BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Program manajemen berbasis sekolah adalah program yang dicanangkan pemerintah, sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui pemberdayaan sekolah. Program pemberdayaan sekolah ini sejalan dengan jiwa otonomi daerah yang mengoptimalkan potensi daerah. Demikian juga halnya dengan otonomi sekolah, program ini meletakkan sekolah pada posisi sasaran pemberdayaan. Program otonomi sekolah ini sering disebut dengan School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah, disingkat MBS.
MBS akan terlaksana apabila didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan, integritas, dan kemauan yang tinggi. Salah satu unsur SDM dimaksud adalah guru. Guru adalah salah satu faktor kunci keberhasilan peningkatan mutu pendidikan karena berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar (PBM) pada siswa.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model menejemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong pengambilan keputusan bersama/partisipasi dari semua warga sekolah dan masyarakat untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijaksanaan
nasional (Aqib, dan Elham, 2008: 100). Otonomi yang demikian ini membuat sekolah menjadi mandiri untuk menentukan visi dan misinya, serta bagaimana cara mencapainya. Kewenangan ini menjadi begitu besar sehingga sekolah mampu menemukan jati dirinya.
Berdasarkan batasan di atas, idealnya sekolah memiliki regulasi yang mandiri untuk menentukan sendiri tujuan-tujuan pembelajaran yang dijadikan arahan mereka. Namun dalam kenyataan di lapangan kondisi nyatanya tidak demikian. Kesulitan dalam merumuskan bentuk partisipasi apa yang diperlukan dalam MBS untuk guru, masyarakat, dan pemangkukepentingan lainnya, belum seperti yang diharapkan.
Perubahan paradigma manajemen pendidikan dari pola lama ke pola baru, terutama pada aspek proses pendidikan, menurut Aqib, dan Elham (2008. 137) ada 14 hal yang harus diperhatikan yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14)
Proses Belajar Mengajar yang efektivitasnya tinggi; Kepemimpinan sekolah yang tangguh; Lingkungan sekolah yang aman, tertib dan nyaman; Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif; Sekolah memiliki budaya malu; Sekolah memiliki kebersamaan yang kompak; Sekolah memiliki kewenangan; Partisipasi warga sekolah dan masyarakat; Keterbukaan manajemen; Sekolah memiliki kemauan untuk berubah; Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan; Sekolah respons dan antisipatif terhadap kebutuhan; Komunikasi yang baik; Sekolah memiliki akuntabilitas.
Persoalan ini akan tampak nyata jika arahan pisau analisis ini kepada satu kasus di SMA. Contoh di SMA Negeri I Natar Kabupaten Lampung Selatan, sebagai
sekolah yang diunggulkan oleh Kabupaten Lampung Selatan ternyata masih dijumpai sejumlah kendala bentuk partisipasi dari masing-masing komponen penunjang MBS.
Kendala utama pada sistem pendanaan. Karena adanya bantuan pemerintah melalui Bantuan Operasional Murid (BOM), maka sekolah tidak diperkenankan lagi memungut biaya pendidikan melalui Komite Sekolah. Sementara besaran dari bantuan dana tidak seimbang dengan kebutuhan sekolah. Akibatnya untuk dana rehabilitasi kelas di SMA Negeri I Natar Kabupaten Lampung Selatan tidak ada. Kondisi ini mengakibatkan banyak ruang belajar sekolah yang rusak dan terbengkalai. Akibatnya, karena tututan tipe sekolah harus pada tipe A, sementara fasilitas tidak mendukung, maka kebijakan sekolah membuat cara belajar di alam terbuka, yaitu setiap kelas mendapat giliran belajar di alam terbuka, termasuk guru yang memberikan materi harus berada di alam terbuka. Akibatnya kondisi ini membuat stres para siswa dan guru karena hampir setiap hari memikirkan bagaimana cara belajar efektif di luar (out door study) . Kondisi ini terjadi karena partisipasi yang begitu rendah dari orang tua siswa dan pemerintah daerah terhadap keadaan sekolah.
Kondisi yang unik seperti ini juga membuat guru, pada gilirannya harus mengajar di alam terbuka, menjadi kehilangan semangat. Mereka merasa bahwa kewajibannya mengajar di muka kelas, sementara Kepala Sekolah merasa mengajar dapat juga dilaksanakan di luar kelas, yaitu di alam terbuka. Kedua persepsi
yang berbeda ini
pelaksanaannya.
tentunya membuat
ketidaknyamanan
dalam
Hal lain lagi yaitu, masih banyaknya guru kurang memahami konsep manajemen kelas sehingga pada saat penyampaian nilai kepada wali kelas untuk keperluan siswa mengalami keterlambatan. Akibatnya wali kelas pada saat-saat terakhir pengumpulan nilai siswa harus berhubungan dengan guru secara maraton, padahal itu adalah tugas utama guru.
Perhatian pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, berkaitan dengan pendanaan kurang begitu peduli. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya penganggaran khusus berkaitan dengan pelaksanaan MBS untuk SMA Negeri I Natar di tingkat Kabupaten untuk penyelenggaraan MBS. Pihak Dinas Kabupaten beranggapan perencanaan, pelaksanaan, termasuk pembiayaan penyelenggaraan MBS adalah tugas sekolah. Akibatnya SMA Negeri I Natar seolah-olah ditinggalkan sendiri dalam menyelenggaraan MBS.
Partisipasi masyarakat masih rendah terhadap kepedulian akan program sekolah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kehadiran rapat tahunan orang tua murid yang dilakukan sekolah. Dari data lima tahun terakhir kehadiran orang tua siswa dalam rapat komite sekolah tidak mencapai 50% dari total jumlah siswa. Demikian juga tingkat kesadaran untuk membantu pendanaan akan program sekolah. Data lima tahun terakhir siswa yang membayar pembiayaan sekolah ternyata yang tepat waktu hanya sekitar 35 %.
