsa, provinsi, atau internasional. Dalam disertasinya “A Speech Act Study of English and Yoruba Proverbs About Women”, Yusuf (1996) mengkaji bentuk dan kandungan peribahasa menurut perspektif pragmatik, semantik, struktural, dan stilistik dari peribahasa Yoruba dan Inggris yang berkaitan dengan perempuan. Yang menarik sesungguhnya apakah peribahasa bereferen perempuan memiliki ciri pragmatik, semantik, struktural, dan stilistik dalam penelitian itu. Ternyata, tidak ada tipologi khusus yang mencirikannya. Artinya, ciri pragmatik, semantik, struktural, dan stilistik antara peribahasa bereferen perempuan dengan bereferen nonperempuan sama saja. Justru, yang tipikal dari temuan disertasi ini adalah kandungan peribahasa bereferen perempuan menyangkut perempuan dan perkawinan, perempuan dan keibuan, perempuan dan pertuturan, perempuan dan kekejian, serta perempuan dan keistimewaan. Dari uraian yang disampaikan di atas dan berangkat pula dari penelusuruan kepustakaan yang ada diketahui bahwa belum ada kajian peribahasa berdasarkan pada bentuk penilaian peribahasa afirmatif (+), negatif
20
(-), interogratif (?), dan imperatif (!) beserta gugusan kombinasinya yang di dalam disertasi ini diuraikan. Secara semantik, peribahasa dilihat tidak dari bentuknya, tetapi pada kandungan maknanya. Sejumlah penelitian bahasa seringkali sulit melepas diri dari mengkaji makna karena esensi bahasa itu berada pada maknanya, termasuk peribahasa. Hampir semua para ahli sepakat bahwa pemahaman makna peribahasa berkait dengan makna literal dan makna figuratif, bukan makna denotasi dan konotasi atau makna leksikal dan gramatikal. Kajian-kajian makna di samping membicarakan makna literal dan makna figuratif tersebut seringkali mengaitkannya dengan analisis relasi makna, isi, tema, atau referen dari kata yang dipakai dalam peribahasa. Di dalam disertasi Turner (1994) diteliti apakah makna literal dilibatkan dalam proses pemahaman makna figuratif yang ada pada peribahasa. Makna literal didefinisikan sebagai makna biasanya yang terdapat dalam setiap kata (usual meaning of the individual words). Berdasarkan lima eksperimen yang dilakukan, hasilnya adalah bahwa makna literal mempunyai peran khusus dalam pemahaman peribahasa, termasuk ketika peribahasa digunakan dalam konteks yang tidak tepat (Turner, 1994: 187). Dalam konteks peribahasa Indonesia, Santosa (1988) mensinyalir tujuh jenis makna, yaitu makna hukum alam, pedoman hidup, nasihat, deskripsi fakta kehidupan, pujian dan sindiran, pernyataan berlebih-lebihan, dan makna kemustahilan dan kesia-siaan. Namun, di dalam tulisannya ini analisisnya tidak
21
didasarkan pada pengertian makna literal, makna figuratif, maksud, dan interpretasi atau tafsir. Sebagai contoh dalam jenis makna hukum alam, demikian istilah yang dipakai Santosa, terdapat peribahasa “Dahulu parang, sekarang besi” dan “Setinggi-tinggi batu melambung, surutnya ke tanah jua”. Peribahasa pertama menurutnya bermakna bahwa segala sesuatu dapat rusak, tiada lagi kekuasaan jasmani dan rohani atau segala sesuatu itu mengalami proses ketuaan yang pada akhirnya tiada berguna lagi. Peribahasa yang kedua bermakna bahwa pangkat derajat serta martabat manusia itu pada akhirnya lenyap pula. Makna-makna peribahasa yang disebutkan itu dimasukkannya ke dalam jenis makna hukum alam. Agaknya apa yang dimaksud penulis adalah interpretasi atau tafsir terhadap peribahasa-peribahasa tersebut karena dipisahkan dari konteks penuturnya, juga maksud dari penutur yang dihubungkan dengan kontekskonteks tuturan lain, bukanlah makna literal maupun figuratif. Namun, mungkin dapat dimengerti mengapa penulis tidak membicarakan lebih jauh perihal aspekaspek teoretis yang terdapat dalam bahasa karena sasaran analisis yang dituju penulis ialah bagaimana peribahasa diresepsi oleh pengarang atau sastrawan (terutama sebelum perang). Secara spesifik dalam ranah semantik kognitif, Honeck (1997) memandang bahwa kajian peribahasa berkaitan dengan bahasa dan pikiran, pragmatik dan fungsi komunikatif, representasi mental serta nilai dan norma sosial. Dalam pemahamannya, peribahasa melibatkan seperangkat proses dan struktur mental (Honeck, 1997: 121). Hubungan peribahasa dan inteligensi
22
menurut Honeck dapat dirunut dalam kerangka analisis PLANTE (Processing Efficiency, Levels, Attention, Novelty, Transformation, Expertise) yang hasilnya dapat mengukur tingkat keterbelakangan mental (mental retardation) (Honeck, 1997: 239-245). Dundes (1975: 961) mencatat bahwa banyak upaya telah dilakukan untuk mengorelasikan isi peribahasa dengan karakter bangsa dan menjelaskan pandangan terhadap dunia sekitarnya lewat peribahasa. Berbagai disiplin ilmu telah banyak dipakai untuk menjelaskan fenomena peribahasa ini. Secara struktural, peribahasa dilihat berdasarkan pemolaannya. Pemolaan bisa dicapai dari berbagai susunan seperti pola bentuk, makna, tema, fungsi, dan sebagainya. Tujuan kajian struktur adalah menyederhanakan ratusan atau ribuan peribahasa ke dalam pola tertentu. Kajian struktur ini juga berkaitan dengan kerja-kerja klasifikasi. Milner (1969) mengajukan struktur peribahasa berdasarkan bentukbentuk yang teramati dengan pelabelan nilai positif dan negatif pada unsur-unsur kata yang membentuk peribahasa. Ia menyebut struktur peribahasanya sebagai struktur kuadriparsial (quadripartite structure) yaitu sebuah struktur peribahasa yang membagi bentuk peribahasa itu ke dalam dua paruh; masing-masing paruh terdiri atas dua perempat. Abrahams (1972) mengusulkan struktur menurut perilaku pengisi verbanya. Struktur dasar peribahasa menurut Abrahams terdiri atas dua unsur atau lebih yang terikat oleh verba ekivalen (verb of equivalence) atau verba kausatif (verb of causation) yang mengungkapkan hubungan antara
23
dua bagian atau lebih secara positif atau negatif (lih. Yusuf, 1996). Kemudian ia membagi peribahasa ke dalam empat tipe, yaitu
(1) peribahasa dengan
ekivalensi positif (mis. Time is money), (2) peribahasa dengan ekivalensi negatif (mis. Money isn’t everything), (3) peribahasa dengan kausasi positif (mis. Haste is waste), dan (4) peribahasa dengan kausasi negatif (mis. Two wrongs don’t make a right). Dundes (1975) menemukan struktur peribahasa berdasarkan isi peribahasa yang mengandung topik dan komen. Ia membagi struktur peribahasa ke dalam dua tipe, yaitu peribahasa identifikasional (ekuasional) dan peribahasa kontrastif (oposisional).
