1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan salah satu dari kebutuhan manusia saat ini. Tingginya tingkat pendidikan dapat mendukung seseorang untuk mencapai citacita dan masa depan yang diharapkan. Pendidikan juga diperlukan sebagai pilar tegaknya bangsa, melalui pendidikanlah bangsa akan tegak, mampu menjaga martabat. Undang - undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 3 menyebutkan tentang tujuan pendidikan nasional yaitu bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Pendidikan dapat diperoleh melalui proses belajar, baik secara formal maupun secara informal, yaitu menggali informasi dari buku-buku, majalah, koran, televisi, internet, juga dari percobaan lapangan, laboratorium, seminar, diskusi dan tukar pengalaman dengan orang lain (www.radarbanjar.com). Setelah mendapatkan informasi, informasi tersebut dapat dikembangkan menjadi suatu kecakapan, kemudian kecakapan itu digunakan sebagai bekal hidup, dimana harus
Universitas Kristen Maranatha
2
benar-benar dimengerti dan betul-betul dipahami. Belajar merupakan jalan menuju kesuksesan hidup, dimana sebenarnya kesuksesan hidup itu selalu terbuka bagi individu yang mau bekerja keras tanpa kenal menyerah dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Dalam belajar, tentunya ada banyak hambatan yang dapat merintangi individu meraih apa yang dicita-citakan. Hambatan dalam belajar bisa berasal dari dalam maupun dari luar diri individu, tetapi semua itu tergantung pada motivasi yang dimiliki oleh individu yang kemudian akan mendorong individu tersebut untuk bisa mencapai apa yang dicita-citakannya. Motivasi dibutuhkan dalam belajar, karena peranan motivasi selama pembelajaran itu penting, motivasi dapat mempengaruhi apa, kapan, dan bagaimana individu belajar (Schunk, 1991b dalam Pintrich & Schunk 2002). Motivasi melatarbelakangi banyak perilaku manusia dan motivasi menghasilkan dorongan serta arah untuk bertindak. Motivasi dilihat sebagai sesuatu yang membuat individu tergugah, membuat individu tetap bergerak, dan membantu individu untuk menyelesaikan tugasnya. Motivasi penting dalam pencapaian goal akademik. Dengan memiliki motivasi yang tinggi, terutama dalam belajar maka individu dengan sendirinya akan terdorong untuk mengejar goal akademik yang ingin dicapai. Goal akademik bisa tercapai melalui achievement behavior (aktivitas fisik dan mental dalam konteks belajar) dan teori yang menjelaskannya adalah achievement goal orientation. Achievement goal orientation menggambarkan pola terintegrasi dari belief yang mengarahkan individu kepada cara pendekatan yang
Universitas Kristen Maranatha
3
berbeda dalam melibatkan diri, dan merespon situasi-situasi berprestasi (Ames, 1992b). Achievement goal orientation terbagi atas dua golongan besar, yaitu: mastery goal orientation dan performance goals orientation (Ames, 1992b), baik mastery goal orientation maupun performance goal orientation terbagi lagi menjadi approach dan avoidance. Jadi achievement goal orientation terdiri dari empat bentuk, yaitu mastery approach orientation, mastery avoidance orientation, performance approach orientation, dan performance avoidance orientation. Individu memiliki keempat achievement goal orientation ini dalam mencapai tiap goal akademik mereka, namun salah satunya lebih dominan sehingga yang lebih dominan diadopsi menjadi goal orientation individu dalam mencapai goal akademiknya. Fokus individu yang memiliki pola mastery goal orientation adalah belajar dan menguasai bahan, perkembangan yang dicapai dilihat dari tolok ukur pribadi dan saat menemui kegagalan, individu akan mengeluarkan usaha yang lebih keras untuk mengatasi kegagalan tersebut, sehingga pada akhirnya mampu mengolah kegagalan tersbut dan memperbaikinya. Fokus individu yang memiliki pola performance goal orientation adalah menggunakan kemampuan yang dimilikinya dan meraih prestasi yang lebih tinggi dibandingkan teman-teman lainnya, hasil dilihat dari perbandingan dengan orang lain dan saat menemui kegagalan, individu akan merasa tidak berdaya dan tidak mampu sehingga membuat individu tidak mau berusaha lagi dalam proses belajar (Ames, 1992b).
