BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Majelis Desa Pakraman (MDP) terbentuk pada tahun 2004 sebagai pelaksanaan amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (selanjutnya disebut Perda Desa Pakraman). Salah satu alasan dibentuknya MDP adalah untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus adat yang terjadi dan sebagai wadah tunggal Desa Pakraman di Bali yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan kasus-kasus adat di Bali. Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman telah memiliki sejarah yang sangat tua. Keberadaan Desa Pakraman sudah disebutkan pada beberapa prasasti Bali Kuno seperti Prasasti Buahan (saka 947) di bawah Raja Sri Dharmawangsa Wardhana, Prasasti Bebetin (saka 896), Prasasti Sembiran bertahun Saka 987.1 Pada jaman kerajaan (sebelum 1908), Raja menjadi satu-satunya institusi di luar Desa Pakraman yang mengatur tatanan kehidupan Desa Pakraman. Raja dapat berbuat apa saja terhadap Desa Pakraman yang ada di wilayah kekuasaannya termasuk menjual rakyatnya sebagai budak dan menghibahkan beberapa desa
1
I Gusti Ngurah Oka, 1999, Dasar Historie dan Filosofis serta Tantangan Kedepan Keberadaan Desa Adat di Bali. MPLA Provinsi Bali, Denpasar, hal. 2.
1
berikut penduduk kepada seseorang.2 Kemudian, setelah masuknya pemerintahan Kolonial Belanda, diadakanlah desa administrasi yang baru, yang diformat sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan desa lama yang tradisional tetap dibiarkan dengan tatanan aslinya. Untuk memberikan pembedaan yang tegas, maka desa3 yang berbeda fungsi dan tugasnya tersebut diberi nama masing-masing desa adat (yang sekarang dikenal dengan Desa Pakraman) dan desa dinas atau desa administratif. Desa baru bentukan pemerintah kolonial Belanda inilah yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan “desa dinas”.4 Permasalahan-permasalahan
adat
yang
muncul
di
Desa
Pakraman
diselesaikan oleh perangkat pimpinan (prajuru) Desa Pakraman, melalui mekanisme internal, sesuai situasi dan kondisi objektif Desa Pakraman setempat, berdasarkan asas desa mawacara atau Desa Dresta. Desa mawacara atau Desa Dresta artinya bahwa tiap-tiap Desa Pakraman di Bali mempunyai adat kebiasaan atau awig-awig dan Pararem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya, sesuai dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman. Desa Pakraman memiliki hak otonom yang kuat. Berdasarkan Perda Desa Pakraman, Desa Pakraman merupakan satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) di Bali yang memiliki hak-hak tradisional. Secara kontitusional, hak-hak 2
Wayan P. Windia, 2010, Peran Stategis MDP Bali Dalam Menjawab Tantangan Bali Masa Depan, Makalah disajikan dalam upacara pembukaan Pasamuhan Agung III MDP Bali, yang dilaksanakan pada hari Jumat, 15 Oktober 2010, bertempat di Wiswasabha, kantor gubernur Bali, hal. 2. 3
Kata desa itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta yang bermakna tem pat atau petunjuk (I Gusti Ngurah Ok, loc.cit) 4
Wayan P. Windia, loc.cit
2
tradisional Desa Pakraman sebagai satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali diakui dan dihormati oleh Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Salah satu hak tradisional Desa Pakraman adalah membuat awig-awig, di samping menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi di wilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat.5 Awig-awig Desa Pakraman ini mempunyai kekuatan berlaku menurut hukum karena awig-awig itu ada dan dipentingkan oleh masyarakat yang bersangkutan terutama dari segi faedahnya yaitu dirasakan dapat memberikan ketentraman dan keadilan (gezag Authority) bukan berdasarkan Macht Power (diturunkan ke bawah oleh penguasa sebagai hal yang dipaksakan).6 Dalam perkembangannya kemudian Desa Pakraman memiliki beberapa masalah yang tidak semua dapat diselesaikan secara internal Desa Pakraman. Permasalahan adat dan agama Hindu yang tidak berhasil diselesaikan oleh prajuru Desa Pakraman, akan dimintakan penyelesaian (katunasang pematut) kepada pihak berwenang (sang rumawos). Pada jaman kerajaan yang dimaksud sang rumawos adalah raja, pada jaman penjajahan belanda adalah Penguasa Belanda, dan pada jaman kemerdekaan adalah Pemerintah Republik Indonesia. Desa Pakraman tugasnya melaksanakan (ngamargiang) apa yang telah diputuskan, terlepas apakah keputusan yang diberikan mencerminkan rasa keadilan
5
I Ketut Wirta Griadhi, 1994. Karakteristik dari Otonomi Desa Adat Suatu Kajian Teoritis, Makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah Bali. Lustrum VI dan HUT XXX Fak Hukum Unud, hal. 10-12. 6
I Ketut Artadi, 2009. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Penerbit Pustaka Bali Post Denpasar, hal. 80.
3
masyarakat ataukah tidak.7 Untuk itulah diperlukan suatu keputusan MUDP untuk menyelesaikan perkara adat tersebut. Permasalahan berupa perkara adat tidak cukup apabila dihadapi satu Desa Pakraman dengan semangat desa mawacara, melainkan harus dihadapi dengan cara dan semangat yang kebersamaan oleh seluruh Desa Pakraman di Bali (Bali mawacara).8 Wujud nyata kebersamaan tersebut mulai tampak setelah terbentuknya Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali pada tahun 2004 sebagai amanat dalam Perda Desa Pakraman, sebagai satu-satunya organisasi tempat berhimpunnya Desa Pakraman yang ada di Bali yang didasari adanya kekuatan yang dimiliki oleh Desa Pakraman berupa sudah adanya jaringan kerjasama antar Desa Pakraman yang terwadahi dalam satu organisasi yakni MDP Bali. Berdasarkan Pasal 14 Perda Desa Pakraman, Majelis Desa Pakraman (MDP) yeng berkedudukan di ibu kota propinsi disebut Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang merupakan MDP yang memiliki tingkat tertinggi diatas Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan Majelis Alit Desa Pakraman (MADP), berkedudukan di ibu kota kecamatan. Tugas dan wewenang MDP diatur dalam Pasal 16 dan Ayat (1) Ayat (2) Perda Desa Pakraman. Khusus untuk masalah penyelesaian kasus-kasus adat Kewenangan MUDP terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2) yang menegaskan bahwa MDP Bali mempunyai wewenang “Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa”.