Ketiga ahli9 ini tidak berhasil mengajukan pemolaan yang
mencakup peribahasa lintas-budaya (cross-culture), di samping tidak dapat membuktikan secara linguistik hubungan yang kuat antara materi teks (peribahasa) dengan referen (luar teks peribahasa) yang diacu. Lebih pokok lagi, ketiga ahli tersebut tidak berhasil menarik pola kognitif yang sederhana dari ribuan bahkan puluhan ribu peribahasa dalam setiap bahasa dan budaya tertentu. Secara fungsional, peribahasa dilihat dari kegunaannya dalam komunikasi. Kajian-kajian fungsional peribahasa ini berkisar pada kajian fungsi umum dan khusus, atau makro dan mikro. Dilihat secara umum, peribahasa, dengan ajaran yang terkandung di dalamnya, menjadi pedoman bagi masyarakat pemakainya. White (1987: 152) memandang peribahasa (proverbs) sebagai gudang tempat
9
Lebih detil tentang struktur peribahasa yang diajukan ketiga ahli ini lihat Bab IV.
24
penyimpanan kebijaksanaan rakyat (repositories of folk wisdom). Sebagai perkataan metaforis yang mengandung banyak kebijaksanaan tersebut, peribahasa sebenarnya merupakan representasi dari pengembangan akal budi masyarakat dalam hidupnya sehari-hari sebagaimana dikatakan oleh Carbonnel dan Minton (White, 1987: 154) bahwa fungsi peribahasa adalah sebagai proses penalaran akal sehat (process of common-sense reasoning). Dalam disertasinya, Gokhan (1992) membagi dan membuktikan enam fungsi peribahasa yaitu fungsi kritik (criticism), nasihat (advice), gosip (gossip), penggambaran (Illustration), kesenangan (consolation) , dan cermin diri (selfreflection). Penelitian Gokhan ini menggunakan metode etnografi terhadap masyarakat bahasa Turki di Turki. Secara spesifik dalam bukunya The Function of Proverbs in Discourse”, Barajas (2010) menguraikan empat fungsi peribahasa yaitu untuk mendukung klaim argumentasi mengenai perilaku, mengajarkan atau menawarkan contoh dengan cara nasihat, membangun hubungan interpersonal, dan menghibur pendengar lewat keindahan puitis peribahasa. Dengan mengutip Brown dan Levinson, Barajas sepakat bahwa dampak positif peribahasa berkat bentuk ketidaklangsungan yang dimilikinya dapat menyelamatkan muka lawan tutur (Barajas, 2010: 104) dalam merespons persoalan kehidupan yang dialami penutur atau lawan tutur. Secara developmental, peribahasa dilihat dari perspektif pertumbuhan, perkembangan, dinamika, vitalitas, produktivitas, hambatan, kebertahanan, atau
25
tantangannya. Beberapa ahli yang menulis topik ini, antara lain, adalah Kuusi (1998), dan Chateris-Black (1999). Kuusi (1998) mendeskripsikan masalahmasalah penelitian peribahasa menyangkut peribahasa pinjaman. Kussi berupaya menelusuri jejak peribahasa pinjaman yang terdapat dalam peribahasa Finlandia, apakah berhubungan dengan peribahasa Belarusia-Ukraina dan sebagainya. Demikian pula di dalam tulisannya dapat diidentifikasi 50 peribahasa yang identik antara peribahasa Skandinavia dan Finlandia berkaitan dengan bidang hukum dan keadilan. Walaupun sulit dijelaskan, menarik menurut Kussi temuan peribahasa “No rose without a thorn” (Tidak ada bunga mawar tanpa duri) yang tersebar ke Eropa ke dalam berbagai bahasa seperti dalam peribahasa Swedia “Ingen ros utan tornen”, Norwegia “Inga rose utan torn”, Denmark “Ingen rose iden torne”, Jerman “Keine rose ohne dornen”, Belanda “Geene rozen zonder doornen”, Perancis “Il n’y a pas de roses sans epines”, Spanyol “No hay rosa sin espinas”, Portugis “Nao ha rosas sem espinhos”, Italia “Non c’e rosa senza spine”, Romania “Nu e rosa fara spini”, dan Rusia “Nyet rozy bez sipov”. Persebaran peribahasa ini menjadi perhatian Kuusi bukan perbandingannya. Chateris-Black (1999) dalam artikelnya “The Survival of English Proverbs: A Corpus Based Account” meneliti peribahasa Inggris sebagai bentuk dasar dari sejumlah varian yang terdapat dalam korpus kata. Korpus yang dipakai adalah Bank of English yang memuat 330 juta kata, 80%nya korpus tulis dan 20% korpus lisan. Kutipan peribahasa “A new broom sweeps clean” (Sapu baru menyapu bersih) misalnya hanya muncul dua kali dalam korpus 330 juta kata tersebut
26
dibandingkan new broom yang muncul 110 kali dalam penjelasan terhadap manusia atau lembaga. Simpulan Chateris-Black adalah bahwa new broom adalah variasi yang menjadi bentuk dasar peribahasa. Bentuk dasar adalah bentuk kolokasi yang secara leksikal dan sintaktik tidak bisa dimodifikasi. Dalam kajian korpus ini, ia juga menemukan peribahasa yang paling sering ditemukan, lima di antaranya adalah “First come, first served” (pertama datang pertama dilayani), “Forgive and forget” (maafkan dan lupakan), “Money talks” (uang berbicara), “First thing first” (sesuatu yang pertama utamakan), dan “Small is beautiful” (kecil adalah indah).
Kajian korpus online seperti ini menurut penulis tentu saja
spekulatif karena semua informasi bisa masuk sehingga sulit membedakan mana yang peribahasa mana yang bukan, kecuali peneliti mempunyai ukuran dan cara menentukannya. Menurut Doyle (2003) dalam tulisannya “On New Proverbs and the conservativeness of proverb dictionaries”, semua kamus peribahasa konservatif alias ketinggalan zaman kecuali kamus terbaru. Jika tidak diperbarui, kamus hanya memuat entri peribahasa sebelum tahun penerbitan. Dari hasil observasi perbandingan kamus Doyle menemukan sejumlah peribahasa baru pada edisi 182 “ The Concise Dictionary of Proverbs”
termasuk misalnya peribahasa
“Garbage in garbage out” (Sampah masuk, sampah keluar), “Life begins at forty” (Hidup mulai dari empat puluh), dan “Different stroke for different folks” (Pukulan berbeda untuk rakyat berbeda).
27
Honeck dan Welge (2003) dalam “Creation of proverbial wisdom in the laboratory” berpandangan bahwa individu bisa menciptakan peribahasa dengan teknik tersendiri. Ada lima proses penciptaan peribahasa yang diusulkan Honeck dan Welge (2003: 225), yaitu pengalaman peristiwa yang bisa memunculkan pikiran ideal, penumpukan mental terhadap sesuatu yang ideal, penerjemahan sesuatu yang ideal itu ke format peribahasa, pemindahan format peribahasa ke komunitas sosial yang lebih besar, dan dukungan sosiohistoris kepada bentuk yang diusulkan. Berdasarkan eksperimen di laboratorium,
sejumlah peserta
berhasil mentransformasi bentuk ideal ke dalam peribahasa, misalnya tercipta peribahasa “Seeds are more glorious than gold” (Bibit lebih luar biasa daripada emas) dan “Conserve those things that have the most potential value” (Rawat benda-benda yang mempunyai nilai paling potensial). Hanya saja peribahasaperibahasa ini belum memasuki tahap keempat dan kelima seperti yang diusulkan penelitinya. Sebenarnya ahli yang paling integrated dalam mengamati perkembangan peribahasa baik di tingkat lokal dan nasional di Amerika dan Jerman, maupun internasional adalah Wolfgang Mieder. Dari sejumlah karyanya yang berbahasa Inggris dan Jerman ditelusuri bagaimana peribahasa bermigrasi dari satu negara ke negara lain (Mieder, 2000) dalam “The apple doesn’t fall far from the tree,” history of a German Proverb in the Anglo-American World”10, kemudian bagaimana
10
Dengan dasar analisis komparatif dan historis yang cermat, di dalam tulisan ini ditunjukkan bagaimana peribahasa Jerman ini menapaki jalannya hingga sampai di Amerika Serikat. Banyak rujukan kontekstual disebutkan seperti karya sastra dan media massa yang membutktikan
28
peribahasa berkembang dari sebuah bangsa, ke tingkat internasional dan global (Mieder, 2005) dalam artikel “Different Stroke for Different Folk”: American Proverbs as an International, National, and Global Phenomenon”, dan bagaimana peribahasa mentransformasi dirinya menjadi bentuk baru (Mieder, 1987) dalam artikel “The Proverb in the Modern Age: Old Wisdom in New Clothing”, termasuk pengamatannya yang mendalam tentang kebertahanan peribahasa (Mieder, 1993) dalam bukunya “Proverbs Are Never Out of Season: Popular Wisdom in the Modern Age”. Dari tulisan-tulisan itu jelas tergambar bagaimana peribahasa merupakan bentuk penggunaan yang dinamis, bergerak, tersebar, digunakan, dan mengalami perubahan bentuk.
