BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi dan globalisasi telah mengkonstruksikan laki-laki yang dulu dikenal sebagai sosok yang selalu tampak macho, berotot, berewokan, garang, bahkan penampilannya pun seadanya (simple), menjadi laki-laki yang gemar ‗berdandan‘1, merawat diri, dan sangat memperhatikan penampilan. Hegemoni pesepakbola David Beckham yang notabene menjadi ikon metroseksual dunia telah menciptakan gaya penampilan baru bagi laki-laki sekarang. Dewasa ini, lakilaki bukan hanya yang berpenampilan macho, berotot, berewokan, dan garang saja, tetapi muncul fenomena metroseksual, yaitu laki-laki yang senang berdandan, merawat diri mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan sangat memperhatikan penampilan. Kendati demikian, ada juga metroseksual yang senang berdandan (merawat diri) tetapi juga tetap berpenampilan macho. Berdandan memang tidak lagi menjadi dominasi perempuan, karena lakilaki berdandan—yang dikenal dengan istilah laki-laki metroseksual—sudah semakin umum dijumpai di masyarakat. Sebutan laki-laki metroseksual yang awalnya tidak mendapat sambutan yang baik sekarang sebutan tersebut justru menjadi kebanggaan, terutama karena eksistensi laki-laki metroseksual semakin diterima secara sosial. Laki-laki metroseksual awalnya dikenal sebagai laki-laki mapan yang tinggal di perkotaan dan senang menghabiskan sejumlah uang untuk 1
Berdandan adalah suatu kegiatan untuk membuat penampilan agar terlihat lebih indah dan rapi, serta
menarik.
1
mendukung penampilannya, sehingga muncul pendapat bahwa metroseksualitas lekat dengan kehidupan kelas atas dan dicirikan dengan laki-laki yang suka berdandan dan merawat diri. Keberadaan laki-laki metroseksual sebenarnya sudah muncul sejak 1960-an, namun istilah laki-laki metroseksual baru mencuat lima tahun terakhir, terutama di kalangan selebritis yang berkecimpung dalam dunia hiburan (http://errykurniawati.wordpress.com/ diakses pada tanggal 30 Januari 2014 pukul 17.00 WIB). Penampilan menjadi modal utama bagi mereka untuk tetap bertahan dalam persaingan di kalangan selebritis. Metroseksual yang dulunya hanya populer di kalangan pekerja seni (artis) dan kalangan menengah, kini tidak hanya populer di kalangan artis atau kalangan menengah ke atas saja, tetapi sudah merambah di kalangan para eksekutif muda, pegawai kantoran, sales promotion boys (SPB), bahkan mahasiswa. Gemar melakukan perawatan hingga penggunaan produk-produk untuk menunjang penampilan mereka juga bukan hanya dilakukan oleh metroseksual yang sudah bekerja, tetapi juga dilakukan oleh para metroseksual yang masih mahasiswa yang notabene kebanyakan masih bergantung pada orang tua. Di kota-kota besar, seperti Yogyakarta misalnya, banyak ditemui para metroseksual yang hobi merawat diri, bahkan di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta kaum metroseksual yang masih duduk di bangku kuliah (mahasiswa) ini sangat banyak. Metroseksual yang masih mahasiswa ini masih bergantung pada kiriman orang tua, meskipun ada diantara mereka yang bekerja sampingan sebagai MC, penyanyi, model, dll, tetapi mereka lebih mengandalkan kiriman uang bulanan
2
dari orang tua untuk membeli produk-produk perawatan tubuh dan melakukan perawatan di klinik-klinik kecantikan ataupun dokter spesialis. Mahasiswa metroseksual dengan mahasiswa (yang) tidak metroseksual tentunya tidak sama, terutama dalam masalah penampilan. Mahasiswa (yang) tidak metroseksual bila ke kampus untuk kuliah, bertemu dosen, sekedar mengurus administrasi, atau hadir di berbagai kesempatan, tampilan mereka pun seadanya, bahkan terkadang mereka tidak mandi dan hanya cuci muka dan gosok gigi saja. Mereka juga cenderung cuek terhadap penampilan mereka, baju yang digunakan pasti itu-itu saja dan malas memadumadankan pakaian yang matching. Hal tersebut berbeda dengan mahasiswa metroseksual. Mahasiswa metroseksual sangat perhatian terhadap penampilan mereka, mulai ujung rambut hingga ujung kaki, memadumadankan pakaian yang matching dikenakan, memakai pakaian yang sedang hits dan bermerek, berlama-lama di depan kaca untuk berdandan, memastikan penampilan mereka sudah rapi, dan tentu saja harus wangi. Mereka selalu berpenampilan maksimal di setiap kesempatan. Bagi mereka berpenampilan menarik merupakan salah satu kunci kepercayaan diri. Berkembangnya fenomena metroseksual memunculkan banyak tempat-tempat perawatan tubuh dan produkproduk penunjang untuk merawat tubuh mereka, terutama di kota pelajar, Yogyakarta. Dalam bukunya The Metrosexual Guide to Style, penulis Michael Flocker (2003) mendeskripsikan pergeseran perilaku laki-laki dewasa ini. Jika dulu hanya kaum homoseksual yang memperhatikan penampilan (seperti cara berpakaian, pergi ke salon atau klinik kecantikan dan latihan rutin di tempat-tempat kebugaran 3
untuk membentuk badan), sementara laki-laki heteroseksual cenderung cuek dan tidak peduli dengan penampilan, kini laki-laki heteroseksual mulai senang berhias diri di depan cermin dan melakukan berbagai upaya untuk tampil keren, berpotongan rambut dengan rapi dan membentuk badan yang ideal. Mereka tidak segan pergi ke tempat-tempat yang juga banyak dikunjungi kaum hawa, seperti klinik kecantikan untuk keperluan penampilan mereka. Laki-laki metroseksual saat ini bebas dalam mengekspresikan dirinya. Ini dipicu nilai-nilai baru yang mewarnai gaya hidup masyarakat Indonesia terhadap laki-laki yang tinggal di perkotaan. Artinya, telah terjadi pergeseran orientasi nilai budaya pada jenis kegiatan, minat, maupun pendapat yang lebih mementingkan penampilan secara fisik, glamour, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa keberadaan gaya hidup tersebut menimbulkan kesan kekinian. Para laki-laki yang tinggal di kota besar menjadi bagian penikmat dari layanan salon atau klinik kecantikan yang mulai menjamur di kota-kota besar, yang sebelumnya tempat para perempuan memanjakan diri. Laki-laki makin peduli terhadap perawatan diri dan tidak malu pergi ke klinik kecantikan untuk facial, peeling atau pun berdandan untuk memaksimalkan penampilan. Gambaran mengenai gaya hidup metroseksual adalah suka berdandan, merawat diri, betah berjam-jam di salon maupun klinik kecantikan untuk creambath, facial, peeling, dsb. Selain itu, mereka juga tertarik kepada dunia fashion. Oleh karena itu, mereka selalu mengikuti perkembangan dunia fashion terkini di majalah-majalah mode laki-laki, selalu mengikuti trend, model rambut, baju, celana, gadget, dsb.
