BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk konsolidasi kapasitas fiskal daerah yang dilakukan oleh salah satu pemerintah daerah otonomi baru (DOB) yang lahir pasca runtuhnya orde baru,
yaitu Kabupaten
Penajam Paser Utara – Provinsi Kalimantan Timur. Dasar hukum pembentukan daerah Kabupaten Penajam Paser Utara adalah UU No. 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara, kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran di bagian utara Kabupaten Paser.1 Sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru, perubahan nyata yang terjadi dalam sistem pemerintahan di Indonesia adalah bentuk penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang disahkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.2 Sebagai akibat dari dianutnya desentralisasi, maka dalam pelaksanaannya dibentuklah daerah-daerah
Awalnya nama dari Kabupaten Paser adalah Kabupaten Pasir, akan tetapi berdasarkan pada pertimbangan latarbelakang sejarah Kerajaan Paser di wilayah tersebut maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 49 Tahun 2007 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pasir menjadi Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. 2 Sampai dengan tahun 2014 undang-undang tersebut telah mengalami dua kali penyempurnaan yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 1
otonom, yaitu daerah yang diberikan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.3 Semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang tertuang dalam UU. No 22 Tahun 1999, telah mengantarkan Pemerintah Daerah untuk lebih mandiri dalam mengurus urusan rumah tangganya sendiri, termasuk dalam mengurus keuangannya dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Penilaian terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dinilai sebagai kebijakan yang responsif dan terkesan reaktif terhadap tuntutan masyarakat pada masa transisional Habibi, kebijakan tersebut dipilih agar dapat meredam hasrat kedaerahan yang sudah dipendam sekian lama.4 Seiring dengan berjalannya waktu kebijakan desentralisasi dan otonomi kemudian berkembang menjadi sebuah wacana untuk melakukan pemekaran daerah. Menjamurnya wacana pemekaran daerah telah menjadi banyak perhatian baik media, elit politik, pemerintah maupun akademisi. Selain menjadi perhatian, pemekaran daerah juga menjadi sebuah
keprihatinan
kerena
terjadi
pembengkakan
jumlah
unit
pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan pada rekam data Kemendagri, dari tahun 1999 hingga 2014 total daerah otonom di Indonesia berjumlah 542 daerah, yang terdiri dari 34 provinsi, 415
Josef Riwu Kaho, 2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PolGov – Fispol UGM, hal 17. 4 Cornelis Lay, Otononomi Daerah dan Ke-Indonesiaan, dalam Abdul Gaffar Karim, 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, hal 16-17. 3
kabupaten dan 93 kota. Dari jumlah tersebut yang merupakan daerah otonom baru adalah 8 provinsi, 181 kabupaten dan 34 kota.5 Berbagai asumsi-asumsi tentang pemekaran daerah baik secara normatif maupun secara teoritis menyebutkan bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk mengembangkan demokrasi lokal, mempercepat pelasanaan memudahkan
pembangunan, dalam
meningkatkan
pemberian
pelayanan
kemandirian kepada
daerah,
masyarakat,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan lain sebagainya. Berdasarkan perkembangan dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Depdagri (2005), Bappenas (2007), Kompas (2008), Lemhannas (2009)menunjukkan
bahwa
daerah-daerah otonomi
baru lebih banyak
mengalami permasalahan ketimbang membuat kemajuan daerah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat.6 Karena adanya kecenderungan buruknya kinerja sebagian besar daerah pemekaran maka pada tanggal 14 Juli 2010, Presiden Susilo Bambang Widoyono, menegaskan tentang pentingnya moratorium atau jeda pemekaran daerah. Ia menyatakan bahwa sekitar 80% daerah pemekaran dinilai kurang berhasil dan menimbulkan banyak masalah dan sisanya yang 20% dinyatakan berhasil.7
Lihat, http://www.kemendagri.go.id/news/2015/11/21/ini-penyebab-dob-gagal diakses tanggal 17 Mei 2015. 6 Tri Ratnawati. 2010. Satu Dasa Warsa Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21. Hal. 124 7 “80% Daerah Pemekaran Bermasalah” Kompas, 15 Juli 2010. 5
Selain itu hasil kajian riset yang dilakukan oleh Rita Helbra yang merupakan salah satu peneliti dari pusat kajian APBN, dengan judul “Pemekaran Daerah: Kebutuhan atau Euforia Demokrasi? Menyibak
Kegagalan Pemekaran” telah menemukan bahwa ada beberapa penyebab dari kegagalan pemekaran daerah di Indonesia yaitu karena jalur legislatif yang berperan terhadap usulan pemekaran, mempersempit kapasitas fiskal Pemerintah Pusat, dependensi terhadap APBN semakin besar, span of control dari Pemerintah pusat yang semakin melemah, kelestarian lingkungan terancam, dan beban kehidupan semakin tinggi.8 Dari banyaknya daerah otonomi baru yang dinyatakan gagal, salah satu faktor penghambat yang paling krusial disebabkan oleh penurunan kapasitas fiskal daerah (terutama PAD). Kapasitas fiskal daerah merupakan salah satu indikator dalam uji kelayakan pemekaran daerah, pertimbangannya karena dalam penyelenggaraan otonomi daerah hal terpenting yang harus diperhatikan adalah kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan.9 Logikanya, suatu daerah otonom dapat berjalan dengan baik apabila kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan telah memadai, paling tidak dapat membiayai kebutuhan pokok pemerintahan daerah. Blane dan Chakery menegaskan bahwa pemekaran daerah tanpa memperhatikan
8
Rita Helbra, Pemekaran Daerah: Kebutuhan atau Euforia Demokrasi? Menyibak Kegagalan
Pemekaran
Uji kelayakan pemekaran daerah telah diatur dalan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, kemudian direvisi menjadi PP No. 78 Tahun 2007 dengan nama yang sama. 9
kemampuan keuangan daerah diperkirakan nantinya akan mengalami kesulitan dalam mendorong proses pembangunan dan bahkan sukar dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah secara baik.10 Selama ini fenomena pemekaran daerah di Inodenesia didorong oleh derasnya tekanan politik dan perebutan kekuasaan. Tekanan yang kuat dari daerah kemudian direspon positif oleh pemerintah pusat, padahal dalam selama proses pemekaran telah banyak memberikan beban terhadap pemerintah pusat, baik beban fundamental maupun beban finansial dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemekaran daerah juga telah dicurigai sebagai arena untuk mendapatkan suntikan dana transfer dari pemerintah pusat. Dengan disetujuinya pemekaran daerah dapat diartikan pula bahwa akan ada keharusan dari perintah pusat untuk menyuntikkan dana ke pemerintah daerah yang baru. Dengan tersedianya jaminan politik bahwa pemerintah pusat akan membantu mencukupi segala kebutuhan pemerintah daerah melalui dana perimbangan yang mencakup Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar Pemerintah Daerah yang satu dengan yang lainnya (horizontal imbalance). Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah diberikannya hak dan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah atau disebut dengan desentralisasi fiskal. Desentralisasi Lihat, Agung Djojosoekarto, dkk. 2008. Grand Strategi Penataan Daerah Tahun 2025 Bunga Rampai Wacana. Kemitraan Partnership. Hal 26 10
