1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasang antara laki-laki dan perempuan, yang dilindungi secara hukum dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan syari’at Islamiyah yang benar, dengan tujuan yntuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
&' * إن+,دة و ر12 34567 89: <; و6=ا ا154?@= ;: أزو34?CD أE2 34= FGH أنI@J اE2 و ونK4C@J م1M= NJO P=ذ Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istriistri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantara kamu kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kamu yang berfikir”. (Q. S Ar-Rum : 21) 1 Akan tetapi dalam kenyataan tujuan tersebut tidak sepenuhnya dapat terlaksana sebagaimana yang diinginkan, adakalanya muncul sebab-sebab tertentu kasih sayangnya hilang, yang mengakibatkan perkawinan harus putus ditengah jalan. Ikatan perkawinan terpaksa harus diputuskan akibat adanya perbedaan pendapat atau perselisihan antara suami istri tersebut. Jika perselisihan diantara keduanya tidak bisa diselesaikan dengan jalan damai atau kekeluargaan, maka solusi terakhir yang ditempuh keduanya adalah dengan jalan perceraian. 1
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Gema Risalah Pers), 644.
1
2
Setelah ikatan perkawinan putus, ternyata perpisahan tidak berakhir begitu saja, ternyata muncul permasalahan baru yang timbul akibat perceraian tersebut, salah satunya adalah masalah harta bersama (harta gono-gini). Setiap perkawinan mengkondisikan adanya harta bersama antara suami dan istri. Sebagaimana tertuang dalam pasal 35 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal tersebut dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama suami istri diikat dalam perkawinan.2 Namun tidak berarti dalam perkawinan yang dilalui hanya terdapat harta bersama. Sebab berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 85 dinyatakan bahwa “Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”.3 Sehingga harta benda dalam perkawinan ada tiga macam yaitu harta bawaan, harta bersama, dan harta perolehan. Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu hukum terapan dalam lingkungan Pengadilan Agama harta bersama disebut dengan istilah harta kekayaan dalam perkawinan. Sebagaimana disebutkan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.4 2
Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 86. 3 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 77. 4 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Akademika Presindo, 2004), 113.
3
Dengan demikian, perlu ditegaskan lagi bahwa harta bersama (harta gonogini) merupakan harta yang diperoleh secara bersama oleh pasangan suami istri. Harta bersama tidak membedakan asal usul yang menghasilkan. Artinya harta yang dihasilkan atau diatasnamakan oleh siapapun diantara mereka, asalkan harta itu diperoleh selama masa perkawinan (kecuali hibah dan warisan), maka tetap dianggap sebagai harta bersama. Selama perkawinan berlangsung, harta bersama dikelola secara bersamasama oleh suami isteri. Bila salah satu pihak ingin melakukan perbuatan hukum terhadap harta tersebut maka dia harus mendapat persetujua dari pihak lainnya. Arinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta bersama dia harus mendaptkan izin dari isterinya, demikian juga sebaliknya isteri harus mendapatkan izin dari suaminya jika akan menggunakan harta bersama. Konsep ini sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Perkawinan pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa “Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.5 Pembagian harta bersama termasuk masalah yang rumit dipecahkan dalam sebuah perkawinan yang berujung pada perceraian. Masalah ini bersifat sangat sensitif karena berkenaan dengan soal harta benda oleh suami dan isteri. Jika pasangan suami isteri terputus hubungannya karena perceraian diantara mereka, pembagian harta bersama diatur berdasarkan hukumnya masing5
Wahyu Widiana, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), 109.
4
masing. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 37, “Jika operkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”.6 Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah mencalup hukum agama, hukum adat, dan sebagianya. Bagi umat islam ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI. Berdasarkan KHI pasal 97 dinyatakan bahwa, “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.7 Artinya, dalam kasus perceraian, jika ada perjanjian perkawinan, penyelesaian dalam pembagian harta bersama ditempuh berdasarkan ketentuan didalamnya. Jika tidak ada perjanjian perkawinan, penyelesaiannya berdasarkan pada ketentuan dalam pasal 97 yaitu masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta bersama. Jika dicermati pada dasarnya didalam KHI mengatur bahwa jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua, masing-masing mendapatkan bagian 50:50. Pembagian harta bersama ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai, tidak harus menunggu terlebih dahulu putusan cerai dari pengadilan. Ketentuan mesti “dibagi dua” ini dalam tataran aplikasi di Pengadilan Agama sampai saat ini juga dilaksanakan oleh para hakim dalam menyelsaikan sengketa harta bersama. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam
6
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian (Jakarta: Visimedia, 2008), 39. 7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia., 137.
5
suatu perkawinan itu baik pihak istri maupun suami mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga.8 Akan tetapi dalam kenyataan yang ada di Pengadilan Agama Magetan terjadi penyelesaian sengketa harta bersama antara suami istri dikarenakan perceraian pada putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt dengan cara pembagian harta sepertiga (1/3) untuk suami dan dua per tiga (2/3) untuk istri. Dan putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt merupakan satu-satunya putusan yang ada di Pengadilan Agama Magetan yang memutuskan perkara pembagian harta bersama 1/3 untuk pihak tergugat dan 2/3 untuk pihak penggugat. Dengan pertimbangan hakim bahwa suami yang seharusnya bertanggung jawab mencukupi kebutuhan rumah tangga lainnya justru tidak mempunyai andil, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan keluarga dicukupi oleh istri dengan bekerja diluar negeri.9 Namun dalam kenyataan yang ada suami juga mempunyai pekerjaan yang tetap walaupun hanya sebagai buruh tani dan dia mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Dari latar belakang diatas, penulis merasa perlu mengkaji kembali putusan hakim yang membagi harta bersama dengan pembagian 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk istri. Apakah putusan hakim tersebut sudah menciptakan rasa keadilan untuk semua pihak yang terkait ? Keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.
8
Mahkamah Agung RI, Suara Uldilag (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2005), 105. Putusan Nomor: 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt Tentang Pembagian Harta Bersama. Berkas Pengadilan Agama Magetan. 9
6
Berangkat dari pemikiran tersebut penulis akan mengkaji masalah dalam sebuah penelitian yang tertuang dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM
PERKAWINAN
DI
INDONESIA
TERHADAP
PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA MAGETAN NOMOR : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA”. B. Penegasan Istilah Untuk mempermudah dalam memahami dan mengetahui konsep yang dimaksud oleh penulis, maka penulis memberikan penegasan istilah dalam penulisan skripsi ini : -
Hukum Perkawinan di Indonesia yang dimaksud disini adalah hukum yang berlaku di Pengadilan Agama bagi orang-orang yang beragama Islam, yang meliputi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
-
Putusan Pengadilan Agama Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt adalah sebuah putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Magetan untuk memutuskan perkara perceraian dan pembagian harta bersama.
-
Pengadilan Agama Magetan
adalah nama satuan unit penyelenggara
Kekuasaan Kehakiman dalam menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara perdata khusus orang Islam yang wilayah yuridisnya adalah berada di wilayah kabupaten Magetan. -
Harta bersama
adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah
tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan isteri.
7
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap dasar hukum hakim Pengadilan Agama Magetan dalam membagi harta bersama dalam putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt ? 2. Bagaimana tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt tentang pembagian harta bersama ? D. Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Magetan dalam
membagi
harta
bersama
dalam
perkara
Nomor
:
254/Pdt.G/2007/PA.Mgt. 2. Untuk mengetahui tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt. E. Kegunaan Penelitian Dengan tercapainya tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat berguna : 1. Kepentingan Ilmiah, diharapkan berguna sebagai sumbangsih pemikiran penulis dalam rangka menambah khazanah ilmu tentang pembagian harta bersama.
8
2. Kepentingan terapan, diharapkan menjadi sumbangan yang berarti bagi masyarakat umum dan semoga dapat digunakan sebagai kajian lebih lanjut oleh para peminat mengenai masalah harta bersama. F. Telaah Pustaka Karya tulis yang membahas tentang pembagian harta bersama secara umum banyak ditemukan, akan tetapi menurut pengetahuan penulis belum ada karya tulis yang membahas tentang pembagian harta bersama dengan pembagian 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk istri. Diantara penelitian yang mengkaji tentang pembagian harta bersama adalah penelitian dari Yulfia Lutfiani yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Keputusan Pengadilan Agama Ponorogo Tentang Status Harta Usaha Isteri”. Dalam skripsi tersebut Yulfia Lutfiani membahas tentang hasil usaha isteri dalam hukum Islam, dan tinjauan hukum Islam terhadap harta hasil usaha isteri. Disini dijelaskan tentang harta yang dihasilkan oleh seorang isteri (masa perkawinan) menjadi harta bersama, kecuali bila isteri dianggap nusyus maka segala yang dihasilkan dari pekerjaannya bukan berstatus harta bersama namun menjadi harta pribadi isteri. Dan apabila harta hasil usaha isteri dalam keluarga dianggap harta bersama maka harta tersebut harus dibagi separo-separo. Penelitian yang lain dilakukan oleh Imam Rohadi dengan judul “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Akibat Perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo Dalam Perspektif Hukum Islam”. Dimana dalam penelitian ini dibahas
9
tentang upaya yang ditempuh Pengadilan Agama Ponorogo guna menyelesaikan sengketa harta bersama akibat perceraian dan pembagiannya. Yang mana dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa jika terjadi perceraian antara suami dan isteri maka bagian masing-masing adalah separo-separo. Dasar hukum yang digunakan dalam pembagian harta bersama adalah dari nas al-Qur’an surat AnNisa’ ayat 32 dan KHI pasal 97. Dalam karya tulis Elvina Mawaddah Shanti dengan judul “Analisa Fiqh Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Tuban No. 770/Pdt.G/1997/PA Tbn Tentang Pemisahan Harta Waris, Harta Bersama, dan Harta Asal”. Didalam penelitiannya ternyata dia juga sepakat dengan apa yang dijelaskan oleh Yulfia Lutfiani dan Imam Rohadi, bahwa antara suami dan isteri apabila terjadi perceraian maka masing-masing mendapatkan harta bersama seperdua (50:50). Jadi sejauh pengamatan penulis belum ada karya tulis yang membahas tentang tinjauan kompilasi hukum Islam terhadap putusan hakim yang membagi harta bersama untuk suami 1/3 dan untuk isteri 2/3. Dari bahasan-bahasan yang ada pelaksanaan pembagian harta bersama adalah separo-separo. Maka menurut peneliti, penelitian tersebut patut untuk dikaji kembali. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Dalam hal ini metode penelitian yang penulis pakai adalah jenis penelitian lapangan. Penelitian lapangan adalah penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari lapangan dimana tempat kasus itu berada,
10
termasuk dokumen-dokumen yang memuat kasus pembagian harta bersama, mengadakan interview dengan hakim-hakim atau pejabat lain yang berkompeten di Pengadilan Agama Magetan. 2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian yang penulis ambil adalah Pengadilan Agama Magetan yang beralamat di Jalan Basuki Rahmat Utara No 10 Magetan. 3. Jenis Data Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah: a. Salinan
surat
putusan
Pengadilan
Agama
Magetan
Nomor
:
254/Pdt.G/2007/PA. Mgt tentang perkara cerai gugat dan pembagian harta bersama. b. Data mengenai landasan hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama Magetan dalam memutus perkara Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA. Mgt tentang pembagian harta bersama. c. Data tentang upaya yang ditempuh Pengadilan Agama Magetan guna menyelesaikan sengketa harta bersama akibat perceraian. 4. Sumber Data Adapun data yang penulis pakai dalam penyusunan skripsi ini bersumber dari data empiris serta buku-buku yang relevan yang ada kaitannya dengan permasalahan ini untuk dapat dipertanggung jawabkan.
