BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra merupakan karya kreatif dari sebuah proses pemikiran untuk menyampaikan ide, pengalaman, dan sistem berpikir seseorang. Hal tersebut sebagai bentuk pengungkapan dari pengalaman yang telah disaksikan, dialami, dan dirasakan manusia dalam berbagai sisi kehidupan. Karya sastra pada hakikatnya juga menjadi suatu hasil karya yang menjelaskan pengalaman kehidupan manusia dalam bentuk pengimajinasian tentang dunia di sekitarnya. Melalui karya sastra, dapat diketahui penghayatan manusia yang paling dalam (Junus, 1986:4). Pengarang sebagai anggota masyarakat, dalam proses menciptakan karya sastra seringkali memposisikan sastra sebagai suatu cermin masyarakat. Sesuai dengan pernyataan Sumardjo, bahwa sastra adalah produk masyarakat maka karya sastra yang lahir di tengah masyarakat dapat dipastikan tertulis berdasarkan pada desakan emosional masyarakat (Sumardjo, 1979: 12). Penciptaan karya sastra yang telah ditulis oleh pengarang biasanya memiliki suatu tujuan untuk dapat mendidik dan menghibur pembacanya. Sastra sebagai suatu produk budaya diyakini menyampaikan suatu pengalaman batin manusia berupa permasalahan kemanusiaan yang lahir dari pengarang sebagai pencipta sekaligus sebagai bagian dari kelompok masyarakat
1
2
tertentu. Permasalahan yang dituliskan oleh pengarang bersifat sebuah kreasi rekaan yang berada dalam angan-angan pengarang. Namun, perlu disadari bahwa posisi pengarang sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam dunia nyata memberi kemungkinan dan keleluasaan untuk memperkenalkan permasalahan yang ada kepada pembaca mengenai sistem nilai kehidupan masyarakat sesuai dengan penghayatannya secara pribadi. Karya sastra melalui imajinasi dan konteks sosial pengarang merupakan jembatan yang digunakan untuk mendialogkan berbagai permasalahan dari sudut pandang tertentu kepada para pembaca. Gambaran mengenai pemikiran nilai-nilai yang dapat ditangkap dari masyarakat secara tidak langsung merupakan sarana untuk mengekspresikan permasalahan melalui tokoh-tokoh masyarakat imajiner yang ditulis dalam karyanya. Salah satu bentuk dari karya sastra yang banyak mengandung problematika tentang nilai kebudayaan adalah novel. Menurut Ian Watt, novel merupakan sebuah proses untuk memindahkan gambaran kehidupan yang dilakukan dengan seksama ke dalam suatu bentuk yang meniru realitas (Watt, 1957:32). Meskipun demikian, penggambaran tersebut tidak lagi dalam realita yang utuh, tetapi telah diwarnai dengan ide dari pengarangnya. Oleh karena itu, proses memahami sebuah novel tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial budaya suatu masyarakat karena unsur yang terdapat novel seperti latar sosial, latar tempat, dan sistem masyarakatnya berkaitan dengan realitas sosial yang ada.