7
Ibid
8
Wayan P. Windia, op.cit, hal. 8.
4
Oleh karena itu secara emplisit, kewenangan yang dimiliki oleh MDP, yang salah satunya adalah memiliki kewenangan sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa, maka MDP dapat mengambil peranan sebagai penengah dalam konflik yang ada. Namun ternyata kemudian, MDP tidak hanya menjadi penengah saja, tetapi juga sebagai pemutus dalam perkara adat. Perkara adat yang bukan termasuk dalam perkara perdata maupun pidana, namun termasuk perkara adat murni kemudian disebut dengan Wicara, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali. Berdasarkan catatan yang dimiliki Wayan P. Windia, di Bali pada tahun 1999 sampai dengan 2005 telah terjadi 112 kasus konlik adat.9 Konflik antar tersebut berkembang dari waktu ke waktu. Terdapat beberapa kasus yang terdapat di Bali yang melibatkan Desa Pakraman, antara lain ;
Tabel 1 KASUS-KASUS YANG MELIBATKAN DESA PAKRAMAN DI BALI
NO
NAMA
1
Lemukih
WAKTU KEJADIAN Tahun 2010
POSISI KASUS
JENIS PELANGGARAN
dari sengketa tanah adat seluas sembilan puluh tiga hektar, dengan adanya aturan landreform, dimana kepemilikan tanah dibatasi, tanah desa
Pembakaran rumah Penyiksaan warga pendukung sertifikat Pengusiran warga yang pro pemilik sertifikat Sweeping warga Merusak fasilitas
9
TINDAKAN PENEGAK HUKUM Menangkap pelaku pembakaran dan penyiksaan
Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat Dan Digugat, Udayana University Press, Denpasar, hal. 30.
5
2
Perebutan kuburan di Gianyar
3
Tapal Batas
2008-2010
lemukih dibatasi maksimal tiga puluh hektar. sisanya enam puluh enam hektar, dimohon oleh penggarap tanah, sehingga keluar sertifikat hak milik. hal ini tidak diterima oleh masyarakat adat yang juga mengklaim bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. setelah di desa keramas Gianyar. Kasus pemagaran kuburan kembali terjadi di Gianyar. Kali ini, Tempek gria Tegallinggah, bedulu, Gianyar. ang diduga memanfaatkan pura yang juga diempon kelompok tepekan gria Tegallinggah, yang terkesan diulur-ulur, penyelesainya. Sebelumnya, Tempekan gria tegallanggih, tidak terima dengan sikap yang dilakukan oleh kelompok petandakan, buruan dengan melakukan pemekaran Desa Pakraman baru yakni Desa Pakraman ketandan sengketa tapal batas kedua desa beberapa kali menimbulkan perbuatan anarkis. Sejumlah warga Macang melaporkan,
6
umum
Pengusiran Perusakan fasilitas umum Penyiksaan
Sempat menangkap pelaku kemudian dilepaskan lagi.
Penyiksaan Pengusiran Perusakan fasilitas umum pembakaran
Tidak melakukan tindakan apapun terhadap siapapun
4
Tajen
Sekarang
5
Desa Adat Pakraman Budaga Vs Desa Adat Kemoning
Sudah ada Keputusan dari MUDP
rumahnya dirusak karena dilempari batu dan ada yang dibakar. Balai pesandekan pura dan bak sumber air juga dibakar dan dirusak. Kebun salak dan tanaman lain dibabat, buahnya ada yang dijarah. Tajen melanggar pasal 303 tetapi sering kali tajen diadakan oleh masyarakat adat. Perebutan Nama Pura Dalem Dan Prajapati kemudian berimbas pada tapal batas
Perjudian
pengerusakan dan Kekerasan
Penangkapan oknum pejudi terus dilakukan tetapi judi sambung ayan tetap marak Saling Lapr di Kepolisan Kepolisian menangkap pelaku peperangan
Dari : Diambil Berbagai Sumber oleh Peneliti
Di antara kasus tersebut terdapat kasus yang sudah menjadi perkara dan diselesaikan secara diputus oleh MDP seperti sengkata Semita-Mulung (Gianyar) yang merupakan sengketa pemekaran Desa Pakraman antara Desa Pakraman dengan banjar yang ingin memisahkan diri berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 003/ktps/MDP/BALI/IV/2007, tertanggal 11 April 2007 tentang Pemekaran Banjar Mulung menjadi Desa Pakraman Mulung.10 Tamblingan vs Munduk juga sama karena sebelum mekar, Desa Pakraman Tamblingan pada awalnya adalah banjar bagian dari Desa Pakraman Munduk; yang sengketanya diputus berdasarkan SK Nomor 005 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Desa Pakraman Tamblingan. Namun ternyata SK tersebut tidak dipatuhi oleh Desa 10
Sumber : www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id, diunduh pada tanggal 1 Juni 2013.
7
Pakraman Munduk.11 Sengketa Pura Dalem Kemoning, yang akhirnya menjadi wicara dan telah diputus oleh MUDP dengan Keputusan MUDP Nomor 001/SP/MUDP/I/2012. Penyelesaian Wicara tidak hanya diselesaikan secara mediasi, namun juga melalui penyelesaian berupa peradilan oleh MUDP yang hasilnya adalah sebuah keputusan dari MUDP. Wicara yang pernah diputus melalui peradilan oleh MUDP adalah Wicara Pura Dalem Kemoning yang terjadi antar Pangempon pura. dimana dalam 1 Pura terdapat 4 (empat) Tempek, 2 (dua) Tempek tergabung dalam Desa Pakraman Kemoning, satu Tempek di Desa Pakraman Budaga, dan satu Tempek lagi merupakan bagian dari beberapa banjar di Desa Pakraman Semarapura. Terjadinya sengketa dan akhirnya menjadi sebuah perkara adat yang ditangani MDP melalui peradilan, sehingga akhirnya MUDP Bali membuat suatu keputusan untuk mengakhiri perkara adat tersebut. Perkara adat itu sendiri oleh MDP disebut dengan istilah Wicara, sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali. Berdasarkan uraian tersebut di atas, Keputusan MUDP tersebut ternyata memiliki kontroversi dari aspek yurisdis dan sosiologis. Dalam aspek yuridis, dalam realita MUDP sudah menyelesaikan Wicara dengan cara memutus bukan menengahi atau melakukan mediasi, sementara dalam aturan hukum yang tersedia, MUDP hanya berwenang menengahi sengketa adat atau Wicara saja 11
Sumber : www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id, Diunduh Pada Tanggal 1 Juni 2013.
