BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak yang normal. Orangtua
merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut
menjadi kenyataan. Tidak jarang orangtua mengungkapkan perasaan bangga tersebut dengan menceritakan kesuksesan anaknya kepada sanak keluarga, tetangga dekat maupun jauh, teman sejawat, bahkan kepada siapa pun yang menjadi lawan bicaranya (Nawawi, 2010). Keadaan akan jadi berubah ketika anak yang dilahirkan, berbeda dengan anak lainnya, yakni
anak
yang
memerlukan
perhatian atau
berkebutuhan khusus, tentunya orangtua merasa kecewa karena memiliki anak
yang
tidak
kekurangan dalam
sesuai
dengan
pertumbuhan
harapan. dan
kekecewaan yang sangat mendalam dan
Keadaan
anak
yang
serba
perkembangan akan menimbulkan merupakan kenyataan pahit yang
harus dihadapi orangtua. Dikatakan oleh Hurlock (1999) bahwa apabila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orangtua, maka orangtua akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak. Ketidaksempurnaan dari sang anak dapat berdampak negatif pada orangtua muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah dan tidak berdaya. Mimpi indah orangtua
Universitas Sumatera Utara
mendadak menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi sepanjang hidup orangtua, bahkan cinta kasih dan sayang kepada sang anak berubah menjadi kebencian, muncul rasa malu, tidak percaya diri, berdosa, saling menyalahkan antara suami isteri, muncul pertengkaran yang hebat, sampai seringkali terjadi perceraian, bahkan shock dan stres berat pun dapat terjadi. Sang anak yang tadinya menjadi harapan masa depan yang cemerlang dan investasi yang sangat berharga akhirnya menjadi korban. Anak ditelantarkan, dibiarkan, diabaikan, ditolak kehadirannya, tidak dibimbing, tidak didorong, tidak diberi semangat untuk mencapai perkembangan yang seharusnya secara optimal (Nawawi, 2010). Salah satu anak yang berkebutuhan khusus adalah anak dengan kelainan fisik dan
mental yaitu anak down syndrome.
Perkembangan yang lambat
merupakan ciri utama pada anak down syndrome. Baik perkembangan fisik maupun mental, hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down syndrome. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down syndrome, sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah (Selikowitz, 2001). Ditambahkan oleh Sanders & Morgan, 1997 (dalam Goussmett, 2006) bahwa orangtua dengan anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) dan Down Syndrome memiliki sedikit harapan bahwa anak mereka akan hidup normal, dan ditemukan bahwa orangtua dengan ASD dan Down Syndrome lebih banyak mengalami stres dan masalah penyesuaian dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
stres dan masalah penyesuaian pada orangtua yang memiliki anak dengan perkembangan yang normal. Seperti yang diungkapkan oleh ibu RS (wawancara, Agustus 2013) “ pada awal mengetahui anak berbeda dengan anak yang lain, dan menurut hasil diagnosa dokter anak saya mengalami down syndrome dan harus bersekolah di sekolah luar biasa membuat saya shock, berhari-hari saya menangis dan bertanya-tanya apa salah saya, kenapa tuhan memberikan saya anak seperti ini. Suami saya juga terlihat sedih walau dia hanya diam saja. Saya sampai takut untuk hamil lagi, saya takut anak saya berikutnya juga seperti anak ini”