3
Faruk (1988:20) berpendapat bahwa karya sastra adalah refleksi budaya karena karya sastra diciptakan oleh pengarang yang notabene adalah anggota masyarakat. Karya sastra yang diciptakan oleh pengarang dalam pengertian tersebut dipastikan memiliki unsur kebudayaan yang tercermin di dalamnya sebab pengarang sebagai anggota masyarakat terikat pada status sosial dan lingkungan budaya tertentu. Hal ini juga berdasarkan pada asumsi bahwa karya sastra tidak diciptakan dari kekosongan budaya. Karya sastra, dalam hal ini novel diciptakan dengan mengangkat latar sosial budaya yang dapat terwujud dalam tokoh yang ditampilkan melalui sistem kemasyarakatan, adat istiadat, kesenian, dan benda kebudayaan yang tercermin. Gejala yang nampak dalam penerbitan novel-novel sastra Indonesia pada awal 1990-an yaitu dimunculkannya kembali warna lokal daerah. Beberapa pengarang Indonesia yang sering mengangkat warna lokal daerah dalam karyanya adalah, Korrie Layun Rampan dalam novel Bunga dengan warna lokal masyarakat Dayak, Wisran Hadi menulis Nyonya Nyonya dengan warna lokal Minangkabau, dan Ahmad Tohari yang terkenal sebagai pengarang dengan latar belakang kebudayaan Jawa dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk. Mahmud (1991:15) menjelaskan bahwa warna lokal kemasyarakatan berperan sebagai papan penguak kemonotonan dalam persoalan sastra yang sering membosankan pembaca. Dorongan akan kepekaan terhadap kehidupan sosial masyarakat yang merasa gelisah menjadi salah satu faktor munculnya warna lokal pada karya sastra tersebut. Oka Rusmini pun mencoba mengangkat permasalahan dalam latar kebudayaan Bali ke dalam karyanya yang berjudul Tarian Bumi.
4
Dalam buku yang berjudul Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia karya Korrie Layun Rampan disebutkan bahwa Oka Rusmini muncul dengan membuat gebrakan dalam dunia sastra (Rampan, 2002:54). Kritik pedas terhadap penindasan struktur budaya tradisional di daerah seperti hierarki kasta Bali, tingkah laku banyak laki-laki Bali dan terutama beban yang harus diderita para perempuan di dalam struktur tersebut, berhasil diangkat oleh Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi yang mengandung unsur-unsur arus baru dalam fiksi warna daerah. Oka Rusmini merupakan pengarang perempuan yang telah menghasilkan banyak karya dan beberapa di antaranya telah diakui sastrawan Indonesia dan dunia sebagai karya yang mendobrak zaman. Menurut Allen, Oka Rusmini merupakan salah satu pengarang perempuan yang menunjukkan dekonstruksi terhadap mitos masyarkatnya. Ia merupakan perempuan Bali dengan pemikiran modern yang ingin membebaskan perempuan dari lingkaran adat yang mengikat. Dalam karya-karyanya, Rusmini banyak memasukkan bentuk-bentuk pemikirannya yang mengkritisi tradisi yang dipandang tidak sesuai dengan zamannya. Karya yang dihasilkan Oka Rusmini memberikan wacana baru dari pandangan yang selama ini dikemukakan para antropolog (2001:27). Sebagai makhluk sosial, cara pandang Oka Rusmini tidak dapat terlepas dari latar belakangnya sebagai pribadi dan pengaruh lingkungan sosialnya. Perempuan yang lahir di Jakarta, 11 Juli 1967 tersebut merupakan lulusan Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Setelah mendapatkan gelar sarjana, Ia bekerja
5
di koran Bali Post sebagai redaktur. Di samping itu, Oka Rusmini masih tetap aktif menulis cerita pendek, novel, puisi, dan cerita anak. Karya-karyanya juga banyak dimuat di majalah Femina, Horison, dan di beberapa surat kabar nasional, seperti Kompas dan Media Indonesia. Salah satu cerita pendek Oka Rusmini adalah “Putu Menolong Tuhan”. Cerpen ini dinobatkan sebagai cerpen terbaik dalam sayembara majalah Femina (1994). Selain itu, beberapa puisinya juga banyak dimuat dalam antologi “Doa Bali Tercinta” (1983), “Rindu Anak Mendulang Kasih” (1987), dan “Bocah-bocah S’Brono” (1989). Kumpulan puisi Rusmini yang telah terbit antara lain, “Monolog Pohon” (1997) dan “Patiwangi” (2003). Oka Rusmini juga telah menerbitkan beberapa novel dan kumpulan cerpennya, seperti Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), dan Akar Pule (2013). Novel Oka Rusmini yang berjudul Tarian Bumi pada awalnya merupakan cerpen bersambung yang dimuat di Republika pada tahun 1997. Novel ini mendapatkan penghargaan “Penulisan Karya Sastra tahun 2003” dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia dan diapresiasi oleh banyak kalangan pembaca hingga diterjemahkan dengan judul Erdentanz pada tahun 2007. Tarian Bumi dinilai mampu dengan baik menyajikan fakta-fakta sosial dan realitas budaya kehidupan masyarakat Bali seperti pertentangan kelas sosial (kasta) yang ditandai dengan kemiskinan pada golongan kasta yang lebih rendah, pemberontakan perempuan, kekuasaan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, permasalahan adat
6
yang ada di dalamnya dan lain sebagainya. Selain aspek sosial dan realitas budaya Bali yang seringkali menjadi ciri khas Oka Rusmini dalam karyanya, novel Tarian Bumi juga menarik untuk dianalisis berdasarkan faktor berikut. Pertama, novel Tarian Bumi sangat menarik karena mengangkat ekspresi kesenian sebagai fakta cerita. Penggunaan ekspresi kesenian masyarakat dalam novel tersebut tentu berkaitan erat dengan kebudayaan yang menggunakan tari sebagai semangat dan sumber kehidupan spiritual pada pemujaan Sang Hyang Taksu, atau Siwa Nata Raja. Dalam kehidupan masyarakat Bali, seni tari bukan hanya sarana hiburan semata, melainkan nafas hidup bagi sebagian masyarakat Bali sebagai suatu ritual peribadatan. Gambaran tersebut juga merupakan suatu respon sosial yang ditunjukkan oleh Oka Rusmini tehadap situasi budaya lokal yang melatarbelakangi kehidupannya. Salah satu tarian yang digunakan dalam upacara keagamaan seperti Arja, Topeng, dan Barong menggambarkan perjalanan kehidupan manusia atau watak manusia. Tari Barong yang biasa dipakai sebagai simbol kebaikkan dalam tradisi masyarakat Bali selalu dipasangkan dengan Leak yang menggambarkan sifat atau watak buruk dalam diri manusia yang senantiasa harus dilawan. Demikian besarnya peran tari dalam kehidupan masyarakat Bali, maka ajaran dan makna dalam taritarian tersebut sangat memengaruhi sistem dan pola berpikir sebagian masyarakat Bali (Bandem,1996:22). Kedua, Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi mengangkat gambaran mengenai pengabdian dan pemberontakkan terhadap tradisi yang ada, khususnya
7
mengenai sistem kasta yang berlaku di Bali. Sudut pandang Oka Rusmini mengenai berbagai gejala yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk perubahan nilai maupun fungsi adat dalam novel Tarian Bumi diperinci melalui pemberontakan perempuan yang selama ini cenderung menjadi korban dalam pernikahan berbeda kasta yang sering terjadi. Pilihan para tokoh yang memilih jalan hidup untuk menikah dengan laki-laki yang berbeda kasta menjadi hal yang menarik untuk dikaji sebagai suatu gerakan pertentangan kelas kasta. Permasalahan sosial dan budaya yang kompleks dalam novel Tarian Bumi menurut pandangan peneliti memiliki latar belakang yang berkaitan dengan konteks sosial Oka Rusmini sebagai seorang perempuan Bali. Konteks sosial pengarang tersebut sangat penting untuk dianalisis sebagai bagian untuk mengungkapkan hubungan karya sastra tersebut dengan masyarakat. Peneliti menilai bahwa hal tersebut akan bermanfaat apabila dikaji dan dianalisis secara mendalam dengan teori sosiologi sastra Ian Watt. Melalui teori yang digunakan tersebut peneliti bertujuan untuk mengkaji mengenai konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan proses kreatif dalam menciptakan novel Tarian Bumi. Di samping itu, peneliti juga tertarik untuk menganalisis pandangan-pandangan yang disampaikan oleh pengarang dibalik ekspresi kesenian tari sebagai cara pandang atau sikap hidup yang sesuai dengan latar belakang Oka Rusmini sebagai pengarang yang berasal dari Bali.