8
bukan untuk memutus, itupun terbatas pada sengketa sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman terkait dengan kewenangan MDP. Aspek sosiologis, keabsahan Keputusan MUDP mengandalkan legitimasi berupa penerimaan para pihak. Dalam realita yang ada beberapa Keputusan MUDP mendapat perlawanan (penolakan) dari salah satu pihak, seperti pada kasus Pura Dalem dan Pura Prajapati Kemoning-Budaga yang dapat dilakukan dan diselesaikan setelah adanya campur tangan pemerintah. Untuk dapat mengetahui apakah menyelesaikan perkara adat melalui MUDP Bali efektif, maka hal ini menarik untuk diteliti sebagai karya ilmiah dalam bentuk Tesis dengan judul : Penyelesaian Wicara Melalui Peradilan Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali (Study Kasus Pura Dalem Dan Pura Prajapati Kemoning-Budaga)
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan Wicara melalui Peradilan? 2. Bagaimana proses penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP? 3. Bagaimana efektivitas penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP?
9
1.3 Ruang Lingkup Masalah Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka ruang lingkup penulisan tentang penyelesaian Wicara melalui MUDP akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut : 1. Tentang dasar kewenangan MUDP Bali yaitu apa dasar hukum penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP. 2. Tentang proses penyelesaian Wicara yaitu yang akan membahas tentang asas dan norma hukum berkenaan dengan penyelesaian Wicara, proses penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP Bali . 3. Tentang efektifitas penyelesaian Wicara melalui peradilan MUDP Bali yaitu sikap Desa Pakraman dan pihak yang berperkara terhadap penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP, persepsi Desa Pakraman dan pihak yang pernah berperkara terhadap Keputusan MUDP.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam proposal tesis ini dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun penjelasan masing-masing tujuan dimaksud adalah : 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami tentang aspek hukum Penyelesaian Wicara baik yang bersumber dari hukum adat maupun
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dalam
rangka
mewujudkan ketertiban, keamanan dan kedamaian wilayah Bali, khususnya wilayah Desa Pakraman.
10
2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui, mandalami dan menganalisa dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan Wicara melalui peradilan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa proses penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP. 3. Untuk mengetahui menganalisa efektifitas penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat teoritis dan manfaat praktis tersebut adalah : 1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan Ilmu Hukum pada umumnya dan hukum adat pada khususnya, utamanya yang berkaitan dengan penyelesaian Wicara. 2. Manfaat praktis, dimana hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pemerintah, Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, dan Aparat Keamanan dalam mengambil kebijakan guna penyelesaian Wicara yang melibatkan Desa Pakraman atau kelompok adat, dan kepada masyarakat adat khususnya Krama Desa Pakraman dalam menyelesaikan Wicara serta kepada diri sendiri dalam rangka meningkatkan wawasan tentang keterkaitan keputusan MUDP dengan penyelesaian Wicara.
11
1.6 Orisinalitas Penelitian Untuk mencegah plaganisme, maka berikut disajikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan permasalahan penyelesaian Wicara; 1.6.1
Judul : Peranan Kepala Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Mediasi (Studi Analisis Terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah – Tanah Ulayat Di Kecamatan Soa Kabupaten Ngada – Flores – Nusa Tenggara Timur)
Peneliti
: Maria D. Muga, SH
Dari
: Program
Studi
Magister
Kenotariatan
Program
Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang 2008 Deskripsi Penelitian : Peranan Kepala Adat yaitu Mosalaki sangat berperan terhadap penyelesaian sengketa tanah-tanah ulayat karena Kepala Adat dianggap sebagai hakim perdamaian antara masyarakat dalam menyelesaiakan sengketa tanah ulayat dan tempat bersandarnya anggota masyarakat adat untuk menyelesaikan masalahnya. Penelitian ini sangat berbeda dengan konsep penelitian Penyeleselaian Wicara melalui MUDP, karena disamping penelitiannya tidak dilakukan di Bali, juga tidak meneliti tentang MUDP.
1.6.2
Judul : Penyelesaian Pelanggaran Adat Di Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng Menurut Hukum Adat Bali
Peneliti
: Nyoman Roy Mahendra Putra
12
Dari
: Program Magister Kenotariatan Univeritas Diponegoro Semarang 2009
Deskripsi Penelitian : Jenis-jenis perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam pelanggaran adat menurut hukum adat Bali adalah pencurian benda-benda suci, pembunuhan dan penganiayaan di tempat suci atau pura, pengrusakan tempat suci, pelanggaran kesusilaaan di pura, lokika sanggraha, smandel sanggrama, gamia gemana, salah karma, drati karma, melarikan istri orang, wakpurusia, pembongkaran kuburan, menguburkan mayat dan membakar simbol orang meninggal di pekarangan rumah, menguburkan mayat/jenasah pada hari raya, memasuki pura pada saat kesebalan karena kematian atau wanita sedang datang bulan, mengembala binatang piaraan di pekarangan pura, pematang sawah yang berisi tanaman dan perkebunan warga, mengeluarkan kata kotor di pura serta melakukan sumpah cor tanpa ijin prajuru desa. Kesimpulan lainnya adalah Pelaksanaan penyelesaian pelanggaran adat di Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng menurut hukum adat Bali adalah pelanggaran adat yang tidak merupakan tindakan kriminal yang diatur dalam KUHP diselesaikan pertamatama di tingkat Prajuru Banjar Adat, dan apabila tidak berhasil diselesaikan maka dilanjutkan penyelesaiannya melalui paruman warga banjar adat dan jika hal ini juga tidak berhasil diteruskan ke Prajuru Desa Adat Sepang dan jika hal ini juga tidak berhasil akan diserahkan kepada pemerintah guna memperoleh keputusan. Namun selama ini segala pelanggaran adat yang terjadi di Banjar Adat diselesaikan secara baik di tingkat Prajuru Banjar Adat. Penelitian ini tidak
13
mengkaji penyelesaiannya sampai pada MUDP tapi hanya sebatas intern Desa Pakraman.