11
a. Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang diperoleh dari penelitian lapangan yang meliputi informasi dari: 1) Informan : Penulis juga mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak yang menangani kasus tersebut atau pihak-pihak yang yang ada di Pengadilan Agama Magetan. Dalam hal ini hakim ketua Bapak Drs. Moh. Syafruddin, selaku ketua majelis yang memutus perkara, Bapak Isro’ Jauhari, S.Ag, selaku Panitera Pegadilan Agama Magetan, dan Bapak Drs. H. Sumasno, SH, M.Hum selaku ketua Pengadilan Agama Magetan. 2) Dokumen : Penulis juga mencari data-data yang bersifat dokumenter di Pengadilan Agama Magetan yaitu berupa keterangan-keterangan yang ada kaitannya dengan perkara Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt. b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang diperoleh dari buku-buku yang meliputi : a) Kompilasi Hukum Islam, Abdurrahman b) Pembagian harta gono gini saat terjadi perceraian, Happy Susanto c) Aplikasi hak dan kewajiban suami isteri dalam penjaminan harta bersama pada putusan MA, Abdul Manaf d) Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Yahya Harahap e) Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Damanhuri.
12
5. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode Interview, yaitu wawancara yang dilakukan kepada subyek penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian b. Metode Dokumentasi, yaitu mencari data dengan cara mengumpulkan dan mengamati data-data yang berupa salinan surat putusan Pengadilan Agama dan catatan-catatan yang valid yang berhubungan dengan obyek penelitian. 6. Metode Pengolahan Data Dalam pembahasan permasalahan skripsi ini penulis menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut: a. Editing
: Pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi perlengkapannya, keselarasan satu dengan yang lainnya.
b. Organizing
: Penyusunan data secara sistematika dalam bentuk paparan sebagaimana yang telah direncanakan sesuai dengan rumusan masalah.
c. Penemuan Hasil
: Penganalisaan pengorganisasian
lanjutan data
terhadap sehingga
hasil diperoleh
kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah.
13
7. Metode Analisa Data Adapun metode pembahasan yang penulis pakai dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Metode Deduktif :
Proses
analisa
yang
diawali
dengan
cara
mengemukakan fenomena yang bersifat umum guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus. b. Metode Induktif :
Proses
analisa
yang
diawali
dengan
cara
mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus (dari hasil riset) untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum berupa generalisasi. H. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan skripsi ini, maka penulis akan menguraikan pembahasan ini kedalam beberapa bab yang sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Merupakan pola dasar yang mencakup dari keseluruhan isi skripsi, maka disini penyusun kemukakan tentang: Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
14
BAB II
: TINJAUAN
UMUM
HARTA
BERSAMA
DALAM
PERKAWINAN Bab ini merupakan landasan teori sebagai pijakan masalah dalam skripsi, sehingga perlu mengetengahkan : a) Konsep harta bersama dalam perkawinan yang meliputi pengertian harta bersama, klasifikasi harta dalam perkawinan, asal usul harta bersama, ruang lingkup harta bersama serta jenis-jenis harta bersama, b) Ketentuan hukum tentang harta bersama yang meliputi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, kompilasi hukum Islam, dan Hukum Islam, c) Ketentuan hukum harta bersama yang meliputi pengurusan harta bersama dan penggunaan harta bersama, d) Pembagian harta bersama. BAB III
: PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN NOMOR : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt Bab ini memuat sajian hasil penelitian di Pengadilan Agama Magetan yang diawali dengan kasus posisi, prosedur dan duduk perkara dan landasan hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama Magetan dalam putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt. dan Putusan.
BAB IV
:
ANALISA
HUKUM
PERKAWINAN
DI
INDONESIA
TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN NOMOR : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt Bab ini membahas tentang: Analisa terhadap Dasar Hukum Pengadilan
Agama
Magetan
putusan
Nomor:
15
254/Pdt.G/2007/PA.Mgt
dalam
pembagian
harta
bersama,
dilanjutkan dengan Analisa terhadap putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt. dalam pembagian harta bersama. BAB V
: PENUTUP Bab ini adalah akhir dari pembahasan skripsi yang berisi : kesimpulan sebagai jawaban permasalahan dan saran.
16
BAB II TINJAUAN UMUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN A. Konsep Harta Bersama Dalam Perkawinan 1. Pengertian Harta Bersama Dalam Perkawinan Sebelum sampai kepada pembicaraan harta benda perkawinan, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti perkawinan itu sendiri. Karena pengertian perkawinan dalam tatanan hukum mempunyai akibat langsung terhadap harta benda dalam perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.10 Perkawinan seperti yang dijelaskan di atas mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam satu perikatan kekeluargaan. Guna keperluan hidup bersama-sama inilah dibutuhkan suatu kekayaan duniawi yang dapat 10
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 114.
16
17
dipergunakan oleh suami isteri untuk membiayai ongkos kehidupan mereka sehari-harinya. Kekayaan duniawi inilah yang disebut “harta perkawinan”, “harta keluarga” ataupun “harta bersama”. Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dari segi kegunaan (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang di dapat oleh suami isteri dalam perkawinan. Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama tersebut secara benar. Oleh karena itu terlebih dahulu perlu dikemukakan beberapa pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama. Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barangbarang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.11
11
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 342.
18
Sayuti Thalib dalam bukunya hukum kekeluargaan di Indonesia mengatakan bahwa : “Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”.12 Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa perkawinan. Pengertian tersebut sejalan dengan bab VII tentang harta benda dalam perkawinan pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut : (1)
Harta benda yang dieroleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.
(2)
Harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain-lain. Mengenai hal ini kompilasi hukum Islam memberi gambaran jelas
tentang harta bersama, yang dijelaskan dalam pasal 1 huruf f : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”. Menurut Abdul Manan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas
12
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986), 89.
19
nama siapapun.13 Dalam Yurisprudensi Peradilan Agama juga dijelaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitan dengan hukum perkawinan, baik penerimaan itu lewat perantara isteri maupun lewat perantara suami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karyakarya dari suami isteri dalam kaitan dengan perkawinan. 14 Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah harta benda yang dimiliki suami isteri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/harta bawaan) maupun harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerja masing-masing suami isteri ataupun harta benda yang didapat dari pemberian/hibahan atau hadiah serta warisan. Jadi suatu asas yang sangat umum berlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta kerabatnya sendiri yang berasal dari hibahan atau warisan, maka harta itu tetap menjadi miliknya salah satu suami atau isteri yang kerabatnya menghibahkan atau mewariskan harta itu kepadanya. Memperhatikan beberapa pendapat dan analisa di atas bahwa harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan. Masalahnya adalah apakah semua harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan dinamakan sebagai harta bersama?
13
Abdul Manan, Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama (Jakarta: Mimbar Hukum No 33 Tahun VIII, 1997), 59. 14 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Yurisprudensil Peradilan Agama (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1995), 343.
20
Harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan perkawinan, kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan, atau bawaan dari masing-masing suami isteri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 2. Klasifikasi Harta Dalam Perkawinan Ikatan perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami isteri, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 35 ayat 1. namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakui hanya harta bersama. Sebab, berdasarkan KHI pasal 85 dinyatakan bahwa “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri”. Harta benda dalam perkawinan ada tiga macam sebagai berikut : a. Harta Bersama Sebagaimana telah dijelaskan, harta bersama dalam perkawinan adalah “harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama masa perkawinan dikuasai bersama suami isteri. Sesuai namanya yakni harta bersama suami isteri, maka selama mereka masih terkait dalam perkawinan, harta itu tidak
21
dibagi. Harta itu sama-sama mereka manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup atau cerai mati.15 b. Harta Bawaan Harta bawaan adalah “harta benda milik masing-masing suami isteri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan atau hadiah”16. Tentang macam harta ini, KHI pasal 87 ayat 1 mengatur, “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan
masing-masing,
sepanjang
para
pihak
tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.17 Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama. Suami atau isteri berhak mempergunakan harta bawaanya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Dasarnya adalah Undang-Undang Perkawinan pasal 36 ayat 2, yang mengatakan bahwa, “mengenai harta bawaan masing-masing suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan
perbuatan
hukum
mengenai harta
bendanya”.18 Hal senada juga dinyatakan dalam KHI pasal 87 ayat 2, “Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau 15
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer (Jakarta: Gema Insani, 2003), 127. 16 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadinya Perceraian (Jakarta: Visi Media, 2008), 15. 17 . Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 135. 18 Arso Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, 86.
22
lainnya”.19 Artinya, berdasarkan ketentuan ini, harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan tidak bisa diotak-atik oleh pasangan yang lain. Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika pasangan adalah pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat, atau dengan kata lain perjanjian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antara harta bawaan dan harta bersama.20 c. Harta Perolehan Harta perolehan adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami isteri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”.21 Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang diperoleh sebelum masa perkawinan, harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan. Sebagaimana halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun isteri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat 2, “suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
19
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 135. Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, 15. 21 Ibid.,15. 20
23
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”. Harta perolehan sama dengan harta bawaan, keduanya bukan merupakan obyek dari harta bersama, yang hanya disebut dengan harta perolehan adalah harta milik masing-masing suami isteri setelah menikah, tetapi bukan diperoleh dari usaha bersama atau usaha masing-masing. Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu : a. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan b. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian. c. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan. d. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.22 3. Ruang Lingkup Harta Bersama Ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami isteri dalam perkawinan. Memang benar 22
Munawir, Hukum Adat (Ponorogo: PPS Press, 2004), 32.
24
baik pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Gambaran ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan, diantaranya adalah sebagai berikut :23 a. Harta Yang dibeli Selama Perkawinan Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembelian. Setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan apakah isteri atau suami yang membeli, apakah harta tersebut terdaftar atas nama isteri atau suami dimana harta itu terletak. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa diantara suami isteri yang membeli, juga tidak menjadi masalah atas nama isteri atau suami harta itu terdaftar, dan juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun, yang penting harta itu dibeli dalam masa perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama. 24 Lain halnya jika uang pembeli barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri, jika uang pembeli barang secara murni berasal dari harta
23
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), 275-278. 24 Ibid., 275.
