BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akitivitas kehidupan sehari-hari manusia melalui pembangunan ekonomi dan industri selalu disertai dengan penggunaan energi. Peningkatan penggunaan energi akan memicu berkembangnya masalah lingkungan seperti timbulnya emisi gas buang yang selalu terkait dengan fenomena pemanasan global.
Gambar 1.1 Emisi CO2 dari beberapa negara (Olivier, et al., 2013)
Pada tahun 2012 pemanfaatan bahan bakar fosil mengakibatkan pelepasan CO2 ke atmosfer sebesar 34,5 1012 kg , data tersebut naik 1,4 % dari tahun 2011 (Olivier et al., 2013). Ditinjau dari kontribusi emisi CO2 per negara, Cina
memberikan kontribusi terbesar yaitu 29% disusul Amerika Serikat 16% dan Eropa 11% (Gambar 1.1). Emisi CO2 di negara maju cenderung menurun, namun di beberapa negara berkembang dan industri baru (seperti Cina, India, Korea Selatan dan Indonesia) semakin meningkat. Emisi CO2 di negara Cina setiap tahun rata-rata naik 3,3%, India naik
6,8% sedang Korea Selatan dan Indonesia naik 1,8% dan 1,4%
(Olivier et al., 2013).
Gambar 1.2 Pertambahan konsentrasi CO2 ( McGee, 2014) Tumbuhan saat ini tidak dapat menyerap kelebihan CO2, sehingga konsentrasi CO2 di atmosfer terus bertambah (Gambar 1.2). Tidak terserapnya CO2 oleh tumbuhan berakibat terhadap peningkatan temperatur dan perubahan iklim di bumi. Bila kebijakan diarahkan untuk mengurangi emisi gas buang, maka aktivitas pembangunan ekonomi dan industri akan berkurang. Keterkaitan timbal2
balik ini dikenal dengan persoalan trilema 3E, yaitu energy, economy and environment.
Gambar 1.3 Perbandingan sumber energi dan kebutuhan energi dunia (Perez dan Perez, 2009) Pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan sebagai pengganti bahan bakar fosil merupakan salah satu pilihan yang paling tepat. Bahan bakar fosil selain penyumbang emisi gas CO2, juga persediaannya semakin menipis, karena membutuhkan proses yang sangat lama untuk terbentuknya bahan bakar tersebut. Energi alternatif yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya adalah pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga matahari. Tenaga matahari tersedia sangat melimpah, setiap tahun bumi menerima energi surya sebanyak 23.000 TWy, (Gambar 1.3) padahal konsumsi energi dunia tahun 2009 hanyalah 16 TWy (Perez dan Perez, 2009). Kebutuhan energi tahun 2050 diperkirakan hanya 28 TWy. Artinya, jika tenaga matahari dimanfaatkan maksimal maka kebutuhan energi dunia dapat dicukupi dengan paparan sinar matahari hanya
3
beberapa jam saja. Energi surya menjadi salah satu energi alternatif dengan potensi paling besar. Indonesia terletak pada 6o LU-11o LS dan 95o BT-141o BT serta peredaran matahari dalam setahun yang berada pada daerah 23,5o LU-23,5o LS, maka wilayah Indonesia akan selalu disinari selama 10-12 jam dalam sehari. Menurut pengukuran dari Pusat Meteorologi dan Geofisika diperkirakan intensitas radiasi matahari rata-rata di seluruh wilayah Indonesia sekitar 4,8 kWh/m2 (Rahardjo dan Fitriana, 2005). Sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2007 pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib mengembangkan energi baru dan terbarukan antara lain energi surya. Serta memberikan kemudahan atau insentif bagi badan usaha atau perorangan yang memanfaatkan energi baru terbarukan.