Model-model penelitian Mieder ini banyak
menginspirasi penulisan disertasi ini terhadap objek kajian peribahasa Indonesia, termasuk dialektikanya. Secara stilistika, peribahasa dapat dilihat dari gaya penciptaannya. Dari penelusuran kepustakaan yang ada, tidak banyak yang tertarik mendalami gaya (figure of speech) peribahasa ini. Mereka kebanyakan hanya menunjukkan bahwa peribahasa mencirikan gaya retorika. Sebutlah, Taylor (1999), misalnya, menggambarkan kajian gaya semacam ini sebagai kajian metrik bahasa seperti pertentangan (contrast), kiasan (metaphor), ritme, aliterasi, personifikasi, paralelisme, dan korelatif. Gaya-gaya retorika ini disebutkan sebagai kajian yang menarik dalam peribahasa. Dari sejumlah puluhan gaya bahasa, Norrick (1985:
perpindahan peribahasa tersebut, di samping teks-teks tambahan diambil dari arsip-arsip folklor yang belum terbit, dan sejumlah rujukan yang berasal dari pelacakan komputer database (lih. Mieder, 2000).
29
109-136) hanya membahas lima ciri peribahasa yang kemudian disebutnya peribahasa sinekdoke (misalnya “The early bird catches the worm” [Burung yang paling duluan mendapat cacing]), peribahasa metaforis (misalnya “Fair play is a jewel” [Bermain jujur adalah permata]) , peribahasa metonimi (“Far from eyes, far from heart” [Jauh dari mata, jauh dari hati]), peribahasa hiperbola (misalnya “One father is more than one hundred schoolmasters” [Satu ayah lebih dari seratus kepala sekolah]) , dan peribahasa paradoks (misalnya “A man’s house is heaven and hell as well” [Rumah manusia adalah sorga dan juga neraka]). Wamitila (2000: 418) menyinggung
gaya-gaya peribahasa seperti
antitesis, hiperbola, paradoks, dan oksimoron yang sebagiannya tidak dibicarakan Norrick (1985). Mengacu pada Norrick, Wamitila membahas gaya peribahasa dalam kategori yang berbeda. Jika Norrick murni melihat gaya dalam ranah stilistika, Wamtila (2000: 420-422) melihatnya dalam ranah semantik. Ada lima jenis peribahasa yang dideskripsikan yaitu peribahasa paradoks (misalnya “Missing the way is the best way knowing it” [Tersesat jalan adalah jalan terbaik untuk mengetahuinya]), peribahasa hiperbolik (misalnya “If you fail to fill in a crack you will build a wall” [Kalau Anda gagal menambal yang retak Anda akan membangun dinding]), peribahasa metaforis (misalnya, “Youth is smoke, when it blows it never comes back” [Pemuda adalah asap, ketika dia berhembus tidak pernah kembali lagi]), peribahasa sinekdoke/metonimik (misalnya, “A ring is put on the good finger” [Cincin ditaruh di jari yang baik]), dan peribahasa similitatif (misalnya, “Fortune is like an accident, it comes unexpectedly” [Nasib seperti
30
kecelakaan, dia datang tanpa diduga]). Dari kajian stilistika di atas disepakati bahwa salah satu ciri peribahasa yang tipikal adalah pemarkah gayanya. Pada bagian lain disertasi ini juga akan didiskusikan perihal gaya retorika peribahasa dalam konteks peribahasa Indonesia. Ada sepuluh gaya yang mewakili yaitu aliterasi, rima, simile, kontras, paralelisme, reduplikasi, elipsis, hiperbola, personifikasi, dan gaya korelatif. Kendatipun dalam judul disertasinya Jaradat (2007) tidak mencantumkan stilistika, ia membicarakan satu bab khusus dengan gaya dalam konteks peribahasa Arab Yordania. Empat gaya yang dibahas adalah gaya paralelisme, elipsis, repetisi, dan rima. Menurut temuannya, gaya dan struktur berkaitan erat dalam mendefinisikan peribahasa. Hubungan kedua fitur kebahasaan itu terlihat dari struktur biner (binary structure) pada gaya paralelisme dan rima. Gaya paralelisme ini ditemukan lebih banyak daripada gaya peribahasa lainnya dalam bahasa Arab Yordania. Kajian-kajian peribahasa yang sudah dibicarakan di muka terbagi atas kajian tekstual, kajian kontekstual, dan kombinasi keduanya. Kajian tekstual melihat peribahasa sebagai teks, objek yang dikaji sehingga perhatian peneliti tertuju pada teks peribahasa yang telah terdokumentasi, untuk kemudian mengklasifikasikannya dan menganalisis sesuai dengan fokus yang diminati. Sementara itu, kajian kontekstual lebih melihat peribahasa sebagai konteks dalam sebuah komunikasi yang lebih luas. Kehadiran peribahasa dikaji bukan sebagai core dari teks, melainkan sebagai entitas yang berdaya peran dalam
31
memengaruhi teks utama yang biasanya bukan peribahasa.
Di samping secara
tekstual dan kontekstual, kajian peribahasa juga dilakukan secara intertekstual (Winick, 2003: 571). Dalam pendekatan ini, peribahasa dihadirkan bersama teks lain yang mengacu pada teks peribahasa itu. Kemungkinan kajian interteks peribahasa muncul dalam berbagai representasi berupa repetisi teks dari konteks sebelumnya, imitasi dengan membentuk frasa atau kalimat baru dari teks sebelumnya, dan penggunaan gaya bahasa dari ungkapan kearifan sebelumnya (Winick, 2003: 595). Di luar itu, kajian interteks peribahasa bisa mencakup pelesetan peribahasa, peribahasa humor, parodi peribahasa, permainan peribahasa atau antiperibahasa, Kajian peribahasa secara tekstual dan kontekstual dilakukan oleh Arimi (2000a) dalam tulisan yang berjudul “Pemanfaatan Peribahasa dalam Berita Ringan dan Kolom Pojok”.
Di dalam tulisan
ini diargumentasikan bahwa
penggunaan peribahasa merupakan strategi jurnalistik dalam menyajikan tipe berita-berita ringan atau kolom pojok agar lebih informatif, persuasif, dan rekreatif.
