1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merupakan paradigma pembangunan global yang mempunyai 8 tujuan dengan 18 sasaran. Delapan tujuan tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDs, malaria dan penyakit menular
lainnya,
memastikan kelestarian
lingkungan
hidup,
dan
membangun kemitraan global untuk pembangunan. Penyediaan air bersih dan sanitasi merupakan bentuk dari tujuan yang ketujuh dari MDGs yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup. Selain itu, sasaran yang berkaitan dengan penyediaan air bersih dan sanitasi adalah sasaran kesepuluh. Sasaran tersebut
membahas tentang penurunan sebesar
separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada Tahun 2015 (UNDP,2004). Masalah air bersih telah diatur dalam Undang-Undang Republik Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun di lapangan
2
sumber daya air masih belum mendapatkan proteksi yang cukup. Semakin langkanya air bersih, tanpa disadari masyarakat harus membayar biaya yang tinggi untuk mendapatkan segelas air yang layak bagi kesehatan. Falkenmark persepsi sosial,
dan
Lundqvist
yaitu
menuntut
sebagai
bentuk pelayanan
dan bahwa masyarakat penyediaannya
dari pemahaman
masyarakat rnerupakan
rnemiliki hak
bahwa air merupakan
diganggu gugat, untuk
yang wajib
dari pernerintah,
Hak atas air (right to water)
bahwa
penuh
diperoleh
kemungkinan muncul
sebagai
dan selanjutnya
biaya.
Namun,
dengan
hak yang tidak
memberikan akses
cuma-cuma
pemahaman
jawab yang menyertai
dasar
terhadap
(gratis)
terhadap
jawab
kewajiban
atas
bagi
air bersih harns
atau hampir tanpa dan tanggung
hak atas air belum dipahami
masyarakat. Tanggung
untuk
prasyarat bagi kehidupan,
dianggap
menuntut bahwa
disediakan
bagian dari hak asasi manusia dan karenanya
dapat
oleh
menyatakan
terhadap penyediaan air bersih sebagai bentuk pelayanan
pemerintah
dapat
(1995)
sepenuhnya
air selama
ini hanya
didefinisikan melalui Polluters Pay Principle, sedangkan kewajiban bagi mereka yang menikmati air bersih jarang didefinisikan jelas.Kesalahan menempatkan pembangunan
dalam
manajemen
kesehatan masyarakat
sumberdaya dan
air
akan
keberlanjutan
dalam bahaya.
dengan
3
Terdapat
beberapa
permasalahan
yang
diperkirakan
akan
mempengaruhi upaya Indonesia untuk mencapai target pembangunan air minum dalam kerangka MDG pada tahun 2015 (diskusi WASPOLA di Bogor pada tanggal 27 Agustus 2003). 1.
Daya Dukung Lingkungan Semakin Terbebani oleh Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi Pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245,7 juta jiwa, yang semuanya berhak mendapatkan akses air minum.Pada tahun 2015, jumlah penduduk perkotaan menjadi lebih besar dibandingkan dengan akses air di perkotaan dengan perbandingan 53% : 47%. Pergeseran ini mengindikasikan semakin meningkatnya kebutuhan akan air minum per kapita, karena konsumsi air masyarakat perkotaan lebih besar daripada masyarakat perdesaan. Pertumbuhan penduduk terutarna diperkotaan lebih tinggi daripada pertumbuhan sarana penyediaan air minum yang ada. Sementara itu penduduk di pulau Jawa akan meningkat dengan cepat, sementara ketersediaan airnya sangat terbatas. Penggundulan hutan telah tidak terkendali sehingga semakin mengganggu ketersediaan air baku. Sedangkan sumber air baku terutarna air permukaan mengalarni pencemaran yang semakin meningkat akibat domestik, industri dan pertanian. Sehingga ketersediaan air baku semakin tidak bisa dijamin, baik kuantitas dan kualitas. Air baku di sebagian besar wilayah Indonesia sebenarnya tersedia dengan cukup, tetapi terancam
4
keberadaannya akibat pengelolaan yang buruk, baik oleh pencemaran maupun kerusakan alam yang menyebabkan terhambatnya konservasi air. Di sebagian wilayah Indonesia seperti Kalimantan dan sebagian Sumatera air baku sulit diperoleh karena kondisi alamnya sehingga masyarakat harus mengandalkan air hujan atau air permukaan yang tidak sehat. Akibat kerusakan alam, semakin banyak wilayah yang rawan bencana air, kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan. 2.