Diantara orangtua, penelitian telah menunjukkan bahwa ibu umumnya lebih stres dari pada ayah walaupun sebenarnya ayah pada umumnya juga tertekan dengan kondisi anak mereka namun cenderung tidak mampu mengatakan sedangkan ibu kondisi tertekan mereka lebih terlihat (Konstantareas & Homatidis, 1989, Ricci & Hodopp, 2003, Frey K, Greenberg, MT, & Fewell, RR, 1989 dalam Gousmett, 2006). Sesuai dengan penuturan dari ibu RS (wawancara, Agustus 2013) “sebenarnya saya sudah bisa terima, namun saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri kalau terkadang saya malu dan sedih ketika kumpul bersama keluarga besar, anak saya seperti disisihkan, dia sering tidak diajak bermain bersama. Suami saya juga sebenarnya mau memberikan fasilitas dan selalu berupaya agar anak saya bisa bersekolah. Namun untuk berinteraksi seperti bermain dan berbicara dengan anak saya sangat jarang, kadang saya merasa dia malas untuk berdekatan dengan anak kami. Itu yang membuat saya sedih. Apalagi saat ini adiknya yang kecil juga sudah sering mengejek sepertinya cemburu dan sering memusuhi kakaknya. Membuat saya semakin stres dan repot merawat mereka berdua.” Ibu menjadi cenderung terlihat lebih stres dibandingkan anggota keluarga yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu untuk merawat anak mereka. Stres yang muncul dalam membesarkan anak dengan disability seperti down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan sosial dari anggota keluarga yang lain seperti orangtua, pasangan ataupun dari
Universitas Sumatera Utara
sumber dukungan lain dan hal ini juga dapat memberikan pengaruh bagaimana sebuah keluarga mampu berfungsi, dan penyesuaian psikologis anak-anak lain dalam keluarga (Beckman, 1991 dalam Gousmett, 2006). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Manchester Down Syndrome Cohort (dalam Bryne, 1988), mengungkapkan bahwa “Kami telah terlibat dalam penelitian tentang dukungan keluarga dan intervensi yang akan dilakukan, dari 181 keluarga yang masing-masing memiliki anak dengan sindrom Down dilahirkan di Greater Manchester antara Agustus 1973 dan Agustus 1980, “selama bertahun kami diskusi dengan orang tua, sejumlah besar masalah mulai muncul. Beberapa keluarga tampak mengalami kesulitan yang berkaitan dengan masalah hubungan, kesulitan dengan anak-anak dan perasaan pembatasan dan isolasi. Lainnya berbicara tentang keprihatinan mereka tentang layanan yang mereka terima, atau tentang reaksi orang lain untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka . Bagi sebagian yang lagi adalah kekhawatiran tentang masa depan anakanak mereka. Namun disisi lain ada beberapa keluarga yang tidak menceritakan kekhawatiran, tapi mengatakan bahwa mereka sering menemukan kegembiraan yang tak terduga dari anak . sehingga muncul pertanyaan apa yang menyebabkan beberapa keluarga berhasil mengatasi kekhawatirannya, dan mengapa keluarga lain mengalami kesulitan?”. Pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi sebuah keluarga merasa khawatir ataupun bahagia dengan memiliki anak down syndrome adalah : karakteristik individu dalam keluarga dan keluarga sebagai unit, sumber daya yang dimiliki oleh anggota keluarga masingmasing, yaitu tenaga kesehatan dan pemecahan masalah, hubungan dalam keluarga, jaringan keluarga dan dukungan, politik dan lingkungan sosio - kultural keluarga ( Bronfenbrenner , 1977 dalam Byrne, 1988). Sering terjadi dimana ibu memandang bahwa hanya dia yang mengalami stres dan hanya dia yang lebih perhatian dan merawat anak down syndrome. Hal ini akan mempengaruhi perilaku ibu terhadap pasangan (ayah), terhadap anak sehingga mempengaruhi interaksi antara pasangan, orangtua dan anak maupun anak dengan anak. Kondisi stres dan depresi yang dimiliki seorang ibu ini sering membuat seorang ibu dari anak down syndrome
cenderung untuk mencari
dukungan sosial terutama dari orang-orang yang berada didekat dirinya (Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Dukungan sosial dapat bertindak untuk memfasilitasi krisis dan adaptasi terhadap perubahan dan dapat bertindak sebagai mediator stres dengan cara mempengaruhi bagaimana pengasuh (dalam hal ini ibu)
merasa mampu