fiskal memberikan kewenangan kepada setiap daerah otonom untuk mengelola keuangan daerahnya sesuai dengan peraturan perudanganundangan yang berlaku.11 Prinsip dasar dalam desentralisasi fiskal adalah “money follows function” dimana pemerintah daerah mendapatkan kewenangan dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pembangunan di daerahnya. Selain itu dengan adanya desentralisasi fiskal, Pemerintah Pusat telah menyerahkan sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) kepada Pemerintah Daerah untuk dikelola secara optimal agar mampu membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya. Agar pemerintah daerah dapat menjalan tugas dan fungsinya secara optimal, khususnya dalam rangka meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, maka dibutuhkan sumber daya yang tersedia secara mencukupi, khususnya sumber daya manusia dan anggaran. Blakely dan Bradshaw telah memformulasikan pembangunan ekonomi daerah merupakan kombinasi antara kapasitas dan sumber daya daerah.12 Ia juga menambahkan bahwa sumber daya utama untuk pembangunan ekonomi daerah terdiri dari material , sumber daya manusia, pasar, manajemen dan uang.13
Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan keuangan antar pusat dan daerah diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kemudia diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 dengan nama yang sama. 12 Blakely Edward J and Bradshaw Ted K, 2002, Planning Local Economic Development, Trird Edition. Thousand Oaks : Sage Publications. Hal 55. 13 Ibid, hal 173. 11
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas maka penelitian ini hendak mengajukan sebuah argumentasi bahwa dari banyaknya daerah otonomi baru yang gagal merupakan sebuah problematika yang muncul di permukaan, yang merupakan suatu gejala dari sebuah persoalan yang mendasar. Adapun salah satu persoalan yang mendasar adalah bagaimana sebuah daerah otonomi baru mampu mengelola kapasitas dan sumber daya daerahnya. Kapasitas dan sumber daya daerah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kapasitas fiskal daerah. Penelitian ini akan dilakukan secara parsial yaitu hanya pada satu lokasi dan hanya fokus pada aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya dilihat berdasarkan pada konsep konsolidasi kapasitas fiskal daerah di salah satu daerah otonomi baru. Daerah yang dipilih dalam penelitian ini adalah salah satu kabupaten yang terbentuk pasca Reformasi yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU)-Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan hasil pemekaran daerah di wilayah bagian utara Kabupaten Paser (kabupaten induk). Adapun kondisi penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Penajam Paser Utara dilihat berdasarkan pada bentuk konsolidasi Kapasitas Fiskal daerah setelah menjadi daerah otonomi baru atau setelah terpisahnya anggaran antara daerah induk dengan daerah pemekaran (pasca T1 dan T2). Dengan demikian penelitian ini akan melihat bentuk konsolidasi
kapasitas fiskal yang selama ini dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Penajam Paser Utara periode 2005-2014
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latarbelakang masalah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana konsolidasi kapasitas fiskal di Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai daerah otonomi baru periode 2005-2014?”
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan maslah diatas, maka penelitian bertujuan untuk mengetahui konsolidasi kapasitas fiskal daerah Kabupaten Penajam Paser Utara pasca terpisah dari Kabupaten Induk (sebagai daerah otonomi baru). Secara lebih rinci tujian dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui upaya konsolidasi kapasitas fiskal daerah Kabupaten Penajam Paser Utara pasca menjadi DOB. 2. Mengetahui pengaruh konsolidasi kapasitas fiskal daerah terhadap kemandirian fiskal daerah di Kabupaten Penajam Paser Utara.
D. Kerangka Teori Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan tentang bentuk konsolidasi kapasitas fiskal daerah pada satu daerah hasil pemekaran atau daerah otonomi baru (DOB) sehingga ada beberapa konsep yang dituliskan di dalam kerangka teori. Selain itu, dalam upaya menelusuri logika konsolidasi kapasitas fiskal yang dilakukan oleh salah satu daerah otonomi baru, maka terdapat beberapa konsep penjelas. Dalam penelitian ini terdapat dua kata kunci utama yaitu desentralisasi politik dan fiskal dalam pemekaran dan konsolidasi kapasitas fiskal. Agar dapat memahami penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan secara rinci sehingga terjadi kolerasi dari dua hal tersebut. Alur Pikir Konsolidasi Kapasitas Fiskal Daerah Otonom Baru
Desentralisasi Politik Pemekaran
Konsolidasi Pendapatan Fiskal: PAD dan DBH
Kapasitas Fiskal
Kemandirian Fiskal Daerah
Optimalisasi PAD sebagai sumber pendapatan fiskal
1. Desentralisasi Politik dan Fiskal dalam Pemekaran Daerah Berdasarkan pada rekam sejarah pembentukan daerah otonom atau pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia yaitu pada tahun 1880, pada saat itu terjadi perdebatan tentang perlunya desentralisasi pemerintahan di daerah jajahan Hindia-Belanda. Perdebatan tentang keinginan untuk menyelenggarakan desentralisasi pemerintahan tersebut ditindak lanjuti dengan lahirnya “Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in
Nederlandsch Indie” Decentralisatiewet
atau yang lebih dikenal dengan sebutan 1903 (Sbt.1903/329). Decentralisatiewet atau
Undang-undang Desentralisasi 1903 inilah yang merupakan awal dari munculnya keinginan untuk melakukan pemekaran daerah, karena dalam undang-undang tersebut memberikan kemungkinan bagi pembentukan
Gewest atau bagian dari Gewest yang mempunyai keuangan sendiri untuk membiayai kegiatannya.14 Pilihan terhadap pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan
suatu
mengupayakan
respon
dan
penyelenggaraan
pilihan
strategi
pemerintahan
negara
secara
dalam
demokratis.
Sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah maka setiap Pemerintah Daerah diberikan hak, wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola potensi daerahnya berbasis kultural. Era reformasi telah menggeser paradigma desentralisasi administratif yang dianut pada masa orde baru
Josep Riwu Kaho. 2010. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 14
Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 23-24.
menjadi desentralisasi politik pasca disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Iklim
kebebasan
pada
era
reformasi
telah
di
manfaatkan
momentumnya untuk membuat sebuah kesepakatan politik yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah permintaan untuk melakukan pemekaran daerah. Pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB) sangat kuat dengan perspektif politik desentralisasi
dan
otonomi daerah yang menekankan pada usaha penyebaran kekuasaan pemerintahan dan tuntutan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Secara umum, pemekaran daerah merupakan bagian dari proses penataan daerah (territorial reform). Tri Ratnawati dengan mengacu pada pendapat Gabrielle Ferrazi (2007) bahwa pemekaran daerah sebagai bagian dari proses penetaan daerah atau territorial reform atau
administrative refrom, merupakan management of size, shape dan hierarchy of local government units for the purpose goals15 Di Indonesia, pemekaran daerah merupakan salah satu kebijakan territorial refrom yang disukai oleh negara pada masa reformasi. Menurut Nurkholis (2007), restrukturasi yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah pemekaran dan penggabungan, karena kewenangan untuk melakukan aneksasi dan
Tri Ratnawati. 2010. Satu Dasawarsa Pemekaran Daerah: Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah? dalam Jurnal Ilmu Politik No. 21, AIPI dan Pustaka 15
Pelajar.
pelepasan umumnya hanya dapat dilakukan oleh Negara atau Pemerintah Pusat.16 Agung Djojosoekarto telah menjelaskan dalam buku yang berjudul “Grand Strategy Penataan Daerah Tahun 2025”, bahwa pemekaran daerah merupakan konsekuensi logis dari dinamika politik lokal yang bermuara pada keinginan masyarakat untuk mengembangkan potensi sumber daya lokal secara mandiri. Ia juga menjelaskan lebih detail tentang tujuan pemekaran yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan masyarakat serta pengembangan demokratisasi di tingkat lokal.17 Selaras dengan itu, Riswandha Imawan (2006) menyatakan bahwa kehadiran daerah dan pemerintahan baru bukan saja mendekatkan pelayan kepada masyarakat, tetapi juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengelola dinamika sosial, politik, maupun ekonomi mereka secara mandiri.18 Agung juga telah menjelaskan bahwa nilai dasar pembentukan suatu daerah otonom terdiri atas efesiensi dan efektivitas administrasi, demokrasi pemerintahan, dan ketahanan nasional. Efisiensi administrasi dapat mencakup daya saing daerah (kemampuan daerah dalam mengembangkan wilayah), skala ekonomi, dan jumlah beban provinsi (jumlah urusan dan kewenangan), Efektivitas administrasi mencakup
span of control, aksessibilitas, dan potensi wilayah. Sedangkan demokrasi Ibid, 15 Ibid, hal 9. 18 Riswandha Imawan. 2006. Urgensi Politik Pembentukan Pemekaran Daerah Otonom. Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 23. Hal 14. 16 17
pemerintahan mencakup aspirasi masyarakat, kontrol masyarakat, dan keterwakilan. Yang terakhir ketahanan nasional mencakup geopolitik dan geostrategi.19 Dalam prosedur pembentukan daerah otonomi baru dapat menggunakan dua pendekatan yaitu bottom up dan top down. Pendekatan
bottom up dapat dilihat dari adanya usulan dari masyarakat yang secara formal yang dinyatakan dalam usulan dari pemerintahan terbawah (Pemerintah Kabupaten) naik ketingkat menengah (Pemerintah Provinsi) hingga ketingkat teratas (Pemerintah Pusat). Sedangkan pendekatan top
down dapat dilihat dari kewajiban calon daerah pemekaran untuk memenuhi berbagai persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan sebelum dapat ditetapkan sebagai daerah otonom melalui undang-undang.20 Secara ideal, konsep pemekaran daerah seharusnya didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat daerah untuk lebih baik. Oleh karena itu pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonomi baru harus ditunjang dengan melihat kebutuhan nyata dan daya dukung sumber daya yang tersedia di daerah.Pemekaran daerah yang dilakukan tanpa melihat kebutuhan nyata dan dukungan sumber daya, dikhawatirkan akan gagal dalam
menjalankan
pemerintahan.
19 20
Agung., Op. Cit., hal 30. Ibid., hal 9.
