BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Laporan keuangan disajikan dengan tujuan menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar penggunanya dalam pengambilan keputusan ekonomi (DSAK, Kerangka Dasar Penyajian dan Pelaporan Keuangan, 2006). Laporan keuangan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan adalah laporan keuangan yang berkualitas, yaitu laporan keuangan yang memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan (Ardina, 2012). Untuk dapat memberikan manfaat, informasi keuangan harus memiliki dua karakterisktik kualitatif yang fundamental, yaitu relevansi (relevance) dan penyajian secara jujur (faithful representation) (Kaminski & Carpenter, 2011). Saat ini ada dua standar internasional, yaitu GAAP (Generaly Accepted Accounting Principle) yang diterbitkan oleh FASB (Financial Accounting Standard Board) dan IFRS (International Financial Report Standard) yang diterbitkan oleh IASB (International Accounting Standard Board). FASB (Financial Accounting Standard Board) sebagai pelopor basis nilai historis dan IASB (International Accounting Standard Board) sebagai
pencetus basis nilai wajar memiliki kriteria yang berbeda terkait kualitas informasi. Menurut FASB terdapat 4 kriteria yaitu, relevansi (relevance), keandalan
(realiability),
komparabilitas
(comparability),
dan
understandability. Sedangkan menurut IASB terdapat enam karakteristik, meliputi relevansi (relevance) dengan tambahan materialitas, penyajian secara jujur (faithful representation), komparabilitas (comparability), veriviability, ketepatan waktu (timeliness), understandability. Walaupun kedua standar memiliki kriteria yang berbeda terkait kualitas informasi, tetapi keduanya memiliki kesamaan pandangan terkait relevansi informasi keuangan. Relevansi disebutkan dikedua kerangka konseptual (Kaminski & Carpenter, 2011). Relevansi informasi keuangan menjadi hal yang penting baik menurut FASB maupun IASB. Namun banyak pihak menilai bahwa pencatatan dengan menggunakan basis IFRS dinilai mampu memberikan kualitas informasi yang lebih baik. Siahaan (2009) menyebutkan di dalam makalahnya pada Seminar Insitut Akuntan Publik Indonesia, seringkali model historical cost hanya mengukur transaksi sudah selesai dan gagal mengakui adanya perubahan nilai riil lain yang dapat terjadi. Dalam rangka meningkatkan relevansi informasi akuntansi itulah maka
Indonesia
melakukan
konvergensi
menggunakan
basis
IFRS
(International Financial Report Standard) dan dengan target capaian melakukan konvergensi penuh pada tahun 2012. Program Konvergensi IFRS dengan target capaian 2012 pertama kali dicanangkan dalam kegiatan hari 2
ulang tahun IAI 23 Desember 2008. IFRS dianggap lebih relevan karena berbasis pada nilai wajar. Basis nilai historis dianggap tidak lagi relevan karena gagal mengukur realitas ekonomi (Siahaan, 2009). Akuntansi berbasis nilai historis tidak mengakui adanya perubahan nilai bersifat ekonomis dan cenderung membiarkan perusahaan memilih sendiri apakah dan kapan mengakui perubahan tersebut (Siahaan, 2009). Hal ini mendorong adanya bias dalam pemilihan apa yang dilaporkan, dan memperburuk kompromi kenetralan dan dipercayainya informasi keuangan (Siahaan, 2009). Adanya konvergensi penggunaan standar keuangan di Indonesia dari lokal GAAP (General Accepted Accounting Principle) atau dalam bahasa Indonesia disebut PABU (Prinsip Akuntansi Berterima Umum) yang berbasis pada nilai historis menjadi IFRS (International Financial Report Standard) dengan basis nilai wajar menimbulkan perdebatan di banyak kalangan di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, di banyak negara juga terjadi perdebatan terkait nilai wajar dan historis ini. Secara lebih spesifik, nilai wajar dan historis juga bukan hanya perdebatan antara FASB (Financial Accounting Standard Board) sebagai pelopor basis nilai historis dan IASB (International Accounting Standard Board) sebagai pencetus basis nilai wajar, tetapi juga merupakan perdebatan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pasar modal dan pasar uang global seperti regulator lembaga sekuritas, regulator perbankan, entitas pemerintah, dan lain-lain (MacDonald, 2010). 3