4
Tidak beda dengan perempuan, laki-laki metroseksual juga senang belanja di mall atau distro dan sangat senang membicarakan sesuatu yang baru yang ada di lingkungan sekitarnya. Didasari kesamaan karakter, sosialisasi pun kerap dilakukan, bahkan mejadi sesuatu yang wajib bagi mereka. Gambaran mengenai gaya hidup metroseksual tersebut dikarenakan ada beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, tuntutan pekerjaan atau berbagai kegiatan, dan faktor ekonomi. Oleh sebab itu, tak heran bila sekarang banyak dijumpai mall maupun distro yang menyediakan keperluan khusus untuk kaum laki-laki (khususnya metroseksual).
Keberadaan metroseksual di Yogyakarta didukung dengan berbagai fasilitas yang tersedia, misalnya saja klinik-klinik kecantikan, dokter spesialis, barber shop, mall, disto, fitness center, dll., bahkan Yogyakarta menjadi pusat perawatan kecantikan yang tumbuh dengan pesat, misalnya saja Larissa, Natasha, London Beauty Center, dsb. Faktor pendorong banyaknya jenis klinik kecantikan ini di Yogyakarta dikarenakan banyaknya lembaga pendidikan yang mencapai ratusan sekolah, sehingga klinik kecantikan hadir untuk mereka para mahasiswa (baik perempuan maupun laki-laki) yang selalu merawat tubuh dan menjaga penampilannya. Selain menjamurnya klinik kecantikan di Yogyakarta, pusat kebugaran atau gym juga menjamur di Yogyakarta terutama di kalangan remaja. Salah satu faktor pendorong menjamurnya pusat kebugaran ini adalah keinginan untuk membentuk tubuh yang proposional dan atletis, sehingga banyak kaum remaja terutama laki-laki datang ke pusat kebugaran untuk membentuk tubuh yang mereka inginkan, supaya badan mereka lebih bugar, proposional, berotot, six packs, dan tentu saja menarik perhatian.
5
Laki-laki pada umumnya telah dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial dan budaya sebagai sosok yang jantan, perkasa, tidak terlalu memperdulikan penampilan, tidak suka dengan rumitnya mode, ke salon atau ke skin care, dan semua kegiatan yang ‗biasanya‘ dilakukan para perempuan. Masyarakat juga telah memiliki asumsi bahwa yang seharusnya berdandan adalah seorang perempuan. Lalu, bagaimana bila seorang laki-laki sangat memperhatikan penampilannya dan merawat tubuhnya mulai dari kepala hingga ujung kaki? Fenomena ini adalah contoh bahwa pada suatu tempat dan waktu tertentu pemikiran manusia tentang suatu nilai yang bahkan telah diyakini dan tertanam dalam di pikirannya dapat berubah, namun untuk mengubah apa yang telah tertanam dalam pikiran manusia tersebut membutuhkan proses evolusi pikiran yang cukup lama. Hal ini juga bisa dikatakan sebuah perubahan sosial, yaitu bergesernya struktur dan nilai-nilai yang terdapat pada suatu masyarakat. Munculnya laki-laki metroseksual adalah sebuah fenomena yang menunjukkan tentang perubahan pemikiran manusia pada suatu nilai yang sudah lama ada.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka muncul masalah yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Citra atau image apa yang ingin dibentuk oleh laki-laki metroseksual? 2. Bagaimana perilaku laki-laki metroseksual untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap tubuh, khusunya penampilan?
6
3. Produk-produk kimia apa saja yang mereka pakai untuk menunjang penampilan mereka? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui citra atau image apa yang ingin dibentuk laki-laki metroseksual. Selain itu, juga untuk memperoleh gambaran mengenai bagaimana perilaku laki-laki metroseksual untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap tubuh, khususnya penampilan dan mengetahui produkproduk apa yang mereka pakai untuk mendukung penampilannya.