Penggunaan peribahasa dalam ragam jurnalistik ini merupakan
strategi komunikasi agar materi pemberitaan itu tidak mudah dilupakan oleh masyarakat pemakainya, di samping tentunya menjadi lebih enak dibaca. Perhatikanlah satu cuplikan berita ringan berikut ini. Rektor UGM Soal Pemilihan Presiden Jangan’Seperti Beli Kucing dalam Karung’ Jakarta (KR) –Pengamat politik yang juga rektor UGM, Prof Dr. Ichlasul Amal mengatakan, seorang calon presiden (capres) mendatang selayaknya terlebih dahulu berorasi
32
menuangkan pikiran dan program-programnya di depan anggota MPR saat SU MPR 1999 agar kualitasnya teruji secara jelas. Kalau ide itu terwujud, istilah ‘beli kucing dalam karung’ tidak berlaku dalam pemilihan presiden. (KR, 1 Juli 1999)
Penggunaan peribahasa “membeli kucing dalam karung” (Brataatmadja, 1985: 255) di atas menyatakan bahwa pemilihan presiden hendaklah dilakukan dengan teliti dan hati-hati. Presiden yang dipilih tentunya harus diketahui kualitasnya dan teruji kemampuannya agar ia dapat memimpin bangsa ini dengan baik dan sesuai dengan idealisme masyarakat (Arimi, 2000a: 8). Tulisan ini menganalisis bahwa melalui pemanfaatan peribahasa, isu-isu yang terkesan berat dan membebani seperti isu politik menjadi enak digulirkan, demikian pula isu ekonomi sampai hiburan dan percintaan menjadi sangat ringan dibicarakan. Di samping itu, terdapat pula kajian peribahasa intertekstual yang perlu disajikan di sini seperti pada tulisan Desari (1994) yang berjudul “Peribahasa Humor: Tinjauan Sosiolinguistik”. Berangkat dari kajian penggunaan peribahasa kontemporer, penulisnya mengamati bagaimana aspek kulucuan itu muncul lewat transformasi bentuk dan makna peribahasa. Menurut pendapat Desari, aspek kelucuan itu terjadi karena peribahasa asal diubah dengan cara substitusi, delesi, dan penambahan, sedangkan unsur-unsur yang diubah ialah berupa kata, frasa, kata majemuk, dan klausa. Faktor penyebab perubahan suatu unsur, menurutnya, berkaitan dengan keindahan bunyi, kolokasi, dan homonimi.
33
Dalam beberapa kesempatan Wijana menulis perihal
peribahasa
Indonesia dalam kaitannya dengan teks lain, yaitu peribahasa humor (Wijana, 1998), plesetan peribahasa (Wijana, 1999b), permainan bahasa (Wijana 2003), plesetan peribahasa sebagai wahana kritik sosial (Wijana, 2004), dan permainan peribahasa (proverbial puns) (Wijana, 2009). Hampir seluruh kajian itu menyangkut tema problema seksual. Tulisan Wijana (1999b) yang berasal dari penelitian monograf (1998) ini membicarakan tema seksual tidak hanya dalam arti aktivitas seksual, tetapi juga menyangkut aktivitas yang berhubungan dengannya, seperti alat kelamin, bagian tubuh yang berkaitan atau berasosiasi dengan aktivitas seksual tersebut, pelaku seksual, kenikmatan seksual, ketidakmampuan seksual, penyelewengan, dan berbagai tindakan amoral lain serta akibat buruk yang dapat atau mungkin ditimbulkannya. Menurut Wijana, plesetan peribahasa di samping dipergunakan untuk tujuan berhumor, juga dikreasikan untuk maksud yang lebih penting, yakni sebagai alat koreksi terhadap aneka permasalahan sosial yang telah atau mungkin akan berkembang di tengah masyarakat pemiliknya (lih. Wijana, 2004). Sehubungan dengan pentingnya peranan peribahasa, secara persuasif Wijana mengatakan
bahwa bentuk sarana kritik semacam itu harus
dikembangkan. Hanya saja, keberhasilan pengembangannya tentu harus didahului dengan keberhasilan pelestarian, pemasyarakatan dan pengembangan peribahasa konvensional. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa peribahasa sebagai warisan nenek moyang ini pada masa sekarang frekuensi pemakainya
34
sudah jauh berkurang, namun sejumlah di antaranya masih tersimpan dalam ingatan pemakai bahasa Indonesia sekarang ini sebagai repertoar kebahasaan. Dari penelusuran kajian-kajian terkait di atas, belum terdapat analisis peribahasa
Indonesia
menyangkut
karakteristik,
kategorisasi, pola kognisi, dan vitalitasnya.
model
pemahaman,
Skema kajian disertasi ini
menawarkan analisis dengan perspektif yang dimaksud. 1.6 Landasan Teori Peribahasa, sebagaimana bahasa itu sendiri, adalah fakta sosial dan budaya. Berdasarkan pengamatan para ahli, hampir semua bahasa -- mungkin juga dapat dipastikan semua bahasa (Peukes, 1977; Crystal, 199211) --
memiliki
elemen kearifan yang disebut peribahasa ini (Asher, 1994; Mieder, 1989; 1992; 1999). Di samping peribahasa diidentifikasi sebagai gejala yang umum pada setiap bahasa, namun ia dibentuk menurut budaya yang melingkupinya (bdk. Jaradat, 2007: 12)12. Oleh karena itu, peribahasa merupakan bagian spesifikasi budaya (cultural specific) dalam suatu masyarakat bahasa. Sebuah masyarakat bahasa yang hidup dengan budayanya yang dinamis, pemakaian peribahasa juga diasumsikan mengalami dinamika yang sama. Seiring dengan hidup dan 11
David Crystal (1992: 53) mengatakan bahwa “In every culture there are nuggets of popular wisdom, expressed in the form of succinct sayings. There are usually referred to as proverbs, though several other terms are also used (e.g. adage, maxim, precept)” ( Di setiap budaya ada penggalan kearifan populer, yang diungkapkan dalam perkataan ringkas padat. Bentuk-bentuk itu biasanya mengacu pada peribahasa, meskipun beberapa istilah lain digunakan (misalnya adagium, maksim, precept). 12
Jaradat (2007: 12) mengatakan “proverbs are the reflection of culture and a treasury of its values, traditions, customs, beliefs and above all language” (Peribahasa adalah cerminan budaya dan merupakan kekayaan akan nilai, tradisi, adat kebiasaan, kepercayaan dan lebih dari itu dalam semua bahasa).
