1 BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Daerah Bali merupakan salah satu dari daerah tujuan wisata dunia yang
memiliki potensi keindahan alam, keanekaragaman hayati serta keunikan budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya. Sektor pariwisata dijadikan sebagai salah satu sektor andalan perekonomian Bali dari sejak tahun 1930-an sampai saat ini. Struktur perekonomian Bali dipandang sangat spesifik dan mempunyai karateristik tersendiri dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia. Spesifikasi perekonomian Bali itu dibangun dengan mengandalkan industri pariwisata sebagai leading sector, yang telah mampu mendorong perubahan struktur perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, kemajuan pariwisata Bali telah memberikan konstribusi terhadap perkembangan perekonomian daerah termasuk juga pertumbuhan berbagai perusahaan atau badan usaha masyarakat Bali saat ini baik secara perorangan maupun atas dasar kerjasama. Dari jumlah pemiliknya, maka jenis perusahaan dapat diklasifikasikan menjadi perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan atau kerjasama. Perusahaan perseorangan didirikan dan dimiliki oleh satu orang pengusaha, sedangkan perusahaan persekutuan didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha yang bekerja sama dalam satu persekutuan (maatschap, partnership). Jenis perusahaan dari status hukumnya dapat dibedakan atas perusahaan badan hukum dan perusahaan bukan badan hukum. Perusahaan badan hukum ada yang
1
2 dimiliki oleh pihak swasta seperti Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi, serta ada pula yang dimiliki oleh negara seperti Perusahaan Umum (Perum). Perusahaan yang berbadan hukum PT dan Koperasi selalu berupa persekutuan, sedangkan perusahaan yang bukan berbadan hukum dapat berupa perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan yang hanya dimiliki oleh pihak swasta. Dengan demikian, perusahaan bukan badan hukum merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerja sama. Perusahaan persekutuan dapat menjalankan usahanya di bidang perekonomian, misalnya perindustrian, perdagangan, dan perjasaan. Adapun bentuk perusahaan persekutuan dapat berupa Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer atau Comanditaire Vennootschap yang sering disingkat CV. Dasar hukum dalam pendirian suatu Perseroan Terbatas (PT) adalah UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756). Pada pihak lain, persekutuan, perkumpulan, Firma, dan CV sebagai dasar hukumnya masih mendasarkan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang). Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang pada dasarnya dipersamakan kedudukannya dengan orang dan mempunyai kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para pendirinya. Direksi Perseroan Terbatas selaku pengurus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana halnya dengan orang, serta dapat memiliki harta kekayaan sendiri.Sementara itu,
3 dalam persekutuan komanditer terdapat satu atau lebih sekutu komanditer atau sekutu pasif (stille vennoten). Sekutu komanditer sendiri adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang atau barang sebagai pemasukan (inbreng), sehingga ia tidak turut serta dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan. Pada suatu Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap atau limited partnership, terdapat satu atau beberapa orang sebagai sekutu komanditer. Sekutu komanditer hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga kepada CVsebagai pemasukan dan mereka tidak turut campur tangan dalam pengurusan dan penguasaan dalam persekutuan.Status hukum seorang sekutu komanditer dapat disamakan dengan seorang yang meminjamkan atau menanamkan modal pada suatu perusahaan dan diharapkan dari penanaman modal itu adalah hasil keuntungan dari modal yang dipinjamkan atau diinvestasikan tersebut. Persekutuan Komanditer merupakan badan usaha yang menduduki status bukan badan hukum sebagaimana persekutuan firma, sehingga secara yuridis kitab Undang-undang hukum dagang tidak mengatur secara rinci mengenai Persekutuan Komanditer.1 Sebagian para ahli hukum memiliki pandangan bahwa persekutuan komanditer merupakan badan usaha yang pengaturannya dapat mencakup pengaturan mengenai persekutuan perdata dan persekutuan firma. Hal ini karena kitab undang-undang hukum dagang tidak mengatur secara khusus mengenai persekutuan komanditer.2 Dalam buku Rr Dijan Widijowati, Purwosutjipto menjelaskan bahwa pada hakikatnya persekutuan komanditer 1
Rr. Dijan Widijowati, Hukum Dagang, CV. Andio offset 2012, hal.58 Widjaya, I.G. Rai. 2005 Hukum Perusahaan. Jakarta: Kesaint Blanc, hal 1-2
2
4 merupakan persekutuan firma dan persekutuan perdata sehingga pengaturan mengenai berakhirnya persekutuan komanditer diasarkan atas pengaturan mengenai persekutuan firma dan persekutuan perdata.3 Dalam pendirian suatu persekutuan komanditer dijumpai 2 (dua) jenis sekutu. Kedua jenis sekutu yang dimaksudkan, yaitu sekutu komanditer dan sekutu komplementer. Istilah sekutu komanditer dan komplementer dapat dikatakan juga dengan istilah aktif dan sekutu pasif.4 Sekutu komanditer atau sekutu diam (stille vennoten) atau sekutu pasif (sleeping partners) adalah sekutu yang hanya memasukkan uang atau benda ke kas persekutuan sebagai pemasukan (inbreng) dan berhak atas keuntungan dari persekutuan tersebut.Menurut Pasal 20 ayat (3) KUHDagang, tanggung jawab sekutu komanditer hanya terbatas pada sejumlah modal yang disetor.Pasal 20 ayat (2) KUH Dagang ditentukan pula bahwa sekutu komanditer tidak boleh ikut serta dalam pengurusan persekutuan atau mencampuri sekutu kerja. Apabila larangan tersebut dilanggar oleh sekutu komanditer, maka Pasal 21 KUH Dagang memberikan
sanksi
kepada
sekutu
komanditer
berupa
kewajiban
bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan utang atau perikatan yang dibuat oleh persekutuan. Sedangkan sekutu biasa (sekutu aktif atau sekutu kerja atau sekutu komplementer) adalah sekutu yang menjadi pengurus persekutuan. Sekutu inilah yang aktif menjalankan perusahaan dan mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, sehingga tanggung jawab adalah tanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan.Oleh karena sekutu ini yang menjalankan 3
Rr. Dijan widijowati. Op.cit, hlm. 59 H Zainal asikin, 2013, Hukum Dagang, Raja Grafindo Persada, hlm 57.
