BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Penyampaian opini merupakan hasil akhir dari pekerjaan seorang auditor.
Opini merupakan suatu pernyataan dari auditor apakah laporan keuangan yang diperiksa sudah bersifat wajar atau belum. Auditor juga bisa untuk tidak menyatakan opininya karena adanya pembatasan tertentu dalam lingkup kerjanya. Opini ini dibentuk melalui berbagai macam pertimbangan atas keadaan yang terjadi dan buktibukti yang ditemukan. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya melibatkan penalaran logika saja tetapi juga menyangkut moral dan etika. Penalaran moral inilah yang sulit diukur kebenarannya. Jika penalaran logika didasarkan pada aturan-aturan yang sudah baku seperti misalnya standar pekerjaan lapangan yang dikeluarkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), penalaran moral lebih didasarkan pada intuisi dan hati nurani. Penalaran moral atau yang juga bisa disebut dengan moral reasoning akan mempengaruhi tindakan auditor dalam pengambilan keputusan (Gaffikin & Lindawati, 2012). Gaffikin & Lindawati (2012) menyatakan bahwa dilema yang sering dialami akuntan publik ialah ketika harus memilih di antara kepentingan diri sendiri (kebaikan bagi klien) dan kepentingan publik (mengikuti peraturan yang ada) karena
1
bukan sesuatu yang tidak mungkin ketika mengikuti peraturan yang ada akan menyebabkan kerugian bagi klien. Dilema etika juga bisa terjadi ketika akuntan publik (auditor) dihadapkan pada pilihan untuk melanggar etika atau prinsip yang ada demi melakukan sesuatu yang dianggap benar ataupun menguntungkan bagi dirinya. Kasus Enron pada tahun 2001 merupakan contoh dimana auditor memilih untuk melanggar etika dan prinsip audit demi keuntungannya sendiri. KAP Arthur Andersen yang bertanggung jawab mengaudit perusahaan Enron memilih untuk melanggar prinsip profesionalisme dan mau bekerja sama melakukan manipulasi laporan keuangan selama bertahun-tahun. Auditor juga bersikap tidak independen dengan bersedia menjadi konsultan bagi Enron dan bahkan menyarankan Enron untuk melakukan kecurangan dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perundangan di Amerika Serikat saat itu. Kasus menyangkut etika auditor tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi juga di Indonesia. KAP KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono terbukti menyuap pegawai pajak Indonesia sebesar USD 75.000 agar kliennya, PT Easman Christensen, bisa membayar pajak lebih murah (Litigation Releases: U.S. Securities and Exchange Commission, 2001). Auditor telah bersikap tidak profesional karena auditor menyalahgunakan kepercayaan masyarakat dengan melakukan hal-hal yang melanggar hukum demi kepentingannya sendiri. Auditor juga bertindak tidak objektif karena memihak klien dan bahkan mau membantu klien melakukan manipulasi pembayaran pajak. Kasus kontroversial lainnya ialah terlibatnya auditor BPK Salman
2
Khairiansyah dalam penjebakan anggota KPU Mulyana Wira Kusuma yang saat itu dituduh melakukan penyuapan terkait pengadaan barang logistik pemilu 2004. Salman bekerjasama dengan KPK untuk menjebak Mulyana pada saat Mulyana hendak melakukan suap terhadap dirinya yang saat itu bertugas sebagai auditor BPK yang mengaudit laporan keuangan KPU. Keputusan yang dilakukan oleh Salman menimbulkan pro dan kontra. Jika dilihat sekilas dari sisi orang awam tentunya tindakan yang dilakukan Salman sudah benar karena berhasil mengungkap kasus korupsi. Akan tetapi jika dilihat dari sisi profesi seorang auditor Salman sudah melanggar prinsip objektivitas dan kerahasiaan. Salman memilih untuk berpihak pada KPK dan mengungkapkan informasi yang belum didukung bukti yang kuat kepada pihak ketiga. Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa auditor akan sering menghadapi persoalan dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Pembentukan etika dan sikap individu auditor akhirnya menjadi hal yang kritikal karena sebagian besar professional judgement didasarkan pada kedua hal tersebut (Richmond, 2001). Penelitian
pun
dilakukan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
apa
saja
yang
mempengaruhi auditor dalam mengambil keputusan ketika menghadapi persoalan dilema etika. Salah satu faktor yang banyak diteliti ialah moral reasoning. Moral reasoning terbukti menjadi faktor kuat dalam pengambilan keputusan auditor saat terjadi persoalan dilema etika (Thorne, 2000). Salah satu penelitian mengenai moral reasoning ini dilakukan oleh Thorne pada tahun 2000.