Bahkan sejak akhir tahun 1980-an, telah terjadi perdebatan dan kritik terhadap standar akuntansi yang mengatur perlakuan instrumen keuangan (financial instrument) pada waktu itu, yang menginginkan pengakuan dan pengungkapan yang akan lebih banyak berdasar nilai wajar (fair value) dari instrumen keuangan (Jones, 1988). Namun, Beaver et al. (1992 dalam Barth et al,1996) mencatat adanya paradok yang fundamental dalam penggunaan nilai wajar sebagai dasar akuntansi dalam kontek penilaian, misalnya banyak properti muncul hanya pada kondisi di mana pasar modal dalam keadaan lengkap dan sempurna, kondisi tersebut tidak mudah ditemui oleh banyak intrumen keuangan. Oleh karena itu, validitas dari nilai wajar, persyaratan pengungkapan, dan transparansi informasi akuntansi telah secara luas dipertanyakan (Reongvan, 2009). Wagner dan Garner (2010) juga menyatakan bahwa pengukuran dengan menggunakan nilai wajar dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis likuiditas keuangan di Amerika pada tahun 2008 melalui mekanisme [1] pengkombinasi penggunaan nilai wajar dan diwajibkannya persyaratan kecukupan modal memicu munculnya umpan balik yang negatif sehingga menyebabkan jatuhnya nilai asset dari yang seharusnya, [2] penggunaan nilai wajar juga berakibat pada kurangnya kepercayaan dalam penilaian yang muncul pada laporan keuangan bank. Sejalan dengan Wagner dan Garner, Trussel dan Rose (2009) dalam penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa penggunaan nilai wajar sebagai dasar pengukuran telah berkontribusi terhadap krisis likuiditas di 4
tahun 2008 dengan menitikberatkan pada bagaimana penilaian aset yang tidak likuid, unik, dan komplek dan menyarankan pendekatan hibrida yaitu penggabungan nilai wajar dan nilai histori sebagai solusi alternatif. Dampak lain yang muncul dari penggunaan IFRS adalah adanya volatilitas kinerja yang disebabkan oleh penggunaan nilai wajar (fair value) sebagai dasar pengukurannya (Siahaan, 2009). Hal ini memicu adanya ketakutan
bagi
lembaga
keuangan
yang
disebabkan
oleh
adanya
kemungkinan kekurangefektifan lembaga keuangan dalam mengelola risiko akan mengakibatkan munculnya volatilitas kinerja lembaga (Siahaan, 2009). DeMarzo dan Duffie (1991) memberikan bukti empiris terkait pengelolaan risiko dan menunjukkan bahwa pengelolaan risiko dapat mengurangi noise (gangguan) dan membantu investor dari pihak luar untuk mengidentifikasi secara lebih baik kemampuan manajer dalam menjalankan perusahaan. Hal ini dapat menjadi insentif bagi manajemen untuk secara sengaja tidak menampakkan atau memanipulasi dampak dari risiko (volatilitas) tersebut dari investor maupun kreditor pada saat menajemen gagal mengelola risiko. Keinginan menyembunyikan kemerosotan nilai aktiva dan dampak risiko (volatilitas) perubahan suku bunga, menjelaskan mengapa nilai wajar (market value accounting atau fair value) tidak diadopsi sejak dahulu (Kane, 1985 dalam Siahaan, 2009). Namun kini basis nilai wajar atau yang dikenal juga dengan istilah mark to market accounting kembali diangkat karena akuntansi berbasis nilai pasar dianggap dapat melaporkan angka-angka yang 5
mempunyai korelasi sangat kuat dengan harga saham, dan memberi petunjuk bahwa nilai berdasarkan pasar lebih baik dan terpercaya dari pada berdasarkan nilai historis seperti di Amerika Serikat (Bernard et al, 1995 dalam Siahaan, 2009). Untuk mengatasi volatilitas tersebut maka banyak perusahaan menggunakan metode hedge atau lindung nilai. Dengan menggunakan lindung nilai, perusahaan berusaha keras untuk mengurangi munculnya risiko keuangan dengan menciptakan posisi yang mampu menutup kerugian (offsetting position), secara khusus dengan bantuan instrumen keuangan derivatif (Glaum dan Klöcker, 2011). Di dalam International Accounting Standard No. 39 tentang pengakuan dan pengukuran secara eksplisit dikatakan terkait aspek manajemen risiko. Berdasarkan IAS 39 yang selanjutnya diadopsi oleh PSAK 55 dikatakan bahwa nilai wajar dapat digunakan hanya jika grup dari asset keuangan maupun liabilitas keuangan dikelola dan dievaluasi dalam basis nilai wajar dan dengan adanya pendokumentasian
strategi
manajemen
risiko.