25
pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi milik pribadi suami atau isteri. b. Harta Yang dibeli dan dibangun Sesudah Perceraian Yang dibiayai Dari Harta Bersama Patokan untuk menentukan sesuatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian.25 Misalnya suami isteri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan, kemudian terjadi perceraian. Semua harta dan uang simpanan dikuasai suami, belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah. Dalam kasus yang seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembeli atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama, barang hasil pembelian atau pembangunan yang demikian tetap masuk kedalam obyek harta bersama. c. Harta Yang Dapat dibuktikan dan diperoleh Selama Perkawinan Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar, dalam sengketa perkara harta bersama, tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama pihak yang digugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta 25
Ibid., 275.
26
yang digugat bukan harta bersama, tetapi milik pribadi. Hak pemilikan Tergugat bisa didalihkannya berdasar atas hak pembelian, warisan atau hibah, apabila Tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi.26 d. Penghasilan Harta Bersama Dan Harta Bawaan Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama atau berasal dari harta bersama akan menjadi harta bersama. Akan tetapi, bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama diantara suami isteri juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri akan jatuh menjadi obyek harta bersama.27 Dengan demikian fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas dari fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya jauh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil 26 27
Ibid., 277. Ibid., 277.
27
yang timbul dari harta pribadi seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami isteri jatuh menjadi harta bersama. Misalnya, rumah yang dibeli dari harta pribadi bukan jatuh menjadi harta pribadi, tetapi jatuh menjadi harta bersama. Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi.28 e. Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri Segala penghasilan suami/isteri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami/isteri. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami/isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan kedalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami/isteri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami/isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 4. Jenis-Jenis Harta Bersama Mengenai jenis harta bersama, muncul pertanyaan, apakah benar semua harta yang didapat dalam perkawinan antara suami isteri selama berumah tangga adalah merupakan harta bersama ?
28
Ibid., 278.
28
Kalau memperhatikan asal-usul harta yang didapat suami isteri dapat disimpulkan dalam empat sumber : a. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari sumai atau isteri. b. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka menikah. c. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan. d. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami isteri dan selain dari harta warisan.29 Harta bersama yang dimiliki suami isteri dari segi hukum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 dan 36 sebagai berikut : Pasal 35 : (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama ; (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain ; Pasal 36 : (1) Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak ; 29
Damanhuri, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama (Bandung : CV Mandar Maju, 2007), 29.
29
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya ; Pasal 85 KHI menyatakan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri.” Adapun Jenis-jenis harta bersama di dalam pasal 91 KHI dinyatakan sebagai berikut : (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud (3) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga. (4) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. (5) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.30 Dalam ketentuan pasal 91 KHI di atas yang pada intinya menentukan bahwa harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Benda berwujud disini dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan benda tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
30
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ,135.
30
Berdasarkan rincian tersebut, maka harta bersama itu termasuk dalam kategori benda, yang secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik. Secara katagoris ada beberapa macam benda, yakni benda berwujud (lichamelijk) dan benda tidak berwujud (onlichamelijk), benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda yang dapat dipakai habis, dan benda yang tidak dapat dipakai habis, benda yang sudah ada (tegen woordigde zaken) dan benda yang akan ada (toekomstige zaken), benda dalam perdagangan (zaken in de handle) dan benda di luar perdagangan (zaken buiten de handle), serta benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.31 Memperhatikan pasal 91 KHI di atas bahwa yang dianggap harta bersama adalah berupa benda milik suami isteri yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai hukum, yaitu mempunyai nilai kegunaan dan ada aturan hukum yang mengatur. Harta bersama dapat berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga dan harta bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban. B. Ketentuan Hukum Tentang Harta Bersama Sebagaimana telah dibahas di bab sebelumnya, harta bersama diatur dalam hukum positif, baik Undang-Undang Perkawinan maupun KHI. Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama perlu didasari
31
Abdul Manaf, Aplikasi Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri Dalam Penjaminan Harta Bersama (Bandung : CV Mandar Maju, 2006), 47.
31
ketiga sumber hukum positif tersebut. Sebagai contoh, jika pasangan suami isteri ternyata harus bercerai, pembagian harta bersama mereka harus jelas didasari pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum positif tersebut. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada bab VII diberi nama dengan judul “Harta Bersama Dalam Perkawinan”, yang terdiri dari tiga pasal yakni pasal 35, 36 dan 37.32 pasal-pasal tersebut menyatakan : a. Pasal 35 1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri, dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. b. Pasal 36 1) Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2) Mengenai harta bawaan masing-masing suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. 32
Ibid., 24.
32
c. Pasal 37 1) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam ketentuan pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jelas terbaca bahwa harta dalam perkawinan itu terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan oleh karena itu ia menjadi milik bersama suami atau isteri. Karena demikian sifatnya, maka terhadap harta bersama suami atau isteri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing suami atau isteri sebagai hadiah atau warisan selama dalam ikatan perkawinan, dan oleh karena itu ia menjadi hak dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing suami atau isteri. Pengaturan harta bersama yang demikian sesuai dengan hukum adat, dimana dalam hukum adat itu dibedakan dalam harta gono-gini yang menjadi milik bersama suami isteri, dan bawaan menjadi milik masing-masing pihak suami atau isteri. Diikutinya sistem hukum adat oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai hukum nasional adalah sebagai konsekwensi dari politik hukum Indonesia yang telah menggariskan bahwa pembangunan hukum nasional haruslah berdasarkan hukum adat sebagai hukum kepribadian bangsa Indonesia yang bedasarkan Pancasila. 33
33
449.
Purwoto, Renungan Hukum (Jakarata: Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia, 1998),
33
2. Kompilasi Hukum Islam Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang harta bersama secara singkat hanya dalam tiga pasal, yaitu pasal 35 sampai pasal 37, maka dalam KHI tentang harta bersama diatur secara lebih enumeratif mulai pasal 85 sampai pasal 97. Adapun pengaturan harta bersama secara lebih lanjut , menyatakan : a. Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. b. Pasal 86 1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya c. Pasal 87 1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
34
2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, sadaqah, atau lainnya. d. Pasal 88 Apabila terjadi perselesihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. e. Pasal 89 Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri. f. Pasal 90 Isteri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. g. Pasal 91 1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. 2) Harta bersama yang tidak berwujud dapat meliputi
benda tidak
bergerak, benda bergerak an surat-surat berrharga. 3) Harta bersama tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. 4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
35
h. Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. i. Pasal 93 1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada harta masing-masing. 2) Pertanggungjawaban
terhadap
hutang
yang
dilakukan
untuk
kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama. 3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami. 4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. j. Pasal 94 1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mepunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. k. Pasal 95 1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan
36
sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. l. Pasal 96 1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama. m. Pasal 97 Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Menurut Abdul Manaf
ketentuan KHI tersebut antara lain
menjelaskan bahwa 34: 1) Dalam perkawinan terdapat harta bersama, disamping harta pribadi masing-masing suami isteri. Harta pribadi tersebut sepenuhnya berada dalam penguasaan masing-masing suami/isteri, dan bagi masing34
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Penjaminan Harta Bersama, 30.
37
masingnya itu berhak untuk melakukan tindakan hukum terhadap harta dimaksud. Suami, sesuai dengan fungsinya, bertanggungjawab untuk menjaga harta bersama, harta isteri, dan hartanya sendiri. Demikian juga isteri, sesuai dengan fungsinya, turut bertanggungjawab untuk menjaga harta bersama dan harta suami yang ada padanya. 2) Harta bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Harta bersama yang tidak berwujud meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga. Sedang harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. 3) Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh suami atas persetujuan isterinya. Demikian juga sebaliknya, harta bersama dapat dijadikan jaminan oleh isteri atas persetujuan suaminya. 4) Tanpa persetujuan isteri, suami tidak diperbolehkan menjual, membebani, atau memindahtangankan harta bersama. Demikian juga sebaliknya, isteri tidak diperbolehkan menjual, membebani, atau memindahtangankan harta bersama tanpa persetujuan suaminya. Pertanggungjawaban terhadap hutang pribadi suami/isteri dibebankan pada harta masing-masing, sedang pertanggungjawaban hutang yang diperlukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama. Bila harta bersama tidak mencukupi, pertanggungjawaban itu dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi pertanggungjawabannya dibebankan kepada harta isteri.
38
5) Harta bersama dari hasil perkawinan serial atau poligami, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, dan itu terhitung mulai saat berlangsungnya aqad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. 6) Suami/isteri dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu pihak, suami/isteri, melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. Selama masa sita, dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. 7) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang masih hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai ada kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama. 8) Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.35 3. Harta Bersama Dalam Hukum Islam Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan kedalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan berlangsung, di dalam al-Qur’an disebutkan dalam Surat An-Nisa” ayat 32 : 35
Ibid,. 31.
39
789:@ ?>= اآABC =ء9EFG ا وI89:@ ?>= اآABC =لKLFG “……….. bagi pria ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.36 Ayat tersebut bersifat umum tidak ditujukan terhadap suami atau isteri. Jadi bukan ditujukan kepada suami isteri saja, melainkan semua pria dan wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing. Untuk hukum waris ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap pria atau wanita mempunyai hak untuk mendapat bagian harta warisan yang ditinggalkan atau diberikan orang tua.37 Dalam hubungan dengan perkawinan, ayat tersebut dapat dipahami, bahwa ada kemungkinan dalam suatu perkawinan akan ada harta bawaan dari isteri yang terpisah dari harta suami, dan masing-masing suami dan isteri menguasai dan memiliki hartanya sendiri-sendiri. Sedangkan harta bersama (harta pencaharian) milik bersama suami isteri tidak ada, dan harta bawaan isteri itu kemudian bertambah dengan maskawin yang diterimanya dari suami ketika berlangsungnya perkawinan. Pandangan hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami isteri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami dan mana harta isteri, mana harta bawaan suami dan mana harta bawaan isteri 36
DEPAG RI, AL-Qur’an dan Terjemahannya, 122. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, hukum Agama (Bandung : Mandar Maju, 2007), 117. 37
40
sebelum terjadinya perkawinan, mana harta suami/isteri yang diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan harta tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami atau harta isteri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. Hukum Islam juga berpendirian bahwa harta yang diperoleh suami selama perkawinan menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya.38 Namun, al-Qur’an dan hadits tidak memberikan ketentuan yang tegas bahwa harta benda yang diperoleh suami selama berlangsungnya perkawinan sepenuhnya menjadi hak suami, dan isteri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Bagaimana dengan posisi harta bersama menurut Islam? berikut ini akan dikemukakan pemetaan pandangan hukum Islam tentang harta bersama. Moh. Indris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam membagi pandangan hukum Islam tentang harta bersama kedalam dua kelompok sebagai berikut :39 a. Kelompok Yang Memandang Tidak Adanya Harta Bersama Dalam Lembaga Islam Kecuali Dengan Konsep Syirkah Pandangan ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan isteri karena perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi
38
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, 52. Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), 29. 39
41
milik isteri dan dikuasai sepenuhnya. Demikian pula harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Dalam pandangan kelompok ini, isteri tetap dianggap cakap bertindak meskipun tanpa bantuan suaminya dalam soal apapun, termasuk dalam hal mengurus harta benda sehingga dianggap bahwa isteri dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kelompok ini memandang bahwa suami tidak berhak atas harta isterinya karena kekuasaan isteri terhadap harta adalah tetap dan tidak berkurang sedikitpun, meskipun mereka berdua diikat dalam hubungan perkawinan. Oleh karenanya, suami tidak boleh mempergunakan harta isteri untuk keperluan belanja rumah tangga kecuali mendapat izin dari isterinya. Bahkan, menurut pandangan kelompok ini, jika suami mempergunakan harta isteri tanpa persetujuan darinya, harta itu menjadi utang suami yang wajib dibayarkan kepada isteri kecuali jika isterinya itu bersedia membebaskan tanggungan itu. Meskipun demikian kelompok ini memandang bahwa dalam hubungan perkawinan isteri menjadi “syarikatur rajuli filhayati”, yaitu kongsi sekutu bagi suami dalam manjalani bahtera hidup. Artinya, hubungan suami isteri merupakan suatu bentuk syirkah (kongsi, kerjasama, persekutuan).40
40
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian,. 54.
