BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang selalu terjadi dalam proses pembangunan di negara berkembang. Sebagian besar negara berkembang memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang mencolok (Todaro dan Smith, 2011: 250). Hal ini yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang diakibatkan oleh kemiskinan itu sendiri. Permasalahan kemiskinan menjadi sumber dari banyak permasalahan sosial lainnya seperti, kebodohan, tingkat kesehatan yang rendah, kriminalitas, hingga permasalahan trafficking. Sebagian besar negara di dunia telah mampu menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan secara relatif, namun jumlah penduduk miskin secara absolut tidak berubah secara signifikan karena adanya pertambahan penduduk yang pesat. Penurunan angka kemiskinan dalam suatu negara lebih merupakan fenomena pergeseran penduduk kategori sangat miskin ke kategori kurang miskin (Arsyad, 2010: 280). Bulan September tahun 2000, negara-negara anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) melakukan persetujuan terhadap delapan Tujuan Pembangunan Millenium atau yang disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs), yang tujuan pertamanya adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem menjadi setengahnya pada tahun 2015 (Todaro dan Smith, 2011: 29). Pemerintah Indonesia
merespon
pengurangan
kesepakatan
kemiskinan
dalam
tersebut RPJMN
dengan 2010-2014,
mempertajam yaitu
fokus
menurunkan
1
kemiskinan dari angka 14,15 persen pada tahun 2009 menjadi 12 persen-13,5 persen pada tahun 2010 dan mencapai angka 8 persen pada tahun 2014 (Suryahadi et al., 2012). Berdasarkan target yang akan dicapai dalam RPJMN 2010-2014 serta pencapaian MDGs pada tahun 2015, maka dibuatlah Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang mengamanatkan
dibentuknya
Tim
Nasional
Percepatan
Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) pada tingkat Nasional dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) pada tingkat daerah yang keduanya berada dibawah koordinasi Wakil Presiden. Peraturan Presiden tersebut disusun sebagai landasan hukum yang memperkuat keinginan pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki luas wilayah 3.185,80 km 2, yang secara administratif terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota. Jumlah penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2009-2012 menunjukkan kondisi yang cenderung mengalami penurunan yaitu dari 574,92 ribu jiwa pada bulan Maret tahun 2009 menjadi 562,11 ribu jiwa di bulan September tahun 2012, dengan persentase penduduk miskin yang mengalami penurunan secara terus menerus, dari angka 16,86 persen pada tahun 2009 hingga mencapai 15,88 persen pada tahun 2012. Besaran nilai Garis Kemiskinan DIY mengalami peningkatan, yaitu pada bulan Maret 2009 sebesar 220.830 rupiah per bulan menjadi 260.173 rupiah per bulan di tahun 2012 pada periode bulan yang sama (SPKD DIY, 2013: 27). Jumlah penduduk miskin dan garis kemiskinan DIY tahun 2009-2012 dapat dilihat pada Tabel 1.1.
2
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan DIY Tahun 2009-2012
Tahun
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)
220.830 Maret 2009 234.282 Maret 2010 257.909 Sept 2011 260.173 Maret 2012 270.110 Sept 2012 Sumber: RPJMD DIY, 2013
Penduduk Miskin (ribu orang)
Persentase Penduduk Miskin (persen)
574,92 540,40 564,30 565,32 562,11
16,86 15,63 16,14 16,05 15,88
Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk menurunkan kemiskinan antara lain Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Raskin, Jamkesmas, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) dan Jamkesos. Namun upaya-upaya tersebut belum mampu menunjukkan hasil yang maksimal karena adanya permasalahan koordinasi lintas sektoral yang kurang baik. Masing-masing sektor yang seharusnya bekerja sama dan berbagi tugas melakukan intervensi, menjadi seperti melakukan tugasnya masing-masing secara parsial dalam menangani kemiskinan, sehingga program yang dilakukan oleh pemerintah daerah menjadi tidak efektif. Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Daerah DIY kemudian menyusun inisiatif semangat penanggulangan kemiskinan dengan melibatkan seluruh komponen di dalam masyarakat yang dikenal dengan konsep Segoro Amarto (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta). Segoro Amarto adalah gerakan secara bersama-sama dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat yang berfokus pada perubahan sikap, perilaku, gaya hidup, dan wujud kebersamaan dalam kegiatan menanggulangi kemiskinan (SPKD DIY, 2013). Dengan adanya penerapan semangat Segoro Amarto yang telah dicanangkan oleh