35
dinamisnya bahasa dan budaya suatu masyarakat, penggunaan peribahasanya juga dipandang tidak statis, bergerak mengikuti riak perkembangan sosial budaya yang melingkupinya. Mieder (1993) dari penelitiannya yang intensif membuktikan bahwa peribahasa adalah kearifan pada abad modern ini yang tidak pernah ketinggalan zaman, “proverbs are never out of season”. Dengan maksud yang sama Moran dan O’Connel (2006) mengatakan bahwa peribahasa adalah “timeless wisdom”. Peribahasa sekalipun klasik sifatnya, sebagaimana sejumlah gejala kebahasaan lain, mengalami adaptasi dan inovasi semacam itu. Peribahasa dengan vitalitasnya bersifat terbuka dalam merespons zaman. Oleh karena keterbukaan itu, peribahasa tidak hanya dipakai (use), tetapi juga mengalami pergeseran (misuse), dikukuhkan ulang (reuse), bahkan dimanipulasi (abuse). Oleh karena itulah, peribahasa dalam komunikasi secara adaptif dipahami sebagai teks, di samping sebagai konteks dan interteks dalam skema komunikasi yang lebih luas. Mengacu pada tipologinya yang khas, peribahasa justru dikenal sebagai repertoar kebahasaan masyarakat yang tidak semua orang cakap atau terampil menggunakannya. Adagium Lord John Russels dengan tepat menggambarkan eksistensi peribahasa ini sebagai “the wit of one, the wisdom of many” (Kebolehan seseorang, kearifan orang banyak). Artinya, kendatipun peribahasa adalah gejala pemakaian bahasa yang dikenali umum, kecakapan dalam menggunakannya tidak dimiliki secara masif. Lebih dalam realitas sosial ini dipahami bahwa tidak semua orang terampil dalam mengingat bentuk dan urutan metafora peribahasa
36
yang banyak, memahaminya lalu mengaplikasikannya pada wacana kehidupan, lalu dengan tepat memfungsikannya sebagai instrumen nasihat, penguat gagasan, pemaksa, peringatan, atau sekadar penghias, dekorasi keindahan berbahasa belaka. Mengacu peribahasa sebagai teks, untuk sementara dipisahkan dari konteks sosial budaya yang melingkupinya, peribahasa bertahan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang mapan karena kandungan kearifannya. Pikiran-pikiran yang terbangun dari kearifan peribahasa itu ditelusuri dari relasi-relasi yang merangkai keutuhan peribahasa itu, bentuk, makna, maksud, dan informasi. Bentuk (form) adalah lapisan bahasa terluar yang secara kasatmata dan kasattelinga dapat diamati. Kemunculan bentuk peribahasa yang bermacammacam bergantung pada perspektifnya membangun identitas keperibahasaan. Sejumlah karakteristik sintaktik, semantik, pragmatik, kognitif, historis, tradisi, dan fungsional berkontribusi membangun teks peribahasa yang tipikal. Begitu pula, sejumlah kategorisasi formal yang membentuk gugus nilai dalam tiap ruas peribahasa (afirmatif, negatif, interogratif, dan imperatif), penalaran bentuk dan maknanya, elemen metafora dan gaya (retorik dan kias) membangun identitas peribahasa secara tekstual. Makna adalah lapisan dalam bahasa. Makna ditelusuri dari bentuknya sendiri, di samping dari interaksi antara bentuk dan bentuk, juga dari relasi antara kombinasi bentuk dan situasi sosial yang membangunnya. Oleh karena itu,
37
untuk mendapatkan makna kontekstual yang kompatibel sejumlah variabel bentuk,
relasi antarbentuk, dan situasi serta pikiran partisipan bersinergi
membangun makna yang utuh. Sementara itu, maksud (speaker’s meaning) menurut Steinhaur adalah bayangan dalam otak penutur yang ingin dicapainya melalui tuturan yang disampaikannya dalam konteks dan situasi pemakaian bahasa yang kongkret (via Alwi, 1992: 34). Berbeda dengan maksud, tafsiran merupakan “hasil kegiatan otak mitra tutur dalam situasi pemakaian bahasa yang tertentu berdasarkan makna konstruksi yang bersangkutan serta pengalaman dan pengetahuannya dan informasi yang diperolehnya dari konteks dan situasi pemakaian konstruksi itu” (Alwi, 1992: 34). Hasil olahan makna dan maksud yang ditafsirkan itu terwujud dalam informasi. Jadi, informasi adalah kandungan makna atau maksud dari perihal satuan bahasa. Informasi peribahasa bisa disegmentasikan ke dalam tema-tema (lih. Kuusi, 1972; Arimi, 2000) Baik makna, maksud, tafsir, dan informasi yang dikemukakan di atas merupakan piranti untuk memahami segenap pikiran (mind ) yang dihasilkan peribahasa sebagaimana dikatakan telah membaku pemakaiannya dan telah diwariskan secara turun-temurun itu. Pikiran dipahami sebagai aktivitas berpikir (thinking) dan mengenali (knowing) bukan aktivitas merasakan (feeling), menginginkan (wanting), atau proses-proses yang bersifat jasmaniah lainnya (Wierzbicka, 1992: 45). Adapun rumusan eksplikasi pikiran menurut Wierzbicka (ibid.,) adalah sbb: Mind One of two parts of a person One cannot see it Because of this part, a person can think and know. Kandungan pikiran peribahasa
38
karena telah mengalami pewarisan bentuk dan makna merupakan informasi yang tidak lagi dimiliki individual, tetapi sosial dari sebuah masyarakat bahasa. Secara siklus, pikiran-pikiran yang dirunut dari empat unsur di atas (bentuk, makna, maksud, dan informasi)
mempunyai daya
produksi untuk melahirkan kembali sebuah
peribahasa. Artinya, mengidentifikasi peribahasa berarti mengidentifikasi pikiran. Begitu pula dalam konteks wacana keperibahasaan, mengidentifikasi pikiran berarti mengidentifikasi peribahasa.
Pikiran-pikiran dalam peribahasa berdasarkan analisis tekstual, dan kontekstual, semestinya terpola dan dapat distrukturkan. Logikanya, kearifan yang terpatri (default) di dalam peribahasa terbangun dari pilar-pilar pikiran yang saling terkait. Penelusuran pikiran-pikiran itu dapat dilakukan dengan mengenali bentuk, makna, maksud, dan informasi yang berinteraksi satu sama lain dalam sebuah kondisi. Semakin banyak kondisi-kondisi alam, sosial, dan budaya masyarakat yang terabstraksikan semakin mudah menemukan struktur kognitifnya. Di dalam disertasi ini struktur kognitif peribahasa yang ditemukan menyangkut tiga pikiran, yaitu pikiran kausalitas (sebab-akibat), pikiran konseptual (definisi), dan pikiran pengandaian (imajinasi). Lebih spesifik lagi, peribahasa terbentuk dalam kerangka metafora untuk inteligensi dan inteligensi dalam bentuk ketidaklangsungan. Dalam semua bentuk bahasa figuratif menurut Honeck (1997) terdapat hubungan tidak langsung, nonliteral antara “peribahasa” apa yang dikatakan dengan “perihal” apa yang dikatakan dan bagaimana “niat” dalam mengatakannya. Oleh karena itu, ada
39
proses
kognitif
dasar
pada
setiap
penggunaan
peribahasa.
Menurut
pandangannya, peribahasa muncul dan berfungsi untuk memuaskan dorongan biokognitif dasar dalam mengodifikasi dan menjelaskan keadaan dunia yang relatif sebagai bentuk-bentuk yang ideal (Honeck, 1997). Peribahasa tidak muncul dalam satu masyarakat bahasa saja. Kearifan yang menyertai peribahasa berasal dari setiap masyarakat yang memiliki bahasa yang hidup dan terbuka. Peribahasa diciptakan sebagai kearifan yang mencirikan identitas masyarakat pemakainya itu. Peribahasa yang dipakai oleh masyarakat secara esensial memetakan pola pemikiran masyarakat. Ketika terjadi kontak bahasa karena intersecting antarmasyarakat kemungkinan siapa dan mengapa membawa dan menggunakan kearifan yang sama atau berbeda itu membaurkan keaslian dan historisitas peribahasa itu. Koeksistensi bisa saja terjadi di manamana tanpa memandang masyarakat bahasa itu berada di wilayah kebahasaan, kebudayaan, atau kebangsaan tertentu. Namun demikian, integrasi peribahasa juga sangat mungkin terjadi sebagai akibat kontak bahasa dan budaya dengan alasan-alasan tertentu. Studi terhadap perbendaharaan peribahasa suatu masyarakat yang disandingkan lalu dibandingkan dengan perbendaharaan peribahasa dari masyarakat bahasa berbeda mengemukakan fakta persamaan dan perbedaan pola bentuk dan makna lintas-peribahasa. 1.7 Metode Penelitian Mengkaji peribahasa dengan konteks komunikasinya tidak berarti dapat melepaskan konteks masyarakat pengguna peribahasa itu dengan serta merta.
