BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Praktik korupsi pada masa sekarang mengalami perkembangan dengan munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Tapi bagaimana jika pemberian itu berasal dari seseorang yang memiliki kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat tersebut? Dan bagaimana jika nilai dari pemberian hadiah tersebut diatas nilai kewajaran? Apakah pemberian hadiah tersebut tidak akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitas dalam pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga dapat menguntungkan pihak lain atau diri sendiri? Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian gratifikasi.
Universitas Sumatera Utara
Sesungguhnya pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada
seseorang
terkait
kapasitasnya sebagai pejabat
atau
penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru. Tradisi Islam sendiri mewariskan kepada kita sejak sejarah mengenai hal tersebut. Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.” 1
Ditilik secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun, seiring perkembangan waktu, budaya, dan pola hidup, pemberian yang acap disebut gratifikasi mulai mengalami dualisme makna.
1
http://hukumham. Info/index.php?option=com, content & &id=1085&itemid=43, Jakarta, HukumHam. Info, 2 November 2009, pkl 12.15
task=view
Universitas Sumatera Utara
Tetangga kita, misalnya, suatu hari memberikan semangkuk sup kambing lengkap dengan nasi dan es doger kepada kita. Pemberian tersebut dimaksudkan dalam rangka silaturahim dan menjalin keakraban dengan lingkungan sekitar. Ini adalah model gratifikasi yang diperbolehkan, karena sama sekali tidak ada pamrih dari pemberian tersebut.
Coba bandingkan dengan model gratifikasi berikut: seorang Direktur perusahaan mengirimkan parcel, voucher belanja, hadiah wisata, diskon spesial, atau uang komisi kepada seorang pejabat pemerintahan yang memiliki wewenang atas kebijakan pengadaan barang dan jasa. Tidak ada hubungan darah antara keduanya. Juga mereka berdua tidak memiliki hubungan pertemanan kecuali berdasarkan kapasitas jabatan masing-masing. Lalu, betulkah pemberian tersebut dapat dikatakan tanpa pamrih? 2
Gratifikasi pada cerita model kedua diakomodasi oleh undang-undang sebagai salah satu modus korupsi. Pemberian kepada pejabat pemerintah atau penyelenggara negara selalu disertai dengan pengharapan untuk memperoleh kemudahan mencapai kesepakatan dengan pemerintah, umumnya dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Di sini, pihak yang diuntungkan di kemudian hari adalah pemberi hadiah. Pada saat tender, misalnya, peserta tender yang pernah memberikan gratifikasi tentu memiliki poin lebih atau bahkan tertinggi dibanding peserta tender yang lain.
Praktik korupsi dalam bentuk gratifikasi ternyata setua peradaban manusia. Budaya tersebut tidak hanya terjadi pada masa kepemerintahan modern seperti 2
http://id.wikipedia.org/wiki/gratifikasi,jakarta, 2 november 2009, pkl. 12.15.
Universitas Sumatera Utara
saat ini, namun juga dapat ditemukan napak tilasnya pada zaman kenabian, khususnya pada awal perkembangan peradaban Islam. Disuatu kesempatan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi Muhammad bersabda: “Siapa saja yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi.” 3
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Kenyataannya seseorang yang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih.
4
Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi 3 4
ibid http://id.wikipedia.org/wiki/gratifikasi, sie-infokum Ditama BinBangKum, Jakarta, 2
November 2009, Pkl 12.30.
