BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan tradisi tulis memungkinkan manusia untuk merekam segala bentuk pengalaman dan pengetahuannnya dalam bentuk tulisan. Hal ini menjadi suatu hal positif dalam perkembangan peradaban manusia, karena sebelum tulisan ditemukan manusia menyampaikan segala
pengalaman
dan
pengetahuannya
melalui
tradisi
lisan.
Penyampaian secara lisan memiliki kekurangan, yaitu tidak dapat bertahan lama dan rawan akan terjadinya perubahan cerita. Hal ini berbeda dengan tulisan yang dapat bertahan lama dan lebih sedikit terjadinya perubahan cerita. Dari tradisi tulis tersebut lahirlah naskah. Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baroroh-Baried, dkk, 1994:55). Sebagai produk masa lampau, di saat kertas belum ditemukan, naskah ditulis di berbagai medium. Pada awalnya batu dan tulang belulang digunakan
sebagai
medium
untuk
menulis,
kemudian
seiring
perkembangan zaman medium yang digunakan adalah sutra dan bambu. Penemuan kertas oleh seorang Cina bernamai Tsai Lun pada tahun 105, menggantikan kedudukan sutera sebagai alas tulis (Gaur dalam Mulyadi, 1994:59). Akan tetapi, perubahan tersebut tidak terjadi di semua tempat,
2
karena selama enam ratus tahun pertama kertas hanya dikenal di Cina dan tidak disebarkan ke Negara lain. Medium naskah di nusantara pun sangat beragam, tidak terbatas pada sutera dan bambu saja. Naskah di Indonesia menggunakan kertas daluwang, daun lontar, daun nipah, bambu, dan rotan (Mulyadi dalam Yusuf, 1994:44). Medium naskah berbeda-beda di setiap daerah, naskah Jawa dan Melayu biasanya menggunakan kertas, daun lontar digunakan pada naskah yang berbahasa Jawa dan Bali, dan naskah berbahasa Batak biasanya menggunakan kulit kayu dan rotan sebagai mediumnya. Mengingat bahan naskah terbuat dari bahan yang cepat rusak, maka diperlukan perhatian khusus dalam merawat dan menjaganya, sehingga naskah tersebut dapat bertahan dalam waktu lama. Perawatan fisik seperti menempatkan naskah di tempat khusus yang kelembapannya dapat diatur, melapisi kertas-kertas yang sudah mulai rusak, menggunakan bubuk pengawet kertas sangat perlu dilakukan. Selain itu, perawatan yang tidak kalah penting adalah perawatan dari segi isi dengan cara mempelajari kandungannya. Naskah yang merupakan warisan masa lalu dengan berbagai macam kandungan, yang meliputi teks keagamaan, undang-undang kenegaraan, epos, hikayat, dan obat-obatan tentu menjadi harta yang sangat berharga bagi perkembangan peradaban masa kini. Manusia modern dapat menjadikan naskah sebagai jalan pintas menuju masa lalu, dan mengambil pengetahuan yang masih relevan dengan masa sekarang
3
dan masa yang akan datang. Namun, dalam proses memahami dan mengkaji kandungan naskah tidaklah mudah dan tidak sama dengan membaca buku cetak pada masa kini. Bahasa dan tulisan naskah tentu jauh berbeda dengan bahasa dan tulisan modern. Oleh karena itu, untuk mempelajari naskah diperlukan ilmu khusus, yaitu filologi. Filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama (Djamaris, 2002:3). Filologi dapat menghubungkan tulisan masa lalu dengan pembaca modern. Membuat naskah yang susah dibaca menjadi naskah yang mudah dibaca oleh semua kalangan. Menurut Oman (2015:19) hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan (to present) dan menafsirkan (to interpret). To present berarti menyajikan teks yang berasal dari naskah yang sulit dibaca menjadi teks yang dapat dinikmati pembaca, dan dari teks yang susah diakses menjadi terbuka untuk siapa saja. Adapun to