Interpretasi
UU
no
22
Tahun
2004
Tidak
Mendorong
Pengembangan dan Kerjasama Antar Daerah Dalam Penyediaan Air Minum UU
No
7/2004
tentang
Sumber
Daya
Air
telah
mengamanatkan dibentuknya Dewan Air untuk manajemen air secara terpadu dan Badan Pengatur untuk
mengurusi air minum. Tetapi
hingga saat ini lembaga lembaga tersebut belum terbentuk. Belum adanya lembaga yang mengatur tata guna air secara terpadu menyebabkan persoalan air di Indonesia ditangani secara sektorat sehingga tidak terarah dan tidak terintegrasi. Dengan otonomi daerah, kewenangan penyediaan air adatah pada pemerintah daerah. Tetapi kebanyakan pemerintah daerah belum memandang air sebagai persoalan prioritas. Pemekaran wilayah yang berdampak pada pemekaran PDAM, sehingga terbentuk PDAM berukuran kecil dan cenderung tidak efisien, ditambah lagi permasalahan sumber air baku
5
terletak diluar batas administrasi pengelola PDAM, sehingga menjadi kendala untuk peningkatan pelayanan. 3.
Kebijakan Yang Memihak Kepada Masyarakat Miskin Masih Belum Berkembang Pada dasarnya negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif (UU No 7 tahun 2004, pasal 10). Namun pada kenyataannya presentase penduduk miskin masih tinggi, sehingga kemampuan untuk mendapat akses kesarana penyediaan air minum yang memenuhi syarat masih terbatas. Masyarakat berpenghasilan rendah, ternyata membayar lebih besar untuk memperoleh air daripada masyarakat berpenghasilan tinggi, hal ini menunjukkan ketidak adilan dalam mendapatkan akses pada air minum. Walaupun sudah terdapat program program air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, namun akses terhadap air minum belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Perlu dukungan kebijakan yang lebih fokus untuk penyediaan sanitasi dan air minum bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
4.
PDAM Tidak Dikelola Dengan Prinsip Kepengusahaan Air minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara nasional, cakupan air perpipaan
6
baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan 6,4% di perdesaan. Pada umumnya PDAM secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan. Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%), konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT). Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3. PDAM belum mandiri karena campur tangan pemilik (Pemda) dalam manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM. Sumber daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga menimbulkan inefisiensi dalam manajemen. Dari segi keuangan, tarif air saat ini tidak bisa menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka panjang yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan. Banyak PDAM yang mengabaikan pelayanan dan kepentingan pelanggan, keluhan pelanggan sering tidak ditanggapi
7
dengan baik oleh PDAM, pelanggan merasa tidak berdaya. Hal ini menandakan kedudukan antara konsumen dan produsen tidak setara. Walaupun
dibeberapa
PDAM
sudah
terbentuk
forum
pelanggan/konsumen, namun perannya belum maksimal, belum dianggap mitra kerja PDAM yang potensial. Pengawasan/akuntabititas terhadap pengelolaan penyedia air minum masih lemah, belum ada sanksi untuk penyelenggara air minum yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan syarat yang ditentukan. Badan pengawas masih lemah/kurang berfungsi. Berdasarkan uraian diatas, dari 300 lebih PDAM yang ada di Indonesia, sebagian besar mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain). 5.
Kualitas Air Belum Memenuhi Syarat Air Minum Kualitas yang diterima pelanggan dari PDAM masih berkualitas air bersih, belum memenuhi syarat kualitas air minum. Padahal didalam peraturan sudah diisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan air minum adalah air yang bisa dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu. Masyarakat tidak memahami akan hak haknya untuk memperoleh air yang sesuai dengan persyaratan air minum yang ada,
8
sehingga masyarakat sering menerima saja apa yang diterima dari penyedia
air
minum.
Sedangkan
PDAM
tidak
pernah
menginformasikan kualitas air minum yang mereka sediakan kepada masyarakat. Apabila masyarakat bisa memperoleh air dengan kualitas air minum, diperkirakan angka penyakit yang ditularkan atau yang berhubungan dengan air akan bisa berkurang 80%. 6.
Keterbatasan Pembiayaan Mengakibatkan Rendahnya Investasi Dalam Penyediaan Air Minum Sampai tahun 1996 masih terdapat investasi yang cukup berarti dalam penyediaan air minum, yang meliputi hibah pemerintah (pusat dan daerah), dan pinjaman dalam dan luar negeri. Sejak itu kemampuan pemerintah semakin terbatas dalam membiayai investasi sarana penyediaan air minum, termasuk pula pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi dalam bidang air minum sangat tergantung dari pinjaman dari dalam negeri dan terutama dari luar negeri. Sementara sumber sumber keuangan untuk investasi melalui pinjaman semakin terbatas, dan akan semakin terhambat oleh hutang PDAM, apabila tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan. Apabila untuk sektor perumahan terdapat pembiayaan yang murah untuk pembangunannya, bahkan dimasa yang lalu pernah didanai melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, sektor air minum yang merupakan hajat hidup orang banyak tidak terdapat sumber dana murah yang bisa diakses oleh PDAM. Sumber pembiayaan sampai
9
saat ini masih mengandalkan pinjaman dan hibah yang semakin terbatas jumlahnya, dan belum berkembang sumber pendanaan alternatif
seperti
obligasi.
