BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia,1 merupakan suatu isu yang senantiasa menyertai perjalanan reformasi Indonesia. Sebagaimana umum diketahui, untuk jangka waktu yang lama bangsa dan negara Indonesia terpuruk dalam kehidupan HAM yang tidak bisa disebut maju, beradab, atau setidaknya berkembang secara cukup terencana.2 Meski pun reformasi terus digelorakan pada berbagai lini ketatanegaraan dan ketatapemerintahan di Indonesia, tetapi berbagai kasus korupsi masih saja terus terjadi. Masalah utama pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia ialah politik hukum yang belum optimal.3 Politik Hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.4 Hal ini dapat
1
Selanjutnya dalam Skripsi ini Hak Asasi Manusia akan disebut HAM
2
Transisi politik dari suatu rejim otoritarian atau totalitarian kepada kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang lebih beradab, sering mempersyaratkan dan menuntut keharusan berlakunya HAM, demokrasi dan masyarakat sipil (civil society). 3
R.E.S. Fobia, ―Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Hukum‖, Prosiding Studium Generale: Korupsi Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Agama-agama serta Pencegahannya, Daniel Nuhamara dan Irene Ludji (Editor), Fakultas Teologi UKSW, Salatiga, 2013, h. 1. 4
Abdul Hakim Garuda Nusantara, ―Politik Hukum Nasional‖, Makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, September 1998, h. 9.
1
terjadi karena banyak faktor seperti daya tarik kekuasaan dan kondisi perekonomian yang tidak berkeadilan. Kemilau politik lebih memikat ketimbang kemuliaan hukum. Kepanikan serta kerawanan ekonomi memaksa tunduk daya dukung hukum.5 Potensi pengembangan dibelenggu, negara hukum serasa terhempas nun jauh di sana, diterjang kinerja dan realitas buruk sejarah tata negara dan tata pemerintahan yang masih saja koruptif, entah sampai kapan. 6 Tindak pidana korupsi sesungguhnya adalah tindakan destruktif, perilaku antipembangunan.7 Tak terkecuali pembangunan bidang pendidikan. Mengapa demikian? Amartya
Sen misalnya
menegaskan
pandangannya
bahwa
―development as a process of expanding the real freedom that people enjoy.‖8 Dalam pandangan yang kurang lebih sama, Paulo Freire, terkenal dengan filsafat pendidikannya bahwa sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadaran dan pembebas umat manusia.9 Mempercakapkan hubungan antara pembangunan dengan kebutuhan bersikap anti-korupsi, maka tak boleh lengah apalagi melupakan bahwa Indonesia masih harus berusaha lebih serius untuk mengerjakannya.10
5
R.E.S. Fobia, Op cit, h. 9.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Amartya Sen, Development As Freedom, Oxford University Press, 1999, p. 36.
9
Mansour Fakih, Antonius M. Indrianto, Eko Prasetyo, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Insist Press, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Maret 2003, h. 150. 10
Berdasarkan ―Transparency International Corruption Perceptions Index 2012 ―, Indonesia menempati peringkat ke- 118 dilihat dari urutan negara-negara terbaik yang bersih dari korupsi. Lihat informasi lengkapnya dalam: http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/2012_TI_CPI/$FILE/2012%20TI%20CPI.pdf ; dikunjungi pada Kamis 24 Oktober 2013, pukul 09.15 WIB, sebagaimana terkutip dalam R.E.S. Fobia, Op cit, h. 15.