mengatasi tuntutan dalam membesarkan anak down syndrome, dan keluarga yang melaporkan bahwa mereka memiliki dukungan sosial yang lebih tinggi umumnya memiliki tingkat stres yang rendah (Beckman, 1991, Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006). Jika sebuah keluarga memiliki dukungan sosial yang rendah akan memiliki sedikit orang yang mau memberikan perawatan sehingga akan membuat ibu sebagai pengasuh sedikit istirahat dan mendapatkan tekanan secara terus menerus dalam merawat anak mereka, yang menyebabkan peningkatan pesimis, dan resiko kelelahan (Freeman, 1990 dalam Gousmett, 2006). Dukungan sosial itu sendiri adalah suatu konstruksi multidimensi yang meliputi bantuan fisik dan instrumental, berbagi informasi dan sumber daya, dan menyediakan dukungan emosional dan psikologis (Dunst dalam Gousmett, 2006). Ditambahkan oleh Cobb ( Gousmett, 2006) bahwa dukungan sosial sebagai informasi bahwa seseorang percaya bahwa mereka diperhatikan dan dicintai, percaya bahwa mereka berharga dan dihargai dan percaya bahwa bagian dari anggota dan memiliki kewajiban bersama. Begitu juga dengan ibu dari anak down syndrome, jika ia mendapatkan dukungan sosial yang kuat dari keluarga maka ia akan merasa bahwa bukan hanya dia sendiri yang merasa bertanggungjawab terhadap perkembangan dan kebutuhan anaknya. Ia juga bisa mendapatkan waktu untuk beristirahat karena ada anggota keluarga yang lain yang bersedia untuk menggantikan dia mengasuh anak down syndrome itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Jika ada dukungan sosial maka dapat menyebabkan persepsi yang lebih positif terhadap lingkungan keluarga seperti fungsi keluarga lebih stabil, persepsi yang lebih positif terhadap anak dan terlepas dari diagnosis pada anak dan tingkat kecacatannya, menunjukkan bahwa tingkat dukungan sosial akan membuat ibu merasa kurang overprotecting. Studi ini juga menemukan bahwa dukungan sosial tidak hanya meringankan beberapa stres yang berkaitan dengan membesarkan anak disability (down syndrome), tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang lebih positif dan memungkinkan ibu sebagai pengasuh lebih melatih keterampilan dan memberikan kesempatan pada anak untuk lebih mandiri, hal ini yang menjelaskan mengapa dukungan sosial memberikan manfaat yang besar terhadap perkembangan anak down syndrome (Dunst, 1986 dan Seybold, 1991 dalam Gousmett, 2006). Seperti yang diungkapkan dari hasil wawancara dengan ibu MR (September, 2013) bahwa “pada awalnya saya menolak anak saya karena secara latar belakang saya memiliki pendidikan di bidang kesehatan, saya benar-benar menjaga kondisi kandungan saya, namun Tuhan memberikan saya anak seperti ini, saya menyalahkan Tuhan dan sering saya mengabaikan. Namun karena orangtua saya, suami dan keluarga suami saya meminta saya menerima dan mengikhlaskan ujian dari Tuhan, kemudian saya perlahan mulai bangkit dengan mencari banyak informasi mengenai anak DS. Kemudian bersama suami kami berlatih untuk terus belajar bagaimana mengajarkan perilaku anak kami. Hingga saat ini saya sering menjadi merasa bahagia karena anak kami telah memiliki banyak keterampilan dan sering berperilaku yang membuat saya terharu seperti dia selalu berdoa agar saya dan suami masuk surga dan tidak susah dilarang. Dukungan sosial dapat berasal dari berbagai bidang masyarakat, misalnya dari pasangan, kakek-nenek, anggota keluarga, tetangga, masyarakat dan lain-lain. Walaupun efek pada orangtua yang merawat anak down syndrome dipengaruhi oleh lingkungan sosial, keluarga, layanan dukungan yang tersedia dan sikap masyarakat (Hornby, 1994 dalam Gousmett, 2006 ) namun dalam penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