1.6.3
Judul : Peranan Kerapatan Adat Nagari (Kan) Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di Kecamatan Kuranji Kota Padang
Peneliti
: Defto Yuzastra
Dari
: Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro 2010
Deskripsi penelitian : Bentuk-bentuk sengketa tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat di Minangkabau, disebabkan oleh pembagian warisan, proses jual beli, dan sewa menyewa. Peranan KAN Pauh IX Kuranji, adalah sebagai penengah atas setiap sengketa berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983, sengketa-sengketa mana terkait dengan pengakuan atas Kesatuan masyarakat hukum adat khususnya di wilayah Kuranji. Penyelesaian atas permasalahan dapat dilakukan dengan cara mengefektifkan peranan KAN Pauh IX serta penegasan kewenangan KAN melalui peraturan-peraturan pelaksana dari peraturan daerah. Perbedaan dengan Penelitian Penyelesaian Perkara Adat melalui MUDP adalah selain penelitiannya tidak dlakukan di Bali, juga penyelesaian perkara tersebut tidak melalui MUDP.
14
1.7 Landasan Teori Dan Kerangka Berpikir 1.7.1
Landasan Teori Yang dimaksudkan dengan Landasan Teori pada penelitian penyelesaian
Perkara Adat melalui MUDP adalah Teori-teori dan Konsep-konsep. Berikut ini akan disampaikan penjelasan tentang teori, yang diawali dengan penjelasan beberapa teori, beberapa konsep yang dipergunakan dalam penulisan ini. 1.7.1.1 Teori Teori yang akan dipergunakan untuk menganalisa permasalahan yang dihadapi dalam penelitian Penyelesaian Perkara Adat melaui MUDP, adalah sebanyak 3 (tiga) teori. Adapun teori-teori tersebut adalah : 1.7.1.1.1
Teori Kewenangan
Pencetusnya teori ini adalah J.G. Brouwer. Inti teorinya adalah Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini
15
adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan
sebelumnya
dan
memberikan
kepada
organ
yang
berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif
16
guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. 12 Teori kewenangan ini dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang pertama yaitu mengkaji dasar kewenangan yang di dapat oleh MUDP Bali dalam menyelesaikan wicara.
1.7.1.1.2
Teori Semi Autonomous Social Field
Pencetus teori ini adalah Sally Falk Moore. Inti teorinya adalah setiap kelompok sosial (social field) mempunyai kapasitas dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan memaksa dalam pentaatannya. 13 Dalam Pluralisme Hukum (Legal Pluralism) keberadaan sistem hukum yang hidup seperti hukum agama, hukum kebiasaan dan juga aturan-aturan lokal yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat adalah hukum. Pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial. 14
12
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 219. 13 Sally Falk Moore, 1983, Law and Social Change : The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study, Law as a process, an Anthropological approach, Routledge and Kegan Paul, London, hal. 78. 14
I Nyoman Nurjaya, 2009. Perkembangan Tema Kajian, Metodologi, dan Model Penggunaannya untuk memahami Fenomena Hukum di Indonesia. http://editorssiojo85. wordpress.com, hal. 8.
17
Kemajemukan sistem hukum yang dimiliki oleh masing-masing kelompok sosial, yang secara nyata melekat dalam kehidupan m asyarakat adat adalah merupakan fakta, sehingga berbagai sistem hukum itu adalah eksis pada lingkungannya serta dapat berlaku bebas di luar ketentuan Negara atau dapat berlaku dan bekerja secara berdampingan dengan sistem hukum lain. 15 Konsep legal pluralism ini telah memberikan tempat dan pengakuan (recognition) terhadap keanekaragaman hukum. Cakupan pengakuan tersebut meliputi pengakuan terhadap tertib hukum di dalam lingkup Negara sampai dengan konsep-konsep hukum, yang validasinya tidak selalu mengharuskan adanya pengakuan hukum dari Negara. 16 Kegunaan Teori semi-Autonomous Social Field adalah sebagai instrumen dalam menganalisa permasalahan penelitian yang pertama dan kedua yaitu dasar kewenangan MUDP dalam penyelesaian perkara adat, mengingat MUDP adalah wadah tunggal Desa Pakraman sebagai kelompok sosial yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dan tentang proses pelaksanaan penyelesaian perkara adat melalui MUDP, yang memiliki mekanisme penyelesaian perkara adat tersendiri tata cara penyelesaian perkara adat melaui MUDP.
15
Sulistyowati Irianto, 2008. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya. http://roysal.blogspot.com, hal. 5. 16
Johannes Johny Koynja, 2009. Hukum dan Pendekatan Teori Sosial. http:/Johny Koynja.blogspot.com, hal. 4.
18
1.7.1.1.3
Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat dari Moh. Koesnoe.
Menurut Moh. Koesnoe, ada dua cara dalam menangani perkara adat yaitu dengan cara menyelesaikan dan memutus. Ajaran pokok dari Koesnoe ini dapat digunakan oleh para Hakim Adat atau MUDP untuk mengidentifikasi dan menjelaskan mengenai bentuk penyelesaian perkara-perkara adat. Ajaran menyelesaikan
berpendapat
bahwa
segala
persoalan
yang
menyangkut
kepentingan bersama hendaknya dipecahkan bersama-sama secara musyawarah mufakat oleh anggota-anggotannya atas dasar kebulatan kehendak bersama. Musyawarah ditujukan untuk mencari Mufakat yang menurut alur dan patut. Dalam hal ini, bukan soal “menang-kalah” dari salah satu pihak, melainkan kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu sehingga masing-masing pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan secara tenang, tentram dan sejahtera. Ajaran memutus berpandangan bahwa tidak semua perkara adat dapat diselesaikan, terutama segi-segi yang membahayakan kehidupan bersama begitu berat, sehingga perlu adanya langkah-langkah yang bersifat tegas dan jelas. Dalam hal ini, pengambilan keputusan tidak boleh secara sewenang-wenang, akan tetapi harus mengutamakan asas musyawarah-mufakat, keputusan yang di ambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Ajaran
memutus lebih menitik beratkan pada pertimbangan-
pertimbangan akal sehat dan apa yang sebenarnya.