Dilain
pihak
terdapat
Pemerintah
Kota/Kabupaten yang mempunyai pendapatan yang tinggi dari PAD atau Bagi Hasil (PPn, PPh, dan PBB), namun kurang mempunyai perhatian terhadap pengembangan sektor air minum. 7.
Kelembagaan Pengelolaan Air Minum Yang Ada Sudah Tidak Memadai Lagi Dengan Perkembangan Saat ini Fungsi PDAM sampai saat ini operator penyedia air minum dan sekaligus sebagai pengatur kebijakan air minum didaerah. Disamping itu terdapat ambiguitas misi PDAM, karena ketidakjelasan antara misi sosial dan misi komersial. Sementara itu dalam UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah mengamanatkan pembentukan badan pengatur yang bertujuan untuk pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi, yang sampai saat ini belum terbentuk. Didalam UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air diamanatkan
bahwa
penyelenggaraan
pengembangan
sistem
penyediaan air minum diatur datam Peraturan Pemerintah, saat ini sedang dalam penyusunan. Dari lebih 300 PDAM yang ada, hanya sebagian kecil (3%) yang mempunyai pelanggan diatas 100.000 sebagian besar (49%) PDAM berukuran kecil dengan pelanggan
10
dibawah 10.000 sehingga skala ekonominya kurang atau tidak menguntungkan. 8.
Kemitraan Pemerintah Dan Swasta Dalam Penyediaan Air Minum Kurang Berkembang Belum terdapat kesamaan persepsi dan kesepakatan tentang keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum, dikalangan pemerintah Kota/Kabupaten. Akibatnya pengelola penyediaan air minum dan atau pemerintah daerah belum siap dalam bermitra dengan swasta. Belum terdapat aturan yang cukup mantap dan komprehensip bagi kemitraan pemerintah swasta dalam penyediaan air minum. Proses penyediaan ijin kepada swasta yang berminat jadi penyedia air minum belurn optimal. Sehingga swasta merasa investasi tidak aman dan tidak terjamin pengembaliannya. Belum terdapat skema pembiayaan yang mendukung keterlibatan swasta datam penyediaan air minum. Umumnya swasta mendapat pembiayaan dari bank dengan bunga komersial, sehingga biaya keuangan yang tinggi mengakibatkan tarif yang tinggi dan membebani petanggan. Ketentuan pengaturan tarif air minum yang saat ini berlaku, harus mendapat persetujuan oleh DPRD. Ketentuan ini mengakibatkan swasta merasa kepentingannya kurang terlindungi.
9.
Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyediaan Air Minum Kurang Berkembang
11
Peran serta masyarakat datam penyelenggaraan penyediaan air minum masih terbatas.Kelembagaan masyarakat yang tertibat dan berkecimpung dalam penyediaan air minum tidak berkembang. 10.
Pemahaman Masyarakat Tentang Air Minum Tidak Mendukung Pengembangan Air Minum Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial. Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip pertindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk
digunakan
untuk
mandi,
cuci
dan
pembuangan
kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama. Belum ada kesepahaman dari semua stakeholders termasuk stakeholders didaerah dan masayarakat, tentang tujuan dan target target MDG, khususnya di bidang air minum, serta peran strategis pencapaian target MDG tersebut bagi kemajuan pembangunan air minum di Indonesia. Keterlibatan perempuan sebagai pengguna utama dan pengelota air
12
minum dalam skala rumah tangga, pada setiap tahapan pengembangan penyediaan air minum masih sangat kurang. Di tingkat pemerintah pusat telah cukup banyak kebijakan tentang penyediaan air minum masih yang dihasilkan, namun kurang dan tidak tersebar luas pada tingkat pemerintah daerah maupun masyarakat. Lahirnya undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004, yang pada pasal 45 ayat 3 melegalkan privatisasi air membuka peluang yang cukup besar bagi swasta untuk bergabung. Sejauh ini PDAM sebagai lembaga pemerintah yang berwenang menyediakan air minum bagi masyarakat belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Berlandas kesadaran bahwa pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan merupakan kombinasi dari berbagai aspek maka pemerintah membentuk Kelompok Kerja
Air
Minum
kesemuanya
berusaha
dan
penyehatan Lingkungan (AMPL) yang
mengembangkan
pengelolaan
air
berbasis
komunitas. Di tingkat desa, pengelolaan air berbasis komunitas disebut dengan PAMDES (Paguyuban Air Minum Perdesaan). Hal ini sejalan dengan target ke-10 MDGs yakni mengurangi hingga setengahnya proporsi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar. Sumberdaya alam perdesaan merupakan modal penting dalam pengembangan wilayah karena sebagian besar penduduk di Indonesia adalah penduduk pedesaan. Kesulitan yang dihadapi dalam pembangunan
13
perdesaan adalah adanya keterkaitan yang sangat erat antara pembangunan perdesaan dengan keharusan pemberdayaan masyarakat pendukungnya (Mubyarto, pembangunan masyarakat
2000).