40
Sejalan dengan pemikiran Lefkowitz (2004: 5) yang mengatakan bahwa mengkaji bahasa dengan mempelajari masyarakatnya pada waktu yang sama adalah mengkaji masyarakat dengan mempelajari bahasanya. Secara lebih khusus dalam konteks metodologis penelitian ini, mengkaji peribahasa dengan mempelajari masyarakat penggunanya pada waktu yang sama adalah mengkaji masyarakat dengan mempelajari peribahasanya. Penelitian disertasi ini diproyeksikan mampu mengamati hubungan-hubungan peribahasa itu dengan perilaku masyarakat penggunanya ketika berkomunikasi dan berpikir melalui peribahasa. Geeraerts, et.al (2010: 1) merumuskan penelitian seperti dikemukakan di atas mestinya berdasarkan pada penelitian empirik yang kokoh dengan teknik berbasis-korpus mendalam, dan metode penelitian survei atau kombinasinya. Penelitian untuk disertasi ini menggunakan metode seperti yang dikemukakan Geeraerts, et.al tersebut. Penelitian dilakukan terhadap data yang diperoleh dari korpus yang tidak terbatas korpus tertulis yaitu kamus dan media massa, tetapi juga korpus lisan yaitu pemakaian peribahasa pada situasi dan peristiwa tutur tertentu. Data dari korpus lisan diperoleh dengan wawancara terhadap informan terpilih. Kemudian, penelitian survei dilakukan untuk mendapatkan informasi, gambaran tentang objek kajian dari sejumlah responden dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk kuesioner. Secara lebih rinci perihal desain penelitian ini diuraikan sebagai berikut. Pertama kali sebelum menyusun desain penelitian, ide riset tentang peribahasa didukung dengan kajian kepustakaan awal baik menelusuri
41
paremiologi (kajian peribahasa) maupun paremiografi (kumpulan peribahasa), kemudian menemukan masalah dan merumuskannya, baru selanjutnya menyusun rancangan desain penelitian sembari mendalami data dan kajian yang relevan. Desain penelitian yang dimaksud menyangkut objek kajian, jenis dan sumber data, metode penyediaan data, proses analisis data, dan penyajian hasil analisis. 1.7.1 Objek Kajian Objek kajian dapat dibagi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material penelitian adalah bahan fisik yang kasatmata dan data kasattelinga. Objek formal adalah pokok masalah mengenai bahan yang diteliti. Berangkat dari rumusan masalah yang dikemukakan pada 1.2 dan tujuan penelitian pada 1.3 penelitian ini mengambil peribahasa sebagai objek material, sedangkan satu pokok masalah tentang identitas peribahasa dan empat submasalahnya yaitu ciri-ciri dan pemahaman peribahasa, kategorisasi linguistik peribahasa, pola kognisi peribahasa, dan repertoar kontekstual peribahasa ditentukan sebagai objek formal penelitian ini. Hubungan kedua objek ini dapat dilihat pada bagan berikut.
42
(1)
Ciri-Ciri dan Pemahaman
(4) Pola Kognisi
(Identitas) Peribahasa
(2) Kategorisasi
(3)
Repertoar Kontekstual
Bagan 1.1 Objek Material dan Objek Formal Penelitian
1.7.2 Data: Jenis dan Sumbernya Data dalam penelitian ini berupa peribahasa dan konteks pemakaiannya. Ada dua jenis data peribahasa dan nonperibahasa yang dikumpulkan dari penelitian ini yaitu data dokumen yang berasal dari penelusuran kepustakaan, dan data lapangan yang berasal dari repertoar kebahasaan masyarakat di ranah bahasa dan budayanya. Data dokumen berwujud media cetak, sedangkan data lapangan berwujud hasil wawancara, hasil kuesioner, dan hasil pengamatan. . Kedua jenis data ini merupakan korpus tulis dan korpus lisan. Sumber-sumber data juga terbagi atas dua kelompok. Data dokumen bersumber dari kamus, novel, majalah, leaflet, dan surat kabar yang teramati di dalamnya ada data peribahasa tanpa menyempitkan rentang tahun penerbitan.
43
Ukuran penghentian pengumpulan data adalah ketercukupan data. Kemudian, data lapangan bersumber dari peristiwa tutur berupa hasil wawancara, hasil pertanyaan dan jawaban, hasil pengamatan misalnya lagu, laman (website), surat elektronik (email), dan tayangan televisi yang diunduh dari youtube.com. Selengkapnya sumber data dapat dilihat sebagai berikut. 1.7.2.1 Sumber Data Dokumen a) Abbas, S.R.S. 1987. Kamus Peribahasa. Bandung: Penerbit Angkasa. b) Akiyama, Aisaburo. 1935.
Japanese Proverbs and Proverbial Phrases.
Kyoto, Japan: Japan Welcome Society (Kinki Kanko Kyokai). c) Aman. 1959. 500 Pepatah, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka Jakarta. d) Badudu, J.S. 2008. Kamus Peribahasa, Memahami Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah dan Ungkapan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. e) Brataatmadja, Heroe Kasida, 1985, Kamus 5000 Peribahasa Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. f) Collis,
Harry.
1992.
101
American
English
Proverbs.
Illonois:
NTC/Contemporary Pusblishing Group, inc. g) Cox, H.L.,
A.M.A. Cox-Leick., M.Hannay., dan Y.F.Hiemstra. 1992.
Spreekwoorden Boek in Zes Talen. Utrecht/Antwerpen: Van Dale Lexicographie. h) Hakim, Zainuddin. 1995. Peribahasa Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. i) Majalah Humor. Majalah Geer Nasional. Diterbitkan dan dicetak oleh PT. Temprint. Jakarta. (Periode Acak 1990-2000). Sekarang sudah tidak terbit. j) Notohamijoyo. Suharjo. 1993. Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
44
k) Paczolay, Gyula. 1997. Eruropean Proverbs in 55 Languages with Equivalents in Arabic, Persian, Sanskrit, Chinese and Japanese, Veszprem, Hungary: Veszpremi Nyomda RT. l) Pamuntjak, K.St., N.St. Iskandar., A.Dt. Madjoindo. 2000. Peribahasa. (Cetakan Kesebelas). Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. m) Pusposaputro, Sarwono. (Peny.). 1996. Kamus Peribahasa. (Cet. Keempat). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. n) Soerojo, Soegiarso. 1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. G.30S PKI dan Peran Bung Karno. Tanpa Kota: Tanpa Penerbit. o) Subro, Zunaidah. 1997. Patah Tumbuh Hilang Berganti. Sebuah Novel. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. p) Surat Kabar “Kedaulatan Rakyat”, Periode 2000-2005. Yogyakarta: PT. BP.Kedaulatan Rakyat. ISSN. 0852-6486. q) Surat Kabar “Kompas”, Periode 2000-2002. Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara. r) Triyono, Adi. 1988. Peribahasa dalam Bahasa Jawa. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. s) Visi Victory. Tanpa Tahun. 10 Sifat yang Tidak Disukai Orang lain. Sebuah Leaflet. t) Yayasan Percaka, Komunitas Urang Sunda di Internet. Di mana Bumi Dipijak di situ Langit Dijunjung. Sebuah Leaflet. Perlu dikemukakan di sini bahwa sumber data utama adalah dokumen yang memuat peribahasa Indonesia, sedangkan dokumen yang memuat peribahasa non-bahasa Indonesia dipandang sebagai sumber data tambahan untuk menjelaskan identitas peribahasa Indonesia secara intertekstual.