tugas
dan
fungsinya
sebagai
penyelenggara
Beradasarkan pada data empiris memberikan fakta bahwa daerah otonomi baru memiliki tingkat ketergantungan keuangan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat atau dengan kata lain sebagian besar daerah otonom baru hanya mengandalkan dana transfer dari Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan daerahnya. Padahal pembentukan daerah otonomi baru dilakukan melalui proses panjang serta penilaian yang dianggap objektif dengan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu faktor yang medukung keberhasilan penyelenggaran tugas Pemerintah daerah, sebagai perwujudan dari otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab adalah karena tersedianya sumber pembiayaan (keuangan) yang memadai. Kaho menegaskan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-
supporting dalam bidang keuangan.21 Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan, maka Gie menegaskan : “Pada prinsipnya setiap daerah harus dapat membiayai sendiri
semua kebutuhannya sehari-hari yang rutin. Apabila untuk kebutuhan daerah itu masih mengandalkan bantuan keuangan dari pemerintah pusat, maka sesungguhnya daerah tersebut tidak otonomi. Otonomi yang diselenggarakan tidak akan ada artinya, karena akan mengikuti irama datangnya dan banyaknya bantuan pusat itu. Dengan demikian daerah itu tidak dapat dikatakan memiliki kehidupan sendiri.”22 Josef Ruwi Kaho., Prospek Otonomi Daerah, op.cit., hal 138 The Liang Gie., 1995, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid II. Liberty, Yogyakarta, hal. 270 21 22
Berdasarkan pada urain di atas, artinya Pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan menggali semua sumbersumber
keuangannya
sendiri
berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan yang berlaku. Tanpa adanya sumber dana yang cukup maka ada kemungkinan suatu daerah tidak dapat menyelenggarakan tugas, fungsi, serta kewenangan yang yang dimiliki untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, tapi juga ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom menjadi hilang.23 Untuk
dapat
menjalankan
fungsi-fungsi
dan
kewenangan-
kewenangannya yang diekspresikan dalam wujud kebutuhan fiskal, setiap daerah otonom dibekali dengan kapasitas fiskal daerahnya masingmasing. Berdasarkan pada buku-buku teks ilmu ekonomi, kapasitas fiskal didefinisikan sebagai kemampuan kelompok, organisasi, lembaga dan lain sebagainya untuk menciptakan penerimaan atau pendapatan keuangan daerah. Compson dan Navratil mengartikan kapasitas fiskal sebagai kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan penerimaan dari berbagai sumber daya yang dimilikinya.24 Agung telah mendefinisikan kapasitas fiskal sebagai kemampuan keuangan daerah untuk membiayai seluruh tugas pokok pemerintahan dan kegiatan pembangunan daerah bersangkutan diluar dari kebutuhan
Josef Ruwi Kaho., Prospek Otonomi Daerah, op.cit., hal 139 Michael Comspson dan John Navratil, 1997, An Improved method for Estimating the Total Resources of the States. Research Paper No. 9702. 23 24
gaji pokok aparatur daerah. Ia juga menjelaskan bahwa kapasitas fiskal daerah merupakan hasil penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dengan Dana Bagi Hasil.25 Secara singkat Geri dan Mickiewicz mendefinisikan kapasitas fiskal sebagai kemampuan daerah untuk meningkatkan pajak secara efisien.26 Secara normatif, rasio kapasitas fiskal dinyatakan dengan angka Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) yang kelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu : 1) daerah yang IKF-nya lebih dari atau sama dengan 2 (IKF ≥2) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Sangat Tinggi; 2) daerah yang IKF-nya antara lebih dari atau sama dengan 1 sampai kurang dari 2 (1 ≤ IKF < 2) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Tinggi; 3) daerah yang IKF-nya antara lebih dari atau sama dengan 0,5 sampai kurang dari 1 (0,5 < IKF < 1) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Sedang; dan
Agung., Op.cit., hal 26. Christopher J Gerry dan Tomasz Mickiewicza, 2006, Inequality, Fiscal Capacity and the Political Regime: Lessons from the Post-Communist Transition, William Davidson Institute Working Paper Number 831, hal 2. 25 26
4) daerah yang IKF-nya antara kurang dari atau sama dengan 0,5 ( IKF ≤ 0,5 ) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Rendah.27 Meskipun indeks perhitungan telah mengkatagorikan kapasitas fiskal dengan empat kategori yaitu, sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah, perlu dipahami bahwa kapasitas fiskal yang lemah tidak selamanya berdampak pada posisi fiskal yang lemah. Daerah dengan kapasitas yang rendah dapat menjaga stabilitas fiskalnya dengan cara mengatur agar penerimaan sama dengan pengeluaran. Daerah dapat mengupayakan penerimaan yang tinggi, pengeluaran yang aktual rendah, atau melalui transfer dari Pemerintah Pusat. 2. Konsolidasi Kapasitas Fiskal di DOB 2.1 Konsolidasi melalui Pendapatan Fiskal Kapasitas fiskal daerah pada dasarnya merupakan gambaran dari kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola penerimaan dan membiayai
pengeluarannya
dalam
rangka
menjalankan
tugas
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Selain itu, karena dikaitkan dengan kemandirian daerah, maka kapasitas fiskal juga mengindikasikan kemampuan pemerintah daerah dalam mengatasi ketergantungan dana transfer Pemerintah Pusat. Untuk meminimalisir ketergantungan fiskal daerah terhadap dana perimbangan dari Pemerintah Pusat, maka setiap daerah otonom Lihat berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 226 Tahun 2012 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah. 27
termasuk pula daerah otonomi baru (DOB) membutuhkan suatu bentuk upaya konsolidasi keuangan daerah yang bersumber pada kapasitas fiskal daerah. Secara global konsolidasi diartikan sebagai perbuatan untuk memperkuat, mempersatukan, memperteguh atau menghubungkan. Selain itu konsolidasi juga diartikan sebagai penggabungan beberapa elemen untuk bersama-sama secara terpadu dan memiliki satu tujuan bersama. Dalam rangka konsolidasai kapasitas fiskal, Compson dan Navratil mengatakan
bahwa
cara
pengukuran
yang
digunakan
untuk
mengestimasikan kapasitas fiskal suatu daerah yaitu melalui dua kategori umum untuk mengukur kapasitas fiskal, yaitu indek sumber daya ekonomi atau pendapatan daerah dan indek penerimaan relatif yang dapat ditingkatkan dibawah suatu standar kebijakan fiskal.28 Artinya konsolidasi kapasitas fiskal adalah penguatan yang dapat dilakukan melalui pengelolaan sumber daya yang dimiliki dan terdapat dasar hukum atau kebijakan-kebijakan yang mengaturnya. Di Indonesia, nilai dari kapasitas fiskal daerah ditentukan oleh dua komponen sumber pendapatan fiskal daerah yang keduanya telah diatur ke dalam undang-undang yang berlaku, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Secara konseptual definisi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah bagian dari pendapatan daerah
28
Michael Comspson dan John Navratil,. Op. Cit.