Dalam
proses
pengimplementasiannya sendiri akuntansi untuk instrumen keuangan dan aktivitas lindung nilai dikatakan cukup komplek. Akuntansi untuk instrumen derivatif dan transaksi lindung nilai adalah satu dari peraturan paling komplek dan kontroversial yang diterbitkan oleh FASB (Financial Accounting Standard Board) (Eckstein et al, 2008).
6
Akuntansi lindung nilai adalah seperangkat aturan khusus yang didesain untuk memastikan bahwa keuntungan dan kerugian pada item-item yang dilindung nilai dan instrumen lindung nilai dicatat dalam periode yang sama, sehingga mencegah munculnya volatilitas laba (earning volatility) (Glaum dan Klöcker, 2011). Lindung nilai juga membantu mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dan stakeholder (Brown, 2001). Akuntansi untuk derivatif dan aktivitas lindung nilai diatur dalam IAS 39 (Financial Instrumen: Recognition and Measurement) dan IAS 32 (Financial Insstrument: Disclosure and Presentation) atau SFAS 133 (Accounting for Derivatif Instrumen and Hedging Activities). Di Indonesia transaksi derivatif dan aktivitas lindung nilai (hedging) diatur dalam PSAK 50 (revisi 2006) yang merupakan turunan dari IAS 32 dan PSAK 55 (revisi 2006) yang merupakan turunan dari IAS 39. Pada Januari 2010, peraturan mengenai instrumen derivatif dan aktivitas lindung nilai ini efektif diterapkan setelah sebelumnya ditunda. Tanggal efektif tersebut tertuang dalam surat dari Dewan
Standar
Akuntansi
Keuangan
(DSAK)
surat
No.
1705/DSAK/IAI/12/2008 tentang Pengumuman Perubahan Tanggal Efektif PSAK No. 50 (revisi 2006) dan PSAK No. 55 (revisi 2006) tertanggal 30 Desember 2008. Namun selanjutnya PSAK ini direvisi kembali yang akhirnya diterbitkan PSAK No. 50 (revisi 2010) efektif 1 Januari 2012, PSAK No. 55 (revisi 2011) efektif pada 1 Januari 2011, dan PSAK No. 60 (revisi 2010) efektif pada 1 Januari 2012. 7
Selanjutnya untuk perbankan perubahan peraturan sebagai akibat dari pengadopsian IAS 32 dan 39 kedalam PSAK 50-55 revisi 2006 ini mengacu pada Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia 2008 (PAPI 2008). Sebelum diberlakukannya PAPI 2008, perbankan di Indonesia menggunakan PAPI 2001. Perubahan peraturan ini mengikuti perubahan yang dilakukan terhadap PSAK 50-55 revisi 2006. Pemberlakuan PAPI 2008 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia. Namun selanjutnya peraturan ini mengalami penyesuaian terkait adanya kendala teknis yang dihadapi oleh perbankan dalam penerapan PSAK No. 55 (Revisi 2006) terutama terkait dengan keterbatasan dalam memperoleh data kerugian historis. Penyesuaian ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/33/DPNP tanggal 8 Desember 2009. Dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus pada pengaruh dampak penerapan PSAK 50-55 revisi 2006 pada periode awal penerapannya yang selanjutnya juga diterapkan dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia 2008 (PAPI 2008). Dalam penelitian sebelumnya, Eckstein et al (2008) telah meneliti pengimplementasian SFAS 133 di Amerika (peraturan akuntansi berbasis Generally Accepted Accounting Principal yang setara dengan IAS 32 dan 39, serta PASK 50-55 revisi 2006) dan menemukan bahwa perusahaan yang mengimplementasikan SFAS 133 mengalami penurunan indikator performa keuangannya setelah sebelumnya telah mengalami kenaikan. Penelitian 8
dilakukan terhadap 255 perusahaan baik perbankan maupun nonperbankan. Selain itu ditemukan pula efek kumulatif yang bersifat absolut terhadap pendapatan sejumlah $6,8 miliyar dan 65% dari sampel hubungannya negatif. Melihat hasil tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang sama dalam kontek perbankan Indonesia di mana pada 1 Januari 2010 telah diwajibkan mengaplikasikan peraturan tersebut. Di samping itu, berdasarkan artikel berita yang dimuat dalam website Ikatan Akuntan Indonesia; bank telah berinvestasi paling tidak $1 juta untuk membeli sistem informasi dan teknologi untuk aplikasi pelaporan keuangan berdasarkan PSAK 50 dan PSAK 55 serta $2 juta untuk melakukan penyesuaian program. Dalam makalah yang ditulis Patricia et al (2012) dikatakan juga penerapan PSAK 50-55 ini memiliki tujuan strategis yaitu untuk mengundang investor baik di pasar modal maupun pasar keuangan, serta sebagai prudential regulation yaitu mendorong proses harmonisasi penyusunan dan analisis laporan keuangan guna mendorong terciptanya disiplin pasar (market discipline). Dengan begitu besarnya investasi yang dilakukan perusahaan untuk penerapan PSAK tersebut dan mengingat begitu pentingnya penerapannya serta
masih sedikitnya penelitian
yang
mengevaluasi penerapan PSAK 50-55 untuk menjadi bahan pertimbangan manajemen di Indonesia maka hal tersebut menambah urgensi bagi peneliti untuk perlu adanya penelitian terkait PSAK 50-55 di Indonesia.