3
Pemerintah DIY, maka diharapkan seluruh komponen masyarakat menjadi sadar bahwa program penurunan kemiskinan bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, melainkan merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat secara bersama-sama. Berdasarkan data selama kurun waktu 2008-2012, angka kemiskinan di DIY menunjukkan perubahan yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Meskipun mengalami penurunan kemiskinan di DIY masih berada di atas rata-rata Nasional, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1. Perbandingan Kemiskinan Nasional dan Kemiskinan DIY 20.00 18.00 16.00
18.02
16.86
15.63
15.42 14.15
14.00
13.33
16.14 12.36
12.00
15.88
11.66
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 2008
2009
2010 Nasional
2011
2012
DIY
Gambar 1.1 Perbandingan Kemiskinan Nasional dan Kemiskinan DIY Tahun 2008-2012 Sumber: SPKD DIY, 2013
Melihat kondisi tersebut, maka intervensi pemerintah daerah dalam menurunkan angka kemiskinan perlu dilakukan secara lebih intensif dan terarah, agar Pemerintah DIY mampu memenuhi sasaran target MDGs yang tercantum di
4
dalam RPJMD Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2017, yaitu menurunkan tingkat kemiskinan hingga mencapai 10,3 persen pada tahun 2015. Sesuai dengan target tersebut, maka setiap kabupaten dan kota di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta berkewajiban menurunkan tingkat kemiskinan yang mengarah pada pencapaian RPJMD DIY tersebut. Kabupaten Gunungkidul merupakan kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 1.485,36 km2 atau sebesar 46,63 persen. Sebagai kabupaten yang memiliki wilayah terluas di DIY, jumlah penduduk di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012 sebanyak 684.740 jiwa, yang berarti menjadi wilayah yang kepadatan penduduknya terendah di DIY, yaitu dihuni rata-rata 461 jiwa per km2. Penduduk Kabupaten Gunungkidul terdistribusi ke dalam 18 kecamatan, yaitu Kecamatan Panggang, Kecamatan Purwosari, Kecamatan Paliyan, Kecamatan Saptosari, Kecamatan Tepus, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Rongkop, Kecamatan Girisubo, Kecamatan Semanu, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Wonosari, Kecamatan Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Gedangsari, Kecamatan
Nglipar,
Kecamatan Ngawen, dan Kecamatan Semin (BPS, 2013). Peta administrasi Kabupaten Gunungkidul dapat dilihat pada Gambar 1.2.
5
Gambar 1.2 Peta Administrasi Kabupaten Gunungkidul
Sumber: BPS, 2013
6 6
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 20082012 mengalami fluktuasi, menurun dari tahun 2008 sebesar 173.520 jiwa hingga tahun 2010 menjadi 148.730 jiwa, kemudian mengalami kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 2011 menjadi 157.090 jiwa, lalu kembali turun pada tahun 2012 menjadi 156.500 jiwa. Kondisi kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul ini terutama disebabkan karena kondisi wilayah geografisnya yang berupa daerah pertanian dengan produktifitas lahan yang rendah karena tanahnya tandus dan ketersediaan air yang terbatas (Bappeda, 2013: 34). Perkembangan jumlah penduduk miskin selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 seluruh kabupaten dan kota di DIY dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2008-2012 (jiwa) Kabupaten
2008
2009
2010
2011
2012
Kulon Progo
97.920
89.910
90.060
92.760
92.400
Bantul
164.330
158.520
146.890
159.380
158.800
Gunungkidul
173.520
163.670
148.730
157.090
156.500
Sleman
125.050
117.530
117.020
117.320
116.800
Yogyakarta
48.110
45.290
37.830
37.340
37.600
DIY
608.930
574.920
540.540
564.300
562.100
Sumber: SPKD DIY, 2013
Tabel 1.3 menunjukkan tingkat kemiskinan Kabupaten dan Kota di DIY dari tahun 2008-2012. Pada tahun 2012, tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul berada di urutan nomor dua paling tinggi setelah Kabupaten Kulon Progo, dan jika dibandingkan dengan DIY, tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul masih jauh berada di atas rata-rata tingkat kemiskinan DIY.