Universitas Kristen Maranatha
4
Siswa di SMAK “X“terbagi menjadi dua jurusan untuk kelas XI dan XII, yaitu jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di kelas XI jurusan IPA ini, terdapat dua jenis mata pelajaran, yaitu mata pelajaran IPA dan mata pelajaran umum. Mata pelajaran umum yaitu pelajaran yang sama diterapkan, baik kepada kelas IPA maupun IPS. Mata pelajaran IPA, terdiri dari matematika, fisika, kimia, dan biologi. Mata pelajaran tersebut tentunya memiliki derajat kesulitan masing-masing. Dalam penelitian ini, peneliti membahas tentang pelajaran fisika di kelas XI IPA. Di kelas XI IPA ini terdapat mata pelajaran IPA, salah satunya Fisika yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain. Dalam pelajaran fisika di kelas XI IPA ini, pelajaran yang diberikan tidak hanya berupa teori, tapi juga terdapat praktikum. Dalam pelajaran teori fisika, siswa diajarkan mengenai asal dari suatu kejadian fisika, rumus- rumus fisika, dan penerapan fisika dalam persoalan hitungan. Pada praktikum fisika, siswa diajarkan mengenai penerapan fisika dalam kehidupan sehari-hari secara langsung. Di pelajaran fisika ini juga, proses belajar dilakukan oleh tiga orang guru fisika. Dua guru pertama membahas teori, yaitu guru pertama membahas materi bab ganjil sedangkan guru kedua membahas materi bab genap. Kedua guru ini membahas materi pelajaran secara bergantian setiap harinya, sehingga jam belajar untuk pelajaran fisika pun menjadi dua kali lipat lebih banyak dari pelajaran lainnya yaitu 12 jam pelajaran dalam setiap minggunya. Dalam pelajaran teori fisika, proses belajar yang dilakukan adalah melalui penyampaian materi oleh guru dan pemberian soal-soal hitungan. Setiap siswa memiliki sebuah buku Latihan Kerja Siswa (LKS), setiap harinya, setiap
Universitas Kristen Maranatha
5
ada pelajaran fisika, maka guru akan memberikan tugas untuk dikerjakan dari buku LKS tersebut. Selain dikerjakan di sekolah setelah penyampaian materi, persoalan dalam LKS tersebut juga diberikan sebagai tugas Pekerjaan Rumah (PR). Guru ketiga adalah guru untuk pelajaran praktikum fisika, praktikum ini dilakukan dua minggu sekali. Di pelajaran fisika, siswa dituntut untuk dapat memahami, mengerti, dan mendalami materi yang diberikan, baik berupa pemaparan teori, proses berhitung, dan juga rumus fisika beserta turunannya. Siswa juga dituntut untuk memenuhi nilai ketuntasan mutlak pada pelajaran fisika. Nilai ketuntasan mutlak pelajaran fisika berbeda dengan pelajaran lainnya, seperti Bahasa Inggris, biologi, Bahasa Indonesia, dan beberapa pelajaran lainnya. Pelajaran tersebut memiliki nilai ketuntasan mutlak dengan nilai 60, sedangkan pelajaran fisika tuntutan nilai ketuntasan mutlaknya adalah 65. Dengan tuntutan nilai ketuntasan mutlak yang tinggi, tentunya harus diimbangi dengan proses belajar siswa untuk mencapai nilai ketuntasan mutlak tersebut. Nilai terakhir pelajaran fisika siswa kelas XI IPA mayoritas berada di bawah nilai ketuntasan mutlak. Hampir setiap ulangan, mereka mendapat nilai yang tidak sesuai nilai ketuntasan mutlak. Dari semua proses belajar dan tuntutan dalam belajar pada pelajaran fisika, tujuan yang ingin dicapai dari pelajaran fisika ini adalah siswa dapat mengerti, memahami, dan mendalami setiap materi pelajaran fisika. Siswa juga diharapkan dapat menerapkan rumus fisika sesuai teori yang ada dan dapat menghitungnya sesuai dengan proses berhitung dalam rumus tersebut. Siswa juga dapat menetapkan dan menerapkan rumus pada soal-soal yang berupa soal cerita. Selain
Universitas Kristen Maranatha
6
itu, tujuan lainnya adalah agar siswa dapat mengerjakan setiap soal latihan dan ulangan serta ujian, sehingga dapat mencapai nilai ketuntasan mutlak yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran fisika tersebut dan usaha untuk mencapaian goal akademik pada mata pelajaran fisika, siswa diharapkan untuk untuk mengadopsi mastery goal orientation. Siswa yang menggunakan mastery approach orientation diharapkan mampu mengerti, memahami, dan mendalami setiap materi pelajaran fisika, dapat menerapkan rumus fisika sesuai teori yang ada, dan dapat menghitungnya sesuai dengan proses berhitung dalam rumus tersebut, mencapai nilai ketuntasan mutlak. Siswa dengan mastery approach orientation belajar dan memahami setip materi untuk meningkatkan kemampuan dirinya sehingga memperoleh perkembangan pribadi. Siswa dengan mastery avoidance orientation, diharapkan juga mampu mengerti, memahami, dan mendalami setiap materi pelajaran fisika, dapat menerapkan rumus fisika sesuai teori yang ada, dan dapat menghitungnya sesuai dengan proses berhitung dalam rumus tersebut, mencapai nilai ketuntasan mutlak. Siswa dengan mastery approach orientation belajar dan memahami setip materi dengan standar tidak melakukan kesalahan dan menuntut kesempurnaan dalam pengerjaan soal fisika. Siswa yang mengadopsi performance approach orientation, goal akademiknya adalah berusaha mendapatkan nilai yang baik dan bukan berusaha untuk mendalami mata pelajaran fisika. Siswa yang mengadopsi performance goal orientation ini juga diharapkan mampu memperoleh prestasi yang baik di
Universitas Kristen Maranatha
7
kelas. Siswa ini belajar hanya untuk mendapatkan nilai yang terbaik dan menjadi yang terbaik diantara orang lain. Siswa yang mengadopsi performance avoidance orientation, goal akademiknya adalah menghindari terihat tidak mampu atau bodoh sehingga ia berusaha untuk mencapai nilai ketuntasan mutlak. Berdasarkan hasil survei awal terhadap 20 siswa kelas XI IPA SMAK ”X” terdapat 55%, yaitu 11 orang siswa yang menyatakan bahwa mereka berusaha untuk menguasai materi pelajaran fisika dengan alasan agar mereka dapat memahami materi secara mendalam, menunjukkan usaha yang kuat dalam memahami materi, tekun dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit, dan suka mencari tantangan, dengan mengasah diri mengerjakan soal-soal dalam jumlah lebih banyak dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Siswa juga aktif di dalam kelas, baik aktif bertanya maupun aktif dalam menjawab persoalan lisan dari gurunya. Siswa juga berlatih soal-soal untuk mendalami pemahaman dan melatih diri mengerjakan soal-soal dengan beragam jenis dan tingkat kesulitan. Siswa mempersiapkan diri dengan belajar setiap saat, saat ada ulangan ataupun tidak ada ulangan, yaitu dengan mengulang materi yang telah diajarkan saat pulang ke rumah. Perilaku di atas merupakan ciri perilaku yang menggambarkan mastery approach orientation. Siswa dengan mastery approach orientation diharapkan dapat memperoleh nilai yang tinggi yaitu mencapai nilai ketuntasan mutlak, nilai di atas nilai ketuntasan mutlak dan nilai di atas rata-rata kelas dalam pelajaran fisika, baik dalam ulangan ataupun ujian, dapat menyelesaikan tugas dengan hasil yang baik dan selesai tepat pada waktunya.