2
Korupsi bermekaran bersama berbagai krisis yang mendera silih berganti menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, kekerasan hingga penyalahgunaan kekuasaan seakan-akan tidak mau beranjak dari kehidupan bangsa ini.11 Korupsi merupakan suatu persoalan hukum, terutama bila kita hendak membahas secara lebih mendalam tentang negara hukum Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945,12 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Korupsi tampak lewat penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, korupsi jelas melawan konstitusionalitas dan identitas Indonesia sebagai negara hukum. Hal ini menjadi penting untuk ditelaah, terutama karena tujuan hukum dan tujuan negara memiliki hubungan yang sangat erat. Konstitusionalitas dan identitas negara hukum Indonesia hanya akan berwibawa bila ada kehidupan HAM yang eksistensial.13 Sebagai contoh, tentang tujuan hukum, umum dikenal pandangan bahwa hukum mengabdi pada tujuan negara yang utamanya untuk menghasilkan
Dalam hubungan dengan masalah ini, perhatikan juga Laporan ―Control Risks”, yang antara lain mengutip seorang European Senior Executive, Jakarta, November 2012 yang mengatakan tentang Indonesia bahwa: ―Graft is a way of life here. And it is getting worse at a time when head office has never had greater expectations from us‖. Lihat laporan lengkapnya dalam: http://www.controlrisks.com/Oversized%20assets/indonesia_whitepaper_2013.pdf ; dikunjungi pada Kamis 24 Oktober, pukul 00.41 WIB, Ibid. 11
Krisis yang meliputi berbagai bidang kehidupan ini, lazimnya dikenal sebagai krisis multi-dimensional. 12
13
Selanjutnya dalam Skripsi ini Undang-Undang Dasar 1945 akan disebut UUD 1945. R.E.S. Fobia, Op cit, h 1.
3
kemakmuran & kebahagiaan kepada rakyat.14 Lebih tegas lagi, O. Notohamidjojo mengingatkan
bahwa
norma
kemanusiaan
menuntut
supaya
dalam
penggembalaan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia.15 Korupsi
sebagai
tindak
pidana
sangat
merusak
penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM. Jelas bahwa korupsi dapat membahayakan, dan akan menghancurkan negara hukum. Korupsi memanipulasi kemakmuran dan kebahagiaan publik karena sifatnya yang hanya memperkaya diri atau kelompok sendiri. Ada atau bahkan banyak pihak berpendapat bahwa kemakmuran dan kebahagian justru dapat dicapai melalui korupsi, tetapi tentu saja hal ini menjadi masalah untuk jagad kesadaran dan kehidupan semisal hukum, agama, etika dan moral.16 Skripsi ini hendak membahas korupsi di bidang pendidikan sebagai pelanggaran HAM. Sesungguhnya ini tidak berarti bahwa korupsi di bidang lainnya bukanlah pelanggaran HAM. Dipastikan bahwa korupsi juga melanggar jenis HAM lainnya seperti pada bidang ketahanan pangan, kesehatan, perumahan dan daya beli masyarakat. Pilihan terhadap bidang pendidikan sengaja dilakukan sebagai fokus pembahasan, dengan alasan seperti dikemukakan Freire,17
14
Sebagaimana terkutip dalam Ibid.
15
O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Tri Budiono (Editor), Griya Media, Salatiga, 2011, h.. 41. 16
Ibid.
17
Formulasi filsafat pendidikan Paulo Freire dinamakannya sendiri sebagai ‗pendidikan kaum tertindas‘, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan –bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total—yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan 4
pendidikan untuk membebaskan yang tertindas, tentu saja termasuk pembebasan dari korupsi. Pendidikan merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan sejahtera. Sebab melalui pendidikan yang baik itulah
seseorang
akan
dibukakan
wawasannya,
diteguhkan
keyakinan
kemanusiaannya, serta dibukakan akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi yang mampu membawa dirinya pada kemakmuran dan kesejahteraan. Semua hal itu akan menjadi dasar untuk membangun tatanan kehidupan yang demokratis dan menghargai kemanusiaan. Oleh karena itulah pemenuhan hak-hak atas pendidikan yang dimiliki warga menjadi tidak dapat ditawar lagi. Pemenuhan hak atas pendidikan tersebut merupakan salah satu bagian dari penegakan HAM di negeri ini. Saatnya, masyarakat tidak hanya perlu memenuhi hak sipil dan politik saja, tapi juga hak Ekosob. Keduanya itu tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih penting; karena keduanya sama-sama penting. Hanya saja, kadang perwujudannya amat tergantung pada situasi politik suatu negara, seperti sudah dijelaskan diatas.18 Secara historis, pendidikan itu pada mulanya bersifat sangat eksklusif dan elitis, karena hanya dialami oleh golongan bangsawan saja. Para bangsawan itu selalu mengundang guru-guru privat di rumah, terutama untuk mengajarkan sastra dan filsafat sebagai suatu bentuk kelangenan (merenda kehidupan) karena mereka telah mengalami kehidupan yang mapan secara ekonomis, sehingga banyak waktu
realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut. Inilah makna dan hakekat praxis itu. Lihat Mansour Fakih, Antonius M. Indrianto, Eko Prasetyo, Op cit, h. 151. 18
Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, ―Pemenuhan Hak-Hak Atas Pendidikan,‖ Jurnal HAM, Vol. 8, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2012, h. 75.