7
Tabel 1.3 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2008-2012 (persen) Kabupaten
2008
2009
2010
2011
2012
Kulon Progo
26,85
24,65
23,15
23,62
23,32
Bantul
18,54
17,64
16,09
17,28
16,97
Gunungkidul
25,96
24,44
22,05
23,03
22,72
Sleman
12,34
11,45
10,70
10,61
10,44
Yogyakarta
10,81
10,05
9,75
9,62
9,38
DIY
18,02
16,86
15,63
16,14
15,88
Sumber: BPS, 2008-2012 (diolah)
Tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2008 hingga tahun 2012 mengalami tren yang fluktuatif dengan rata-rata penurunan sekitar 1 persen per tahun. Meskipun berbagai program telah dilakukan namun angka kemiskinan Kabupaten Gunungkidul tersebut masih berada di atas angka kemiskinan DIY. Hal ini terjadi karena kebijakan penanggulangan kemiskinan seringkali masih dilakukan tanpa memperhatikan kondisi masyarakat, sehingga menjadi tidak tepat sasaran. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul seharusnya memperhatikan profil kemiskinan daerah dan kondisi masyarakatnya, sehingga kebijakan yang ditetapkan mampu berjalan secara efektif dan tepat sasaran. Perbandingan tren penurunan tingkat kemiskinan di DIY dan Kabupaten Gunungkidul dapat dilihat pada Gambar 1.3.
8
30.00
Perbandingan Tingkat Kemiskinan DIY dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008-2012 25.96
25.00
24.44
23.03
22.05
22.72
20.00 15.00
18.02
16.86
2008
2009
15.63
16.14
15.88
2010 Gunungkidul
2011
2012
10.00 5.00 0.00 DIY
Gambar 1.3 Perbandingan Tingkat Kemiskinan DIY dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008-2012 Sumber: SPKD DIY, 2013
Kabupaten Gunungkidul memiliki target pembangunan yang tercantum dalam RPJMD Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2017. Salah satu target tersebut adalah penurunan tingkat kemiskinan hingga mencapai 21,7 persen pada tahun 2017, sehingga Pemerintah Kabupaten Gunungkidul masih memiliki tugas yang cukup berat untuk dapat mencapai target tersebut (lihat Tabel 1.4). Tabel 1.4 Target Pembangunan Kabupaten Gunungkidul 2013-2017 (persen) Tahun No
Indikator 2013
2014
2015
2016
2017
1
IPM
71,3
71,57
71,83
72,1
72,37
2
Kemiskinan
23,23
22,85
22,47
22,08
21,7
3
Tingkat Pengangguran Terbuka
1,87
1,85
1,53
1,22
0,9
4
Pertumbuhan Ekonomi
4,66
4,78
4,89
5,01
5,12
Sumber: RPJMD DIY, 2013
Berdasarkan kondisi kemiskinan yang terjadi dan memperhatikan rencana target penurunan tingkat kemiskinan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, maka penelitian tentang kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul menjadi penting untuk
9
dilakukan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui kondisi tingkat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012.
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan sebelumnya dengan berbagai metode dan alat analisis. Sebagai perbandingan, penulis menyampaikan beberapa penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. Tabel 1.5 Hasil Penelitian Terdahulu No
Studi Oleh
Alat Analisis
Kesimpulan
1.
Adebayo (2013)
Indeks Foster Greer and Thorbecke (FGT)
Profil kemiskinan di daerah Irewole, Nigeria menunjukkan hasil 36,36 persen dari jumlah responden berada di bawah garis kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan (P1) adalah sebesar 0,072 dan indeks keparahan kemiskinan (P2) adalah sebesar 2,79.
2.
Amrullah (2013)
ADePT
Profil kemiskinan keluarga di Provinsi Banten lebih banyak terjadi di perkotaan dan sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Tangerang. Kondisi kemiskinan di Provinsi Banten terkait dengan posisinya sebagai daerah satelit Jakarta.
3.
Backiny-Yetna, et al. (2013)
Indeks Foster Greer 1. Sebesar 63,8 persen dari populasi and Thorbecke (FGT) penduduk berada di bawah garis kemiskinan. 2. Kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. 3. Jenis pekerjaan kepala rumah tangga tidak memiliki dampak signifikan terhadap konsumsi dan tingkat kemiskinan. 4. Ukuran rumah tangga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
10
Tabel 1.5 Lanjutan No
Studi Oleh et
al.