Berdasarkan
undang-undang
tersebut
perlu
adanya
riset
pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan yang salah satunya adalah energi surya. Energi surya perlu dikembangkan karena intensitas sinar matahari di Indonesia berpotensi untuk membangkitkan energi listrik dan dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Penelitian tetang sel surya menjadi penting dalam meningkatkan pemanfaatan energi surya. Salah satu riset dalam sel surya adalah mencari teknologi murah dalam fabrikasinya seperti penelitian ini. Teknologi fotovoltaik dapat mengkonversi energi surya menjadi energi listrik, menggunakan sel surya yang dibuat dari bahan semikonduktor. Sel surya berbasis silicon p-n junction pertama dilaporkan Chapin et al. (1954). Setelah itu teknologi sel surya berkembang dengan pesat. Gambar 1.4 menampilkan perkembangan efisiensi sel surya hasil riset. Laporan Burger (2013) menunjukkan adanya kenaikan efisiensi konversi daya yang signifikan pada jenis sel surya multi-junction dan sel surya organik. Selama satu dekade terakhir sel surya multijuction dan organik naik sekitar 10 %, sedang sel surya jenis lainnya kurang dari 5 %. Sel surya multi-junction mempunyai efisiensi cukup tinggi namun untuk memproduksinya membutuhkan teknologi dan biaya yang sangat tinggi. Meningkatnya penggunaan sel surya dalam menghasilkan energi listrik mendorong
peneliti mengembangkan teknologi
pembuatan
sel
surya,
4
pengembangan difokuskan pada 2 aspek, yaitu meningkatkan efisiensi dan fabrikasi murah. Pemanfaatan material organik dan polimer menjadi salah satu pilihan dalam menurunkan biaya produksi sel surya. Biaya produksi sel surya organik jauh lebih murah yaitu kurang dari 200 US$ per meter persegi sedang untuk memproduksi silikon kristal fotovoltaik memerlukan biaya 400-500 US$ per meter persegi (Tanaka, 2010).
Gambar 1.4 Perkembangan efisiensi sel surya hasil riset (Burger, 2013)
Bahan organik mempunyai banyak kelebihan antara lain ringan, transparan, dapat dibuat pada substrat elastis, teknologi fabrikasi sederhana dan mudah. Sel surya organik selain lebih ringan dibanding sel surya anorganik juga hanya membutuhkan material yang sedikit. Menurut Acciarri (2013) untuk membuat 20 m2 sel surya anorganik diperlukan bahan 25 kg silikon sedang untuk sel surya organik hanya memerlukan 14 g bahan organik. Sifat elastis pada substrat memungkinkan pembuatannya dalam ukuran besar dengan teknik printing (Hiltunen, 2013). Bahan organik dapat dibuat larutan, sehingga dalam pembuatan sel surya dapat menggunakan teknik spin coating, ink-inject printing dan screenprinting yang pengoperasianya tidak memerlukan biaya tinggi. Bersifat ringan dan elastis sel surya organik dapat diaplikasikan dalam berbagai peralatan yang 5
portable sehingga mudah dibawa. Sel surya organik juga dapat didesain transparan sehingga dapat dipasang sebagai asesoris pada jendela bangunan. Salah satu bahan polymer yang menarik untuk sel surya organik adalah poly[2-methoxy-5-(2-ethyl hexyloxy)-1.4-phenylene venylene] (MEH-PPV) yang mempunyai serapan sinar pada panjang gelombang 450-550 nm (Omer, 2012). Bahan MEH-PPV dengan serapan panjang gelombang tersebut berpeluang sebagai bahan sel surya, karena sinar matahari mempunyai energi tertinggi pada spektrum dengan panjang gelombang 500 nm (Kim, 2009). Polimer MEH-PPV diketahui mempunyai mobilitas hole beberapa orde lebih tinggi dari mobilitas elektron yaitu 8 × 10
cm2/V.s untuk mobilitas hole dan 8 × 10
cm2/V.s
mobilitas elektron (Lee, 2009). Bahan polimer MEH-PPV disebut bahan donor elektron (Aernouts, 2006) dan juga di sebut semikonduktor tipe-p. Energi orbital pada − 5,3 eV untuk HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) dan
LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) pada − 3,2 eV (Oku et al., 2008). Sahasithiwat et al. (2004) telah melaporkan fabrikasi sel surya berbasis
polimer MEH-PPV. Sel surya struktur ITO/MEH-PPV/Al dengan pelarut toluene dan chlorobenzene dilaporkan terukur efisiensi 0,0045% dan 0,0008%. Beberapa hal yang membatasi rendahnya efisiensi sel surya berbahan polimer adalah, kestabilan bahan yang rendah, sempitnya daerah serapan sinar matahari, dan rendahnya mobilitas pembawa muatan
terutama elektron (Ma et al., 2005).