4
5 perusahaan, maka sekutu ini disebut juga managing partners. Pada Pasal 17 KUH Dagang ditetapkan apabila sekutu kerja lebih dari satu orang, maka di dalam Anggaran Dasar harus ditegaskan apakah diantara mereka ada yang tidak diperkenankan bertindak ke luar untuk mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Dengan kata lain terdapat sekutu yang tidak boleh tampil keluar, baik secara aktif, maupun pasif, dengan perkecualian. Sebagai sekutu yang tampil keluar dalam setiap transaksi CV dengan pihak ketiga, sekutu CV tidak terikat dengan kewajiban-kewajiban tehadap pihak ketiga yang ditimbulkan oleh perbuatan sekutu pengurus dalam lalu lintas hukum dan bisnis.5 Uraian di atas menunjukkan hubungan dalam persekutuan komanditer berupa persekutuan intern antara sekutu biasa dan sekutu komanditer. Sekutu biasa memiliki kewajiban untuk memasukkan uang atau barang ke dalam persekutuan
dan/atau
memasukkan
tenaganya
untuk
menjalankan
persekutuan.Sekutu biasa memikul tanggung jawab yang tidak terbatas atas kerugian yang diderita persekutuan dalam menjalankan usahanya.Sementara itu, sekutu komanditer hanya memasukkan uang atau barang saja ke dalam kas persekutuan dan juga hanya bertanggungjawab sebesar pemasukan (inbreng) atau modal yang ia masukan.Pembagian keuntungan dan kerugian diantaranya juga tidak diwajibkan harus diatur dalam akta pendirian atau anggaran dasar persekutuan sehingga berpotensi konflik di kemudian hari. Fleksibelitas dalam pendirian dan pengelolaan CV, maka dalam praktiknya telah menyebabkan terjadinya perkembangan dalam aspek kedudukan hukum
5
Agus Sardjono dkk, 2014, Pengantar Hukum Dagang, hlm 69
6 maupun permodalan CV. Terkait dengan aspek permodalannya, apabila modal CV dianggap belum mencukupi, maka CV yang semula atas nama perseorangan dapat dikembangkan menjadi CV (yang terdiri dari Sekutu Komanditer dan Sekutu Komplementaris) yang terbagi atas saham. Kekurangan modal yang diperlukan dibagi-bagi atas beberapa saham dan masing-masing pemegang saham bertindak sebagai Sekutu Komanditer dalam kedudukannya sebagai pemegang saham CV tersebut. Melalui cara ini, CV dapat menghimpun dana yang lebih besar untuk membiayai kegiatan usahanya. Ada dua cara yang dikembangkan untuk memperoleh pemilikan saham suatu CV oleh Sekutu Komanditer, yaknidenganatau tidak dibayar penuh secara tunai. Apabila Komanditaris membayar saham penuh secara tunai, kepadanya dapat diberikan “saham atas unjuk” atau pembawa (bearer shares) atau disebut juga dengan share issue in bearer form. Dalam hal ini, nama Komanditaris sebagai pemegang saham atau pemilik saham tidak disebutkan dan siapa yang dapat menunjukkan saham tersebut dianggap sebagai pemiliknya.Saham atas unjuk yang tidak menyebutkan pemiliknya sering juga dinamakan dengan istilah “saham blanko”. Oleh karena itu, peralihan saham atas unjuk kepada orang lain sangat dimungkinkan dengan penyerahan biasa tanpa formalitas. Apabila pengambilan dan/atau perolehan saham oleh Komanditaris tidak dibayar penuh secara tunai, maka yang harus diberikan kepadanya dikenal dengan istilah saham “atas nama” (aandelen op naam, registered share). Dalam hal ini, nama Komanditaris harus disebut di atas saham agar pemiliknya jelas. Pihak Komanditaris dalam mengalihkannya kepada pihak lain (penggantian persero),
7 hanya dapat dilakukan yang dengan cara “endosemen” yang disertai dengan penyerahan saham tersebut. Secara sepintas, dapat disimak adanya persamaan kedudukan pemegang saham (shareholders) dalam PT dengan CV atas saham. Namun demikian, prinsip hukum dalam suatu perseroan terbatas adalah bahwa tidak rnungkin ada modal yang tidak dibagi ke dalam saham-saham, dan tidak mungkin pula ada saham yang tidak diambil dari modal perseroan. Dalam hal ini, saham menjadi salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah Perseroan Terbatas. Saham merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu PT sebagai tanda bukti kepemilikan modal. Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan atas saham suatu PT. Adapun mengenai bentuk persekutuan komanditer, H.M.N. Purwosutjipto menyebutkan ada tiga macam, yakni persekutuan komanditer diam-diam, persekutuan komanditer terang-terangan, dan persekutuan komanditer atas saham.6Persekutuan komanditer diam-diam adalah persekutuan komanditer yang belum menyatakan dirinya secara terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai persekutuan komanditer.Ke luar, persekutuan ini masih menyatakan dirinya sebagai persekutuan firma, tetapi ke dalam sudah menjadi persekutuan komanditer, sehingga secara intern kedudukan para sekutu telah dibedakan antara sekutu kerja dan sekutu komanditer.Persekutuan komanditer terang-terangan adalah persekutuan komanditer yang dengan terang-terangan menyatakan dirinya sebagai persekutuan komanditer kepada pihak ketiga. Sementara itu, persekutuan 6