interpret berarti menafsirkan teks tersebut sesuai dengan konteks lokal yang menghadirkannya. Salah satu warisan masa lampau adalah naskah “Hikayat Prang Gompeni” (selanjutnya disingkat HPG). Kata Gompeni dalam hikayat ini merupakan istilah Aceh untuk kata Company yang mengacu pada perusahan dagang Belanda yaitu VOC. HPG dikarang oleh seorang penyair lisan yang bernama Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Do Karim. HPG ditulis dengan aksara Arab Jawi dalam bentuk prosa, yang dalam kesusastraan Melayu disebut sebagai hikayat. HPG menggambarkan kondisi Aceh pada saat diserang oleh Belanda, pada saat
4
itu kondisi rakyat Aceh menjadi kacau dan terpecah belah, sehingga para pemimpin dan intelektual melakukan usaha menyatukan rakyat Aceh untuk melawan Belanda. Adapun cara yang ditempuh adalah dengan menyerukan jihad fisabilillah (perang di jalan Allah). Salah satu bentuk seruan tersebut adalah HPG. HPG sebagai sebuah karya sastra yang merupakan refleksi suatu masyarakat, ditempatkan sebagai alat untuk menuangkan dan menyebarkan gagasan perang sabil. Selain sebagai refleksi dari sebuah masyarakat, karya sastra juga bersifat formatif terhadap masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep Gramsci yang menyatakan bahwa dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak (Faruk, 2010:131). Gramsci (Faruk, 2010:131) menunjuk kepada kasus Revolusi Perancis. Menurutnya, revolusi fisik dalam kasus tersebut tidak akan terjadi kalau sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis yang merupakan kebangkitan dan penyebaran filsafat pencerahan. Berdasarkan konsep Gramsci tersebut, dapat dikatakan bahwa Abdul Karim sebagai seorang intelektual menggunakan HPG sebagai
5
tempat berkembangnya ideologi yang menjadi “penyemen” berbagai kepentingan kelompok dan menggerakkan kelompok tersebut. Naskah HPG, di dalamnya menceritakan tentang kondisi umat Islam yang sangat menginginkan nikmat Allah, tetapi enggan melaksanakan perintah-Nya. Umat Islam lebih senang mengumpulkan harta untuk kesenangannya di dunia daripada mengikuti perintah Allah SWT. Salah satu perintah-Nya adalah memerangi kaum kafir yang mengganggu agama Islam (Karim, t.t.). HPG juga menceritakan tentang bahaya kaum kafir Belanda, mereka akan menerapkan pajak pada setiap daerah yang menjadi jajahannya, baik itu pajak bagi kapal yang membawa barang dagangan maupun bagi para pedagang. Selain merugikan dari segi ekonomi, kehadiran kafir Belanda juga akan merusak tatanan keagamaan karena mereka adalah kaum yang senang berbuat maksiat. Kafir Belanda akan mendatangi setiap rumah untuk memperkosa dan berzina dengan istri atau anak penduduk jajahannya. Kafir Belanda sangat pandai melakukan tipu daya, sebelum menguasai suatu daerah mereka akan menarik simpati penduduknya dengan membeli hasil alam dengan harga yang tinggi. Di akhir hikayat, Do Karim berpesan supaya umat Islam tidak tergoda dengan segala rayuan Kafir Belanda. Umat Islam harus rela melakukan perang sabil karena balasan Allah akan sangat besar bagi mereka yang mengikuti perintah-Nya (Karim,t.t.).
6
Teks HPG, selain sebagai warisan masa lampau yang harus diselamatkan keberadaannya, juga mengandung gagasan perang sabil yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini berkaitan dengan bagaimana formasi ideologi dan negoisiasi yang terjadi, sehingga gagasan perang melawan kafir dapat menggerakkan rakyat Aceh dan membentuk kelompok hegemonik, yaitu kelompok yang bersatu untuk mencapai suatu kepentingan bersama.