D. Kajian Pustaka Penelitian tentang laki-laki metroseksual telah banyak dilakukan sebab keberadaan laki-laki metroseksual ini menarik untuk dikaji, seperti tulisan Cons. Tri Handoko mengenai metroseksualitas dalam iklan sebagai wacana gaya hidup postmodern (2004). Dalam tulisannya, Tri Handoko membahas tentang metroseksual dalam iklan. Menurutnya, Metroseksual merupakan produk dari hegemonitas konsumsi—iklan—gaya hidup. Gaya hidup metroseksual ini tumbuh dan berkembang tidak lepas dari adanya sinergi antara produsen ‗ideologi‘ budaya postmodern dalam ‗kerjasamanya‘ dengan media serta iklan untuk menciptakan kebutuhan baru pada kaum laki-laki. Dalam iklan-iklan tersebut, sosok metroseksual dihadirkan untuk menawarkan produk dari gaya hidup konsumtif, tubuh (cita rasa), dan citra. Jelasnya iklan tidak lagi menjual fungsionalitas produk namun juga telah dikaitkan dengan tampilan permukaan dan gaya, sehingga saat ini identitas metroseksual menjadi tidak hanya sekedar trend namun telah menjadi
7
sebuah identitas sosial yang baru. Selain itu, Keberadaan kelompok laki-laki metroseksual membuka pangsa pasar baru bagi perusahaan yang selama ini hanya memasarkan produk untuk perawatan wajah, kulit dan tubuh serta jasa penunjang bagi segmen perempuan saja, tetapi juga bagi segmen laki-laki. Penelitian lain tentang metroseksual adalah mengenai perilaku konsumtif pada laki-laki metroseksual serta pendekatan dan strategi yang digunakan untuk mempengaruhinya yang ditulis oleh Wahyu Raharjo dan Betty Yuliani Silalahi (2007). Dalam tulisannya tersebut dijelaskan bahwa laki-laki metroseksual memang tidak dapat dipisahkan dengan penampilan, karena kebutuhan utamanya adalah
untuk
menunjang
penampilan.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
menyebabkan perilaku konsumtif. Oleh karenanya, laki-laki metroseksual menjadi target market yang potensial bagi para produser. Selebihnya, dalam tulisan tersebut lebih membahas tentang bagaimana produser menggunakan strategi dan pendekatan untuk mempengaruhi perilaku konsumtif laki-laki metroseksual. Hani Valentina (2012) dalam penelitiannya mengenai pemanfaatan gaya hidup laki-laki metroseksual untuk efektivitas strategi periklanan menjelaskan mengenai strategi periklanan yang efektif untuk mampu menarik minat beli terhadap produk perawatan rambut, wajah, kulit, tubuh yang ditujukan kepada segmen laki-laki.. Menurutnya, strategi periklanan yang efektif dapat diciptakan melalui pesan iklan dalam salah satu gaya eksekusi, yaitu dengan menampilkan gaya hidup, yaitu gaya eksekusi yang memperlihatkan bagaimana produk bisa sesuai dengan gaya hidup tertentu. Gaya hidup yang menurutnya cocok untuk dapat meningkatkan efektivitas iklan adalah gaya hidup para laki-laki
8
metroseksual, sebab mereka dipandang sebagai sosok yang sangat memperhatikan penampilannya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menarik perhatian suatu produk. Selain itu, Nobertus Ribut Santoso (2012) juga melakukan penelitian mengenai hegemoni metroseksual dalam iklan grooming di majalah FHM (For Him Magazine) Indonesia. Dalam penelitiannya tersebut dijelaskan bahwa majalah FHM Indonesia telah mendorong laki-laki untuk menjadi metroseksual yang lebih sadar akan tubuh (sadar akan fashion, perawatan tubuh, perawatan wajah, dan kesehatan), dan penampilan dengan memakai produk-produk kosmetik yang dipromosikan dengan citra metroseksual modern serta mengkonstruksi lakilaki untuk lebih berani mengeksplorasi sisi feminimnya, yang merupakan adopsi dari prototipe laki-laki feminim, dengan merawat wajah dan rambut seperti yang telah dilakukan oleh perempuan. Begitu pula mengenai penelitian yang dilakukan oleh Anggun Mego Putri (2013). Putri meneliti mengenai kematangan emosi dengan perilaku konsumtif pada laki-laki metroseksual. Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif dan sangat signifikan antara kematangan emosi dengan perilaku konsumtif pada laki-laki metroseksual. Lakilaki metroseksual akan memiliki perilaku konsumtif yang rendah ketika mereka memiliki kematangan emosi yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Dicky Hudiandy (2010) juga melakukan penelitian mengenai metroseksual. Pada skripsinya yang berjudul Interaksi Simbolik Laki-laki Metroseksual di Kota
9
Bandung: Suatu Fenomenologi Interaksi Simbolik Laki-laki Metroseksual pada Sosok Sales Promotion Boys di Kota Bandung. Dalam penelitiannya, Hudiandy mencoba untuk menunjukkan mengenai interaksi simbolik laki-laki metroseksual pada sosok Sales Promotion Boys (SPB). Ia juga menunjukkan bahwa laki-laki metroseksual pada sosok SPB merupakan pribadi yang menarik dan ingin mendapatkan penghargaan dari orang lain melalui simbol-simbol yang mereka miliki. Secara umum, penelitian tersebut lebih berfokus pada bagaimana laki-laki metroseksual dalam kaitan dengan produk dan gambaran yang diiklankan media, gaya hidup, konsumsi, hegemonitas, serta interaksi simbolik. Penelitian ini ingin menambah
khasanah
pengetahuan
tentang
metroseksual
dengan
lebih
dititikberatkan pada citra diri dan produk-produk kimia yang digunakan serta perawatan yang dilakukan oleh laki-laki metroseksual untuk menunjang penampilan mereka. Tidak berbeda dengan perempuan, laki-laki metroseksual juga berupaya untuk merawat tampilan dan bagian tubuhnya, baik di rumah maupun di klinik kecantikan.