H.M.N. Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid 2, Djambatan, Jakarta, hlm 71
8 komanditer atas saham adalah persekutuan komanditer terang-terangan yang modalnya terdiri dari saham-saham.Persekutuan bentuk semacam ini sama sekali tidak diatur dalam KUH Dagang. Pada hakikatnya persekutuan semacam ini adalah sama saja dengan persekutuan komanditer biasa (terang-terangan). Perbedaannya terletak pada pembentukan modalnya, yaitu dengan cara mengeluarkan saham-saham. Dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, maka di dalam anggaran dasar CV tidak disebutkan pembagiannya untuk pemegang saham seperti halnya PT. Mengenai tata cara pendirian persekutuan komanditer tidak jauh berbeda dengan persekutuan firma. Pada umumnya pendirian persekutuan komanditer dilakukan dengan akta nortaris. Di dalam akta pendirian persekutuan komanditer memuat hal-hal sebagai berikut: 1.
Nama persekutuan dan kedudukan hukumnya;
2.
Maksud dan tujuan didirikan persekutuan;
3.
Mulai dan berakhirnya persekutuan;
4.
Modal persekutuan;
5.
Penunjukkan siapa sekutu biasa dan sekutu komanditer;
6.
Hak, kewajiban, tanggung jawab masing-masing sekutu ; dan
7.
Pembagian keuntungan dan kerugian persekutuan. Akta pendirian tersebut kemudian didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan
Negeri dimana persekutuan komanditer tersebut berkedudukan.Setelah itu, ikhtisar akta pendirian persekutuan tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Substansi minimal anggaran dasar suatu perseroan
9 terbatas diatur pada Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. Ketentuan tersebut mengamanatkan bahwa anggaran dasar suatu perseroan terbatas sekurangkurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
nama dan tempat kedudukan Perseroan; maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; jangka waktu berdirinya Perseroan; besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.
Pasal 31 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 lebih lanjut telah menetapkan secara tegas mengenai modal dasar dari perseroan terbatas yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Berdasarkan uraian di atas dapat disimak CV dapat menghimpun dana yang lebih besar untuk membiayai kegiatan usahanya melalui bermetamorfose menjadi CV atas saham. Namun demikian, kepastian dan kekuatan hukum para pemegang saham dalam CV atas saham belum jelas seperti halnya pada PT. Pasal 19 KUHDagang terkait dengan definisi CV secara normatif hanya menyebutkan bahwa “Persekutuan dengan jalan meminjam uang atau disebut juga persekutuan komanditer, diadakan antara seorang sekutu atau lebih yang bertanggung jawab secara pribadi dan untuk seluruhnya dengan seorang atau lebih sebagai peminjam uang”. Dengan kata lain, pengaturan CV pada umumnya diatur pada KUHDagang dalam pasal 19 sampai dengan 23 KUHDagang. Tetapi, pengaturan dengan pola pemberian pimjaman uang dalam bentuk saham ataukah
10 bentuk yang lain dalam suatu CV, belum diatur secara spesifik. Artinya disini belum ada pengaturan secara normatif tentang pengaturan CV atas saham. Sehingga sudah jelas disini adanya kekosongan norma (rechtsvacuum) atas keberadaan saham pada suatu CV. Persoalan ini juga mempengaruhi kewenangan Notaris dalam membantu para sekutu baik pada saat pembuatan akta pendirian CV beserta substansi anggaran dasarnya. Pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 selanjutnya disebut Undang-undang tentang Perubahan atas UUJN) hanya menetapkan kewenangan Notaris sangat umum. Ketentuan tersebut menetapkan sebagai berikut: Notaris berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundangundangan dan/ atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak ada pengaturannya atau terjadi kekosongan norma (rechtsvacuum) dalam hal CV atas saham dibuat melalui Akta Notaris, apakah para pemegang saham dapat membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut atau membuat catatan yang terpisah. Dengan isu hukum tersebut, maka penulis tertarikuntuk melakukan penelitian dan pengkajian melalui penelitiantesis ini dengan judul “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian dan Pengelolaan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) Atas Saham”.