8
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, konteks sosial pengarang dan kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan novel Tarian Bumi. Kedua, problematika sosial yang terkandung dalam novel Tarian Bumi sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang meliputi pandangan dan sikap hidup.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ada dua yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dalam penelitian ini ialah menerapkan teori sosiologi sastra dalam novel Tarian Bumi sehingga mampu mengungkapkan hubungan yang terjalin antara pegarang, karya sastra, dan masyarakat. Dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukan oleh Ian Watt diharapkan penelitian ini akan mengungkapkan berbagai aspek sosial budaya dalam novel tersebut. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan keterkaitan antara realitas yang ada di dalam dan di luar karya sastra. Dengan demikian, hasil yang diperoleh dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra, khususnya teori sosiologi sastra Ian Watt. Tujuan
praktis yang
ingin
dicapai
dalam
penelitian
ini
adalah
memberikan pemahaman bagi pembaca terhadap karya sastra pada umumnya, khususnya novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Tujuan dari penelitian ini semakin penting, mengingat dapat bermanfaat bagi penambahan informasi dan pengetahuan mengenai tradisi dan kebudayaan masyarakat Bali.
9
1.4 Tinjauan Pustaka Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang telah terlebih dahulu dilakukan oleh para peneliti dengan objek kajian novel Tarian Bumi. Rokhani dalam skripsinya menggunakan novel Tarian Bumi sebagai objek penelitian dengan judul penelitian “Hubungan Intertekstual Novel Tarian Bumi dengan novel Gadis Pantai : Analisis Fabel dan Sjuzet” (2003). Penelitian tersebut berawal dari dugaan kemiripan antara dua karya yaitu Tarian Bumi karya Oka Rusmini dan Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer sebagai suatu keterkaitan unsur antara suatu karya sastra yang satu dengan yang lain. Selanjutnya, dengan menggunakan prinsip intertekstual disimpulkan bahwa hubungan novel Gadis Pantai dan Tarian Bumi dalam hubungan struktur alur terlihat dalam hal persamaan, perbedaan, maupun pertentangannya. Analisis terhadap fabel (susunan motif pokok cerita) pada kedua novel tersebut menunjukkan adanya kesamaan dan variasi motif, beberapa motif tersebut yang diantaranya: motif kemiskinan, motif perjodohan, motif perkawinan, dan motif perbedaan status sosial. Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis sjuzet (struktur penceritaan) yaitu alur Tarian Bumi dirangkai dari struktur alur Gadis Pantai melalui proses modifikasi (penyesuaian), alur Gadis Pantai mengalami kegagalan tokoh secara total, dan yang terakhir dalam Tarian Bumi terjadi pengembangan struktur dari
10
novel Gadis Pantai. Dengan demikian, disimpulkan bahwa novel Gadis Pantai merupakan hipogram dari novel Tarian Bumi. Selain penelitian yang sudah dilakukan di atas, isu dalam kesetaraan gender atau pemberontakan kaum perempuan seringkali menjadi bahan yang diangkat dalam analisis novel tersebut. Salah satu analisis yang sudah pernah dilakukan dimuat dalam jurnal Lingua yang diterbitkan oleh program studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya dengan judul “Diskriminasi Kelas dan Gender Perempuan Bali dalan Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini” yang ditulis oleh Umam Rejo. Dalam jurnal tersebut Umam Rejo menjelaskan deskriminasi gender yang selalu muncul dalam kalangan bangsawan Bali akhirnya mendorong pemberontakan