1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kajian terhadap hukum perkawinan akhir-akhir ini menjadi menarik kembali untuk didiskusikan. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak di luar perkawinan tetap memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya selama dapat dibuktikan dengan teknologi, ilmu pengetahuan, atau alat bukti lain yang secara hukum dianggap sah.
2
Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya". Sesaat setelah putusan dibacakan, langsung mendapat sambutan yang beragam, dari yang mengapresiasi, sampai yang khawatir dan was-was, yang menimbulkan perdebatan pro-kontra di tengah masyarakat. Perdebatan pun semakin meluas, tidak hanya berlangsung di ruang akademik, tapi juga merasuk ke ranah publik, termasuk ke ranah sosial keagamaan.1
1
Saat itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meskipun secara resmi belum mengambil sikap atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ketua Bidang Fatwa, KH Ma’ruf Amin, secara pribadi tetap bersikukuh agar anak hasil hubungan di luar perkawinan tetap tidak diberi keistimewaan dalam hukum.
3
Mencermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ada semangat untuk “melindungi” seorang anak yang lahir di luar kawin. Karena pertimbangan hal tersebut bukanlah merupakan keinginannya, juga sejak kelahirannya tidak membawa dosa/ kesalahan dari orang tuanya. Untuk itu, harkat, martabat, serta hak asasi seorang anak yang lahir di luar kawin harus tetap dijaga dan dilindungi. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seringkali disalahpahami oleh masyarakat. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa melalui putusan itu Mahkamah Konstitusi telah “menghalalkan” zina. Padahal, jika dicermati lebih teliti, semangat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk melindungi hak anak yang dilahirkan, bukan untuk melegalkan zina. Apabila dianalisis, maka logika hukumnya putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak luar kawin dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti: tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak di luar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya itu. Putusan ini tidaklah tanpa masalah.
Permasalahan pertama yang
mungkin timbul adalah, apakah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini, anak di luar kawin akan mempunyai hak keperdataan yang sama dengan anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah? Putusan Mahkamah Konstitusi ini
4
tidak membedakan perlakuan terhadap anak yang lahir di dalam perkawinan sah, sirri maupun dengan anak yang lahir dari hasil perzinaan. Apabila dilihat dari konsekuensi hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka apapun hubungan hukum orang tuanya baik kawin sah, sirri dan ataupun perzinaan, anak tetap harus dilindungi dan menjadi tanggung jawab orang tuanya baik ibu maupun ayahnya asalkan dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain bahwa mereka adalah orang tuanya. Permasalahan kedua, mengingat pluralnya Hukum Waris Indonesia, apakah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini ketentuan tentang pewarisan dalam hal adanya anak-anak luar kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 862 hingga 873 KUHPerdata menjadi tidak berlaku? Dalam KUHPerdata anakanak di luar kawin hanya akan memperoleh hak atas warisan apabila diakui secara sah oleh pewarisnya. Bagaimana pula dengan ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dengan tegas menyatakan “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Apakah dalam hal ini dapat berlaku asas “hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama” mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi ini memberi norma baru dalam tatanan hukum keluarga yang berlaku di Indonesia. Penciptaan norma baru ini masih menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum. Bahkan Mahfud MD sendiri pernah menyatakan bahwa terdapat 10 (sepuluh) larangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan hal-hal tertentu yang salah satunya adalah menciptakan norma baru. Kalau lah kemudian penciptaan norma baru tersebut
5
diperbolehkan dan diterapkan asas itu di dalam persoalan ini, tetap saja Penulis yakin akan banyak pihak yang mempertentangkannya, mengingat Mahkamah Konstitusi tidak pernah membatalkan ketentuan di dalam KUHPerdata dan KHI, sedemikian Pasal 862 hingga 873 KUHPerdata maupun Pasal 100 KHI masih sah berlaku. Kalau demikian bukankah Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak dapat dijalankan? Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki salah satu wewenang untuk melakukan judicial review (uji materil) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinjau kembali. Pada asasnya putusan hakim tidak boleh didiskusikan apalagi disalahkan, inilah asas yang berlaku secara universal. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah suatu putusan yang bersifat final dan mengikat berkaitan dengan uji materiil undang-undang. Putusan Mahkamah
Konstitusi
ini
berlaku
sebagai
undang-undang
sehingga