11 Orisinalitas penelitian adalah bagian penting dalam penelitian hukum dan tentunya penelitian-penelitian dalam ilmu lainnya. Penelitian hukum untuk kepentingan akademis (terutama untuk kepentingan skripsi, tesis dan disertasi) disyaratkan harus bersifat original. Orisinalitas penelitian diwujudkan melalui pernyataan penulis yang menyatakan bahwa tesis benar-benar dibuat sendiri dan tidak melakukan plagiat serta kesediaan menerima sanksi apabila dikemudian hari terbukti melakukan plagiat. Di Amerika Serikat, The Copyright Act of 1976, secara tegas menyatakan bahwa orisinalitas adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan hak cipta. The Copyright Act States menyatakan “copyright protection subsites… in original work of authorship…102 (a). Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Feist Publication,Inc.v. Rular Tel. Serv. Co menyatakan “The sine qua non of copyright is originaly”.7 Menurut Terry Hutchinson, orisinalitas mengandung berbagai pengertian sebagai berikut : a. b. c. d. e.
f.
Saying something nobody has said before ( mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan oleh orang lain sebelumnya); Carrying out empirical work that hasn’t dome before (melaksanakan pekerjaan empiris yang belum pernah dikerjakan sebelumnya); Making synthesis that hasn’t been made before (membuat sintesa yang belum pernah dibuat sebelumnya); Using already know materials but with new interprestation (menggunakan bahan-bahan yang telah diketahui tetapi dengan interprestasi baru) Trying out something in this country that has previously only been done in other countries (mencoba sesuatu yang baru dalam negeri yang sebelumnya hanya pernah dilakukan di luar negeri); Taking in particular technique and applaying it in new area (mengambil sesuatu teknik tertentu dan menerapkannya pada wilayah yang baru);
7
Ibid.
12 g.
Bringing new evidence to bear on an old issue (mengajukan bukti baru untuk menunjang isu yang lama); h. Being cross-disciplinary and using different methodologies (menjadikan lintas disipliner dan menggunakan metode yang berbeda); i. Taking someone else’s ideas and reinterpreting them in away no one else has (mengambil ide/gagasan orang lain dan menafsirkan kembali dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain); j. Looking at areas that people in your discipline haven’t looked before (melihat pada wilayah orang yang berada dalam satu disiplin dengan kamu yang belum pernah dilihat sebelumnya); k. Adding to knowledge in away that hasn’t previously been done before (menambah pengetahuan dan yang belum pernah dilakukan sebelumnya); l. Looking at exsiting knowledge and teting it out (melihat pengetahuan yang telah ada dan kemudian mencobanya); m. Playing with word. Putting things together in ways that other havent’t bothered to do (menempatkan sesuatu secara bersama-sama dengan cara yang belum pernah dilakukan secara bersama-sama).8 Berdasarkan hasil penelusuran penelitian sebelumnya, penelitian yang sama terkait judul di atas juga belum pernah dilakukan, selain sebatas penelitian yang sejenis dan/atau terkait. Adapun penelitian yang sejenis dan/atau terkait.yang dimaksudkan, seperti: 1.
Tesis yang ditulis oleh Didi Santoso, S.H. pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca SarjanaUniversitas Diponegoro Semarang Tahun 2009 dengan judul “Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta yang Memuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1440.K/PDT/1996”. Tesis tersebut mempersoalkan bagaimanakah keabsahan suatu akta pengakuan hutang yang dibuat notaris yang memuat dua perbuatan hukum dalam satu akta dan bagaimanakah tanggung jawab notaris sebagai pejabat pembuat akta terhadap akta yang mengandung cacat hukum.
8
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Hal.128.
13 2.