dari kaum perempuan. Analisis yang telah dilakukan dalam novel tersebut memiliki kesimpulan bahwa pemberontakan yang dilakukan dinilai masih ambivalen karena tidak sepenuhnya berpihak pada golongan yang lemah yaitu kaum perempuan. Pemberontakan yang digambarkan memiliki dua kubu yang bertentangan. Shinta (2007) meneliti novel Tarian Bumi dengan judul penelitian “Konflik Batin Tokoh dalam Novel Tarian Bumi: Kajian Psikologi Sastra”. Pendekatan psikologi sastra dalam penelitian tersebut menggunakan teori kepribadian psikoanalisa Sigmund Freud. Dari analisis terhadap novel Tarian Bumi dapat disimpulkan bahwa struktur kepribadian Telaga seimbang dengan ego yang lebih dominan sehingga bisa mempersatukan antara id dan super ego. Akibatnya tokoh Telaga mampu mengatasi guncangan kejiwaannya dengan baik. Kepribadian tokoh Sekar Kenanga tidak seimbang. Impuls-impuls id-nya lebih dominan. Keseimbangan
11
antara ketiga sistem kepribadian itulah yang membuat Luh Sekar mempunyai kepribadian yang keras. Struktur kepribadian tokoh Sagra Pidada juga didominasi oleh id. Ego Sagra Pidada tidak bisa mengarahkan id dan super ego-nya secara seimbang sehingga menjadikan dia tokoh yang kasar karena tidak bisa mengontrol emosinya. Analisis pada novel Tarian Bumi selanjutnya yang pernah diteliti ialah “Pertentangan Kasta dalam Kebudayaan Bali Kajian Hegemoni dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini” oleh Kusumawati (2011). Penelitian tersebut menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci yang digunakan untuk mengkaji masalah praktik hegemoni kasta Brahmana terhadap kasta Sudra dan faktor-faktor penyebab hegemoni dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Sasaran utama penelitian adalah praktik hegemoni kasta Brahmana terhadap kasta sudra, dan faktorfaktor penyebabnya dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Faktor penyebab terjadinya praktik hegemoni kasta Brahmana terhadap kasta sudra dalam novel Tarian Bumi adalah faktor ideologi dan strata masyarakat. Ideologi kaum dominan secara perlahan dimasukkan ke dalam tatanan kehidupan kaum minoritas, sehingga tanpa disadari kaum minoritas mendukung kekuasaan yang dijalankan kaum dominan. Intan Nuraeni (2011) melakukan analisis terhadap novel Tarian Bumi dengan menggunakan penelitian deskriptif analitis terhadap novel dilakukan dengan menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang terkait dengan konsep gender. Budaya patriarkat di Bali telah memperhitungkan supaya akibat pernikahan beda
12
kasta yang mengakibatkan terjadinya peristiwa naik dan turun kasta seorang perempuan tetap saja membuat posisi laki-laki berada di atas perempuan. Peraturan tersebut seperti ingin mengatakan bahwa semuanya harus berpusat pada laki-laki sehingga perempuan yang harus mengikuti apa yang menjadi keputusan laki-laki. Adanya sistem kasta di Bali membuat kaum perempuan menjadi tersiksa. Perempuan bangsawan maupun sudra akan tetap menjadi pihak yang kalah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Keberanian mereka untuk keluar dari pakem memang merupakan suatu kemajuan bagi perempuan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, novel Tarian Bumi memang sudah pernah diteliti dengan objek formal lain yaitu, hagemoni Antonio Gramsci dan kritik sastra feminis. Penerapan teori sosiologi sastra Ian Watt dengan objek kajian yang sama, sampai pada penulisan skripsi ini belum pernah ditemukan peneliti. Oleh karena itu, penelitian dengan objek kajian novel Tarian Bumi dengan teori sosiologi sastra Ian Watt dinilai oleh peneliti masih layak untuk dilakukan.