45
1.7.2.2 Sumber Data Lapangan a) Hasil wawancara terhadap orang-orang tua, kolega, sahabat dan mahasiswa (2000-2002; 2009-2010), b) Hasil survei dari pertanyaan dan jawaban kuesioner terhadap responden di Yogyakarta (Indonesia) pada rentang bulan April 2003 dan di Osaka (Jepang) pada rentang bulan Oktober 2003). c) Hasil pengamatan pemakaian peribahasa pada lagu-lagu (misalnya “Tong Kosong” vokal dan ciptaan Slank; “Jika” vokal dan ciptaan Melly Goeslow; ”Gali Lobang Tutup Lobang “ vokal dan ciptaan Rhoma Irama; “Pagar Makan Tanaman” vokal dan ciptaan Mansur S, ”Air Tuba” vokal dan ciptaan Mansur. S, ”Makan gak makan asal kumpul” ciptaan dan vokal Slan;, ”Sorga di bawah telapak kaki ibu” vokal Ike Nurjanah; ”Berakit-rakit” vokal Jamrud). d) Hasil pengamatan dari tayangan film lama ”Badai Pasti Berlalu” (1977) yang berasal dari novel karya Marga T (1974) diunduh dari youtube http://www.youtube.com/watch?v=NAeVlXJYWf0) durasi 1 jam 38 menit. Diakses 1 April 2014. Pukul. 19.00 s.d Selesai. e) http://politik.kompasiana.com/2013/06/29/siapa-menabur-angin-pastiakan-menuai-badai-573065.html. Diakses 4 Maret 2014. Pukul 14.00. f) http://id.wikiquote.org/wiki/Siapa_yang_menabur_angin,_akan_menuai_b adai. Diakses 4 Maret 2014. Pukul. 14.10.
46
g)
[email protected]. Diakses Tanggal 14 Januari 2004 Pukul 20.41. 1.7.3 Metode Penyediaan Data Data-data yang disebutkan di atas diperoleh berdasarkan metode simak (observasi), metode wawancara, dan metode survei. Berikut ini dijelaskan konsep, cara, dan hasil data yang diperoleh dari metode tersebut. Pertama, metode simak (observasi) adalah cara menyediakan data dengan menyimak, mengamati fenomena kebahasaan dalam sebuah dokumen atau peristiwa tutur tertentu. Sudaryanto (1993: 133) menyebutkan istilah metode simak13 ini sejajar dengan metode pengamatan atau observasi. Untuk menghasilkan data, metode penelitian ini didukung dengan teknik catat, teknik kliping, dan teknik unduh14. Data-data yang berhasil diperoleh dari metode ini menyangkut data karakteristik peribahasa, kategorisasi peribahasa, repertoar kontekstual, dan pola kognisi.
13
Istilah metode simak ini kemudian diikuti oleh Subroto (1992) dalam buku Pengantar Metode Penelitian Struktural, lalu Djajasudarma (1993) dalam buku Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, dan Mahsun (2005) dalam buku Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. 14 Teknik catat (note-taking technique) adalah cara mendapatkan data dengan menuliskan hasil penyimakan atau pengamatan dalam buku catatan, kemudian teknik kliping (clipping technique) adalah cara mendapatkan data dengan menggunting atau memotong tulisan atau dokumen khusus yang sesuai objek kajian yang diinginkan lalu mengumpulkannya dalam sebuah klasifikasi, sedangkan teknik unduh (downloading technique) adalah cara mendapatkan data dengan mengunduh tayangan atau dokumen dari laman internet.
47
Kedua, metode wawancara (interview)15 adalah cara penelitian dengan berinteraksi wicara antara peneliti dan informan untuk mendapatkan data peribahasa
sesuai
rumusan
masalah
dan
tujuan
penelitian
mengenai
pemahaman, pengetahuan, penggunaan dan produktivitas peribahasa. Orangorang yang diwawancarai adalah orang-orang yang diasumsikan mengetahui tentang peribahasa dan penggunaannya seperti orang-orang tua, kolega, sahabat, dan mahasiswa. Teknik lanjutan yang digunakan dalam metode wawancara ini adalah teknik pancing16, dan teknik catat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah: ”Apa itu peribahasa”; ”Bagaimana Anda menggunakan peribahasa dalam komunikasi”; ”Saat apa peribahasa dapat dipakai”, ”Apa contoh peribahasa Indonesia”; ”Apa contoh peribahasa non-Indonesia (daerah atau asing) yang Anda ketahui”; dan ”Apakah peribahasa a-b-c Anda kenal (misalnya ”Apakah Anda kenal dan tahu arti peribahasa Salah gelogok hulu malang, pandangi bertenggang hulu baik ”?)”. Data yang berhasil diperoleh dari metode wawancara ini berkaitan dengan data karakteristik dan repertoar keperibahasaan kontekstual. Ketiga, metode survei adalah cara mendapatkan data dengan membuat pertanyaan mengenai pendapat, pandangan, dan contoh pemahaman responden.
15
Sejumlah ahli yang menyebut nama metode ini tanpa merujuk satu sama lain termasuk Koentjaraningrat (1994: 129), Banister, et.al (1994: 49), Moleong (2000: 135), Nasution (2004: 113), dan Nawawi (2005: 111). 16 Teknik pancing (eliciting technique) adalah cara untuk mengkondisikan, memotivasi, memicu informan untuk memberi informasi yang diharapkan peneliti.
48
Metode survei17 ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari lebih banyak responden (Babbie, 1996: 256; Arimi, 2009: 440) dibandingkan dengan metode wawancara. Dalam penelitian ini diajukan pertanyaan dan perintah tertulis ”Apa itu peribahasa” dan ”Sebutkan contoh peribahasa yang paling Anda ingat!” kepada 65 orang responden yang terdiri atas orang-orang tua, kolega, sahabat, dan mahasiswa. Survei ini membuktikan eksistensi dan pemahaman peribahasa dalam komunikasi masyarakat. Data yang dihasilkan dengan metode survei ini adalah data repertoar kebahasaan dan definisi serta contoh peribahasa oleh pemakainya. 1.7.4 Proses Analisis Data Data yang tersedia diteliti dengan mengikuti proses sebagai berikut: koding, klasifikasi, analisis, dan uji hasil. Pada proses pertama dilakukan koding. Koding adalah proses menempatkan data pada pengelompokan yang ditentukan. Ketika melakukan koding, penganotasian dan pelabelan hanya dilakukan pada data-data yang bermarkah, misalnya di dalam kamus ditemukan data yang bukan peribahasa, diberi catatan dan label.
Hasil proses koding berdasarkan
kehadirannya pada teks dan konteks, data dikodifikasi menjadi data teks, data konteks, dan data interteks. Dilihat dari genrenya, data dikodifikasi ke dalam kelompok peribahasa, frasa, idiom, kata mutiara, klise, slogan, pantun, teka-teki, dan basa-basi. Dilihat dari ranah bahasa dan budaya pemakainya, dikelompokkan 17
Metode survei seringkali disebut pula metode angket (Arikunto, 1998: 229), atau metode kuesioner (Soemardjan dan Koentjaraningrat, 1994: 173). Metode angket adalah metode penyediaan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden dengan atau tanpa bertatap muka secara langsung (Arimi, 2009: 440).