Tesis yang ditulis oleh Dewangga Bharline, S.H. pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Tahun 2009 dengan judul “Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”. Rumusan masalah dari tesis tersebut adalah bagaimanakah pertanggungjawaban dan sanksi-sanksi Notaris selaku pejabat umum apabila melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta yang dibuatnya berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan dalam hal dibuatnya akta Notaris berdasarkan keterangan pihak-pihak namun ternyata keliru ataupun salah lalu bagaimana perlindungan hukumnya terhadap Notaris yang bersangkutan. Menyimak hasil penelusuran kepustakaan tersebut, maka penelitian
dengan judul “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian dan Pengelolaan
Persekutuan
Komanditer
(Commanditaire
Vennootschap)Atas
Saham” berbeda dengan kedua penelitian di atas. Penelitian pertama lebih memfokuskan pada bagaimanakah keabsahan suatu akta pengakuan hutang yang dibuat notaris yang memuat dua perbuatan hukum dalam satu akta dan bagaimanakah tanggung jawab notaris sebagai pejabat pembuat akta terhadap akta yang mengandung cacat hukum. Penelitian kedua lebih memfokuskan pada bagaimanakah pertanggungjawaban dan sanksi hukum kepada Notaris selaku pejabat umum apabila melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta yang dibuatnya berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan dalam hal dibuatnya akta Notaris berdasarkan keterangan pihak-pihak namun ternyata
14 keliru beserta perlindungan hukumnya terhadap Notaris bersangkutan. Adapun penelitian yang penulis lakukan lebih memfokuskan pada kewenangan notaris pada pembuatan akta pendirian dan pengelolaan Persekutuan Komanditer (CV) atas saham beserta legalitas akta bersangkutan. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi aktual dan menarik untuk dilakukan serta dapat dijamin orisinalitasnya.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana batas-batas kewenangan notaris dalam pembuatan perjanjian melalui akta notaris terkait dengan pendirian dan pengelolaan persekutuan komanditer atas saham? 2. Bagaimana legalitas pembuatan akta notaris yang mengatur pendirian dan pengelolaan persekutuan komanditer atas saham?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan yang diteliti, maka tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini dapat dibedakan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun kedua tujuan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1.3.1
Tujuan Umum Mengenai tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis kewenangan notaris pada pembuatan akta pendirian dan pengelolaan
15 Persekutuan Komanditer (CV) atas saham. Melalui analisis atas kewenangan Notaris tersebut sekaligus juga dapat diketahui dan dianalisis legalitas Akta Notaris CV atas saham bersangkutan, serta keberadaan saham, hak dan kewajiban pemegangnya dalam suatu persekutuan komanditer (CV). 1.3.2
Tujuan Khusus Sesuai permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka adapun
tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: 1. Untuk mengetahui dan mengkajibatas-batas kewenangan notaris dalam pembuatan perjanjian melalui akta notaris terkait dengan pendirian dan pengelolaan Persekutuan Komanditer atas saham; 2. Untuk mengetahui dan menganalisis legalitas pembuatan akta notaris yang mengatur pendirian dan pengelolaan Persekutuan Komanditer atas saham.
1.4
Manfaat Penelitian Mengenai manfaat dari penelitian ini dapat diklasifikasikan atas 2 (dua)
manfaat, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun kedua manfaat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1.4.1
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya pada Hukum Perjanjian, Hukum Kenotariatan terkait kewenanganNotaris beserta substansi aktanya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan
16 kajian tentang Hukum Perusahaan terkait dengan perkembangan CV menjadi CV atas saham. 1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan
kepada Pemerintah, Notaris, maupun masyarakat yang berinvestasi membentuk persekutuan komanditer di Indonesia, sebagai berikut: 1.
Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi mengenai keberadaan CV atas saham yang diformalkan melalui Akta Notaris;
2.
Bagi Notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan terkait substansi dari Akta Notaris dalam menyelesaikan permohonan masyarakat
membuat
perjanjian
atau
kesepakatan
pendirian
dan
pengelolaan CV atas saham; 3.
Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan terkait kepastian dan perlindungan hukumnya dalam berinvestasi dengan membentuk badan usaha dalam bentuk CV atas saham.
1.5
Landasan Teoritis Landasan teoritis akan memuat teori dan asas-asas, yang digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang dimaksudkan adalah:
17 1.5.1 Teori Kewenangan Konsep teoretis tentang kewenangan. H.D. Stoud, seperti dikutip Ridwan HR,
menyajikan
pengertian
tentang
kewenangan.