Penambahan semikonduktor nanopartikel TiO2 sebagai aseptor elektron dalam sel surya hibrid berbasis polimer MEH-PPV dilaporkan oleh Kim et al. (2007). Bahan TiO2 dipilih karena mempunyai kestabilan, mudah dikontrol bentuk dan ukurannya TiO2. Campuran MEH-PPV dan PCBM dengan proses planar difusi sebagai device photovoltaic dilaporkan oleh Xue et al. (2009). Artikel tersebut menuliskan
pengaruh
pelarut
polimer
yaitu
menggunakan
chloroform,
chlorbenzene daan campuran serta variasi ketebalan bahan aktif sel surya. Campuran bahan donor dan akseptor organik dalam perangkat fotovoltaik yang pertama adalah campuran dari poly(phenylene vinylene) dengan MEH-PPV sebagai donor dan Cyano-Polyphenylene vinylene (CN-PPV) sebagai akseptor (Halls et al., 1996),
setelah itu, beberapa campuran polimer lain dilakukan, 6
polimer kombinasi juga diteliti, namun menunjukkan hasil yang tetap rendah (Breeze et al., 2004). Konsep sel surya bulk heterojuction adalah pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi difusi eksiton yang terbatas dalam bahan organik. Banyak kombinasi material yang berbeda dan teknik deposisi telah dieksplorasi, dengan laporan efisiensi konversi lebih baik (6,5% oleh Umeda, 2006) dibanding sel surya lapisan tipis. Kemajuan substansial masih bisa dicapai untuk jenis fotovoltaik ini. Pemahaman yang lebih mendasar mengenai prinsip kerja sel surya organik bulk heterojuction masih diperlukan untuk peningkatan efisiensi. Optimasi sel surya organik dengan struktur heterojuction telah dilakukan tetapi peningkatan efisiensi belum signifikan, beberapa kesulitan muncul akibat belum dipahaminya beberapa mekanisme fisis dan belum diketahuinya parameter internal sel surya organik (Cang et al., 2012). Selain itu penelitian mengenai efek peningkatan intensitas juga menunjukan peningkatan arus foto tapi efisiensi cenderung menurun (Koster et al., 2005, Peters et al., 2011) Hal ini diduga akibat besarnya hambatan serial dari sel surya organik. Kajian yang mendalam mengenai parameter internal sel surya menjadi sangat penting untuk memahami permasalahan di atas. Parameter-parameter internal sel surya meliputi rapat arus foto (Jph), arus saturasi (Js), hambatan paralel (Rp), hambatan seri (Rs), dan faktor idealisasi dioda (n). Jph dihasilkan dari disosiasi eksiton menjadi elektron dan hole setelah sel surya menyerap foton. Jph sama dengan jumlah eksiton yang terpisahkan per detik. Js merupakan arus jenuh dioda yang berkaitan langsung dengan rekombinasi dari eksiton dan sangat tergantuk dari karakteristik bahan.
Rp mempresentasikan hambatan yang
berkaitan dengan rekombinasi pembawa muatan dekat tempat pemisahan eksiton (interface donor-aseptor). Rs berkaitan dengan mobilitas pembawa muatan dalam sel surya organik. Mobilitas sangat dipengaruhi oleh adanya cacat (defects) dan potensial penghalang seperti halnya ruang muatan (space charge) dalam sel surya organik (Moulé dan Meerholz, 2009; Kim et al., 2011; Ray et al., 2012). n menjelaskan ketidaksimetrisan konduktivitas dalam sel surya. Penelitian ini mengkaji karakteristik
efek fotovoltaik sel surya organik
berbahan polimer MEH-PPV atau sel surya single junction. Efek fotovoltaik juga 7
diamati pada sel surya MEH-PPV dengan penambahan semikonduktor TiO2 untuk mendapatkan sel surya heterojunction. Bahan TiO2 dipilih karena mudah dikontrol bentuk dan ukurannya (Kim et al., 2007). TiO2 merupakan semikonduktor tipe-n sehingga bersifat aseptor dan punya energi pita valensi − 7,4 eV
dan pita
