BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pekerja merupakan aset utama dalam sebuah perusahaan karena tanpa adanya pekerja, perusahaan tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya dalam menghasilkan barang dan ataupun jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) menyatakan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, Dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dalam membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian, antara pekerja dan pemberi kerja dalam hal ini adalah pengusaha mempunyai hubungan kerja yakni suatu hubungan antara seorang buruh (pekerja) dan majikan (pengusaha), dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak1. Kaitannya dengan hukum ketenagakerjaan, maka bukan orang yang bekerja atas usaha sendiri, tetapi yang bekerja pada orang atau pihak lain. Bekerja pada orang lain atau pihak lain menurut hukum ketenagakerjaan, maka didasarkan pada adanya suatu hubungan kerja. Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Berdasarkan pengertian hubungan kerja tersebut 1
Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003) Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 43.
jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau pencipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha2. Konflik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat dihindari jika Pengusaha atau Pekerja/Buruh tidak melakukan pelanggaran terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menjadi dasar pengusaha dan pekerja dalam menjalankan Hubungan Industrial guna melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak baik pengusaha maupun pekerjanya, maka sudah ditentukan mengenai sanksi sesuai tinggkat pelanggaranya. Sanksi pelanggaran bagi pekerja/buruh yang terberat dalam hubungan kerja adalah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja. Dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat terjadi atas kemauan dari pengusaha, permintaan dari pekerja/buruh, atau demi hukum/karena Putusan Pengadilan Pengusaha, pekerja/buruh termasuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pemerintah dengan segala upaya menghindari agar tidak terjadi PHK3. Jenis kesalahan berat lainnya, selain berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, juga dapat diatur dalam peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB), tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat dalam peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tersebut, harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang4. Kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-
2
Lalu Husni, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 63 Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. TLNRI NOMOR 4279, Pasal 151. 4 Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar grafika, Jakarta, Hlm. 72 3
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, merupakan perbuatan pidana yang telah diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana5. Ketentuan pasal 170 jo Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan memberikan dasar bagi perusahaan untuk melakukan PHK secara sepihak. Hal tersebut dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), oleh karena itu terhadap beberapa ketentuan pasal-pasal undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dilakukan uji materiil oleh mahkamah konstitusi sebagaimana dalam putusan No. 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 atas Hak Uji materiil undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 Khususnya pasal 27 ayat (1), sehingga mengenai pasal 158, pasal 159 dan beberapa anak kalimat yang merujuk pada ketentuan pasal 158 undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat.6 Pada awal di berlakukannya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai perlindungan kepada pihak pekerja telah mengatur bahwa PHK dapat dilakukan oleh pengusaha jika terdapat alasan-alasan tertentu sehingga pengusaha dapat melakukan PHK, baik yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), bahkan yang sudah diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Salah satu alasan pengusaha melakukan PHK pekerja/buruh yakni jika pekerja/buruh melakukan kesalahan berat. Dikatakan sebagai kesalahan berat, pasca Putusan MK No.012/PUUI/2003 pekerja/buruh terbukti dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana oleh Putusan Pengadilan Pidana yang berkekuatan hukum tetap dan PHK baru dapat
5
Farianto dan Darmanto Law Firm, 2009, Himpunan Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara PHI Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, PT Raja Grafindo persada, Jakarta, Hlm. 99. 6 Ibid., Hlm. 99
dilaksanakan secara sepihak oleh pengusaha tanpa izin dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pekerja tidak berhak mendapatkan Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja karena sanksi yang akan dijatuhkan kepada Pekerja/Buruh bukan lagi berupa surat peringatan pertama,