Alat Analisis
Kesimpulan
Indeks Theil dan Regresi Least Square
Ketimpangan daerah berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga sedangkan ketimpangan antardaerah meningkatan ketimpangan Nasional.
4.
Annim, (2012)
5.
Puspitasari (2012)
Indeks Entropi Theil dan regresi data panel
Variabel PDRB per kapita, berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan.
6.
Susiati (2012)
Regresi data panel
Variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM), belanja publik dan akses terhadap air bersih berpengaruh negatif dan siginfikan terhadap tingkat kemiskinan. Variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan, yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi saja belum cukup untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
7.
Dayioglu (2011)
Parametric dan Semi-Parametric Logit Model
Faktor yang paling menentukan kemiskinan rumah tangga di Turki pada tahun 2008 adalah status pekerjaan kepala rumah tangga, pendapatan dan rasio pekerja di rumah tangga dan daerah.
8.
Magdalena (2011)
ADePTdan SWOT
Kemiskinan di Kota Dumai terkonsentrasi di wilayah perkotaan disebabkan oleh penduduk usia produktif yang tidak bekerja. Respon terhadap inflasi lebih tinggi pada kemiskinan di perkotaan dibandingkan kemiskinan di perdesaan. Berdasarkan analisis SWOT, disimpulkan bahwa Kota Dumai memiliki faktor kekuatan yang berpotensi untuk dikembangkan.
9.
Anwar (2010)
Indeks Foster, Greer dan Thorbecke (FGT) dan Growth Incidence Curve (GIC)
Pertumbuhan ekonomi menjadi faktor yang penting dalam program pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi dan harus disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan agar dapat menjadi efektif dalam mengurangi kemiskinan.
10.
Suliswanto (2010)
Regresi data panel
PDB dan IPM berpengaruh negatif dan siginifikan terhadap kemiskinan.
11
Perbedaan penelitian ini dengan berbagai penelitian tersebut diatas adalah pada lokasi dan waktu penelitian. Beberapa penelitian tentang kemiskinan sudah pernah dilakukan di Kabupaten Gunungkidul, namun penelitian menggunakan ADePT di Kabupaten Gunungkidul belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan ADePT untuk mengetahui profil kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul dan waktu penelitian adalah tahun 2012. Selain menggunakan ADePT untuk menyusun profil kemiskinan, penelitian ini melakukan analisis tipologi wilayah untuk merumuskan kebijakan penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul.
1.3 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul masih berada di atas tingkat kemiskinan DIY, dan selama periode tahun 2009-2012 hanya mengalami sedikit penurunan, sedangkan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul memiliki target penurunan angka kemiskinan pada tahun 2017 hingga sebesar 21,7 persen. 2. Kebijakan pemerintah belum mampu secara signifikan menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul.
1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah profil kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012? 2. Bagaimanakah kondisi tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Gunungkidul
12
dilihat dari pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan tahun 2012?
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi dan melakukan analisis profil kemiskinan di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2012. 2. Menyusun tipologi wilayah Kabupaten Gunungkidul tahun 2012 berdasarkan pendapatan per kapita dan tingkat kemiskinan kemudian merumuskan kebijakan untuk menurunkan tingkat kemiskinan pada masing-masing kuadran.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam menyusun kebijakan untuk mengurangi tingkat kemiskinan guna mencapai target penurunan angka kemiskinan yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan. 2. Sebagai bahan referensi bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut pada masalah sejenis. 3. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan bagi penulis tentang kemiskinan dan perencanaan pembangunan daerah.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut. Bab I pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
13
manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori, menguraikan tentang landasan teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian. Bab III Metoda Penelitian, menguraikan tentang desain penelitian, metoda pengumpulan data, definisi operasional, instrumen penelitian dan metoda analisis data. Bab IV Analisis, menguraikan tentang deskripsi data yang digunakan, dan pembahasan penelitian. Bab V Simpulan dan Saran, menguraikan hasil kesimpulan penelitian, implikasi yang ditujukan untuk Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka menetapkan kebijakan untuk menurunkan tingkat kemiskinan, keterbatasan penelitian, dan saran bagi penelitian selanjutnya.
14