Mengikutsertakan
masyarakat
dalam
kegiatan
bertujuan untuk memupuk kepedulian dan kemandirian (Pambudi,2003). Partisipasi masyarakat desa merupakan
kekuataan/asset dalam pembangunan desa. Pengelolaan air berbasis komunitas dilakukan dengan melibatkan stakeholder yang ada didalam masyarakat dari proses perencanaan, pembangunan sampai proses evaluasi hasilnya (Abe, 2001). Proses pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat akan memberi manfaat bagi keberlanjutan program tersebut. Kondisi tersebut tidak terlepas dari adanya modal sosial yang ada di masyarakat. Modal sosial merupakan sebuah fenomena yang tumbuh dari bawah (bottom-up phenomenon), yang berasal dari sekumpulan individu yang membentuk pola jalinan sosial (sosial network) yang didasarkan atas prinsip saling mempercayai (trust), resiprositas sosial, norma dalam berperilaku, serta aksi kolektif. Menurut Soetomo (2011), strategi yang dianggap tepat untuk mensinergikan otoritas dan sumberdaya
negara
partisipasi masyarakat adalah pemberdayaan
dengan
potensi dan
masyarakat (community
development). Dalam pendekatan community development diharapkan terjadi sinergi antara aspek sosial dengan aspek ekonomi. Melalui strategi community development yang diharapkan adalah solidaritas sosial yang dapat dimanfaatkan
sebagai
salah
satu bentuk modal sosial yang
14
berdampak positif bagi pembangunan ekonomi. Sebaliknya, pembangunan ekonomi melalui tindakan kolektif dalam kehidupan komunitas semakin memperkokoh
solidaritas
sosial
dan
integritas
sosial.
Strategi
pemberdayaan menempatkan partisipasi aktif dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian (Clarke, 1991 dalam Hikmat, 2010). Kelembagaan masyarakat mempunyai
peran penting dalam
mengatur akses dan alokasi sumberdaya alam, terutama sumberdaya bersama (common resources) di perdesaan. Menurut Kolopaking et al. (2000), dalam rangka membangun bentuk-bentuk hubungan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan air, terdapat beberapa faktor yang penting diperhatikan, yaitu: 1.
Masalah hak-hak penguasaan (property right) atas sumber/mata air. Kepastian hak atas sumber/mata air dan kawasan di sekitarnya menjadi penting apabila pola-pola pemanfaatan tersebut diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut dan pelestarian sumber daya alam. Kepastian atas ha-hak penguasaan itu tersebut perlu agar hubungan kelembagaan yang dibangun benar-benar di atas “landasan” yang kuat dan kokoh.
2.
Masalah ketidakberdayaan komunitas lokal terhadap intervensi dari “atas”.
Ketidakberdayaan
komunitas
lokal,
khususnya
dalam
pengelolaan dan pemanfaatan mata air memperkuat penetrasi dari kelompok yang bermodal dari luar komunitasnya untuk mendominasi sumber/mata air yang seharusnya menjadi hak bagi anggota komunitas
15
tersebut. Akan tetapi di lain pihak, memang diperlukan peranan dari kelompok bermodal dan pemerintah dalam pengelolaan mata air tersebut. Oleh karena itu perlu dijalin suatu hubungan kelembagaan yang setara dan berkeadilan antara komunitas lokal, kelompok bermodal, dan pemerintah. Kesetaraan itu dapat tercapai dimulai dengan memberdayakan komunitas lokal tersebut. 3.
Masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia di tingkat komunitas lokal. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di komunitas lokal, khususnya pada masyarakat pedesaan sebenarnya bermuara pada sulitnya membangun kelembagaan sosial dan organisasi sosial dari bawah yang mampu meningkatkan kualitas pemenuhan
kebutuhan
memanfaatkan
sumber
hidup
serta
daya
alam
dalam
mengelola
dan
secara
profesional
dan
berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam mengembangkan pola-pola pemanfaatan air menjadi penting untuk melibatkan masyarakat pada tingkat komunitas lokal agar mampu memikirkan, merencanakan, mengimplementasikan, mengawasi, memanfaatkan, dan menilai serta mengembangkan potensi diri dan komunitas dalam membangun dan mengembangkan pengorganisasian pengelolaan sumber/mata air.