42
Harta kekayaan suami dan isteri bisa bersatu (harta bersama) karena adanya pengertian syirkah semacam itu. Harta ini seakan-akan dianggap sebagai harta tambahan karena usaha bersama suami isteri selama masa perkawinan mereka. Jika terjadi perceraian, harta syirkah ini dibagi antara suami siteri menurut pertimbangan siapa diantara mereka lebih banyak dalam berinvestasi. b. Kelompok Yang Memandang Adanya Harta Bersama Dalam Hukum Islam Disamping mengakui ketentuan yang berlaku dalam undangundang perkawinan bahwa harta bersama itu diakui dan diatur dalam hukum positif, kelompok ini juga memandang ketentuan tentang harta bersama itu sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Harta bersama yang dimaksud adalah harta yang diperoleh oleh pasangan suami isteri setelah hubungan perkawinan mereka berlangsung dan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Dasar hukum Islam tentang ketentuan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 21 yang menyebut perkawinan sebagai suatu perkawinan yang suci, kuat dan kokoh (mitsaqah ghalizhan). Artinya perkawinan yang telah dilakukan melalui ijab qabul dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan lainnya, seperti saksi, mahar dan pemberitahuan perkawinan merupakan syirkah antara suami dan isteri. Oleh karena itu hal-hal yang berkenaan
43
dengan hubungan perkawinan mereka, termasuk masalah harta benda, menjadi milik bersama. Berdasarkan dua pemetaan pandangan tersebut, sesungguhnya harta bersama bisa ditelusuri dalam hukum Islam, baik itu melalui konsep syirkah maupun berdasarkan kehendak atau aspirasi hukum Islam itu sendiri. C. Ketentuan Umum Hukum Harta Bersama Ketentuan umum dibagian ini merupakan pengembangan dari dasar hukum positif tentang harta bersama, yaitu bagaimana memperlakukan harta bersama sebelum harta ini dibagi. Atau dengan kata lain, ketentuan umum mencakup pengaturan hukum bagi suami isteri yang masih memiliki hubungan perkawinan terhadap harta bersama mereka. 1. Pengurusan Harta Bersama Dibagian ini akan dijabarkan bagaimana ketentuan hukum tentang pengurusan harta bersama. Menurut KUH Perdata, suami sendirilah yang berhak mengurus harta bersama, termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut.
Isteri tidak berhak mencampuri
kewenangan suami. Dasar ketentuan ini adalah bahwa suami yang merupakan kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap segala urusan yang
44
berkenaan dengan kehidupan rumah tangga, termasuk dalam hal pengurusan harta bersama.41 Ketentuan tersebut diatur dalam KUH Perdata pasal 124 ayat 1, “Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Dia boleh menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan isterinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140”. Artinya, suami memiliki kewenangan dalam mengurus harta bersama karena dia merupakan kepala
rumah
tangga,
memindahtangankannya,
dan
termasuk
dalam
membebaninya.
hal
Namun
menjualnya, suami
tidak
diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam pasal 140 ayat 3 yaitu, “Mereka juga berhak membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri”.42 2. Penggunaan Harta Bersama Kebersamaan harta kekayaan antara suami isteri, maka harta bersama menjadi milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna. Harta bersama suami isteri memang telah menjadi hak milik bersama, namun jangan
41 42
1978), 48.
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, 26. R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita,
45
dilupakan bahwa disana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapatkan paersetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta bersama, dia harus mendapat persetujuan dari isterinya dan sebaliknya.43 Undang-Undang Perkawinan pasal 36 ayat 1 menyebutkan, “Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Sebagai contoh, selama masa perkawinan salah satu pihak dari pasangan suami isteri membeli rumah atau tanah atas nama suami/isteri. Kedua harta tersebut merupakan bagian dari harta bersama yang dimiliki secara bersama. Jika ada salah satu pihak yang ingin menjualnya, harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika penggunaan harta bersama tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap telah melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa dituntut secara hukum. Dasarnya adalah KHI pasal 92, “Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”.44 Suami isteri juga diperbolehkan menggunakan harta bersama sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, KHI pasal 94 mengatur, “Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya”. Pasal 93 43 44
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, 34. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , 136.
46
KHI mengatur ketentuan hukum harta bersama yang terkait dengan utang. Ayat 1 pasal itu menyebutkan bahwa, “Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan kepada hartanya masing-masing”. Maksudnya, utang yang secara khusus dimiliki suami/isteri menjadi tanggungjawab masing-masing.45 Berdasarkan uraian di atas, maka hak dan kewajiban suami isteri atas harta bersama adalah seimbang atau hak-hak isteri sama dengan hak suami. Maksudnya adalah : 1) Isteri dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan dari pihak suami. 2) Suami dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan dari pihak isteri. Pada prinsipnya harta bersama itu harus diurus bersama suami isteri dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya atas persetujuan bersama. Prinsip di atas bertolak belakang dengan prinsip yang diatur oleh KUH Perdata dimana pada pasal 124 ayat (1) menentukan bahwa harta bersama/persatuan berada dibawah urusan suami secara mutlak bahkan pada ayat (2) menyatakan bahwa suami dapat menjual, memindah tangankan dan
45
Ibid., 136.
47
membebani harta bersama tersebut tanpa persetujuan dan campur tangan isteri, kecuali sebelumnya ada perjanjian perkawinan.46 D. Pembagian Harta Bersama Harta bersama antara suami isteri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus. Hubungan perkawinan itu dapat terputus karena kematian, perceraian dan juga oleh keputusan pengadilan. 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 37 dikatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Sekiranya penjelasan pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 96 dan 97 KHI, penerapan Hukum Islam dalam soal pembagian harta bersama baik dalam cerai mati dan cerai hidup, sudah mendapatkan kepastian positif. Karena baik dalam cerai mati pasal 96 ayat (1) menegaskan “Separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Status kematian salah seorang pihak, baik suami maupun isteri, harus jelas terlebih dahulu agar penentuan tentang pembagian herta bersama jadi jelas. Jika salah satu dari keduanya hilang harus ada ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat (2), “Pembagian harta bersama bagi 46
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 48. Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, hukum Kewarisan ; Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, 35. 47
48
seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama”. Begitu juga dalam cerai hidup, pasal 97 KHI menegaskan “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Artinya, dalam kasus cerai hidup, jika tidak ada perjanjian perkawinan, penyelesaian pembagian harta bersama ditempuh berdasarkan ketentuan didalamnya, yaitu masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta bersama. Menurut apa yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam, penerapan pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 suami isteri masing-masing berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama apabila perkawinan pecah. Tidak menjadi soal apakah pecahnya karena cerai mati atau cerai hidup. Pendirian yang digariskan dalam Kompilasi Hukum Islam sejalan dengan pandangan orientasi makna syarikat yang ditentukan dalam hukum Islam sendiri.48 Pendapat
dan
penerapan
yang demikian
juga telah
merupakan
yurisprudensi tetap dalam hukum adat. Sejak masa perang dunia kedua, sudah dipertahankan ketetapan hukum yang memberi hak dan kedudukan yang sama antara suami isteri terhadap harta bersama apabila perkawinan mereka pecah. Ambil contoh putusan mahkamah agung tanggal 9 Desember 1959 Nomor 424
48
Dalam uraiannya Isma’il Muhammad Syah menyatakan bahwa harta bersama termasuk dalam syirkah Abdan atau syirkah mufawadah. Karena memang pengkongsian antara suami isteri itu sifatnya tidak terbatas. Artinya apa yang dihasilkan pasangan suami iateri selama perkawinan merupakan harta bersama, adalah patut untuk memberi hak dari bagian yang sama apabila perkawinan mereka pecah.
49
K/STP/1959, dalam putusan ini ditegaskan : “Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung dalam hal terjadi perceraian barang gono-gini harus dibagi antara suami dan isteri dengan masing-masing mendapat separoh bagian”.49 Masalah penerapan pembagian harta bersama dalam cerai hidup, tidak begitu menimbulkan persoalan, karena pembagian dapat dilangsungkan secara tunai dan langsung antara suami isteri, masing-masing mendapat setengah bagian. Lain halnya dalam pembagian harta bersama dalam keadaan cerai mati. Dalam masalah ini bisa timbul berbagai masalah yang memerlukan penerapan tersendiri. 1. Cerai mati tanpa anak Dalam hal cerai mati tanpa anak yang dilahirkan dalam perkawinan, penerapannya berdasarkan hukum adat terdapat beberapa variasi. Misalnya suami meninggal dunia tanpa anak, sehigga yang tinggal hanya janda. Dalam kasus yang seperti ini ada yang berpendapat, harta bawaan suami maupun harta bersama jatuh menjadi warisan janda. Pendapat yang seperti ini dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Nopember 1960 No. 302K/SIP/1960. Dalam putusan ini terdapat uraian pertimbangan yang menjelaskan : “Menurut hukum adat di seluruh Indonesia, seorang janda perempuan merupakan ahli waris terhadap barang asal dari suami dalam arti, bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap ditangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin lagi, sedang di beberapa daerah di Indonesia 49
2006), 129.