Universitas Sumatera Utara
pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik, bahkan di kalangan privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun dalam menjalankan tugas pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi yang berat (denda uang atau pidana kurungan atau penjara) bagi yang melanggar dan harus dikenakan kepada kedua pihak (pemberi dan penerima). Oleh karena itu para pembentuk undang-undang berusaha dengan gigih membuat jaring hukum yang sangat rapat agar tidak ada celah-celah kemungkinan bebasnya pegawai negeri dari jaring hukum dalam menerima setiap pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Oleh karena itu UU pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat sedemikian rupa dan mengatur semua hal yang menyangkut tentang penyelewengan Keuangan Negara sampai pegawai negeri yang menerima uang dengan maksud jahat diatur juga dalam UU ini. Pada akhirnya pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam UU No. 20 Tahun 2001 dimana undang-undang tersebut merubah sekaligus melengkapi
UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 pengaturan mengenai gratifikasi belum ada. Jadi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan perjalanan wisata dan fasilitas lainnya, baik yang
Universitas Sumatera Utara
diterima didalam atau luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik. 5 Oleh karena luasnya ruang lingkup gratifikasi ini dan mengigat sulitnya untuk membuktikan bahwa pemberian itu adalah korupsi atau tidak maka perlu memahami tentang tindak pidana korupsi gratifikasi ini lebih dalam lagi. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis mengambil topik gratifikasi sebagai topik skripsi penulis, yaitu suatu “Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 JO UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya dari skripsi ini yaitu : 1. Apakah latar belakang pengaturan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimanakah pengaturan gratifikasi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
5
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , (Bandung: PT. Aditya Bakti, 2002), hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimakah pengaturan sistem pembuktian terhadap gratifikasi dalam KUHAP dan UU No. 31 Tahun 2001 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan a. Untuk mengetahui latar belakang dimasukkannya gratifikasi itu sebagai salah satu tindak pidana korupsi di dalam UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Untuk mengetahui pengaturan gratifikasi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terhadap gratifikasi dalam KUHAP dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Manfaat Penulisan a. Manfaat Teoritis Untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang pengetahuan ilmu hukum pidana pada umumnya dan tentang tindak pidana menerima gratifikasi khususnya. Sehingga
Universitas Sumatera Utara
diharapkan skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal tersebut. b. Manfaat Praktis 1. Untuk memberikan
kontribusi dalam sosialisasi tentang tindak
pidana korupsi gratifikasi kepada msyarakat dan mahasiswa yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana gratifikasi di Indonesia. 2. Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga Negara yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana korupsi baik eksekutif, legislatif dan yudikatif agar dapat diperoleh solusi dalam menangani kasus-kasus korupsi yang timbul.
D. Keaslian Penulisan Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun media elektronik. Skripsi ini merupakan hasil karya yang belum pernah diangkat oleh mahasiswa sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data yang terdaftar disekretariat jurusan pidana. Judul-judul yang berkaitan dengan korupsi antara lain : Peranan BPK dalam Tindak Pidana Korupsi (Nadhirawaty/0002221103), Kajian Hukum Dampak Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perekonomian Negara (Intan Puspita Dewi/020222113), Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri dan Upaya Penanggulangannya (Ahmad Azhari/030200054), Penerapan Hukum Universitas Sumatera Utara
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut, Analisis Tindak Pidana Korupsi oleh Karyawan PT. Bank Mandiri (Tomita J. Sitompul/040200221), Peradilan
In
Absentia
didalam
Tindak
Pidana
Korupsi
(Rudi
Chandra/040200009), Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi DPRD Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah periode 1999-2004 (Dewi Y. Saragih/050200244), Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Kebijakan Kriminal di Indonesia (Pitriadi/950200123), Penerapan Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korupsi dan Upaya Pencegahannya (Chari ES/970200064), Pembuktian Terbalik Dalam UU NO. 3 Tahun 1971 (Zulpadli/920200257). Judul-judul yang ada tentang korupsi tersebut tidak ada memiliki persamaan dengan rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini yaitu tentang Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Oleh sebab itu skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan aturanaturan ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi A. Pengertian Korupsi Ensiklopedia Indonesia
menyebutkan
“korupsi”.
Menurut
Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption = penyuapan” atau “corruptus” (Webster student dictionary : 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata “corrumpere” suatu kata Latin yang lebih tua.
Universitas Sumatera Utara
Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti : Inggris yaitu “corruption”, Prancis yaitu “corruption” dan Belanda yaitu “corruptie”. Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. 6 Arti harfiah dari kata korupsi itu adalah: a. kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster dictionary ; “corruption (L. corruptio) The act of corrupting, or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter; moral perversion; depravity; perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a dabased from of a word” Kehidupan yang buruk didalam penjara misalnya, sering disebut kehidupan yang korup, yang segala kejahatan ada disana. b. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. c. 1. Korup (busuk, suka menerima uang suap/uang sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya) 2. korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya) 3. koruptor (orang yang korupsi) 7
6
Andi Hamzah , Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4. 7
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 8-9.