E. Kerangka Pemikiran Tubuh manusia merupakan wujud keberadaan manusia secara fisik, namun juga
menjadi
representasi
kehidupan
non-fisik
manusia.
Seperti
yang
diungkapkan Berger dan Luckmann bahwa ―the physical object of the human body has a special role as a common ground of overlap between collective-sosial and individual-psychological level of experience‖ (Polhemus, 1978:1). Tubuh
10
manusia sebagai interseksi juga tercermin dalam kajian-kajiannya yang banyak menggunakan konsep dikotomi, misalnya perspektif studi tubuh yang terdiri atas fisik dan mental, diskursus tubuh profan – sakral, serta normalitas – abnormalitas tubuh. Hal tersebut, menunjukan bahwa tubuh manusia merupakan perwujudan eksistensi manusia di alam semesta, baik sebagai entitas fisik maupun sebagai entitas non-fisik dalam berbagai dimensi dan aspek kehidupan. Salah satu fenomena tentang tubuh manusia yang cukup populer dan menarik untuk dikaji adalah keberadaan laki-laki metroseksual. Dulu laki-laki digambarkan sebagai sosok yang macho, garang yang berpakaian simpel dan tidak identik dengan dandan. Laki-laki juga lebih cenderung mengeksklusifkan diri dengan kelelakiannya dan cenderung menjauhi hal-hal yang lebih diidentikkan dengan perempuan, seperti berdandan rapi, klimis, maupun merawat wajah di klinik kecantikan (skin care clinic). Selama ini nilai-nilai maskulinitas tradisional sebagaimana didefinisikan oleh Dr. Ronald F. Levant adalah sebagai berikut: „Avoidance of femininity; restricted emotions; sex disconnected from intimacy; pursuit of achievement and status; self-reliance; strength and aggression; and homophobia.‟ (van Bree, 2004), atau dapat diartikan bahwa untuk dianggap maskulin atau macho seorang laki-laki harus menghindari hal-hal berbau feminim, menghindari sikap yang emosional, memisahkan antara seks dan cinta, tidak menggantungkan dirinya pada orang lain, mengutamakan kekuatan fisik, dan cenderung homophobik (benci terhadap kaum homoseks). Secara awam, munculnya kaum metroseksual merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap nilai tradisional maskulinitas.
11
Masih mengenai maskulinitas, dalam studinya Juliastuti (2000) (via skripsi Pravita yang berjudul Konstruksi Laki-laki Ideal dalam Film Meteor Garden) mencoba meneliti wacana machoisme yang ditampilkan dalam sebuah majalah remaja laki-laki. Ia menemukan bahwa lazimnya seorang laki-laki sebaiknya memiliki tubuh kuat, berotot, dan tidak feminim. Hal tersebut sesuai dengan tuntutan bahwa laki-laki harus memiliki sifat jantan dan macho. Masih dalam skripsi Pravita, dalam skripsi tersebut juga dijelaskan bahwa Budiman dan Subandi juga berpendapat sama dengan Juliastuti bahwa laki-laki selalu identik diidentikkan dengan badan yang kekar, berotot, jantan, dan macho. Di Jawa, wacana maskulinitas dimunculkan melalui pewayangan. Dalam pewayangan, salah satu ksatria yang paling termasyur ketampanannya sehingga menjadi simbol kejantanan di Jawa adalah Arjuna. Menurut Anderson (1965), Arjuna dianggap mewakili model laki-laki yang diidealkan oleh orang-orang Jawa. Arjuna adalah seorang anggota Pandhawa yang berparas tampan, menawan, gagah, kuat, dan berhati lembut, sehingga mendapat julukan lananging jagad. Merujuk pada pembahasan di atas, laki-laki pada umumnya telah dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial dan budaya sebagai sosok yang jantan, perkasa, tidak terlalu memperdulikan penampilan, tidak suka dengan rumitnya mode, ke salon atau ke skin care, dan semua kegiatan yang ‗biasanya‘ dilakukan para perempuan. Masyarakat juga telah memiliki asumsi bahwa yang seharusnya berdandan adalah seorang perempuan. Melalui penjelasan diatas dapat dilihat bahwa untuk dapat menjadi seorang ‗laki-laki sejati‘ seorang laki-laki harus membuat batasan yang kokoh antara laki-laki dan perempuan. Namun kini,
12
munculnya laki-laki metroseksual ditengarai karena adanya rekontruksi identitas yang menghilangkan batasan tegas antara laki-laki dan perempuan. Berdandan kini tidak lagi didominasi oleh perempuan karena laki-laki berdandan—yang dikenal dengan istilah laki-laki metroseksual—sudah semakin umum dijumpai. Secara etimologis, metroseksual berasal dari kata „metropolis‟ yang berarti perkotaan, dan „seksual‟ yang berarti berhubungan dengan jenis kelamin tertentu (dalam konteks metroseksual, jenis kelamin yang dimaksud adalah laki-laki), sehingga dapat dikatakan bahwa metroseksual adalah laki-laki yang hidup di tengah perkotaan dan mengikuti gaya hidup metropolitan. Kata Metroseksual sendiri lahir pertama kali dalam sebuah artikel yang berjudul Here Come The Mirror Men yang ditulis oleh Mark Simpson, seorang jurnalis asal Inggris, pada tanggal 15 November 1994. Menurut Mark Simpson dalam artikelnya,
„Metrosexual
is the
trait
of
an urban male
of
any sexual
orientation who has a strong aesthetic sense and spends a great amount of time and money on his appearance and lifestyle‟ (http://marksimpson.com), atau dapat diartikan bahwa metroseksual adalah ciri dari seorang laki-laki perkotaan yang memiliki suatu orientasi seksual tertentu dengan rasa estetika yang tinggi, dan menghabiskan uang dan waktu dalam jumlah yang banyak demi penampilan dan gaya hidupnya. Hampir serupa dengan Mark Simpson, Hermawan Kartajaya seorang pakar pemasaran Indonesia mendefinisikan metroseksual adalah laki-laki yang hidup di tengah masyarakat metropolitan dengan pendapatan di atas rata-rata, mereka sangat menjaga penampilannya dan lebih mampu berpikir secara 13