dukungan lebih difokuskan kepada dukungan sosial keluarga, dimana menurut teori ekologi Bronfenbrenner (dalam Gousmett, 2006) mengembangkan model ekologi menggunakan empat subsistem yaitu microsistem, mesosistem, exosistem dan macrosistem. Pada microsistem keluarga down syndrome terdiri dari orangtua, anak down syndrome dan saudara lainnya (anak lain dalam keluarga). Pemberian dukungan sosial dari anggota keluarga yang lain seperti pasangan, orangtua, saudara dan anak terhadap ibu sebagai pengasuh
ini
terkadang menjadi sulit dilakukan karena keluarga yang memiliki anak down syndrome juga sama dengan keluarga lain yang terdiri dari beberapa orang dan bukan hanya koleksi individu. Keluarga adalah sistem transaksi di mana semua anggota keluarga berinteraksi dengan dan mempengaruhi semua anggota lainnya, apa pun yang mempengaruhi salah satu bagian dari sistem ini dirasakan di seluruh sistem (Bryne, 1988). Begitu juga dengan keluarga yang memiliki anggota down syndrome, tiap anggota keluarga akan berbeda-beda reaksi dan cara mereka memperlakukan baik anak down syndrome itu sendiri ataupun orang lain yang menjadi bagian dari anggota keluarga tersebut. Hal ini karena anggota keluarga adalah individu yang bervariasi dalam karakteristik mereka. Setiap anggota keluarga memiliki seperangkat keistimewaan pribadi dan ini dapat mempengaruhi bagaimana tiap anggota keluarga bereaksi terhadap anggota keluarga yang disabilities atau bagaimana mereka merespon kebutuhan anggota keluarga yang lain dan bagaimana mereka mengatasi kesulitan (Byrne, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Namun terlepas dari masalah dan kesulitan yang akan ada di dalam keluarga yang memiliki anak down syndrome, keluarga seharusnya tetap mampu untuk melihat kemampuan atau kekuatan yang mereka miliki untuk mengatasi masalah mereka. Hal ini karena menurut para peneliti (Knussen & Cunningham, 1988 dalam Bryne, 1988) bahwa sebenarnya peristiwa dan pengalaman yang membuat stres akan memiliki konsekuensi yang positif maupun yang negatif, kesulitan yang dialami keluarga seharusnya tidak ditolak tetapi ditekankan untuk mencari sumber daya yang mereka miliki kemudian dikembangkan dalam rangka untuk membantu mereka mengatasi masalah. Sehingga layanan/bantuan yang diberikan pada keluarga berkaitan dengan cara-cara untuk menemukan sumber daya ini sehingga mereka menjadi saling mendukung untuk mengatasi masalah. Dari penjelasan diatas diketahui bahwa keluarga yang memiliki anak down syndrome walaupun dapat menimbulkan kesulitan dan penuh dengan pengalaman stres
haruslah mampu untuk menemukan kekuatan atau sumber daya yang
mereka miliki untuk mendapatkan konsekuensi positif dari masalah yang ada. Hal ini agar setiap anggota keluarga menjadi berupaya untuk saling memberikan dukungan, dan ibu tidak memandang bahwa hanya dia seorang yang mengasuh anak down syndrome. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan bantuan dan layanan dari pihak lain misalkan dari terapis keluarga agar menjadi keluarga yang sehat yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang ada. Seorang terapis keluarga tidak hanya menangani individu-individu di dalam keluarga namun juga memahami sistem di dalam sebuah keluarga dan resistensi keluarga untuk berubah. Lewin juga mengungkapkan bahwa diskusi
Universitas Sumatera Utara
kelompok lebih baik untuk mengubah cara berfikir dan perilaku seseorang dibanding sekedar memberikan instruksi atau mengajar. Mengajarkan seorang istri untuk berperilaku asertif misalnya tidak akan seefektif jika sang suami juga ikut dilibatkan dalam proses pengajaran tersebut, dengan melibatkan suami, sang istri akan memahami bagaimana reaksi suami terhadapnya dan dapat secara langsung menyadarkan suaminya agar memperlakukannya lebih setara (Nicholz, 2001). Untuk itu dalam membantu keluarga yang memiliki anak down syndrome mengatasi masalah dukungan yang dinilai ibu kurang diberikan kepadanya lebih sesuai jika menggunakan family therapy