5
kosong yang dimiliki. Tradisi itu kemudian berkembang dengan hadirnya filsuf Yunani, Plato yang pada tahun 397 SM mengajarkan ilmu kepada muridmuridnya di sebuah taman bernama academe. Nama taman ini untuk seterusnya digunakan untuk menyebut jenis atau bentuk pendidikan, yaitu akademi. Pendidikan jasmani, musik, dan sastra diajarkan sampai siswa berumur 18 tahun. Setelahnya mereka yang belajar ini diwajibkan untuk memasuki dinas militer selama dua tahun. Pada umur 20 tahun mereka kembali lagi bersekolah untuk mempelajari aritmatika, ilmu ukur, astronomi, dan filsafat.19 Tetapi kehidupan yang semakin beradab terus berkembang. Simak pernyataan Anna Elleanor Roosevelt, (1884 – 1962),20 seorang tokoh kemanusiaan Amerika Serikat dan istri Presiden Frranklin D. Roosevelt. Dia adalah pembela terkemuka bagi kaum buruh dan kaum miskin, serta tokoh pendidikan, kesehatan, dan masalah-masalah lain yang menimpa anak-anak. Selama Perang Dunia I ia banyak melakukan perjalanan atas nama suaminya dan atas nama suatu gagasan yang sangat didambakan oleh suaminya, yakni terciptanya sebuah organisasi internasional yang ampuh untuk mencegah perangperang di masa depan. Setelah suaminya meninggal, Elleanor ditunjuk menjadi delegasi Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa,21 yang baru dan pada awal 1946, ia terpilih menjadi ketua pertama Komisi PBB untuk HAM.
19
R. Darmanto Djojodibroto, Tradisi Kehidupan Akademik, Galang Press, Yogyakarta,
2004, h. 43. 20
George Clack dan Kathleen Hug (Editor), Hak Asasi Manusia: Sebuah Pengantar, Th. Hermaya (Penerjemah), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, h.121-122. 21
Selanjutnya dalam Skripsi ini Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut PBB.
6
Dalam kedudukannya itu, Elleanor memainkan peran penting dalam menyusun Deklarasi Umum Hak-hak asasi Manusia.22 Dia terus bertugas sampai 1952. Dia tercatat pernah mengatakan:23 ... Bila saya menengok kembali pekerjaan yang sejauh ini telah dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia kami, saya menyadari bahwa maknanya ada dua macam. Pertama, kita telah merumuskan beberapa hak asasi. Selain itu, kita telah menemukan bahwa keadaan dunia kita zaman
sekarang
memerlukan
perincian
perlindungan-
perlindungan tertentu yang harus dimiliki seseorang agar dia memiliki rasa aman dan martabat akan dirinya sendiri. Pengaruhnya terus terang bersifat mendidik [ketikan miring oleh penulis]. Sungguh, saya suka membayangkan bahwa deklarasi tersebut akan menolong memajukan pendidikan rakyat di dunia secara besar-besaran [ketikan miring oleh penulis]. Bagi saya tampaknya yang paling penting ialah deklarasi tersebut diterima oleh semua bangsa yang menjadi anggota PBB, bukan karena mereka itu akan segara melaksanakan semua keputusan-keputusan mereka
wajib
deklarasi
mendukung
tersebut,
melainkan
pedoman-pedoman
yang
karena sejak
sekarang harus menjadi sasaran bangsa-bangsa itu [ketikan miring oleh penulis]. Karena sasaran-sasaran tersebut telah dirumuskan secara jelas, orang-orang yang berkehendak baik di mana pun juga akan berusaha untuk meraihnya dengan lebih bersemangat dan, saya yakin, dengan harapan sukses yang lebih besar...
22
Selanjutnya dalam Skripsi ini Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Tahun 1948 disebut DUHAM 1948 23
Dikutip dari Artikel Anna Elleanor Roosevelt, ―The Promise of Human Rights‖, Foreign Affairs, April 1948, George Clack dan Kathleen Hug (Editor), Op cit, h. 122.