emosional dibandingkan laki-laki pada umumnya. Laki-laki metroseksual juga senang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk mengikuti trend fashion, menghabiskan waktu berjam-jam di klinik kecantikan untuk merawat dirinya, mereka juga tidak takut mengungkapkan emosinya, mereka juga betah bersosialisasi layaknya perempuan. Dapat dikatakan juga metroseksual adalah woman-oriented man atau laki-laki yang keperempuan-perempuanan (Kertajaya, 2004:8). Laki-laki metroseksual juga mengklaim dirinya sebagai laki-laki yang modern yang tidak pernah ketinggalan zaman. Dewasa ini, rekontruksi identitas mulai menghilangkan batasan tegas antara laki-laki dan perempuan, sehingga ditengarai merupakan faktor munculnya keberadaan metroseksual. Hal tersebut bermula dari berhasilnya gerakan feminisme, sehingga perempuan yang dulu selalu dianggap inferior sebagai pendamping laki-laki untuk melayani kebutuhan laki-laki, atau dalam bahasa Jawa dikenal istilah kanca wingking, kini mulai memiliki kesempatan belajar dan bekerja yang lebih luas. Perempuan mulai mendapat ‗ruang‘ dalam dunia kerja. Dengan hadirnya perempuan dalam dunia kerja, maka interaksi antara laki-laki dan perempuan mengalami pergeseran, di mana kehadiran perempuan yang senantiasa memperhatikan penampilan mereka membawa iklim baru ke dunia kerja, penampilan menjadi suatu hal yang penting dalam pekerjaan, maka kemudian laki-laki pun mau tak mau harus mulai memperhatikan penampilan mereka. Hal seperti ini banyak terjadi di kota-kota metropolitan di mana pekerjaan biasanya lebih bersifat administratif ketimbang kerja lapangan. Kaum adam yang dulunya enggan berdandan, mengunjungi salon-salon kecantikan, merawat tubuh,
14
atau melakukan hal-hal yang sering dilakukan oleh perempuan kini mulai melakukannya. Mereka mulai merawat diri demi penampilan yang maksimal. Oleh karena itu, kini laki-laki metroseksual semakin berkembang. Pengelolaan tubuh yang dilakukan oleh metroseksual dewasa ini menjadi lebih detail. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Berbagai produk-produk dan perawatan tubuh telah menjamur diberbagai tempat yang ditujukkan kepada konsumen untuk mendapatkan berbagai hasil yang diinginkan. Semua produk dan jenis perawatan tersebut dapat diperoleh dengan mudah. Begitu pula dengan pusat-pusat kebugaran atau fitness center telah menjadi agen yang menegaskan ukuran-ukuran tubuh ideal (Abdullah, 2001:36). Pengelolaan dan pengendalian tubuh sangat terikat pada ukuran-ukuran nilai yang ada di masyarakat. Tubuh juga dianggap para ahli sebagai alat yang penting di dalam identifikasi sosial (Giddens 1984; Turner 1984 dalam Abdullah 2001:38). Bukan hanya keberadaan seseorang di suatu tempat ditentukan oleh ada tidaknya tubuh di tempat itu, tetapi juga ciriciri tubuh dapat menjadi alat penting di mana dalam menjelaskan ―keberadaan seseorang‖. Oleh karena itu, seseorang merasa perlu untuk mendapatkan bentuk atau penampilan tertentu dari tubuh untuk tampil dalam berbagai kegiatan sosial. Kecenderungan perawatan merupakan tanda penting dari perubahan di dalam pendefinisian diri dan kehidupan secara mendasar (Abdullah, 2001:38). Perawatan yang dilakukan oleh seseorang metroseksual juga merupakan usaha untuk menampilkan citra atau image yang ingin mereka tunjukkan. Menurut terjemahan Collins English Dictionary yang dikutip dalam buku Strategi Public Relations memberikan definisi citra sebagai suatu gambaran 15
tentang mental; ide yang dihasilkan oleh imaginasi atau kepribadian yang ditunjukkan kepada publik oleh seseorang, organisasi, dan sebagainya (Oliver, 2007:50). Pengertian lain, citra merupakan perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, organisasi, atau lembaga; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi (Ardianto, 2011:62). Jadi dapat disimpulkan citra adalah gambaran diri baik personal, organisasi maupun perusahaan yang sengaja dibentuk untuk menunjukkan kepribadian atau ciri khas. Citra yang ingin ditampilkan oleh seorang metroseksual tentu saja berbeda dengan citra laki-laki yang telah lama berkembang di masyarakat. Para laki-laki metroseksual selalu memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga kaki dengan melakukan berbagai perawatan. Wajah bagi para metroseksual merupakan sesuatu yang sangat penting. Menurut Synnott, wajah merupakan sesuatu yang unik, fisik, lunak, dan publik, serta merupakan simbol utama diri. Wajah unik karena tidak ada duanya yang identik, dan di dalam wajahlah kita saling mengenali diri masing-masing, dan mengidentifikasi diri kita sendiri. Wajah bersifat fisik dan dengan demikian personel, meski ia ‗dirias‘, ‗dihias‘, dan dipengaruhi trend. Ia bersifat publik, namun juga bersifat sangat privat dan intim. Lebih jauh lagi, wajah menunjukkan usia, gender, dan ras diri dengan bermacam-macam derajat keakuratan, juga kesehatan serta status sosialekonomi, suasana hati bahkan mungkin juga karakter dan kepribadian. Selain itu, wajah juga menjadi penentu dasar bagi persepsi mengenai kecantikan atau kejelekan individu, dan semua persepsi ini secara tidak langsung membuka
16
penghargaan diri dan kesempatan hidup (Synnott, 2003:135-136). Memiliki wajah yang mulus, bersih, dan bebas jerawat merupakan idaman bagi metroseksual. Untuk memaksimalkan penampilannya, khususnya wajah, mereka kerap melakukan perawatan (facial, peeling) paling tidak sebulan sekali di klinik-klinik kecantikan (skin care clinic). Mereka juga tidak sungkan untuk sekedar berkonsultasi dengan dokter di klinik kecantikan. Sebuah skin care selalu menyediakan berbagai produk-produk kosmetik untuk menunjang perawatan kulit seorang pasiennya. Kosmetik di sini dipahami sebagai sediaan atau paduan bahan yang untuk digunakan pada bagian luar badan (kulit) untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik. Produk-produk kosmetik yang biasanya disediakan oleh sebuah skin care, misalnya: Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetic). a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser), misalnya sabun (facial foam), susu pembersih wajah (milk cleanser), masker wajah dan penyegar kulit (toner) b.