19
Kedua ajaran itu menekankan pentingnya faktor teknik, pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang hakim dalam urusan adat dituntut persyaratan yang dimiliki mengenai teknik-teknik menyelesaikan perkara, kehalusan perasaan dan penghayatan kesusilaan dan dasar-dasar hidup bermasyarakat, sehingga jawaban yang diberikan dapat memuaskan para pihak dan masyarakat secara menyeluruh.17 Ajaran menyelesaikan dan memutus tersebut di atas, digunakan oleh Hakim Perdamaian Adat dalam mengadili perkara-perkara adat menggunakan 3 (tiga) asas yaitu asas rukun, patut dan laras. Asas rukun yaitu suatu asas yang isinya suatu pandangan dan sikap orang menghadapi hidup bersama dalam lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai suasana hidup bersama yang aman, tentram dan sejahtera. Asas patut merupakan asas yang menekankan perhatian kepada cara bagaimana
bersikap,
berbuat,
bertindak
dan
berprilaku
dengan
lebih
mengedepankan etika dan rasa malu. Asas laras adalah asas yang berkaitan dengan pola prilaku masyarakat yang lebih mengutamakan adanya keseimbangan dan keselarasan antara dunia lahiriah dan dunia batiniah, dengan demikian keharmonisan hidup masyarakat dapat tercapai. Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial masyarakat adat. Ajaran dari Koesno ini dipergunakan untuk membantu teori semi autonomous
social
field
dalam
menjawab
permasalahan
kedua
yaitu
penyelesaiaan wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali. 17
Moh. Koesno, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Airlangga University Press, hal, 49.
20
1.7.1.1.4
Teori Sistem Hukum
Pencetusnya Teori Sistem Hukum adalah Lawrence M. Friedman. Inti teorinya adalah untuk dapat bekerja secara efektif, hukum sebagai suatu sistem harus memenuhi 3 (tiga) elemen pokok, yaitu (a) Struktur sistem hukum (structure of system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), instusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kopolisian Negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum harus dapat berfungsi sebagai efektif (b) Substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum dapat menjalankan fungsi dengan baik, dan (c) Budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujub dalam prilaku masyarakat dalam mempersiapkan hukum harus dapat dipenuhi oleh sistem hukum. Setiap masyarakat memliki struktur dan subtansi hukum sendiri yang menentukan apakah subtansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya malah dilanggar adalah ditentukan oleh sikap dan prilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tertgantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture) tradisitradisi (tradition), dan norma- norma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang yang besangkutan.18
18
Lawrence M. Friedman, 1984, The Legal system A Sosial Science Perspective (Judul Terjemahan Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial), terjemahan M. Khozim. Penerbit Nusa Media Bandung, hal. 5-7.
21
Melalui kajian komponen struktur hukum, subtansi hukum dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana suatu sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (sosial field) tertentu. Kultur hukum menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupan masyarakat. Kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan subtansi hukum dalam memperkuat sistem hukum. Teori Hukum sebagai suatu sistem dapat dipergunakan untuk mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem sehingga nantinya dapat menjawab permasalahan ketiga yaitu apakah dalam penyelesaian perkara adat melalui MUDP dapat bekerja secara efektif atau tidak.
1.7.1.2 Konsep Konsep yang akan dipergunakan untuk membantu didalam memberikan penjelasan terhadap beberapa permasalahan Penelitian Penyelesaian Wicara melalui Peradilan Oleh MUDP di Bali, yaitu : 1.7.1.2.1
Konsep Penyelesaian Wicara
Wicara atau Perkara Adat adalah perkara adat yang muncul karena sengketa adat atau pelanggaran norma hukum adat Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis (catur dresta) yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu, yang tidak termasuk
22
sengketa perdata dan/atau pelanggaran hukum menurut Hukum negara.19 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkara berarti pelanggaran (kejahatan, perselisihan, dsb) yang ada sangkut pautnya dengan hukum atau yang diadili oleh pengadilan.20 Sedangkan adat itu sendiri berarti aturan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala.21 Oleh karena itu, perkara adat adalah perkara adat murni yang bukan termasuk perkara perdata atau pelanggaran hukum negara. Selanjutnya Ketut Wirta Griadi menyatakan untuk sengketa adat jelas pula menunjukkan eksistensinya sebagai bentuk suatu perselisihan yang terjadi antara dua subjek hukum, disebabkan karena adanya benturan kepentingan yang dilandasi oleh pandangan atau pendirian yang berbeda. Suatu ciri khas yang melekat pada sengketa adat adalah adanya suatu obyek sengketa yang menyangkut kepentingan adat, terutama yang berhubungan dengan kepentingan kelompok.22 Maka memperhatikan pernyataan Ketut Wirta Griadi tersebut, jelas bahwa perkara adat merupakan sebuah proses penyelesaian yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa adat atau benturan atas kepentingan adat. Dalam hal sengketa tidak bisa diselesaikan dan pada akhirnya perlu sebuah penyelesaian maka sengketa tersebut berubah menjadi perkara yang ada pada akhirnya memerlukan sebuah keputusan.
19
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor : 002/Skep/MDP Bali/IX/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Dan Petunjuk Teknis oleh Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali 20
WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-3, yang diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 877. 21
Ibid, hal. 7.
22
I Ketut Wirta Griadi, 1990, Beberapa Catatan Tentang Sengketa Adat Di Bali, dalam majalah ilmiah Kerta Pratika Nomor 50/Maret 1990, hal. 26.