Universitas Sumatera Utara
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dan golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya. Secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas: 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 2. Korupsi, busuk, rusak suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum yang dimaksud curruptie adalah korupsi ; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. 8
8
Ibid, hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financials manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan social, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). 9 Kata “corruptio” itu luas sekali artinya, namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan seperti yang disebut dalam Ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977). “corruptio = omkoping, noemt men het verschijnsel dat ambtenaren of andere personen in dienst der openbare zaak (zie
9
Ibid, hlm 9
Universitas Sumatera Utara
echter hieronder voor zogenaamd niet ambtelijk corruptie) zicht laten omkopen.” Di Belanda telah ada undang-undang (wet van 23 1967, stb 565) yang
mengancam pidana terhadap penyuapan yang diterima bukan oleh
pegawai negeri. 10 Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulakan oleh poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya” Makna
korupsi
berkembang
dari
waku
kewaktu
sebagai
pencerminan kehidupan masyarakat dari sisi negatif. Semula istilah korupsi merupakan istilah yang banyak dipakai dalam ilmu politik, kemudian menjadi sorotan berbagai disiplin ilmu. John A Gardiner dan David J. Olson dalam bukunya “theft ot The City”, reading on corruption in Urban Amerika, berusaha memberikan arti umum tentang korupsi dari berbagai sumber dengan klasifikasi. B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum Positif Pengertian tindak pidana korupsi dengan tegas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 TAHUN 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan 10
Andi Hamzah, loc.cit
Universitas Sumatera Utara
paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (2) Dalam hal tidak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. 11 Adapun elemen dari Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 ini adalah: a. Secara melawan hukum Yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum formil maupum materil. Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan Undang-Undang. Sedangkan melawan hukum secara materil adalah bahwa meskipun perbuatan itu tidak ada diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun adalah melawan hukum apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma
kehidupan
social
dalam
masyarakat,
seperti
bertentangan dengan adat-istiadat, kebiasaan, moral, nilai agama, dan sebagainya, maka perbuatan itu dapat dipidana (penjelasan pasal 2). 12 Pengertian Perbuatan melawan hukum adalah: 1. Melanggar undang-undang 2. Melanggar hak subjektif orang lain, seperti: a) Kebebasan b) Kehormatan c) Nama baik d) Dan lain-lain 11
Tim Redaksi Fokus media, Himpunan peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Fokusmedia,2008) hlm. 87. 12
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002 ), hlm. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
3. Hak-hak atas kekayaan, seperti: a) Hak-hak kebendaan b) Hak mutlak lainnya 4. Bertentangan dengan kewajiban hokum sipembuat : a) Kewajiban-kewajiban yang tertulis b) Kewajiban yang tidak tertulis 5. Bertentangan dengan kesusilaan 6. Bertentangan dengan kepatutan, seperti: a) Perbuatan yang sangat merugikan orang lain tanpa kepentigan yang layak b) Perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, yang menimbulkan bahaya terhadap orang lain, dimana menurut manusia normal hal itu harus diperhatikan. b. Melakukan perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Korporasi Adapun perbuatan yang dilakukan oleh elemen ini adalah: 1. Memperkaya diri sendiri Artinya bahwa dengan perbuatan melawan hokum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 2. Memperkaya orang lain Maksudnya akibat perbuatan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
Universitas Sumatera Utara
3. Memperkaya korporasi Atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atan kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hokum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999). 13
c. Dapat merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara Dari rumusan elemen ini diketahui bahwa tindak pidana korupsi adalah delik formil, artinya akibat itu tidak perlu sudah terjadi. Akan tetapi, apabila perbuatan itu dapat/mungkin merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan. Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. 2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara Daerah, yayasan, badan hukum,dan perusahaan yang menyertakan modal
13
Ibid, hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi (recidivist), atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dam moneter, maka pidana mati dapat dijatuhkan. Ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 14
14
Ibid, hlm. 31-33 Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Gratifikasi Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut: 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiaannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum: 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 15 Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 16 Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada tidak dijelaskan sama
15
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 259-260. 16
Darwan Prinst op.cit ,hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya. 2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif,
maksudnya
tidak
bisa
mempersalahkan
dan
mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana paua pemberi grastifikasi menurut Pasal 12B ini. 3. Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12B ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 12 huruf a, b, dan c. 17
3. Subjek Gratifikasi Berdasarkan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah: a. Pegawai Negeri Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi :
17
Adami chazawi, op.cit, hlm. 261-262.