1.2. Rumusan Masalah HPG yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini ditulis dalam bahasa Aceh dengan menggunakan aksara Arab Jawi. Untuk dapat dipahami oleh pembaca masa kini, naskah HPG perlu disunting dan diterjemahkan. Selanjutnya untuk mengungkap kandungannya, HPG perlu dianalisis dengan teori Hegemoni Gramsci. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pernaskahan dan perteksan HPG yang dapat disajikan dalam bentuk teks terbaca? 2. Bagaimana formasi dan negosiasi ideologi dalam teks HPG?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretisnya adalah:
7
Mengungkap kesadaran kolektif masyarakat Aceh pada tahun 1873, yaitu kesadaran yang membuat masyarakat Aceh tidak ragu dalam memerangi kaum kafir Belanda. Perang melawan kafir Belanda merupakan jihad yang dibenarkan oleh agama. Tujuan praktis penelitian ini adalah: 1. Menyajikan suntingan dan terjemahan teks HPG dalam bentuk teks terbaca yang sesuai dengan kaidah-kaidah filologi 2. Mengungkapkan formasi dan negosiasi ideologi yang terjadi dalam naskah HPG
1.4. Tijauan Pustaka Pembahasan tentang naskah Hikayat Prang Gompeni baik yang berupa transkrip, tulisan, maupun dalam bentuk karya ilmiah belum banyak dilakukan. Naskah HPG sudah pernah ditransliterasi oleh Anzib dengan judul Qishah Coompeuni Perang Belanda Atjeh 1873-1900, tetapi naskah yang digunakan oleh Anzib berbeda bentuknya dengan naskah yang digunakan dalam penelitian ini. Anzib menggunakan naskah yang berbentuk puisi, sedangkan dalam penelitian ini naskah yang digunakan berbentuk prosa. Dalam bukunya De Atjehers jilid II (1894), Snouck Hurgronje membahas HPG cukup mendalam. Snouck memulai dengan menerangkan tentang pengarang HPG yang bernama Do Karim (Abdul Karim) yang berasal dari Glumpang Dua di Mukim VI wilayah XXV. Ia juga membahas isi naskah yang menceritakan tentang pahala bagi siapa saja
8
yang rela melakukan perang suci, tetapi sukses dalam perang suci hanya dapat diraih melaui kesadaran penuh akan perintah agama. Diakhir pembahasannya, Snouck memuji semangat penyair khususnya semangat publiknya. Menurutnya HPG patut mendapat perhatian karena sifatnya yang aktual. Penyair juga dapat mengambarkan dengan baik perintah melawan kafir dan balasannya kepada orang yang mematuhinya (Hurgronje, 1894:88). Penelitian
yang dilakukan oleh Istiqamatunnisak dengan judul
Realita Sosial Pada Hikayat Prang Kumpeni Analisis Sosiologi Sastra, yang dimuat dalam web acehinstitute.org. Naskah yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah milik Snouck Hugronje yang bernomor UBL Or.8039. Penulis tidak melakukan penyuntingan terhadap naskah tersebut, tetapi hanya menyadur dari tulisan Snouck dalam buku De Atjhers jilid II halaman 79-88. Adapun kesimpulan dari penelitian menjelaskan bahwa HPG mencerminkan kenyataan kehidupan sosial dari tokoh pengarang pada masa HPG diciptakan. Latar belakang sosial pengarang, berpengaruh besar terhadap karya sastra yang diciptakan. Kehidupan sosial dari tokoh utama meliputi kehidupan sosial masa itu. Pergaulan sang pengarang juga memberikan pengaruh dalam karya sastranya. Pandangan pengarang dunia tentang perjuangan masyarakat Aceh pada masa itu yang merupakan salah satu fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat. Sehingga dengan kepopulerannya hikayat ini mendapat sambutan dan penerimaan
9
dari berbagai masyarakat Aceh pada masa itu, bahkan syair-syair dalam hikayat tersebut juga masih dipakai pada masa sekarang. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, penelitian HPG dengan nomor inventaris 07.272/2273 milik Museum Negeri Aceh dengan kajian Hegemoni Gramsci belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat berfungsi sebagai pelengkap pembahasan dan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
1.5. Landasan Teori Teori yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah teori Filologi dan Hegemoni Gramsci. Teori Filologi dimanfaatkan untuk menyajikan suntingan dan terjemahan teks Hikayat Prang Gompeni, sehingga teks HPG dapat dibaca oleh semua kalangan. Adapun teori Hegemoni Gramsci dimanfaatkan untuk mengungkap formasi dan negosiasi ideologi dalam Hikayat Prang Gompeni karya Abdul Karim.