Abdul Manann, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana,
50
disamping ketentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan amat banyak harganya, janda berhak atas bagian warisan seperti seorang anak kandung”. 50 Jika putusan di atas diuraikan secara lanjut, terdapat beberapa penggarisan hukum yang berkenaan dengan harta bersama. Pertama, dalam hal suami meninggal dunia tanpa keturunan, janda akan menguasai dan menikmati harta bersama selama ia hidup atau selama ia tidak kawin dengan lelaki apabila harta bersama yang ditinggalkan hanya sedikit jika dia kawin dengan laki-laki, maka harta bersama dibagi dua. Setengah bagian untuk janda dan setengah bagian untuk ahli waris mendiang suami. Terlepas dari putusan di atas, kita lebih setuju penerapan yang lebih bersifat tuntas, yaitu segera menyelesaikan pembagian harta bersama antara janda dengan ahli waris mendiang suami. Cara yang demikian terasa lebih adil, dan lebih sesuai dengan ajaran Islam yang menyuruh penyelesaian harta pennggalan sesegera mungkin pada saat harta peninggalan terbuka untuk dibagi.51 Uraian di atas, sekalipun masalah harta bersama yang hendak diterapkan dalam Lingkungan Peradilan bertitik tolak dan bersumber dari ‘urf atau hukum adat yang sudah berkembang di masyarakat dan praktek Peradilan, dalam hal tersebut Peradilan Agama harus mampu dan berani mengadakan “modifikasi” ke arah yang lebih sesuai dengan maslahat dan jiwa hukum Islam. Khusus menghadapi kasus harta bersama yang tidak dikaruniai 50 51
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 280. Ibid., 281.
51
anak, apabila perkawinan pecah karena salah satu pihak meninggal dunia, segera lakukan pembagian antara pihak yang masih hidup dengan ahli waris yang meninggal tanpa mempersoalkan pihak mana yang duluan meninggal. Misalnya, isteri yang lebih dulu meninggal, maka pembagiannya adalah setengah bagian menjadi bagian duda (suami) dan yang setengah lagi jatuh menjadi bagian ahli waris mendiang isteri untuk dibagi waris menurut ketentuan faraidl. 2. Cerai Mati dan Ada Anak Kasus cerai mati dengan meninggalkan keturunan, baik isteri (janda) maupun anak-anak dapat menuntut pembagian harta bersama. Hal ini dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Agustus 1959 no. 258/sip/1959, “Jadi apabila suami meninggal dunia dengan meninggalkan janda keturunan (anak), menurut hukum baik anak-anak atau seorang dari anak maupun janda, dapat menuntut pembagian harta bersama”.52 Pada umumnya masyarakat merasa tabu untuk segera memecah harta bersama antara janda atau duda dengan anak-anak mereka. Misalkan suami atau isteri meninggal, jarang masyarakat langsung memecah harta bersama antara ayah atau ibu dengan anak-anak, harta bersama tetap dijadikan utuh di bawah kekuasaan ayah atau ibu. Padahal dari pengalaman dan pengamatan sudah banyak contoh tragis sebagai akibat kekakuan dalam pemecahan harta bersama segera sesaat setelah suami atau isteri meninggal dunia. Kemalangan 52
Ibid., 282.
52
yang akan diderita anak-anak di belakang hari akibat dari kekakuan tersebut, bisa terjadi apabila si ibu atau si ayah kawin lagi dengan lelaki atau permpuan lain. Oleh karena itu, sudah saatnya kita lebih bersikap pragmatis menghadapi kasus ini jika Pengadilan Agama menghadapi kasus yang seperti ini, sekalipun anak-anak yang ditinggalkan masih kecil-kecil, seharusnya segera dilakukan pembagian. Tentukan barang-barang yang menjadi bagian anakanak, sekalipun pengawasan dan perwalian harta berada di tangan ibu atau ayah mereka. Yang penting, pemecahan harta bersama harus dilakukan guna memberi kepastian dan jaminan bagi anak-anak dan hak mereka atas bagian harta bersama peninggalan ibu atau ayah mereka.
53
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN NOMOR : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt
A. Kasus Posisi, Proses dan Duduk Perkara SUWARNI binti SULAIMAN dan SAMSURI bin SURATIN telah menikah pada tanggal 11 Januari 1992, dari pernikahan tersebut mereka telah dikaruniai seorang anak. Semula rumah tangga mereka rukun baik dengan bertempat tinggal bersama dirumah orang tua Tergugat selama 1 tahun, kemudian Penggugat untuk meningkatkan taraf ekonomi pamit kepada Tergugat untuk bekerja ke Hongkong sampai total keseluruhan selama 8 tahun dan dari hasil kerja tersebut digunakan untuk membuat rumah, membeli sebidang tanah dan perabot rumah tangga. Semula rumah tangga berjalan rukun baik dan harmonis, namun sejak bulan April 2005 rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah, diantara Penggugat dan Tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang penyebabnya karena Tergugat tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak bisa memberi nafkah yang bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, yang akibat dari perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka sejak bulan April 2005 Tergugat pergi meninggalkan Penggugat pulang kerumah orang tuanya sendiri dan hidup berpisah dengan tempat tinggal sampai sekarang telah berlangsung selama kurang lebih 2 tahun, dan selama itu Tergugat tidak memberi nafkah baik lahir maupun
53
54
batin dan tidak mengurusi Penggugat serta tidak pernah berhubungan lagi sebagaimana layaknya suami isteri. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Magetan melalui Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dengan menjatuhkan putusan sebagai berikut : PRIMAIR : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat ; 2. Menceraikan pernikahan Penggugat dengan Tergugat ; 3. Membebankan biaya perkara sesuai dengan hukum yang berlaku ; SUBSIDAIR : Mohon Putusan seadil-adilnya ; Atas gugatan tersebut, Tergugat melalui kuasa hukumnya Tergugat memberikan jawaban yang disertai gugat Rekonpensi mengenai harta bersama yang pada pokoknya sebagai berikut : DALAM KONPENSI : 1. Bahwa Tergugat menolak semua dalil-dalil gugatan Penggugat kecuali yang
dengan nyata diakui kebenarannya oleh Tergugat ; 2. Bahwa dalil gugatan Penggugat Nomor 1 adalah benar ; 3. Bahwa dalil gugatan Penggugat Nomor 2 tidak benar, yang benar bahwa 2,5
tahun setelah nikah dengan ijin Tergugat, Penggugat pergi ke Hongkong selama 1 periode lalu pulang kerumah Tergugat selama 1 bulan. Bahwa dengan ijin Tergugat, Penggugat nambah lagi kerja di Hongkong selama 1
55
periode lagi lalu pulang dan tinggal bersama keluarga selama 2 tahun, kemudian Penggugat minta ijin lagi pada Tergugat untuk kerja lagi ke Hongkong selama 1 periode lagi dan pulang dirumah Tergugat 1 bulan dan Penggugat minta ijin Tergugat untuk kerja lagi ke Hongkong selama 1 periode, yakni 2 tahun dan selama periode terakhir atau 2 tahun terakhir ini Tergugat tidak dikasih tahu alamat dan hasilnya sama sekali. Bahwa mohon diketahui kepada Majelis Hakim bahwa Penggugat pergi menjadi TKW di Hongkong adalah 4 periode atau 8 tahun, namun tidak terus menerus tetapi berselang-selang waktunya tidak seperti yang didalilkan Penggugat ; 4. Bahwa dalil gugatan Penggugat Nomor 3 benar, tetapi mohon perhatian
kepada Yang Terhormat Majelis Hakim bahwa anaknya sejak kecil yang merawat adalah Tergugat bahkan sekarang ikut Tergugat ; 5. Bahwa dalil gugatan Penggugat Nomor 4 tidak benar, yang benar bahwa
Penggugat sejak tahun 2005 s/d 2007 masih berada di Hongkong, yakni periode yang terakhir dan pulang pada bulan Maret 2007, Penggugat pulang sama sekali tidak memberitahu kepada Tergugat dan anaknya, pada hari keempat dari kepulangannya baru menemui Tergugat dan langsung meminta cerai dan tidak benar kalau dibilang Tergugat tidak mempunyai pekerjaan tetap, Tergugat mempunyai pekerjaan tetap dan bisa mencukupi kebutuhan hidup sesuai dengan kebutuhan hidup di Sukowidi, hanya Penggugat saja yang tidak bisa menerima (ora nrimo) ;
56
6. Bahwa dalil gugatan Penggugat Nomor 6 tidak benar, yang benar bahwa
selama ini tidak pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak benar kalau Tergugat dikatakan meninggalkan Penggugat sejak bulan April 2005 karena waktu tersebut Penggugat pergi kerja menjadi TKW di Hongkong, kalau dikatakan yang sebenarnya justru Penggugat yang pergi meninggalkan Tergugat ; 7. Bahwa dalil gugatan Penggugat Nomor 7 tidak benar, yang benar bahwa
Penggugat sama sekali tidak pernah berusaha menyelesaikan persoalan rumah tangga Penggugat dengan keluarga, justru pihak keluarga Tergugat yang selalu berusaha untuk mengajak musyawarah
keluarga
tetapi justru
Penggugat dan keluarganya selalu menghindar ; 8. Bahwa justru Tergugat masih sangat ingin tetap mempertahankan keutuhan
rumah tangga Penggugat dan Tergugat mengingat anak yang sangat perlu kasih sayang dan perhatian orang tua serta biaya yang benar karena waktunya membiayai kebutuhan sekolah ; DALAM REKONPENSI : 1. Bahwa apa yang termuat dalam Konpensi mohon dibaca kembali dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan baik secara mutatis dan mutandis dalam Rekonpensi ini ; 2. Bahwa selama masa pernikahan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dan
Tergugat
Rekonpensi/Penggugat
Konpensi,
maka
Tergugat
57
Rekonpensi/Penggugat Konpensi telah pergi menjadi TKW di Hongkong selama 4 periode yang waktunya berselang-selang ; 3. Bahwa selama masa pernikahan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dan Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi telah diperolah harta bersama (gono-gini) sebagai berikut : a. Satu buah rumah yang terletak di Jl. Wijaya Kusuma RT. 03 RW. 01 Desa Sukowidi, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan sesuai dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor : 85/28/1999 tertanggal 31 Agustus 1999 dengan ukuran 6 M x 1,5 M dengan ciri-ciri tembok dinding putih, lantai keramik putih dengan ukuran 30 Cm x 30 Cm, teras keramik hitam dengan ukuran 20 Cm x 25 M Cm dengan batas-batas : Utara
: KATIYEM/SARNUN :
Timur
: Jalan Desa ;
Selatan
: SOLEMAN ;
Barat
: LANGKIR atas nama SAMSURI SOLEMAN ;
b. Satu bidang tanah sawah yang dibeli dari Sdr. IMAM SUWADJI, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, alamat Dusun Sempu RT. 01 RW. 02 Desa Sukowidi, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan pada tanggal 09 Desember 2004 yang tercantum di Leter C Desa No. 543 Persil GLS Klas S, luas 123 da, dengan batas-batas : Utara
: Saluran :
Timur
: SUPAR ;
58
Selatan
: Jalan ;
Barat
: KARSI ;
c. Satu bidang tanah pekarangan yang sudah sertifikat Hak Milik atas nama SAMSURI – SUWARNI dengan Nomor : 00289 yang diterbitkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Magetan pada tanggal 17 Mei 2005 atas dasar jual beli tanggal 20 Nopember 2002, PENUNJUK tanah milik adapt LETTER C No. 362/Persil 27/Klas D.1 luas 657 M2, yang terletak di RT. 03 RW. 01 Desa Sukowidi, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, dengan batas-batas : Utara
: Pak SARKUN :
Timur
: Pak JAMAL ;