berdasar pada pendekatan solution
focused family therapy. Ini dipilih karena pendekatan solution focused family therapy lebih menekankan kepada solusi dan kompetensi bukan masalah. Penekanan dalam terapi adalah tentang apa yang mungkin dan bisa berubah, daripada apa yang tidak mungkin. Model ini lebih berfokus pada mengambil langkah-langkah kecil untuk memulai perubahan dan bila proses terus berlangsung maka perubahan pada sub-sub yang lain juga akan terjadi (Carlson, 2005). Dengan kata lain terapi solution focused mencoba untuk mengajak klien fokus kepada hal-hal yang positif yang sebenarnya sudah dimiliki dan dimanfaatkannya untuk mengarah kepada perbaikan. Dengan demikian jika keluarga sudah mendapatkan terapi solution focused family therapy maka anggota keluarga lebih mengetahui tentang hal-hal apa yang seharusnya dilakukan agar ibu tidak lagi merasa bahwa hanya dia yang mengasuh dan bertanggungjawab terhadap anak down syndrome. Jika perubahan ini telah terjadi maka juga akan terjadi pola pengasuhan pada anak down syndrome itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri, yang semula overprotektif , ibu dan anggota keluarga lain menjadi lebih percaya diri untuk membantu anak down syndrome melatih keterampilan dan mengembangkan perilaku adaptifnya. Untuk itu yang menjadi tujuan penelitian ini
untuk melihat keefektifan
solution focused family therapy dalam upaya
meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan diatas didapatkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah solution focused family therapy efektif dalam upaya meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.3.1 Tujuan Umum Untuk menguji keefektifan solution focused family therapy dalam upaya meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk menguji keefektifan solution focused family therapy dalam upaya meningkatkan dukungan tangible terhadap ibu, dukungan appraisal terhadap ibu, dukungan self esteem terhadap ibu dan dukungan belonging terhadap ibu.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi psikologi klinis, khususnya psikologi klinis anak. Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan mengenai alternatif teknik terapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan dukungan keluarga terhadap ibu yang memiliki anak down syndrome yang pada akhirnya akan mendukung terapi lain yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan pada anak down syndrome. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada orangtua dan sekolah mengenai bagaimana menghadapi seorang anak berkebutuhan, khususnya anak down syndrome. Mendapatkan informasi hal-hal apa yang dapat dilakukan anggota keluarga dalam upaya membantu ibu meningkatkan kemampuan adaptif anak down syndrome dan juga membantu keluarga untuk mengatasi konisi stress keluarga yang memiliki anak down syndrome. Selain itu, modul pelaksanaan terapi yang disusun dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
1.5. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: Bab I
Pendahuluan: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan
Bab II
Tinjauan Pustaka: teori yang digunakan dalam penelitian yaitu dukungan sosial keluarga, down syndrome, family terapi
Bab III
Metode
penelitian:
pendekatan
pengumpulan data, subyek dan
yang
digunakan,
metode
lokasi penelitian, alat ukur
Universitas Sumatera Utara
penelitian, prosedur penelitian, tahap pelaksanaan, rancangan intervensi dan metode analisis data. Bab IV
Pelaksanaan dan Hasil Penelitian : pelaksanaan intervensi hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas penerapan terapi solution focused family therapy pada ibu yang memiliki anak down syndrome dan keterbatasan penelitian
Bab V
Kesimpulan dan Saran : pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.
Universitas Sumatera Utara