BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu “nama” atau “cap” yang diciptakan oleh orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan kejahatan dan pelakunya disebut penjahat. Labelling Theory memandang bahwa para kriminal (penjahat) bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat salah, tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas.1 Oleh karena penilaian itu berasal dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung kepada manusia untuk memberikan penilaian itu. Secara yuridis formal, ukuran tentang penjahat belum dicantumkan dalam perundang-undangan kita. Oleh karena itu yang disebut dengan penjahat baru dapat diukur secara empiris, sebab suatu tindakan yang dinilai sebagai kejahatan belum berarti selalu harus diakui oleh pihak-pihak yang lain sebagai kejahatan pula. Hal itu sangat erat dengan dinamika masyarakat; sekarang jahat, belum tentu hari esok dianggap jahat lagi.2 Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima bahwa suatu perbuatan tertentu adalah suatu kejahatan, maka bobot berat-ringannya perbuatan itu masih menimbulkan
1
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 98. 2 Nico Ngani dan A. Qirom Syamsuddin Meliala, 1985, Psikologi Kriminal Dalam Teori Dan Praktek Hukum Pidana, PT BP Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, hlm. 35.
1
2
perbedaan pendapat. Oleh karena itu, baiklah dibedakan 3 jenis pengertian kejahatan menurut penggunaan, yaitu pengertian secara praktis, religius, dan yuridis.3 Kejahatan dalam arti praktis adalah suatu pengertian yang timbul dari dan ditimbulkan oleh anggota masyarakat atau suatu kelompok, dengan kata lain suatu perbuatan disebut jahat atau tidak tergantung dari penilaian masyarakat. Misalnya, seorang anak kecil mengatakan temannya adalah jahat karena anak tersebut memukuli dirinya.4 Sementara kejahatan dalam arti religius itu mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api di neraka terhadap jiwa yang berdosa.5 Sedangkan, kejahatan dalam arti yuridis dapat dibaca di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; salah satunya adalah di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).6 KUHP membedakan antara perbuatan-perbuatan yang tergolong dalam kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dari Buku ke Dua KUHP, sedangkan Pelanggaran adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan
3
Gerson Bawengan, 1974, Pengantar Psychologi Kriminil, PT Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, hlm. 21. 4 Ibid. 5 Ibid., hlm. 22. 6 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak lagi membedakan antara “Kejahatan” dan “Pelanggaran”; “Pelanggaran” dihapuskan. RKUHP hanya terdiri dari 2 buku, yaitu Buku ke Satu berisikan Ketentuan Umum dan Buku ke Dua berisikan Tindak Pidana. Alasan penghapusan didasarkan atas kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran tidak dapat dipertahankan, karena dalam perkembangannya tidak sedikit beberapa kejahatan dikualifikasikan sebagai pelanggaran dan sebaliknya. Kenyataan juga membuktikan bahwa persoalan berat ringannya kualitas dan dampak tindak pidana kejahatan dan pelanggaran juga relatif, sehingga kriteria kualitatif semacam ini dalam kenyataannya tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten.
3
ketentuan-ketentuan dari Buku ke Tiga KUHP. Menurut Bambang Poernomo, kejahatan menurut hukum dapat dinyatakan sebagai perilaku yang merugikan terhadap kehidupan sosial (social injury), atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan sosial (anti sosial), atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman hidup bermasyarakat (non-conformist).7 Sementara menurut Hazewinkel-Suringa, tidak ada perbedaan kualitatif antara pelanggaran dengan kejahatan, yang ada hanyalah perbedaan kuantitatif; kejahatan pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran, dan hal tersebut tampaknya didasarkan pada sifat lebih berat daripada kejahatan.8 Individu (manusia) yang melakukan kejahatan memang ada sebabsebabnya. Kriminologi memfokuskan pada beberapa teori penyebab kejahatan yang dapat dibagi ke dalam tiga perspektif: teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif Biologis
dan Psikologis,
teori-teori
yang
menjelaskan kejahatan dari perspektif Sosiologis, dan teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif lainnya.9 Dalam perspektif Psikologis dan Biologis, para tokohnya tertarik pada perbedaan-perbedaan yang terdapat pada individu; para tokoh Psikologis mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-faktor kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan, sementara para tokoh Biologis mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri
7
Gerson Bawengan, 1974, Loc. Cit. Wirjono Prodjodikoro, 2009, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 35. 9 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.Cit., hlm. 35. 8
4
biologis, atau dengan kata lain bahwa kejahatan yang dilakukan sesorang dipengaruhi oleh bentuk fisiknya. Berdasarkan perspektif Sosiologis, para tokohnya beranggapan bahwa kejahatan adalah hasil daripada lingkungan sekitar individu (environment).10 Untuk perspektif lainnya, para tokohnya berusaha menunjukkan bahwa orang menjadi kriminal karena apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana.11 Terlepas dari berbagai perspektif kriminologi mengenai penyebab kejahatan, lambat-laun diteliti oleh ahli psikiatri dan psikologi bahwa mereka yang melakukan kejahatan pada dirinya terdapat kondisi yang abnormal. Dalam kenyataannya, tidak semua kejahatan dilakukan oleh individu dengan jiwa yang sehat. Terkadang, suatu tindak pidana juga dilakukan oleh seseorang yang mengalami gangguan jiwa. Indonesia adalah negara hukum, maka setiap tindakan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.12 Bagian dari norma hukum pidana menetapkan bahwa pada prinsipnya setiap perbuatan pidana disyaratkan selain bersifat melawan hukum diperlukan
10
Gerson W. Bawengan, Op.Cit., hlm. 35. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.Cit., hlm. 97. 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157) 11
5
juga pertanggungjawaban
yang terdapat
pada orang
yang berbuat.