23
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Penyelesaian berarti proses, cara, perbuatan pemberesan atau pemecahan.23 Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok utama yakni yang pertama dilakukan oleh salah satu pihak, kedua dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa saja, dan yang ketiga melibatkan pihak ketiga. Bentuk penyelesaian sengketa lainnya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa adalah negosiasi. Penyelesaian sengketa model ini disebut penyelesaian diadik untuk menghasilkan suatu keputusan atau kesepakatan tanpa campur tangan atau bantuan pihak ketiga. Biasanya penyelesaian model ini tidak berdasarkan peraturan yang ada melainkan berdasarkan aturan yang mereka buat sendiri. Sedangkan penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga meliputi penyelesaian yang berbentuk ajudikasi, arbitrase, dan mediasi. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bentuk penyelesaian ini bersifat triadic karena melibatkan pihak ketiga, sedangkan perbedaannya adalah ajudikasi merupakan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk campur tangan, dan ia dapat melaksanakan keputusan yang telah ditentukan tanpa memperhatikan apa yang menjadi kehendak para pihak. Berbeda dengan ajudikasi, arbitrase merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan pihak ketiga dan keputusannya disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan mediasi adalah bentuk penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihak-pihak yang bersangkutan untuk mencapai persetujuan. 23
http://kamusbahasaindonesia.org/penyelesaian#ixzz20niIJHrf, dinduh tanggal 16 Juli 2012, jam 23.55 Wita.
24
1.7.1.2.2
Konsep Peradilan
Peradilan dalam istilah bahasa inggris disebut dengan judiciary, sedangkan dalam bahasa belanda disebut rechspraak dalam bahasa Belanda yang maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan menurut Cik Hasan Bisri, Peradilan merupakan salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakkan hukum dan keadilan, yang mengacu kepada hukum yang berlaku.24 Secara hukum tertulis, berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo. Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, di Indonesia dikenal 4 (empat) lingkungan lembaga Peradilan; yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer Dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kemudian dalam hal Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) dikenal dengan penyelesaian perkara melalui mekanisme persidangan dalam penegakan hukum adat yang berlaku. Seiring dengan diakuinya KMHA, sebagaimana Pasal 18 B Ayat 2 UUD NRI 1945 Jo. Pasal 2 Ayat (9), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahkan untuk di Bali dalam Pasal 16 dan Ayat (1) Ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003. Khusus untuk masalah penyelesaian kasus-kasus adat Kewenangan MUDP terdapat dalam Pasal 16 Ayat (2) Angka (2) yang menegaskan bahwa “Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa”, maka masih diberikan ruang dalam 24
Cik Hasan Bisri, 1997, Peradilan Agama di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
hal. 96.
25
mengadili sengketa adat atau pelanggaran hukum adat yang bukan termasuk perkara perdata atau pelanggaran hukum nasional melalui Peradilan di luar empat lingkungan peradilan yang terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009, termasuk dalam hal ini adalah peradilan adat. Peradilan adat merupakan peradilan untuk mengadili perkara adat. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa peradilan adat (adatrechtspraak) yaitu suatu peradilan diluar pengadilan negara yang berdasarkan hukum adat atau kebiasaan setempat yang sifatnya sederhana, yang hingga saat ini masih hidup dalam masyarakat adat.25 Hilman Hadikusuma juga berpendapat bahwa Peradilan adat adalah peradilan rakyat di pedesaan yang menyelesaikan perkara adat secara damai.26 Hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Adat sebuah lembaga adat yang merupakan lembaga asli untuk menegakkan hukum adat. Perkara adat murni yang diadili di peradilan adat adalah perkara yang tidak termasuk dalam perkara nasional seperti perdata dan pidana. Perkara adat yang dimaksud adalah meliputi perselisihan, sengketa dan pelanggaran adat. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maka peradilan Pribumi dan peradilan Swapraja secara berangsur-angsur dihapuskan kecuali “Peradilan Desa” tetap dapat menyelesaikan perkara perselisihan adat secara damai. Dalam Pasal 1 ayat 25
Hilman Hadikusuma, (a), 1994, Peradilan Adat Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Edisi khusus “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia”, Dalam HUT ke-30 Fakultas Hukum Univrsitas Udayana dan Lustrum VI tan ggal 1 September, Denpasar, hal. 211. 26
Ibid, hal. 216.
26
(3) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang disebut dalam ayat pertama tidak sedikitpun mengurangi hak kekuasaan yang selama ini diberikan kepada Hakim Perdamaian Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a RO.27
1.7.1.2.3
Konsep Majelis Utama Desa Pakraman
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) merupakan Majelis Desa Pakraman yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Bali sebagai mana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Majelis Desa Pakraman atau singkat dengan MDP adalah merupakan organisasi yang bersifat religius. Majelis Desa Pakraman (MDP) adalah lembaga adat yang terdapat di Bali yang diatur dalam Bab IX Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001. Dalam Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 disebutkan : Majelis Desa Pakraman terdiri dari: 1. Majelis Utama untuk Propinsi berkedudukan di ibu kota Propinsi; 2. Majelis Madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota 3. Majelis Desa untuk kecmatan berkedudukan di ibu kota kecamatan selanjutnya.
Adapun visi dari MDP adalah terwujudnya persatuan Desa Pakraman yang harmoni dan terjaganya adat dan sosial budaya Bali yang dilandasi Agama Hindu. Visi MDP tersebut selaras dengan tugas dan wewenang MDP yang tercantum dalam Pasal 16 Perda Nomor 3 Tahun 2001 :
27
Hilman Hadikusuma, (a), op.cit, hal. 216.
27
Adapun MDP mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut; Tugas MDP adalah 1. Mewujudkan kesukertan tata Agama Hindu 2. Mewujudkan persatuan dan kesatuan Desa Pakraman 3. Menciptakan kesukertan jagad Bali 4. Mengayomi adat istiadat Bali 5. Meningkatkan kualitas karma Desa Pakraman 6. Melestarikan Lingkungan dan tanah Bali MDP mempunyai wewenang 1. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalahmasalah adat dan agama untuk kepentingan Desa Pakraman. 2. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa 3. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/kota di propinsi Bali
Atas tugas dan wewenang tersebut MDP diharapkan selalu dapat melestarikan atau melakukan upaya untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai Adat Budaya masyarakat Bali terutama nilai Etika, Moral, dan Peradaban yang merupakan inti adat istiadat dan tradisi masyarakat Bali agar keberadaannya tetap terjaga dan berlanjut.