3
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Thorne
(2000)
ditujukan
untuk
membandingkan prescriptive moral reasoning dengan deliberative moral reasoning para akuntan publik di Kanada. Prescriptive moral reasoning mengacu pada tindakan ideal yang akan dilakukan oleh akuntan dalam mengambil keputusannya saat menghadapi persoalan dilema etika. Sedangkan deliberative moral reasoning lebih mengacu kepada tindakan realistis apa yang akan dilakukan akuntan dalam mengambil keputusannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuntan mempunyai skor prescriptive moral reasoning yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak akan menyukai hasil penelitian ini sebab menggambarkan bahwa akuntan mengikuti peraturan ataupun standar yang ada dalam pengambilan keputusannya. Di sisi lain, beberapa pihak akan menganggap hasil penelitian ini mengkhawatirkan karena akuntan dinilai tidak mempertimbangkan adanya persoalan etika di dalam pengambilan keputusannya (Thorne, 2000). Thorne (2000) juga melakukan penelitian dengan instrumen yang sama terhadap mahasiswa akuntansi di Kanada. Hal ini dilakukan untuk membandingkan moral reasoning mahasiswa akuntansi dengan praktisi akuntan. Selain itu, penelitian ini juga ingin membuktikan apakah pengukuran moral reasoning akuntan bisa diwakili dengan melakukan penelitian terhadap mahasiswa akuntansi. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yaitu skor prescriptive moral reasoning yang lebih tinggi. Pola hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh kedua penelitian tersebut sehingga penelitian mengenai moral
4
reasoning mahasiswa akuntansi dianggap bisa mewakili penilaian moral reasoning praktisi akuntan. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Thorne (2000), penelitian mengenai moral reasoning akhirnya banyak dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi. Alasan lain dipilihnya mahasiswa sebagai subjek penelitian karena sebagian besar dari mereka nantinya akan menjadi auditor dan akuntan yang pasti menghadapi persoalan dilema etika selama masa kerjanya. Salah satu penelitian terhadap mahasiswa dilakukan oleh Maroney & McDevitt (2008). Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Master of Business Administration (MBA) yang juga terlibat dalam pasar modal di Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan moral reasoning yang lebih rendah cenderung lebih memahami aturan dan lebih terpengaruh oleh rasa takut terhadap hukuman atau penalti dalam pengambilan keputusannya. Berdasarkan hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa moral reasoning berhubungan positif dengan proses pengambilan keputusan mahasiswa. Semakin tinggi moral reasoning individu maka semakin baik pula proses pengambilan keputusan yang dilakukan sebab hal-hal yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan tidak hanya peraturan tetapi juga baik atau buruknya keputusan yang dibuat tersebut. Penelitian lain terhadap mahasiswa akuntansi dilakukan oleh Flemming, Romanus, & Lightner (2009) yang lebih berfokus pada deliberative moral reasoning. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa akuntansi mempunyai deliberative moral
5
reasoning yang lebih tinggi ketika menyelesaikan persoalan dilema etika audit dibanding dilema akuntansi perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa akuntansi kesulitan untuk mengaplikasikan pengetahuan etika mereka ketika dihadapkan pada persoalan yang lebih kompleks yaitu kasus dilema etika akuntansi perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelly pada tahun 2004. Penelitian yang dilakukan oleh Kelly (2004) mengukur general moral reasoning mahasiswa akuntansi yang baru saja memulai kuliahnya dengan mahasiswa akuntansi yang sudah menyelesaikan studinya. Hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Alasan tidak adanya perbedaan yang signifikan tersebut mungkin bisa dijawab dengan penelitian yang dilakukan oleh Delaney (2005). Penelitian yang dilakukan Delaney menunjukkan mahasiswa akuntansi memiliki skor moral reasoning ability (MRA) yang lebih tinggi ketika dihadapkan pada kasus dilema etika bisnis dibanding ketika dihadapkan pada kasus dilema etika yang umum. Delaney berpendapat hal ini mungkin terjadi karena mata kuliah yang selama ini diajarkan di kampus lebih berfokus kepada etika bisnis. Perlu diketahui juga bahwa pada penelitian yang dilakukan oleh Kelly di Eastern State University, tidak terdapat mata kuliah etika bisnis dalam kurikulum pembelajaran mereka. Berdasarkan kedua penelitian tersebut maka bisa dikatakan bahwa mata kuliah etika juga bisa berpengaruh terhadap moral reasoning mahasiswa.