Universitas Kristen Maranatha
8
Terdapat 30%, yaitu 6 orang siswa yang menyatakan bahwa mereka berusaha untuk memahami materi pelajaran fisika sebagai alasan agar tidak melakukan kesalahan dalam belajar dan mengerjakan soal dan menghindari nilai di bawah nilai ketuntasan mutlak, sehingga membuat mereka berusaha untuk memahami materi, memiliki kriteria yang ditentukan oleh diri sendiri untuk tidak melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas. Siswa juga mampu menguasai materi dan mengerjakan tugas dengan baik, namun semua itu dilakukan agar siswa tidak mendapatkan hukuman atau nilai yang kurang baik. Siswa belajar baik pada saat ada ulangan atau ujian dan berlatih soal saat ada pekerjaan rumah, maupun saat tidak ada ujian atau ulangan serta tugas. Perilaku-perilaku tersebut merupakan ciri perilaku yang menggambarkan mastery avoidance orientation. Siswa dengan mastery avoidance orientation diharapkan juga untuk mendapatkan nilai yang tinggi dalam pelajaran fisika di kelasnya. Terdapat pula 10 % , yaitu 2 orang siswa yang menyatakan bahwa mereka ingin mencapai nilai yang terbaik dalam mata pelajaran fisika dan ingin mengalahkan teman sekelas lainnya, ingin menonjolkan diri dan terlihat pandai, kurang tekun dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit, dan tidak suka mencari tantangan. Siswa juga
mampu memahami materi yang ada agar dapat
mengerjakan soal ulangan dan ujian. Siswa ini juga mengerjakan tugas, mengerjakan soal ulangan, mengerjakan pekerjaan rumah agar dapat mengalahkan teman lainnya yang ia anggap sebagai saingannya. Perilaku-perilaku tersebut menggambarkan performance approach orientation.
Universitas Kristen Maranatha
9
Terdapat 5 %, yaitu 1 orang siswa menyatakan bahwa mereka belajar agar mereka tidak terlihat bodoh atau tidak mampu dalam pelajaran fisika, tidak ingin mendapatkan nilai terendah di dalam kelas sehingga mereka berusaha untuk mendapatkan nilai yang baik, menghindari tantangan dalam tugas sehingga lebih memilih tugas yang ringan. Perilaku tersebut merupakan ciri perilaku yang menggambarkan performance avoidance orientation. Dari 20 siswa , didapatkan bahwa ada 11 orang siswa memiliki ciri perilaku yang menggambarkan mastery approach orientation, 6 orang siswa memiliki ciri perilaku yang menggambarkan mastery avoidance orientation, selain itu ada 2 orang siswa memiliki ciri perilaku yang menggambarkan performance approach orientation, dan ada 1 orang siswa memiliki ciri perilaku yang menggambarkan performance avoidance orientation. Padahal, sebenarnya setiap siswa perlu mengadopsi ciri-ciri perilaku yang menggambarkan mastery approach orientation dalam mempelajari pelajaran fisika. Dengan mengadopsi mastery approach orientation, diharapkan siswa dapat mencapai
goal
akademiknya pada mata pelajaran fisika. Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Tentang Achievement Goal Orientation Dalam Pelajaran Fisika Pada Siswa Kelas XI IPA di SMAK “X” Bandung”
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH Dari penelitian ini, ingin diketahui Achievement Goal Orientation dalam pelajaran fisika pada siswa kelas XI IPA di SMAK “X” Bandung
Universitas Kristen Maranatha
10
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1.3.1
Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui Achievement Goal Orientation siswa pada Pelajaran Fisika di kelas XI IPA SMAK “X” Bandung
1.3.2
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk Achievement Goal Orientation yang dimiliki siswa kelas XI IPA pada Pelajaran Fisika di SMAK “X” Bandung.
