BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Lahan kritis merupakan lahan yang kemampuan tanahnya telah mengalami
atau dalam proses kerusakan yang telah atau akan membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman, dan kehidupan sosial ekonomi di daerah sekitarnya (Iwan, 1999). Lahan kritis merupakan lahan terdegradasi yang telah rusak dan berkurang fungsinya sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu penyebab terjadinya lahan kritis adalah bencana erupsi Gunung api Merapi yang dapat menjadikan sifat fisika dan kimia tanah menjadi terdegradasi. Gunung api Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia dan letusannya tercatat sangat eksplosif selama 10.000 tahun terakhir (Newhall dkk, 2000). Salah satu letusan Gunung api Merapi yang cukup besar terjadi pada Oktober tahun 2010 dan letusan tersebut mengeluarkan material erupsi berupa abu vulkanik, pasir, dan bebatuan dalam jumlah besar. Akumulasi material erupsi Merapi berupa pasir dan bebatuan tersebut menghancurkan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, yang menyebabkan kerusakan dan kondisi tidak sesuai untuk persyaratan pertumbuhan tanaman. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan berupa meningkatnya keasaman tanah, defisiensi nutrisi, dan kandungan bahan organik tanah yang rendah yang menjadi faktor pembatas pada tanah, dan akhirnya berpengaruh terhadap stabilitas ekosistem (Wilson dkk, 2007). Kondisi lahan pasca erupsi Merapi yang didominasi oleh pasir dan tidak adanya bahan organik pada tanah menyebabkan drainase dan kehilangan air yang sangat cepat sehingga kekeringan menjadi masalah utama dalam proses penanaman vegetasi sebagai upaya rehabilitasi. 1
Deposit material hasil erupsi Merapi berupa abu, pasir dan bebatuan yang menutupi lahan-lahan pertanian memiliki ketebalan yang bervariasi untuk setiap lokasi tergantung jarak dari pusat letusan serta arah dan kecepatan angin. Akibatnya, terdapat perbedaan ekosistem khususnya keberadaan vegetasi antara dua lokasi terdampak erupsi setelah 2,5 tahun terjadinya bencana meletusnya Gunung api Merapi dan hal ini jugalah yang mendasari penelitian ini. Perbedaan ekosistem ini terlihat jelas antara ekosistem Kali Adem yang terdapat di sebelah barat Kali Gendol dengan ekosistem Kalitengah Lor yang terdapat di sebelah timur Kali Gendol sehingga kedua lokasi ini menjadi tempat dilakukannya penelitian. Ekosistem Kali Adem sebagian besar berupa hamparan pasir tanpa vegetasi penutup di atasnya sedangkan ekosistem Kalitengah Lor sudah ditumbuhi oleh rerumputan dan Acacia decurens sehingga kuat dugaan bahwa perbedaan ketebalan deposit dan material erupsi Merapi berpengaruh terhadap kemampuan vegetasi untuk tumbuh di atasnya. Kondisi ekosistem Kali Adem dan Kalitengah Lor ditunjukkan oleh Gambar 1 berikut.