konduksi − 3,7 eV (Tiwana et al., 2011). Penambahan TiO2 dilakukan dengan variasi konsentrasi. Penambahan tersebut diharapkan menghasilkan sel surya yang menghasil efek fotovoltaik lebih baik dibanding sel surya MEH-PPV saja. Karakteristik efek fotovoltaik sel surya MEH-PPV dengan penambahan polimer [6.6]-phenyl C61 butyric acid methyl ester (PCBM) juga diamati untuk memperoleh sel surya organik yang lebih baik. Bahan polimer PCBM dipilih karena mempunyai pelarut yang sama dengan MEH-PPV dan bersifat aseptor (Aernouts, 2006) dan juga termasuk semikonduktor tipe-n. PCBM mempunyai energi orbital HOMO − 6,1 eV dan LUMO − 3,7 eV (Zahlou et al., 2014; Anonim, 2014). Penambahan polimer PCBM pada MEH-PPV dilakukan dengan variasi konsentrasi. Di dalam penelitian ini juga mengkaji pengaruh penambahan konsentrasi PCBM terhadap parameter-parameter internal sel surya. Parameterparameter
internal tidak bisa secara langsung diamati dalam eksperimen,
sehingga diperlukan analisis teoritis dan pemodelan. Modeling dilakukan dengan cara fitting hasil eksperimen dan hasil simulasi. Dalam menyelesaikan simulasi digunakan dua metode, yaitu pertama menggunakan pendekatan linier di dekat tegangan dadal (Triyana et al., 2008), yang kedua menggunakan pendekatan particle swarm optimization (PSO). Penggunaan PSO baru pertama kali digunakan dalam menyelesaikan simulasi rangkaian ekuivalen. PSO dipilih karena mudah diimplementasikan dan memiliki sedikit fungsi operasi serta parameter yang harus ditentukan serta mempunyai kelebihan dalam fitting yaitu dapat menjangkau seluruh kuadran.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka perlu di lakukan studi secara sistematis terkait dengan pengetahuan baru sel surya organik, sehingga permasalahan dalam penelitian ini yang dikaji adalah: 8
1. Bagaimana karakteristik efek fotovoltaik sel surya MEH-PPV dan sel surya MEH-PPV:TiO2 dengan variasi konsentrasi TiO2. 2. Bagaimana karakteristik efek fotovoltaik sel surya MEH-PPV dengan penambahan PCBM dan pengaruh variasi komposisi MEH-PPV:PCBM serta intensitas penyinaran terhadap parameter-paramater internal sel surya (Rs, Rp, Jph, Js, dan n).
1.3. Keaslian Konsep sel surya bulk heterojuction adalah pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi difusi eksiton yang terbatas dalam bahan organik. Banyak kombinasi material yang berbeda dan teknik deposisi telah dieksplorasi, dengan laporan efisiensi konversi lebih baik, dibanding sel surya lapisan tipis. Kemajuan substansial masih bisa dicapai untuk jenis fotovoltaik ini. Pemahaman yang lebih mendasar mengenai prinsip kerja sel surya organik bulk heterojuction masih diperlukan untuk peningkatan efisiensi. Kajian tentang parameter-parameter internal sel surya menjadi salah satu cara untuk memahami prinsip kerja sel surya. Sampai saat ini kajian tentang parameter-parameter internal yang dilakukan dengan berbagai model sudah banyak dilakukan, namun belum ada yang mengkaji tentang pengaruh variasi konsentrasi campuran bahan donor-aseptor terhadap besaran parameter-parameter internal. Disertasi ini menyajikan informasi pengaruh variasi konsentrasi campuran MEH-PPV dan PCBM terhadap parameter-parameter internal sel surya MEH-PPV:PCBM. Parameter-parameter internal tidak bisa secara langsung diamati dalam eksperimen, sehingga diperlukan analisis teoritis dan pemodelan. Pemodelan dilakukan dengan cara fitting hasil eksperimen dan hasil simulasi. Penyelesaian simulasi salah satunya menggunakan pendekatan particle swarm optimization (PSO). Penggunaan PSO merupakan hal yang baru dalam menyelesaikan simulasi rangkaian ekuivalen.
9
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut : 1. Mendapatkan karakteristik efek fotovoltaik sel surya MEH-PPV dan sel surya MEH-PPV:TiO2 dengan variasi konsentrasi TiO2 2.
Mendapatkan karakteristik efek fotovoltaik sel surya MEH-PPV dengan penambahan konsentrasi PCBM dan nilai parameter-parameter internal sel surya MEH-PPV:PCBM baik variasi komposisi maupun variasi intensitas penyinaran.
1.5. Manfaat Penelitian Melalui kajian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh variasi konsentrasi terhadap parameter-parameter internal sel surya polimer. Pemahaman tetang informasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk optimasi fabrikasi dalam peningkatan efesiensi sel surya polimer berbasis MEH-PPV.
10