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberi informasi bagi ilmu Psikologi, terutama Psikologi Pendidikan dalam hal achievement goal orientation siswa pada pelajaran Fisika di kelas XI IPA Memberikan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai achievement goal orientation siswa pada pelajaran Fisika di kelas XI IPA
1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi bagi siswa kelas XI IPA SMAK “X” Bandung mengenai achievement goal orientation mereka, sehingga dapat menjadi
Universitas Kristen Maranatha
11
bahan untuk pengenalan dan pengembangan diri dalam mencapai tujuan belajar yang diharapkan Memberikan informasi kepada guru pelajaran fisika kelas XI IPA SMAK “X” Bandung mengenai achievement goal orientation pada pelajaran Fisika di kelas XI IPA serta faktor-faktor yang menunjang tercapainya achievement goal orientation pada pelajaran Fisika di kelas XI IPA agar dapat membantu siswa untuk menigkatkan motivasinya dalam mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
1.5 KERANGKA PIKIR Pelajar kelas XI IPA memiliki goal akademik masing-masing dalam pelajaran fisika dan untuk mencapai goal akademiknya, siswa melakukan achievement behavior. Achievement behavior adalah aktivitas fisik maupun mental yang dilakukan siswa untuk bisa mencapai goal akademiknya. Teori goal orientation
berusaha
untuk
menjelaskan
achievement
behavior
siswa.
Achievement goal orientation atau goal orientation menggambarkan pola terintegrasi dari belief siswa yang mengarahkannya kepada cara pendekatan yang berbeda, melibatkan diri, dan merespon terhadap situasi-situasi berprestasi (Ames, 1992b), keyakinan yang mencerminkan alasan mengapa siswa mendekati dan terlibat dalam tugas-tugas akademik. Achievement goal orientation dari Ames, terbagi menjadi mastery goal dan performance goal. Mastery goal orientation dihubungkan dengan sesuatu yang positif, pola atribusi yang adaptif. Mastery goal orientation menunjukkan
Universitas Kristen Maranatha
12
seperti apakah usaha yang dikeluarkan oleh siswa untuk menguasai suatu kemampuan atau konsep tertentu. Siswa dengan mastery goal orientation akan berusaha untuk memahami dan mendalami suatu materi,bekerja dengan keras, bertahan dalam menghadapi kesulitan dan frustrasi, akan mengambil resiko dan mencoba segala sesuatu yang baru, semua hal di atas adalah usaha untuk menguasai materi (Dweck and Leggett, 1988; Ames and Archer, 1987 dalam Pintrich & Schunk 2002). Mastery goal orientation terbagi lagi menjadi mastery approach orientation dan mastery avoidance orientation (Elliot, 1999 dalam Pintrich & Schunk 2002). Mastery approach orientation memiliki fokus untuk menguasai materi pelajaran fisika dan dalam belajar. Standar yang digunakan dalam mastery approach orientation adalah memperoleh perkembangan pribadi, pemahaman yang mendalam mengenai materi Fisika, dan berkembang dalam pengerjaan tugas Fisika dan jika mengalami kegagalan, akan menganggap kegagalan senagai proses belajar. Fokus mastery avoidance orientation adalah untuk menghindari melakukan kesalahan dalam penguasaan materi Fisika dan standar yang digunakan dalam mastery avoidance orientation adalah tidak melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas maupun mempelajari materi Fisika. Baik approach maupun avoidance mastery goal orientation bertujuan untuk menguasai materi dan tugas Fisika, namun standar yang digunakan berbeda jika siswa dengan mastery approach orientation ingin menguasai materi Fisika untuk memperoleh perkembangan pribadi dan memperoleh pemahaman yang mendalam, sebaliknya siswa dengan mastery avoidance orientation ingin menguasai materi Fisika agar
Universitas Kristen Maranatha
13
tidak melakukan kesalahan, yang dicari adalah kesempurnaan dalam mengerjakan tugas dan mema mi materi bukan memperoleh perkembangan pribadi. Performance goal orientation berfokus pada kompetensi atau kemampuan dan bagaimana kemampuan akan menilai secara relatif kepada hal yang lainnya (Ames, 1992b). Fokus performance approach orientation adalah mendapatkan nilai yang terbaik di kelas dan berusaha menjadi yang terbaik dengan membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Siswa lebih memilih untuk mengerjakan tugas sesuai dengan yang bisa lakukannya, dan siswa tidak mau untuk mengambil resiko serta ingin melakukan sesuatu tersebut lebih baik dari siswa lain. Goal akademik bagi siswa dengan performance goal orientation adalah mendapatkan nilai yang terbaik dan menjadi yang terbaik diantara temantemannya dalam pelajaran Fisika. Performance goal orientation juga terbagi atas performance approach orientation dan performance avoidance orientation (Elliot, Pintrich & Schunk 2002). Fokus siswa dengan performance approach orientation adalah untuk menjadi yang terbaik, mengalahkan siswa yang lainnya dalam hal nilai, dan menjadi yang terpandai dalam Fisika. Standar yang digunakan oleh performace approach orientation adalah standar normatif dengan ingin mendapatkan nilai yang tinggi sehingga dapat menduduki peringkat tertinggi dikelas. Fokus siswa dengan performance avoidance orientation adalah untuk menghindari terlihat tidak mampu dalam pelajaran Fisika dan menghindari terlihat bodoh jika dibandingkan dengan siswa yang lainnya. Standar dalam performance avoidance orientation yaitu tidak mendapatkan nilai yang buruk sehingga tidak mendapatkan