Kosmetik
untuk
melembabkan
kulit
(mouisturizer),
misalnya
mouisterizer cream, night cream. c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream, sun block cream/lotion.
17
d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai pengampelas (abrasiver) (Tranggono, 2007). Selain mengunjungi skin care clinic, tidak jarang juga para laki-laki metroseksual yang menggunakan produk-produk grooming
yang marak
diiklankan di berbagai media untuk sekedar coba-coba dan ikut-ikutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa iklan memang membawa dampak yang begitu besar terhadap penggunaan kosmetik yang mereka gunakan. Mereka tidak segan-segan untuk mencoba berbagai produk grooming yang berlabelkan „for men‟, dan label „for men‟ tersebut lah membuat mereka semakin mantap untuk mencobanya. Selain wajah, penampilan rambut juga penting bagi kaum new man ini. Rambut menurut Synnot adalah salah satu simbol identitas individu dan kelompok yang paling kuat, pertama-tama karena rambut bersifat fisik dan kemudian menjadi sangat personel, dan kedua karena meskipun personel rambut juga bersifat publik. Rambut dapat dibentuk dengan bermacam-macam cara, dan dengan demikian cocok untuk menyimbolisasikan perbedaan-perbedaan di alam identitas individu dan kelompok (Synnott, 2003:188-189). Orang-orang melakukan begitu banyak hal dengan rambut mereka saat ini, dan maknanya menjadi begitu bermacam-macam. Mereka tidak segan-segan ntuk mengikuti trentren yang sedang hits. Tidak hanya ingin berpenampilan rapi dan menarik, para laki-laki metroseksual juga menginginkan bau badan yang selalu wangi sepanjang hari supaya tidak malu ketika bertemu dengan orang. Oleh karena itu, mereka 18
menggunakan parfum dan deodorant ketika akan berpergian. Supaya kulit tubuh kelihatan bersih dan tidak kusam dan untuk menjaga kelembaban kulit serta terlindung dari sinar matahari, mereka memakai hand and body lotion. Jika badan mereka dirasa sudah kotor atau kusam sekali biasanya mereka mengunakan lulur suapaya badan mereka kembali seperti semula. Sebenarnya penggunaan lulur ini jarang mereka lakukan, mereka memakainya hanya ketika mereka sudah merasa benar-benar kusam. Terkait dengan perfoma tubuh, mereka selalu menjaga kebugaran dan bentuk tubuh dengan cara menjaga pola makan dan berolahraga. Olahraga yang sering dilakukan adalah fitness. Tujuan mereka melakukan fitness adalah untuk mempercepat pembentukan badan atau body building yang biasanya disertai dengan mengkonsumsi suplemen. Fenomena metroseksual muncul juga tidak terlepas dari konteks media populer seperti majalah-majalah yang membidik laki-laki dengan kelas sosial menengah atas sebagai pangsa pasarnya (contoh: FHM (For Him Magazine), Men‘s Health, Popular, Maxim), atau serial televisi (contoh: Sex and The City, dan Queer Eye for The Straight Guy), artinya media populer seperti itulah yang mencoba menciptakan ikon-ikon metroseksual yang mengangkat berbagai isu tentang penampilan dan gaya hidup laki-laki dan kemudian menciptakan tren metroseksual sebagai sebuah gambaran ideal tentang bagaimana gaya hidup ideal laki-laki masa kini. Kaum laki-laki yang tadinya merasa enggan untuk mengunjungi pusatpusat perbelanjaan diubah pola pikirnya oleh budaya konsumen yang disebarkan oleh media massa yang mempromosikan gagasan tentang seorang laki-laki ideal 19
dan sensitif yang mengunjungi mall dan membelanjakan uangnya untuk mendukung penampilannya. Seperti yang dikatakan Mark Simpson “For some time now, old-fashioned (re)productive, repressed, unmoisturized heterosexuality has been given the pink slip by consumer capitalism. The stoic, self-denying, modest straight male didn't shop enough (his role was to earn money for his wife to spend), and so he had to be replaced by a new kind of man, one less certain of his identity and much more interested in his image – that's to say, one who was much more interested in being looked at (because that's the only way you can be certain you actually exist). A man, in other words, who is an advertiser's walking wet dream.” (Simpson, 2002), dapat diartikan secara singkat bahwa pada jangka waktu tertentu sekarang ini, seorang laki-laki yang kurang suka berbelanja (di mana uang yang didapatkannya dari bekerja adalah untuk istrinya), harus digantikan dengan laki-laki jenis baru yang menjadi lebih tertarik akan pencitraan dirinya, yang lebih tertarik tentang penampilannya (sebab melalui penampilannya inilah eksistensi seorang laki-laki dihargai). Seorang laki-laki metroseksual, dalam kata lain adalah impian bagi setiap pemasar. Setelah trend metroseksual terbentuk dan dengan semakin populernya dandan ala laki-laki metroseksual membuat mereka menjadi target para kapitalis atas produk-produk kecantikan dan perawatan diri. Dalam lima tahun terakhir (tahun 2009-2013), penjualan produk kosmetik laki-laki selalu meningkat. Survei Mintel, sebuah perusahaan penelitian pasar global, menunjukkan bahwa total penjualan produk perawatan laki-laki meningkat 3,6 persen dari 7,56 persen (tahun
2009)
dan
tahun
2013
20
mencapai
11,2
persen.