Kondisi lain karena letak geografis tempat tinggal siswa yang begitu jauh dari sekolah untuk tepat waktu datang ke sekolah dalam rangka PBM, akibatnya
frekuensi kehadiran siswa di sekolah masih rendah. Hal ini diperparah lagi ratarata tingkat ekonomi orang tua siswa ada pada garis kemiskinan, sehingga tidak mampu memberikan fasilitas terbaik untuk anak-anaknya. Keluarga yang mampu untuk Kecamatan Natar mereka lebih memilih sekolah di Bandarlampung. Fenomena lain yang juga tampak adalah tingkat pelayanan transportasi. Bus umum yang melintas tidak begitu suka mengangkut anak sekolah karena ongkos yang diberikan separuh harga, bahkan kurang dibandingkan dengan penumpang umum. Akibat hal ini memberi kontribusi kepada ketepatan waktu siswa tiba di sekolah.
Pada sisi lain SMA Negeri I Natar sejak tahun 2005 sudah mencanangkan diri untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah. Pelaksanaan yang begitu lama diharapkan telah menunjukkan keberhasilan, karena kurun waktu lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menunjukkan kinerja keberhasilan pelaksanaan MBS. Untuk itu guna melihat apakah suatu program telah dilaksanakan dengan baik dan berhasil pada kurun waktu tertentu harus dilakukan evaluasi. Danim (2006: 109) menyarankan suatu program paling tidak setelah berjalan 5 tahun perlu dilakukan evaluasi. Untuk itu penelitian ini akan melakukan evaluasi pelaksanan program MBS di SMA Negeri I Natar.
1.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini ialah 1.2.1 Tingkat partisipasi dari Pemerintah daerah dalam pelaksanaan MBS
1.2.2 Tingkat partisipasi guru dalam melaksanakan program MBS 1.2.3 Tingkat partisipasi masyarakat terhadap program kegiatan MBS 1.2.4 Tingkat partisipasi orang tua siswa melalui komite sekolah dengan melihat keterlibatan orang tua kepada pelaksanaan program sekolah.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah, terutama berfokus pada: 1.3.1 Untuk mendeskripsikan peran pemerintah daerah terhadap pelaksanaan MBS di SMA Negeri I Natar 1.3.2 Untuk mendeskripsikan peran guru dalam program MBS di SMA Negeri I Natar. 1.3.3 Untuk mendeskripsikan peran masyarakat terhadap program MBS di SMA Negeri I Natar 1.3.4 Untuk mendeskripsikan peran komite sekolah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban terhadap penyusksesan program MBS di SMA Negeri I Natar
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat : 1.4.1 Bagi Mahasiswa Sebagai bahan kajian bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian
yang berkaitan dengan MBS 1.4.2 Bagi Masyarakat Untuk memberikan informasi tentang peran masyarakat dalam pelaksanaan MBS di Sekolah. 1.4.3 Bagi Komite Untuk memberikan informasi tentang peran komite dalam pelaksanaan MBS di Sekolah 1.4.4 Bagi Pemerintah Sebagai evaluasi pelaksanaan MBS selama ini yang telah dijalankan apakah sudah sesuai sasaran.
1.5 Definisi Istilah 1.5.1 Evaluasi pelaksanaan program Evaluasi pelaksanaan program dimaksud adalah bagaimana kegiatan MBS berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara formal sesuai petunjuk pelaksanaan yang telah diatur pemerintah. Evaluasi dilakukan terhadap hasil yang telah diperoleh selama 5 tahun pelaksanaan MBS.
1.5.2
MBS Manajemen berbasis sekolah adalah manajemen yang dilakukan berdasarkan panduan baku ketentuan sesuai undang-undang yang mengharuskan terselenggaranya pengelolaan sekolah dengan pola manajemen khas, yaitu manajemen berbasis sekolah.
1.5.3
Partisipasi Pemerintah Partisipasi pemerintah dimaksud adalah peran serta pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan pendidikan dengan menata ulang pengelolaan sekolah dengan melibatkan peran serta pemangku kepentingan melalui manajemen berbasis sekolah.
1.5.4 Kehadiran Guru Kehadiran guru dimaksud adalah tingkat kehadiran disekolah sebagai wujud partisipasinya terhadap program penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah. 1.5.5 Partisipasi informan Partisipasi informan adalah peran serta keterlibatan responden terhadap kegiatan menjalankan program manajemen berbasis sekolah. 1.5.6
Komite Sekolah Komite sekolah adalah lembaga yang dibentuk untuk mewadahi kegitan partisipasi semua pihak untuk menyukseskan program sekolah. Komite ini dibentuk atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 044/U/ tahun 2002.
1.6. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel 1.6.1 Definisi Konseptual Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kegiatan pengelolaan sekolah
atas dasar otonomi sekolah dengan pola pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundangundangan pendidikan yang berlaku. (Slamet.P.H , www.depdiknas.go.id. Diakses 12 oktb 2009).
1.6.2 Definisi Operasional Variabel Manajemen dimaksud dalam penelitian ini adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan . Input manajemen terdiri dari tugas (T), rencana (R), program (P), limitasi yang terwujud dalam ketentuan-ketentuan (KT), pengendalian (tindakan turun tangan) (TT), dan kesan bawahan ke atasan (KB). Komponen ini kemudian dikaitkan dengan 13 indikator ciri sekolah yang melaksanakan MBS.