Universitas Kristen Maranatha
14
peringkat terbawah dikelas dan menghindari penilaian buruk dari siswa yang lainnya. Mastery goal orientation dan performance goal orientation dapat dibedakan menurut tujuh karakteristik yang dimilikinya, yaitu: value of learning, effort and ability, error/ failure, attribution, feedback, persistence/ ketekunan, challenge (Ames, 1992b). Karakteristik pertama, value of learning, pada siswa dengan mastery goal orientation didasarkan pada motivasi instrinsik, yaitu adanya keinginan dari dalam diri siswa untuk mempelajari pelajaran Fisika dan goal yang ingin dicapai adalah meningkatkan pembelajaran dalam pelajaran Fisika. Pada siswa dengan mastery goal orientation, mereka memaknai belajar sebagai suatu keinginan dari dalam diri untuk memenuhi perkembangan pribadi, sehingga mereka belajar untuk mendapatkan pendalaman pemahaman. Siswa dengan mastery avoidance orientation memaknai belajar sebagai sarana untuk kesempurnaan dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas guna menghindari kesalahan pengerjaan tugas. Pada siswa dengan performance approach orientation, mereka memaknai belajar sebagai saarana untuk mendapatkan nilai yang terbaik di kelas. Siswa dengan performance avoidance orientation, mereka memaknai belajar dengan alasan agar mereka mendapatkan dapat emencapai nilai ketuntasan mutlak sehingga tidak terlihat kurang pandai di kelas. Karakteristik yang kedua adalah effort and ability, siswa dengan mastery approach orientation menyakini bahwa usaha dan kemampuan saling berhubungan, dan usaha yang dikeluarkan untuk menguasai pelajaran Fisika akan
Universitas Kristen Maranatha
15
semakin meningkatkan kemampuan mereka dalam pelajaran Fisika, sedangkan siswa dengan mastery avoidance orientation, menyakini bahwa usaha dan kemampuan saling berhubungan, dan usaha yang dikeluarkan untuk menguasai pelajaran Fisika akan semakin meningkatkan kemampuan untuk menghindari kesalahan dalam mengerjakan persoalan fisika. Siswa dengan performance goal orientation meyakini bahwa usaha yang dikeluarkan menunjukkan kurangnya kemampuan yang dimiliki sehingga mereka harus belajar. Karakteristik yang ketiga adalah error/ failure, siswa dengan mastery approach orientation berfikir saat mereka gagal berarti strategi belajar yang mereka gunakan kurang efektif. Siswa dengan mastery avoidance orientation berpikir bahwa saat mereka mengalami kegagalan, strategi belajar yang digunakan kurang efektif dan dapat menyebabkan hasil yang tidak sempurna dalam pengerjaan persoalan fisika. Siswa dengan performance approach orientation saat menemui kegagalan maka dalam diri mereka muncul ketakutan karena kegagalan yang didapat berarti kemampuan mereka miliki rendah. Siswa dengan performance avoidance orientation saat menemui kegagalan maka dalam diri mereka muncul ketakutan karena kegagalan yang didapat berarti kemampuan mereka miliki rendah dan merasa menjadi yang paling kurang pandai di kelas. Karakteristik keempat adalah attribution, karakteristik ini dapat dilihat pada siswa dengan mastery approach orientation akan menggunakan usaha atau strategi dibandingkan kemampuan yang dimiliki untuk memperoleh pamahaman fisika, sedangkan siswa dengan mastery avoidance orientation akan menggunakan usaha atau strategi dibandingkan kemampuan yang dimiliki untuk menghindari
Universitas Kristen Maranatha
16
kesalahan dalam pengerjaan persoalan fisika. Siswa dengan performance goal orientation akan lebih sering menggunakan kemampuan yang dimiliki dibandingkan dengan usaha atau strategi. Karakteristik kelima adalah feedback, siswa dengan mastery approach orientation menggunakan feedback yang didapat dari guru untuk menilai proses yang dilaluinya dan feedback tersebut digunakan sebagai informasi untuk memperbaiki diri sehingga dapat meningkatkan proses pemahaman pembelajaran mereka; sedangkan siswa dengan mastery avoidance orientation menggunakan feedback yang didapat dari guru untuk menilai proses yang dilaluinya dan feedback tersebut digunakan sebagai informasi untuk memperbaiki diri sehingga dapatmengurangi kesalahan dalam pengerjaan persoalan fisika. Siswa dengan performance approach orientation menggunakan feedback yang didapat sebagai alat perbandingan diri dengan siswa yang lain untuk melihat nilai tertainggi di kelasnya,
sedangkan
siswa
dengan
performance
avoidance
orientation