Berdasarkan tiga faktor tersebut di atas, maka pengembangan bentuk-bentuk (hubungan) kelembagaan pemanfaatan mata air perlu mengutamakan: (1) Peran serta komunitas lokal pada semua tahap dalam
16
proses pemikiran, pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta penilaian pengembangan pengelolaan mata air; (2) Kepastian atas hak-hak penguasaan atas sumber/ mata air yang akan dikelola dan dimanfaatkan; dan (3) Dukungan pemerintah lokal dalam pembentukan kebijakan yang mendukung penguatan dan pemberdayaan komunitas lokal, serta peran serta kelompok pemodal agar berminat menanamkan modalnya untuk pengelolaan mata air berdasarkan asas kesetaraan dan keadilan dalam suatu jaringan sosial yang mantap. Memperhatikan berbagai permasalahan dalam penyediaan air, dapat menjadi petunjuk bahwa penyediaan air bersih di Indonesia pada umumnya masih menghadapi
berbagai
kendala
antara
lain
kelembagaan, sikap masyarakat, anggaran, pencemaran, dan teknologi. (Ayu,
2007).
Dalam
masalah
tersebut
pemerintah
berkwajiban
memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa air bagi penduduk. Hal tersebut telah diamanatkan dalam Undang-Undang RI No.7, Pasal 5 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menjelaskan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan kebutuhan pokok minimal sehari- hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif, termasuk dalam hal ini kebutuhan pelayanan penyediaan air bersih. Seperti diketahui bahwa selama
ini, Pemerintah telah
berupaya memberikan dan meningkatkan cakupan pelayanan air bersih bagi seluruh warganya, namun demikian upaya pemerintah tersebut di atas belum memenuhi kebutuhan sesuai dengan harapan masyarakat.
17
Untuk
mengatasi
hal
tersebut,
Pemerintah
berupaya
mengembangkan pola kemitraan dengan pihak swasta. Berdasarkan Peraturan
Menteri
PU
pendukung pengembangan
No. 294/PRT/M/2005 tentang badan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM),
Bab 1 Pasal 1 (ayat 4) yang berbunyi: ”penyelenggaraan SPAM yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah badan usaha milik negara/badan usaha
milik
daerah,
koperasi,
badan
usaha
swasta,
dan/atau
kelompok masyarakat yang melakukan penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum”. Selain sebagai pengguna masyarakat juga dapat aktif dan berfungsi air
bersih.
komunitas
sebagai
pengelola
sarana
dan
prasarana
Selanjutnya penyediaan air bersih dapat dilakukan oleh dan
menjamin keberlanjutan
penyediaan
air
bersih
dilingkungannya baik dari aspek teknis maupun non teknis. Ternyata, dalam pelaksanaan pola kemitraan, pemerintah menghadapi kendala berkaitan dengan tarif yang relatif tinggi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (Republika, 19 Juni 2008). Oleh sebab itu, pemerintah akhirnya menerapkan model penyediaan air bersih berbasis komunitas. Model
penyediaan
air
bersih
berbasis
komunitas
adalah
menempatkan masyarakat tidak saja sebagai pengguna, tetapi juga sebagai pengelola sarana dan prasarana air bersih, yang secara aktif bergerak melalui kelompok swadaya masyarakat. dilakukan
oleh
masyarakat
Penyediaan air bersih yang
atau komunitas ini, secara mandiri
18
diharapkan dapat menjamin keberlangsungan penyediaan air bersih di lingkungannya. Usaha
penyediaan
air
bersih berbasis komunitas
sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru, namun tidak banyak organisasi sejenis yang tetap berkembang dan berkelanjutan jangka waktu yang lama,maka sangatlah menarik hal ini untuk dikaji lebih lanjut, guna keberkelanjutan organisasi tersebut dalam pemenuhan kebutuhan air dan juga kemungkinan pengembangan organisasi tersebut, bagi wilayah-wilayah dengan permasalahan penyediaan air yang sama.