Selatan
: Jalan Desa ;
Barat
: Pak LANJAR ;
d. Uang yang masuk ke rekening Nomor : 119.002077702.901 yang diubah oleh pihak Bank dengan Nomor : 00367 32 386 yang diterbitkan tanggal 25 Juni 2003 oleh BNI Cabang Madiun atas nama Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi tetapi hanya sebagian kecil yang dikirim ke Rekening Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi yang tidak sesuai dengan standart gaji di Hongkong ; e. Perabot rumah tangga yang terdiri antara lain : 1. Dua stel meja kursi warna kuning dan cokelat masing-masing dengan harga Rp. 1.400.000,- dan Rp. 600.000,- ;
59
2. Dua stel Bufet warna cokelat masing-masing dengan harga Rp. 1.300.000,- dan Rp. 1.000.000,- ; 3. Dua stel almari warna cokelat masing-masing dengan harga Rp. 150.000,- dan Rp. 600.000,- ; 4. satu buah TV 21 Inch merk BOMBA, satu buah Aquarium harga Rp. 350.000,-, satu buah Magic Jar, satun buah Dipan dengan ukuran 180 cm x 200 cm harga Rp. 900.000,-, satu buah lampu hias harga Rp. 200.000,- dan dua buah kasur ; 4. Bahwa apabila Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini berpendapat
dan
berkeyakinan lain, maka Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi mohon kepada Majelis Hakim Yang Terhormat untuk membagi harta bersama (gonogini) yang tersebut dalam Rekonpensi point 3 ; 5. Bahwa berdasar alasan dan kenyataan tersebut di atas, maka sudilah kiranya Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini berkenan memberi keputusan yang amarnya berbunyi : PRIMER : DALAM KONPENSI : 1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ; 2. Menetapkan antara Penggugat dan Tergugat tetap sebagai suami isteri ; 3. Membebankan biaya perkara menurut hukum yang berlaku ;
60
DALAM KONPENSI : 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi / Tergugat Konpensi untuk seluruhnya ; 2. Menetapkan harta yang diperoleh pada masa perkawinan antara Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dan Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi adalah harta bersama (gono-gini) ; 3. Menetapkan harta bersama antara Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dan Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi harus dibagi dua bagian, yakni ½ (seperdua) bagian untuk Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dan ½ (seperdua) bagian untuk Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi ; 4. Membebankan semua biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi ; SUBSIDER : Atau, apabila dalam perkara ini Majelis hakim berpendapat dan berkeyakinan lain, mohon putusan yang adil ; Setelah
adanya
gugatan,
jawaban,
replik
dan
duplik,
hakim
mempertimbangkan bahwa gugatan Penggugat yang minta diceraikan dari Tergugat telah beralasan hukum dan selanjutnya dikabulkan. Adapun mengenai gugat Rekonpensi mengenai Harta Bersama agar Harta Bersama dibagi dua, ½ bagian untuk Penggugat dan ½ bagian untuk Tergugat dipertimbangkan sebagai berikut :
61
-
Karena Harta Bersama tersebut diperoleh dalam perkawinan, maka harta tersebut merupakan Harta Bersama dan karena Harta Bersama tersebut dari hasil kerja Tergugat Rekonpensi diluar negeri, sedangkan Penggugat Rekonpensi tidak punya andil modal kecuali membiayai keberangkatan Tergugat Rekonpensi di penampungan sementara, bahkan untuk kebutuhan Penggugat Rekonpensi sendiri dan untuk merawat dan penididikan anaknya menggantungkan
hasil
kiriman
Tergugat
Rekonpensi.
Setelah
mempertimbangkan, maka berdasarkan putusan Pengadilan Agama Magetan tersebut Majelis Hakim menetapkan bahwa bagian Penggugat Rekonpensi dalam hal ini suami adalah 1/3 bagian (sepertiga) dari Harta Bersama, sedangkan untuk Tergugat Rekonpensi dalam hal ini isteri adalah 2/3 (dua pertiga) bagian dari Harta Bersama. Bahwa Majelis Pengadilan Agama Magetan dalam membagi harta bersama 1/3 (sepertiga) untuk Penggugat Rekonpensi dalam hal ini suami, dan 2/3 (dua pertiga) bagian untuk Tergugat Rekonpensi dalam hal ini isteri dan tidak membaginya ½ untuk suami dan ½ untuk isteri, atas putusan tersebut Penggugat dan Tergugat merasa puas, menerima putusan yang dijatuhkan Hakim serta tidak mengajukan upaya hukum (baik Banding maupun Kasasi), sehingga putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).53
53
01/1.W/22.1/2008.
62
B. Landasan Hukum Yang Dipakai Hakim Pengadilan Agama Magetan Dalam
Pembagian
Harta
Bersama
Dalam
Putusan
Nomor
:
254/Pdt.G/2007/PA.Mgt Peradilan Agama adalah pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu. Kekuasaan Kehakiman itu sendiri merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1845 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai kekuasaan negara yang merdeka, yakni guna menegakkan hukum dan keadilan, maka segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia disamping badan-badan peradilan lainnya adalah dalam rangka upaya mewujudkan suasana perikehidupan yang aman, tenteram dan tertib dalam mewujudkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan hal pokok yang sangat penting ini, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka : 1. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
63
2. Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 3. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang. Melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk itu Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 4. Dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara. 5. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. 6. Dalam perkara perdata tidak tertutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian secara damai. Di Pengadilan Agama, hakim bahkan wajib mengusahakan perdamaian tersebut pada setiap kali sidang.54 Mengingat posisi dan tugas peradilan agama yang strategis itu, maka peradilan agama mempunyai peran yang sangat penting. Perang tersebut adalah sebagai berikut : 1. Peran pelayanan hukum, dalam pengertian bahwa peradilan agama memberikan kepastian dan status hukum bagi bermacam-macam sengketa keluarga muslim, sehingga keluarga muslim yang bersangkutan terhindar dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. 54
01.2W/22.1/2008.
64
2. Peran pelaksanaan hukum Islam bagi kaum muslimin di Indonesia. Peran ini sangat penting karena sesuai dengan keimanan dan sistem ajaran Islam, bidang hukum merupakan bagian integral dari ajaran Islam. 3. Peran pembangunan nasional. Dengan posisinya sebagai bagian integral dari sistem hukum dan peradilan nasional, peradilan agama dapat memberikan kontribusi hukum Islam dalam upaya pembangunan hukum nasional karena materi hukum Islam diakui sebagai salah satu bahan baku pembentukan hukum Islam.55 Untuk melaksanakan kewenangan-kewenangannya, peradilan agama mempunyai seperangkat hukum materiil, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta berbagai keharusan yang wajib ditaati oleh warga negara yang beragama Islam dalam perikehidupan berkeluarga. Hukum inilah yang menjadi dasar untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hukum sehingga Majelis Hakim mempunyai pertimbangan hukum da akhirnya memberikan putusan. Hukum materiil peradilan agama terdapat dalam sejumlah peraturan perundangan, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
55
Ibid.
65
3. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.56 Disamping itu berpedoman pada hukum acara. Hukum acara adalah ketentuan-ketentuan hukum yang memberikan tuntunan kepada Majelis Hakim dan pihak-pihak yang berperkara agar proses penerimaan, pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian perkara berjalan sebagaimana mestinya.
57
Dengan
perkataan lain, hukum acara adalah aturan main dalam proses berperkara yang harus ditaati, sehingga hak-hak semua pihak terlindungi serta proses penegakan hukum dan keadilan berjalan dengan sebaik-baiknya. Hukum acara yang berlaku di peradilan agama adalah : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 2. Hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan peradilan umum, yaitu terdiri dari HIR (Herziene Inlandsch Reglement) untuk Jawa dan Madura,R.bg (Rechts Reglement Voor De Buitengewessen) untuk luar Jawa dan Madura. 58 Adapaun dasar hukum yang dipakai hakim dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt
dalam Pembagian
Harta Bersama berpegang pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan 97 yang berbunyi :
56
Ibid. Ibid. 58 Ibid. 57
66
Pasal 96 : (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama ; (2) Pembagian Harta Bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hukum atas dasar keputusan pengadilan agama. Pasal 97 : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut di atas, dimana Pasal 97 yang menentukan janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat ½ (separoh) itu semua adalah ketentuan berdasarkan standar normal, dalam arti suami sebagai kepala keluarga mencukupi kebutuhan keluarga, baik sandang, pangan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya.59 Adapun landasan hukum Hakim dalam membagi Harta Bersama dalam kasus perkara Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt adalah : 1. Suami yang seharusnya bertanggungjawab mencukupi semua kebutuhan rumah tangga, baik pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga lainnya, justru tidak punya andil dalam menyediakan kecukupan kebutuhan rumah tangga, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan pokok
59
01/3.W/22.1/2008.
67
berupa tempat tinggal dan kekayaan yang dipunyai semuanya hasil kerja isteri.
2. Ketentuan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 32 sebagai berikut : 789:@ ?>= اآABC =ء9EFG ا وI89:@ ?>= اآABC =لKLFG Artinya : “Bagi laki-laki (suami) mendapatkan bagian dari apa yang dikerjakan dan bagi perempuan (isteri) mendapatkan bagian dari apa yang dikerjakannya” 3. Rasa keadilan. Kasus Penggugat dan Tergugat tersebut lain dan tidak berdasarkan standar normal, dimana suami sebagai kepala keluarga, yang seharusnya bertanggungjawab mencukupi semua kebutuhan rumah tangga, baik pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga lainnya, justru disini suami tidak punya andil dalam menyediakan kebutuhan kecukupan rumah tangga atau harta diperolehnya dalam masa perkawinan. Justru sebaliknya semua kebutuhan pokok berupa tempat tinggal dan kekayaan yang dipunyai semuanya hasil kerja isteri, oleh karena itu dasar hukum yang dipakai adalah keadilan.60
60
Ibid.
68
Keberanian tersebut telah dipraktekkan dengan landasan bahwa Pasal 97 KHI janda/duda cerai mendapat ½ (separoh) adalah ketentuan standar normal dalam arti suami yang mencukupi semua kebutuhan keluarga, baik sandang, pangan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya dan isteri sebagai ibu rumah tangga mengerjakan pekerjaan kerumah tanggaan, seperti memasak, mengasuh anak, mengurus kebersihan rumah dan lain-lainnya.
C. Putusan Putusan adalah suatu pernyataan yang oleh hakim diucapakan dalam persidang dan bertujuan untuk mengakhiri dan sekaligus menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Pada sisi lain istilah putusan dapat dimaknai sebagai suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.61 Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum guna mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan telah selesai dan pihakpihak yang berperkara tidak lagi menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan
61
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah Di Indonesia (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008), 337.
69
tertulis, langkah tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 178 HIR dan pasal 189 Rbg. Memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1 Tahun 1962 tertanggal 07 Maret 1962, menyatakan bahwa seyogyanya pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai, hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan isi putusan yang diucapkana dengan yang ditulis. Menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebelum putusan diambil majelis hakim secara rahasia melakukan sidang permusyawaratan dan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbagan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Apabila dalam sidang permusyawaratan hakim yang rahasia itu tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
70
BAB IV ANALISA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MAGETAN NOMOR : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Analisa Terhadap Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Magetan Dalam
Putusan
Pengadilan
Agama
Magetan
Nomor
:
254/Pdt.G/2007/PA.Mgt Dalam Pembagian Harta Bersama Harta Bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan berlangsung, jawa : gono-gini, Sunda : Guna Karya. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi Harta Bersama mulai saat ijab qabul sampai dengan putusnya perkawinan (baik karena kematian atau karena perceraian). Pemberlakuan ketentuan hukum tentang Harta Bersama tersebut, tanpa harus dipermasalahkan diperoleh oleh siapa, kepemilikannya terdaftar atas nama suami atau isteri, tetap merupakan Harta Bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Ketentuan-ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 diangkat sepenuhnya dan bahkan lebih luas lagi di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Bila terjadi sengketa dalam Harta Bersama Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 70
71
tentang perkawinan menyatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya). Bagi umat Islam Indonesia umumnya dan khususnya bagi hakim-hakim pada Peradilan Agama, bila terjadi sengketa mengenai Harta Bersama merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan apabila terjadi perceraian, maka masing-masing suami atau isteri berhak atas seperdua dari harta bersama tersebut, baik cerai mati maupun cerai hidup. Bila cerai mati ½ dari Harta Bersama hak pasangannya yang masih hidup dan ½ lainnya sebagai harta warisan. Harta Bersama dihitung sejak akad nikah sampai dengan meninggalnya salah satu suami atau isteri, atau apabila cerai hidup sampai dengan putusan perceraian telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Tidak boleh dilupakan kewajiban Hakim yang tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Hakim Pengadilan Agama Magetan telah lebih dewasa, punya keberanian tidak mau menjadi corong undang-undang. Rasa keadilan dikedepankan, dogma agama dipegang teguh, nurani dikedepankan dan kepastian hukum juga tidak akan
72
diabaikan. Sadar akan dirinya sebagai Judge Made Law yang memiliki tanggungjawab besar kepada sang Pencipta Allah SWT. Hakim mengadili suatu perkara, ia melakukan aktifitas atau “Kegiatan Yuridis” sendiri dan tidak sekedar melakukan sylogisme belaka. Ia ikut serta dalam pembentukan hukum, bukan hukum obyektifitas seperti yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang, yang sifatnya abstrak, melainkan hukum yang Concreet yang diciptakan dengan putusannya (Judge Made Law). Putusan Hakim adalah hukum, maka haruslah sesuai dan dapat diterima oleh atau didalam masyarakat.62 Secara tegas dan seksama Hakim Pengadilan Agama Magetan dan Penulis yakin Hakim-Hakim pengadilan lainnya memiliki komitmen dan nurani yang sama, yaitu akan menilai peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan pijakan hukum dalam mengambil keputusan disesuaikan dengan ajaran dogmatic agama, mengedepankan keadilan, tidak akan mengorbankan keadilan hanya demi kepastian hukum. Sikap Hakim tersebut secara hukum dapat dibenarkan karena Hakim memiliki kebebasan dalam memutus dan memiliki hak otonomi dalam konsep “Demi Keadilan” untuk melakukan kontra legem (menyimpang) terhadap pasalpasal yang dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kebenaran. Sebagaimana penegasan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan 62
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984),16.
73
kepadanya wajib meperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan pasal ini yang secara tegas menunjukkan suatu kemutlakan yang bersifat memaksa (imperatif) bagi Hakim untuk memegang teguh dan menjadikan pasal tersebut sebagai landasan moral dalam menjatuhkan putusan. Hal ini juga sesuai dengan amanat Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 : “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh sebab itu dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Magetan dalam membagi Harta Bersama dalam putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt adalah “Rasa Keadilan” dan hal tersebut adalah dibenarkan. Hal tersebut sesuai pula dengan Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 32 yang berbunyi :
789:@ ?>= اآABC =ء9EFG ا وI89:@ ?>= اآABC =لKLFG Artinya : “……….. bagi pria ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.63 Menurut ayat tersebut jelaslah bagi laki-laki akan mendapatkan harta mereka sesuai dengan jerih payahnya dan begitu pula bagi perempuan akan mendapatkan haknya sesuai dengan jerih payahnya. Penyelesaian harta perkawinan wajib ditempuh dengan sebaik-baiknya dengan cara yang seadil-adilnya, yakni jangan sampai antara bekas suami dan
63
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 122.
74
bekas isteri teraniaya hak kehartaannya. Sebagaimana Firman Allah dalam AlQur’an Surat An-Nahl ayat 90 :
=ن9STل و اUVW=W L?=ءX Yان ا Artinya : “sesungguhnya Allah telah memerintahkan keadilan
dan berbuat
baik”.64 Juga Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 58 :
لUVG=W اI>Z[\ =س انEG ا7AW ^:>ZS و اذ Artinya : “Dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.65
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban atau dengan kata lain keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan keadilan. Adil atau keadilan juga dapat berarti suatu tindakan yang tidak berat sebelah atau tidak memihak kesalah satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan hak yang harus diperoleh. Bertundak secara adil berarti mengetahui hak dan kewajiban. Mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut peraturan dan hukum yang telah ditetapkan dan tidak bertindak sewenang-wenang. Adil adalah melakukan sesuatu berdasarkan prinsip-prinsip atau bertindak benar atau menegakkan keadilan.66 64
Ibid., 415. Ibid., 128. 66 http://omabercerita blogspot.com/2008-04-01, archive. html. 65
75
Hakekat kebenaran adalah “Keadilan” atau “Justice” menegakkan kebenaran tiada lain daripada menegakkan keadilan. Tegaknya kebenaran menurut hukum berarti tegaknya keadilan menurut hukum. Secara sederhana dapat dikatakan, hukum yang ditegakkan baru dapat
dianggap “benar” atau
“adil” : 1. Apabila penegakan hukum dilakukan tanpa pilih kasih, pengakuan yang dilakukan bebas terhindar dari diskriminasi kategoris dan diskriminasi normativ. 2. Apabila pelaksanaan penegakan hukum dilakukan tanpa mempersoalkan apakah
akibat
hukum
yang
dijatuhkan
menyenangkan
atau
tidak
menyenangkan. 3. Apabila pelaksanaan penegakan hukum itu putusannya memuaskan perasaan kedua belah pihak yang bersengketa. 4. Pengakuan hukum dyang dilakukan tidak memyakiti perasaan masyarakat luas dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesadaran masyarakat.67 Penerapan hukum melalui putusan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt ditempuh dengan prosentase 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk isteri, halmana didasarkan pada pertimbangan hakim yang menilai isteri seharusnya menjadi tanggungjawab suami justru isteri yang banting tulang mengumpulkan harta
67
Ahmad Kamil, kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, 22.
76
benda, sedangkan suami yang seharusnya lebih inetnsif mencukupi keperluan rumah tangga ternyata hanya pasif dan hanya menikmati hasil jerih payah isteri. Konsep di atas didasarkan pada hasil wawancara dengan Drs. Muh. Syafruddin sebagai Ketua Majelis yang menyidangkan perkara tersebut, mempertimbangkan yang pada pokoknya : 4. Suami yang seharusnya bertanggungjawab mencukupi semua kebutuhan rumah tangga, baik pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga lainnya, justru tidak punya andil dalam menyediakan kecukupan kebutuhan rumah tangga, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan pokok berupa tempat tinggal dan kekayaan yang dipunyai semuanya hasil kerja isteri. 5. Ketentuan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 32 sebagai berikut :
789:@ ?>= اآABC =ء9EFG ا وI89:@ ?>= اآABC =لKLFG Artinya : “Bagi laki-laki (suami) mendapatkan bagian dari apa yang dikerjakan dan bagi perempuan (isteri) mendapatkan bagian dari apa yang dikerjakannya” 6. Rasa keadilan Pandangan tentang penerapan system prosentase sebagaimana terurai di atas sejalan pula dengan pendapat di kalangan para hakim, setidaknya Ketua Pengadilan Agama Magetan juga sependapat dengan konsep tersebut.
77
Dari beberapa pandangan dimaksud semua tidak terlepas dari bingkai rasa keadilan. Adil bukan teori yang harus diterapkan sama rata, tetapi adil adalah penerapan sesuai yang seharusnya. Kewajiban hakim yang berfungsi menegakkan keadilan sesuai hukum yang berkembang di masyarakat telah sesuai dengan hukum dan nilai-nilai keadilan. Berdasarkan
uraian
tersebut
putusan
Nomor
:
254/Pdt.G/2007/PA.Mgt telah benar-benar mencerminkan nilai keadilan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum, justru selangkah lebih maju pada nilai hukum yang progresif, berkembang dan dinamis. Putusan Nomor : 234/Pdt.G/2007/PA.Mgt dapat dianalogkan kepada penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang ijin
perceraian bagi PNS. Inspirasi tersebut sangat wajar apabila diterapkan terhadap pasangan PNS. Isterinya yang PNS yang mencukupi segala kebutuhan rumah tangga bisa mengumpulkan harta benda, sedangkan suaminya tidak bekerja sama sekali. Apabila terjadi perceraian pemberlakuan konsep ½ dan 2/3 sangatlah layak, tinggal kepekaan hakim yang memutuskan perkara tersebut yang mengutamakan kepastian hukum secara formal. Bahwa suami adalah bertanggungjawab sebagai kepala rumah tangga yang secara kontekstual adalah yang bertanggungjawab terhadap seluruh kebutuhan dan terpenuhinya seluruh kesejahteraan keluarga, sedangkan dari uraian di atas
78
justru berbanding terbalik, sehingga wajar penerapan nilai keadilan tidak harus secara tekstual tetapi lebih kepada intensitas mereka yang secara kodrati bukan kewajibannya (isteri yang mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangga).
B. Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Agama Magetan Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt dalam Pembagian Harta Bersama Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah merupakan “Hukum Terapan” pada lingkungan Peradilan Agama di Indonesia yang mulai dilaksanakan semenjak tahun 1991. Pelaksanaannya didasarkan pada Instruksi Presiden RI tanggal 10 Juni 1991 Nomor 1 Tahun 1991 yang ditujukan kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 s/d 5 Pebruari 1998 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama RI tanggal 22 Juli 1991 Nomor : 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan semenjak itu ia mulai dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama sebagai dasar dan landasan formal dalam menyelesaikan dan memutus berbagai sengketa tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang terjadi dikalangan umat Islam. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa ini telah dilaksanakan sebagai hukum terapan oleh Pengadilan Agama sebagai dasar dan landasan formal dalam menyelesaikan dan memutus berbagai sengketa, walaupun masih
79
ada silang pendapat mengenai status hukum Kompilasi Hukum Islam dalam hukum positif Indonesia. Koesnoe menilai bahwa KHI tetap berada diluar tatanan hukum positif Indonesia dan itu merupakan pendapat sekelompok ulama dan pakar hukum Islam atau bisa disebut Ijma’ kalangan tersebut.68 Dengan diterimanya Kompilasi Hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama sebagai riil ia sudah dapat dikatakan termasuk dalam hukum positif Indonesia, paling tidak dalam Yurisprudensi yang juga diyakini salah satu sumber hukum yang berlaku, kondisi ini tidak menutup kemungkinan untuk meningkatkannya sebagai sebuah produk hukum yang bersifat formal menjadi sebuah undang-undang. Mengulas tentang acara di pengadilan agama adalah hanya terbatas pada kepentingan orang yang beragama Islam, disinilah yang dalam ketentuan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah menjadi UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, disebutkan sebagai perdata
tertentu
bagi
orang
Islam,
ketentuan
tersebut
mengharuskan
pemberlakuan acara di Pengadilan Agama menuntut konsekuensi materi hukum Islam yang menjadi dasar pijakan dan landasan harus dijunjung tinggi. Dalam KHI mengenai Pembagian Harta Bersama diatur dalam : Pasal 96 : (1)
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama ;
68
Moh Koesnoe, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,” Varia Peradilan, 102 (1995), 60.
80
(2)
Pembagian Harta Bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama ;
Pasal 97 : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Ketentuan KHI tersebut jelas menggariskan bahwa : -
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh Harta Bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian Harta Bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai ada kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
-
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jadi ketentuan tentang Pembagian Harta Bersama didasarkan pada kondisi
yang menyertai hubungan suatu perkawinan, yaitu : 1. Cerai Mati Cerai mati biasanya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan suami isteri karena meninggalnya suami/isteri. Pembagian Harta Gono-Gini untuk kasus cerai mati dibagi menjadi 50 : 50. Ketentuan ini diatur dalam KHI Pasal 96 ayat (1) bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh Harta Bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
81
Status kematian salah seorang pihak, baik suami maupun isteri harus jelas terlebih dahulu agar penentuan tentang Pembagian Harta Gono-Gini jadi jelas. Jika salah satu dari keduanya hilang harus ada ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam KHI Pasal 96 ayat (2), “Pembagian Harta Bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama”. 2. Cerai Hidup Jika pasangan suami isteri terputus hubungannya karena perceraian diantara mereka. Bagaimana pembagian Harta Gono-Gini dalam kategori cerai hidup untuk umat Islam ? berdasarkan KHI Pasal 97 dinyatakan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Artinya dalam kasus cerai hidup, jika tidak ada perjanjian perkawinan, penyelesaian dalam pembagian Harta Gono-Gini ditempuh berdasarkan ketentuan di dalamnya. Jika tidak ada perjanjian perkawinan penyelesaiannya berdasarkan pada ketentuan KHI Pasal 97 di atas, yaitu masing-masing berhak mendapat seperdua dari Harta Gono-Gini. Jika dicermati, maka Pembagian Harta Bersama dibagi dua, masingmasing mendapatkan bagian 50 : 50, Pembagian Harta Bersama ini bisa
82
diajukan bersamaan dengan gugatan cerai, tidak harus menunggu terlebih dahulu putusan cerai dari Pengadilan Agama. Pembagian Harta Bersama 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk isteri sebagaimana dalam isi putusan dimaksud tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan KHI, dimana di dalam KHI janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari Harta Bersama sebagaimana diatur dalam KHI Pasal 97. Namun demikian dalam hal ini Hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan, mengapa membagi 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk isteri antara lain : 1. Suami yang seharusnya bertanggungjawab mencukupi semua kebutuhan rumah tangga, baik pangan, sandang, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga lainnya, justru tidak punya andil dalam menyediakan kecukupan kebutuhan rumah tangga, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan pokok berupa tempat tinggal dan kekayaan yang dipunyai semuanya hasil kerja isteri. 2. Ketentuan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 32 sebagai berikut : 789:@ ?>= اآABC =ء9EFG ا وI89:@ ?>= اآABC =لKLFG Artinya : “Bagi laki-laki (suami) mendapatkan bagian dari apa yang dikerjakan dan bagi perempuan (isteri) mendapatkan bagian dari apa yang dikerjakannya”
83
3. Rasa keadilan. Memang keadilan adalah tujuan pokok dan rasa keadilan merupakan tujuan pokok Peradilan Agama, yaitu menyelenggarakan Peradilan Agama, menegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana diketahui tujuan hukum dalam kaidah-kaidah hukum, yaitu : 1. Hukum melindungi kebebasan setiap warga negaranya. 2. Setiap warga Negara harus diperlakukan sama dihadapan hukum. 3. Hukum harus menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat.69 Hakekat kebenaran adalah “keadilan” atau “Justice” menegakkan kebenaran tiada lain daripada menegakkan keadilan, tegaknya kebenaran menurut hukum berarti tegaknya keadilan menurut hukum. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia ini, termasuk agama Islam yang menempatkan keadilan ditempat yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.70 Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus menerus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan. 69
21.
70
Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2005),
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 111.
84
Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.71 Oleh karena itu Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa putusan Hakim dalam perkara Nomor : 254/Pdt.G/2007/PA.Mgt sudah benar dan telah memenuhi rasa keadilan, meskipun tidak sesuai yang diatur dalam KHI karena tujuan dari hukum adalah keadilan dan keadilan adalah segala-galanya. Keberanian tersebut telah diprakrekkan dengan landasan bahwa Pasal 97 KHI janda/duda cerai mendapat ½ (separoh) adalah ketentuan standar normal, dalam arti suami yang mencukupi semua kebutuhan keluarga, baik sandang, pangan, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya dan isteri sebagai ibu rumah tangga mengerjakan pekerjaan kerumah tanggaan, seperti memasak, mengasuh anak, mengurus kebersihan rumah dan lain-lainnya. Dengan demikian Pembagian Harta Bersama tidak selamanya dibagi dua sama rata diantara suami dan isteri. Pembagian Harta Bersama bagusnya
dilakukan
secara
adil,
sehingga
tidak
menimbulkan
ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana yang hak isteri. Pembagian harta bersama secara adil akan dapat menenteramkan kehidupan pasca pasangan suami isteri itu berpisah (bercerai). Islam 71
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 41.
85
mengajarkan kepada umat manusia agar menyelesaikan permasalahan kehidupan di dunia dengan keadilan, termasuk dalam hal pembagian harta bersama. Jika masalah ini tidak diselesaikan secara adil, hanya akan menyebabkan perseteruan atau percekcokan diantara mereka bertambah runyam. Jika pembagian harta bersama tidak diperkarakan melalui jalur pengadilan, sebenarnya melalui cara musyawarah bisa saja, asalkan dilakukan dengan seadil-adilnya. jika suatu saat keduanya berkonflik dan rumah tangga mereka berujung pada perceraian, langkah musyawarah untuk penentuan harta gono-gini secara perlu dikedepankan. Jika langkah ini dapat dilakukan dengan baik, tentu kita tidak perlu lagi bingung bagaimana membawa masalah ini ke meja pengadilan. Dengan demikian, penyelesaian terhadap masalah pembagian harta bersama dapat ditempuh melalui cara musyawarah. Mereka bahkan boleh saja sepakat untuk membagi harta bersama dengan persentase bahwa suami mendapat sepertiga, sedangkan isteri mendapatkan dua pertiga, atau juga bisa sebaliknya, isteri mendapatkan sepertiga dan suami mendapatkan dua pertiga, atau mereka boleh saja menentukan pembagian dengan persentase lain, asalkan tidak ada yang merasa dirugikan atau dicurangi. Sebagaimana dibahas dalam konsep syirkah bahwa harta bersama itu diperbolehkan asalkan tidak mengandung penipuan antara satu pihak dan pihak lain.
86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan 1. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Magetan dalam membagi harta bersama adalah dengan beralasan dari rasa keadilan, sehingga sikap Hakim dalam memutuskan perkara tersebut tidak terikat dengan ketentuan undang-undang formil, tetapi lebih mengikuti dan memahami nilai-nilai pada hukum yang timbul dalam masyarakat. 2. Pandangan Kompilasi Hukum Islam secara umum membagi Pembagian Harta Bersama adalah separo, dalam prakteknya Hakim Pengadilan Agama Magetan membagi pembagian harta bersama adalah 1/3 (sepertiga) dengan 2/3 (dua pertiga), praktek tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 97, akan tetapi demi keadilan ketentuan pasal dimaksud dapat dikesampingkan. B. Saran-Saran 1. Diharapkan Majelis Hakim Pengadilan Agama mempunyai keberanian untuk lebih mengutamakan keadilan daripada bunyi pasal dalam ketentuan perundang-undangan. 2. Hakim dalam menyelesaikan perkara wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
87
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo, 2004. Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang, 1975. Budi Utomo, Setiawan. Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani, 2003. Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung : Gema Risalah Pers. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama. Yurisprudensi Peradilan Agama. Jakarta, 1995. Damanhuri, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Bandung : CV. Mandar Maju, 2007. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju, 2007 Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Peradilan Agama. Jakarta : Sinar Grafika, 2003. Idris Ramulyo, Moh. Hukum Perkawinan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 1999. Kamil, Ahmad. Kitab Undang-undang Hukum Yurisprudensi. Jakarta : Prenada Media, 2005. Kansil, Cst. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1989. Mimbar Hukum. Nomor 33/Thn VIII. Jakarta : Al-Hikmah, 1997. Munawir. Hukum Adat. Ponorogo : PPS Press, 2004. Manaf, Abdul. Aplikasi Equalitas Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Penjaminan Harta Bersama. Bandung : CV. Mandar Maju, 2006.
88
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Purwoto S. Renungan Hukum. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia, 1998. Subekti. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : Pradnya Paramita, 1978. Suara Uidilag. Jakarta : Pokja Perdata Agama MA-RI, 2005. Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakrta : Visimedia, 2008. Sosroatmojo, Arso. Aulawi, Wasit. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang, 1975.