menggunakan feedback yang didapat sebagai alat perbandingan diri dengan siswa yang lain agar tidak terlihat paling bodoh di kelas. Karakteristik keenam adalah persistence atau ketekunan, siswa dengan mastery approach orientation memiliki ketekunan yang tinggi dalam menghadapi tugas yang sulit, mencari solusi terbaik dan menyelesaikan tugas tersebut demi mendapatkan pemahaman yang mendalam; sedangkan siswa dengan mastery avoidance orientation memiliki ketekunan yang tinggi dalam menghadapi tugas yang sulit, mencari solusi terbaik dan menyelesaikan tugas tersebut demi menghindari kesalahan dalam pengerjaan soal. siswa dengan performance
Universitas Kristen Maranatha
17
approach orientation memiliki ketekunan yang rendah dalam menghadapi tugas namun tetap berusaha untuk mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya. siswa dengan performance avoidance orientation memiliki ketekunan yang rendah dalam menghadapi tugas yang sulit sehingga lebih mudah menyerah dan hanya berusaha untuk mencapai nilai ketuntasan mutlak agar terlihat tidak bodoh di kelas. Karakteristik yang terakhir adalah challenge, siswa dengan mastery approach orientation suka mencari tantangan didalam tugas untuk mendapatkan pendalaman pemahaman dan siswa dengan mastery avoidance orientation suka mencari tantangan di dalam tugas untuk mendapatkan pengetahuan dalam pengerjaan soal agar tidak melakukan kesalahan. Siswa dengan performance goal performance approach orientation menghindari resiko dan tantangan didalam tugas, namun ia tetap berusaha mendapatkan nilai tertinggi di kelas, dan siswa dengan performance avoidance orientation menghinadari tantangan agar jika melakukan kesalahan tidak terlihat bodoh di kelas. Pemilihan goal orientation dipengaruhi secara tidak langsung oleh dua hal, yaitu: pertama faktor personal yang mencakup usia dan jenis kelamin (Ames, 1992b); yang kedua adalah faktor kontekstual kelas yang mencakup desain tugas (Task), distribusi otoritas (Authority), pengakuan terhadap siswa (Recognition), pengaturan
kelompok
(Grouping),
evaluasi
latihan
(Evaluation),
dan
pengalokasian waktu (Time) (Eipstein,1989 dalam Pintrich & Schunk 2002). Faktor personal yang pertama yaitu usia. Usia mempengaruhi siswa untuk memilih goal orientation, karena usia mempengaruhi perkembangan secara fisik
Universitas Kristen Maranatha
18
maupun psikis yang telah dicapai oleh siswa meliputi: kemampuan konseptual, kecerdasan, usaha. Faktor usia juga mempengaruhi penerapan dari entity theories of intelligence. Siswa kelas XI IPA rata-rata berusia 15-17 tahun dan rentang usia tersebut sudah mengacu kepada mengacu kepada entity theories of intelligence, bahwa kemampuan yang mereka miliki sudah menetap, stabil, dan tidak akan berubah. Jika siswa memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan mereka maka goal orientation siswa lebih mengarah kepada mastery goal orientation dimana siswa akan mencari tantangan dan memiliki ketekunan yang tinggi dalam menghadapi tugas-tugas Fisika. Sebaliknya jika siswa memiliki keyakinan yang rendah terhadap kemampuan mereka maka goal orientation siswa lebih mengarah kepada performance goal orientation dimana siswa akan menjadi tidak berdaya, menghindari tantangan, dan memiliki ketekunan yang rendah dalam menghadapi tugas-tugas Fisika (Dweck and E. Leggett, 1988). Menurut Santrock, siswa kelas XI IPA berada pada masa remaja akhir. Rentang usia ini merupakan usia produktif dimana remaja dapat membentuk identitas diri, mengambil keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa depannya, melakukan penalaran deduktif hipotesis, yaitu remaja memiliki kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis atau dugaan terbaik mengenai cara memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan mengenai pola mana yang diterapkan dalam pemecahan masalah. Faktor personal yang kedua adalah jenis kelamin, menurut Dweck (1990), siswi lebih mengacu kepada performance goal orientation dibandingkan mastery goal orientation. Siswi juga berdasarkan stereotype-nya akan lebih cenderung
Universitas Kristen Maranatha
19
mengarah kepada mastery goal orientation, sedangkan siswa akan lebih cenderung mengarah kepada performance goal orientation (Henderson & Dweck, 1990 dalam Pintrich & Schunk 2002). siswi dalam belajar biasanya didasari oleh motivasi instrinsik dimana lebih mengacu kepada mastery goal orientation yaitu untuk mempelajari secara mendalam materi yang diajarkan dalam mata pelajaranFisikaa (Meece dan Holt, 1993; Nolen, 1988) sedangkan siswa dalam belajar lebih dipengaruhi oleh motivasi ekstrinsik yaitu ingin mendapatkan nilai yang terbaik dan mengalahkan siswa yang lainnya, hal ini tentunya lebih mengacu kepada performance goal orientation (Rusillo and Arias, 2004; Anderman and Anderman, 1999; Midgley and Urdan, 1996). Faktor kedua yang mempengaruhi pemilihan achievement goal orientation adalah kontekstual kelas yang terdiri atas enam dimensi. Dimensi yang pertama adalah tugas dan kegiatan belajar mengajar. Tugas dan kegiatan belajar (Task) yang pertama meliputi jumlah variasi dalam tugas. Jumlah variasi yang diberikan didalam tugas Fisika dapat mempertahankan ketertarikan siswa untuk bisa terus mengerjakan tugas tanpa merasa jenuh sehingga akan mendorong siswa untuk mengadopsi mastery goal orientation (Marshall and Weinstein, 1984; Nicholls, 1989; Risenholtz and Simpson, 1984 dalam Pintrich & Schunk 2002). Tugas dan pekerjaan rumah dalam mata pelajaran Fisika yang diberikan kepada siswa disarankan agar lebih beragam, tidak selalu soal hitungan tetapi bisa juga berupa uji coba percobaan fisika. Berikutnya adalah bagaimana tugas dikenalkan dan dipresentasikan kepada siswa, jika guru dapat membantu siswa untuk melihat arti perlunya belajar untuk kepentingan diri sendiri akan membuat siswa mengadopsi
Universitas Kristen Maranatha
20
mastery goal orientation (Brophy, 1987; Meece, 1991 dalam Pintrich & Schunk 2002). Misalnya guru membantu siswa untuk melihat pentingnya menguasai mata pelajaran Fisika, yang dapat sangat dekat dalam kehidupan sehari-hari. Jika siswa sudah dapat menyadari betapa pentingnya penguasaan materi Fisikaa bagi dirinya sendiri, maka dengan sendirinya siswa akan mengadopsi mastery goal orientation. Sedangkan, jika tugas dan pekerjaan rumah dalam mata pelajaran Fisika yang diberikan kepada siswa bersifat monoton dan tidak beragam, serta guru kurang dapat membantu siswa untuk melihat arti perlunya belajar untuk kepentingan diri sendiri akan mengarahkan siswa mengadopsi performance goal orientation Terakhir dari dimensi tugas dan kegiatan belajar adalah tingkat kesulitan tugas, tugas yang diberikan kepada siswa berada pada tingkatan moderat agar menantang bagi siswa (Ames, 1992b; Pintrich & Schunk 2002). Seperti dalam pembuatan tugas, siswa tidak secara serta merta diminta untuk mengerjakan soal hitungan tetapi terlebih dahulu diberikan teori mengenai suatu materi dan bagaimana cara untuk mengerjakan soal tersebut sehingga siswa dapat mengerjakan soal tersebut. Tingkat kesulitan tugas yang diberikan sesuai dengan kemampuan siswa akan lebih mengarahkan siswa untuk mengadopsi mastery goal orientation, sedangkan jika tingkat kesulitan tugas yang diberikan tidak sesuai atau bahkan kebih rendah dengan kemampuan siswa, maka akan lebih mengarahkan siswa untuk mengadopsi performance goal orientation. Dimensi kedua adalah distribusi otoritas (Authority) dari guru kepada siswa, disini siswa diberi wewenang dan kesempatan oleh guru untuk menentukan
Universitas Kristen Maranatha
21
pilihan sehingga akan meningkatkan ketertarikan siswa dalam mengerjakan tugas (Ames, 1992b). Misalnya: siswa dapat berpartisipasi dalam menentukan keputusan untuk kelasnya, seperti mengatur kapan jadwal ulangan akan diadakan; hal ini masih dibawah pengawasan guru jadi apabila waktu yang ditentukan siswa tidak masuk akal guru dapat menegurnya. Jadi siswa diberikan kesempatan untuk mengatur prioritas dalam penyelesaian tugas yang diberikan oleh guru sesuai dengan waktu yang telah ditentukan bersama. Tipe kesempatan seperti ini akan memperlengkapi siswa dengan pilihan yang nyata dan menyemangati mereka untuk mengembangkan tanggung jawab pribadi atas pembelajaran mereka sendiri, sehingga akan membuat siswa akan lebih terarah untuk mengadopsikepada mastery goal orientation. Siswa juga dapat mengadopsi performance goal orientation jika siswa kurang diberikan kesempatan untuk mengatur prioritas dalam penyelesaian tugas yang diberikan oleh guru sesuai dengan waktu yang telah ditentukan bersama. Dimensi yang ketiga adalah pengakuan terhadap siswa (Recognition), pengakuan berhubungan dengan pemberian hadiah berupa dorongan positif dan pujian dari guru kepada siswa, yang mana memiliki peranan yang penting untuk memotivasi siswa dalam belajar. Ames (1992b) merekomendasikan guru untuk mengenali usaha dan kemajuan yang berhasil dicapai oleh siswa dalam mata pelajaran Fisika, serta hasil akhir yang didapatkan. Pemberian hadiah atau pengakuan berdasarkan pada pembelajaran dan kemajuan individual yang dicapai oleh siswa, bukan perbandingan normatif. Memberikan siswa kesempatan untuk mendapatkan pangakuan itu akan membantu untuk menghasilkan mastery goal
Universitas Kristen Maranatha
22
orientation. Jika beberapa siswa merasa bahwa mereka tidak akan pernah bisa menghasilkan pangakuan baik dari guru maupun teman, maka mereka akan menjadi kurang tertarik dan termotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, hal ini akan membhuat siswa mengadopsi performance goal orientatio. Pemberian hadiah atau pengakuan bisa berdasarkan tidak hanya pada keseluruhan hasil prestasi ataupun nilai, tetapi pada kemajuan dan usaha (Brophy, 1998). Saat siswa mencapai suatu kemajuan tertentu, baik dalam pencapaian nilai ujian atau peningkatan dalam pengerjaan soal sehingga tidak banyak melakukan kesalahan, guru disarankan untuk memberikan pujian dan dorongan untuk mengembangkan mastery goal orientation pada diri siswa. Dimensi yang keempat adalah pengaturan kelompok (Grouping), pengaturan kelompok berfokus pada kemampuan siswa untuk bekerja secara efektif dengan teman sekelompoknya untuk mengembangkan atmosfer dimana perbedaan dalam kemampuan tidak dapat disamakan dengan perbedaan dalam motivasi. Maksudnya adalah siswa dengan kemampuan yang lebih baik belum tentu memiliki motivasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan siswa dengan kemampuan rata-rata, bisa saja motivasinya lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang kemampuannya rata-rata. Bekerja dalam kelompok memungkinkan siswa untuk berasumsi untuk lebih bertanggung jawab atas pembelajaran mereka. Selain penggunaan dari kelompok kecil, budaya kelas secara umum bisa didesain untuk mengembangkan kelompok belajar yang menekankan kelas sebagai suatu kesatuan dalam belajar bersama (Pintrich & Schunk 2002). Tipe kelas dengan budaya yang seperti ini, termasuk norma-norma dan ekspektasi tentang kolaborasi