kedua, ketiga
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 161 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sebelum
adanya
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.012/PUU-I/2003
Pekerja/Buruh yang melakukan pelanggaran berat berkualifikasi pidana di tempat kerja sebagaimana ketentuan pasal 158 ayat (1,2,3,4) UU Ketenagakerjaan, ada syarat-syarat tertentu dan harus didukung dengan bukti-bukti: Bahwa Pekerja/Buruh tertangkap tangan, ada pengakuan atau bukti lain dari pihak perusahaan dengan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi, Pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak, tanpa harus melalui penetapan (izin) dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun sejak tanggal 28 Oktober 2004 atas Hak Uji Materiil UU Ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi (MK) Dengan Putusan No.012/PUU-I/2003, isi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah membatalkan pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenal anak kalimat “bukan atas pengaduan pengusaha”, pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “158 ayat (1); pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat pasal 158 ayat (1) “pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “pasal 137 dan pasal 138 ayat (1) “UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengenai pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasal-pasal tersebut dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak dijadikan acuan
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial7 yang intinya menyatakan pasal 158 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi” Segala warga negara bersama kedudukkanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali”8, sehingga Pengusaha tidak dapat lagi melakukan PHK Pekerja/Buruh sebelum adanya Putusan Hakim Pidana yang berkekuatan hukum tetap bahwa, Pekerja/Buruh dinyatakanan bersalah telah melakukan tindak pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah ditindak lanjuti oleh Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan dikeluarkanya Surat Edaran No. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005 yang isi pasalnya adalah bahwa pasal 158 UU Ketenagakerjaan,“tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam menyelesaikan hubungan industrial“, namun dalam butir ke empat dinyatakan bahwa “Dalam hal terdapat alasan mendesak yang tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan penyebab yang paling sering muncul dalam perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubngan industrial diatur dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Undang-undang tersebut lahir atas perintah pasal 136 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mencabut ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
7
Ngurah Anditya Ari Firnanda dan Ari Hernawan, “Jurnal”, Pelaksanaan Mediasi Atas Pencatatan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Mediator Dengan Alasan Kesalahan Berat Atas Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PPU-1/2003 di Dinas Tenaga Kerja Dan Sosial Kabupaten Sleman. 8 Indonesia, Undang-Undang Dasar RI tahun 1945, Pasal 27 angka 1
penyelesaian perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja diperusahaan swasta9. Penyelesaian hubungan industrial berdasarkan pengaturan UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdapat dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan indusrial (litigasi) dan diluar pengadilan Hubungan Industrial (non-litigasi) yang meliputi penyelesaain secara Bipatrit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase. Pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) wajib diupayakan penyelesaiaanya terlebih dahulu secara kekeluargaan diluar pengadilan hubngan industrial (non-litigasi) melalui perundingan bipatrit dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaiaan secara bipatrit jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak dan menekan biaya serta menghemat waktu. Terjadinya perselisihan hubungan industrial sulit untuk dihindari, karena dalam melakukan hubungan kerja sering terjadi benturan kepentingan di antara para pihak dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan karena dapat menyebabkan lingkungan kerja menjadi tidak kondusif sehingga dapat menghambat produktivitas kerja. Perselisihan hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Yogyakarta, selama berdirinya berdasarkan ketentuan undang-undang Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta, mulai dari tahun 2006 sampai sekarang terdapat 30 kasus perselisihan hubungan industrial, diantaranya ada dua kasus mengenai perselisihan hak, ada tiga kasus perselisihan mengenai kepentingan, dan dua puluh lima kasus mengenai perselisihan pemutusaan hubungan kerja (PHK).