substansinya general, tidak individual dan tidak kasuistik, sesuai ketentuan pasal 56 ayat (3) jo pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tentang hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuannya beserta segala konsekuensinya. Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan mengikat terhadap seluruh masyarakat Indonesia sejak diucapkan dalam
6
sidang terbuka untuk umum pada tanggal 17 Pebruari Tahun 2012 sesuai Pasal 47 Undang-undang Mahkamah Konstitusi dan dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 100 KHI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan ketiga, apabila sang ayah dari anak di luar kawin tersebut sebelum kawin sirri dengan ibu sang anak itu (lihat kasus Machica) telah mempunyai istri dan anak dari perkawinan yang sah, apakah perkawinan yang kedua tersebut harus dianggap sebagai perkawinan sah dan menghasilkan anak yang sah pula? Dalam ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kalau dalam kasus tersebut berarti telah terjadi perkawinan poligami, sedemikian perlu dilihat pula ketentuan di dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang Perkawinan yang mengatur bahwa poligami hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari pengadilan. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah dan anak yang dihasilkannya pun berarti anak tidak sah. Putusan Mahkamah Konstitusi hal ini hanya berdampak kepada sang ibu saja, dan bukan kepada anak-anak mereka. Kondisi ini mengacu kembali permasalahan pertama di atas, bahwa dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, anak mempunyai hubungan keperdataan dengan orang tuanya tanpa memperdulikan apakah dihasilkan dari perkawinan sah, sirri dan atau zina sekalipun.
7
B. Rumusan Masalah Dari paparan pada bagian latar belakang, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010? 2. Bagaimana proses terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUUVIII/2010? 3. Bagaimana kedudukan produk hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum di Indonesia? 4. Bagaimana Idealnya Penyelesaian Sengketa Waris Anak Luar Kawin Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010?
C. Tujuan Penulisan Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk: 1. Mengetahui latar belakang terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010; 2. Mengetahui proses terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUUVIII/2010; 3. Mengetahui kedudukan produk hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum di Indonesia;
8
4. Mendapatkan solusi Penyelesaian Sengketa Waris Anak Luar Kawin Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang penyusun lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ditemukan karya ilmiah dengan rumusan masalah yang sama dengan tesis ini. Walaupun demikian ada beberapa karya ilmiah dengan topik yang serupa, yaitu: 1) Skripsi ANSI WIDYA mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010”. ANSI WIDYA merumuskan masalah: a. Anak luar kawin manakah yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010? b. Apa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 terhadap hak anak luar kawin dalam hal alimentasi, perwalian, dan kewarisan? 2) Tesis Indah Setia Rini pada program Magister Hukum Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan Judul “Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Setelah Berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Perkara Nomor: 74/Pdt.p/2005/PN.TNG Di Pengadilan Negeri Tangerang) tahun 2009 dengan rumusan masalah:
9
a. Apakah putusan Pengadilan Negeri Tangerang dalam Perkara No.74/Pdt.p/2005/PN.TNG yang berkaitan dengan pengesahan anak luar kawin setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesuai dengan KUHPerdata? b. Apakah akibat hukum pengesahan anak luar kawin menurut KUHPerdata setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? c. Apakah hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengesahan anak luar kawin menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan upaya hukumnya? 3) Tesis Sri Wahyuni pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat Di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali” tahun 2006 dengan rumusan masalah: a. Bagaimana kedudukan anak luar kawin dalam hukum waris adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali? b. Bagaimanakah penyelesaian masalah mengenai pembagian warisan yang terjadi dengan adanya anak luar kawin di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali? Atas dasar pertimbangan tersebut, peneliti menyatakan bahwa penelitian
ini
berbeda
dengan
dipertanggungjawabkan secara akademik.
skripsi
tersebut
dan
dapat
10
E. Kegunaan Dalam penelitian ini, peneliti memiliki dua tujuan antara lain: 1. Tujuan Obyektif Tujuan objektif yang ingin dicapai penyusun adalah: Pertama, untuk mengetahui latar belakang terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010; kedua, untuk mengetahui proses terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010; ketiga, untuk mengetahui kedudukan produk hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum di Indonesia; dan keempat, guna menemukan solusi ideal penyelesaian sengketa waris anak luar kawin setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010? 2. Tujuan Subyektif Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar “LL.M.” (Lex Legum Magister) pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.