1.7.1
Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang penulis bangun berdasarkan teori dan konsep yang
telah ada adalah menjawab permasalahan dengan menggunakan teori dan konsep yang ada kemudian penulis upayakan menyingkronisasikannya dengan data-data yang didapatkan di lapangan. Penelitian Penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP Provinsi Bali, dilatarbelakangi adanya perbedaan antara peraturan dan fakta yang terjadi di lapangan (das sollen dan das sein), sehingga penelitian ini akan mengkaji 28
memperhatikan ketentuan hukumnya yang kemudian dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. Setelah latar belakang tersebut dikaji barulah dapat ditarik permasalahan. Dalam penelitian ini akan dikaji 3 (tiga) permasalahan yaitu : mengenai dasar kewenangan MUDP dalam menyelesaikan wicara melalui peradilan, Proses penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP dan efektivitas penyelesaian wicara melalui peradilan oleh MUDP. Permasalahan pertama dikaji dengan Teori Kewenangan dari J.G. Brouwer dan Teori Semi Autonomous Social field dari Sally Folke Moore, sedangkan permasalahan kedua akan dikaji dengan Ajaran Penanganan Dari Moh. Koesnoe mengenai ajaran menyelesaikan dan memutus, sedangkan permasalahan ketiga akan dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum dari L.M Friedman. Teori-Teori tersebut dalam mengkaji permasalahan yang ada akan dibantu dengan 3 (tiga) konsep, yaitu konsep wicara, konsep peradilan dan konsep Majelis Utama Desa Pakraman. Permasalahan dikaji dan dibahas dalam beberapa BAB yang didalamnya juga dikaji sub bahasan satu persatu yang tidak terlepas dari teori dan konsep yang dipergunakan. Yang pada akhirnya jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian tertuang dalam kesimpulan tesis.
29
Kerangka Berpikir yang dibangun dapat dijelaskan dengan Bagan berikut :
Kerangka Berpikir Penelitian Penyelesaian Perkara Adat Melalui MUDP Provinsi Bali KETENTUAN HUKUM TENTANG PENYELESAIAN WICARA MELALUI MUDP
Teori Kewenangan
Konsep Penyelesaian Wicara
DASAR KEWENANGAN MUDP DALAM MENYELESAIKAN PERKARA ADAT
Teori Semi Automous Social Filed
Ajaran Koesnoe Tentang menyelesaikan dan memutus
Konsep MUDP
PROSES PENYELESAIAN PERKARA ADAT MELALUI MUDP
Teori Sistem Hukum
Konsep Peradilan
EFEKTIVITAS PENYELESAIAN PERKARA ADAT MELALUI MUDP
KESIMPULAN
Keterangan kerangka berpikir: = Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh antara satu variabel dengan variabel yang lainnya. -------= Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh variable dengan variable yang lain secara tidak langsung
30
1.8 Metode Penelitian 1.8.1
Jenis Penelitian Jenis Penelitian hukum ada 2 (dua) yaitu Jenis Penelitian Normatif dan Jenis
Penelitian Empiris. Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris, (penelitian hukum empiris). Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara (das Sollen and das Sein) yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita.28 Penelitian tesis ini sesuai permasalahannya yaitu penyelesaian Wicara melalui Peradilan oleh MUDP di Bali adalah tergolong dalam penelitian empiris karena penelitian ini disamping mengidentifikasikan tata cara penyelesaian Wicara melalui peradilan oleh MUDP tentang Desa Pakraman, juga meneliti tentang efektifitas Keputusan MUDP. Penelitian hukum empiris yaitu penelitian tentang fakta-fakta sosial tentang berlakunya hukum di tengahtengah masyarakat.29 Penelitian hukum empiris ini disebut pula dengan penelitian hukum sosiologis (socio legal research), yang dalam pelaksanaannya memanfaatkan metode ilmu-ilmu sosial.30 yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu. Soetandyo Wignjosoebroto
28
Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana , Denpasar, hal. 3233. 29
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Madar Maju, Bandung, hal. 135. 30
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 1.
31
sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono menyatakan aspek penelitian hukum empiris juga disebut sebagai non-doctrinal research atau socio-legal research.31
1.8.2
Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu yang
bersifat
explorative
menganalisa)
dan
(menjelajah), explanatory
descriptive
analytic
(menjelaskan).32
(melukiskan
Penelitian
tesis
dan ini
menggambarkan serta mengkaji fakta-fakta terkait dengan penyelesaian perkara adat melalui peradilan oleh MUDP di Bali yang menggunakan penelitian lapangan yang didukung atau dilengkapi dengan penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menghasilkan gabungan antara teori dan praktek lapangan. Pelaksanaan penelitian ini yang menggabungkan teori dan praktek lapangan dikatakan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif analitis (descriptive analytic). Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Penelitian Deskriptif merupakan suatu penelitian yang menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan cara pengumpulan data, menyusun, mengklasifikasi, menganalisa dan menginterpretasikan data dalam rangka diperoleh hasil. 31
Bambang Sunggono, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, CV. Rajawali Pers, Jakarta, hal. 4. 32
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 10.
32
1.8.3
Jenis Pendekatan Di
dalam
penelitian
hukum
terdapat
beberapa
pendekatan untuk
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga tercapai tujuan penelitian.33 Dengan demikian tipe pendekatan prilaku yang dapat digunakan adalah : pendekatan perilaku yudisial (judisal behavioral approach), pendekatan prilaku non-yudisial (nonjudisal behavioral approach), dan pendekatan prilaku gabungan (combined behavioral approach). Oleh karena itu penelitian ini akan mengukur efektifitas penyelesaian Wicara melalui MUDP, maka pendekatan masalah yang dapat digunakan adalah pendekatan prilaku (behavioral approach).34
1.8.4
Lokasi Penelitian Dalam rangka memperoleh data pada penulisan ini, penulis melakukan
penelitian dengan metode purposive sampling, yaitu sampel yang diambil hanya yang sudah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penelitian.35 Lokasi penelitian sudah peneliti tentukan dengan kriteria sebagai berikut : Lembaga pembuat keputusan yaitu Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali yang memiliki Keputusan dan sebagai Lembaga Peradilan dalam menyelesaikan perkara adat
33
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 165. 34
Ibid
35
Ibid
33
atau Wicara. Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka penulis berketetapan untuk melakukan penelitian di Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali.