1.5.1. Teori Filologi Filologi merupakan salah satu ilmu yang berhubungan dengan studi teks, yaitu studi yang dilakukan untuk mengungkapkan hasil budaya yang tersimpan di dalamnya (Baroroh-Baried, dkk, 1994:4). Objek penelitian filologi secara khusus berfokus pada tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau yang disebut naskah, sebaliknya teks merupakan sesuatu yang abstrak berupa kandungan atau muatan naskah (Baroroh-Baried, dkk,
10
1994:55). Filologi diperlukan, karena kebanyakan naskah memiliki berbagai varian. Hal tersebut terlihat dalam beberapa penyalinan naskah yang mengalami perubahan pada setiap penyalinannya sehingga melahirkan wujud teks yang bervariasi (Chamamah-Soeratno, 2011:8). Variasi dan keaslian teks menjadi salah satu aspek dalam penelitian filologi tradisional, yaitu studi filologi yang menganggap variasi sebagai sebuah kesalahan, dan berusaha untuk mengembalikan teks pada bentuk aslinya. Naskah yang tidak dapat menemukan versi aslinya dianggap rusak atau korup. Filologi tradisional bertujuan untuk melahirkan silsilah hubungan perkerabatan antara naskah-naskah salinannya yang disebut stemma codicum atau disingkat stemma yang dalam bahasa Indonesia berarti silsilah naskah (Chamamah-Soeratno, 1999:2). Dalam perkembangannya, muncul sebuah pandangan baru tentang variasi dan keaslian teks yang dinamakan sebagai filologi modern. Dalam pandangan filologi modern variasi bukan sebuah kesalahan penyalin, tetapi merupakan bentuk kreativitas penyalin. Sebagaimana diungkapkan oleh Chamamah-Soeratno (1999:4) Variasi dipandang tidak hanya sebagai kesalahan yang dibuat oleh penyalin, tetapi juga sebagai bentuk kreasi penyalin, yaitu hasil subjektivitasnya sebagai manusia penyambut teks yang disalin dan sebagai penyalin yang megkehendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya. Perbedaan dua paradigma filologi tersebut terletak pada cara memandang variasi sebuah teks. Filologi tradisional memandang variasi sebagai hal negatif, sedangkan filologi modern memandang variasi sebagai
11
hal yang positif sebagai bentuk kreativitas penyalin. Akan tetapi, gejala yang memperhatikan keteledoran penyalin harus tetap diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pembacaan (Chamamah-Soeratno, 1999:4). Faktor keteledoran penyalin sehingga menyebabkan terjadinya korup dalam naskah, harus diperbaiki dengan melakukan kritik terhadap teks tersebut. Selain faktor kelalaian, terjadinya korup dalam teks juga disebabkan oleh faktor penulisan teks itu sendiri. Dalam tradisi penulisan naskah lama, pembagian kata atau paragraf tidak disusun secara sistematis, sehingga menyulitkan penyalin untuk memahaminya. Demikian halnya dengan naskah HPG, sebagai karya sastra lama HPG tidak terhindarkan dari terjadinya kesalahan. Seperti terjadinya haplography, yaitu hilangnya beberapa kata atau huruf dalam sebuah kalimat, atau terjadinya dittography, yaitu pengulangan satu kata atau lebih. Untuk merespons segela kesalahan tersebut, maka kritik teks perlu dilakukan. Untuk memahami dan menyajikan naskah yang dapat dipahami oleh semua lapisan pembaca, perlu dilakukan suntingan teks. Dalam menyunting teks terdapat dua metode yang disesuaikan dengan jumlah naskahnya. Suntingan untuk naskah jamak, dan suntingan untuk naskah tunggal. Suntingan untuk naskah jamak dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode gabungan dan metode landasan. Adapun suntingan naskah tunggal dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode diplomatik dan metode kritis. Metode diplomatik yaitu menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya tanpa mengadakan perubahan, sedangkan metode