7
Secara teoritik, bila mengacu kepada Vasak, yang memperkenalkan tiga generasi atau kategori mengenai HAM maka dapat dijelaskan bahwa Persamaan atau HAM Generasi Kedua diwakili oleh perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: ―hak atas‖ (right to), bukan dalam bahasa negatif: ―bebas dari‖ (freedom from). Inilah yang membedakannya dengan HAM Generasi Pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, dan kesenian.24 HAM Generasi Kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai hak-hak positif, yang sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan 24
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, Maret 2008, h. 15-16.
8
pekerjaan. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai hak derivatif—yang karena itu dianggap bukan hak yang riil. Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.25 Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan yang semula eksklusif dan elitis itu kemudian berkembang menjadi pendidikan untuk semua warga. Penegasan bahwa pendidikan itu menjadi hak setiap warga terdapat pada Pasal 26 DUHAM 1948 yang menyatakan: ―Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan.‖26 DUHAM 1948 yang bersumber dari deklarasi-deklarasi di Eropa dan Amerika Serikat tersebut membuka kesadaran semua pemimpin negara di dunia mengenai pentingnya pendidikan sebagai jembatan emas untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tersebut juga dimiliki oleh para pendiri bangsa di negeri ini, seperti yang tercermin secara jelas dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu media pencerdasan bangsa yang paling efektif dan dapat berlangsung massif. 27 Tugas pencerdasan tersebut kemudian dirumuskan secara jelas pada Pasal 31 UUD
25
Ibid, h. 16.
26
Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 75.
27
Ibid, h. 75-76
9
Tahun 1945 sebelum amandemen, yaitu : (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.28 Akan tetapi, Pasal 31 ayat (1) yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pengajaran juga tidak disertai konsep kewajiban bagi penjamin agar hak tersebut dapat dipenuhi. Demikian pula dengan ayat (2)-nya yang mewajibkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional selayaknya menjadi prioritas kewajiban pemerintah (karena sudah dinyatakan tertulis dalam hukum dasar negara).29 Dari rumusan-rumusan tersebut, tampak jelas terlihat bahwa konsep HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah ditafsirkan menjadi hak seseorang sebagai warga negara Indonesia. Selanjutnya dapat dikatakan juga bahwa penyempitan pengakuan HAM juga terjadi dalam hubungan pemikiran keterkaitan hak dan kewajiban asasi, dimana sebagai hak yang diberikan oleh pemerintah maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa sesuai dengan kepentingan penguasa, pemberian hak tersebut dapat dicabut oleh penguasa.30 Lebih parahnya, tidak ada lagi peraturan yang lebih tinggi daripada Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat mencegah penguasa untuk melakukan tindakan pencabutan HAM seseorang. Bahkan, mekanisme pencabutan yang tidak diatur benar-benar memberikan peluang bagi penguasa. 31
28
Ibid, h. 76.
29
Benny D. Setianto, Pergulatan Wacana HAM Di Indonesia, Penerbit Masscom Media, Cetakan I, Mei 2003, h. 38-39. 30 Ibid, h. 39. 31
Ibid.
10
Bunyi Pasal 31 UUD 1945 itu kemudian mengalami perubahan setelah terjadi reformasi politik 1998. Perubahan tersebut terutama menyangkut masalah kejelasan rumusan relasi warga versus negara dalam pemenuhan hak-hak atas pendidikan. Pasal 31 UUD Tahun 1945 hasil amandemen itu selengkapnya berbunyi:32 1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5. Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Ada beberapa hal baru yang ditawarkan pada bunyi Pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen tersebut dilihat dari aspek pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga. Pertama, terjadi penggantian kata ―pengajaran‖ menjadi ―pendidikan‖. Kata ―pengajaran‖ sebetulnya lebih jelas mengacu pada pendidikan di sekolah (formal). Sedangkan pendidikan sebetulnya lebih luas lagi karena bisa mencakup
32
Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 76.