Universitas Kristen Maranatha
23
diantara siswa dan guru, bukan kompetisi memicu atau mengembangkan diadopsinya mastery goal dan fokus pada belajar. (Brophy, 1998) Namun, tipe kelas yang tidak memiliki suasana belajar yang mendukung dan budaya kelas tidak didesain untuk mengembangkan kelompok belajar akan mengembangkan siswa untuk mengadopsi performance goal orientation. Dimensi yang kelima adalah evaluasi (Evaluation), mempublikasikan hasil dari tugas sebagai informasi pembandingan dengan kelompok atau kelas, misalnya membacakan nilai ujian atau nilai kuis di depan kelas, menempelkan nilai ulangan atai ujian di papan pengumuman akan semakin memacu siswa untuk mengadopsi performance goal orientation (Ames, 1992b). Penempatan posisi dalam kelas yang membedakan siswa berdasarkan tingkat kemampuannya juga akan memacu siswa untuk mengadopsi performance goal orientation (Reuman, Pintrich & Schunk 2002). Ames (1992b) menyarankan bahwa umpan balik diberikan untuk mengkomunikasikan bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar dan bahwa usaha adalah sesuatu yang penting, sehingga akan mendorong siswa untuk mengadopsi mastery goal orientation. Saat kriteria penilaian lebih mengukur peningkatan individual, kemajuan, dan penguasaan; dibandingkan dengan mengukur perbandingan normatif, maka siswa akan lebih fokus dalam belajar dan lebih mengacu kepada mastery goal orientation dibandingkan untuk berkompetisi dan mengadopsi performance goal orientation. Maka kriteria evaluasi yang digunakan oleh guru disarankan untuk lebih mengacu pada kemajuan yang dicapai oleh siswa, misalnya kemajuan siswa didalam mengerjakan tugas yang makin membaik. Pemberian feedback diusahakan agar
Universitas Kristen Maranatha
24
siswa tidak merasa dituntut untuk semakin baik dalam mengerjakan tugas saja tetapi siswa diberikan pemahaman bahwa kesalahan yang mereka lakukan merupakan salah satu bagian dalam belajar. Jika guru dapat melakukan hal di atas maka akan semakin mengarahkan siswa untuk mengadopsi mastery goal orientation. Dimensi yang keenam adalah pengalokasian waktu (Time), Waktu meliputi kelayakkan dari beban kerja, langkah dari instruksi, dan alokasi waktu untuk pemenuhan tugas (Epstein, 1989). Waktu berhubungan dekat dengan desain dari tugas, tingkat kesulitan tugas disesuaikan dengan waktu yang diberikan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas tersebut. Strategi yang efektif untuk memunculkan mastery goal orientation adalah dengan menambahkan waktu bagi siswa yang mengalami masalah dalam menyelesaikan tugas dan mengijinkan siswa tersebut untuk merencanakan rencana kerja mereka dan time table untuk kemajuan siswa sendiri. untuk mandiri dan mengatur jadwal kerja seharusnya mengembangkan mastery goal orientation. Strategi di atas mengurangi kecemasan yang dirasakan siswa mengenai pembelajaran dan bisa meningkatkan persepsi tentang kompetensinya dan motivasi. Jika pemberian waktu untuk mengalami masalah dalam menyelesaikan tugas kurang serta kurangnya izin siswa tersebut untuk merencanakan rencana kerja mereka dan time table untuk kemajuan siswa sendiri akan mengarahkan siswa untuk mengadopsi performance goal orientation. Penjelasan dari uraian di atas, dapat dilihat dari bagan kerangka pikir sebagai berikut:
Universitas Kristen Maranatha
25
Faktor personal: 1. Usia 2. Jenis kelamin Faktor kontekstual: 1. Task Tugas dan kegiatan belajar 2. Authority Distribusi dari otoritas dan tanggung jawab 3. Recognition Pengakuan 4. Grouping Pengelompokkan 5. Evaluation Evaluasi latihan dan pemberian hadiah 6. Time Waktu
Pelajar kelas XI IPA di SMAK ”X”
Mastery Approach Orientation
Mastery Avoidance Orientation
Goal Orientation
Performance Approach Orientation
Karakteristik Goal Orientation: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Performance Avoidance Orientation
Value of learning Effort and ability Error/ failure Attribution Feedback Persisten/ ketekunan Challenge
1.5 Bagan Kerangka Pemikiran
Universitas Kristen Maranatha
26
1.6 ASUMSI Achievement goal orientation yang dimiliki siswa kelas XI IPA di SMAK ”X” Bandung berbeda-beda. Faktor personal dan faktor kontekstual memiliki pengaruh terhadap pemilihan achievement goal orientation pada siswa kelas XI IPA.
Universitas Kristen Maranatha