Kewenangan
adalah
keseluruhan aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik didalam hubungan hukum publik. 9 Menurut Salim HS, pada hakikatnya kewenangan merupakan kekuasaan yang diberikan kepada alat-alat perlengkapan Negara untuk menjalankan roda pemerintahan.10 Ateng Syarifudin menyajikan pengertian wewenang. Yang mengemukakan bahwa : “Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undangundang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Didalam kewenangan terdapat wewenangwewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.11 Sementara itu, pengertian kewenangan dtemukan dalam black’s law Dictionary. Kewenangan atau authority adalah “Right to exercise powers; to
9
Ridwan HR,2008,Hukum Administrasi Negara, Jakarta:RajaGrafindo Persada, hlm.110. H.Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Diserasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm186 11 Ateng Syarifudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan Bertanggung jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,(Bandung; Universitas Parahyangan, 2000), hlm. 22 10
18 implement and enforce laws; to exact obedience; to command; to judge. Control over; jurisdiction. Often synonymous with power”.12 Dalam konsep hukum publik, wewenang dikemukakan menjadi konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi.13 Secara yuridis, wewenang diartikan dengan suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
untuk
menimbulkan
akibat-akibat
hukum.14Philipus M. Hadjon15 dalam kaitan ini mengemukakan ada 2 (dua) sumber untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa kadangkala, mandat digunakan juga sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek sebagaimana dikutip HR Ridwan berpendapat bahwa cara perolehan wewenang pada hakikatnya melalui cara atribusi dan delegasi, sebagaimana dapat disimak dari pendapat beliau: Hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan wewenang apapun, sebab yang ada hanyalah hubungan internal, seperti menteri dengan pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organi kementerian. Pegawai memutuskan secara teknis, sedangkan menteri secara yuridis.16
Heny Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (Amerika Serikat; West Publishing Co., 1978), hlm 121. 13 Philipus M Hadjon,1998, “Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegdheid)” Pro JustitiaTahun XVI, hlm. 90. 14 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 68. 15 Philipus. M. Hadjon, dkk, 1998, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Cet. I., Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 128-129. 16 Ridwan HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 46 12
19 Berbeda dengan kedua pendapat di atas, pembedaan secara tegas tentang sumber atau cara memperoleh kewenangan melalui 3 (tiga) cara yakni Atribusi, Delegasi, dan Mandat dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt. Menurut beliau sebagaimana dikutip HR Ridwan, bahwa cara perolehan kewenangan pemerintahan diklasifikasikan atas 3 (tiga) cara, yakni melalui: 1.
2.
3.
atributie: Toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. delegatie: Overdracht van een bevoegdheid van het een bestuursorgaan aan een ander, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. mandat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid names heus uitoefenen door een ander, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya”.17 Atribusi merupakan wewenang untuk membuat suatu keputusan (besluit)
yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil, sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undang (utamanya UUD 1945).Melalui atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Oleh karena itu, atribusi dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari
17
Ibid., hlm. 45.
20 yang
memberi
delegasi
(delegans)
kepada
yang
menerima
delegasi
(delegetaris).Menurut Philipus M Hadjon,suatu delegasi harus memenuhi syaratsyarat tertentu, antara lain: 1. 2.
3. 4. 5.
Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans memberikan instruksi (peunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.18 Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan oleh
atasannya dengan maksud untuk membuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.19Adapun tanggung jawab dalam pemberian mandat tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi mandat.Hal ini dapat dilihat dari kata a/n (atas nama) pada suatu penetapan keputusan yang kewenangannya diperoleh atas dasar mandat. Dengan demikian semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurangkurangnya tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum.20Komponen
pengaruh
berkaitan
dengan
penggunaan
wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.Komponen dasar hukum berkaitan dengan wewenang itu selalu harus dapat diunjuk dasar 18
Ibid., hlm. 94. Ibid., hlm. 95. 20 Ibid., hlm. 90. 19
21 hukumnya dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standart umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).21 Kewenangan yang dibuat oleh notaris dalam pembuatan akta CV (Commanditaire Vennootschap) adalah kewenangan secara atributif oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 1.5.2 Teori Kepastian Hukum Hukum pada hakikatnya merupakan suatu aturan atau norma yang mengatur tingkah laku masyarakat dalam pergaulan hidupnya. Mengenai tujuan hukum sendiri, menurut Apeldoorn, adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai.22Berkaitan dengan tujuan hukum, terdapat beberapa teori23 yang dikembangkan, yaitu: 1.
Teori Etis mengemukakan tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa peseorangan.
2.
Teori Utilitas yang dikembangkan Jeremy Bentham mengemukakan tujuan hukum untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya adalah The greatest happiness for the
21
Ibid. L.J. Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 10. 23 Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hlm. 24-28. 22
22 greatest number sehingga kebahagiaan yang terbesar untuk masyarakat banyak menjadi prioritasnya. 3.
Teori Pengayoman mengemukakan tujuan hukum untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dilakukan dengan menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah dengan mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang
dan
penyalahgunaan
hak.
Usaha
mewujudkan
pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah untuk: a.
Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;
b.
Mewujudkan kedamaian sejati;
c.
Mewujudkan keadilan;
d.
Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Adanya unsur kepastian hukum, hal ini erat kaitannya dalam hal membahas adanya hak dan kewajiban pemegang saham pada CV atas saham. Kewenangan yang dibuat oleh notaris dalam pembuatan akta CV (Commanditaire Vennootschap) adalah kewenangan secara atributif oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 1.5.3 Asas-Asas Perjanjian Dalam membuat suatu perjanjian, maka para pihak yang terkait berkewajiban mentaati beberapa asas yang telah dikembangkan secara normatif maupun doktrinal dalam Hukum Perjanjian. Adapun beberapa asas dalam
23 membuat perjanjian yang dapat dijumpai baik secara tersurat maupun tersirat dalam KUHPerdata adalah: 1.