9
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, penggunaan nilai wajar dalam pengukuran menimbulkan kontroversi, terutama terkait kemungkinan munculnya volatilitas laba serta perlakuan untuk instrumen keuangan derivatif dan aktivitas lindung nilai (hedging). Namun sejak diterapkannya PSAK 50-55 (revisi 2006) di Indonesia belum ada penelitian terkait aturan tersebut yang dikaitkan dengan harga saham di Indonesia khususnya untuk industri perbankan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk menjawab permasalahan: 1. Apakah dampak dari penerapan PSAK 50-55 (revisi 2006) bagi profitabilitas industri perbankan di Indonesia? 2. Apakah perubahan kinerja setelah diberlakukannya PSAK 50-55 revisi 2006 berpengaruh pada reaksi pasar sebelum atau sesudah adanya pengumuman laba? 3. Apakah nilai efek penyesuaian terhadap PSAK 50-55 revisi 2006 berpengaruh pada reaksi pasar sebelum atau sesudah adanya pengumuman laba? 4. Apakah other comprehensive income berpengaruh pada reaksi pasar sebelum atau sesudah pengumuman laba? I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara empiris dampak penerapan PSAK 50-55 (revisi 2006) dalam konteks 10
perusahaan perbankan di Indonesia sejak efektif diterapkannya pada 1 Januari 2010. Serta secara spesifik, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat dampak penerapan PSAK 50-55 (revisi 2006) terhadap profitabilitas perusahaan dalam tahun penerapannya serta mengetahui ada/tidaknya reaksi pasar terhadap perubahan prinsip akuntansi tersebut.
I.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1. Dapat memberikan bukti empiris terkait penerapan PSAK 50-55 (revisi 2006) di Indonesia dan pengaruhnya bagi profitabilitas perusahaan yang saat ini masih belum banyak dibahas di Indonesia dan dapat menjadi acuan untuk penelitian dalam bidang akuntansi di masa mendatang. 2. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen perbankan dalam mengelola aktivitas derivatif dan lindung nilai. 3. Dapat menjadi referensi bagi Dewan Standar Akuntansi Keuangan di dalam evaluasi kebijakannya. I.5. Sistematika Penelitian Penelitian ini disusun dengan sistematika pembahasan dalam 5 (lima) bab, dengan uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN
11
Bab ini menguraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab ini menjelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan topik akuntansi untuk derivatif dan aktivitas lindung nilai, yaitu informasi keuangan, efficient market
hyphotesis,
signaling
theory,
abnormal
return,
penjelasan singkat mengenai PSAK 50-55 beserta revisi dan perbandingannya,
tinjauan
penelitian
sebelumnya,
dan
perumusan hipotesis. BAB III
METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang populasi dan sampel penelitian, definisi variabel yang digunakan dan pengukurannya, metode pengumpulan data, dan metode analisis data serta pengujian hipotesis.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan dari pengujian, yang terdiri dari deskripsi data, analisis data, pembahasan hasil, dan analisis hasil serta interpretasinya.
BAB V
PENUTUP Bab ini berisi simpulan penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
12