12
kritis yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedang ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Baroroh-Baried dan Chamamah-Soeratno, 1983:69). Dalam penelitian ini, naskah yang digunakan adalah naskah tunggal dan metode yang digunakan adalah metode kritis. Metode kritis bertujuan untuk menampilkan naskah dalam bentuk terbaik bukan yang mendekati aslinya. Penyunting melakukan campur tangan,
baik
berupa
perbaikan,
pengurangan,
penambahan,
atau
penggantian kata sejauh dapat dipertanggungjawabkan (Fathurahman, 2015:91). Kondisi naskah HPG yang mengalami banyak kerusakan, memerlukan campur tangan penyunting sehingga HPG menjadi naskah dengan kualitas bacaan terbaik. Perbaikan yang penyunting lakukan meliputi pengelompokkan paragraf berdasarkan kesatuan ide, memberikan tanda-tanda atau keterangan dalam perbaikan bagian yang rusak, atau penambahan pada bagian yang dianggap kurang. Menambahkan tanda baca, pembetulan tulisan dan bacaan yang didasarkan pada gramatika bahasa Aceh. Semua perubahan tersebut dicatat dalam aparatus kritik yang dituliskan di catatan akhir atau endnote. Pedoman transkirpsi Arab-Latin disertakan karena teks HPG ditulis dalam bahasa Aceh dengan huruf Arab Jawi. Hasil suntingan yang telah dihasilkan melalui kerja filologi kemudian dianalisis dengan teori hegemoni Gramsci. Hal ini dilakukan
13
untuk mengungkapkan formasi dan negosiasi ideologi yang terdapat dalam HPG.
1.5.2. Teori Terjemahan Dalam menerjemahkan sebuah karya, penerjemah tidak hanya memindahkan arti dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language), tetapi di dalamnya juga terjadi proses pemindahan ide atau gagasan dari teks asli ke dalam teks yang diterjemahkan. Hal tersebut juga berlaku dalam menerjemahkan karya sastra. Sebagai sebuah hasil budaya, karya sastra tentu memuat pesanpesan dengan menggunakan ungkapan dan simbol yang melatarbelakangi kehidupan budayanya. Newmark (1988:5) menjelaskan tentang penerjemahan yaitu rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text, menerjemahkan makna atau pesan suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan maksud pengarangnya. Penerjemah hanya diberi kewenangan untuk mengubah kata-kata, tetapi tidak boleh merubah makna yang dimaksudkan oleh pengarang. Oleh
karena
itu,
diperlukan
metode
yang
tepat
dalam
menerjemahkan, sehingga hasil terjemahan dapat dimengerti oleh pengguna bahasa sasaran tanpa mengubah ensensi dari bahasa sumber. Newmark (1988:45-47) membagi metode penerjemahan dalam delapan bagian. Empat bagian menekankan pada bahasa sumber, yaitu word to word translation, literal translation, faithful translation, semantic
14
translation. Empat bagian lagi menekankan pada bahasa target, yaitu adaptation, free translation, idiomatic translation, communicative translation. Dari kedelapan bagian tersebut, metode semantik cocok diterapkan dalam penelitian ini. Hal ini didukung oleh naskah HPG yang sangat erat kaitannya dengan kearifan lokal masyarakat Aceh pada saat itu, dan HPG juga naskah lama yang memiliki bahasa yang sulit dimengerti. Penerjemahan semantik lebih fleksibel, tetapi tetap memperhatikan estetika bahasa. Pemaknaannya pun dapat dikompromikan selama masih dalam tahap kewajaran. Apabila terdapat kata atau istilah yang tidak dapat dipahami, tidak terdapat padanan kata yang sesuai, maka kata tersebut akan ditulis apa adanya dengan catatan keterangan.