9
Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I., 2007, Naskah Akademik Penyelesaiaan perselisihan Hubungan Industrial, http:/www/litbangundil.net/publikasi-litbang/201 –naskah-naskah akademispenyelesaiaan-perselisihan-hubungan-industrial.,html., diakses tanggal 20 oktober 2015
Berdasarkan data tiga tahun terakhir mengenai perselisihan hubungan industrial yang dicatat pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta tersebut, dapat diketahui bahwa perselisihan yang paling banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perselisihan mengenai PHK paling banyak terjadi, karena tindakan PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. Salah satu contoh perselisihan PHK yang terjadi adalah pada Hotel Samirsisen yang telah melakukan PHK terhadap pekerjanya karena pekerja telah melakukan kesalahan berupa : 1. Pekerja dengan sengaja tidak melakukan tugasnya yang seharusnya dia kerjakan. 2. Pekerja melakukan kerja dengan tidak mengikuti standar pelayanan yang ditentukan oleh peraturan perusahaan Hotel Samirsisen. Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara bipatrit dan kedua belah pihak tidak bermaksud untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan melalui konsoliasi atau arbitrase, maka penyelesaian perselisihan yang dilakukan secara wajib adalah melalui forum mediasi dengan jalan salah satu atau kedua belah pihak untuk berselisih dapat memberitahukan secara lisan atau tertulis perselisihan tersebut kepada mediator yang berada disetiap instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang disertai dengan bukti atau risalah perundingan bipatrit. Pasal 1 angka 11 UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebutkan pengertian mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui muasyawarah yang ditengahi oleh seseorang atau lebih mediator yang netral.
Mediasi berbeda dengan konsoliasi dan arbitrase karena dalam mediasi dapat menyelesaikan semua perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Mediasi merupakan intervensi terhadap suatu perselisihan oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. Proses penyelesaiaan perselisihan melalui mediasi ditekankan pada musyawarah atau kesepakatan para pihak, sehingga tidak terdapat unsur paksaan antar para pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu, mediator berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya diputuskan oleh para pihak yang berselisih. Mediator hanya berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat suatu topik yang menitikberatkan aspek Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan Judul: “IMPLEMENTASI PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PEKERJA MELALUI MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KOTA YOGYAKARTA”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana peran mediator dalam menyelesaikan masalah PHK karena kesalahan berat pekerja di Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Yogyakarta? 2. Upaya apa saja yang dilakukan oleh mediator agar para pihak menyepakati putusan anjuran bersama di Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Yogyakarta?
3. Hambatan apa saja yang dialami para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama atas putusan anjuran di Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia mempunyai tujuan yang ingin dicapai, demikian pula dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a) Untuk
mengetahui
dan
menganailisis
peran
dari
mediator
dalam
menyelesaikan masalah PHK karena kesalahan pekerja di Dinas Tenaga Kerja Kota Yogyakarta. b) Untuk mengetahui dan menganailisis upaya apa saja yang dilakukan mediator agar para pihak menyepakati putusan anjuran bersama di Dinas Tenaga Kerja Kota Yogyakarta. c) Untuk mengetahui dan menganailisis hambatan apa saja yang dialami para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama pada putusan anjuran di Dinas Tenaga Kerja Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dalam penelitian hukum khususnya dalam bidang ketenagakerjaan. b) Untuk memperoleh data-data yang akan penulis gunakan dalam penyusunan penelitian hukum ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar pascasarjana dalam bidang Magister Hukum Bisnis pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
c) Sebagai referensi bagi pembaca Tentang Penyelesaian Perselisishan Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat Pekerja Melalui Mediasi di Dinas Sosial Tenaga kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Nilai dalam penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang diperoleh dari penelitian tersebut, adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a) Untuk menambah khasanah materi Hukum Bisnis pada umumnya dan Hukum Ketenagakerjaan pada khususnya. b) Untuk melengkapi materi yang didapat dari perkuliahan dengan kenyataan yang didapat pada praktek yang sesungguhnya. 2. Manfaat Praktis a) Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis serta pengembangan ilmu pengetahuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta tambahan ilmu pengetahuan mengenai cara-cara mediator di Dinas Sosial Tenaga kerja dan
Transmigrasi
Kota
Yogjakarta
dalam
menyelesaikan
masalah
Penyelesaian Perselisishan Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat Pekerja Melalui Mediasi. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penulusuran yang penulis lakukan di berbagai pustaka penulis menemukan penelitian yang lain yang membahas terkait dengan penelitian penulis yaitu: “Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat Pada PT.