11
pendidikan formal (di sekolah) maupun pendidikan non formal (di luar sekolah). Dengan kata lain, pasal ini sebetulnya justru mereduksi keharusan negara untuk menyelenggarakan pengajaran dan melimpahkannya kepada pendidikan non formal.33 Kedua, adanya kejelasan hubungan antara warga versus negara, yaitu apa yang disebut sebagai ―hak‖ warga tersebut ―wajib‖ dipenuhi oleh negara. Ayat ini terutama untuk memberikan penegasan payung hukum dari program wajib belajar sembilan tahun yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah Orde Baru sejak 2 Mei 1994. Selama itu, pengertian ―wajib belajar‖ yang melekat kepada anak usia antara 7-15 tahun tidak selalu diikuti dengan kewajiban negara untuk memenuhi anggarannya. Dengan rumusan yang baru tersebut diharapkan timbul kejelasan hubungan atas kewajiban yang harus ditanggung negara, yaitu dalam hal pembiayaannya.34 Ketiga, bunyi ayat (4) yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ayat tersebut dimaksudkan untuk memperjelas ukuran tanggung jawab negara dalam hal membiayai pendidikan untuk warganya. Serius tidaknya negara memenuhi hakhak atas pendidikan warganya itu dapat dilihat dari seberapa besar anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan. Angka sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD dipilih berdasarkan pengalaman negara-negara lain yang telah
33
Ibid.
34
Ibid, h. 77.
12
memberikan anggaran lebih dari 25% dari APBN untuk pendidikan. Sehingga bila pemerintah Indonesia pun mampu mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD itu merupakan kemajuan yang signifikan.35 Bunyi Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen tersebut dipertegas lagi dengan pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa: (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).36 Namun disayangkan bahwa rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang diamandemen serta bunyi Pasal 49 UU Sisdiknas tersebut terdistorsi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi.(MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang di dalamnya mengamanatkan bahwa anggaran 20% itu termasuk gaji pendidik dan pendidikan kedinasan sebagai bagian dari komponen pendidikan yang harus dimasukkan dalam penyusunan anggaran dan belanja pendidikan pada APBN dan APBD. Berdasarkan pemberitaan Koran Tempo, yang dikutip oleh Darmaningtyas dan Nasution, Putusan tersebut muncul sebagai jawaban terhadap permohonan gugatan yang diajukan oleh Rahmatiah Abbas, guru dari Sulawesi Selatan dan Badryah Rifai, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar tentang pengujian materi UU Sisdiknas, khususnya pasal 49 tentang anggaran pendidikan. 35
Ibid.
36
Ibid.
13
Menurut Putusan MK tersebut, pasal 49 Ayat 1 UU Sisdiknas yang mengecualikan gaji pendidikan di dalam presentase anggaran pendidikan dianggap bertentangan dengan pasal 31 Ayat 4 UUD 1945. Sehingga yang terjadi pada saat ini adalah anggaran pendidikan di setiap daerah atau secara nasional lebih 20% dari APBN/APBD, namun 70% dari anggaran tersebut dipergunakan untuk menggaji guru dan dosen serta untuk membiayai pendidikan kedinasan. Dampak buruknya adalah tidak ada jaminan bahwa wajib belajar sembilan tahun itu gratis. Oleh karena anggaran pendidikan yang ada tidak cukup untuk membiayai operasional pendidikan, maka konsekuensinya adalah membebankan biaya pendidikan kepada murid-murid. Realitas ini tentunya bertentangan dengan Pasal 26 DUHAM 1948 yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa pendidikan dasar itu gratis.37 Padahal pendidikan adalah salah satu hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu bentuk asasi yang melekat pada setiap orang dan negara wajib memenuhinya. Belum lagi kalau dibahas secara lebih khusus, misalnya mengenai pendidikan yang berbasis HAM, yang berarti berbicara pendidikan ditinjau dari aspek hak, bukan dari aspek filosofis, sosiologis, apalagi metodologis. Penjernihan pengertian semacam ini penting mengingat ada banyak isu yang muncul dalam bidang pendidikan.38 Wacana tentang ―Pendidikan Berbasis HAM‖ di Indonesia dapat dikatakan terlambat bergaung karena pada masa Orde Baru, 39 dengan sistem kekuasaan yang
37
Ibid, h. 77-78.
38
Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 71.