Kemampuan bertanggungjawab dalam hukum pidana merupakan suatu keadaan dari hubungan batin/jiwa sedemikian rupa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Rumusan pasal-pasal dalam undangundang dipergunakan berbagai istilah niat, maksud, kehendak, sengaja, alpa, dan lain-lainnya sesuai dengan makna yang diperlukan pada masing-masing jenis kejahatan/pelanggaran. Dalam hukum pidana dikenal dasar pemikiran bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran “dianggap” mampu bertanggungjawab kecuali dibuktikan sebaliknya. Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka tidak dipidana”.13 Berdasarkan pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang
dilakukannya
jika
orang
tersebut
dapat
menginsyafi
perbuatannya, dapat menginsyafi bahwa perbuatannya tidak dapat dipandang patut, dan mampu menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatannya. Pasal tersebut juga menafsirkan bahwa harus adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan keadaan jiwa si pelaku. Di dalam hukum pidana dikenal doktrin mens rea yang berarti adanya unsur subjektif yang mutlak terhadap pertanggungjawaban pidana. Mental element atau mens rea sendiri juga mempunyai peranan penting sebagai suatu 13
Moeljatno, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 25.
6
faktor dalam peradilan pidana yaitu dalam penilaian dan penentuan perilaku kejahatan yang intinya menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat disebut kejahatan kecuali bilamana perbuatan tersebut diiringi oleh maksud jahat. Faktor mens rea sendiri dapat dilihat dalam pasal-pasal KUHP dengan tercantumnya kata-kata seperti “dengan maksud” dan “dengan sengaja”. Doktrin mens rea sendiri menjadi suatu sandaran sehingga peradilan pidana dapat melibatkan pemeriksaan terhadap kesehatan jiwa tertuduh; terhadap apa yang ia ketahui, yakini, atau duga sebelumnya; atau terhadap persoalan-persoalan sekitar apakah dia telah diancam atau dihasut untuk melakukan perbuatan pidana itu, atau apakah dia telah dihalangi oleh suatu penyakit ataupun ketidaksadaran atas pengawasan terhadap dirinya atau badannya. Doktrin mens rea ini juga disebut sebagai dasar dari hukum pidana, dan dalam praktek bahkan ditambahkan bahwa pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi memaafkan. Praktek pula yang melahirkan aneka macam tingkatan dari keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana.14 Di lain sisi, adagium actus reus non facit reum nisi mens sit rea menyatakan suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah. Maksud dari adagium ini adalah supaya kondisi jiwa si pelaku telah sesuai dengan penafsiran undang-undang, maka kondisi psikisnya (terkait dengan kejahatan yang dilakukan) haruslah diketahui. 14
Roeslan Saleh, 1982, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawab Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 21.
7
Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa tindakan manusia adalah merupakan penjelmaan dari fungsi-fungsi jiwa yaitu berpikir dan berperasaan secara sadar, dapat pula berpikir dan berperasaan secara tanpa disadari. 15 Oleh karena itu, seseorang bisa saja melakukan tindak kejahatan tanpa disadari atau mengerti mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dalam kenyataannya, tidak semua kejahatan dilakukan oleh seseorang yang memiliki keadaan jiwa yang sehat. Bagian jiwa yang terganggu mempunyai peranan dalam penjelmaan gangguan jiwa; seseorang yang terganggu jiwanya dapat berbuat di luar batas, hingga tindakan kriminal. Keadaan jiwa sendiri sangat berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab karena perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia dapat dikaitkan dengan keadaan akal pikirannya. Sebab, suatu permasalahan yang dapat ditemukan dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban adalah keadaan dari hubungan batin/jiwa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut.16 Oleh karena itu pula, motif menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana seseorang yang patut diduga mengalami gangguan jiwa. Mampu atau tidaknya bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan seseorang itu sukar diamati oleh petugas yang bukan ahli ilmu jiwa, sehingga dalam
praktek
pemeriksaannya
15
penegakan baru
hukum
setelah
terlintas pendapat
perkara
untuk
ternyata
meneliti
rumit
kemampuan
Abdul Mun’im Idries, 1985, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT Gunung Agung, Jakarta, hlm. 109. 16 Bambang Poernomo, 1984, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 23.