B. Perumusan Masalah PAMDes merupakan bentuk pelayanan air minum perdesaan yang dikelola secara mandiri dengan swadaya masyarakat. Model ini berawal dari kepedulian dan kesadaran dari tingkat bawah (grassroot) di dalam pengelolaan air bersih. Suatu model dengan filosofi dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sebelum PAMDes dibentuk tahun 2008, Desa Karangrejek sudah masuk dalam jangkauan area pelayananan PDAM Wonosari. Namun demikian penyediaan air minum bagi masyarakat Kabupaten Gunungkidul masih menjadi masalah. Jalur perpipaan PDAM yang telah menjangkau hampir seluruh wilayah Kabupaten Gunungkidul belum mampu mengalirkan air secara kontinyu. Hal ini menyebabkan masyarakat masih harus membeli air pada musim kemarau, padahal di dalam tanah terdapat sumber air bawah tanah yang sangat melimpah yang berpotensi untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Munculnya ide
19
optimalisasi sumber air bersih dari pengeboran air tanah, bermula dari kurang optimalnya pasokan air bersih PDAM Gunungkidul, terutama saat musim kemarau, sehingga pada tahun 2007, pemerintah desa bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DIY dan Satker Penggembangan Kinerja Penyedia Air Minum DIY mengupayakan pengeboran air tanah dengan menggunakan dana APBN senilai Rp 1 miliar. PAMDes di Desa Karangrejek diberi nama Pengelolaan Air Bersih Tirta Kencana (PAB TK). PAB TK terbentuk karena adanya proyek pengeboran oleh SATKER PKP-AM DIY (Satuan Kerja Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum) pada awal tahun 2007 dengan kedalaman sumur110 meter yang terhubung jaringan 1.800
pipa
sepanjang
m kearah Pedukuhan Karangsari dengan 125 watermeter. PAB
TK merupakan bagian dari unit usaha BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Desa Karangrejek. PAMDES di desa ini telah berdiri sejak tahun 2008 dan dikelola oleh masyarakat telah melayani 863 Sambungan Rumah (SR) pada tahun 2012 dengan manajemen
organisasi
sudah
tercatat dengan rapi dan dilengkapi dengan watermeter, serta telah mempunyai peta jaringan air bersih. Keberhasilan
pemanfaataan
sumber
mata
air
dalam
pengelolaanya mensyaratkan upaya konservasi ekosistem mata air melalui keserasian antara pendekatan teknik dan kemasyarakatan. Dengan keserasian ini, maka akan terjalin keharmonisan
dalam
pengelolaan sumber mata air sebagai penyedia air bersih bagi
20
masyarakat.
Namun
demikian,
untuk
mencapai
usaha
tersebut
tidaklah mudah, karena dalam pemanfaatan air oleh masyarakat terutama di wilayah pedesaan sering menimbulkan permasalahan diantaranya adalah
ketidakefektifan
kelembagaan
dalam
mengelola
air
bersih.Sehingga dampak yang ditimbulkan adalah tidak berjalannya aktivitas masyarakat di kelembagaan, rusaknya fasilitas air bersih yang dibangun, dan rendahnya keberlanjutan kebijakan program lembaga pada pengembangan air bersih. Berkaitan dengan penyediaan layanan air bersih yang telah dilakukan oleh paguyuban Tirta Kencana di desa K a r a n g r e j e k menarik untuk diteliti lebih dalam terkait mekanisme pengelolaan air bersih dan upaya lembaga dalam memfasilitasi penyedian air bersih melalui pengembangan masyarakat sehingga terjadi
kemandirian
dalam pengelolaanya hingga saat ini, jika dibandingkan dengan lembaga air bersih yang dibentuk pemerintah dan lembaga lokal lainnya yang kelembagaan
mengalami
hambatan
dalam
tata
kelola
sehingga kesinambungan dalam mengelola program air
bersih belum berjalan efektif. Berdasarkan latar belakang di atas maka pokok permasalahan pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah efektifitas pengelolaan air bersih berbasis komunitas? Pertanyaan besar tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian untuk mengarahkan peneliti agar lebih tepat dan jelas yaitu :
21
1.
Bagaimanakah profil kelembagaan PAB Tirta Kencana?
2.
Bagaimana operasionalisasi dan pemanfaatan sarana prasarana?
3.
Bagaimana pengelolaan PAB Tirta Kencana?
4.
Faktor-faktor
apa sajakah mempengaruhi penguatan kelembagaan
PAB Tirta Kencana, sehingga mampu mendukung pengembangan dan berkelanjutan?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini antara lain: 1.
Menganalisis
kapasitas
kelembagaan
pengelolaan
air
bersih
berbasis komunitas. 2.
Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kapasitas
kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis komunitas. 3.
Menganalisis efektifitas pengelolaan air bersih berbasis komunitas di PAB Tirta Kencana;
D. Manfaat Penelitian Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun terkait dengan kajian pengelolaan sumber daya air yang berwawasan lingkungan ini, khususnya kepada: 1.