Asas Perjanjian yang Sah berlaku sebagai undang-undang Pasal 1338 KUH Perdata pada hakikatnya menyatakan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, persetujuan yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Pasal 1338 KUH Perdata ini harus juga dibaca dalam kaitannya dengan Pasal 1319 KUH Perdata. Istilah “secara sah” dari pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Menurut Herlien Budiono, perikatan atau perjanjian yang dibuat harus memenuhi empat syarat, yaitu:24 a.
Sepakat (consensus),syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yan mengikatkan dirinya”.sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi.
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity).siapa yang dapat dan boleh bertindak dan mengikat diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum (handelingsbekwaam) yang membawa akibat hukum. 24
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 73-112.
24 c.
Suatu hal tertentu yang diperjanjikan (certaily of terms), menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian haruslah : a. Dapat ditentukan, b. Dapat diperdagangkan (diperbolehkan), c. Mungkin dilakukan; dan dapat dinilai dengan uang.
d.
Suatu sebab yang halal (consideration),syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau klausa yang halal. Ketentuan pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa: “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan(hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum”. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah akan
mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Dalam hal ini, tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menunjukkan kekuatan kedudukan para pihak dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberi perlindungan pada para pihak secara seimbang. Ini merupakan realisasi dari asas keseimbangan. 2.
Asas Kebebasan Berkontrak Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakan juga dengan asas “konsensualisme”, yang menentukan “ada”nya perjanjian.Kehendak para pihak yang diwujudkan
25 dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam hukum kontrak.25 Asas kebebasan berkontrak ini tidak hanya milik KUH Perdata, tetapi bersifat universal. Asas ini dalam hukum kontrak di negara dengan sistem Anglo Saxon dikenal dengan istilah freedom of contract. Dalam hal ini, para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a.
Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak,
b.
Tidak dilarang oleh undang-undang,
c.
Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku,
d.
Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik. Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat
membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.Adanya kebebasan untuk sepakat tentang apasaja dan dengan siapa saja merupakan hal yang sangat penting. Sebab itu pula, asas kebebasan berkontrak dicakupkan sebagai bagian dari hak-hak kebebasan manusia. Kebebasan berkontrak sebegitu pentingnya, baik bagi individu dalam konteks kemungkinan pengembangan diri dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas kehidupan masyarakat, serta untuk menguasai atau memiliki harta kekayaannya.
25
Suharnoko, 2004, hukum perjanjian teori dan analisa kasus, prenadamedia group, hlm 3.
26 Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber dari moral. Asas kebebasan berkontrak ini adalah salah satu asas yang sangat penting dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. 3.
Asas Itikad Baik (Good Faith) Itikad
baik
seringkali
dihubungkan
dengan
makna
fairness,
reasonable standard of fair dealing, decency, reasonableness, a common ethical sense, a spirit of solidarity, and community standards.26 Asas itikad baik dalam pelaksanaan kontrak telah berkembang, namun masih menimbulkan sejumlah permasalahan
yang memerlukan pemecahan.
Sekurang-kurangnya itikad baik pelaksanaan kontrak masih menimbulkan permasalahan hukum berkaitan dengan standar hukum (legal test) yang harus digunakan oleh hakim untuk menentukan ada tidaknya itikad baik dalam kontrak dan bagaimana fungsi itikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Gagasan itikad baik merupakan a single mode of analysis somprising a spectrum of related, factual considerations. Daftar dibawah ini, walaupun tidak lengkap, dapat menggambarkan unsur-unsur standar objektif, yakni:27
26 Agasha Mugasha, 1999,Good Faith Obligation in Commercial Contract, International Business Lawyer, hlm. 6. 27 Holmes, Eric M, 1978, A Contextusl Study of Commercial Good Faith: Good Faith Discloursure in Contract Formation’,University of Pittsburg Law Review, Vol 39 NO.3. hal. 405.
27 a.
The informal behavior of contracting parties and their individual expectations;
b.
The nature and requirement for the particular transaction at issue;
c.
The fairness of the customary commercial or social standard for measuring conduct;
d.
The modern commercial policy of flexibility in commercial in tercourse;
e.
The effect of the court’s decision non commerce or society;
f.
The conceptual history of good faith from such sources as the law merchant, comman law, equity and civil law system. Menurut Ridwan Khairandy mengingat sampai detik ini tidak ada
pengertian mengenai itikad baik yang bersifat universal. Pada akhirnya, pengertian itikad baik memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi subjektif, yang berarti itikad baik mengarah kepada makna kejujuran. Dimensi yang kedua adalah dimensi yang memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan kepatutan atau keadilan. Kecenderungan dewasa ini dalam berbagai sistem hukum mengaitkan iktikad baik pelaksanaan kontrak dengan kerasionalan dan kepatutan.28Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata harus didasarkan pada kerasionalan dan kepatutan. Itikad baik pra kontrak tetap mengacu kepada itikad baik yang bersifat subjektif yang digantungkan pada kejujuran para pihak.
28
Ridwan Khairandy,2004,Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Fakultas Pascasarjana, Jakarta, hlm. 347.