2
Kalitengah Lor a
b Pasir
Abu vulkanik
c
d
Gambar 1. Perbedaan kondisi ekosistem pada Kali Adem dan Kalitengah Lor akibat perbedaan ketebalan dan material setelah 2,5 tahun erupsi Merapi a.Kali Adem dengan ketebalan pasir dan bebatuan setinggi eskavator, b.Kalitengah Lor dengan ketebalan pasir dan abu vulkanik 5-6 cm, c. Gambaran ekosistem Kali Adem, d. Gambaran ekosistem Kalitengah Lor
Keberadaan lahan kritis pasca erupsi mengakibatkan keterbatasan lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan dan kehutanan sehingga mendorong upaya rehabilitasi terhadap lahan kritis tersebut. Salah satu upaya untuk memanfaatkan lahan kritis adalah dengan memodifikasi lahan. Untuk mendukung usaha modifikasi lahan diperlukan alternatif strategi yang efektif, murah dan ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya yaitu dengan aplikasi teknologi pot organik (Organic pot) dan mikroba tanah dengan memanfaatkan Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) atau biasa disebut endomikoriza (Agus, 2012). Upaya rehabilitasi juga tidak terlepas dari peran vegetasi pioner yang berkontribusi terhadap penambahan seresah dan bahan organik pada tanah dalam 3
menciptakan kondisi yang baik pada proses suksesi awal. Salah satu vegetasi pioner yang banyak dipilih dan ditanam dalam upaya reboisasi dan proses rehabilitasi lahan kritis adalah sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & JW Grimes) (Krisnawati, 2011), yang juga akan digunakan sebagai tanaman inang dalam inokulasi mikoriza dengan kombinasi pot organik dalam penelitian ini. Pot organik dapat berfungsi sebagai media tumbuh yang kompak, mampu menyimpan air, meredam panas, mengurangi evaporasi, menyediakan unsur hara melalui dekomposisi pot organik secara perlahan sesuai kebutuhan tanaman sehingga rejim lengas (kelembaban), rejim temperatur, rejim hara dapat dipenuhi sebagai syarat kebutuhan hidup tanaman rehabilitasi (Agus dan Wulandari, 2012). Teknologi pot organik dikombinasikan dengan inokulasi jamur endomikoriza yang dapat membantu tanaman menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman pada daerah yang direhabilitasi. Jamur endomikoriza yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi adalah jenisjenis jamur yang diisolasi dari lahan tersebut (indigenous) sehingga syarat hidup dan lingkungannya sesuai untuk hidup jamur tersebut (Simanungkalit, 2003).
I.2
Landasan Teori Pertumbuhan merupakan akibat adanya interaksi antara berbagai faktor
internal perangsang pertumbuhan dan unsur-unsur iklim, tanah dan biologis dari lingkungan. Lahan terdampak erupsi Merapi yang didominasi fraksi pasir merupakan lahan marjinal untuk pertumbuhan suatu tanaman. Pemilihan jenis yang cocok dalam arti mampu beradaptasi dengan lingkungan serta meminimalkan kondisi lingkungan ekstrem terutama iklim mikro dalam tanah harus diperhatikan untuk keberhasilan rehabilitasi. 4
Kondisi tapak pasir terdampak erupsi Merapi dengan kelembaban rendah, penguapan air yang tinggi, dan kandungan bahan organik yang rendah dapat diperbaiki dengan teknologi yang tepat dan alternatif strategi yang efektif, murah dan ramah lingkungan seperti aplikasi pot organik dan mikoriza. Tanaman dapat hidup dan tumbuh dengan baik karena aplikasi pot organik sebagai sumber unsur hara dan penahan air serta aplikasi mikoriza untuk menambat unsur-unsur hara terutama P. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peran jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan pot organik dalam peningkatan biomassa pertumbuhan semai sengon pada media pasir yang berasal dari deposit erupsi Gunung api Merapi.
I.3
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Aplikasi mikoriza dan pot organik memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan sengon pada cekaman air dan miskinnya bahan organik 2. Aplikasi mikoriza dan pot organik memberikan pengaruh nyata terhadap persen infeksi jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) pada akar sengon
I.4
Tujuan 1. Untuk mengetahui peran jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan pot organik dalam peningkatan produksi biomassa semai sengon pada proses rehabilitasi pasca erupsi Merapi
5
2. Untuk mengetahui tingkat infeksi jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) pada akar sengon dengan kombinasi perlakuan aplikasi mikoriza dan pot organik (organic pot)
I.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan serta melengkapi data dan
informasi tentang peran mikroba tanah (khususnya MVA) dan bahan organik dalam peningkatan pertumbuhan tanaman khususnya pada proses rehabilitasi di kawasan Merapi yang selama ini sangat terbatas ketersediaannya di Balai TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi).
6