39
Karakter politik Indonesia Era Orde Baru antara lain; pertama, partisipasi dan kekuasaan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional sepenuhnya dikuasai oleh para pejabat tinggi
14
amat otoriter, perhatian publik tidak tertuju ke sana, tapi lebih tertuju pada pemenuhan hak-hak sipil dan politik (Sipol). Maklum pada saat itu, dengan kekuasaan yang bercorak militeristik, seseorang dapat ditangkap dan dipenjarakan kapan saja tanpa proses hukum yang jelas. Demikian pula hak politik pun terkekang, kebebasan pers dan berorganisasi tidak ada, partai politik hanya dikunci menjadi tiga saja, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Wajar bila konsentrasi perjuangan pada masa Orde Baru itu lebih condong pada pemenuhan hak Sipol saja. Tapi pasca reformasi politik, yaitu sejak Presiden Suharto mundur pada tanggal 21 Mei 1998, muncul perhatian baru pada pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Pendidikan termasuk di dalamnya. Itu sebabnya perhatian kita terhadap pemenuhan hak-hak atas pendidikan yang berbasis HAM itu jadi terhambat dan baru muncul sekarang. 40 Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya diperlakukan secara berbeda dengan Hak Sipil dan Politik. Dalam banyak hal perbedaan itu dibuat-buat karena semua hak bersifat saling tergantung dan tidak terbagi-bagi. Tidaklah mungkin membuat perbedaan antara sumber-sumber hak dan kebebasan yang berbeda.41 Pasal 2 adalah ketentuan yang paling penting untuk memahami sifat hak ekonomi, sosial, dan budaya. Patut dicatat bahwa ―dipandang dari segi sistem politik dan ekonomi, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) negara, termasuk para teknokrat; kedua, adanya ketergantungan kekuasaan para penguasa politik Orde Baru pada beberapa pilar elit politik dan membangun dukungan politik melalui distribusi sumber daya ekonomi; dan ketiga, menciptakan partisipasi terkontrol melalui penciptaan lembagalembaga korporatis negara, yang berusaha membangun pluralisme terbatas melalui penggunaan represi kooptasi, serta sebuah jaringan lembaga korporasi untuk mengendalikan oposisi. Lihat Kata Pengantar Penerbit dalam Cornelis Lay, Presiden, Civil Society dan HAM, Cet. I, Jakarta, Penerbit Pensil 324, 2004, h. v. 40
Darmaningtyas dan Heranisty Nasution, Op cit, h. 71-72.
41
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Editor), Op cit, h. 112.
15
bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai digambarkan sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan sistem sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran, terencana yang terpusat atau bebas (laissez-faire) atau pendekatan tertentu... hak yang diakui di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) dapat diwujudkan dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang beragam dan luas, asalkan sifat saling tergantung dan tidak terbagi-bagi kedua perangkat hak asasi manusia tersebut, ... diakui dan dicerminkan dalam sistem yang bersangkutan‖.42 Apa ada hirarki hak yang laten? Beberapa orang berargumentasi bahwa ada hirarki hak yang tersembunyi, dengan melihat Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menduduki tempat kedua.43 Namun sebagai bagian integral dari sistem Hak Asasi Manusia, banyak hak sipil dan politik yang bergantung pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kedua sistem ini saling bergantung. Hak partisipasi politik44 membutuhkan pendidikan45 dan hak untuk hidup46 didasarkan pada perawatan-perawatan kesehatan yang memadai.47 Jadi tidak mungkin untuk membedakan kedua Kovenan itu berdasarkan hak dan kebebasan yang terkandung di dalamnya. Memang mungkin dapat diperdebatkan bahwa beberapa hak secara praktis lebih penting dari yang lain, hak untuk hidup 42
Komisi untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Komentar Umum 3, dari dok. PBB/E/1991/23, paragraf 8, Ibid, h. 112-113. 43
Lihat di Beetham, ―What Future for Ekonomic and Sosial Rights?‖, Political Studies, 1995, h. 41-60, Ibid, h. 113. 44
Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Ibid.
45
Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Ibid.
46
Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Ibid.
47
Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Ibid.