yang berasal dari potensi daerah dimana peraturan dan pelaksanaannya telah ditetapkan dalam perundang-undangan yang berlaku. Penggalian sumber keuangan daerah sejalan dengan keinginan akan adanya suatu paradigma baru yang sesuai dengan konsep Reinventing
Goverment, yaitu konsep pemerintah yang disemangati oleh logika-logika wirausaha (bisnis). Dengan demikan pemerintah dapat bersikap profesional dan harus berusaha untuk mendapatkan tambahan dana dengan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) agar dapat menunjang penyelenggaraan otonomi daerah. Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan daerah yang harus terus menurus dipacu pertumbuhannya. Veraningsih menegaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pembiayaan yang benar-benar harus digali dari daerah itu sendiri sehingga mencerminkan kondisi riil daerah. Ia kembali menegaskan bahwa “jika struktur PAD-nya sudah kuat maka dapat dikatakan daerah itu juga memiliki kemampuan pembiayaan sendiri yang kuat”.29 Selain itu Mardiasmo juga berpendapat bahwa Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga dapat melaksanakan otonomi dan memiliki keleluasaan daerah (local
discration).30
Ketergantungan terhadap pemerintah pusat harus
Estie Veraningsih, 2009, Beberapa faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Fiskal di Provinsi Jawa Timur, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Pembangunan, Volume 1 No. 1, hal. 3. 30 Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, hal 146. 29
seminimal mungkin dilakukan, sehingga PAD dapat menjadi sumber keuangan terbesar dalam total pendapatan daerah. Artinya, pada prinsipnya semakin besar kontribusi PAD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka semakin kecil tingkat ketergantungan daerah kepada Pemerintah Pusat, baik dalam bentuk block grant atau Dana Alokasi Umum (DAU) maupun specifik
grant atau Dana Alokasi Khusus (DAK). Sebaliknya semakin rendah kontribusi PAD terhadap APBD maka semakin besar ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, sehingga peran pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggaran ke daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah cenderung dominan. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu ukuran kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi dapat dengan melihat besarnya nilai PAD yang dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sangat sulit dirasa
bagi
daerah
tersebut
untuk
melaksanakan
proses
penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri. Pendapatan asli daerah dapat dijadikan sebagai indikator dalam menilai tingkat kemandirian suatu daerah. Selain itu, pendapatan asli daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Berbeda dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), definisi Dana Bagi Hasil (DBH) atau revenue sharing adalah dana yang bersumber dari
pendapatan
APBN
yang
dialokasikan
kepada
daerah
dengan
memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan pada angak persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil (DBH) dilaksanakan dengan prinsip menurut sumbernya, dalam artian bahwa bagian daerah atas penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah penghasil Dana bagi hasil (DBH) dialokasikan kepada daerah berdasarkan pada angka persentase mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.31 Alokasi dana bagi hasil (DBH) untuk daerah juga berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai otonomi khusus. Berdasarkan pada prinsipnya, dana bagi hasil (DBH) dilaksanakan menurut sumbernya. Artinya bahwa daerah atas penerimaan yang dibagihasilkan didasarkan atas daerah penghasil. Prinsip itu berlaku untuk seluruh komponen dana bagi hasil (DBH), kecuali dana bagi hasil perikanan yang dibagi sama rata ke seluruh kabupaten/kota.32 Selain pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil juga memiliki peranan yang cukup penting sebagai sumber penerimaan fiskal daerah, meskipun dalam pelaksanaannya tidak semua jenis penerimaan negara dapat dibagihasilkan ke daerah. Secara normatif, dana bagi hasil (DBH)
Peraturan tentang dana bagi hasil, diatur kedalam UU No, 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. 32 Lihat, Kebijakan Perhitungan dan Mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) dalam rangka 31
Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Kebijakan_Perhitungan_dan_Mekanisme_ DBH20130129121631.pdf, diakses pada 10 Januari 2016
dikelompokkan mejadi dua jenis yaitu Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pajak) dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya (DBH SDA). Dana bagi hasil pajak merupakan dana yang diperoleh pemerintah pusat dalam APBN dibagihasilkan kepada daerah dengan proporsi yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.33 Adapun proporsi dana bagi hasil pajak yang diterima daerah juga didasarkan pada formula persentase tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Komponen yang termasuk dalam dana bagi hasil pajak adalah yang bersumber dari Pajak Pengahasilan (PPh) dan Wajib Pajak orang pribadi Dalam Negeri, Cukai Hasil Tembakau (dialokasikan sejak tahun 2009), dan Pajak Bumi Bangunan. Berdasarkan pada UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB sudah dialihkan menjadi pajak daerah terhitung mulai tahun 2011. Khusus Pajak Bumi dan Bangunan, dimulai tanggal 01 januari 2014 telah dialihkan dari Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah (PBB-P2).34 Lain halnya dengan Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pajak), Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) memenggan peranan yang cukup dominan dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terutama bagi daerah-daerah penghasil yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam
Harus berdasarkan pada UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) adalah pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dasar hukum dari pengalihan pajak PBB-P2 kepada daerah adalah UU No. 28 Tahun 2009. 33 34
anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai alat untuk memperkecil kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka dana bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) diharapkan dapat pula mendukung daerah-daerah peghasil untuk mendanai penyelenggaraan pembangunan infrastruktur, menjaga kelestarian lingkungan saat pra dan pasca eksploitasi sumber daya alam, serta untuk membantu mendanai kebutuhan daerah dalam menyediakan layanan publik yang lebih memadai. Sumber penerimaan yang berasal dari sumber daya alam (SDA) merupakan sumber penerimaan yang bersifat Non Renewable Resources atau tidak dapat diperbaharui. Beberapa sektor sumber daya alam yang menurut best practices dapat dibagihasilkan antara lain sumber daya mineral yang berasal dari minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum, dan geothermal karena diasumsikan sebagai keterbatasan input yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu, terdapat sektor sumber daya alam yang secara teoritis termasuk
dalam
sumber
daya
alam
yang
dapat
diperbaharui
(replenishable) namun dapat dibagihasilkan adalah kehutanan dan perikanan, hal ini dikarenakan adanya asumsi masa pemulihan yang mungkin dapat memakan waktu yang lama, tingkat eksploitasi dan konsumsi yang lebih tinggi daripada upaya untuk bisa memperbaharuinya, serta memiliki nilai ekonomi yang cukup signifikan terhadap penerimaan negara.