Universitas Sumatera Utara
1. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian; 2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. 18 b. Penyelenggara Negara Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: 1. pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri;
18
Tim Redaksi Fokusmedia, op.cit, hlm. 86-87.
Universitas Sumatera Utara
4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 19 Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi Sebagai White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih)
Desakan untuk menciptakan good governance di birokrasi merupakan tuntutan universal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian kriminologi menempatkan korupsi secara umum sebagai white collar criminal atau kejahatan kerah putih. Hal ini dikarenakan salah satu pihak yang terlibat atau keduanya berhubungan dengan pekerjaan atau profesinya. Demikian juga dengan tindak pidana Gratifikasi sebagaimana yang ada diatur dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang tergolong sebagai white collar Crime, mengingat kejahatan ini berkembang dikalangan birokrat, yaitu para pegawai negeri dan penyelenggara negara.
Sesuai dengan karakteristik white collar crime, yang memang susah dilacak karena biasanya pelaku adalah orang yang memiliki status sosial tinggi (pejabat), memiliki kepandaian, berkaitan dengan pekerjaannya, yang dengannya 19
Ibid, hlm. 121-123.
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan pelaku bisa menyembunyikan bukti. Selain itu kerugian yang diakibatkan oleh perilaku korupsi biasanya tidak dengan mudah dan cepat dirasakan oleh korban. Bandingkan dengan pencurian, perampokan atau pembunuhan.
Dictionary of Justice Data Terminology mendefinisikan white collar crime sebagai non violent crime dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang dilakukan dengan menipu, oleh orang yang yang memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha, professional, semi professional dan menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaannya.
Ciri khusus white collar crime yang membedakan dengan kejahatan lain:
1. Pelaku sulit diidentifikasi. Sehingga sulit dilacak. 2. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga membutuhkan keahlian tertentu. 3. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya kepada atasan dikenakan pasal pembiaran (omission), sementara bawahan pasal pelaksana (commission). Tetapi biasanya “kaki berkorban untuk untuk melindungi kepala”. 4. Proses victimisasi (korban) juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan. 5. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. 6. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau hukuman yang ringan. 7. Pelaku biasnya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Jika ditelusuri
secara cermat, korupsi asal usulnya merupakan kejahatan kerah putih (White Collar Crime). Universitas Sumatera Utara
Pakar kriminolog, Sutherland menyebutkan kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki tiga dimensi perilaku manusia yang berkaitan. Pertama, suatu kejahatan dilakukan seseorang yang memiliki status sosial tinggi (tidak perlu apakah ia menduduki pekerjaan atau tidak). Dimensi kedua, kejahatan dilakukan mengatasnamakan suatu organisasi. Terakhir, kejahatan dilakukan seseorang bertentangan dengan kepentingan organisasi. Korupsi, sebagai kejahatan kerah putih tergolong suatu kejahatan yang melibatkan tindakan kollektif, juga dilakukan dalam modus kejahatan lintas negara.
20
Kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu.
Hazel
Croal
mendefinisikan
kejahatan
kerah
putih
sebagai
penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah ditetpkan oleh hukum.
Umumnya, skandal kejahatan kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih terjadi dalam lingkungan tertutup, yang memungkinkan terjadinya sistem patronase. Kejahatan kerah putih sungguh memasung dan membodohi rakyat. Rakyat yang tidak mengerti politik akhirnya pasrah,
tetapi
kepasrahan
ini
justru
semakin
membuat
para
pejabat
menggagahinya.
White collar crime dibedakan dari blue collar crime. Jika istilah white collar crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara, blue collar crime dipakai untuk menyebut semua skandal kejahatan yang terjadi di tingkat bawah dengan 20
http://www.antikorupsi.org/indo/content/view/13643/6, 8 februari 2009, pkl 19.00.
Universitas Sumatera Utara
kualitas dan kuantitas rendah. Namun, kita juga harus tahu, kejahatan di tingkat bawah juga sebuah trickle down effect. Maka, jika kita mau memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di instansi pemerintahan, kita harus mulai dari white collar crime, bukan dari blue collar crime.