16
adalah contoh nyata. Namun dari sudut pandang hukum tidaklah mungkin untuk menentukan hirarki hak karena dengan meratifikasi suatu kovenan maka ada kewajiban yang muncul untuk menghormati hak secara sama.48 Memperhatikan pentingnya hak atas pendidikan, maka dengan sendirinya persoalan korupsi di bidang pendidikan harus disorot secara serius. Sekadar contoh, ICW (Indonesian Corruption Watch), pernah mempertanyakan mengapa kenaikan anggaran pendidikan tidak sebanding dengan kinerja indikator pendidikan. Kemudian terungkap bahwa salah satu penyebabnya ialah korupsi anggaran pendidikan.49 Disebutkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun, penegak hukum telah mengusut 142 kasus korupsi pendidikan yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. Selain itu, penegak hukum juga telah menetapkan 287 tersangka. Dari 142 kasus tersebut, sebagian besar terjadi pada tahun 2007. Besarnya kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 berkaitan dengan pengelolaan dana DAK yang mengalami kebocoran di berbagai daerah.
48
Ibid.
49
itjenkemendiknas.go.id, Peran Masyarakat Sipil Dalam Pemberantasan Korupsi Di Kemendikbud ICW, 2013, ICW Korupsi Pendidikan Manado.pptx, slide 4-5. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCUQFjAA&url =http%3A%2F%2Fitjen.kemdiknas.go.id%2Fdownlot.php%3Ffile%3DICW%2520Korupsi%2520 Pendidikan%2520Manado%25202013.pptx&ei=RzDlUur8CcSJrQeN7oDQDg&usg=AFQjCNHX VKOindVzCN3Nd_skXAVoD845rw, dikunjungi pada Minggu 25 Januari 2014, pukul 14.04 WIB.
17
Tabel 1: Kerugian Negara Dalam Korupsi Pendidikan 2004 – 2008 50 Kerugian Negara
Tahun Terjadi
Kasus
2004
25
60.7
2005
11
5.5
2006
27
11.3
2007
65
135.3
2008
14
30.4
Total
142
243.3
(Rp Miliar)
ICW bahkan mengatakan bahwa kasus korupsi yang berhasil ditindak masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan korupsi sebenarnya terjadi!51
B. Rumusan Masalah Mengapa korupsi dana pendidikan merupakan pelanggaran HAM?
C. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis alasan-alasan korupsi dana pendidikan sebagai pelanggaran HAM.
50
Ibid, slide 6
51
Ibid.
18
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritik untuk mengidentifikasi dan mendesiminasi kaidah-kaidah hak atas pendidikan, khususnya yang harus dilindungi dari praktek korupsi sekaligus yang dapat didayagunakan untuk melawan korupsi; dan 2. Secara praktis untuk memperkuat semangat perjuangan HAM pada umumnya dan hak atas pendidikan pada khususnya.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum (legal research) secara deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa di masa sekarang. 52 Dalam konteks ini, penulis ingin mengetahui alasan-alasan korupsi sebagai pelanggaran HAM. Pendekatan yang digunakan penulis ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan produk legislasi dan regulasi.53 Dalam hal ini misalnya DUHAM 1948, Kovenan Sipol, Kovenan Ekosob, Konvensi Hak Anak, Konvensa Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999. Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sejarah dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih lengkap berkaitan dengan korupsi, terutama
52
Moh. Natsir, Metode Penelitian, Ghalia, Jakarta, 1983, h. 63.
53
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 97.
19
alasan-alasan korupsi sebagai pelanggaran HAM dan cara pencegahan dan pemberantasannya secara hukum. Pendekatan sejarah ini juga berkenaan dengan fakta bahwa korupsi sudah sangat lama terjadi, di Indonesia, padahal gagasan dan nilai-nilai HAM juga sesungguhnya sudah lama ada dan berkembang secara luas.
2. Bahan Hukum Penelitian Sumber penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, maka bahan hukum primer yang digunakan dalam menjawab permasalahannya adalah berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan hukum korupsi, Sedangkan bahan hukum sekunder adalah sebagai pelengkap atau penunjang terhadap bahan hukum primer yang diperoleh dari
literatur-literatur tentang HAM dan hukum anti-korupsi,
misalnya dalam bentuk buku-buku maupun artikel-artikel.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum penelitian dilakukan melalui studi pustaka.
4. Metode Analisa Data Dalam melakukan analisis data untuk menjawab permasalahan penelitian maka metode yang digunakan adalah metode yuridis kualitatif.
20
5. Unit Amatan dan Unit Analisa Unit amatan dalam penelitian ini adalah DUHAM 1948, Kovenan Sipol, Kovenan Ekosob, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999. Sedangkan unit analisanya bersangkutan dengan kaidah-kaidah HAM
21