1.5 Landasan Teori Pendekatan
terhadap
sastra
yang
mempertimbangkan
aspek
sosial
kemasyarakatan disebut oleh beberapa penulis dengan sosiologi sastra. Menurut Escarpit (2005:14), sosiologi sastra merupakan cabang ilmu yang mendekati sastra dalam hubungannya dengan tingkatan masyarakat. Aspek yang berhubungan dengan tingkatan tersebut sejalan dengan kenyataan sosial, baik dilihat dari pengarangnya,
13
proses penulisan maupun pembaca, serta teks karya sastra itu sendiri (Hartoko dan Rahmanto, 1986:129). Pradopo (2003:108) menyatakan bahwa karya sastra memang lahir dalam konteks sejarah dan sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya pengarang merupakan salah seorang anggota masyarakat bangsanya. Oleh karena itu, pengarang tidak terhindar dari konvensi sastra yang ada sebelumnya dan tidak terlepas dari latar sosial budaya masyarakatnya. Junus (1986:3) mengemukakan bahwa salah satu pendekatan sosiologi sastra adalah dengan melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Pendekatan ini melihat hubungan konkret antara unsur karya sastra dan sosial budaya pada kurun waktu tertentu. Karya sastra tidak dilihat sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik pada unsur-unsur lepas saja atau dari kesatuan karya sastra dan hanya berdasarkan pada cerita tanpa mempermasalahkan struktur karya sastra. Unsur ini secara langsung dihubungkan dengan unsur sosio-budaya. Sejalan dengan Junus, menurut Damono (2002:2) ada dua kecenderungan utama dalam pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan yang pertama berdasarkan anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin sosial ekonomi belaka. Pendekatan tersebut bergerak dari faktor yang berada di luar sastra untuk membahas hal-hal yang ada di dalam karya sastra. Selanjutnya, pendekatan kedua yang mengutamakan sastra sebagai bahan penelaah yang dimaksud supaya karya sastra dianalisis untuk
14
memahami strukturnya untuk selanjutnya dapat lebih dalam menganalisis gejala di luar sastra. Penjelasan mengenai teori sosiologi sastra, pernah juga dikemukakan dalam buku Teori Kesusastraan, tulisan Wellek dan Warren (1993:111) yang menawarkan pendekatan teori sosiologi sastra menjadi tiga kelompok. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang, sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.Karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan tersebut. Klasifikasi yang dilakukan oleh Wellek dan Warren di atas tidak jauh berbeda dengan pendekatan mengenai hubungan sastra dan masyarakat yang dikemukakan oleh Ian Watt dalam esainya yang berjudul Literature and Society (1964). Ian Watt sebelum melakukan klasifikasi tersebut telah terlebih dahulu meneliti hubungan sastra dan masyarakat dalam beberapa penelitian yang telah ia lakukan sebelumnya. Salah satu hasil penelitian yang sudah diterbitkan berjudul The Rise of The Novel (1957). Adapun pendekatan yang dapat dilakukan dalam sosiologi sastra menurut Ian Watt yaitu, pertama konteks sosial pengarang, yaitu posisi sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan. Kedua, sastra sebagai cermin
15
masyarakat; sampai sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi garnbaran masyarakat yang ingin disampaikan. Ketiga, fungsi sosial sastra, dalam hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sastra sebagai pembaharu atau perombak, sastra sebagai penghibur, dan sejauh mana terjadi sintesis antara fungsi sastra sebagai pembaharu dan penghibur. Pada klasifikasi pertama yang dikemukakan di atas, Ian Watt (1957:18) mengungkapkan bahwa seorang pengarang memiliki dua peran utama, yaitu pengarang sebagai sebuah profesi dan pengarang sebagai individu dalam bagian masyarakat. Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan pada klasifikasi ini, ialah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya; apakah ia menerima bantuan dari pengayom, atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra. Konteks sosial pengarang berhubungan dengan posisi sosial sastrawan yang berkaitan dengan pembaca juga faktor sosial yang mempengaruhi isi dalam karya sastranya. Sosiologi pengarang yang mencakup isi karya sastra dengan sifat sosial sekaligus berdampak terhadap masyarakat juga memiliki pengaruh besar dalam sebuah karya sastra. Hal tersebut karena pengarang juga merupakan dari masyarakat tempat karya sastra itu tercipta. Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang
16
dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari dokumen biografi. Pengarang adalah bagian dari masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah politik dan sosial yang penting serta isu-isu yang ada pada zamannya. Sastra sebagai cermin masyarakat merupakan suatu anggapan bahwa dalam karya sastra terdapat aspek dokumenter. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Hal yang terutama mendapat perhatian (a) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis. (b) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta sosial dalam karyanya. (c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat. (d) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan konteks sosial pengarang dan sastra sebagai cerminan masyarakat, penelitian ini akan mencari padanan antara fakta dalam sastra dan realitas di dalam masyarakat. Hal tersebut selaras dengan salah satu sifat kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai tiruan kehidupan. Karya sastra dianggap sebagai tiruan kehidupan, cerminan, ataupun representasi alam. Kriteria
17
yang digunakan dalam karya sastra adalah kebenaran representasi objek-objek yang digambarkan ataupun yang hendak digambarkan. Teori sosiologi sastra yang digunakan untuk menganalisis novel Tarian Bumi merupakan teori yang dikemukakan oleh Ian Watt. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan lebih menekankan dua aspek yang dikemukakan dalam teori Ian Watt yang mencakup konteks sosial pengarang, dan sastra sebagai cermin masyarakat . Dengan demikian, penelitian yang dilakukan terhadap novel Tarian Bumi adalah penelitian yang menekankan perhatian teks karya sastra yang dikaitkan dengan aspek sosial dan budaya masyarakatnya, serta latar belakang pengarang yang mempengaruhi proses kreatif pengarang dalam penciptaan sebuah karya sastra.
1.6 Metode Penelitian Metode digunakan dengan tujuan menyederhanakan masalah sehingga peneliti dapat dengan lebih mudah dipahami, sedangkan pengertian dari metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2008:1332). Sesuai dengan judul penelitian, dapat diketahui bahwa objek material yang digunakan adalah novel Tarian Bumi. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1995:3). Dengan
18
kata lain, penelitian kualitatif akan menghasilkan data yang hanya diukur secara langsung dan dapat diamati serta diselidiki dengan teori sesuai permasalahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis merupakan penelitian yang bertujuan untuk memberikan atau menjabarkan suatu keadaan atau fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab masalah secara aktual (Moleong, 2010:11). Sesuai dengan pendapat tersebut, dalam penelitian ini ditampilkan beberapa kutipan dalam novel Tarian Bumi untuk memberi gambaran mengenai masalah penelitian. Adapun beberapa tahapan ilmiah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Menentukan novel sebagai objek yang akan dianalisis, dalam penelitian ini novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. b. Melakukan pembacaan berulang pada objek kajian penelitian untuk mendapatkan pemahaman yang benar. c. Pengumpulan data-data dan referensi yang mendukung pembahasan penelitian. d. Analisis terhadap novel Tarian Bumi sebagai objek penelitian dengan menerapkan teori sosiologi sastra Ian Watt. e. Mengumpulkan dan melaporkan hasil penelitian.
19
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan penelitian ini terdiri atas bab-bab sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, lamdasan teori, metode penelitian dan sistematika laporan penelitian. Bab II memaparkan konteks sosial pengarang dalam masyarakat Bali yang melingkupi hubungan pengarang dengan masyarakat Bali, mata pencaharian pengarang, dan profesionalisme pengarang. Bab III berisi analisis sosiologi sastra terhadap novel Tarian Bumi mengenai karya sastra sebagai cerminan masyarakat. Bab ini akan membahas hubungan yang terdapat antara fakta cerita dan fakta di luar cerita termasuk ide pengarang yang terdapat dalam novel Tarian Bumi sehingga dapat sekaligus mengidentifikasikan fungsi sosial yang terdapat dalam karya tersebut. Bab selanjutnya ialah, bab IV yang berisi kesimpulan.