6
The Association to Advance Collegiate School of Business (AACSB), salah satu organisasi non-profit internasional yang mengabdi pada kemajuan pendidikan manajemen, juga menyetujui bahwa pendidikan etika semasa kuliah merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian. Hal tersebut dibahas secara mendalam dalam laporan yang diajukan oleh Ethics Education Task Force, salah satu divisi di AACSB, dalam judul Ethics Education in Business School. Dalam laporan tersebut mereka berpendapat bahwa pendidikan etika yang baik semasa kuliah akan membuat mahasiswa memiliki moral reasoning yang lebih baik. Selain itu, pendidikan etika juga diperlukan terutama karena nantinya mahasiswa akan menghadapi keempat hal ini dalam dunia bisnis, yaitu: tanggung jawab bisnis ke masyarakat; pengambilan keputusan etis; kepemimpinan yang etis; dan tata kelola pemerintahan (Force, 2004). Pendidikan etika yang baik tentunya akan membantu mahasiswa dalam memecahkan persoalan-persoalan dilema etika yang dihadapi selama masa kerjanya. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mintchik & Farmer (2009). Mereka menyatakan bahwa mata kuliah etika memang diperlukan karena level moral reasoning yang tinggi tidak muncul dengan sendirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Eynon, Hill, & Stevens (1997) juga menemukan pengaruh positif atas pendidikan etika terhadap moral reasoning ability seorang akuntan. Walau begitu, beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Ponemon (1993) dan Flemming (2009) menunjukkan hasil berbeda yaitu tidak adanya pengaruh pendidikan etika semasa kuliah dengan moral reasoning seseorang.
7
Penelitian yang dilakukan oleh Ponemon (1993) menunjukkan bahwa ethical reasoning tidak terpengaruh karena adanya intervensi pemahaman etika. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Flemming dkk. (2009) yang tidak menemukan hasil signifikan antara penyelesaian mata kuliah etika dengan tinggi rendahnya deliberative moral reasoning yang dimiliki oleh mahasiswa akuntansi. Adanya perbedaan hasil penelitian mengenai ada tidaknya pengaruh pendidikan etika terhadap moral reasoning seseorang membuat peneliti ingin melakukan kembali penelitian serupa dengan melakukan replikasi terhadap penelitian yang dilakukan oleh Flemming dkk. (2009). Penelitian kepada para mahasiswa diyakini penting untuk mengukur dan memahami ethical reasoning mereka terutama karena sosialisasi profesi akuntan sudah dilakukan semenjak kuliah (Richmond, 2001). Penelitian akan dilakukan dengan lebih berfokus kepada deliberative moral reasoning yang dimiliki mahasiswa akuntansi. Fokus terhadap pengukuran level deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui gambaran yang realistis mengenai tindakan apa yang akan dilakukan mahasiswa akuntansi ketika menghadapi persoalan dilema etika. Deliberative moral reasoning diukur dengan mengajukan pertanyaan yang mengacu pada apa yang akan dilakukan ketika terjadi persoalan dilema etika tertentu dan bukannya apa yang seharusnya idealnya dilakukan (Thorne, 2000). Berbeda dengan penelitian sebelumnya, subjek penelitian kali ini ialah mahasiswa akuntansi yang sudah menempuh mata kuliah pengauditan 2 sehingga
8
diyakini mahasiswa akan mempunyai pengetahuan audit dan akuntansi dasar yang cukup untuk menjawab kasus dilema etika yang akan diberikan oleh peneliti. Sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Flemming dkk. (2009) subjek penelitiannya ialah mahasiswa akuntansi yang baru menempuh mata kuliah audit selama 1 minggu.
