1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya selalu dihadapkan pada perbedaan sifat antara yang satu dengan lainnya. Hal ini mempengaruhi pembentukan pribadinya masing-masing ketika menggunakan budi pekerti dan hati nuraninya dalam menimbang rasa, memilih nilai-nilai yang berguna baginya dalam pergaulan hidup masyarakat. Pertentangan-pertentangan sifat inilah kiranya yang menimbulkan paradoks dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika pada suatu saat berbicara hak dan mengenai hak-hak asasi manusia pada saat itu pula memikirkan kebaikannya, yaitu pembatasanpembatasan hak-hak asasi tersebut. Hal ini bukanlah disebabkan karena kekhawatiran hak-hak asasi tersebut dibatasi, tetapi justru disebabkan karena kebutuhan akan adanya pembatasan tersebut untuk menjaga keseimbangan ketertiban dalam masyarakat.
Menurut Notonagoro,
“hak merupakan kuasa untuk menerima atau
melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.”1 Bertolak dari pendapat Notonagoro tersebut dapat dikatakan bahwa hak adalah sesuatu yang diterima dan dituntut secara paksa dan 1
Nurul, “Hak dan Kewajiban Warga Negara”, https://nurulhaj19.wordpress.com/hak-dankewajiban-warga-negara-indonesia/, diakses pada tanggal 25 Maret 2015.
`
2
pastinya dengan aturan juga batasan yang dimuat dalam suatu peraturan yang berdaulat dan tertulis. Hak tersebut sudah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang tentang HAM.
Dalam pembahasan selanjutnya akan ditanyakan kembali apakah pembatasan terhadap hak tersebut dimaksudkan ke arah yang mana? Apakah pembatasan tersebut dimaksudkan untuk membatasi tingkah laku manusia ataukah untuk memberikan keseimbangan dalam menjalani hidup bernegara? Tentu saja saat berbicara mengenai hak juga harus menghubungkannya dengan kewajiban. Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri seseorang. Sebagai seorang warga negara harus mengetahui antara hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus mengetahui antara hak dan kewajibannya dalam memerintah seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan undang-undang yang berlaku. Jika hak dan kewajiban sudah seimbang dan terpenuhi, maka keamanan dan kesejahteraan dalam masyarakat dapat terwujud. Oleh karena itu masyarakat demokrasi harus berjuang untuk mendapatkan keseimbangan hak dan tentu saja dengan memenuhi kewajiban sebagai warganegara.
Tidak hanya mengenai keseimbangan dalam hukum tertulis, dalam hidup bermasyarakat selalu terdapat nilai-nilai abstrak yang dianut sebagai ketentuan atau kaidah yang ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan menjamin ketertiban dalam masyarakat yang biasanya disebut dengan norma. Agar norma dapat menjadi pedoman hidup dalam masyarakat, maka norma harus
`
3
diberikan sanksi. Salah satu norma dalam masyarakat yang memiliki sanksi yang bersifat tegas dan mengikat adalah norma hukum. Sanksi yang terdapat di dalam norma hukum antara lain berupa ancaman pidana yang ditetapkan oleh negara (penguasa) yang wajib ditaati oleh setiap anggota masyarakat apabila melakukan pelanggaran terhadap norma hukum tersebut.
Dengan sanksi terhadap norma tersebut eksistensi hukum diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum. Tujuan hukum pidana diantaranya adalah preventif yaitu pencegahan dalam arti untuk menakut-nakuti seseorang agar tidak melakukan tindak pidana dan represif yaitu mengembalikan seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau mendidik seseorang yang telah melakukan tindak pidana agar kembali menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat.2
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut
2 Feby, “Tujuan dan Sanksi Hukum Pidana”, https://lotusbougenville.wordpress.com/2009/12/04/tujuan-dan-sanksi-hukum-pidana/, diakses pada tanggal 26 Maret 2015.
`
4
hukum juga. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.3
Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu agenda pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan menolak grasi para gembong narkotika. Penyalahgunaan narkotika bukan merupakan hal baru di Indonesia. Pemerintahan sebelumnya juga gencar dalam memberantas penyalahgunaan narkotika
walaupun
masih
memberikan
grasi
terhadap
para
pelaku
penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut merupakan kegagalan Indonesia dalam memerangi penyalahgunaan narkotika.
3 Agustina Wati Nainggolan, 2009, Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan), Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm 21.
`
5
Diagram 1 Statistik Kasus Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya4 S tatis tik K as us Narkotika, P s ikotropika, dan B ahan Adiktif L ainnya Narkotika
P s ikotropika
B ahan Adiktif L ainnya 19128
17898
10008 9783 9573
10964 8779
1114 2008
2009
7599
19081
9067
7917
1181
1601
1729
2010
2011
2012
Berdasarkan Diagram 1 di atas dapat dilihat bahwa kasus narkotika memang merupakan kasus pidana yang masih sering dilakukan di Indonesia. Apabila dilihat dari tingkat kasus yang terdapat di provinsi, maka DKI Jakarta menempati posisi kedua dalam hal penanganan kasus narkotika sebagaimana terlihat dalam Diagram 2 di bawah ini.