8
bertanggungjawab orang yang diperiksa. Ada kalanya penentuan yang demikian itu sudah terlambat atau ada halangan untuk mendapatkan hasil tepat berhubung berbagai faktor yang menjadi urusan perkembangan ilmu psikiatri, sehingga terlanjur seseorang mendapat putusan pengadilan yang kurang lengkap kebenarannya dan dengan sendirinya menjadi kurang adil. Pemeriksaan oleh dokter jiwa atau Psikiater adalah penting untuk menentukan keadaan jiwa seseorang saat perbuatan pidana dilakukan. Sebab dalam realitanya, terkadang ada orang yang baru mengalami gangguan jiwa ketika telah selesai melakukan perbuatan pidana. Keadaan jiwa sendiri memiliki keterkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, oleh karena itu hasil pemeriksaannya mempunyai peranan dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab. Di lain sisi, gangguan kesehatan jiwa dapat menghambat aparat penegak hukum untuk menentukan kemampuan bertanggungjawab seorang pelaku tindak pidana; sampai sejauh mana gangguan jiwa itu mempengaruhi kemampuan bertanggungjawab. Selain itu, tidak dapat pula dipungkiri bahwa terkadang ada pelaku tindak pidana yang berpura-pura gila demi lolos dari jerat hukum.17 Oleh karena itu, keberadaan Psikiater sangatlah dibutuhkan untuk menentukan kebenaran kemampuan pertanggungjawaban seorang pelaku tindak pidana, sebab kemampuan bertanggungjawab juga memiliki kaitan dengan kebenaran materiil hukum pidana. Tanpa Psikiater, aparat penegak hukum mungkin hanya akan menduga-duga; hal tersebut jelas 17
http://id.berita.yahoo.com/tersangka-kasus-korupsi-kantor-pos-pura-pura-gila-004323609.html, Tersangka Kasus Korupsi Kantor Pos Pura-pura Gila, diakses pada tanggal 3 Februari 2014.
9
bertentangan dengan tujuan proses peradilan pidana, sebab jika hanya dugaan yang digunakan maka kebenaran materill tidak akan tercapai. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk membahas dalam bentuk penulisan hukum (skripsi). Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini, penulis mengambil judul: ”PENERAPAN
ILMU
PSIKIATRI
KEHAKIMAN
DALAM
MENENTUKAN KEMAMPUAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan bantuan Psikiater untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana? 2. Bagaimana
penerapan
ilmu
Psikiatri
Kehakiman
dalam
menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana?