1.2
Rumusan Masalah Banyaknya permasalahan yang terjadi di bidang bisnis dan melibatkan profesi
akuntan seperti kasus yang menimpa Enron, WorldCom, maupun kasus dalam negeri yang melibatkan KAP KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono tentunya menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi akuntan saat ini. Pendidikan dinilai menjadi salah satu penyebab rusaknya moral para pelaku tindak kecurangan tersebut. Penelitian akhirnya banyak dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yang merupakan calon-calon akuntan di masa mendatang. Salah satu penelitian yang melibatkan mahasiswa tersebut dilakukan oleh Flemming dkk. (2009). Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yang mengambil kuliah di universitas Amerika dan sudah diakreditasi oleh AACSB. Penelitian ini mengukur deliberative moral reasoning mahasiswa terhadap kasus dilema etika spesifik di bidang akuntansi. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Flemming dkk. (2009), peneliti ingin melakukan kembali penelitian tersebut pada mahasiswa akuntansi di Indonesia yang khususnya sudah mengambil mata kuliah Pengauditan 2. Peneliti ingin
9
mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam skor deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi ketika mereka menyelesaikan persoalan dalam konteks profesional di bidang audit maupun akuntansi perusahaan. Hasil penelitian nantinya akan menggambarkan apakah mahasiswa telah dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapat selama ini dengan baik. Selain itu penelitian juga berfokus pada pengaruh pendidikan etika terhadap moral reasoning yang dimiliki oleh mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri nantinya dalam dunia kerja para mahasiswa akuntansi ini akan sering menghadapi persoalan dilema etika yang tidak mudah dipecahkan. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bahwa adanya pemahaman dan pengetahuan mengenai etika bisnis semasa kuliah bisa membantu mereka menjadi lebih bijaksana dalam memecahkan persoalan dilema etika yang akan dihadapi semasa kerja. Adanya perbedaan hasil penelitian yang telah dilakukan, seperti yang disebutkan dalam latar belakang masalah, juga menjadi salah satu penyebab peneliti ingin meneliti lebih dalam mengenai pengaruh pendidikan etika terhadap moral reasoning mahasiswa.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan maka tujuan dari
penelitian ini ialah mengukur deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi ketika dihadapkan pada kasus dilema etika spesifik di bidang akuntansi. Pengukuran ini dilakukan dengan membandingkan skor deliberative moral reasoning mahasiswa
10
pada situasi auditor dan akuntan perusahaan sehingga dapat diketahui pada situasi mana terdapat skor yang lebih tinggi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah penyelesaian mata kuliah etika bisnis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap level deliberative moral reasoning mahasiswa akuntansi.
1.4
Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan maka penelitian ini diharapkan akan
memberikan kegunaan sebagai berikut: 1.4.1. Memberikan referensi baru bagi penelitian di bidang etika mahasiswa akuntansi terutama karena penelitian ini masih sangat jarang dilakukan sebelumnya. 1.4.2. Bagi praktisi pendidikan, diharapkan hasil penelitian ini nantinya akan memberikan evaluasi yang berarti mengenai sistem pengajaran pengauditan ataupun etika bisnis. 1.4.3. Bagi mahasiswa akuntansi, diharapkan penelitian ini akan memperluas wawasan mengenai persoalan dilema etika yang nantinya akan dihadapi semasa kerja dan bagaimana menyikapinya. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
11
BAB I
: PENDAHULUAN; berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan
penelitian,
kegunaan
penelitian,
dan
sistematika penulisan. BAB II
: KAJIAN PUSTAKA; berisi landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis.
BAB III
: METODE PENELITIAN; berisi uraian mengenai variabel penelitian dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel
penelitian,
jenis
dan
sumber
data,
metode
pengumpulan data, dan metode analisis. BAB IV
: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN; berisi deskripsi objek penelitian, analisis data, dan interpretasi hasil.
BAB V
: PENUTUP; berisi kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran bagi penelitian selanjutnya.
12