2.2 Konsolidasi melalui Optimalisasi PAD Berdasarkan pada uraian dari penjelasan tentang PAD dan DBH, maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsolidasi kapasitas fiskal Daerah Otonomi Baru dapat dilakukan melalui cara mensinergikan pendapatan fiskal yang bersumber pada dua komponen kapasitas Fiskal. Selain itu, dapat pulang dilakukan dengan cara Optimalisasi PAD. Optimalisasi PAD dilakukan karen besarnya dominasi Pemerintah Pusat terhadap Dana Bagi Hasil (DHB), dimana otoritas sepenuhnya berada ditangan Pemerintah Pusat sementara Pemerintah Daerah hanya mendaptkna bagian atas hasil Perhitungan yang telah ditentukan Pemerintah Pusat. Hidayat menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan berupaya mengoptimalkan PAD adalah salah satu upaya untuk memperkuat kemandirian keuangan daerah. Salah satu upaya untuk mewujudkan otonomi daerah yang luas dan nyata dan bertanggung jawab adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pemerintah dan pembangunan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD).35 Halim
menyatakan
bahwa
Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang dipungut berdasrkan peraturan daerah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku meliputi pajak daerah, retribusi
Syarif Hidayat, 2002, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tatangan ke Depan. Jakarta, Pustaka Quantum, hal 8-9. 35
daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.36 Berdasarkan pada sumber penerimaan fiskal yang berasal dari pendapataan asli daerah di atas memberikan kontribusi yang berbedabeda terhadap penerimaan PAD secara keseluruhan. Oleh karena itu daerah mempunyai hak dan wewenang penuh untuk memanfaaatkan pendapatan asli daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Daerah yang telah berhasil meningkatkan pendapatan asli daerahnya secara nyata berarti daerah tersebut telah mampu memanfaatkan semua potensi yang ada di daerah secara optimal. Berdasarkan pada keempat elemen pendapatan asli daerah, Sidik menyatakan bahwa pajak daerah (regional tax) dan retribusi daerah merupakan salah satu komponen yang sangat penting untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Akan tetapi permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumbersumber pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.37 Secara langsung pajak dan retribusi daerah merupakan komponen utama dalam pembentukan pendapatan asli daerah (PAD) yang terterkait Halim, 2004, Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Ketiga, Jakarta, Salemba Empat, hal 94 37 Machfud Sidik, Optimalisasi Pajak dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Disampaikan dalam Acara Orasu Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Lihat http://storage.jakstik.ac.id/ProdukHukum/Keuangan/Keuangan_280.pdf di akses pada 29 Juli 2015. 36Achmad
dengan kemampuan pendanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama rendahnya PAD, Kuncoro menyebutkan ada lima penyebab rendahnya PAD dan menyebabkan ketergantungan pada dana transfer pusat yaitu: 1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; 2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Semua pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung dan tak langsung ditarik oleh pusat; 3) kendati pajak daerah cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan; 4) bersifat politis, adanya kekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi maka ada kecenderungan terjadi disintegritas dan separatisme; 5) kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.38 Berkaitan dengan konsolidasi kapasitas fiskal daerah maka dalam hal ini optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Upaya pemerintah dalam rangka optimalisasi PAD dapat dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek penerimaan pajak dan retribusi daerah, hal tersebut dilakukan agar dapat memberikan peran lebih untuk peningkatan kontribusi PAD dalam APBD. Menurut pendapat Sidik, pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai Mudrajad Kuncoro, 2004, Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategis dan Peluang, Airlangga, Jakarta, hal 13. 38
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.39 Berdasarkan pada kamus besar bahasa Indonesia intensifikasi berasal dari kata intensif yang berarti sungguh-sungguh atau giat secara mendalam untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam waktu tertentu. Jadi intensifikasi dapat diartikan sebagai perihal peningkatan kegiatan yang lebih dalam lagi. Sedangkan Ekstensifikasi berasal dalam kata ekstensif yang berarti bersifat menjangkau secara luas. Jadi ekstensifikasi adalah perluasan terhadap sesuatu hal.40 Secara konseptual, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap penerimaan daerah diartikan sebagai suatu cara atau upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memeberikan efek terhadap sumber Pendapatan Asli Daerah. Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi biasanya dilakukan oleh secara generik atau serupa dengan yang dilakukan oleh setiap Pemerintah Daerah di Indonesia melalui peningkatan Pajak dan Retribusi daerah. Secara teoritis, Halim mendefinisikan intensifikasi adalah suatu upaya, tindakan atau usaha-usaha untuk memperbesar penerimaan
Machfud Sidik, Op.Cit. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, hal 223. 39 40
sehingga dapat tercapai atau tereralisasi target yang diinginkan atau anggaran yang telah ditetapkan dalam APBD sebelumnya dengan cara melakukan pemungutan yang lebih giat, ketat dan teliti.41 Ia juga mendefinisikan
ekstensifikasi
sebagai
langkah
perluasan
atau
penambahan jenis pendapatan daerah yang di pungut selain dari pendapatan yang ada atau usaha-usaha untuk menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah yang baru.42 Halim menjelaskan bahwa dalam upaya intensifikasi pajak dan retribusi daerah biasanya diaplikasikan dalam bentuk dua cara yaitu perubahan tarif pajak dan reetibusi daerah dan peningkatan pengelolaan pajak dan retribusi daerah.43 Lebih lengkap Abimanyu menjelaskan bahwa upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan pendapatan melalui intensifikasi pajak dan retribusi adalah dengan cara memperkuat basis penerimaan,