4 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, “Statistik Kasus Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya”, http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-anti-narkotika, diakses pada tanggal 22 Maret 2015.
`
6
Diagram 2 Statistik Propinsi dengan Kasus Narkotika Terbesar5
S tatis tik P rov ins i deng an K as us Narkotika T erbes ar 2010
2011
2012 74487749
119414931122
J awa Tengah
2766 1776 1252
S umatera Utara
542652505315
5637
DK I J akarta
J awa Timur
3215 24202671
J awa B arat
Penyalahgunaan narkotika dapat menyebabkan kematian, ketagihan dan terkena berbagai penyakit, meningkatnya kekerasan dan kriminalitas serta hancurnya sebuah masyarakat atau hilangnya generasi (lost genearation) sehingga apabila masyarakat sudah ketagihan dan terkena berbagai penyakit dapat mengancam ketahanan nasional. Terlebih lagi, kemajuan teknologi yang semakin pesat mengakibatkan peredaran gelap narkotika semakin meluas dan berdimensi internasional.
5 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, “Statistik Propinsi dengan Kasus Narkotika Terbesar”, http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-anti-narkotika, diakses pada tanggal 22 Maret 2015.
`
7
Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran gelap narkotika, sedangkan
peredaran
gelap
narkotika
menyebabkan
meningkatnya
penyalahgunaan narkotika yang makin luas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. Penyelenggaraan konferensi tentang narkotika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adaption of Protocol on Psychotropic Substances mulai tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic Substances 1971.6
Materi muatan konvensi tersebut didasarkan pada resolusi The United Nations Economic and Sosial Council Nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970 merupakan aturan-aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara, bagi kepentingan pergaulan bangsabangsa yang beradab. Konvensi tersebut mengatur kerjasama internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan psikotropika, serta
mencegah,
pemberantasan
penyalahgunaannya
dengan
membatasi
penggunaan hanya bagi pengobatan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya
diadakan
Konvensi
Pemberantasan
Peredaran
Gelap
Narkotika dan Psikotropika pada tahun 1988 (Convention Againts Illicit Traffic in
6
Siswanto Sunarso, 2004, Penegak Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.
`
8
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988).7 Konvensi ini membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerjasama dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan pemberantasan peredaran gelap narkotika, baik secara bilateral maupun multilateral.
Pemerintah
Indonesia
berkewajiban
untuk
menanggulangi
penyalahgunaan narkotika dan memberantas peredaran gelap narkotika.
Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika, telah dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya penyalahgunaan narkotika, tetapi kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum semakin meningkat pula peredaran narkotika tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sanksi pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika cukup berat, di samping dikenakan pidana badan, juga dikenakan pidana denda. Kenyataannya sanksi pidana tersebut tidaklah membuat jera pelakunya, bahkan semakin meningkat dan berulang-ulang sebab sesudah selesai menjalani pidananya tidak berapa lama menghirup udara bebas sudah berbuat lagi. Hal ini disebabkan oleh faktor
7
`
Ibid.
9
penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau different effect terhadap para pelakunya.8
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pidana maksimal berupa pidana mati. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara terpidana dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.9
Apabila ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan, maka pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para pelaku pidanacnarkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.10
Penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya pidana penjara dan pidana denda. Pidana badan berupa pidana mati atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan
8
Ibid., hlm. 8.
9
Andi Hamzah, dkk, 1984, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 27. 10
`
Moh. Taufik Makaro dkk, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 47.
10
pelakunya supaya tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana narkotika sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara.11
Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku penyalahgunaan narkotika masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara konsekuen.12 Disamping itu, otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.13
Disparitas putusan hakim dalam kasus penyalahgunaan narkotika dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau sanksi pidana untuk pengedar lebih ringan daripada pemakai. Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak-hak asasi manusia khususnya bagi tersangka
11
Gatot Supramono, 2004, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 93.
12
Siswato Sunarso, Op.cit., hlm. 9.
13
Ibid., hlm. 9.
`
11
atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equality before the law).14
Dengan terjadinya disparitas pidana tersebut, ada penjelasan terhadap masyarakat umum sehingga berdampak munculnya rasa ketidakadilan di pihak terpidana sendiri maupun masyarakat yang tidak mengetahui latar belakang pemberian pidana tersebut. Keadaan ini akan menjadi dampak yang sangat buruk bagi kepastian hukum serta kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta lembaga peradilan kita. Apalagi apabila disparitas pidana terjadi di dalam perkara yang mendapat perhatian publik/masyarakat, seperti disparitas yang terjadi antara terpidana mati narkotika Melisa Aprilia dengan orang yang mengendalikannya yaitu Merika Franola yang dijatuhi pidana seumur hidup.
Penegakan hukum sebagai salah satu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Wayne La Favre dengan mengutip pendapat Roscoe Pound menyatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).15
14
Andy Hamzah dan Bambang Waluyo, 1988, Delik-Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 32. 15
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.7.