C. Tujuan Penelitian Penulisan Hukum ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam proses perkara pidana.
10
b. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana berdasarkan ilmu psikatri kehakiman. 2. Tujuan Subjektif a. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan kemampuan analisis penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum pidana dan terutama dalam ilmu Psikiatri Kehakiman.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai kegunaan, baik secara akademis maupun praktis. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan hukum dalam bidang Hukum Pidana, khususnya mengenai elemen pertanggungjawaban dan relasi hukum pidana dengan ilmu Psikiatri Kehakiman. 2. Kegunaan praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan/atau panduan bagi para penegak hukum, khususnya Kepolisian sebagai
11
Penyidik dan/atau Hakim dalam mengawal jalannya pemeriksaan persidangan dengan tetap pada koridor asas dan aturan hukum yang berlaku. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Hukum.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian yang penulis lakukan tersebut belum pernah diteliti dan ditulis sebelumnya. Namun setelah penulis melakukan penelusuran dari berbagai sumber, baik cetak maupun elektronik, penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang memiliki sedikit kemiripan dengan penulisan hukum yang akan penulis lakukan, yakni sebagai berikut: 1. Skripsi oleh Mary Rama Dona.18 a. Perumusan Masalah: 1) Bagaimana relevansi ilmu Psikiatri Kehakiman dalam proses perkara pidana? 2) Bagaimana pengaruh visum et repertum psikiatrik dalam proses perkara pidana? b. Hasil Penelitian: Skripsi tersebut menjelaskan bahwa ilmu Psikiatri Kehakiman memiliki relevansi yang penting dalam proses perkara pidana karena ilmu tersebut membicarakan tentang 18
Mary Rama Dona, 1999, “Relevansi Ilmu Psikiatri Kehakiman Dalam Proses Perkara Pidana”, (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
12
kemampuan bertanggungjawab dan penyakit jiwa yang dialami terdakwa,
sebab
hal-hal
tersebut
berhubungan
dengan
kelancaran dan kepastian hukum. Ilmu Psikiatri Kehakiman juga harus dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat kemampuan bertanggungjawab terdakwa lewat pemeriksaan. Selain itu, pengetahuan mengenai ilmu Psikiatri Kehakiman dapat dimanfaatkan oleh para pejabat penegak hukum tanpa harus mendatangkan dokter ahli jiwa. Visum et repertum psikiatrik mengkhusukan diri dari bentuk yang umum (visum et repertum). Perbedaannya terletak di kesimpulan karena sifatnya subyektif. Visum et repertum psikiatrik sendiri memuat data-data klinis dari tersangka, yang disusun sedemikian rupa sehingga akan memudahkan dalam membantu proses penyidikan. Data-data klinis dari tersangka akan dijabarkan oleh Psikiater secara benar jika penyidik dalam waktu secepatnya mengirimkan tersangka tersebut kepada Psikiater. 2. Skripsi oleh Badiyatus Sholihah.19 a. Perumusan Masalah: 1) Bagaimanakah
peranan
Psikiater
dalam
membantu
penyidikan dan membantu hakim dalam mengadili?
19
Badiyatus Sholihah, 1997, “Urgensi Pemeriksaan Psikiater Dalam Perkara Pidana” (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
13
2) Mengapa perlu diadakan pemeriksaan Psikiater menurut penyidik dan hakim? 3) Apa saja hambatan
yang ditemui
Psikiater
dalam
pemeriksaan? b. Hasil Penelitian: Peranan Psikiater adalah untuk memeriksa keadaan jiwa tersangka atau terdakwa dan hasilnya disampaikan ke petugas penyidik atau hakim. Peranan Psikiater semakin besar karena meningkatnya
pengajuan
alasan
ketidakmampuan
bertanggungjawab. Meski demikian, tidak semua pelaku tindak pidana akan mendapatkan pemeriksaan Psikiater. Apabila pemeriksaan Psikiater perlu dilakukan, maka harus dilakukan sedini mungkin ketika masih dalam proses penyidikan sebab gangguan jiwa bisa saja baru muncul ketikda selesai melakukan kejahatan atau pada masa penahanan. Peranan Psikiater dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun pengadilan begitu penting. Tanpa bantuan yang diberikan Psikiater, mustahil dapat diberikan putusan perkara pidana yang adil. Terdapat beberapa hambatan yang ditemui Psikiater dalam membantu penegak hukum, di antaranya adalah: disiplin ilmu yang berbeda antara penegak hukum dan Psikiater, sehingga sulit mencapai kesepakatan mengenai suatu masalah;
14
masih banyak penegak hukum yang belum memperoleh pengetahuan tentang psikiatri forensik, sehingga menimbulkan kesulitan dalam pemakaian istilah-istilah psikiatri forensik; keadaan psikis seseorang yang tidak menentu. Kedua penulisan hukum tersebut memang membahas mengenai peranan psikiatri dalam perkara pidana, sehingga menimbulkan kemiripan dengan penulisan hukum yang akan penulis tempuh. Namun perbedaan substansial penulisan hukum ini terletak pada aspek praktis dan yuridis. Penulis di sini bermaksud untuk membahas bagaimana mekanisme dan peranan Psikiater untuk menentukan kemampuan pertanggungjawaban seorang pelaku tindak pidana berdasarkan ilmu Psikiatri Kehakiman, dan penulis juga akan memasukkan penjelasan mengenai penerapan ilmu psikologi dalam rangka menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana. Selain itu, terdapat peraturan perundangan-undangan terbaru yang berkaitan dengan penerapan ilmu Psikiatri Kehakiman. Berdasarkan hal tersebut, maka penulisan hukum yang memiliki hubungan maupun sama dengan “PENERAPAN ILMU PSIKIATRI KEHAKIMAN
DALAM
MENENTUKAN
KEMAMPUAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA”, belum pernah ada sebelumnya. Penulisan hukum yang akan penulis lakukan juga memiliki perbedaan yang signifikan dengan 2 (dua) penulisan hukum yang penulis paparkan di atas, sehingga dengan demikian penulisan hukum ini adalah asli.