memperkuat
pungutan,
meningkatkan
pengawasan,
meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pungutan, terakhir adalah dengan cara meningkatkan kepatuhan wajib pajak (pemberian reward dan punishment kepada wajib pajak)44 Untuk melakakukan ekstensifikasi khususnya yang bersumber pada pajak dan retribusi daerah, tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pokok nasional, yakni pungutan pajak dan retribusi yang dilaksanakan Achmad Halim,. Op.cit,. hal 113. Ibid, hal 117. 43 Ibid , hal 147. 44 Abimanyu, et al, 2005 , Evaluasi Pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan dan Kerjasama dengan Internasional, Departemen Keuangan RI, hal 61. 41 42
tidak semata-mata untuk menggali pendapatan daerah saja, tetapi untuk melaksanakan fungsi fiskal lainnya agar tidak memberatkan bagi masyarakat.45 Artinya dalam proses ekstensifikasi daerah tidak boleh serta merta menetapkan suatu perda yang mengatur suatu objek pajak dan retribusi hanya untuk kepentingan peningkatan pendapatan daerah melainkah harus melihat kondisi dan kemampuan masyarakat. Bawazier mengemukakan bahwa ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya yaitu dengan mengadakan pendataan atau menginventarisir berbagai obejek pajak yang berpotensi untuk dipungut pajak atau retribusinya, melakukan kalkulasi dengan cermat, sehingga dapat diperhitungkan secara akurat tentang potensi penerimaan, menghitung besarnya biaya yang diperlukan untuk mengadakan ekstensifikasi, menyiapkan sumberdaya yang diperlukan, membuat perencanaan, dan sebagainya. Dengan demikian upayah ekstensifikasi dalam pungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat lebih realistik.46 Dalam jangka waktu yang pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap pajak dan retribusi daerah yang sudah ada. Dengan melakukan efektifitas dan efesiensi sumber atau objek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa harus melakukan perluasan sumber atau objek Abdul Halim,. Op.Cit., hal 117. Fuad Bawazir, 1998, Dampak Pungutan Terhadap Dunia Usaha, Dampak Pungutan Terhadap Ekonomi Biaya Tinggi, Seri Kajian Fiskal dan Moneter, Pusat Pengkajian Fiskal dan Moneter, Jakarta : CSIS, hal 14. 45 46
pendapatan daerah yang baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang lagi. E. Defininisi Konseptual Pemekaran daerah adalah satu langkah politik yang diambil atau diadopsi untuk mempercepat tercapainya tujuan dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu dengan cara pemecahan suatu daerah menjadi beberapa daerah sehingga menghasilkan satu daerah induk dan satu daerah otonomi baru. Kapasitas fiskal adalah kemampuan daerah dalam mengelola sumber-sumber kekayaan daerah yang berpotensi sebagai sumber penerimaan fiskal daerah. Adapun komponen yang termasuk dalam kapasitas fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Konsolidasi Kapasitas Fiskal merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah sebagai bentuk dari kemandirian keuangan daerah. F. Definisi Operasional Fokus utama dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana konsolidasi kapasitas fiskal daerah di Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai Daerah Otonomi Baru, termasuk juga upaya konsolidasi kapasitas fiskal yang telah dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Penajam Paser Utara. Konsolidasi kapasitas fiskal dapat dilihat berdasarkan besarnya kapasitas fiskal daerah yaitu berasal dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Bagi Hasil. Untuk memperdalam lagi maka penelitian ini juga akan melihat upaya pemerintah daerah dalam upaya optimalisasi pendapatan asli daerah. G. Metode Penelitian Metode penelitian merupa suatu cara ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam penyusunan penelitian ilmiah diperlukan suatu langkah-langkah dan strategi-strategi yang sesuai dengan tujuan penelitian agar hasil penelitian dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. 1. Jenis dan Desain Penelitian Penggunaan metode dalam penelitian adalah dengan menggunakan metode penelitian kulitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prrosedur penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif, baik berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamatin.47
Selaras
dengan
hal
tersebut,
Strauss
dan
Corbin
mendefinisikan sebagai prosedur untuk menghasilkan temuan yang diperoleh dari data yang dikumpulkan dengan berbagai sarana, meliputi observasi dan wawancara, namu bisa juga mencakup dokumen, buu bahkan data yang telah dihitung untuk tujuan lain48 Tujuan dalam metode penelitian kuantitatif juga dijelaskan oleh Kenneth, yaitu suatu penelitian
Moleong J. Lexy, 2004, Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 12. Strauss A dan Corbin J, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif : Tatalangkah dan Tekniteknik Teorisasi Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 23. 47 48
yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena yang secara detail atau untuk menggambarkan tentang apa yang terjadi.49 Dengan menggunakan metode kualitatif ini telah mengantarkan penulis untuk mengenal lebih dalam tentang Pemerintah Daerah Kabupaten
Penajam
Paser
Utara.
Melalui
pendekatan
ini
akan
disampaikan uraian-uraian tentang bentuk konsolidasi fiskal yang terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara secara lebih mendalam dan sistematis, melalui analisis dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumendokumen penting keuangan daerah, dan lainnya yang berasa dari narasumber yang dapat dipercaya. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
jenis
penilitian
studi
kasus.