1.8.5
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data dalam penelitian ini sangat terkaitkan dengan subtansi
hukum penelitian. Subtansi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan dan peraturan hukum adat Bali yang terkait dengan pokok pembahasan.36 Jadi jenis data dan sumber data dalam penelitian ini tidak terlepas dari permasalahan yang nantinya akan dibahas. a. Jenis data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jenis Data primer dan Jenis data Sekunder. Data Primer yaitu data yang langsung diperoleh dari masyarakat atau hasil penelitian lapangan (field research), sedangkan dan jenis data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan (library research). Data sekunder berupa bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.37
b. Sumber data Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian yaitu sumber dari pihak yang mengalami langsung berupa wawancara 36
Lawrence M.Friedman, (b), 1969, On Legal Developmant, dalam “Rutgers Law Review” Vol.24, hal. 28. 37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 14-15.
34
dengan pihak terkait seperti Bandesa MUDP Bali, dan Krama Desa Pakraman Kemoning serta Desa Pakraman Budaga. Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari pihak kedua atau data yang ditulis oleh pihak lain berupa kepustakaan baik berupa bahan-bahan hukum maupun non-hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan buku yang sifatnya mengikat (hukum positif) dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan subjek penelitian.38 Bahan hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya memiliki otoritas, terutama berupa peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain : 1. Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Pasal 2 Butir 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No, 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. 4. Pasal 9 dan Pasal 13 Anggaran Dasar Majelis Desa Pakraman Bali Tahun 2004;
38
Amiruddin Dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 118.
35
5. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung I MDP Bali; 6. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor : 01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali. 7. Keputusan Paruman Agung Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
Nomor
:
06/KEP/PRM-A/MUDP/BALI/V/2009
tentang
Pengesahan Personalia Prajuru Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Masa Bakti tahun 2009-2015. 8. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor : 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MDP Bali. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer,39 seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil dari kalangan hukum, hasil Pasamuhan Agung Majelis Desa Pakraman, Keputusan-keputusan MUDP dan seterusnya. Bahan hukum sekunder dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan berupa dokumendokumen resmi, seperti buku, artikel, hasil penelitian. sedangkan untuk bahan hukum tersier yang dipergunakan berupa kamus.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normative, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13.
36
1.8.6
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dimaksudkan sebagai suatu cara untuk
memperoleh data dalam penelitian. Menurut Sutrisno Hadi, baik buruknya hasil penelitian (research) tergantung pada teknik pengumpulan datanya atau untuk memperoleh data yang relevan, akurat dan reliable, pekerjaan penelitian menggunakan teknik-teknik, alat-alat serta kegiatan-kegiatan yang dapat diandalkan.40 Hal tersebut berangkat dari pada pandangan Nawawi, yang menyatakan dalam pengumpulan data diperlukan alat instrument yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap.41 Dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder, ada dua kegiatan utama yang akan dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini, yaitu kegiatan studi lapangan dalam rangka memperoleh data primer dan studi kepustakaan dalam rangka memperoleh data sekunder. Nasution mengatakan kajian kepustakaan bermanfaat untuk melakukan penelusuran dan penelaahan referensi.42 Data primer dikumpulkan dari sumber pertama yaitu responden melalui wawancara, seperti wawancara dengan Bandesa MUDP, prajuru Desa Pakraman, dan Warga Desa Pakraman. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan 40
Sutrisno Hadi, op.cit, hal. 25.
41
Nawawi Hadari dan Martini Hadari, 1992, Instrument Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 69. 42
S. Nasution, 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, hal. 113.
37
serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Pedoman wawancara
sebelumnya
disiapkan
dan
berisi
pertanyaan
yang
dapat
dikembangkan di lapangan. Catatan di lapangan dengan sistem kartu berupa catatan hasil wawancara dan identitas informan dan responden . Sebagai alat dalam pengumpulan data primer dan data sekunder selain peneliti sendiri, juga digunakan alat bantu yang oleh Moleong disebut sebagai catatan lapangan (field notes) catatan lapangan tersebut memuat ringkasan-ringkasan informasi yang berhasil dijaring.43 Pedoman wawancara nantinya diperlukan untuk mencegah yang mungkin akan timbul, seperti yang dikemukakan Usman dan Akbar bahwa dalam wawancara dapat terjadi : error of recognition, jika pewawancara gagal memproduksi ingatannya kembali; error of omission, jika wawancara melewatkan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan; error of addition, jika pewawancara melebih-lebihkan jawaban informan; dan error of traspotion, jika pewawancara tidak mampu mereproduksi urutan jawaban dari informan.44
1.8.7
Teknik Penentuan Informan dan Responden Pengambilan sampel untuk tahap pertama dilakukan dengan teknik
purposive sampling maksudnya adalah menentukan sampel dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Alasan yang pertama adalah responden haruslah dari MUDP dan Bandesa dari desa adat budaga dan desa adat kemoning adalah karena 43
Lexy J. Moleong, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosadakarya, Bandung, hal. 153. 44
Usman, Husaini, Purnomo Setiady dan Akbar, 2003, Metode Penelitian Sosial, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal. 59.
38
informan dan responden dari MUDP dan Bandesa tersebut adalah responden kunci penelitian yang mengetahui adanya penyelesaian Wicara melalui MUDP, kemudian untuk informan selanjutnya akan ditentukan melalui rekomendasi dari responden kunci sebelumnya sampai pada memperoleh data yang diinginkan atau informasi yang diterima sudah tidak dapat dikembangkan lagi.
1.8.8
Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah. Menurut Miles dan Huberman,
dalam analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.45 Namun dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengkoreksi apakah data yang terkumpul cukup lengkap, sudah benar dan sudah relevan/sesuai dengan masalah. b. Penandaan Data (coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data. c. Klarifikasi Data (clarification), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami d. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.
45
Miles B Maatew & Machel Huberman, 1992, Aanalisa Data Kualitatif, PT. Rosdakarya, Bandung, hal. 15.
39
1.8.9 Teknik Analisis data Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh para responden baik secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari secara utuh. Pengertian analisis disini, dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan bagaimana tata cara Penyelesaian Wicara melalui MUDP. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas faktafakta yang bersifat khusus.46
1.8.10 Teknik Penyajian Seluruh hasil penelitian kemudian disajikan secara deskriptif analitis, yaitu dengan memaparkan secara rinci dan lengkap segala persoalan dengan masalah yang diteliti, menguraikan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
46
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 112.
40