49
ke dalam peribahasa Indonesia, peribahasa regional (nusantara), dan peribahasa asing. Dlihat dari kemunculannya dengan teks lain, data dikodifikasi ke dalam peribahasa Indonesia dan peribahasa asing (misalnya Inggris, Jepang, dan Belanda). Proses kedua yang dilakukan adalah klasifikasi. Klasifikasi dibedakan dengan proses koding. Jika koding dilakukan pada data, klasifikasi dilakukan untuk menghubungkan data dengan pokok masalah. Artinya, klasifikasi adalah proses pengelompokan data berdasarkan pokok masalah. Pada proses ini berhasil diklasifikasi data
menurut identitasnya berikut dengan empat
submasalah (1) ciri-ciri peribahasa dengan sejumlah pemarkah18, (2) kategorisasi linguistik peribahasa dengan 4 subkategori19, (3) pemolaan kognisi dengan pemarkah bentuk, makna, maksud, dan pikiran (4) repertoar peribahasa kontekstual dengan 2 kategori peribahasa global dan peribahasa nasional. Proses ketiga yang dilakukan adalah analisis. Berdasarkan klasifikasi yang telah tersusun, sejumlah analisis dilakukan untuk menghasilkan konstruksi nalar konseptual, proposisional, dan teoretis. Tipe analisis yang diaplikasikan adalah analisis deskriptif, analisis aplikatif, analisis eksploratif, analisis korelasional, 18
Sejumlah pemarkah itu melingkupi konstruksi frasa, atau kalimat, berbentuk kesepakatan tetap, berrelasi proposisional , bermakna figuratif dan literal, berpesan kearifan, berkognisi kolektif, bernilai masa lalu, berdaya waris, berupa paremiological minimum, berfungsi khusus (fungsi penasihat (advising), fungsi penguat gagasan (arguing ideas), fungsi pemaksa (coercing), fungsi peringatan (warning ), fungsi penghias teks (ornamenting text), dan berupa kutipan. 19 Berdasarkan bentuk dengan pemarkah afirmatif, negatif, interogatif, dan imperatif; berdasarkan penalaran dengan pemarkah logis, tidak logis, eksesif, paradoks, imajinatif; berdasarkan bonafiditas dengan pemarkah peribahasa bonafid, dan peribahasa semi-bonafid; berdasarkan gaya dengan pemarkah gaya aliterasi, rima, simile, kontras, paralelisme, reduplikasi, personifikasi, elipsis, hiperbola, dan korelatif.
50
analisis komparatif, dan analisis eksplanatoris. Analisis deskriptif adalah analisis memerikan gejala peribahasa yang kasatmata dan kasattelinga. Analisis aplikatif adalah analisis menerapkan teori ke dalam data. Analisis eksploratif adalah analisis menggali kedalaman data dan teori yang relevan dengan objek kajian. Analisis korelasional adalah analisis menghubungkan antarobjek (objek material dan objek formal). Analisis komparatif adalah analisis membandingkan data satu dengan data lain untuk menemukan hakikat wujud peribahasa. Terakhir, analisis eksplanatoris adalah analisis menjelaskan hubungan antarvariabel dalam objek kajian untuk menghasilkan dan mengujikan konstruk konseptual, proposisional, dan teoretis. Model analisis dan hasil kerja analisis-analisis tersebut diuraikan sebagai berikut. (1) analisis deskriptif pada ciri-ciri peribahasa dan contoh-contohnya menghasilkan matriks fitur pembeda peribahasa, dan analisis aplikatif teori kognitif dan metafora konseptual menghasilkan model pemahaman peribahasa, (2) analisis deskriptif pada kategorisasi peribahasa dan contoh-contohnya menghasilkan kategorisasi linguistik peribahasa20, (3) analisis deskriptif dan eksplanatoris terhadap gejala kemunculan peribahasa global dan peribahasa Indonesia menghasilkan konstruk konseptual akan kebutuhan kearifan, selain itu analisis korelasional terhadap gejala vitalitas peribahasa menghasilkan
20
Berdasarkan bentuk menghasilkan peribahasa gugus tunggal, dan gugus kombinasi, berdasarkan penalaran menghasilkan tipe peribahasa logis, tidak logis, eksesif, paradoks, imajinatif; berdasarkan bonafiditas menghasilkan tipe peribahasa bonafid, dan peribahasa semi-bonafid; berdasarkan gaya menghasilkan tiper peribahasa aliterasi, peribahasa peribahasa rima, peribahasa simile, peribahasa kontras, peribahasa paralelisme, peribahasa reduplikasi, peribahasa personifikasi, peribahasa elipsis, peribahasa hiperbola, dan peribahasa korelatif.
51
pemberdayaan peribahasa lama dan baru,
dan (4) analisis deskriptif dan
explanatoris terhadap pola kognisi peribahasa menghasilkan struktur kognitif peribahasa (struktur kausalitas, struktur definisional, struktur imajinatif), di samping itu analisis komparatif menghasilkan uji struktur kognitif pada peribahasa asing. Tahapan terakhir analisis adalah uji hasil. Uji hasil dilakukan dengan menggunakan teori dan data silang yang memungkinkan. Dari analisis uji hasil diperoleh penajaman konstruk konseptual pada matriks fitur pembeda peribahasa; penajaman konstruk teoretis pada struktur kognitif peribahasa (uji hasil pada peribahasa asing), dan penajaman konstruk proposisional pada pemberdayaan
peribahasa
lewat
mekanisme
kompetisi
akseptabilitas,
retekstualisasi, dan legitimasi koeksistensi. 1.7.5 Penyajian Hasil Analisis Hasil-hasil analisis yang ditemukan di atas disajikan dalam rumusan katakata secara deskriptif, ekspositoris, dan argumentatif. Di samping itu, eksplikasi hasil yang rumit disederhanakan ulang lewat sistem tanda seperti tabel, dan bagan. Selengkapnya tahapan penelitian dapat dilihat pada bagan berikut.
1
Riset Literatur Paremiologi
Ide Riset tentang Peribahasa
Riset Literatur Paremiologi
Merumuskan Masalah Penelitian
2
Kategorisasi: Bentuk, Penalaran, Kefiguratifan dan Gaya
Metode Simak (Observasi), dan Survei
Data Kamus Media Massa
Metode Simak (Observasi )
Data Kamus Peribahas a
Analisis Konseptual & Fitur
Analisis Formal Linguistik
Definisi & Model Pemahaman Peribahasa
Kategorisasi Peribahasa
Disertasi
Membuat Desain Penelitian
3 Riset Literatur Paremiografi
Karakteristik dan Model Pemahaman Peribahasa
Riset Literatur Paremiografi
4
Pemetaan Pola Kognisi Peribahasa
Metode Simak (Observasi)
Data Kamus Peribahas a
Repertoar Peribahasa Kontekstual
Metode Simak & Wawancara
Data Kamus & Lapangan
Analisis Kognitif
Analisis Kebutuhan Kearifan
Struktur Kognitif Peribahasa
Dinamika Vitalitas Peribahasa
Bagan 1.2 Alur Penelitian Peribahasa
52
53
1.8 Sistematika Penulisan Disertasi ini ditulis ke dalam 6 bab yang terdiri atas empat bab batang tubuh diapit oleh satu pendahuluan di awal dan satu simpulan di akhir. Bab I menguraikan kepentingan kajian peribahasa ini, di samping latar belakang penelitiannya dan pertanggungjawabannya. Kemudian, Bab II mengeksplorasi redefinisi peribahasa lewat karakteristik dan model pemahaman maknanya, diteruskan pada Bab III diuraikan temuan sejumlah kategorisasi peribahasa berdasarkan bentuk, penalaran, kefiguratifan dan gaya bahasanya. Pada Bab IV diuraikan perdebatan struktur peribahasa dari tiga ahli Milner, Abrahams, dan Dundes yang kemudian dari perdebatan itu membuahkan satu konstruk teoretis baru yang disebut struktur kognitif peribahasa yang diajukan dan diujikan ke dalam peribahasa Indonesia dan asing. Selanjutnya, pada Bab V didiskusikan dinamika
vitalitas
peribahasa
baik
menyangkut
produktivitas
maupun
pemberdayaan peribahasa lama dan baru. Akhirnya, Bab VI memberi simpulan dari kajian peribahasa yang diuraikan dari Bab II sampai dengan Bab V. Pada Bab terakhir ini dilengkapi dengan saran-saran yang dianggap perlu.