`
12
Penyalahgunaan narkotika dewasa ini menjadi keprihatinan masyarakat. Ancaman yang sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa akan menjadi kenyataan apabila praktik tindak pidana tersebut tidak segera dibatasi dan dicari pemecahannya. Kasus penyalahgunaan narkotika dalam praktek peradilan kadangkadang menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Gejolak itu muncul ketika terdapat putusan hakim yang sangat jauh dari ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Putusan hakim tersebut seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam perkara penyalahgunaan narkotika sebagaimana diatur Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dimana Hakim dalam mengambil keputusan sering berbeda dengan kasus yang sama. Hal tersebut disebabkan karena dalam aturannya hakim dapat mengambil keputusan dan pertimbangan dari putusan hakim terdahulu untuk memutuskan suatu perkara yang sama. Dalam praktiknya dapat dilihat terjadinya perbedaan putusan dengan perkara yang sama, dimana
yang
diputuskan
di
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Barat,
kasus
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh para terdakwa memiliki kesamaan dalam dakwaan ataupun berat dan jenis dari narkotika yang dihadirkan dalam persidangan. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, dalam penelitian tesis ini peneliti memilih judul yaitu “DISPARITAS PUTUSAN PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA BARAT.”
`
13
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan pemidanaan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Barat? 2. Apa dampak yang ditimbulkan oleh adanya disparitas putusan pemidanaan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Barat?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan pemidanaan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis dampak yang ditimbulkan oleh adanya
disparitas
putusan
pemidanaan
terhadap
tindak
penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
`
pidana
14
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Akademis Hukum
Bagi akademisi hukum khususnya pada bidang pidana dan litigasi manfaatnya penting dalam memberikan analisis dan kritik secara mendalam sebagaimana tujuan hukum itu sendiri untuk memberikan keadilan bagi setiap manusia yang ada dalam lingkungan masyarakat. Penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi para akedemisi untuk melihat penerapan hukum di Indonesia dalam pemberian pidana bagi warga negara.
Indikasi yang menjadi tolak ukur dalam penelitian ini adalah pertimbangan para hakim dalam menerapkan putusan. Selain itu penilaian terhadap sistem hukum yang dipergunakan di Indonesia yaitu civil law system dapat dikritisi melalui penelitian ini, karena dalam civil law system yuriprudesi merupakan sumber hukum yang terendah dibandingkan undang-undang, sehingga disparitas terhadap satu putusan dengan putusan yang lainnya sangat mungkin terjadi.
2. Kegunaan Praktis
Bagi praktisi manfaatnya penting dalam berinteraksi dengan manusia yang lain dengan menjalankan aturan-aturan yang diberlakukan dalam lingkungan bermasyarakat, karena tujuan hukum itu sendiri untuk memberikan keadilan bagi setiap manusia yang ada dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal ini hukum diharapkan benar-benar ditegakkan dan diterapkan oleh para oknum penegak hukum, khususnya hakim. Bagi para para penegak hukum lainnya penelitian ini
`
15
bermanfaat sebagai acuan terhadap kritisan dalam penegakan hukum sebagai tujuannya dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri dan belum pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya baik judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam menemukan kebenaran. Ada beberapa tulisan baik jurnal, skripsi ataupun tesis yang memiliki tema yang mirip dengan penelitian ini yaitu : 1. Penelitian yang berjudul “Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Pengadilan Negeri Yogyakarta”.16 Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 oleh Bernadinus Realino Leona Dion Charera dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah dari data yang digunakan oleh peneliti sebelumnya dimana dalam penelitian sebelumnya tidak menggunakan perbandingan terhadap beberapa putusan, sedangkan penelitian ini menggunakan beberapa putusan dalam meneliti. Dalam
16 Bernadinus Realino Leona Dion Charera, “Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalagunaan narkotika di Pengadilan Negeri Yogyakarta”, http://e-journal.uajy.ac.id/1364/1/0HK09 376 .pdf, diakses pada tanggal 23 April 2015.
`
16
penelitian tersebut yang menjadi rumusan masalahnya adalah dasar pertimbangan hakim dalam membuat keputusan sehingga terjadi disparitas,
sedangkan
dalam
penelitian
ini
membuat
rumusan
permasalahan mengenai faktor dan dampak dari disparitas putusan pemidanaan tersebut. 2. Penelitian yang diberi judul ”Disparitas Penjatuhan Pidana Dalam Perkara Penyalahgunaan Narkotika”.17 Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 oleh Vinny Elsa Della Riska dari Universitas Hasanudin Makassar. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui faktor penyebab disparitas pada 2 putusan pidana narkotika, sedangkan dalam penelitian ini ingin melihat faktor penyebab terjadinya disparitas putusan pemidanaan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam rumusan masalah yang kedua penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memberikan putusan yang diteliti, sedangkan dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui dampak akan terjadinya disparitas putusan pemidanaan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Disamping itu, data yang digunakan sebagai bahan penelitian yakni studi kasus terhadap 2 putusan pidana narkotika di Pengadilan Negeri Makassar, sedangkan dalam penelitian ini penulis meneliti dengan menggunakan 10 putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan pasal yang sama didakwakan.
17
Vinny Elsa Della Riska, “Disparitas Penjatuhan Pidana dalam Perkara Penyalagunaan Narkotika”, http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4681, diakses pada tanggal 25 April 2015.
`