SUMBER PANGAN GISINDO Sleman Yogyakarta”. Peneliti ditulis oleh Isdiana dan diuji pada tanggal 26 September 2011 di UNIVERSITAS GADJAH MADA 2011 dengan rumusan masalah : 1. Bagaimana pemutusan hubungan kerja pada PT. SUMBER PANGAN GISINDO ? 2. Bentuk kesalahan apakah yang menjadi dasar pemutusan hubungan kerja pada PT. SUMBER PANGAN GISINDO ? 3. Hak-hak pekerja apakah yang diterima pekerja akibat dari pemutusan hubungan kerja pada PT. SUMBER PANGAN GISINDO ?10 Kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah a. Penyelesaian pemutusan hubungan kerja pada PT. sumber pangan Gisindo diselesaikan melalui perundingan bipatrit yaitu perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial b. Adapun bentuk kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja PT. sumber Pangan Gisindo yaitu pekerja melakukan pencurian barang berhadiah milik perusahaan yang mengakibatkan pekerja diputuskan hubungan kerja oleh perusahaan c. Hak-hak pekerja yang diterima pekerja akibat dari pemutusan hubungan kerja adalah uang pesangon dan gaji terakhir selama pekerja bekerja di PT. Sumber Pangan Gisindo “PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL
10
TENAGA
KERJA
DAN
TRANSMIGRASI
KABUPATEN
Isdiana, 2011, “Penyelesaiaan Pemutusan Hubungan Kerja Kerja Karena Kesalahan Berat Pada PT. Sumber Pangan Gisindo Sleman Yogyakarta”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PURBALINGGA” yang teliti oleh Sawitri Dian Kusuma dan disahkan pada Juli Tahun 2012 dengan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga? Kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah 1. Dalam penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat melalui mediasi tidak diperlukan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa pekerja tersebut bersalah atau melakukan pelanggaran berupa kesalahan berat yang masuk dalam kategori perbuatan pidana. Jadi ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan ketentuan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE.1 3/MEN/SJHK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, dapat dikesampingkan.11 “KESALAHAN BERAT SEBAGAI ALASAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) YANG DIATUR DALAM PERJANJIAN BERSAMA (PKB)” yang diteliti oleh Sri Marwati dan disahkan Pada Bulan September 2014 dengan Permasalahan Sebagai berikut : 1. Apa yang menjadi jenis kesalahan berat sebagai alasan PHK? 2. Apakah kesalahan berat yang diatur didalam PKB dapat diterima oleh pengadilan sebagai alasan PHK? Kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut : 1. Jenis kesalahan berat yang menjadi alasan PHK yang disepakati dalam PKB, tidak selalu masuk dalam kategori perbuatan pidana sehingga jenis kesalahan berat menjadi bervariasi 11
Sawitri Dian Kusuma, 2012, Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kesalahan Berat Pada Tingkat Mediasi Di Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga,”Skripsi”, Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman
2. Terhadap PHK atas dasar kesalahan berat yang ada indikasi perbuatan pidana, hanya dapat dijadikan sebagai alasan PHK apabila terhadapnya telah ada putusan pengadilan yang memutuskan bahwa memang benar ada kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja yang bersangkutan. Sedangkan untuk kesalahan berat yang tidak ada indikasi perbuatan pidana, tidak diperlukan putusan pengadilan lebih dahulu.12 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah untuk mengetahui bagaimana peran dari mediasi yang diterapkan oleh mediator dalam menyelesaikan masalah PHK karena kesalahan berat pekerja, upaya apa saja yang dilakukan oleh mediator agar para pihak menyepakati putusan anjuran bersama, serta hambatan dan optimalisasi apa saja yang dialami para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama pada putusan anjuran di Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Yogyakarta.
12
Sri Marwati, 2014, Kesslahan Berat sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang di atur Dalam Perjanjian Bersama (PKB), “Tesis”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.