Penelitian
dengan
menggunakan studi kasus akan melibatkan kajian isu yang di eksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sistem yang terikat. Penelitian studi kasus adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti mengeksplorasi sebuah sistem yang terikat (kasus) atau sistem majemuk yang terikat (kasus-kasus) dalam suatu waktu melalui koleksi data yang detail dan mendalam, melibatkan sumber-sumber informasi majemuk (misalnya, observasi, wawancara, materi, audiovisual, dokumen, dan laporan).50
Kenneth D. Bailey, 1982, Methods of Social Resaearch, Free Press, Newyork, hal. 38. Creswell, John W, 1998, Qualitative Inquiry and Research design Choosing Among Five Approaches, SAGE Publication, hal. 73 49 50
Penelitian studi
kasus yang telah dirancang khusus untuk
mempelajari secara lebih rinci dan mendalam pada sebuah kasus khsus. Penelitin studi kasus akan memusatkan perhatian pada satu objek tertentu yang akan diangkat sebagai sebuah kasus yang akan dikaji secara lebih mendalah sehingga dapat membongkar realitas di balik fenomena sebab yang kasat mata hakikatnya bukan susuatu yang nyata atau hanya pantulan dari yang ada di dalam. Dipilihnya studi kasus dalam penelitian ini dikarankan studi kasus dianggap dapat atau mampu membongkar kasus yang dipilih dengan komprehensif. Untuk menjawab kasus ini, maka penulis akan mengupas pertanyaan besar yang menjadi karakter studi kasus yaitu pertanyaan “bagaimana” berkaitan dengan bagaimana konsolidasi kapasitas fiskal daerah Kabupaten Penajam Paser Utara. 2. Jenis Data Untuk mendukung dalam penelitian ini maka dibutuhkan data-data untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini. Menurut Sugiyono (2005), bila dilihat dari sumber datanya maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Jenis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer Yaitu merupakan data yang didapatkan langsung dari berbagai sumbernya,
misalnya melalui narasumber utama yang telah
ditetapkanterkait dengan masalah dalam penelitian ini. b. Data Sekunder Yaitu sumber data yang didapatkan secara tidak langsung dan dibutuhkan untuk mendukung/melengkapi data primer. Data sekunder dapat berupa hasil la poran-laporan, dokumendokumen instansi/lembaga, koran dan studi literatur yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Wawancara Untuk memperoleh informasi yang tentang konsep dan upaya konsolidasi kapasitas fiskal daerah otonomi baru maka teknik wawanca yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam
(depth interview) kepada pihak-pihak yang terkait. Adapun teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas namun tetap terarah, maksudnya adalah selama wawancara berlangsung peneliti tetap berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan.
Disamping
itu
pula,
peneliti
juga
akan
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya spontan agar dapat melengkapi data yang diperlukan. Beberapa narasumber atau informa yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah Katua Tim Yayasan Sukses Pasir Wilayah Utara, Sukses
Bupati Kabupaten Penajam Paser Utara, Ketua
DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Penajam Paser Utara, dan Kepala Bagian Humas Benou Taka (BUMD Penajam Paser Utara), Ketua Bappeda PPU dan beberapa wartawan lokal yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara. b. Observasi Menurut Yin , bukti observasi sangat bermanfaat untuk memberikan informasi tambahan tentang topik yang akan diteliti. Ia melanjutkan bahwa observasi lingkungan sosial atau unit organisasi akan menambah dimensi baru untuk pemahan konteks maupun fenomena yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data secara observasi merupakan suatu cara atau metode pengumpulan data dengan cara melakukan kunjungan lapangan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Maka dalam penelitian ini, observasi sangat dibutuhkan untuk melihat kondisi riil terhadap dampak pemekaran yang terjadi di Kab. Penajam Paser Utara yang disesuaikan dengan sumber data lainnya.
4. Analisis Data Setelah teknik pengumpulan data dilakukan maka teknik selanjutnya adalah
menganalisis
data
yang
telah
ditemukan
dalam
proses
pengumpumpulan data sebelumnya. Dalam teknik menganalisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode triangulasi dimana sumber data yang telah ditemukan akan diperiksa kembali keabsahannya yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan jawaban dalam penelitian ini. Dalam tehnik menganalis data, Creswell
membaginya menjadi tiga
tahap: 1. Merangkum, dan pemilihan data-data utama, yang fokus pada informasi yang dibutuhkan dan menyisihan data-data yang dianggap tidak perlu untuk menghindari semakin meluasnya analisa yang dilakukan; 2. Data yang sudah dipilih kemudian disususn untuk mempermudah dalam memahami apa yang terjadi di lapangan; 3. Penarikan kesimpulan, dimana peneliti akan memahami makna, pola, penjelasan dan alur. Kesimpulan yang diambil dapat diuji kembali dengan melihat realitas di lapangan. Produk akhir yang dari penelitian ini adalah potret sebuah kelompok yang di dalamya disisipkan penelitian.
penjelasan
tentang
kesimpulan
dari
jawaban
H. Sistematika Bab Sistematika penulisan bab dalam penelitian ini, diuraikan sebagai berikut: 1. Bab I Pendahuluan Bab ini merupakan bagian awal dari keseluruhan isi tesis penelitian ini yang menjelaskan tentang fenomena atau peristiwa yang melatarbelakangi permasalahan dalam penelitian, dilanjutkan dengan perumusan masalah, tujuan penelian. Dalam ini pula akan memuat kerangka konsep yang menjadi acuan penulis dalam melakukan kegiatan analisis data, yang kemudian keseluruhannya akan disimpulkan ke dalam definisi konsep dan definisi operasional, dan untuk mempermudah dalam menemukan data maka dijelaskan pula tentang metode penelitian ini. 2. Bab II Pemekaran Sebagai Instrument Perluasan Kapasitas Fiskal Bab ini merupakan bagian yang akan menjelaskan tentang proses pemekaran daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, yang secara jelas mengakomodasi adanya partisipasi masyarakat dalam proses pemekaran daerah. Dalam bab ini akan menguraikan tentang dinamika politik yang terjadi dalam proses pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara berdasarkan pada motif dan tujuan pemekaran daerah. 3. Bab III Konsolidasi Penerimaan Fiskal Kabupaten Penajam Paser Utara
Bab ini merupakan bagian untuk menjelaskan tentang konsolidasi kapasitas fiskal di Kabupaten Penajam Paser Utara pasca pemisahan anggaran dengan kabupaten Induk. Dengan melihat berdasarkan pada struktur sosial dan ekonomi di Kabupaten Paser Utara serta besarnya kapasitas fiskal daerah dilihat berdasarkan pada strategi penguatan PAD dan DBH. 4. Bab IV Optimalisasi PAD sebagai Sumber Penerimaan Fiskal Bab ini merupakan kelanjutan dari kosolidasi kapasitas fiskal yang dilakukan melalui optimalisasi PAD. Bab ini menjelaskan upaya atau strategi optimalisasi PAD yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara. 5. Bab V Kesimpulan Bab ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian penulisan tesisi ini dan
sekaligus
menjadi
kesimpulan
terhadap
temuan-temuan
lapangan. Disamping itu akan dijelaskan pula tentang refleksi teoritis dalam penelitian tesis ini.