Di negara kita, yang namanya kejahatan kerah putih sudah menjadi berita biasa yang sering didengar, dilihat, dan dialami. Kejahatan kerah putih di negara yang tidak pernah jera merampas uang rakyat, menindas, dan mendurhakai rakyat diglorifikasi dengan lemahnya tampilan penegak hukum di Tanah Air.
Kejahatan kerah putih yang endemik dan sistemik di negara kita adalah produk dari lemahnya tampilan penegak hukum. Tidak terlalu salah jika kita mengatakan, kejahatan kerah putih di negara ini adalah karakter dari bangsa yang begitu permisif dan kompromis. Hukum dengan mudah diperjualbelikan dengan harga kompromi. Rakyat tetap terpuruk dalam kawah krisis dan kemiskinan yang terus melilit hidupnya. Kejahatan kerah putih berjalan sendiri dan menetapkan kebijakan sejauh dapat memberikan peluang kepadanya untuk terus melestarikan eksistensinya.
Salah satu pokok mengapa kejahatan kerah putih di negara kita yang tampil dengan banyak wajah sehingga sulit diberantas adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Kedaulatan hanya terwujud lima tahun sekali dalam momentum pemilu. Di lain pihak tidak ada empati politik dari para politisi dan pemegang kekuasaan pada negara membuat kejahatan kerah putih terus berparade dan meneriakkan slogan suci dari mulut dan hatinya yang kotor.
Universitas Sumatera Utara
4. Objek Gratifikasi
Dilihat dari penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, maka disebutkan objek gratifikasi adalah: pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 21
Selain itu terdapat juga kasus-kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi yaitu:
a. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif. b. Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/ kelulusan. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada pelaku. c. Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah. d. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. e. Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan. 21
Ibid, hlm. 81.
Universitas Sumatera Utara
f. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal. g. Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran. h. Pengurusan
KTP/SIM/Paspor
yang
"dipercepat"
dengan
uang
tambahan. i.
Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.
j.
Pengurusan ijin yang dipersulit.
F. Metodologi Penelitian 1. Metode Pendekatan Penulisan skripsi ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research). Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data
Universitas Sumatera Utara
yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). Metode menjawab permasalahan dalam skripsi ini digunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi gratifikasi. 2. Sumber dan Pengumpulan Data Materi dalam penelitian ini diambil dari data sekunder
yang
dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research). Bahan hukum Library Research, mengacu pada 3 bahan hukum; a. Bahan Hukum Primer, yaitu Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku, majalah,artikel c. Bahan Hukum Tertier, yaitu pendukung lain, misalnya kamus, buku-buku ensiklopedia,, Studi kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundangundangan dan bahan-bahan yang lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. 3. Analisis Data
Universitas Sumatera Utara
Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisa kualitatif yaitu data yang diporoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisis kualitatif adalah menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah: BAB I
PENDAHULUAN, Berisikan pendahuluan yang didalamnya
diuraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi ini, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan skripsi,
keaslian
penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai defenisi dan pengertian-pengertian dari beberapa istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut dan terakhir diuraikan sistematika penulisan. BAB II
LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI
SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, Berisikan bagaimanakah sejarah pengaturan tindak pidana gratifikasi itu dalam KUHP, dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga dalam bab ini dijelaskan landasan pengaturan gratifikasi dalam UU No. 20 tahun 2001. BAB
III
PENGATURAN
TINDAK PIDANA
MENERIMA
GRATIFIKASI DALAM UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001
TENTANG
PEMBERANTASAN
TINDAK
PIDANA
KORUPSI,
Menjelaskan bagaimanakah bentuk-bentuk gratifikasi, bagaimana unsur-unsur delik gratifikasi, dan bagaimanakah batasan gratifikasi. BAB IV SISTEM PEMBUKTIAN GRATIFIKASI DALAM KUHAP DAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, Berisikan bagaimanakah bentuk pertanggung jawaban dalam tindak pidana gratifikasi, bagaimana pengaturan sistem pembuktian tindak pidana gratifikasi dalam KUHAP dan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. BAB V PENUTUP, Berisikan kesimpulan dari skripsi ini dan saran-saran untuk topik yang diangkat dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara