1
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah Keberadaan
bank
dalam
kehidupan
masyarakat
dewasa
ini
mempunyai peranan yang sangat penting karena lembaga perbankan merupakan inti sari dari sistem keuangan setiap negara. Dalam konsideran UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) dituliskan bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional,
dalam
rangka
meningkatkan
pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Keberadaan bank sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup di perkotaan atau kota-kota besar, bahkan sekarang ini masyarakat pedesaan pun sudah terbiasa mendengar kata bank, dan memanfaatkan layanan jasa keuangan ini, terlebih lagi pada saat terjadi krisis ekonomi global yang diikuti dengan dibubarkannya beberapa bank pada masa itu. Perkembangan dunia perbankan di Indonesia kini sudah semakin membaik, berbagai pelayanan
jasa
keuangan
telah
dikembangkan
untuk
memberikan
kenyamanan bagi para nasabah. Berbagai program perluasan usaha telah dilakukan dalam industri perbankan seperti pemberian kredit perumahan,
2
penyediaan jasa asuransi, penawaran jasa kartu kredit hingga program pensiun. Secara umum fungsi utama bank adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust (lembaga yang landasannya adalah kepercayaan), agent of development (lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi) dan agent of services (lembaga yang memberikan penawaran jasa perbankan).1 Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut akan menciptakan sistem keuangan negara yang kuat. Definisi perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan perubahan) adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasajasa lainya.2 Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat, yaitu dalam bentuk kredit. Menurut Noan Webster 1972 yang dikutip Munir Fuady mengatakan bahwa kredit berasal dari kata “creditus” yang berarti kepercayaan,
1
Sigit Traindaru dan Totok Budisantoso, 2007, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, h. 8. 2
Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 2.
3
merupakan bentuk past principle dari kata credere yang berarti “to trust” (kepercayaan)3. Dalam bahasa Latin, kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang akan disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu4. Unsur utama dari kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan mengandung arti bahwa pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.5 Unsur kepercayaan ini juga menjadi dasar dalam pelaksanaan bisnis perbankan. Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan perubahan yakni “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang menjanjikan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” Pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dari suatu bank. Beberapa pakar mengatakan bahwa fungsi tradisional bank adalah menghimpun dana-dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada
3
Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 5 (selanjutnya disebut Munir Fuady I) 4 5
Kasmir, op.cit., h. 101
Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 217 (Selanjutnya disebut Muhamad Djumhana I)
4
masyarakat.6 Dengan demikian penyaluran kredit dipandang sebagai fungsi tradisional atau fungsi utama dari kegiatan perbankan. Penyaluran dana kepada masyarakat yang dimaksudkan di atas pada umumnya dilakukan dalam bentuk pemberian kredit, baik itu berupa kredit modal kerja maupun kredit investasi. Di samping kegiatan pengerahan dana kepada masyarakat, kredit juga merupakan kegiatan utama dari bank-bank umum di Indonesia karena dua alasan yaitu sebagai berikut : 1.
Bunga kredit merupakan sumber-sumber pendapatan utama;
2.
Dalam kegiatan penyaluran kredit sumber dana dari kredit itu berasal terutama dari dana-dana yang dikerahkan oleh bank dari masyarakat berupa simpanan. Kredit bank merupakan lembaga yang peranannya sangat
strategis
bagi
pembangunan
perekonomian
dan
bagi
perkembangan usaha bank itu sendiri serta syarat dengan berbagai pengaturan (memiliki aspek yuridis).7 Walaupun kegiatan penyaluran kredit merupakan kegiatan perbankan yang sangat mendasar dan bunga kredit merupakan sumber pendapatan bank yang utama tetapi pada dasarnya kegiatan penyaluran kredit ini memiliki risiko yang sangat besar dan dampak yang signifikan bagi kelangsungan usaha bank tersebut apabila kredit yang disalurkan tersebut tidak tepat. Sesuai dengan penjelasan UU Perbankan (yang telah diganti menjadi UU
6
Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 139 (selanjutnya disebut Neni Sri Imaniyati I). 7
Sutan Remy Syahdaeni, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 2 (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini I).
5
Perbankan perubahan) ditegaskan bahwa “Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus dapat memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.” Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas perkreditan yang sehat, maka setiap bank diwajibkan membuat suatu kebijakan perkreditan secara tertulis yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari. Nasabah dalam hal ini mudah memberikan data-data fiktif, sehingga mungkin saja kredit yang diberikan sebenarnya tidak layak. Kemudian jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan yang sebenarnya tidak layak menjadi layak sehingga akibatnya akan sulit untuk ditagih atau dengan kata lain kredit bermasalah. Selain hal tersebut, kredit bermasalah juga sering terjadi karena debitur tidak memenuhi kewajibannya seperti yang tertuang dalam perjanjian kredit yang sudah disepakati bersama antara pihak bank sebagai kreditur dan debitur sebagai pengguna kredit. Dalam hal ini debitur disebut wanprestasi. Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu : 1.
Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.
6
2.
Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeur, jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.8 Maka dari itu penting bagi bank untuk melakukan analisis kredit
terlebih dahulu. Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Analisis kredit adalah kegiatan untuk memeriksa semua keterangan dari suatu permohonan kredit seorang calon debitur agar diperoleh kepastian bahwa apabila kredit diberikan debitur mau dan mampu membayar kembali sesuai perjanjian.9 Apabila debitur banyak yang tidak melakukan kewajibannya dalam hal ini melakukan wanprestasi tentu saja akan berdampak serius yaitu krisis terhadap sektor perkreditan yang ditunjukan dengan besarnya rasio non-performance loan (NPL) pada bank tersebut. Tingginya rasio non-performance loan (NPL) tentunya akan sangat membahayakan kesehatan dari bank tersebut. Sebagai upaya mengatasinya Bank Indonesia (BI) menetapkan arah kebijakan agar setiap bank secara bertahap dapat menurunkan NPL sampai dengan tingkat tidak lebih dari 5%. Dalam hal ini bank-bank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk menurunkan rasio NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung, melalui jalur hukum (gugatan pengadilan), atau melalui restrukturisasi kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya restrukturisasi merupakan alternatif yang banyak ditempuh bank. 8
Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h. 203 9
Modul Diklat Penaksir Muda, 2011, Dasar-Dasar Analisa Kredit, Perusahaan Umum Pegadaian Divisi Pendidikan dan Pelatihan, Balai Diklat Surabaya, h. 5
7
Restrukturisasi kredit merupakan suatu terminologi keuangan yang banyak digunakan dalam bidang perbankan untuk menyelamatkan kredit bermasalah. Restrukturisasi adalah program bank sebagai suatu upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibanya. Kebijakan mengenai restrukturisasi kredit pertama kali diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit yang kemudian diubah menjadi Peraturan Bank Indonesia No. 2/15/PBI/ 2000 tentang Restrukturisasi Kredit. Pada mulanya restrukturisasi kredit dapat dilakukan dengan 7 (tujuh) cara yakni melalui : a)
penurunan suku bunga;
b) pengurangan tunggakan bunga kredit; c)
pengurangan tunggakan pokok kredit;
d) perpanjangan jangka waktu kredit; e)
penambahan fasilitas kredit;
f)
pengambilalihan aset debitur sesuai ketentuan yang berlaku;
g) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur. Dalam perjalanan sejarah yuridis teknis mengenai restrukturisasi kredit, ketentuan mengenai restrukturisasi kredit tidak lagi diatur melalui Surat Keputusan namun dipertegas melalui Peraturan Bank Indonesia yakni Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Restrukturisasi kredit dalam ketentuan tersebut
8
dipandang sebagai upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibanya, yang dilakukan antara lain melalui : a)
penurunan suku bunga kredit;
b) perpanjangan jangka waktu kredit; c)
pengurangan tunggakan bunga kredit;
d) pengurangan tunggakan pokok kredit; e)
penambahan fasilitas kredit; dan atau
f)
konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Ketentuan mengenai restrukturisasi kredit mengalami beberapa kali
perubahan sesuai dengan kondisi perbankan di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya industri perbankan Syariah, maka ketentuan mengenai restrukturisasi kredit diatur secara terpisah dalam 2 (dua) Peraturan Bank Indonesia yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah jo Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (selanjutnya disebut Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 15 /PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum selanjutnya disebut Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum).
9
Restrukturisasi kredit dilakukan terhadap portofolio kredit bermasalah (non-performing loan) terutama pada kredit diragukan dan kredit macet. Portofolio kredit bermasalah yang dapat dimasukkan kedalam program restrukturisasi kredit harus memenuhi persyaratan tertentu. Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit; dan
b.
debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Program restrukturisasi kredit umumnya telah lazim dilakukan di
dunia perbankan. Bank yang bergerak pada penyaluran kredit memiliki program restrukturisasi telah diatur pada kebijakan perkreditan masingmasing bank, namun masih ada bank yang mengabaikan dan tidak melakukan restruturisasi kredit ini sesuai dengan prosedur, misalnya melakukan write-off bersamaan dengan restrukturisasi kredit dimana restrukturisasi kredit ini hanya merupakan formalitas agar write-off bisa dilakukan dan bank bisa mendapatkan bunga tunggakan yang besar dari debitur dengan kategori kredit bermasalah. Hal-hal seperti diatas tentunya akan mematikan usaha debitur. Debitur yang masih memiliki prospek usaha yang bagus dan seharusnya dapat berkembang apabila dilakukan restrukturisasi kredit menjadi
10
kehilangan kesempatan dan gulung tikar bahkan agunan kredit tersebut dieksekusi. Bila kondisi seperti itu dibiarkan maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan akan merosot. Dimana perlu diingat bahwa lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, kiranya cukup alasan untuk diadakan suatu penelitian dan pembahasan mengenai hal-hal yang
berhubungan
dengan
masalah
”Implementasi
Ketentuan
Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” 2.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan? 2) Apa
hambatan
yang
dihadapi
dalam
implementasi
ketentuan
restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan? 3.
Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah mengenai ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap
11
Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” yang meliputi implementasi dketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan-hambatan pelaksanaan restrukturisasi dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang dilakukan pada bank yang memiliki kredit bermasalah di Bali. Analisis akan dikaji dari segi aspek hukumnya. Dalam sub-sub bab akan dibahas mengenai jawaban atas rumusanan masalah pertama dan rumusan masalah kedua. Dalam pembahasan pertama akan dibahas mengenai wanprestasi yang dilakukan pihak debitur sebagai awal penyebab terjadinya kredit bermasalah, analisis kredit sebagai kebijakan untuk
menghindari
default
risk serta pelaksanaan
dan
penyimpangan dalam pelaksanaan restrukturisasi. Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah, hambatan dalam pelaksanannya dan tanggung jawab kreditur pada pelaksanaan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan.
4.
Tujuan Penelitian a.
Tujuan umum (het doel van het onderzoek). Tujuan umum dalam penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui permasalahan hukum dan isu-isu aktual mengenai perbankan, yakni
12
mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur wanprestasi pada kredit perbankan. b.
Tujuan khusus (het doel in het onderzoek). Tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah: 1) Untuk menganalisis implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan. 2) Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan
restrukturisasi
kredit
dalam
penyelamatan
dan
penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan.
5.
Manfaat Penelitian a.
Manfaat teoritis. Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan berpikir bagi para pembaca mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman mengenai hukum perbankan.
13
b.
Manfaat praktis. Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yakni: 1)
Bagi para pelaku perbankan dalam menjalankan kegiatan perkreditan dilakukan sesuai dengan kebijakan perkreditan masing-masing bank dan ketentuan yang berlaku.
2)
Bagi
nasabah
agar
lebih
kooperatif
dalam
menjalankan
kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kredit apabila sekiranyya
mengalami
kesulitan
membayar
aka
debitur
diharapkan untuk memohon kepada kreditur untuk melakukan analisis
kelayakan
ulang
sehingga
kredit
tersebut
dapat
direstruktur. 3)
Bagi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan agar lebih fokus mengawasi kegiatan perbankan dalam pemberian kredit dan memberi sanksi bagi pihak yang
melanggar sehingga dapat
memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada para pihak. 6.
Orisinalitas Penelitian Pembahasan dalam tesis ini belum pernah ditulis sebelumnya. Melalui penelurusan mengenai topik ini, terdapat beberapa tesis yang dapat digunakan sebagai pembanding yakni: a)
Restrukturisasi Kredit Macet Debitor di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terabina Seraya Mulia Selatpanjang oleh Aprisal, tesis pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penelitian
14
terebut dibahas mengenai analisis terhadap pengaturan materi hukum atas restrukturisasi kredit macet dan kendala yang dihadapi. Studi kasus dalam penelitian ini dilakukan di Bank Perkreditan Rakyat Terabina Seraya Mulia Selatpanjang. Hasil penelitian berupa analisis terhadap faktor-faktor penyebab kredit macet dan kendala yang dihadapi dalam penyelesaian kredit macet pada Bank Perkreditan Rakyat Terabina Seraya Mulia Selatpanjang.10 Penelitian ini menyoroti kendala restrukturisasi kredit dari itikad baik debitur sedangkan dalam penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” menyoroti hambatan restrukturisasi kredit dari faktor hukum, penegak hukum (bank), sarana dan fasilitas, masyarakat dan budaya (debitur). Lokasi penelitian juga berbeda dimana dalam penelitian tesis ini dilakukan di beberapa bank yang memiliki tingkat kolektabilitas di Bali. b) Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi Utang dalam tesis yang ditulis oleh Palomes. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai alternatif penyelesaian hutang melalui perdamaian dan restrukturisasi hutang, kredit macet yang merupakan piutang negara dapat diselesaikan melalui mekanisme perdamaian sekaligus melalui alternatif restrukturisasi piutang negara dan analisis mengenai perlunya instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang lebih
10
Aprisal, 2010, “Restrukturisasi Kredit Macet Debitor di PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terabina Seraya Mulia Selatpanjang”, (tesis) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
15
memadai yang dapat memberikan opsi yang lebih cepat, komprehensif serta memberi kepastian dan jaminan hukum dalam restrukturisasi kredit macet/piutang negara.11 Kajian dalam penelitian Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi Utang adalah mengenai
restrukturisasi
sebagai
bentuk
perdamaian
dalam
penyelesaian kredit/ piutang negara sedangkan dalam penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” dibahas mengenai implementasi restrukturisasi
kredit
dan
hambatan-hambatannya
dalam
menyelamatkan dan menyelesaikan kredit bermasalah. c)
Pelaksanaan Restrukturisasi Dalam Bentuk Pinjaman Investasi Dengan Opsi Penyertaan Saham (P.I.D.O.P.S) oleh M.Th. Endang Suhartati, Program
Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Diponegoro
Semarang pada tahun 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai pelaksanaan restrukturisasi kredit, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam restrukturisasi kredit yang dilaksanakan PT. Bank Niaga terhadap Debitur PT. Bukit Payangan dengan struktur PIDOPS dan cara mengatasinya. Penelitian ini khusus menganalisis mengenai cara restrukturisasi kredit melalui
penyertaan modal sementara dalam
perusahaan debitur khususnya dengan struktur fasilitas pinjaman yang berbentuk
11
Pinjaman
Investasi
dengan
opsi
penyertaan
saham
Palomes, 2006, ”Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi Utang” (tesis), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
16
(PIDOPS).12 Dalam penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan”, bentuk restrukturisasi tidak terbatas pada penyertaan modal sementara saja dan dilakukan di beberapa bank di Bali yang melaksanakan restrukturisasi kredit. Berdasarkan perbandingan terhadap beberapa tulisan di atas maka dapat diketahui bahwa penelitian mengenai ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” memiliki pembahasan yang berbeda dan memang belum pernah ditulis oleh peneliti lain. 7.
Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran a.
Landasan teoritis. Landasan teoritis merupakan bagian penting dalam suatu penelitian ilmiah. Landasan teori adalah landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan masalah dalam sebuah penelitian. Terkait dengan penelitian ini dikemukakan teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas-asas hukum yang relevan yang selanjutnya dijustifikasikan dengan peraturan yang ada. Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud
12
M.Th. Endang Suhartati, 2008, “Pelaksanaan Restrukturisasi Dalam Bentuk Pinjaman Investasi Dengan Opsi Penyertaan Saham (P.I.D.O.P.S), (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.
17
untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman (ialah alam yang tersimak berdasarkan indera manusia)13. Terdapat pemahaman bahwa istilah teori bukanlah merupakan sesuatu yang harus dijelaskan, tetapi segala sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami maknanya, bahkan teori sering ditafsirkan sebagai istilah tanpa makna apabila tidak berkait dengan kata yang menjadi padanannya14. Kerlinger mendefinisikan teori sebagai : “A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaning and predicting the phenomena.”15 Berbicara mengenai restrukturisasi kredit sudah barang tentu awal mula karena adanya dampak serius dari krisis sektor perkreditan yaitu tingginya rasio non-performance loan (NPL) pada bank tersebut. Sebagai upaya mengatasi tingginya rasio NPL pada bank maka BI menetapkan arah kebijaksanaan agar setiap bank umum secara bertahap dapat menurunkan NPL sampai pada tingkat tidak lebih dari 5%. Dalam hal ini bank-bank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk menurunkan NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung, atau melalui
jalur
hukum
(gugatan
pengadilan),
atau
melakukan
restrukturisasi kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya
13
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, h. 184. 14
H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto,2008, Teori Hukum ; Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 19. 15
h. 140
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
18
restrukturisasi kredit merupakan alternatif
yang banyak ditempuh
bank.16 Secara historis, ketentuan restrukturisasi kredit sebenarnya telah diatur secara khusus dalam
SK Direksi Bank Indonesia No.
31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit yang kemudian diubah menjadi Peraturan Bank Indonesia No. 2/15/PBI/ 2000 tentang Restrukturisasi Kredit, Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/ 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, dan dikuatkan dengan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit. Oleh karena itu setiap bank baik bank umum, bank perkreditan rakyat (BPR) maupun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) wajib memiliki kebijakan perkreditan yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari. Dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 ditetapkan bahwa dalam pemberian kredit tersebut sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut:
16
1.
Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan
2.
Organisasi dan manajemen perkreditan
3.
Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit
Wahyu Santoso, 2008, Restrukturisasi Kredit Sebagai Bagian Integral Restrukturisasi Perbankan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 6, No. 1, April 2008, h. 18
19
4.
Dokumentasi dan administrasi kredit
5.
Pengawasan kredit
6.
Penyelesaian kredit bermasalah Jadi mengenai penyelesaian kredit bermasalah wajib diatur dalam
kebijakan perkreditan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Menurut Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/ 2005 menyatakan bahwa kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi adalah sebagai berikut : a) setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong diragukan atau macet; b) kualitas tidak berubah untuk kredit yang sebelum deilakukan restrukturisasi tergolong lancer, dalam perhatian kusus, atau kurang lancar. Berdasarkan Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/ 2005 tersebut, dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi kredit dapat diterapkan untuk semua kategori kualitas kredit, dari mulai kredit lancar (kategori 1) hingga kredit macet (kategori 5). Walaupun mengenai restrukturisasi kredit ini sudah diatur jelas dalam berbagai peraturan namun masih ada bank yang tidak melaksanakannya dan menyimpang dari aturan yang ada. Untuk menganalisis masalah hukum mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan
20
penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan diperlukan beberapa landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Adapun beberapa landasan teoritis yang digunakan dalam tesis ini adalah : 1) Teori kesadaran hukum 2) Teori kepastian hukum 3) Teori itikad baik 4) Teori efektivitas hukum Mengenai teori-teori tersebut maka dapat dijelaskan masingmasing sebagai berikut : a.
Teori kesadaran hukum Teori kesadaran hukum digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama yakni implementasi dalam pelaksanaan restrukturisasi. Kesadaran hukum digunakan untuk mengukur perilaku nasabah dalam melakukan pembayaran kredit dan kesadaran pihak bank untuk melakukan penyelamatan terhadap kredit bermasalah kepada nasabah tanpa diskriminasi. Kesadaran hukum menunjuk pada aspek kejiwaan manusia yang sekaligus juga menunjuk pada kesamaan persepsi, pandangan dan pemahaman dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang dapat dilakukan atau perbuatan dalam menegakan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum. Ewick dan Silbey
21
memandang bahwa, “the term „legal consciousness‟ is used scientists to refer to the ways in which people make sense of law and legal institutions, that is, the understanding which give meaning to people‟s experiences and action”17. Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas kesadaran hukum ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya) atau “tribuere cuique suum” – “to give everybody his own”, memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya.18 Di dalam ilmu hukum ada banyak pendapat mengenai kesadaran hukum sebagaimana telah dikemukakan diatas. Diantara sekian banyak pengertian-pengertian itu, terdapat suatu rumusan
17
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 298 18
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta bekerjasama dengan Kantor Advokat “Hufron & Hans Simaela”, Surabaya, h. 36
22
bahwa sumber satu-satunya hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum.19 Kesadaran hukum akan menentukan apakah suatu subjek hukum taat terhadap hukum atau tidak. Weber mengatakan mengapa orang menaati hukum yaitu sebagai berikut : The motive for obedience may be of many different kinds. They are predominantly utilitarian, ethical or subjectively conventional. Tracing the habit of obeying, Weber finds that it is a primary psychological fact though it is not possible to know the experiences of the first homo sapiens. He says: it is not due to the assumed binding force of some rule or norm that the conduct of primitive man manifests certain factual regularities, especially in his relation to his fellows. On the contrary, those organically conditioned regularities which we have to accept as psychological reality are primary. It is from them that the concept of “natural norms” arises.20 Dengan demikian ketaatan hukum merupakan suatu kewajiban moral dan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan dalam kerangka penegakan hukum. b.
Teori kepastian hukum Teori
kepastian hukum
digunakan untuk
menganalisis
permasalahan pertama yakni implementasi dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit. Teori kepastian hukum dipandangan oleh Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman sebagai salah satu dari tiga ide dasar hukum. Sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga mengidentikkan ide dasar tersebut sebagai 19
Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 167 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I) 20
Hari Chand, 1994, Modern Lumpur, h. 176
Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala
23
tujuan
hukum
yaitu
(zweckmaeszigkeit)
dan
keadilan kepastian
(gerechtigkeit), hukum
kemanfaatan
(rechtssicherkeit).
Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum.21 Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang baru yaitu sejak hukum dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum adalah sicherkeit des scherts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan kepastian hukum yakni pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.22 c.
Teori itikad baik Teori itikad baik digunakan dalam menganalisis rumusan masalah pertama yakni dalam mengkaji implementasi restrukturisasi
21
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 288. 22 Ibid. hal. 292-293.
24
kredit perbankan. James Gordley, memandang bahwa kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.23 Black’s Law Dictionary memberikan rumusan untuk pengertian ”itikad baik” adalah sebagai berikut :24 good faith is an intangible and abstract quality with no technical meaning or statutory definition, and it compasses, among other things, an honest belief, the absence of malice and the absence of design to defraud or to seek an unconscionable advantage, and individual‟s personal good faith is concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not conclusively be determinded by his protestations alone .... in common usage this term is ordinarily used to describe that state of mind denoting honesty of purpose, freedom from intention to defraud, and, generally speaking, means being faithful to one‟s duty or obligation. Hofmann dan Vollmar berpandangan bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka
tidak lain maksudnya adalah
kepatutan (billikheid, redelijkheid).25 Prinsip itikad baik (good faith) harus ada sejak negosiasi, pelaksanaan kontrak hingga penyelesaian sengketa. Prinsip resiprositas mensyaratkan bahwa para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya masingmasing secara timbal balik.26 Seseorang tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, apabila ia telah berusaha dengan sekuat
23
Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 129-130. 24
Henry Campbell Black, 1990, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co., St. PaulMinnessota, h. 693. 25
Riduan Syahrani, 2000,Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, h.
212. 26
Huala Adolf, 2007, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Bandung, h. 25-27.
25
tenaga untuk melaksanakan kontrak dan menghindarkan diri dari segala malapetaka, tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa, walaupun kontrak itu telah di buat secara sah dan mengikat orang tersebut.27 Prinsip-prinsip itikad baik diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menetapkan bahwa: a.
Perjanjian berlaku pembuatnya.
sebagai
undang-undang
bagi
para
b.
Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan atau karena undang-undang menyatakan berakhir.
c.
Pacta sunt servanda: perjanjian harus ditaati oleh para pembuat.28 Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, pada
dasarnya setiap kontrak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak boleh diubah dengan jalan dan cara apapun, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Kekuatan mengikat kontrak ini dimulai sejak saat dipenuhinya syarat sahnya kontrak berarti sejak saat itu pihak-pihak harus memenuhi apa yang diperjanjikan. Mengikat sebagai undang-undang berarti pelanggaran terhadap kontrak tersebut berakibat hukum sama dengan melanggar undang-undang 29
27
Riduan Syahrani., op.cit, h. 248.
28
Budiono Kusumohamidjojo, 1998, Dasar-dasar merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta,
h. 15. 29
Juaji Sumardi, 1995, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 42
26
Teori itikad baik sesungguhnya lahir dari asas-asas dalam perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
perjanjian
itu.
Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking vande geode trouw).30 d.
Teori efektivitas hukum Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap serta sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 faktor yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas hukum yaitu : 1) Faktor hukumnya sendiri; 2) Faktor penegak hukum; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat; 5) Faktor kebudayaan.31
30
Ridwan Khairandy, op.cit. h. 33. Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II) 31
PT
27
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.32 Efektivitas hukum ini dapat pula dikaji melalui pemikiran Friedman melalui tiga elemen dalam sistem hukum yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan
dan
kepercayaan-kepercayaan
kultur
hukum,
yaitu
(keyakinan-keyakinan),
opini-opini, kebiasaan-
kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.33 Teori mengenai efektivitas hukum ini digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua yakni hambatan dalam pelaksanaan retrukturisasi yang ditelaah dari berbagai aspek. Prinsip-prinsip Perbankan Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan
32
Ibid, h. 8
33
Achmad Ali, op.cit., h. 204.
28
prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle). Prinsip perbankan ini ada yang dituangkan dalam pasal-pasal UU Perbankan, ada pula yang tidak.34 Adapun prinsip-prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut : 1.
Prinsip Kepercayaan ( Fiduciary Relation Principle ) Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan perubahan.
2.
Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle) Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam menghimpun terutama dalam menyalurkan kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan perubahan.
3.
Prinsip Kerahasiaan ( Secrecy Principle)35 Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU
Perbankan. Menurut Pasal 40, bank wajib
34
Neni Sri Imaniyati, 2005, Pencucian Uang ( Money Laundering ) dalam Perspektif Hukum Perbankan dan Hukum Islam, UNISBA, Bandung, h. 104-105 selanjutnya disebut Neni Sri Imaniyati II). 35
Pengertian rahasia bank menurut Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 adalah : “segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.”
29
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antarbank. 4.
Prinsip Mengenal Nasabah (Know How Costumer Principle) Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 31/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
b.
Kerangka pemikiran. Bank memiliki fungsi untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat. Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka akan mengakibatkan kredit bermasalah. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan melalui restrukturisasi kredit. Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teoritis, maka dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut:
`
30
Bagan 1. Oleh Penulis Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan Fasilitas Pemberian Kredit Bank
Penyaluran Kredit Kepada Masyarakat.
Perjanjian Kredit
Wanprestasi Oleh Debitur
Rasio Non Performance Loan Tinggi
Restrukturisasi Kredit
Teori teori kesadaran hukum Teori kepastian hukum
Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Sebagai Upaya Penyelamatan Kredit Bermasalah
Hambatan-hambatan dalam Restrukturisasi Kredit
Teori itikad baik Dilakukan Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berlaku
Kualitas Kredit Membaik
Perbankan yang sehat
Teori efetivitas hukum Prinsipprinsip perbankan
31
8.
Metode Penelitian a.
Jenis penelitian. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan atau situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik. Dalam penelitian hukum dengan aspek empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata. Penelitian ini mengkaji mengenai implementasi mengenai ketentuan restrukturisasi terhadap debitur wanprestasi pada kredit perbankan serta hambatan-hambatan dalam melaksanakan restrukturisasi kredit tersebut.
b.
Sifat penelitian. Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu penelitian hukum yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), Penelitian hukum yang bersifat deskriptif, dan penelitian hukum yang sifatnya eksplanatoris (menguji hipotesis). Terkait dengan tesis ini maka digunakan penelitian hukum yang sifatnya deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-
32
karakteristik atau faktor-faktor tertentu.36 Jadi dalam penelitian ini akan dideskripsikan
secara
sistematis,
faktual,
dan
akurat
mengenai
pelaksanaan ketentuan restrukturisasi dalam penyelamatan kredit bermasalah dan perlindungan hukum terhadap nasabah yang tergolong dalam kredit bermasalah dalam restrukturisasi perbankan. c.
Data dan sumber data. Dalam penelitian hukum empiris digunakan dua jenis data yaitu data primer yang bersumber dari penelitian lapangan dan data skunder yang bersumber dari penelitian kepustakaan. Untuk lebih jelas maka akan dijabarkan sebagai berikut : 1) Data primer. Data primer adalah data yang diperoleh dan bersumber dari penelitian lapangan. Jadi terkait dengan penulisan ini, data primer bersumber dari hasil penelitian di Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta. Untuk memperoleh data primer yang bersumber dari penelitian lapangan maka akan dilakukan observasi pada bank dalam pemberlakukan restrukturisasi kredit dan wawancara langsung dalam pengumpulan fakta sosial sebagai bahan kajian ilmu hukum empiris, wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung dimana semua pertanyaan disusun secara sistematik, jelas dan
36
Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 35.
33
terarah sesuai dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian.37 Wawancara dilakukan kepada komisaris utama dan bagian kredit yang memiliki deskripsi kerja dalam menangani restrukturisasi kredit bermasalah. 2) Data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dan bersumber dari penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data sekunder terdiri dari: a)
Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.38 Bahan hukum primer yang digunakan sebagai berikut : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) 2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
37
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung ,
h. 167 38
Bambang Sunggono, op.cit, h. 113.
34
3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 4) Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor:
13/9/PBI/2011
Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/18/PBI/2008
tentang
Restrukturisasi
Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 15 /PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. 6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional. 7)
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/177/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
8)
Surat
Edaran
Bank
Indonesia
Nomor
7/190/DPNP/IDPnP tanggal 26 April 2005, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/319/ DPNP/IDPnP tanggal 27 Juni 2005 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit. 9)
Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia.
35
b)
Bahan hukum sekunder Bahan hukum skunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.39 Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literaturliteratur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur hukum (buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de herseende leer) ), hasil penelitian, pendapat para pakar hukum, jurnal hukum dan artikel ilmiah yang membahas mengenai perbankan, aspek hukum perbankan, kredit macet dan restrukturisasi kredit.
c)
Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.40 Bahan hukum tertier yang digunakan dalam tesis ini adalah kamus-kamus dan ensiklopedia.
d.
Teknik pengumpulan data. Dalam penelitian hukum empiris ini digunakan 3 (tiga) teknik untuk mengumpulkan data yaitu studi dokumen untuk pengumpulan data sekunder, dan wawancara untuk pengumpulan data primer. Untuk lebih jelas maka akan dijabarkan sebagai berikut: 1) Studi dokumen, merupakan teknik yang digunakan dalam rangka pengumpulan data sekunder, studi dokumen merupakan teknik awal
39
Bambang Sunggono, op.cit, h.114
40
Bambang Sunggono, op.cit, h.114
36
yang
digunakan
dalam
setiap
penelitan
hukum.
Metode
pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan tanpa mengganggu obyek atau suasana penelitian.41 Studi dokumen ini dilakukan dalam mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 2) Observasi
dilakukan
terhadap
bank
dalam
pemberlakukan
restrukturisasi kredit sejak pengajuan kredit, perilaku marketing, respon
bank
dalam
menghadapi
nasabah
wanprestasi
dan
penyelesaian kredit bermasalah. 3) Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.42 Wawancara dilakukan di Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta. e.
Teknik penentuan sampel penelitian. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.43 Sampel merupakan bagian yang menjadi objek penelitian. Adapun teknik penentuan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
41
Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu, Yogyakarta, h. 225. 42
Cholid Narbuko, dan H. Abu Achmadi, , 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, h. 83. 43
Bambang Sunggono, op.cit., h. 119.
37
1)
Purposive sampling adalah penarikan sampel berdasarkan tujuan tertentu yang dipilih sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan berdasarkan kriteria dan karakteristik tertentu. Teknik penentuan sampel ini digunakan untuk memilih Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta sebagai lokasi penelitian. Adapun penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada kriteria bahwa di bank-bank tersebut terdapat kredit macet dan restrukturisasi terhadap kredit macet.
2)
Snowball Sampling adalah teknik penarikan sampel yang didasarkan pada rekomendasi dari sampel sebelumnya.
Teknik
penarikan sampel ini digunakan untuk mencari keberadaan kebijakan restrukturisasi kredit perbankan. f.
Teknik pengolahan dan analisis data. Teknik pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisis secara kwalitatif. Tujuan mempergunakan metode kualitatif adalah agar seorang peneliti dapat mengerti atau memahami gejala yang diteliti.44 Metode kualitatif dapat menggambarkan fenomena yang terjadi di masyarakat dapat diteliti melalui penggalian kasus-kasus konkrit dan keadaan hukum di lapangan yang mana terfokus pada pengkajian terhadap pemikiran, makna dan cara pandang baik masyarakat, ahli hukum maupun penulis
44
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, h. 32 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III).
38
sendiri mengenai gejala-gejala yang menjadi objek penelitian.45 Kasuskasus yang ditelaah meliputi penentuan kredit bermasalah oleh bank akibat adanya debitur wanprestasi dan kebijakan restrukturisasi di masing-masing bank . Setelah melalui proses pengolahan yang selektif, kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif analisis, yaitu dijabarkan dalam bentuk uraian–uraian yang nantinya dapat menjawab permasalahan mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur wanprestasi pada kredit perbankan.
45
Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 57.
39
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP RESTRUKTURISASI KREDIT PERBANKAN
1.
Perbankan dan Dasar Hukum Perbankan Pembangunan
memerlukan
dana
yang
tidak
sedikit
dan
berkesinambungan. Dalam hal pengerahan dana masyarakat tidak dapat dikesampingkan peran lembaga perbankan. Bank merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bank sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Perbankan perubahan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat, memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam pembangunan nasional. Fungsi utama bank adalah menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat, sehingga bank sebenarnya adalah lembaga perantara. Sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat (financial intermediary), bank menjadi media perantara pihak-pihak yang kelebihan
dana
(surplus
of
fouds)
kekurangan/memerlukan dana (lack of fouds).46
46
Muhamad Djumhana I, op.cit., h. 67
dengan
pihak-pihak
yang
40
Pasal 2 UU Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi UU Perbankan perubahan menetapkan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan
demokrasi
ekonomi
adalah
demokrasi
ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Demokrasi ekonomi ini tersimpul dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Dasar hukum berlakunya lembaga jika diurutkan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33) 2. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan 3. KUH Perdata 4. KUH Dagang 5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia 6. Peraturan Pemerintah 7. Peraturan Presiden 8. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perbankan Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang mengatur tentang perbankan, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
41
perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk undang-undang juga telah dikeluarkan berbagai kebijakan dibidang perbankan dalam bentuk Surat Keputusan, Peraturan Bank Indonesia, maupun Surat Edaran Bank Indonesia. Pengaturan perbankan di Indonesia memiliki beberapa fungsi utama yaitu sebagai berikut : 1) Untuk tujuan moneter Pengaturan perbankan diarahkan untuk tujuan moneter, ditujukan untuk mendrong stabilitas moneter di Indonesia. Hal ini mengingat masih dominannya perbankan sebagai sumber pembiayaan investasi. 2) Untuk tujuan pengawasan terhadap industri perbankan Pengaturan perbankan untuk tujuan pengawasan adalah dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan sistem keuangan secara keseluruhan, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas pasar uang serta mendorong sistem perbankan yang efisien dan kompetitif. 3) Untuk tujuan pembangunan Pengaturan perbankan untuk tujuan pencapaian program pembangunan diarahkan agar perbankan nasional dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi pada masa pembangunan.47 Menurut jenisnya, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
47
Heri Supraptomo, 1996, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Makalah pada Pertemuan Ilmiah tentang Analisis Ekonomi terhadap Hukum dalam Menyongsong Era Globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, h. 7
42
konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 6 UU Perbankan perubahan, menyatakan bahwa: Usaha Bank Umum meliputi: a.
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ; b. memberikan kredit ; c. menerbitkan surat pengakuan hutang ; d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya: 1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ; 2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ; 3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ; 4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ; 5. obligasi ; 6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ; 7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ; e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ; f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ; g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan antar pihak ketiga ; h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ; i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ; j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ; k. dihapus ; l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat ; m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
43
n.
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain melakukan kegiatan usaha tersebut, dalam Pasal 7 UU
Perbankan perubahan ditentukan juga bahwa Bank Umum dapat pula : a.
melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
b.
melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti sewamguna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
c.
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; dan
d.
bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 13 UU Perbankan perubahan menentukan bahwa: Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi : a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
44
b. c.
memberikan kredit ; menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas,. Koperasi ; atau Perusahaan Daerah sedangkan bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari Perusahaan Daerah, Koperasi, Perseroan Terbatas
atau bentuk lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa bank merupakan financial intermediary (lembaga perantara keuangan), dengan demikian memiliki tugas utama dalam menghimpun dan menyalurkan kembali dana kepada masyarakat. Untuk kesinambungan usaha perbankan maka diperlukan pengawasan untuk menghindari kredit bermasalah. 2.
Kredit dalam Kegiatan Usaha Perbankan Lembaga perbankan merupakan suatu lembaga keuangan yang menjembatani antara pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang memerlukan dana, atau merupakan lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan masyarakat (financial intermediary). Sifat lembaga perbankan di Indonesia secara umum mempunyai sifat yang sama dengan sifat lembaga perbankan yang ada di seluruh dunia, yaitu bahwa lembaga perbankan mempunyai sifat sebagaimana disampaikan para ahli hukum perbankan, yaitu sebagai berikut:48 48
Muhamad Djumhana, 2008, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 15 (Selanjutnya disebut Muhamad Djumhana II)
45
a.
Lembaga perbankan merupakan lembaga yang menjadi penggerak roda perekonomian modern dan menjadi penentu tingkat kestabilan perekonomian suatu Negara karena apabila lembaga perbankan tidak berjalan dengan baik, perekonomian menjadi tidak efisien, dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Kondisi seperti hal itu akan terlihat bahwa kebijakan moneter untuk mencapai dan mempertahankan kestabilan moneter ataupun pengelola ekonomi makro untuk pertumbuhan ekonomi dan penyediaan kesempatan kerja dapat tidak berjalan secara berkelanjutan apabila tidak adanya perbankan yang sehat.
b.
Lembaga perbankan merupakan lembaga yang bertumpu pada kepercayaan masyarakat sehingga dikenal adanya kerahasiaan bank. Konsekwensinya apabila masyarakat sudah tidak mempercayai lagi suatu bank, bank tersebut akan rentan terhadap serbuan masyarakat yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berponsi merugikan deposan dan kreditor bank. Selanjutnya, dampaknya tidak menutup kemungkinan bank tersebt akan ambruk, bahkan menyebar ke bank-bank lainya dengan cepat. Dua sifat diatas merupakan sifat yang umum dari suatu lembaga
perbankan dan kekhususan sifat lembaga perbankan di Indonesia ditetapkan dalam regulasinya, yaitu harus berperan sebagai agen pembangunan.
46
Dengan merujuk pendapatnya Nicholas A. Lash, Nindyo Pramono, menguraikan tujuan dari pada perbankan. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut :49 1.
Menjaga keamanan bank;
2.
Memungkinkan terciptanya iklim kompetisi yang sehat;
3.
Pemberian kredit untuk tujuan khusus;
4.
Perlindungan terhadap nasabah;
5.
Terciptanya suasana yang kondusif bagi pengambilan kebijakan moneter. Terkait dengan pemberian kredit, selain merupakan salah satu tujuan
dari perbankan, pemberian kredit merupakan salah satu layanan jasa perbankan yang cukup klasik. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila ada yang berpendapat bahwa bank adalah sebagai tempat meminjam uang. Selain itu pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dan sangat konvensional dari perbankan. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu Credere yang artinya “percaya.” Apabila hal tersebut dihubungkan dengan tugas bank, maka terkandung pengertian bahwa bank
selaku kreditur percaya untuk
meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah (debitur) karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka
49
Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 30.
47
waktu yang ditentukan.50 Jual beli dengan cara kredit ini sudah biasa ditemui dalam kegiatan sehari-hari. Kredit adalah penyerahan barang, jasa atau utang dari satu pihak (kreditur atau pemberi pinjaman) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain (debitur atau penerima pinjaman atau penghutang) dengan janji membayar dari debitur kepada kreditur pada tanggal yang telah disepakati kedua belah pihak. Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank/ kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak penerima pinjaman (debitur) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan imbalan atau bagi hasil.51 Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia yaitu “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang, suatu
50
Gatot Suparmono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit; Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, h. 152. 51
Bendi Linggau dan Hamidah, 2010, Bisnis Kredit Mikro; Panduan Praktis Bankir Mikro dan Mahasiswa, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h. 19.
48
pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :52 1) Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang; penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafond kredit. 2) Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain; persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit. 3) Adanya kewajiban melunasi utang; Pinjam meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank kepada debitur adalah suatu pinjaman uang dan debitur wajib melakukan
pembayaran
penulasan
kredit
sesuai
dengan
jadwal
pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit. 52
M. Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 76-78
49
4) Adanya jangka waktu tertentu; Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka tertentu. Jangka waktu tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat bank dengan debitur. Jangka waktu yang ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban bank untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukan kesempatan dilunasinya kredit. 5) Adanya pemberian bunga kredit; Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun sering pula disebut sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia. Mengenai unsur-unsur kredit, Thomas Suyatno mengemukakan sebagai berikut: a) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan
50
benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. b) Tenggang waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu itu, terkandung pengertian nilai agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima di masa mendatang. c) Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antar pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena sejauh-jauhnya kemampuan manusia untuk menerobos masa depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang akan dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah, maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit. d) Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berbentuk jasa atau barang. Namun karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.53
53
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 58-59.
51
Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang piutang pada umumnya. Namun senyatanya dalam kaidah hukum perdata, antara utang dan kredit merupakan dua perbuatan hukum yang berbeda dan memiliki konsekwensi yuridis yang berbeda pula. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 1757 KUH Perdata menyatakan bahwa apabila sang debitur tidak membayar bunga atas pinjamanya maka kreditor tidak dapat menuntut kebatalan atas perjanjian utang piutangnya apabila bunga atas utang tidak diperjanjikan sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada bunga dalam utang piutang bila tidak diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya.54 Jadi berdasarkan hal tersebut di atas utang piutang pada umumnya ini berbeda dengan ketentuan dalam kredit perbankan yang memiliki kekhasan tersendiri. Secara lebih jelas perbedan antara kredit dan utang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :55 PERBEDAAN ANTARA KREDIT DAN UTANG NO. KREDIT UTANG 1. Pembayaran kredit dilakukan Pembayaran dapat dilakukan dengan cara mengangsur; dengan cara mengangsur ataupun secara tunai; 2.
Ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan dipinjam yang dimasukan ke dalam perjanjian kredit;
Tidak ditentukan tujuan penggunaan uang dan tidak perlu dibuat perjanjian yang mengatur tentang penentuan tujuan penggunaan dana;
54
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum ( Legal Action ) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 1 55
Feby M. Sukantendel, 2007, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda memahami dan Menyelesaikan Masalah Kredit Melalui Kelembagaan Hukum dan Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, h. 132.
52
3.
Ditentukan bunga, imbalan, atau Bunga tidak ditentukan bila tidak bagi hasil atas pinjaman yang diperjanjikan.bahkan kadang kala ditentukan; utang piutang dapat terjadi tanpa bunga;
Dalam pemberian kredit, berlaku asas bahwa siapa yang berutang maka dialah yang wajib membayarnya. Orang yang berutang pada umumnya karena ada sesuatu kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sehingga harus mencari dana untuk menutupi dengan cara meminjam. Pihak yang diberikan pinjaman dana sebagai penolong sewaktu si berutang membutuhkannya. Ketika waktu yang dijanjikan tiba, maka utang wajib dikembalikan. Sebuah utang bukan pemberian uang. Orang yang tidak mengembalikan utang merupakan keahatan penggelapan.56 Untuk memberikan kepastian hukum dalam pemberian kredit maka hak dan kewajiban kreditur dan debitur harus dituangkan dalam suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kredit. Perjanjian merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban.57 Dasar hukum dari perjanjian kredit diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah 56 57
Gatot Suparmono, op.cit., h. 157.
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, h. 43.
53
jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.58 Perjanjian tersebut memuat hak dan kewajiban dari kreditur dan debitur. Dokumen-dokumen dalam pemberian kredit memiliki peranan penting dalam bidang hukum. Peter Gillies dan Gabriël Moens menuliskan sebagai berikut: The security aspect of a documentary credit rests upon the fact that it represents an undertaking by the bank issuing the documentary credit at the request of its customer (usually the buyer of goods), to pay the beneficiary (usually the seller of goods), a specified amount on condition that the beneficiary presents to the bank stipulated documents.59 Aspek keamanan dari sebuah dokumen kredit berstandar pada fakta bahwa dokumen tersebut merupakan suatu usaha dari bank yang menerbitkan dokumen kredit atas permintaan pelanggan (biasanya pembeli barang), untuk membayar penerima (biasanya penjual barang), seorang jumlah yang ditentukan dengan syarat bahwa penerima dan bank telah menetapkan hubungan hukum tersebut dalam perjanjian kredit.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni adanya kesepakatan, para pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, mengenai hal tertentu dan causa yang halal. Menurut Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yakni: 58
Sutan Remmy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 34. (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini II). 59
Peter Gillies dan Gabriël Moens, 2000, International Trade And Business: Law, Policy and Ethics, Cavendish Publishing, Sidney Australia, h. 387.
54
1. Perjanjian kredit berfungi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasanbatasan hak dan kewajiban diantara debitur dan kreditur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. 60 Pembuat Undang-undang menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam.61 Hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam pemberian kredit ini wajib dituangkan dalam perjanjian kredit yang berbentuk tertulis. Perjanjian ini menjadi bukti dari adanya hubungan hukum dan perbuatan hukum para pihak. 3.
Jaminan dalam Pemberian Kredit Jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto adalah “sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.”62 Remy Sjahdeini menilai bahwa jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, mudah untuk diuangkan yang diikat dengan
60
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,Cet.ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, h. 321. 61 62
Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 148.
Hartono Hadisoeprapto, 2004, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, h.50.
55
janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur.63 Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali hubungannya dengan hukum benda-benda.64 Jaminan pada dasarnya dibedakan menjadi dua yakni jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan atau pribadi adalah jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Jaminan kebendaan merupakan tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur terhadap debiturnya, atau antara kreditur dengan seorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur.65 Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri dan mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan immateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap harta kekayaan debitur pada
63
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Azas-azas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, h. 132. (selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini III). 64
Mariam Darus Badrulzaman, 1987, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fidusia, Alumni, Bandung, h. 265 65
Hermansyah, op.cit., h. 74.
56
umumnya.66 Dilihat dari kedua jenis jaminan ini, maka dalam pemberian kredit perbankan, jaminan yang digunakan adalah jaminan materiil atau jaminan yang bersifat kebendaan. Benda atau barang yang dijadikan sebagai objek jaminan hutang, akan dapat diketahui apakah benda tersebut milik si debitur atau pihak lain. Apabila benda atau barang yang dijadikan sebagai obyek jaminan hutang milik si pemohon (debitur). Menurut M. Bahsan sebagai obyek jaminan kredit merupakan milik pihak (orang) lain maka bank perlu meneliti keabsahan pengunaannya sebagai jaminan kredit kepada bank oleh pemohon kredit.67 Pembuktian ini sangat penting untuk memberikan keyakinan bagi bank untuk mencairkan kredit kepada nasabah. Kewajiban untuk menyerahkan jaminan utang oleh pihak peminjam dalam rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara pihak-pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang.68 Fungsi jaminan dalam pemberian kredit bank merupakan source of the last resort bagi pelunasan kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur artinya, bila ternyata sumber utama pelunasan nasabah debitur yang berupa hasil keuangan yang diperoleh dari usaha debitur (first way out) tidak memadai, sebagaimana yang diharapkan, maka hasil eksekusi dari jaminan itu (second
66
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah , Liberty, Yogyakarta, h.46-47 67
Ibid., h. 114
68
M. Bahsan, op.cit., h. 2.
57
way out) diharapkan menjadi sumber pelunasan alternatif terakhir yang dapat diharapkan oleh bank dari debitur tersebut. 69 Dalam pelaksanaan penilaian jaminan utang dari segi hukum, pihak pemberi
pinjaman
seharusnya
melakukannya
menurut
(berdasarkan)
ketentuan hukum yang berkaitan dengan objek jaminan utang dan ketentuan hukum tentang penjaminan utang yang disebut sebagai hukum jaminan.70 Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non-bank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat benda jaminan yang baik adalah: a. dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukan. b. tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya. c. memberikan kepastian pada si kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit.71 Dalam menilai kelayakan benda obyek jaminan, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan tentang obyek jaminan tersebut yakni mempunyai
69
Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 153.
70
Bahsan, op.cit., h. 3.
71
Salim, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada. Jakarta, h. 27-28.
58
nilai atau harga secara ekonomis bila dijadikan jaminan hutang. Adapun ukuran yang perlu diperhatikan adalah: a.
Jenis dan bentuk jaminan, apakah merupakan barang yang bergerak dan apa jenisnya, barang tidak bergerak dan apa jenisnya, penanggungan hutang dan apa jenisnya.
b.
Kondisi obyek jaminan, akan sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomisnya, karena kondisi obyek jaminan sering berkaitan dengan keadaan fisiknya, persyaratan teknisnya dan kelengkapan lainnya.
c.
Kemudahan pengalihan kepemilikan obyek jaminan, hal ini sangat berpengaruh pada suatu obyek jaminan yang mudah dapat dialihkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain akan mempunyai nilai ekonomi yang relatif baik.
d.
Tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran, suatu barang yang dijadikan sebagai obyek jaminan, tingkat harga tidak hanya didasarkan kepada permintaan dan penawaran, tetapi juga kepada kestabilan dan prospek perkembangan harganya, tingkat harga ini merujuk kepada harga pasar yang berlaku.
e.
Penggunaan obyek jaminan, dapat mempengaruhi tingkat harga atau nilai ekonominya dari pemanfaatan obyek jaminan tersebut.72 Penilaian terhadap jaminan sangat penting untuk menentukan apakah
calon nasabah layak atau tidak diberikan kredit dan berapa besaran kredit yan dapat diberikan.
72
Bahsan, op.cit., h. 124-126
59
4.
Terminologi
Restrukturisasi
Kredit
Dalam
Penyelamatan
dan
Penyelesaian Kredit Bermasalah Penetapan kualitas Kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur; dan kemampuan membayar, dengan mempertimbangkan komponen-komponen dari masing-masing faktor penilai tersebut. Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen; serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian tersebut, kualitas Kredit ditetapkan menjadi: a. Lancar; b. Dalam Perhatian Khusus; d. Kurang Lancar; e. Diragukan; atau f. Macet. Istilah kredit bermasalah telah digunakan Perbankan Indonesia sebagai terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di dunia internasional. Istilah lain dalam Bahasa Inggris yang biasa dipakai bagi istilah kredit bermasalah adalah non-performing loan.73 Kredit bermasalah atau non-performing loan merupakan resiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Risiko tersebut berupa keadaan dimana kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya. Kredit bermasalah 73
Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet; Kenapa Perbankan Memanjakan Debitur Besar sedangkan Usaha/ Debitur Kecil Dipaksa, Gramedia, Jakarta., h. 35.
60
atau nonperforming loan di perbankan itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ada kesengajaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses kredit, kesalahan prosedur pemberian kredit, atau disebabkan oleh faktor lain seperti faktor makroekonomi.74 Kredit dikategorikan sebagai kredit bermasalah (nonperforming loan) adalah apabila kualitas kredit tersebut tergolong pada tingkat kolektabilitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Untuk kredit bermasalah yang bersifat nonstruktural, pada umumnya dapat diatasi dengan langkah-langkah restrukturisasi berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit, dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan sementara. Adapun untuk kredit bermasalah yang bersifat struktural pada umumnya tidak dapat diselesaikan dengan restrukturisasi sebagaimana kredit bermasalah yang bersifat nonstruktural, melainkan harus diberi pengurangan pokok kredit (haircut) sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 agar usahanya dapat berjalan kembali
dan
pendapatannya
mampu
untuk
memenuhi
kewajiban-
kewajibannya.75 Untuk menyelesaikan kredit bermasalah itu dapat ditempuh dua acara atau strategi, yaitu penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah penyelesaian
74
Hermansyah, op.cit., h. 75.
75
Hermansyah, op.cit., h. 75.
61
kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditur dan nasabah pemimjam sebagai debitur, sedangkan penyelesaian kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), melalui badan peradilan, dan melalui arbitrase atau badan alternatif penyelesaian sengketa. 76 Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/ BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam surat edaran tersebut yang dimaksudkan dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring) adalah: 77 1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace period), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu penambahan kredit.
76
Hermansyah, op.cit., h. 75-76.
77
Hermansyah, op.cit., h. 76-77.
62
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, dan/ atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas atau seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan. 3. Penataan kembali (restructuring), yaitu upaya berupa melakukan perubahan-perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit
menjadi
perusahaan,
yang
dilakukan
dengan
atau
tanpa
rescheduling dan/ atau reconditioning. Pengertian restrukturisasi secara normatif dapat dilihat Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Dalam ketentuan umum Peraturan Bank Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa: Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: a. penurunan suku bunga Kredit; b. perpanjangan jangka waktu Kredit; c. pengurangan tunggakan bunga Kredit; g. pengurangan tunggakan pokok Kredit; h. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau i. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara. Istilah restrukturisasi juga dapat ditemukan pada Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank tersebut menyatakan bahwa:
63
Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi: 1) perubahan jadwal pembayaran; 2) perubahan jumlah angsuran; 3) perubahan jangka waktu; 4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; 5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; dan/atau 6) pemberian potongan. c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi: 1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; 2) konversi akad Pembiayaan; 3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau 4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. Menurut Kasmir, restructuring adalah tindakan bank kepada nasabah dengan cara menambah modal nasabah dengan mempertimbangkan nasabah memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang dibiayai memang masih layak. Tindakan ini meliputi penambahan jumlah kredit dan penambahan equity (dengan menyetor uang tunai dan tambahan dari pemilik).78
Restrukturisasi
merupakan
salah
satu
upaya
untuk
meminimalkan potensi kerugian dari debitur bermasalah sepanjang debitur masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar.
78
Kasmir, op.cit., h. 131.
64
Kesepakatan mengenai restrukturisasi dituangkan dalam perjanjian baru dengan demikian perjanjian yang sebelumnya telah dihapuskan. Pasal 1381 KUHPer menyebutkan 10 (sepuluh) cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
1. 2.
Pembayaran; Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. Pembaharuan utang; 4. Perjumpaan utang atau kompensasi; 5. Pencampuran utang; 6. Pembebasan utang; 7. Musnahnya barang yang terutang; 8. Batal/pembatalan; 9. Berlakunya suatu syarat batal dan 10. Lewatnya waktu (Daluawarsa). Hapusnya perikatan karena restrukturisasi kredit dilakukan dengan cara pembaharuan utang atau Novasi.
65
BAB III IMPLEMENTASI KETENTUAN RESTRUKTURISASI KREDIT
1.
Wanprestasi sebagai Awal Penyebab Kredit Bermasalah Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilai (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar) dengan mempertimbangkan komponen-komponen lainnya. Penetapan
kualitas
kredit
dilakukan
dengan
mempertimbangkan
signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian tersebut, kualitas kredit dibedakan menjadi lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet.79 Dari kelima jenis penilaian ini maka dapat digolongkan bahwa kredit tidak bermasalah adalah dengan kualitas kredit lancar dan dalam perhatian khusus, sedangkan kredit bermasalah adalah kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan macet. Kredit tidak bermasalah ditandai dengan pemenuhan prestasi dari debitur kepada kreditur. Prestasi dalam hukum perjanjian diartikan sebagai pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian oleh para pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan
79
Badriyah Harun, op.cit., h. 114.
66
“term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.80 Pasal 1234 KUH Perdata menentukan bahwa yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, tidak melakukan sesuatu. Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat: a.
Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang.
b.
Harus tertentu atau dapat ditentukan.
c.
Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.81 Prestasi debitur kepada kreditur berupa pembayaran angsuran dengan
besar pembayaran, waktu pembayaran dan jangka waktu pelunasan kredit sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kredit yang telah dibuat sebelumnya oleh para pihak. Berbicara mengenai prestasi maka perlu diketahui hak dan kewajiban bagi para pihak sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kredit. Kreditur pada umumnya memiliki kewajiban untuk memberikan fasilitas kredit dan informasi yang sesuai kepada nasabah debitur serta memiliki hak untuk menerima pembayaran yang terdiri dari akumulasi angsuran pokok, bunga atau denda jika lewat waktu jatuh tempo. Nasabah selaku debitur wajib melakukan pembayaran minimal (tergantung jenis yang dipilih) dan menyerahkan jaminan kepada kreditur. Nasabah memiliki hak untuk
80
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 87 (selanjutnya disebut Munir Fuady II). 81
79.
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.
67
mendapatkan fasilitas kredit yang sesuai dan informasi-informasi tentang fasilitas kredit yang diterimanya, misalnya metode pembayaran, lembar penagihan dan lain-lain. Pada BTPN, pihak bank berhak melakukan pemotongan secara sistem pada gaji pensiun nasabah dan menyimpan SK pensiun sebagai jaminan kredit sampai jangka waktu kredit berakhir. Pihak nasabah wajib menyerahkan SK pensiun dan persyaratan yang diperlukan pihak bank untuk proses administrasi. Selanjutnya nasabah wajib melaksanakan pembayaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.82 BTPN merupakan bank yang memberikan pelayanan khususnya bagi nasabah pensiunan, sehingga fasilitas kredit yang diberikan oleh BTPN tergantung dari dana pensiunan nasabah. Kredit bermasalah terjadi apabila para pihak tidak melakukan kewajibannya yang terdiri dari kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan macet. Kredit macet dapat dikatakan sebagai kredit bermasalah yang memerlukan penyelesaian secara khusus. Kredit macet dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal penyebab kredit macet yaitu kebijakan perkreditan yang ekspansif, penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang baik dari pemilik, pengurus dan pegawai bank, lemahnya sistem informasi kredit macet. Faktor eksternal yang menjadi penyebab kredit macet adalah kegagalan usaha debitur, pemanfaatan iklim persaingan usaha perbankan yang tidak sehat 82
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
68
oleh debitur, serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.83 Budi Untung berpendapat, meskipun perbankan merupakan sektor yang strictly well regulated, tetapi kredit macet masih dapat terjadi diantaranya dapat disebabkan karena:84 a. b. c. d. e.
Kesalahan appraisal Membiayai proyek dari pemilik/ terafiliasi Membiayai proyek yang direkomendasi oleh kekuatan tertentu Dampak makro ekonomi/ unforecasted variable Kenakalan nasabah
Menurut Krisna Wijaya dalam bukunya yang berjudul “Analisis Kebijakan Perbankan Nasional”, dari pengalaman praktik apabila terjadi kredit macet pada sebuah bank, penyebabnya hanya ada dua, yaitu karena error ommission dan error commission. Error omission adalah timbulnya kredit macet yang diakibatkan oleh adanya unsur kesengajaan manusia untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang ditetapkan sedangkan error commission adalah timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya peraturan-peraturan atau ketentuan yang memang belum ada atau sudah ada, tetapi tidak jelas.85 Dengan demikian kredit macet tersebut dapat disebabkan karena keadaan ekonomi debitur yang menurun atau karena kesengajaan dari debitur untuk tidak melaksanakan prestasinya. Pelaksanaan prestasi oleh debitur kepada kreditur dalam bentuk pembayaran kewajiban atas kredit yang diberikan kreditur (bank) akan 83
Iswi Hariyani, op.cit., h. 38.
84
H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, h. 121
85
Krisna Wijaya, 2010, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, Kompas Gramedia, Jakarta, h. 206.
69
menyebabkan kredit lancar dan dalam perhatian khusus, sedangkan apabila terjadi waprestasi maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah, khususnya kredit macet. Wanprestasi (default atau non fulfilment ataupun yang disebut dengan istilah breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.86 Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena: 1.
Kesengajaan.
2.
Kelalaian.
3.
Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian). Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang berarti
tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam perjanjian. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi
(tidak
melaksanakan
kewajibannya)
dan
dia
dapat
dipersalahkan.87 Wanprestasi merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya perjanjian menjadi terhenti. Pada situasi normal antara prestasi dan kontraprestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang dinamakan wanprestasi. Jadi yang dimaksud dengan
86
Ibid
87
Ibid.
70
wanprestasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.88 Pada umumnya jenis-jenis wanprestasi dapat berupa tidak memenuhi prestasi, terlambat melakukan prestasi atau melakukan namun tidak sebagaimana mestinya. Kategori kredit bermasalah di bank, salah satunya disebabkan karena wanprestasi dari debitur. Adanya wanprestasi menjadi indikator dari adanya kredit bermasalah. Suatu kredit dikatakan bermasalah apabila ada keterlambatan pembayaran dari jadwal angsuran yang telah disepakati, atau kurangnya dana untuk melakukan pembayaran (terutama bila pembayaran dilakukan dengan sistem autodebet) dan tidak membayar sama sekali. 89 Debitur yang melakukan wanprestasi dapat disebabkan oleh dua faktor, yang pertama karena memang debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya karena tidak memiliki penghasilan atau usahanya bermasalah, kedua karena debitur tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan prestasi.90 Ni Wayan Parmini, nasabah BTPN tergolong nasabah yang tidak memiliki kemampuan membayar karena dana pensiunannya tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan angsuran kredit konsumtif yang pernah
88
Munir Fuady II, op.cit., h .87 (selanjutnya disebut dengan Munir Fuady II).
89
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014. 90
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
71
diajukan. 91 Akibat hukum akibat wanprestasi dapat dituntut apabila sudah dapat ditentukan apakah debitur wanprestasi dan sejak kapan telah melakukan wanprestasi. Dalam praktik hukum di masyarakat untuk menentukan sejak kapan seorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah. Pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah ada pernyataan lalai dari pihak yang dirugikan. Pada tahap awal pihak bank biasanya mengirimkan surat teguran atau somasi kepada debitur agar kembali memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya. Dalam surat teguran tersebut pihak bank menetapkan batas waktu kepada debitur untuk memenuhi janji prestasi. Apabila batas waktu tersebut terlewati maka debitur sudah dapat dikategorikan wanprestasi. Penetapan debitur sebagai pihak yang telah melakukan wanprestasi dapat menyebabkan akibat hukum yang lebih lanjut.92 Undang-undang sesungguhnya telah memberikan pemecahan dalam menentukan saat terjadinya ingkar janji/wanprestasi, yaitu dengan lembaga “penetapan lalai” (ingebrekesstelling). Penetapan lalai adalah pesan kreditur kepada debitur, dengan mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.93 Sejak saat itu pulalah debitur harus menanggung akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Jadi penetapan lalai adalah syarat
91
Wawancara dengan Ni Wayan Parmini, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada tanggal 4 Januari 2015. 92 Iswi Hariyani, op.cit., h. 29. 93
Munir Faudy II, op cit, h. 88-89.
72
untuk menetapkan terjadinya ingkar janji.94 Dengan demikian penetapan lalai ini menjadi pedoman dalam menentukan penetapan terjadinya wanprestasi. Wanprestasi debitur membawa akibat hukum berupa timbulnya hak kreditur sebagai pihak yang dirugikan untuk menuntut debitur yang melakukan wanprestasi untuk memberikan pembayaran ganti rugi. Akibat hukum tersebut diatur pada Pasal 1243-Pasal 1252 KUH Perdata. Pasal 1236 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Si berutang adalah wajib memberikan ganti rugi, bunga, kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya,
atau
telah
tidak
merawat
sepenuhnya
guna
menyelamatkannya.” Dalam Pasal 1239 KUH Perdata menentukan bahwa ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut memberikan ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga. Dasar hukum dari akibat wanprestasi dapat dilihat dari Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : ”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya” Dalam hal terjadi wanprestasi maka, pihak yang dirugikan yang dalam hal ini adalah bank sebagai kreditur dapat
94
menegakkan hak-haknya
Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Perikatan, Binacipta, Bandung, h. 19.
73
sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata. Pasal 1267 KUH Perdata menyatakan
bahwa
”Pihak yang terhadapnya perikatan tidak
dipenuhi, dapat memilih,memaksa pihak lain untuk memenuhi Perjanjian, jika
hal
itu
masih
dapat
dilakukan
atau
menuntut
pembatalan
persetujuan,dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, pengalihan resiko, maupun membayar biaya perkara.95 Dalam perjanjian kredit selalu diatur mengenai kondisi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur. Akibat hukum dari wanprestasi debitur adalah pengenaan denda hingga pelelangan agunan. Apabila debitur tidak melakukan pembayaran maka tindakan utama yang dilakukan oleh pihak bank adalah memberikan peringatan bagi debitur untuk melaksanakan kewajibannya dan melakukan penelusuran terhadap debitur mengenai alasannya tidak melakukan pembayaran. Negosiasi menjadi hal yang diupayakan sebelum membawa masalah tersebut ke pengadilan. Wanprestasi adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada seorang lain. Oleh sebab itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Wanprestasi dari debitur dalam melaksanakan pembayaran akan menyebabkan kredit bermasalah kredit bermasalah akan berdampak bagi banyak pihak. Kredit
95
Abdul R.Saliman, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Edisi kedua, Cetakan kesepuluh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 50
74
bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya, dan juga terhadap kehidupan ekonomi dan moneter suatu negara.96 Dampak tersebut kemudian dirinci oleh Badriyah Harun sebagai berikut: Bagi bank pemberi kredit akan membuat menurunnya keuntungan bank yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelayakan bank untuk beroperasi. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap perputaran dana bank di masyarakat. Dana segar yang seharusnya berputar di masyarakat akan terhenti akibat masyarakat tidak mendapatkan dana yang tersedia. Dampak secara langsungnya, masyarakat tidak dapat mendapatkan dana segar sehigga segala kegiatan usaha masyarakat yang membutuhkan dana perbankan akan terhenti. Dengan demikian, kelumpuhan usaha menyebabkan tingkat pengangguran dan kemiskinan akan menjadi semakin meningkat.97 Wanprestasi menimbulkan kerugian bagi pihak lawan. Oleh sebab itu pihak yang melakukan wanprestasi harus menanggung kerugian akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).98 Terjadinya wanprestasi sebenarnya tidak sematamata karena itikad yang tidak baik dari nasabah. Nasabah seringkali terjebak dengan perjanjian baku dari pihak kreditur yang membuat debitur yang pada dasarnya memerlukan dana menerima hal tersebut. Debitur bahkan tidak diberikan kesempatan untuk membaca perjanjian kredit dan diminta untuk segera menandatangani perjanjian pada saat itu pula.
96
Siswanto Sutojo, 2008, Menangani Kredit Bermasalah, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, h.
97
Badriyah Harun, op.cit., h. 117.
25. 98
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakart., h. 75.
75
Dalam kebijakan restrukturisasi kredit bermasalah sebagaimana yang diamanatkan Bank Indonesia, akibat wanprestasi tersebut menimbulkan hak bagi kreditur (bank) untuk mengajukan tuntutan pemenuhan perjanjian kredit terhadap debitur yang tidak mampu membayar dengan cara memberikan keringanan bagi debitur penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan, tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit; dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Kebijakan restrukturisasi secara normatif hanya diberikan kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya bukan kepada debitur yang dengan sengaja tidak membayar karena itikad yang tidak baik. Dalam Pasal 1244 KUHPerdata diatur sebagai berikut: “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” Tingginya kredit bermasalah harus diantisipasi dengan mencadangkan resiko kredit. Menurut A.P. Faure dalam bukunya yang berjudul Banking: An Introduction menyatakan “credit risk is the risk that the borrower from a bank will default on the loan and/or the interest payable.”99 Risiko kredit adalah risiko dimana peminjam dari bank akan gagal membayar atas pinjaman dan / atau bunga yang harus dibayar
99
A.P. Faure, 2013, Banking: An Introduction, Quoin Institute, h. 93.
76
Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31 / 147 / KEP / DIR Tentang Kualitas Aktiva Produktif tanggal 12 November 1998, risiko kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (the mark to market value) dari seluruh perjanjian/ kontrak yang menjanjikan keuntungan yang belum dapat terealisir namun secara potensial dapat menjadi kerugian Bank apabila pihak lawan melakukan wanprestasi. Penetapan risiko kredit merupakan upaya antisipasi bank atas kerugian yang diakibatkan oleh kredit bermasalah, bankan dalam kredit lancar pun resiko kredit masih tetap ada. 2.
Analisis Kredit Sebagai Kebijakan untuk Menghindari Default Risk Penentuan kualitas kredit sangat penting dalam rangka mengelola risiko kredit. Keputusan menyalurkan kredit ke berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai bentuk risiko yang akan dialami di sana baik risiko jangka panjang dan risiko jangka pendek. Adapun pengertian keduanya adalah sebagai berikut: a)
Risiko yang bersifat jangka pendek (short term risk) adalah risiko yang disebabkan karena ketidakmampuan suatu perusahaan yang memenuhi dan menyelesaikan kewajibannya yang bersifat jangka pendek terutama kewajian likuiditas.
b) Risiko yang bersifat jangka panjang (long term risk) adalah ketidakmampuan
suatu
perusahaan
menyelesaikan
berbagai
kewajibannya yang bersifat jangka panjang, seperti kegagalan untuk
77
menyelesaikan utang perusahaan yang bersifat jangka panjang dan juga kemampuan untuk menyelesaikan proyek hingga tuntas.100 Analisis kredit merupakan pintu utama dalam menentukan pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur. Menurut Sutan Remy Syahdaeni, penyaluran kredit bank dilaksanakan dengan melalui empat tahapan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi tahap analisis kredit pemutusan pemberiannya, tahap pembuatan perjanjian kredit, tahap pemantauan kredit dan tahap penyelamatan dan penagihan/ penyesaian kredit. 101 Tahapan demi tahapan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur perbankan. Secara umum tahapan dan pintu-pintu yang harus dilalui oleh nasabah di bank swasta lebih mudah daripada bank pemerintah. Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan debitur (borrower), ada tiga macam cara bagi seorang debitur dalam memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit. Cara pertama, debitur memperoleh kredit dari hanya satu lembaga pemberi kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara kedua, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya dan ketiga dengan kredit sindikasi.102
100
Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, 2010, Pengantar Manajemen Perkreditan, Alfabeta, Bandung, h. 80. 101 102
Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 148.
Sutan Remy Sjahdeini, 2008, Kredit Sindikasi, Proses, Teknik Pemberian dan Aspek Hukumnya, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 1-2. (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini IV).
78
Analisis pengajuan kredit pada dasarnya hampir sama di setiap bank. Pengajuan kredit di BPR Aruna Nirmaladuta didahului dengan pengisian dan penandatanganan Form Pengajuan Kredit (FPK), melengkapi syarat pengajuan kredit (KTP suami istri, kartu keluarga, akta nikah, NPWP, rekening tabungan 3 bulan terakhir, data agunan, PBB terakhir). FPK dan syarat kredit diserahkan oleh Marketing Officer ke bagian prosesing untuk dilakukan BI Checking. Selanjutnya baru dilakukan kunjungan oleh bagian Credit Review untuk melakukan verifikasi data dilapangan dan kelayakan debitur. Hasil kunjungan dituangkan dalam Memorandum Analisa Kredit (MAK) untuk mendapatkan persetujuan kredit oleh komite kredit.103 Dalam pengajuan kredit di BTPN, nasabah meminta analisis kredit dari credit acceptance mengenai jumlah pinjaman yang dapat diajukan sesuai dengan nominal gaji pensiun nasabah. Dengan persyaratan kartu identitas, kartu keluarga, bukti nominal gaji terakhir/buku tabungan nasabah, NPWP untuk pinjaman di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan SK pensiun asli. 104 Analisis kredit merupakan implementasi dari prinsip kehati-hatian dalam bisnis perbankan. Prinsip kehati-hatian ini dapat dikatakan sebagai prinsip utama dalam pelaksanaan kegiatan perbankan Dalam Pasal 2 UU Perbankan perubahan dinyatakan “Perbankan Indonesia dalam melakukan
103
Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014. 104
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
79
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.” Dalam Pasal 8 selanjutnya ditentukan: 1.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
2.
Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Prinsip kehatian-hatian wajib dilaksanakan sejak awal pengajuan
kredit guna menghindari default risk. Default Risk merupakan risiko gagal bayar terhadap sejumlah pinjaman kredit yang telah dipinjam secara tepat waktu. Persoalan default risk sering dialami oleh para debitur pada saat debitur tersebut tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut secara tepat waktu yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti: a. Kondisi makro ekonomi yang tidak stabil. Contohnya krisis moneter tahun 1997/1998, krisis subrime morgage di Amerika Serikat, kondisi perang di suatu negara yang mempengaruhi negara di kawasan tersebut dan lain-lain. b. Kerugian perusahaan yag terjadi karena faktor menurunnya angka penjualan secara sistematis. c. Terjadinya korupsi secara besar-besaran yang disebabkan menurunnya nilai perusahaan di mata publik. d. Kudeta yang tersebut baik di tingkat direksi maupun manajer serta karyawan yang meluas pada terhentinya produk dan berpengaruh pada penurunan penjualan perusahaan.105
105
Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, op.cit., h. 83.
80
e. Kondisi terjadinya default risk telah menyebabkan terjadi di negara bersangkutan. f. Kekisruhan yang terjadi di perusahaan timbulnya permasalahan baik di pihak debitur maupun kreditur. Maka untuk menghindari dari timbulnya default risk ini ada beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu: 1.
Bagi kreditur akan menaikkan angka jaminan pada tingkat yang benarbenar aman.
2.
Menghindari jaminan yang memiliki tingkat risiko, sehingga dengan menerima benda tersebut sebagai suatu jaminan malah akan menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dikemudian hari.
3.
Menghindari benda jaminan yang memiliki nilai fluktuasi di pasaran.106 Pada bagian yang a dimana kreditor melakukan kebijakan dengan
menaikkan angka jaminan, telah banyak penelitian yang dilakukan oleh banyak pihak yang memberikan pembuktian tentang ini. Sebagaimana yang dikemukan oleh Utoro dan Perry Warjiyo yang menyatakan konsekuensinya pada saat terjadi fluktuasi nilai aset, maka kredit dengan nilai agunan yang besar akan menghasilkan default risk yang rendah demikian sebaliknya terhadap kredit yang tidak didukung dengan agunan maka akan menghadapi default risk yang lebih tinggi. Bank sebagai kreditor berusaha menghindari timbulnya kredit macet (bad debt), karena semakin kecil bad debt maka semakin lancar arus kas yang berasal dari kredit yang masuk ke perbankan tersebut. Begitu juga sebaliknya bagi debitur sebagai peminjam, semakin
106
Ibid., h. 83-84.
81
baik dan tepat waktu ia mengembalikan pinjaman maka semakin baik pula reputasinya di mata perbankan.107 Ketentuan pelaksanaan mengenai penilaian kualitas aset bank umum diatur dalam Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia. Adapun alasan perlunya ketentuan pelaksanaan penilaian kualitas kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan umum adalah sebagai berikut: A. Dengan meningkatnya kompleksitas usaha dan profil risiko serta dalam rangka mengantisipasi pengaruh perekonomian global, Bank perlu meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola risiko Kredit, meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana, dan mensyaratkan peringkat yang lebih tinggi terhadap prime bank penerbit standby letter of credit (SBLC) yang diperlakukan sebagai agunan tunai. B. Dalam rangka mengelola risiko kredit, bank menetapkan kualitas Kredit yang merupakan hasil penilaian atas faktor yang berpengaruh terhadap kondisi dan kinerja debitur yang terdiri dari prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar debitur. C. Selanjutnya, untuk meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana, bank dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan standar akuntansi keuangan yang berlaku. D. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, pemenuhan kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang dilakukan debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas Kredit atas Kredit yang direstrukturisasi. E. Bank harus menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja Bank secara utuh sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, khususnya dalam pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai. Selain memenuhi Standar Akuntasi Keuangan, Bank harus tetap menghitung Penyisihan Penghapusan Aset yang akan mempengaruhi rasio permodalan Bank. Dalam pemberian kredit kepada masyarakat, pihak bank memiliki risiko terjadinya kredit bermasalah, khususnya kredit macet. Dalam 107
Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, op.cit., h. 83-84.
82
menghadap risiko ini maka Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai restrukturisasi. Restrukturisasi dapat dilakukan dengan atau tanpa rescheduling dan/ atau reconditioning. Restrukturisasi kredit pada prinsipnya adalah pemberian syarat yang lebih lunak atau lebih ringan dibandingkan dengan syarat pembayaran sebelum karena adanya konsesi khusus yang diberikan kreditur kepada debitur sebagai pelaksanan dari peraturan kebijakan yang secara teknis dibuat oleh Bank Indonesia. Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di
Indonesia
menyatakan bahwa dalam rangka meminimalkan potensi kerugian akibat debitur bermasalah, Bank dapat melakukan Restrukturisasi kredit atas debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga sepanjang debitur yang bersangkutan masih memiliki prospek usaha yang baik
dan
dinilai
mampu
memenuhi
kewajiban
setelah
Kredit
direstrukturisasi. Restrukturisasi kredit dimaksud dilaksanakan sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Restrukturisasi merupakan suatu langkah yang sedianya harus dilakukan bersama oleh kreditur dan debitur apabila terjadi kredit yang bermasalah (non-performing loan). Namun tidak semua kredit bermasalah dapat direstrukturisasi. Dapat atau tidaknya restrukturisasi atas suatu kredit bermasalah ditentukan oleh beberapa hal. Pasal 52 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menentukan bahwa:
83
Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi kredit terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit; dan b. debitur masih memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah menentukan bahwa: (1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (2) Restrukturisasi untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
maka
restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap kredit produktif dan kredit konsumtif. Pada dasarnya, restrukturisasi dapat dilakukan terhadap setiap kredit macet tanpa memandang apakah debitur adalah pengusaha besar atau pengusaha kecil. Restrukturisasi
dapat
dilakukan sepanjang dapat
dibuktikan bahwa debitur memang mengalami penurunan kemampuan untuk membayar dan masih sanggup untuk membayar, bukan disebabkan karena itikad yang tidak baik. Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit
84
terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana. Kebijakan restrukturisasi kredit berguna untuk menjamin kesehatan perbankan. Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dilarang melakukan Restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk: a.
memperbaiki kualitas Kredit; atau
b.
menghindari peningkatan pembentukan PPA, tanpa memperhatikan kriteria debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi kredit
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Perlakuan akuntansi untuk Restrukturisasi kredit antara lain diterapkan untuk pengakuan kerugian yang timbul dan pengakuan pendapatan bunga dan penerimaan lain. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, pemenuhan kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang dilakukan debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas kredit atas kredit yang direstrukturisasi. 3.
Pelaksanaan dan Penyimpangan Restrukturisasi Kredit Perbankan Kualitas kredit ditetapkan berdasarkan analisis terhadap 3 (tiga) faktor penilaian yaitu prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor
85
15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional menentukan bahwa Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif jika dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya. Bank dinilai memiliki
potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika memenuhi rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit. Menurut Iswi Hariyani, salah satu risiko utama perbankan adalah kredit bermasalah. Namun apabila jumlah kredit bermasalah sudah melampaui batas kemampuan bank, ia dapat berubah menjadi bencana, sebab tidak saja profitabilitas bank yang akan terkena, likuiditasnya pun terancam.108 Dalam menangani kredit bermasalah tersebut, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan restrukturisasi kredit. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah dengan kategori kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan macet. Kredit bermasalah menjadi suatu risiko dalam bisnis perbankan. Kolektibilitas kredit macet di BPR Aruna Nirmaladuta sebesar Rp 125.000.000 dengan jumlah debitur sebanyak 4 orang.109 Kolektabilitas kredit bermasalah di BTPN terjadi dengan persentase 0,1% dari kredit yang
108 109
Iswi Hariyani, op.cit., h. 39.
Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
86
ada.110 Penyebab kredit bermasalah ini adalah ketika tidak ada kecukupan dana untuk membayar angsuran. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh penurunan kemampuan bayar debitur, penyampaian informasi keuangan yang kurang detail pada saat pengajuan kredit sehingga menambah beban angsuran yang tidak bisa diantisipasi oleh debitur dan masalah di keluarga seperti cekcok rumah tangga, anggota keluarga sakit dan lain-lain.111 Ketentuan restrukturisasi kredit mengacu pada ketentuan antara lain Undang-undang di bidang perbankan, Peraturan Bank Indonesia dan Ketentuan internal masing-masing bank. Dalam Pasal 55 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum ditentukan bahwa bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit. Sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (1) tersebut maka pihak bank wajib memiliki pedoman dalam melaksanakan restrukturisasi. Menurut Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia, dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian, Bank harus memiliki pedoman Restrukturisasi Kredit yang memuat prosedur dan tata cara dalam melaksanakan Restrukturisasi Kredit yang paling kurang memuat bagian Analisis dan Dokumentasi. Dalam melakukan analisis terhadap Kredit yang akan direstrukturisasi, Bank paling kurang memperhatikan analisis, 110
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014. 111
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan dawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
87
kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan kredit serta prosedur pemantauan. Analisis
terhadap
kredit
dimulai
dengan
evaluasi
terhadap
permasalahan debitur, yang meliputi evaluasi terhadap penyebab terjadinya tunggakan pokok dan/atau bunga yang didasarkan atas laporan keuangan, arus kas (cash flow), proyeksi keuangan, kondisi pasar, dan faktor lain yang berkaitan dengan usaha debitur. Perkiraan pengembalian seluruh pokok dan/atau bunga berdasarkan perjanjian Kredit sebelum dan setelah Restrukturisasi Kredit. Perkiraan tersebut hendaknya didasarkan pada rasio keuangan, termasuk proyeksi rasio keuangan, yang mencerminkan kondisi keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya. Evaluasi
terhadap
kinerja
manajemen
debitur
untuk
menentukan
diperlukannya restrukturisasi organisasi perusahaan debitur, antara lain dapat dilakukan dengan cara penggantian pemegang saham, direksi, dan perubahan
manajerial
lainnya.
Apabila
diperlukan,
Bank
dapat
menggunakan bantuan tenaga ahli eksternal untuk melakukan restrukturisasi organisasi tersebut. Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan proyeksi arus kas (projected cash flows) dan nilai tunai (present value) dari angsuran pokok dan/atau bunga yang akan diterima. Analisis, kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan Kredit seperti penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan pokok dan/atau bunga, perubahan jangka waktu, dan/atau penambahan fasilitas. Penyesuaian
88
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga hingga jatuh tempo. Restrukturisasi kredit yang dilakukan dengan cara pemberian tambahan kredit wajib memuat tujuan dan penggunaan tambahan kredit secara jelas. Tambahan kredit tidak diperkenankan untuk melunasi tunggakan pokok dan/atau bunga. Dalam hal restrukturisasi kredit mengakibatkan kewajiban debitur menjadi lebih besar, maka bank dapat mensyaratkan adanya agunan baru. Penyesuaian atas jadwal pembayaran kembali telah mencerminkan kemampuan membayar debitur. Rincian yang terkait dengan transparansi persyaratan kredit termasuk kesepakatan keuangan dalam perjanjian kredit, seperti rencana rekapitalisasi perusahaan debitur atau adanya klausul bahwa bank dapat meningkatkan suku bunga sejalan dengan kemampuan membayar debitur. Persyaratan bahwa perjanjian kredit dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan restrukturisasi kredit harus mempunyai kekuatan hukum.
Kelengkapan
dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Restrukturisasi Kredit. Prosedur pemantauan merupakan bagian penting dari pelaksanaan restrukturisasi. Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk memantau kredit yang telah direstrukturisasi guna memastikan kesanggupan debitur untuk melakukan pembayaran sesuai persyaratan dalam perjanjian kredit baru. Beberapa langkah yang harus dilakukan bank dalam rangka
89
pemantauan pelaksanaan restrukturisasi kredit sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran No. 15/28/DPNP antara lain: a.
b.
c.
meminta debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang dilengkapi dengan rasio keuangan pokok, perkembangan usaha, pelaksanaan rencana tindak (action plan), yang diperlukan Bank dalam rangka memantau kondisi usaha dan keuangan debitur secara terus menerus. Debitur juga melaporkan dampak dari berbagai tindakan yang ditempuh sebagai bagian dari Restrukturisasi Kredit, seperti rekapitalisasi perusahaan debitur dan kebijakan untuk tidak membagikan dividen; mengevaluasi kredit yang telah direstrukturisasi setiap triwulan, termasuk apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara proyeksi dan realisasi, terutama dari angsuran pokok dan bunga, jangka waktu, arus kas, tingkat bunga, dan/atau nilai taksasi agunan; dan menyusun langkah yang akan diambil jika debitur ternyata kembali mengalami kesulitan membayar setelah Restrukturisasi Kredit. BTPN dan BPR
Aruna Nirmaladuta adalah termasuk bank yang
memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit. 112 Dalam praktik, belum semua bank memiliki pedoman atau ketentuan internal mengenai restrukturisasi kredit secara tertulis atau hanya diatur sedikit di dalam standar operasional prosedur bank bersangkutan. Kebijakan restrukturisasi hanya didasarkan pada analisis kredit bermasalah dan kebijakan dari masing-masing bank bersangkutan. Ketentuan mengenai restrukturisasi tidak hanya diatur melalui Peraturan Bank Indonesia saja. Setiap bank juga diwajibkan memiliki pedoman tertulis tentang restrukturisasi kredit. Dalam Bagian Ketiga Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum
112
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
90
diatur mengenai “Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit.” Pasal 55 menyebutkan: (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Kredit. (2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. (3) Prosedur Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling rendah oleh Direksi. (4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Keputusan restrukturisasi kredit harus dilakukan oleh pihak yang lebih tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian kredit. Dalam hal keputusan pemberian kredit dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar bank maka keputusan restrukturisasi kredit dilakukan oleh pihak yang setingkat dengan pihak yang memutuskan pemberian kredit. Dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit, pembentukan satuan kerja khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank dengan tetap mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Untuk menjaga obyektivitas, restrukturisasi kredit wajib dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian kredit yang direstrukturisasi, namun dalam praktik, pengajuan kredit dan keputusan restrukturisasi dilakukan oleh bidang yang sama komite kredit yang terdiri dari kepala bagian kredit dan direksi. Restruktur diajukan oleh marketing officer dan credit review disetujui oleh komite kredit. Kebijakan dalam
91
memutuskan restrukturisasi kredit disesuaikan dengan kebijakan internal masing-masing bank. Adapula bank yang menunjuk petugas khusus yang memiliki batas wewenang memutus kredit sesuai dengan ketentuan bank. Dalam praktik, apabila terjadi kredit bermasalah maka pihak bank memiliki cara masing-masing dalam menangani kredit bermasalah tersebut. Prosedur yang dilakukan oleh BPR Aruna Nirmaladuta misalnya menetapkan dalam jangka waktu keterlambatan 1-30 hari maka yang utama dilakukan adalah indentifikasi penyebab penurunan kemampuan bayar debitur dan melakukan komunikasi yang intens untuk mencari solusinya dengan pihak debitur. Dalam jangka waktu keterlambatan 30 – 60 hari, maka pihak bank akan melayangkan surat peringatan 1,2,3 dibarengi dengan penagihan yang intens dan jika keterlambatan > 90 hari maka bank akan melakukan penyelesaian kredit melalui eksekusi jaminan. Restrukturisasi dilakukan pada saat keterlambatan 30 – 90 hari. 113 Apabila ada kredit bermasalah maka pihak BTPN akan melakukan follow up seperti menghubungi nasabah yang bersangkutan melalui telepon atau mengirimkan surat peringatan. Jika tidak diindahkan juga maka pihak bank akan melaksanakan layanan kunjungan nasabah untuk melakukan penagihan langsung ke alamat nasabah yang bersangkutan. Jika nasabah tidak bisa menyetorkan kekurangan dana angsuran, dilakukan follow up ke pihak bank terkait untuk dipertimbangkan adanya pembaharuan kredit yang berfungsi menutup kolektibilitas dengan menambah jumlah plafon pinjaman 113
Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
92
dan perpanjangan jangka waktu pinjamanan. Jika nasabah setuju untuk menambah jumlah plafon yang akan digunakan untuk menutup kekurangan angsuran yang tertunggak dan persyaratan lainnya terpenuhi, maka dapat dilakukan proses tersebut. 114 Dalam praktik, restrukturisasi tidak dilakukan terhadap setiap kredit bermasalah. Restrukturisasi dilakukan sepanjang masih ada kemampuan membayar dan itikad yang baik dari debitur restrukturisasi kredit dapat dilakukan. Penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi adalah sebagai berikut: 1.
paling tinggi sama dengan kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi kredit, sepanjang debitur belum memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut-turut selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan;
2.
dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi kredit, apabila debitur telah memenuhi kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1; dan
3.
kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar: a.
setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud dalam angka 2; atau
114
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin BTPN, wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
93
b.
dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau kewajiban pembayaran dalam perjanjian restrukturisasi kredit, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.
Proses awal pengajuan restrukturisasi sama seperti pengajuan kredit baru, jika sudah sepakat mengenai jumlah pinjaman, jangka waktu dan total dana bersih yang diterima nasabah, maka selanjutnya akan dilakukan penginputan melalui sistem bank untuk diteruskan ke pejabat bank terkait. Jika kredit telah disetujui dan proses penandatanganan perjanjian kredit dilakukan oleh kedua belah pihak, akan diteruskan proses ke credit admin untuk dilakukan posting pada sistem dan dicairkan dananya ke rekening nasabah yang bersangkutan. Perjanjian ini berfungsi untuk menjamin kepastian hukum para pihak dalam pemberian kredi baik dalam konteks preventif maupun represif. Perjanjian kredit disatu sisi berfungsi untuk mencegah terjadinya wanprestasi dan disisi lain akan berguna sebagai alat bukti dalam penyelesaian kredit bermasalah. Sebagaimana halnya pengajuan kredit maka pengajuan restrukturisasi harus atas inisiatif dari debitur. Analisis untuk memutuskan persetujuan terhadap restrukturisasi ini perlu dilakukan. Team leader kredit dan Marketing officer melakukan negosiasi untuk mencari solusi yang memungkinkan untuk dilakukan restrukturisasi kredit. Debitur membuat surat permohonan ke manajemen agar dapat dilakukan restruktur kredit. Analisis terhadap proses restrukturisasi ini dilakukan lebih detail untuk
94
menyelamatkan kredit bermasalah. Penyelamatan kredit bermasalah dengan restrukturisasi kredit ini dilakukan melalui beberapa cara yakni penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Penurunan suku bunga kredit merupakan salah satu bentuk restrukturisasi yang bertujuan memberikan keringanan kepada debitur sehingga dengan penurunan bunga kredit besarnya bunga yang harus dibayar debitur setiap tanggal pembayaran menjadi lebih kecil dibanding suku bunga yang ditetapkan sebelumnya. Dengan adanya keringanan suku bunga maka pembayaran bunga setiap bulannya menjadi lebih kecil sehingga pendataan dari hasil usaha debitur dapat dialokasikan untuk membayar sebagian pokok dan sebagian lainnya untuk melanjutkan dan mengembangkan usaha.115 Dalam perhitungan yang demikian maka dapat diprediksikan bahwa dalam jangka waktu tertentu kredit dapat dilunasi dan usaha dapat berjalan kembali, bahkan menjadi lebih besar. Penurunan suku bunga kredit ini pernah dilakukan oleh BTPN Pernah yakni maksimal 1% dari bunga kredit sebenarnya. 116 Perpanjangan jangka waktu kredit dilakukan untuk memperingan debitur dalam mengembalikan utangnya. Dengan memberikan perpanjangan jangka waktu kredit maka debitur dapat memiliki waktu yang lebih banyak
115 116
Sutarno, 2009, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 267.
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin BTPN, wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
95
dengan angsuran yang tentunya lebih kecil dalam melunasi kredit. Perpanjangan jangka waktu kredit akan meningkatkan kualitas kredit menjadi performing loan atau kredit tidak bermasalah. Perpanjangan jangka waktu kredit ini merupakan cara restrukturisasi yang paling mudah dan paling lazim digunakan oleh bank dalam penyelamatan kredit bermasalah. Salah satu tanda kredit bermasalah adalah adanya tunggakan bunga kredit lebih dari tiga kali pembayaran. Bunga kredit yang seharusnya dibayar setiap bulan atau dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian kredit, tidak dibayar sehingga tunggakan bunga kredit lama kelamaan menjadi menumpuk yang jumlahnya menyamai hutang pokok. Pengurangan tunggakan bunga tidak mengakibatkan perubahan akta perjanjian kredit karena yang dikurangi adalah besarnya tunggakan bunga yang seharusnya dibayar debitur.117 Pengurangan tunggakan bunga kredit dilakukan untuk menyelamatkan kredit bermasalah. Pengurangan tunggakan pokok kredit bertujuan untuk meningkatkan kualitas kredit. Pengurangan tunggakan pokok ini merupakan pengorbanan bank yang sangat besar karena aset bank merupakan hutang pokok ini tidak kembali dan merupakan kerugian yang menjadi beban bank. Besarnya hutang pokok kredit tercantum dalam perjanjian kredit sehingga dengan adanya pengurangan pokok kredit yang harus dibayar, perlu dibuat akta
117
Sutarno, op.cit., h. 268.
96
addendum perjanjian kredit yang menegaskan besarnya pengurangan pokok kredit dan besarnya pokok kredit yang harus dibayar setelah dikurangi. 118 Dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah, bank seringkali menggunakan strategi penambahan fasilitas kredit. Penambahan fasilitas kredit diharapkan usaha debitur akan berjalan kembali dan berkembang yang akan menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk mengembalikan utang lama dan tambahan kredit baru. Untuk memberikan tambahan fasilitas kredit harus dilakukan analisis yang cermat, akurat dan dengan perhitungan yang tepat mengenai prospek usaha debitur karena debitur menanggung utang lama dan utang baru. 119 Restrukturisasi kredit dapat dilakukan melalui penyertaan modal sementara. Mengenai penyertaan modal sementara ini Pasal 62 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menyatakan: (1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara. (2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk Kredit yang memiliki kualitas Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet. Penyertaan Modal Sementara wajib ditarik kembali apabila telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. Penyertaan Modal Sementara wajib dihapusbukukan dari neraca Bank apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
118
Sutarno, op.cit., h. 267.
119
Sutarno, op.cit., h. 267.
97
Secara normatif sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya cara yang dapat digunakan dalam restrukturasi dapat berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara, namun dalam praktik yang paling sering digunakan hanyalah perpanjangan jangka waktu kredit. Hal ini disebabkan karena cara tersebut merupakan cara yang paling praktik dan tidak berisiko bagi bank sedangkan cara lain dipandang lebih sulit, misalnya pengurangan tunggakan bunga kredit tidak pernah dilakukan karena perhitungan bunga telah ditentukan melalui sistem. Penyelamatan kredit bermasalah sedianya diberikan kepada semua debitur sepanjang masing memiliki kesanggupan membayar dan dapat membuktikan memang ada penurunan pemasukan. Dalam kenyataannya, bank cenderung memberikan kebijakan diskriminatif dimana kebijakan restrukturisasi hanya diberikan kepada debibur besar. Bank cenderung enggan untuk memberikan fasilitas restrukturisasi terhadap portofolio kredit macet milik debitur UMKM, khususnya debitur mikro dan debitur kecil. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa terhadap debitur mikro dan debitur kecil, pihak bank biasanya cenderung ketat sehingga nilai agunan kredit debitur UMKM pada umumnya jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai kreditnya. 120
120
Iswi Hariyani, op.cit., h. 138.
98
Besarnya nilai agunan milik debitur UMKM tersebut justru tidak mendorong pihak bank untuk melakukan restrukturisasi kredit, tetapi malahan lebih bersemangat untuk segera melelang agunan tersebut. Di sisi lain, pihak bank pada umumnya lebih banyak memberikan fasilitas restrukturisasi kredit kepada debitur besar yang memiliki banyak lobi-lobi khusus. Kenyataan ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat kecil, khususnya pengusaha mikro dan kecil.
121
Jika restrukturisasi kredit
dilakukan, maka hanya sebatas formalitas saja sambil menunggu jatuh tempo dan selanjutnya melakukan lelang terhadap agunan. Penjualan juga dilakukan di bawah tangan dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Hal ini merupakan bentuk itikad yang buruk dari oknum pegawai bank yang menangani masalah restrukturisasi kredit. Dengan nilai agunan yang jauh lebih besar dibandingkan nilai kreditnya,
maka
sudah
sepantasnya
pihak
bank
memprioritaskan
restrukturisasi kredit macet debitur UMKM karena posisi bank dalam keadaan aman. Hal ini berbeda dengan kredit macet milik debitur yang pada umumnya tidak didukung oleh nilai agunan yang memadai, sehingga dapat berpotensi merugikan bahkan dapat membangkrutkan usaha bank. 122 Itikad baik (good faith) harus ada sejak terjadinya negosiasi, pelaksanaan perjanjian hingga penyelesaian sengketa, namun dalam praktik tidak demikian.
Marketing atau sales officer seringkali menyamarkan
tentang suku bunga sehingga debitur yang kurang paham tentang perbankan 121
Iswi Hariyani, op.cit., h. 139.
122
Iswi Hariyani, op.cit., h. 139.
99
kerap terkecoh. Hal ini menjadi awal dari kredit bermasalah. Pada awal terjadi wanprestasi kerap kali kreditur tidak melakukan restrukturisasi tetapi melakukan pembayaran yang dipaksakan dengan bunga tinggi, dengan penjualan aset atau jaminan debitur. Restrukturisasi dapat dilakukan pada semua kategori kredit, namun dalam praktiknya restrukturisasi hanya dilakukan pada kredit tersebut sudah masuk dalam kategori macet. Bank seringkali kurang perhatian atas tindakan nasabah setelah kredit itu cair. Kreditur hanya melakukan konfirmasi pada saat sebelum kredit cair saja. Jika kreditur melakukan manajemen pengelolaan nasabah secara baik maka kualitas kredit yang baik akan dapat dipertahankan.
100
BAB IV HAMBATAN DALAM RESTRUKTURISASI KREDIT
1.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Restrukturisasi Kredit Pemberian kredit dari kreditur terhadap debitur dilindungi dalam suatu perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan. Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku mengikat bagaikan undang-undang.123 Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum bahwa para pihak wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut membawa akibat hukum bagi kedua belah pihak. Pemenuhan hak dan kewajiban merupakan salah satu bentuk dari akibat hukum suatu perjanjian. Akibat hukum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari suatu kontrak itu sendiri.124 Jika perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit maka debitur wajib melaksanakan pembayaran yang dilakukan secara berkala dengan besaran dan bunga yang sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Pemberian fasilitas kredit oleh bank idealnya mendasarkan pada faktor finansial, yang tercakup pada tiga pilar, yaitu prospek usaha, kinerja dan kemampuan calon debitur. Namun demikian, dengan memperhatikan adanya prudential banking principles, maka faktor finansial saja belum 123
Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 8. 124
h. 71.
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
101
cukup untuk memberikan keyakinan bahwa fasilitas kredit tersebut akan kembali dengan aman dan menguntungkan. Sekalipun pada dasarnya agunan merupakan second way out, tetapi arah perkembangan kredit perbankan akhir-akhir ini di luar kredit konsumtif telah mengarah pada faktor agunan sebagai variable dominan yang dapat memberikan keyakinan kepada bank.125 Keyakinan ini merupakan pelaksanaan dari prinsip kehatihatian dalam pemberian kredit kepada debitur. Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan dari grup atau afiliasi; dan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Penilaian terhadap kinerja debitur meliputi penilaian terhadap komponen-komponen perolehan laba, struktur permodalan, arus kas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap kemampuan meliputi penilaian terhadap komponen-komponen antara lain ketepatan pembayaran pokok dan bunga, ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur, kelengkapan dokumentasi kredit, kepatuhan terhadap perjanjian kredit, kesesuaian penggunaan dana dan kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Dalam menjalankan usaha perbankan, terkadang terjadinya kredit bermasalah sulit untuk dihindari, walaupun pada saat pengajuan kredit telah dilakukan analisis kredit secara mendalam. Menurut Burhanuddin Abdullah, 125
Try Widiyono, 2009, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Bogor, h.. 2.
102
kredit bermasalah atau non-performing loan dapat disebabkan oleh bencana alam atau keadaaan darurat di luar kemampuan manusia, usaha debitur yang memburuk, sulit berkembang, banyak pesaing, kesulitan manajerial, praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) antara debitur dan pihak perbankan dan debitur tidak mempunyai niat baik untuk melaksanakan tanggung jawabnya.126 Sebagian besar kredit bermasalah timbul karena hal-hal yang terjadi pada pihak debitur, antara lain: 1)
2)
3)
4) 5) 6) 7)
Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan yang disebabkan merosotnya kondisi ekonomi umum dan/ atau bidang usaha dimana mereka beroperasi. Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani. Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga debitur. Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain. Kesulitan likuiditas keuangan yang serius. Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan bencana alam. Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan untuk tidak akan mengembalikan kredit).127 Kredit bermasalah harus segera ditangani, sebab tingginya persentase
kredit
bermasalah
Restrukturisasi
126 127
akan
merupakan
mempengaruhi salah
satu
tingkat bentuk
kesehatan
bank.
penyelesaian
kredit
Iswi Hariyani, op.cit., h. 35.
Iswanto Sutojo, 2007, The Management of Commercial Bank, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, h.. 171-172
103
bermasalah. Menurut Badriyah Harun ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan kredit bermasalah yakni: 128 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Keinginan debitur untuk menyelesaikan kewajiban. Tingkat kerjasama dan keterbukaan debitur. Kemampuan finansial debitur. Sumber pengembalian pinjaman. Prospek usaha debitur. Mudah tidaknya menjual jaminan. Kelengkapan dokumentasi jaminan. Ada tidaknya tambahan jaminan baru. Sengketa tidaknya jaminan. Ada tidaknya sumber pembayaran dari usaha lain. Ditinjau dari efektivitas kebijakan restrukturisasi ada beberapa hal
yang mempengaruhi kebijakan ini yakni faktor hukumnya. Kebijakan restrukturisasi diatur dalam Undang-undang di bidang perbankan, Peraturan Bank Indonesia serta ketentuan internal bank sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Substansi hukum yang mengatur mengenai kebijakan restrukturisasi telah tertuang baik dalam bentuk pengaturan maupun dalam bentuk teknis yuridis. Ketentuan mengenai restrukturisasi telah diatur secara lengkap dalam peraturan kebijakan, namun peraturan tersebut seringkali berganti dan tersebar di beberapa peraturan kebijakan. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan restrukturisasi yang sesuai dengan amanat Bank Indonesia. Analisis direstrukturisasi
mengenai atau
apakah
tidak
perlu
suatu
kredit
dilakukan
bermasalah
dengan
cermat
dapat dan
mempertimbangkan beberapa hal. Dalam Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum ditentukan bahwa: 128
Badriyah Harun, op.cit., hal 117.
104
(1) Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas. (2) Kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. (3) Setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Kredit dan hasil analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen terhadap Kredit yang direstrukturisasi wajib didokumentasikan secara lengkap dan jelas. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga untuk Restrukturisasi ulang atas Kredit. Kebijakan restrukturisasi perlu mendapatkan dukungan secara holistik oleh pemegang kebijakan. Faktor yang juga mempengaruhi pelaksanaan restrukturisasi kredit adalah faktor penegak hukum serta sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum. Penegak hukum disini adalah pihak bank itu sendiri. Pihak bank sedianya memiliki pengetahuan dalam kemampuan dalam mengenal nasabah, menentukan kualitas kredit, menganalisis kemampuan membayar dari debitur, dan menentukan cara restrukturisasi yang mana yang tepat bagi nasabah yang memiliki kredit bermasalah tersebut. Pihak bank wajib menyediakan fasilitas dalam upaya restrukturisasi kredit, yakni dengan melibatkan konsultan keuangan independen untuk menganalisis setiap tahapan dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit. Dalam Pasal 58 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum selanjutnya ditentukan bahwa: (1) Kualitas Kredit setelah restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi Kredit, sepanjang debitur belum memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara
105
(2)
(3)
(4)
(5) (6) (7) (8)
berturut turut selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan; b. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah debitur memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut turut selama 3 (tiga) kali periode sebagaimana dimaksud huruf a; dan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10: 1) setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud pada huruf b; atau 2) dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau kewajiban pembayaran dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan. Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dilakukan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi kredit tergolong Diragukan dan Macet dan tetap sama untuk Kredit yang tergolong Kurang Lancar dan Dalam Perhatian Khusus, sampai dengan 3 (tiga) kali periode kewajiban pembayaran; b. selanjutnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dalam hal pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57. Dalam hal periode pemenuhan kewajiban angsuran pokok dan/atau bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga untuk restrukturisasi ulang atas Kredit. Kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Kredit ditetapkan sama dengan kualitas Kredit yang direstrukturisasi. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebelum ketentuan ini berlaku tidak perlu disesuaikan dengan Pasal 58 ayat (1) huruf a dan b. Selanjutnya penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak PBI ini berlaku.
106
Dalam Penjelasan Pasal 58 dijelaskan misalnya Bank X melakukan restrukturisasi Kredit kepada debitur A yang kualitasnya diragukan. Setelah direstrukturisasi penetapan kualitas Kredit debitur A adalah sebagai berikut: a.
Sebelum debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali berturut turut sesuai waktu yang diperjanjikan, penetapan kualitas kredit paling tinggi Diragukan.
b.
Setelah debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai waktu yang diperjanjikan, ditetapkan kualitas Kredit 1 (satu) tingkat lebih tinggi menjadi Kurang Lancar.
c.
Selanjutnya penetapan kualitas Kredit dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Dalam melakukan Restrukturisasi Kredit, Bank dapat memberikan
fasilitas kemudahan berupa pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period). Kualitas Kredit setelah direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran diatur secara berbeda, yaitu selama tenggang waktu pembayaran kualitasnya ditetapkan sama dengan kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi. Pada umumnya, tenggang waktu pembayaran dapat diberikan Bank kepada debitur, dalam bentuk penundaan pembayaran pokok pinjaman, bunga pinjaman, atau kombinasi dari keduanya. Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) pokok dan bunga ditetapkan bahwa selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum
107
dilakukan restrukturisasi; dan setelah grace period berakhir, kualitas Kredit mengikuti penetapan kualitas. Penetapan kualitas aset produktif berlaku pula bagi Kredit yang direstrukturisasi. Dalam hal kredit yang direstrukturisasi berjumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), penetapan kualitas kreditnya tidak dipengaruhi oleh kualitas Kredit yang diberikan oleh Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal yang diperhatikan, diantaranya administrasi kredit, kredit yang perlu mendapat perhatian khusus, perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya dikapitalisasi
(kredit
plafondering),
prosedur
penyelesaian
kredit
bermasalah, dan prosedur penghapusbukuan kredit macet; serta tata cara pelaporan kredit macet dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang teah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari kebijakan di atas, yang paling penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya itu sendiri. Dari institusinya diharapkan bahwa:129 a.
Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah.
b.
Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah.
c.
Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.
129
Muhamad Djumbana II, op.cit., h. 55-552.
108
d.
Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan praktik plafondering kredit.
e.
Bank tidak oleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu. Sumber daya bank sangat menentukan pelaksanaan kebijakan
restrukturisasi
kredit
dalam
rangka
penyelamatan
terhadap
kredit
bermasalah. Bagian analis wajib memiliki kemampuan untuk mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah
guna
melakukan
upaya
optimal
dalam
melaksanakan
penyelamatan terhadap kredit bermasalah. Gejala-gejala yang muncul sebagai tanda akan terjadinya kredit bermasalah adalah sebagai berikut: 130 a. Penyimpangan dari berbagai ketentuan dalam perjanjian kredit, b. Penurunan kondisi keuangan perusahaan, c. Frekuensi pergantian pimpinan dan tenaga inti, d. Penyajian bahan masukan secara tidak benar, e. Menurunnya sikap kooperatif debitur, f. Penurunan nilai jaminan yang disediakan, g. Problem keuangan atau pribadi.
130
Siswanto Sutojo, op. cit. h. 173.
109
Cara bank menangani kredit bermasalah juga dipengaruhi oleh jumlah dana
milik
debitur
yang
diharapkan
dapat
dipergunakan
untuk
mengembalikan kredit, jumlah kredit yang dipinjam debitur dari kreditur lain, status dan nilai jaminan yang telah terikat, maupun sikap debitur dalam menghadapi bank.131 Sikap debitur ini memiliki peranan penting dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah dalam penyelematan dan penyelesaian kredit perbankan. Faktor masyarakat dan budaya juga mempengaruhi pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah. Masyarakat dan budaya disini adalah cara pandang dari nasabah selaku debitur untuk memiliki itikad baik dalam melaksanakan prestasi. Menurut I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pihaknya telah berupaya untuk melaksanakan pembayaran, namun karena usahanya yang semakin menurun maka ia tidak mampu lagi melakukan pembayaran tepat pada waktunya. Peminat kerajinan kayu menurutnya menurun dari tahun ke tahun, akibatnya omzet usahanya pun semakin menurun.132 Begitu pula yang terjadi dengan Dickin Alyansyah, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta yang mengalami keterlambatan membayar karena penurunan omzet usaha.133 Utar
Sutar
mengajukan
restrukturisasi
kredit
karena
ketidakmampuannya membayar kredit sesuai dengan jumlah yang
131
Siswanto Sutojo, op. cit., h. 178
132
Wawancara dengan I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada tanggal 3 Januari 2015. 133
Wawancara dengan dengan Dickin Alyansyah, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta pada tanggal 4 Januari 2015.
110
ditentukan lebih dari empat kali secara berturut-turut. Kondisi tersebut disebabkan karena kredit yang telah dicairkan pertama kali digunakan untuk membiayai usahanya yang lain yaitu warung klontong di rumah yang dikelola istrinya. Namun, warung klontong tersebut tidak berjalan baik.134 Inisiatif dari nasabah sangat menentukan persetujuan restrukturisasi kredit, karena restrukturisasi kredit hanya dapat diajukan atas permintaan debitur. Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, mengajukan permohonan restrukturisasi perpanjangan jangka waktu dan penambahan
fasilitas
kredit,
walaupun
yang
disetujui
hanyalah
perpanjangan jangka waktu kredit saja.135 Hal itu disebabkan karena usaha debitur yang mengalami penurunan, sehingga penambahan fasilitas tidak dapat diberikan agar tidak memberatkan debitur dikemudian hari. Oleh sebab itu, nasabah harus memiliki pengetahuan dan informasi mengenai hak untuk mengajukan restrukturisasi kredit apabila mengalami kesulitan membayar. 2.
Hambatan dalam Restrukturisasi Kredit Perbankan Kredit adalah sebuah kepercayaan (trust). Dengan demikian, pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan suatu kepercayaan, yaitu fasilitas yang diberikan tersebut digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan
134
Wawancara dengan Utar Sutar, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta pada tanggal 4 Januari 2015. 135
Wawancara dengan I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada tanggal 3 Januari 2015.
111
permohonan calon debitur.136 Dalam praktiknya kemacetan suatu kredit disebabkan oleh dua unsur yaitu:137 a.
Dari pihak perbankan. Artinya dalam melakukan analisisnya, pihak analisis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi, tidak diprediksi sebelumnya atau mungkin salah dalam melakukan perhitungan. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analis kredit dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara subjektif dan akal-akalan.
b.
Dari pihak nasabah. Dari pihak nasabah, kemacetan kredit dapat dilakukan akibat dua hal yakni: 1) Adanya unsur kesengajaan. Dalam hal ini nasabah sengaja untuk tidak
bermaksud
membayar
kewajibannya
kepada
bank
sehingga kredit yang diberikan macet. Dapat dikatakan tidak adanya unsur kemauan untuk membayar, walaupun sebenarnya nasabah mampu. 2) Adanya unsur tidak sengaja. Artinya si debitur mau membayar akan tetapi tidak mampu. Sebagai contoh kredit yang dibiayai mengalami musibah seperti kebakaran, hama, kebanjiran dan sebagainya, sehingga kemampuan untuk membayar kredit tidak ada. Dalam dunia perbankan penyelesaian kredit bermasalah dalam lingkungan administrasi perkreditan merupakan suatu kelaziman. Hal 136
Try Widiyono, loc.cit.
137
Kasmir, 2006, Dasar-dasar Perbankan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h, 128-129.
112
tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kualitas kredit. Menuju langkah-langkah alternatif demikian, secara nyata para pihak pasti mendapatkan perbedaan-perbedaan yang dengan sendirinya pula apabila difungsikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa karena melalui lembaga tersebut dimungkinkan perbedaan pendapat bisa direduksi sedemikian rupa sehingga mendapatkan jalan keluar yang saling menguntungkan (win win solution).138 Restrukturisasi ini dijalankan berdasarkan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi dan penilaian ahli antara pihak kreditur dan debitur serta pihak ketiga yang netral seperti akuntan publik dan sebagainya. Restrukturisasi
kredit
dalam
penyelamatan
kredit
bermasalah
merupakan suatu upaya yang ditawarkan dan menguntungkan baik dari pihak kreditur maupun dari pihak debitur, namun menurut Wahyudi Santoso, dalam proses restrukturisasi kredit, ada beberapa kendala yang dihadapi, antara lain:139 b.
Tidak adanya keterbukaan antara kreditur dengan debitur. Hal demikian tidak lepas dari sifat hubungan yang antagonistik antara keduanya. Pihak kreditur, dalam hal ini bank, dalam praktiknya menetapkan persyaratan yang lebih mencerminkan besarnya kerugian yang dapat ditolerirnya serta kepastian pembayaran sesegera mungkin tanpa memperhatikan kondisi bisnis dan keuangan
138
Muhamad Djumbana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 560. 139
Wahyudi Santoso, 2008, h. 21.
113
debiturnya. Pada sisi lain pihak debitur selalu berupaya memperoleh keringanan yang maksimal dengan menyerahkan agunan seminimal mungkin. c.
Adanya keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang ahli di bidang restrukturisasi pada lembaga-lembaga fasilitas seperti Satgas maupun Prakarsa Jakarta, sementara pada sisi yang lain nasabah debitur maupun bank kreditur terlalu berharap banyak pada lembaga tersebut secara fakta sebenarnya juga tidak mempunyai kekuatan memaksa.
d.
Kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat sebagai fasilitator dalam restrukturisasi, karena masing-masing lembaga tersebut mempunyai agenda atau prioritas yang berbeda satu dengan yang lain. Dari faktor hukum, kebijakan restrukturisasi tertuang dalam aturan
yang tersebar. Sampai saat ini belum ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai
restrukturisasi
kredit.
Peraturan
kebijakan
mengenai
restrukturisasi kredit juga sering berubah-ubah. Misalnya SK Direksi Bank Indonesia No. 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit merupakan perubahan dari SK Direksi Bank Indonesia tertanggal 27 Februari 1998 dan diubah kembali melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 Tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR Tanggal 12 November
114
1998 Tentang Restrukturisasi Kredit. Perubahan yang terjadi secara terusmenerus ini bukanlah merupakan indikator hukum yang baik. Dalam ketentuan mengenai perbankan tidak ditegaskan apakah restrukturisasi kredit merupakan hal yang wajib atau hanya merupakan upaya penyelamatan kredit. Dalam ketentuan Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum hanya ditentukan bahwa “Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.” Perlakuan akuntansi untuk Restrukturisasi Kredit antara lain diterapkan untuk pengakuan kerugian yang timbul; dan pengakuan pendapatan bunga dan penerimaan lain. Hal ini dapat menjadi celah hukum dari bank untuk tidak melaksanakan restrukturisasi terhadap kredit bermasalah. Dalam
pelaksanaannya,
program
restrukturisasi
kredit
dan
restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami berbagai kendala dan salah satunya adalah berupa adanya ketentuan yang berkaitan
dengan
Sehubungan
prinsip
dengan
kehati-hatian permasalahan
mempertimbangkan bahwa restrukturisasi
dalam tersebut kredit
pengelolaan
Bank.
serta
dengan
dan restrukturisasi
perusahaan pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan mendorong pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian ketentuan kehati-hatian khususnya mengenai batas waktu penarikan Penyertaan Bank dalam rangka restrukturisasi kredit.
115
Peraturan Bank Indonesia sangat mempengaruhi operasional bank, tidak hanya dalam akuntansi, tetapi mencakup struktur organisasi, teknologi informasi, dan pola pikir sumber daya manusia bank. Oleh karena itu dibutuhkan strategi-strategi untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang akan timbul sehubungan dengan kebijakan restrukturisasi dalam penyelamatan kredit bermasalah seperti perhitungan present value cash flow ketika terjadi restrukturisasi kredit. Faktor penegak hukum serta sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum juga mejadi faktor penghambat dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit manakala terjadi keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang ahli di bidang restrukturisasi serta koordinasi antar lembaga. Pemahaman mengenai peraturan tentang restruktukrisasi perlu dilakukan. Penentuan kebijakan mengenai restrukturisasi dalam praktik dilakukan oleh bidang yang sama dengan yang menentukan pemberian kredit. Hal ini dapat menimbulkan subjektivitas dalam memberikan persetujuan restrukturisasi. Kebijakan restrukturisasi seringkali diabaikan karena pelaksanaan kebijakan ini justru mengurangi margin keuntungan. Restrukturisasi memerlukan proses yang panjang. Kredit yang bermasalah harus dianalisis ulang dan bahkan melibatkan kantor pusat. Jika kredit bermasalah dibiarkan saja dan pihak bank tidak mengkonfirmasi nasabah wanprestasi untuk membayar, maka pihak bank akan mendapat keuntungan dari penumpukan bunga dan denda. Apabila debitur masih tidak sanggup membayar maka akan dilakukan lelang yang biasanya dilakukan di bawah tangan. Kondisi ini
116
tentu sangat menguntungkan pihak kreditur yang dapat mempermainkan harga lelang jaminan. Oknum pihak bank melaksanakan restrukturisasi kredit hanya untuk kepentingan formalitas saja, debitur juga kurang mendapatkan informasi mengenai restrukturisasi ini. Memang dalam hal ini pihak bank tidak memiliki kewajiban untuk menyamakan pemahaman dari para debitur sebagaimana pula yang dinyatakan Alix Adams sebagai berikut: Bank does not even have a duty to ensure that a customer takes independent advice prior to entering into a transaction with it. However, failure to do so may prevent the bank from enforcing a contract in its favour, if it is perceived as having constructive notice of undue influence or misrepresentation which led the customer into the transaction. Such notice may be given by the nature and substance of the agreement and the relationship between the customer and any other party involved in or benefiting from the transaction140. Dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana telah diuraikan sebelumnya ditentukan bahwa kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. Keterlibatan konsultan keuangan independen seringkali diabaikan karena melibatkan konsultan keuangan independen berarti menambah biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi kredit bermasalah. Biaya ini akan memberatkan pihak debitur yang dalam kondisi tersebut memang memiliki kesulitan untuk membayar, dan jika dibebankan kepada kreditur, kreditur pun akan dirugikan lebih banyak lagi.
140
Alix Adams, 2008, Law for Business Students Fifth Edition, Pearson Education, England, h. 146.
117
Restrukturisasi kredit sangat mudah dilakukan sepanjang ada itikad baik dari nasabah selaku debitur. Hambatan yang selama ini sering terjadi pelaksanaan restrukturisasi kredit adalah nasabah yang tidak kooperatif. Penggilan via telepon dan kunjungan ke rumah nasabah seringkali diabaikan. Negosiasi dalam restrukturisasi kredit juga seringkali tidak menemukan kesepakatan. Setelah ada kesepakatan, hasil kesepakatan tidak pula dilaksanakan dengan alasan bahwa pihaknya merasa dirugikan. Dalam kondisi tersebut biasanya penyelesaian masalah dilakukan melalui pengadilan. 141 Pelaksanaan
restrukturisasi
kredit
dalam
penyelamatan
kredit
bermasalah merupakan pelaksanaan dari aturan yang mengatur tentang restrukturisasi. Menurut Munir Fuady, salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan Perbankan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank yang bersangkutan.
142
Peraturan mengenai
retrukturisasi merupakan upaya untuk melindungi nasabah dari hak eksekutorial kreditur untuk melelang langsung objek jaminan.
141
Wawancara dengan Ketut Enda Raharja, Head Office Mayapada Mitra Usaha, wawancara dilakukan pada 27 Desember 2015. 142
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 104. (selanjutnya disebut Munir Fuady III)
118
3.
Tanggung Jawab Hukum Pihak Kreditur dalam Restrukturisasi Kredit Risiko yang sering terjadi dalam usaha perbankan pada umumnya adalah risiko kredit macet atau Non Performing Loan (NPL).
Faktor
penyebab risiko kredit macet antara lain karena kesalahan penggunaan kredit, manajemen penggunaan kredit
yang buruk, serta kondisi
perekonomian yang mempengaruhi iklim usaha dalam negeri.143 Kredit bermasalah akan berdampak pada kelancaran operasi bank pemberi kredit dimana aktiva produktif bank diragukan kolektibilitasnya serta menurunkan profitabilitas bank bersangkutan. Tingginya jumlah kredit bermasalah akan mengakibatkan turunnya pemasukan dan mengurangi modal bank. Kondisi ini menimbulkan turunnya likuiditas yang berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada bank. Dalam hal kepercayaan masyarakat menurun, maka peranan bank sebagai lembaga intermediasi tidak dapat berfungsi optimal, yang artinya akan memperkecil kesempatan peluang bisnis, proyek baru, lapangan kerja baru dan sebagainya. Secara sistemik, kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi dan moneter negara. Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai dengan penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program penjaminan pemerintah, program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan restrukturisasi kredit perbankan. Langkah selanjutnya dalam program
143
Badriyah Harun, op.cit., hal 11.
119
pemulihan perekonomian nasional tersebut adalah melalui restrukturisasi perusahaan. Program restrukturisasi perusahaan sangat erat kaitannya untuk mendukung perbaikan sisi aktiva perbankan melalui program restrukturisasi kredit. Pelaksanaan restrukturisasi kredit menimbulkan tanggung jawab bank selaku kreditur. Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh restrukturisasi kredit yang dilakukannya. Restrukturisasi kredit yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum. Bank memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Perbankan perubahan yakni sebagai berikut: 1.
2.
3.
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia. Tanggung jawab pelaporan kepada Bank Indonesia ini terkait dengan
tanggung jawab Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan pembinaan. Bank Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan restrukturisasi kredit. Kebijakan restrukturisasi merupakan kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk
120
pembinaan dan pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia. Dalam Pasal 29 UU Perbankan perubahan ditentukan bahwa: 1. 2.
3.
4.
5.
Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam Pasal 65 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum ditentukan bahwa: Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan kualitas Kredit dan perhitungan PPA, apabila: a. menurut penilaian Bank Indonesia, Restrukturisasi Kredit dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53; b. Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan dokumen yang lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan membayar dan prospek usaha debitur; c. debitur tidak melaksanakan perjanjian Restrukturisasi Kredit (cidera janji/wanprestasi); d. Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha debitur; dan/atau e. Restrukturisasi Kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Restrukturisasi
kredit
merupakan
upaya
penyelamatan
kredit
bermasalah. Apabila penyelamatan kredit bermasalah ini tidak berhasil maka bank melakukan tindakan lanjutan berupa penghapusan kredit macet
121
(write-off). Penghapusan kredit macet tersebut dilakukan dengan dua tahap yakni hapus buku dan hapus tagih. Hapus buku dan hapus tagih ini dianggap sebagai kerugian bank. Hapus buku adalah tindakan administratif Bank antara lain untuk menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada debitur. Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus semua kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan, dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Hapus tagih dalam rangka restrukturisasi kredit dan penyelesaian kredit dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada debitur. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada debitur, restrukturisasi kredit, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas aset produktif dimaksud, dan penyelesaian kredit melalui pengambilalihan agunan. Hapus buku adalah penghapusan secara bersyarat atau conditional write-off dan hapus tagih adalah penghapusan secara mutlak absolute writeoff. Hapus buku dilakukan dengan cara mengeluarkan semua portofolio kredit macet dari pembukuan bank, namun bank tetap melakukan tagihan kepada debitur sedangkan dalam program hapus tagih, bank tidak lagi
122
melakukan penagihan kepada debitur.144 Program hapus buku dan hapus tagih merupakan upaya untuk mengurangi rasio kredit bermasalah dan berarti meningkatkan kesehatan bank. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih. Kebijakan tersebut wajib disetujui oleh Dewan Komisaris. Prosedur mengenai hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui paling rendah oleh Direksi. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih. Kebijakan dan prosedur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 67 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menentukan bahwa: (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang telah didukung perhitungan CKPN sebesar 100% dan kualitasnya telah ditetapkan Macet. (2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana (partial write off). (3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh penyediaan dana. (4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit. Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif yang diberikan. Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan serta
144
Iswi Hariyani, op.cit. h. 41.
123
dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus tagih. Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aset Produktif yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. Apabila program hapus buku dan hapus tagih ini tidak berhasil maka bank selaku kreditur dapat menyelesaikan permasalahan kredit macet ini melalui jalur litigasi maupun non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa).
124
BAB V PENUTUP
1.
Simpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Implementasi
ketentuan
restrukturisasi
kredit
belum
optimal
diterapkan dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan. Hal tersebut dapat dilihat dari penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit. Faktor internal yang menyebabkan belum optimalnya ketentuan restrukturisasi adalah analisis kredit yang kurang teliti dari pihak bank, indikasi itikad buruk dari pihak bank untuk mengabaikan proses restrukturisasi serta ketidaktahuan nasabah bahwa jika mengalami
ketidaksanggupan
membayar
dapat
mengajukan
restrukturisasi. Faktor eksternal yang menyebabkan belum optimalnya ketentuan restrukturisasi yakni kebijakan restrukturisasi sebagaimana yang diuangkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang sering berubah-ubah. 2) Hambatan
yang
dihadapi
dalam
implementasi
ketentuan
restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan dapat ditinjau dari faktor hukum, penegak hukum, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum,
125
masyarakat serta kebudayaan. Faktor hukum yang menghambat yakni pengaturan eksternal dalam Peraturan Bank Indonesia yang tersebar dan sering berubah serta pengaturan internal di bank bersangkutan mengenai restrukturisasi yang belum ada atau belum sesuai dengan substansi sebagaimana yang diamanatkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Faktor penegak hukum dan sarana penegakan hukum yang dalam hal ini adalah bank dan sarananya adalah belum adanya pemahaman yang komprehensif dan prosedur yang benar mengenai proses
restrukturisasi
serta
pengabaian
keterlibatan
konsultan
keuangan independen dalam restrukturisasi kredit. Faktor masyarakat dan budaya yang menghambat restrukturisasi kredit adalah adanya itikad buruk debitur, kurangnya informasi dan inisiatif debitur dalam mengajukan restrukturisasi kredit.
2.
Saran Rekomendasi
yang dapat
disampaikan
mengenai
implementasi
ketentuan restrukturisasi kredit bermasalah pada kredit perbankan adalah: 1) Bank Indonesia hendaknya tidak terlalu sering mengganti kebijakan mengenai
restrukturisasi
kredit
dalam
penyelamatan
kredit
bermasalah. Masing-masing bank hendaknya memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit, memiliki divisi khusus yang menentukan restrukturisasi dan membedakannya dengan divisi pengajuan kredit. Bank hendaknya memberikan pelatihan bagi
126
pegawainya dalam meningkatkan pengetahuan mengenai kebijakan restrukturisasi dan prediksi dalam mengukur kesanggupan dan kemampuan membayar melalui prospek usaha debitur yang menjadi sumber pendapatan untuk melaksanakan pembayaran. Pihak kreditur hendaknya memberikan informasi yang benar mengenai pengajuan kredit dan suku bunga serta melakukan upaya antisipasi sebelum terjadinya kredit bermasalah dengan selalu memonitor pembayaran debitur. 2) Debitur hendaknya mempelajari perjanjian kredit antara dirinya dan kreditur dan memiliki pemahaman yang cukup di bidang perbankan yang meliputi syarat pengajuan kredit, perihal pembayaran, suku bunga, model perhitungan pembayaran dan ketentuan apabila nantinya tidak sanggup membayar. Debitur yang dalam hal ini adalah nasabah bank hendaknya memiliki itikad baik untuk melaksanakan prestasi, mau kooperatif dalam setiap tahapan pengajuan restrukturisasi, memberikan informasi dan data yang benar guna mencapai kesepakatan dalam restrukturisasi. Jika debitur telah kooperatif dalam hal ketidaksanggupan membayar, maka pihak bank hendaknya memberikan
kesempatan
dalam
memberikan
kesempatan
restrukturisasi kredit kepada nasabah sebelum mengambil keputusan untuk menjual agunan guna menutupi pembayaran kredit.