(http://idharahayu.edublogs.org/ diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 10.15 WIB). Survei Nielsen tahun 2010 menunjukkan bahwa total penjualan produk perawatan
laki-laki
hampir
menembus
angka
12
triliun
rupiah
(http://www.marketing.co.id/ diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 10.25 WIB). Hal tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan minat kaum laki-laki dalam melakukan perawatan dan penampilan mereka. Berbagai perusahaan yang memproduksi beragam produk khusus bagi laki-laki misalnya saja, PT. Mandom Indonesia yang menciptakan berbagai merek khusus laki-laki (seperti Gatsby, Mandom, dan Spalding); PT. Kinocare Era Kosmetindo yang memunculkan produk Ovale Maskulin dan Master Cologne for Men; atau PT Unilever Indonesia dengan Rexona Men dan Axe; PT Kao Indonesia dengan Biore for Men, dan sebagainya (http://www.suaramerdeka.com diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 15.00 WIB). Sekarang hampir semua brand rangkaian perawatan tubuh dan wajah untuk perempuan memiliki produk yang serupa khusus untuk laki-laki dengan label tambahan „for men‟. Ikon laki-laki metroseksual bermunculan di media massa dengan produkproduk
grooming,
seperti
superstar
sepakbola,
David
Beckham,
yang
membintangi iklan, seperti pisau cukur, shampoo, minyak rambut, parfum hingga krim wajah dan deodorant khusus laki-laki. Persuasi Beckham dalam iklan-iklan tersebut terbilang sukses menularkan image laki-laki berdandan ke seluruh dunia. Di Indonesia, Ferry Salim merupakan ikon laki-laki metroseksual yang terpilih oleh lembaga survey dan kantor marketing Mark Plus and Co milik pakar 21
marketing Indonesia Hermawan Kartajaya, karena gaya berpakaian dan penampilan Ferry Salim yang selalu keren, mengikuti trend dan bentuk badan yang selalu terjaga hingga kini (http://id.wikipedia.org/wiki/Ferry_Salim diakses pada tanggal 10 Mei 2014 pukul 09.00 WIB). Sebagai kaum yang memiliki rasa estetika tinggi, metroseksual memiliki gaya hidup yang tentunya berbeda dengan gaya hidup kaum-kaum lain. Gaya hidup menurut Sutisna (2002: 145) adalah cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya (pendapat). Gaya hidup juga sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang membentuk image (citra) di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image (citra) inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam memengaruhi perilaku konsumsinya. Dilihat dari gaya hidupnya, tentu saja kaum metroseksual memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan konsumsi. Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat mereka tidak segan untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat mewujudkan hal yang mereka senangi. Perawatan tubuh dan wajah dengan kualitas nomer satu tentu tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah. Kegiatan konsumsi mendapat kedudukan yang paling istimewa dalam gaya hidup. Kegiatan konsumsi yang dirujuk budaya konsumen terlihat dari
22
perilaku manusia yang mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri (Lury, 1998:3). Faktor lingkungan memberikan peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku konsumtif. Biasanya, perilaku konsumtif dibarengi dengan munculnya trend-trend yang sedang booming dan berusaha untuk mengikuti trend-trend tersebut. Tidak dipungkiri bahwa remaja merupakan konsumen masa depan atau calon konsumen potensial. Upaya untuk mencari identitas diri dan status sosial menurut Celia Lury (1998:121) ditandai melalui barang-barang yang dikonsumsi dan aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Konsumsi tersebut kini bukan hanya menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi sebuah keharusan. F. Metode Penelitian Masyarakat kita sudah lama mengenal figur laki-laki yang tampan dan berpenampilan stylish, tetapi istilah metroseksual belum terlalu akrab di telinga orang kebanyakan. Istilah tersebut mulai berkembang ketika media mulai menyoroti perilaku beberapa selebritis laki-laki yang suka merawat diri dan sangat menjaga penampilannya, sehingga muncul asumsi yang berkembang dalam masyarakat bahwa laki-laki metroseksual adalah laki-laki yang suka berdandan. Oleh sebab itu, penulis mengambil tema metroseksual sebagai salah satu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. Penelitian mengenai metroseksual ini di bawah ‗payung‘ Chemical Youth, yaitu penelitian mengenai penggunaan obatobat kimia di kalangan remaja. Penelitian berlangsung dari bulan Februari hingga September 2013.