1.5.3. Hegemoni Antonio Gramsci Marxisme klasik menganggap manusia bukan makhluk otonom yang dapat berubah dan mengontrol kehidupan dan sejarahnya. Kontrol kehidupan dikendalikan penuh oleh ekonomi, yang dinamakan sebagai determinasi ekonomi bahwa semua perkembangan sosial, politik dan intelektual disebabkan oleh perubahan ekonomi dan bahkan semua tindakan manusia dimotivasi oleh ekonomi (Jones, 2010:97). Pendekatan tersebut tercermin dalam penggunaan metafor struktur dasar dan struktur atas (base and super structure). Struktur dasar terdiri atas tenaga-tenaga produktif, sistem ekonomi, dan hubungan-hubungan produksi. Sedangkan superstruktur terdiri dari sistem yang berada di luar bidang ekonomi dan
15
produksi, yang meliputi sistem kebudayaan, agama, politik, seni, dan filsafat. Gramsci
mengkritik
pendapat
Marxisme
yang
sangat
mengedepankan peran ekonomi sebagai penentu perubahan dalam masyarakat. Kegiatan produksi (struktur dasar) merupakan penentu kebudayaan dan ideologi masyarakat (superstruktur). Segala perubahan yang terjadi tidak bergantung kepada masyarakat, melainkan kepada ekonomi. Dengan kata lain, struktur dasar menjadi penentu superstruktur. Gramsci tidak sependapat dengan konsep yang diajukan oleh Marx, karena bagi Gramsci superstruktur juga mempunyai peranan dalam perubahan. Superstruktur bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi dari strukrur dasar yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri (Faruk, 2010:131). Sebuah revolusi tidak akan terjadi apabila masyarakat tidak mempunyai kesadaran untuk berubah, dan kesadaran dapat diperoleh dalam kebudayaan dan ideologi (suprastruktur). Hal ini dilandasi oleh sifat manusia yang tidak bersifat baku, tetapi lebih bersifat dinamis yang membawanya selalu ingin berubah. Revolusi Perancis tidak akan terjadi apabila sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis
yang
merupakan
kebangkitan
dan
penyebaran
filsafat
pencerahan (Faruk, 2010:131). Oleh karena itu, peran masyarakat kolektif sangat diperlukan, karena perubahan hanya dapat dilakukan dalam aktivitas yang bersifat kolektif, sebagaimana diungkapkan oleh Gramsci (1983:349)
16
An historical act act can only be performed by “collective man”, and this presupposes the attainment of a “cultural-sosial” until through which a multiplicity of dispersed wills, with heterogeneous aims, are welded together with a single aim, on the basis of an equal and common conception of the world, both general and particular, operating in transitory bursts (in emotional ways) or permanently. [Tindakan historis hanya dapat ditampilkan oleh manusia kolektif dan ini dapat mengasumsikan adanya kesatuan kultur sosial dengan penggandaan berbagai keinginan yang terpisah, dengan menggabungkan tujuan yang berbeda-beda secara bersamaan dalam satu tujuan, dengan dasar konsepsi dunia yang sama dan umum, yang beroperasi dalam letupan-letupan (secara emosional) yang sifatnya sementara atau permanen.] Proses munculnya dan penyatuan gagasan melewati proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir lahir begitu saja dari otak individual, melainkan punya pusat informasi, iradiasi, penyebaran, dan persuasi. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (Faruk, 2010:132). Hegemoni merupakan kepemimpinan yang dicapai melalui persetujuan aktif. Pola kepemimpinan tersebut dikenal dengan istilah kepemimpinan moral dan intelektual (kepemimpinan kultural). Dalam mewujudkan ketersetujuan, Gramsci memperkenalkan pembagian suprastruktur menjadi dua level utama, yang pertama disebut sebagai masyarakat sipil dan kedua disebut sebagai masyarakat politik atau Negara (Sugiono, 2006:34). Masyarakat sipil meliputi seluruh organisasi yang berada diluar proses produksi ekonomi, seperti sekolah, gereja, media massa, dan universitas. Adapun masyarakat politik adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan
17
perintah, yang di dalamnya termasuk tentara, polisi, pengadilan, dan pemerintah (Sugiono, 2006:35). Dua bagian suprastruktur mewakili dua ranah berbeda, yaitu ranah persetujuan dan ranah kekerasan. Ranah persetujuan berlaku dalam masyarakat sipil yang dicapai melalui paraktik-praktik kultural, politis, dan ideologis.Adapun ranah kekerasan berlaku dalam masyarakat politik yang dicapai melalui dominasi langsung yang diterapkan di seluruh negara dan pemerintahan yuridis. Dominasi merupakan kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik. Tujuan dari hegemoni adalah untuk menyatukan berbagai macam kelas yang mempunyai kepentingan yang berbeda menjadi kesatuan yang seakan harmonis dan menyatu untuk suatu tujuan bersama. Penyatuan berbagai macam kelas tidak dapat terjadi tanpa ideologi yang bertugas menjadi “penyemen” (cohesive force) berbagai macam kepentingan kelas. Ideologi mengandung empat elemen, yaitu elemen kesadaran, elemen material, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Pada tahap elemen kesadaran, ideologi dapat menjadi penggerak manusia untuk sebuah perubahan. Gramsci (Simon, 2004:8384) menyatakan bahwa ideologi lebih dari sistem ide. Ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak mendapatkan kesadaran akan posisi, perjuangan. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat.