Civitas akademika, penelitian ini dapat memberikan wawasan serta masukan dalam hal menyikapi kebijakan Pemerintah perihal pengelolaan sumber daya air yang berwawasan etika lingkungan.
22
2.
Masyarakat,
memberikan
gambaran
umum
tentang
kebijakan
pemerintah perihal pengelolaan sumber daya air yang berwawasan lingkungan serta dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menghemat sumber daya air yang ada. 3.
Pemerintah, memberikan masukan dalam membuat kebijakan pengelolaan sumber daya air yang berwawasan lingkungan.
E. Penelitian Terdahulu Tabel 1.1. Daftar Penelitian Tentang Penyediaan Air Minum Berbasis Komunitas Peneliti (Tahun) Hani Eko Praptiwi (2011)
Bentuk Tesis
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dalam mengubah perilaku masyarakat dalam rangka penurunan diare di Kabupaten Temanggung
Perilaku masyarakat dengan tidak buang air besar sembarangan mempengaruhi penurunan kasus diare di Kab. Temanggung. Selain itu dengan adanya penyediaan air minum dapat mengubah perilaku masyarakat dalam rangka penurunan diare. Karakteristik masyarakat ternyata memiliki hubungan sangat lemah terhadap efektivitas kegiatan penyediaan prasarana air minum, dan memiliki hubungan searah yang memiliki arti bahwa semakin baik karakteristik masyarakat maka semakin efektif kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat memiliki peranan penting dalam keberhasilan program PAMSIMAS. Masyarakat Kelurahan Tembalang sudah dilibatkan secara aktif dalam program PAMSIMAS, namun tidak semua warga ikut secara aktif dalam proses perencanaan program. Pada tahap perencanaan, partisipasi masyarakat berada pada tingkat pengendalian terbagi, karena dalam setiap pertemuan yang diadakan selalu
Danang Adhitia Arianto (2010)
Tesis
Pengaruh Karakteristik Masyarakat dan Pendekatan Pembangunan Terhadap Efektifitas Kegiatan Penyediaan Prasarana Air Minum di Kab. Pekalongan (di Desa Depok, Kec. Siwalan, dan Randumuktiwaren, Kec. Bojong
Anton Humaidi (2010)
Tesis
Partisipasi Masyarakat Dalam Penyediaan Air Minum Pada Program PAMSIMAS di Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang Kota Semarang
23
Djunaidi Mustofa (2010)
Ali Masduqi,dkk (2008)
Tesis
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sarana Air Bersih di Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muaraenim
Makalah
Sistem Penyediaan Air Bersih Perdesaan Berbasis Masyarakat : Studi Kasus HIPPAM di DAS Brantas Bagian Hilir
didampingi oleh fasilitator. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi pada tahap perencanaan adalah faktor pekerjaan dan pendidikan. Kapasitas masyarakat dan sumber daya alam dalam pengelolaan prasarana masih cukup rendah untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan prasarana yang dibangun. Kurangnya air bersih yang merupakan kebutuhan dasar manusia merupakan dorongan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri secara komunal untuk mempertahankan diri. Kebutuhan komunal yang tidak terpenuhi itulah yang memicu partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat membutuhkan kesadaran yang tinggi pada masyarakat untuk memulai suatu proses kegiatan, sehingga dapat menghasilkan sebuah kesepakatan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama serta dapat menjamin keberlanjutan. Sistem penyediaan air bersih perdesaan harus dijaga keberlanjutannya karena pelayanan untuk masyarakat miskin perdesaan saat ini sangat rendah. Keberlanjutan dapat dijamin dengan pengelolaan yang baik dan didukung oleh partisipasi masyarakat, baik dalam bentuk kelancaran pembayaran pemakaian air atau keterlibatan langsung dalam setiap tahapan kegiatan pelayanan air bersih. Pengelolaan yang baik dan keterlibatan masyarakat menjadi pendorong keandalan sistem penyediaan air bersih, yang pada akhirnya menaikkan tingkat kepuasan masyarakat. Berdasarkan kajian ini, maka direkomendasikan agar pembangunan air bersih di perdesaan pada masa yang akan datang menggunakan pola pembangunan berbasis masyarakat, yaitu pola
24
pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan. Hermawan Kusumartono (2009)
Tesis
Sinergi modal sosial, modal fisik, modal manusia dan modal alam dalam pengelolaan jaringan irigasi oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A/GP3A/IP3A):Studi kasus daerah irigasi Cihea Kabupaten Cianjur
Terdapat adanya sinergi modal sosial, modal fisik, modal manusia dan modal alam dalam pengelolaan irigasi, dan pada dasarnya dalam pengelolaan irigasi harus terjadi sinergi antar modal tersebut untuk rnenghasilkan kinerja jaringan yang semakin meningkat. Sinergi yang paling kuat terjadi adalah antara modal sosial dengan modal alam, sedangkan sinergi yang paling lemah adalah liner antara modal sosial dengan modal manusia. Untuk itu sinergi yang paling penting adalah sinergi yang paling lemah karena sinergi inilah yang merupakan prioritas untuk diperkuat guna mewujudkan pengelolaan irigasi yang optimal, dengan tidak meninggalkan perkuatan sinergi antar modal lainnya.
Suko Kurnianto (2010)
Tesis
Modal Sosial dalam pengelolaan HIPPAM ; Studi Kasus pengelolaan HIPPAM Kedungkandang Kecamatan Kedungkandang Kota Malang
Masyarakat RW 5 Kelurahan Kedungkandang merupakan masyarakat yang memiliki modal sosial yang cukup kuat yang muncul dari karakteristik masyarakat pedesaan yang masih menjunjung tinggi nilainilai kebersamaan, gotongroyong, sikap saling menghargai satu sama lain, sederhana dan sopan santun. Selain itu nuansa religius yang masih nampak kental di dalam kehidupan masyarakat melahirkan modal sosial yang kuat yang menumbuhkan tingkat kepercayaan dan kerja sama yang baik di antara warga masyarakat. Modal sosial yang ada pada masyarakat tersebut dapat ditemukan pada organisasi-organisasi kemasyarakatan, perkumpulanperkumpulan, dan tradisi-tradisi yang masih melekat di masyarakat termasuk dalam pengelolaan HIPPAM. Peranan modal sosial dalam pengelolaan HIPPAM dapat dilihat dari tingginya tingkat kepercayaan yang didukung dengan adanya norma yang kuat
25
Otniel Pontoh (2010)
Tesis
Identifikasi Dan Analisis Modal Sosial Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten Minahasa Utara
dalam masyarakat serta dukungan kerja sama dari masyarakat terhadap pengelolaan HIPPAM. Modal sosial yang ada pada masyarakat Kelurahan Kedungkandang Kota Malang serta modal sosial yang melekat kuat pada pengurus atau pengelola HIPPAM membuat HIPPAM dapat berjalan secara efektif dan efisien. Berdasarkan temuan-temuan penelitian tersebut, disarankan kepada pemerintah agar mengadopsi pengelolaan HIPPAM di Kelurahan Kedungkandang untuk diterapkan di daerah lain yang mempunyai kondisi kesulitan air yang sama. • Kajian sosial budaya terhadap nilai dan norma, kepercayaan lokal, sistem pro- duksi dan reproduksi serta politik lokal diketahui bahwa masyarakat nelayan di Desa Gangga Dua, Kabupaten Minahasa Utara masih merupakan masyarakat dengan karakter modal sosial terikat (social capital bonding). Tipologi modal sosial ini sangat dipengaruhi oleh nilai - nilai dan norma dari aspek ekonomi yang dimiliki dan dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehariharinya. Hal ini berdampak pada struktur sosial yang terbentuk dalam kehidupan ekonomi masyarakat nelayan yang ada pada saat ini menjadi lebih berorientasi pada hubungan antar anggota dalam satu kelompok lebih banyak terfokus pada hal-hal yang terkait dengan aspek ekonomi. Hubung - an antar kelompok di sisi lain sangat le mah, baik di dalam masyarakat maupun dengan pihak luar.
26
Berdasarkan hasil analisis terhadap masyarakat nelayan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki tipo logi modal sosial terikat beserta penyebabnya menyiratkan perlunya kebijakan dalam rangka meningkat modal sosial di masyarakat nelayan tersebut. Kebijakan dimaksud adalah perbaikan struktur sosial yang terkait dengan kehi- dupan ekonomi masyarakat nelayan. Melalui kebijakan ini, diharapkan hubungan antar anggota dalam satu kelompok tidak hanya terfokus pada masalah ekonomis dan hubungan antar kelompok akan lebih terjalin kuat. Desa Sukomulyo sebagai kantong kemiskinan di wilayah kecamatan Pujon, Kabupaten Malang telah berkembang berbagai institusi sosial dan terdapat modal sosial yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat. Institusi sosial tersebut telah memberikan manfaat dan telah dikembangkan oleh masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin, baik dalam ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan sebagainya.
•
Oman Sukmana (2005)
Jurnal
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN PEDESAAN MELALUI PENGEMBANGAN INSTITUSI DAN MODAL SOSIAL LOKAL (Studi pada Masyarakat Miskin Pedesaan di Wilayah Kecamatan Pujon Kabupaten Malang