23
F.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta mengingat Yogyakarta merupakan kota besar yang ramai dihuni oleh para pendatang terutama untuk mengenyam pendidikan, sehingga kota Yogyakarta menjadi majemuk dengan keberagaman karakteristik dan latar belakang masing-masing individu, baik itu pendatang maupun yang berasal dari Yogyakarta sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya trend-trend baik itu kosmetik dan fashion telah mempengaruhi style (gaya berdandan) dari pemuda masa kini. Tidak jarang dari mereka yang berasal dari keluarga yang berada sehingga penampilan luar merupakan hal nomor satu yang paling penting. Hal tersebut yang menjadikan trend laki-laki metroseksual semakin menjamur di Yogyakarta. F.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan strategi head to toe2. Metode wawancara mendalam atau indept interview dilakukan untuk menggali informasi yang lebih dalam pada suatu informan, sehingga data yang diperoleh bisa mendalam. Ketika wawancara secara mendalam, informan diharuskan untuk menggambar orang dari kepala hingga kaki, hal tersebut dilakukan untuk mempermudah ketika menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan. Data ditulis secara deskriptif dan ditujukan sebagai sebuah etnografi, sehingga data yang diperoleh 2
Head to toe merupakan suatu strategi untuk memperoleh data agar lebih lengkap. Strategi ini dilakukan untuk mempermudah mengetahui produk-produk apa saja yang digunakan informan. Pada strategi ini, informan diharuskan menggambar dari ujung rambut hingga kaki untuk diberi pertanyaan mengenai produk-produk apa saja yang mereka pakai.
24
bersifat kualitatif. Data kualitatif tidak berupa angka-angka, tetapi pernyataanpernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan, dari suatu gejala atau pernyataanpernyataan mengenai hubungan-hubungan antra sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini dapat berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2006:9). Selain wawancara mendalam, penulis juga melakukan obeservasi partisipasi (participatory observation) yang secara aktif dan dekat dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para metroseksual, seperti ikut membeli produk-produk kosmetik maupun kimia yang mereka gunakan, melihat mereka show, dsb. sehingga memperoleh data yang lengkap dan nyata. Guna memperoleh dan menambah informasi, penulis juga menggunakan bantuan dan sumber sekunder yang berupa buku-buku dan media massa, baik cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan tema penelitian. Untuk menambah referensi, juga dilakukan browsing internet. F.3 Pemilihan Informan Pemilihan informan dilakukan melalui teman dan saudara yang memiliki kenalan laki-laki metroseksual. Informan terdiri atas 10 laki-laki metroseksual (remaja) yang berusia antara 20 sampai 23 tahun, dengan latar belakang yang berbeda. Aktivitas mereka masih menuntut ilmu, baik S1 maupun S2 di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Yogyakarta, meskipun ada di antara dari mereka yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai model, MC, penyanyi, penari, maupun admin game online.
25
F.4 Etika Penelitian Sebelum menyatakan persetujuan untuk terlibat dalam penelitian ini, calon informan dijelaskan atau diminta untuk membaca sendiri information sheet yang berisi mengenai topik, tujuan penelitian, potensi resiko yang ditimbulkan. Setelah mereka diberi penjelasan dan atau membaca sendiri information sheet yang telah diberikan, maka bila mereka bersedia diwawancarai peneliti akan meminta mereka untuk menandatangi information sheet yang ada di bagian bawah sebagai tanda persetujuan. Wawancara dilakukan di area kampus, maupun di luar kampus. Etika penelitian dalam penelitian ini adalah informasi yang diberikan oleh informan dijaga kerahasiaannya. Oleh karena itu, nama-nama informan menggunakan nama samaran. Informan tidak akan teridentifikasi dalam laporan. Wawancara dilakukan dengan cara merekamnya melalui recorder kemudian ditranskrip. Hasil rekaman dan transkripsi disimpan di file pribadi peneliti yang hanya bisa diakses oleh peneliti dan terjaga kerahasiaannya. Keterlibatan informan bersifat sukarela. Oleh karenanya, informan dapat menghentikan wawancara atau mengundurkan diri dari penelitian kapan saja jika merasa tidak nyaman atau dapat menolak menjawab pertanyaan tanpa menghentikan wawancara. F.5 Kendala Kendala yang dialami oleh peneliti adalah menemukan informan-informan yang mau untuk diwawancarai. Selain itu, menentukan waktu
untuk
mewawancarainya. Terkadang peneliti sudah menentukan jam tetapi si calon informan datang tidak tepat waktu bahkan membatalkannya, sehingga harus 26
menentukan jadwal lagi. Kendala yang lain adalah ternyata data yang diperoleh dari informan tersebut kurang sesuai dengan apa yang diinginkan, sehingga harus follow-up kembali. Sering kali, ketika akan melakukan follow-up dengan informan, si informan susah dihubungi. F.6 Analisis Data Tahap analisis data merupakan tahap yang paling penting dan menentukan dalam suatu penelitian. Analisis data merupakan tahap penting dan menentukan. Pada tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa hingga berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian (Koentjaraningrat, 1997). Dalam penelitian ini, data-data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Keseluruhan data yang diperoleh sebagai hasil wawancara, observasi partisipasi, dan sumber kepustakaan disusun sesuai kategori–kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga terbentuk suatu pengidentifikasian bagian-bagian, mencari keterkaitan antar bagian-bagian tersebut sebagai suatu konsepsi atau struktur sebagaimana yang dikonsepsikan oleh informan. Selanjutnya dari datadata tersebut dikaitkan dan kemudian diinterpretasikan.
27