18
Ideologi sebagai gagasan yang dapat menyentuh sisi psikologis masyarakat. Elemen kedua adalah elemen material, eksistensi materialnya terwujud dalam setiap praktik-praktik sosial masyarakat. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, nemun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat (Simon, 2004:84). Ideologi menampilkan esensi materialnya dalam lembaga kemasyarakatan, seperti dalam partai politik, serikat dagang, dan masyarakat sipil. Elemen ketiga adalah elemen solidaritas-identitas yang berfungsi sebagai pengikat dan pondasi penyatuan berbagai kelompok masyarakat ke dalam satu wadah. Oleh karena itu, ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahan tetapi harus dinilai dari ‘kemanjurannya’ dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda ke dalam suatu wadah, dan dalam peranannya sebagai fondasi atau agen proses penyatuan sosial (Simon, 2004:86-87). Dalam proses penyatuan, berbagai ideologi yang berbeda tidak harus disingkirkan, tetapi dapat dirangkul untuk menyusun sebuah tatanan ideologi yang baru. Pada akhirnya, ideologi dapat membentuk suatu kelas hegemonik, yaitu suatu kelas yang berhasil menyatukan berbagai kepentingan kelompok, dan gerakan-gerakan lain ke dalam kepentingan mereka sendiri yang bertujuan untuk membangun kehendak kolektif rakyat secara nasional. Elemen keempat adalah elemen kebebasan. Ideologi dapat menghasilkan kebebasan maksimal kepada individu dalam merealisasikan
19
dirinya. Elemen kebebasan dalam ideologi memungkinkan manusia untuk melakukan perlawanan setelah mereka menyadari ketertindasan yang mereka alami. Proses penyebaran ideologi hingga mencapai tahap hegemonik tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui peran fugsionaris hegemoni, yaitu kaum intelektual. Kaum intelektual merupakan wakil dari kelompok dominan yang mempunyai fungsi hegemoni sosial pada kaum jelata serta fungsi pemerintahan politik (Gramsci, 2013:17). Kaum intelektual terdiri dari dua kelompok, yaitu intelektual organik dan tradisional. Intelektual organik adalah mereka yang bertugas untuk mengelaborasi
ideologi
dan
mengorganisasinya,
yang
kemudian
disebarkan kepada masyarakat sebagai usaha untuk memelihara hegemoni. Intelektual tradisional adalah mereka yang terbebas dari kelompok dominan dan bersifat otonom. Mereka tidak menjadi “agen” pihak yang berkuasa. Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugastugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society (Patria dan Arief, 2003:163). Dalam proses penyebaran ideologi, kaum intelektual membutuhkan suatu wadah untuk menyebarkan ideologinya, salah satunya yaitu karya sastra. Dalam hegemoni Gramsci, kesusastraan tidak lagi dipandang sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh struktur dasar, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, mempunyai sistem sendiri, tetapi tidak terlepas dari
20
struktur dasarnya (Faruk, 2010:154). Oleh karena itu, sastra dipandang sebagai aspek yang penting dalam mengontrol, membentuk, dan memelihara ideologi dalam masyarakat untuk mencapai hegemoni. Sastra juga dapat menjadi tempat terjadinya pertarungan ideologi-idoelogi yang diciptakan oleh pengarang untuk mencapai hegemoni.
1.6. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian filologi dan metode penelitian sastra. Metode filologi merupakan metode penentuan naskah untuk dasar penelitian, yang meliputi suntingan dan terjemahan, sedangkan metode penelitian sastra menggunakan metode sosiologi sastra teori hegemoni Antonio Gramsci.
1.6.1. Metode Pengumpulan Data Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah objek filologi maka langkah langkah yang dilakukan adalah langkah kerja filologi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan terhadap HPG adalah sebagai berikut: a. Inventarisasi naskah yaitu menelusuri dan mencatat informasi tentang naskah yang akan diteliti. Penelusuran dapat dilakukan dengan berpedoman pada katalog naskah, museum, atau dapat juga menelusurinya langsung kepada masyarakat b. Observasi pendahuluan yaitu membaca naskah yang dihadirkan lalu menyusun deskripsi naskah dan membuat ringkasan cerita.
21
c. Mentranskripsi naskah, kemudian dilanjutkan dengan suntingan teks dan terjemahan. Berdasarkan studi katalog yang penulis lakukan, terdapat dua naskah HPG. Masing-masing terdapat di Museum Negeri Aceh dengan nomor iventaris 07.272 dan di perpustakaan Universitas Leiden dengan nomor inventaris UBL Or. 8039 (Abdullah dalam Loir, 2009:217). Akan tetapi, disebabkan naskah yang terdapat di perpustakaan Leiden tidak dapat dijangkau, maka penelitian ini menggunakan naskah yang terdapat di Museum Negeri Aceh dan memanfaatkan metode naskah tunggal edisi kritis. 1. Metode Kritis Naskah
HPG
merupakan
warisan
masa
lampau,
untuk
memahaminya naskah harus disunting terlebih dahulu. Suntingan teks dilakukan sesuai dengan jumlah dan kondisi naskah. Dalam penelitian ini, naskah yang digunakan adalah naskah tunggal dan kondisi naskah yang sudah mengalami kerusakan, sehingga metode yang digunakan dalam penelitian digunakan adalah metode kritis. Yaitu penyajian atau menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedang ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Baried dan Soeratno, 1983:69). Kesalahan dan kerusakan dalam naskah diperbaiki dan dicatat dalam apparatus kritik. Dengan demikian, naskah yang tersaji bebas dari kesalahan dan dapat dinikmati oleh semua kalangan pembaca.
22
2. Metode Terjemahan Semantik HPG merupakan naskah yang ditulis dalam bahasa Aceh, dan tidak semua orang dapat memahaminya. Penerjemahan dilakukan untuk memperluas jangkauan pembaca dari naskah HPG. Dalam menerjemahkan bahasa Aceh sebagai bahasa sumber (source language) dan bahasa Indonesia
sebagai
bahasa
sasaran
(target
language)
digunakan
penerjemahan semantik. Dalam metode semantik penerjemah menganalisis teks bahasa sumber dalam hal hubungan gramatikal serta makna kata dan memahaminya secara keseluruhan. Kemudian makna bahasa sumber dialihkan ke dalam bahasa sasaran. Dalam pengalihan tentunya tidak semua maksud dari bahasa sumber dapat dialihkan dengan baik dan mendalam ke bahasa sasaran, seperti ungkapan-ungkapan tertentu. Untuk menjembatani hal tersebut maka setiap kata-kata yang tidak terdapat padanannya akan diberi catatan khusus, sehingga pembaca masih dapat menikmati hasil terjemahan dan membandingkannya dengan bahasa sumber.
1.6.2. Metode Analisis Data Langkah selanjutnya, data yang dikumpulkan melalui suntingan, penerjemahan, dan pembacaan HPG dianalisis. Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui kandungan naskah HPG. Adapun langkah dalam menganalisis HPG adalah:
23
1. Pengelompokan Kalimat Pada tahap ini dilakukan pemilihan kalimat-kalimat yang bertujuan untuk mengetahui formasi dan negosisasi ideologi yang terdapat dalam naskah Hikayat Prang Gompeni. 2. Menganalisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis untuk mencari formasi ideologi dalam HPG dan negosiasi yang terjadi antarideologi.
1.7. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab sebagai berikut. 1. Bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II terdiri atas pernaskahan dan perteksan naskah Hikayat Prang Gompeni. 3. Bab III terdiri atas suntingan dan terjemahan naskah Hikayat Prang Gompeni. 4. Bab IV akan membahas formasi dan negosiasi ideologi dalam naskah Hikayat Prang Gompeni. 5. Bab V berisi kesimpulan penelitian.