28 4.
Asas Pacta Sunt Servanda Asas Pacta Sunt Servanda mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. KUHPerdata juga menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang yang mengikat bagi para pihak (Pasal 1338 KUHPerdata).
5.
Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel) Seseorang
yang
mengadakan
perjanjian
dengan
pihak
lain,
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan diri dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 6.
Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus diperhatikan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
1.6 1.6.1
Metode Penelitian Jenis Penelitian J Gijssels & M.Van Hoecke menyebut istilah lain dari teori hukum
normatif adalah teori hukum preskriptif atau teori hukum kritikal sebgai lawan
29 dari teori hukum empiris.29 Teori hukum normatif adalah teori dari ilmu hukum normatif.30 Dalam kondisi seperti itu, Meuwissen, ilmu hukum normatif mempunyai tugas pokok untuk mengarahkan, menganalisis, mensistematisasi, mengintrepretasi dan menilai hukum positif.31 Dari klasifikasi jenis penelitian di atas, maka penelitian ini ternasuk dalam jenis penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma (rechtsvacuum). Secara normatif KUH Dagang mengatur tentang CV secara umumnya, yaitu dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 KUH Dagang. Tetapi, pengaturan secara lebih spesifik tentang CV atas saham didalam KUH Dagang maupun peraturan lain, belum ada mengatur tentang CV atas saham. Dari paparan diatas sudah jelas bahwa adanya kekosongan norma (rechtsvacuum) dalam CV atas saham. 1.6.2
Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang dapat
diterapkan, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).32 Pendekatan perundang-undangan merupakan cara pendekatan dengan
melakukan
29
pengkajian
terhadap
peraturan
perundang-undangan
Jan Gijssels & Mark van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu? Terjemahan B. Arief Sidhanta, Laboatorium Hukum, Bandung, (Untuk Kepentingan Intern), hlm.81. 30 I Made Pasek Diantha,2015, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam justifikasi Teori Hukum, Jakarta, hlm82. 31 Meuwissen, 2008, tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan filsafat hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, Reflika Aditama, Bandung, hlm.54,55. 32 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 93.
30 terkaitdengan permasalahan yang dibahas. Penelitian untuk praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan.Pendekatan kasus digunakan apabila dalam membahas permasalahan menggunakan contoh kasus untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas.Pendekatan historis ditlakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu.Pendekatan ini sangat membantu untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu.33Pendekatan perbandingan diterapkan melalui studi perbandingan hukum.34Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, dikarenakan belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.35 Dari berbagai jenis pendekatan yang ada, maka jenis pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Peneliti menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.Hal ini dilakukan peneliti karena peraturan perundangundangan merupakan titik fokus dari penelitian hukum normatif.36Penelitian ini menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan notaris pada pembuatan akta pendirian persekutuan komanditer. Sementara itu, pendekatan konseptual diterapkan dalam penelitian ini dalam rangka memperjelas
33
Ibid., hlm. 126. Ibid., hlm. 132. 35 Ibid., hlm. 137. 36 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 184 34
31 berbagai konsep yang dikaji dalam penelitian seperti konsep saham, persekutuan komanditer, Notaris, Akta Notaris dan lain sebagianya. 1.6.3
Sumber Bahan Hukum Untuk mengkaji dan membahas permasalahn dalam penelitian ini, penulis
menggunakan sumber bahan hukum. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat.37 Selain itu juga dikatakan bahwa bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas (autoritatif)38 berupa norma-norma, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi antara lain : -
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
-
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
-
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Bahan hukum sekunder, merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.39 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -
Buku-buku
hukum
mengenai
Jabatan
Notaris,
Persekutan
Komanditer (CV), Perseroan Terbatas, dan Badan Usaha.
37 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 118. 38 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Offset, Jakarta, Hal. 47. 39 Ibid,Hal. 113.
32
3.
-
Pendapat para pakar hukum atau doktrin.
-
Artikel yang terkait.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum maupun bahan hukum sekunder yang berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan kamus besar Bahasa Indonesia.
1.6.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan
dengan metode bola salju (snowball method). Metode bola salju adalah metode di mana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur kemudian dari beberapa literatur tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literatur tersebut. Sejalan dengan hal tesebut Pasek Diantha menjelaskan bahwa metode bola salju adalah cara dimana buku yang dirujuk oleh pengarang sebagai sumber bahan hukum dalam daftar pustaka itu sepanjang ada kaitannya dengan materi Bab II,Bab III dan Bab IV lebih lanjut dapat dicari oleh peneliti untuk kelengkapan bahan hukum setelah buku tersebut di temukan selajutnya di lihat lagi daftar pustakanya.40 1.6.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disistematisir kemudian
dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari
40
I Made Pasek diantha Op.Cit.,hlm 151
33 hasil evaluasi tersebut. Dari hasil proses argumentasi dan evaluasi selanjutnya ditemukan kesimpulan atas persoalan yang dikaji dalam penelitian ini. Dengan kata lain, teknik analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatifdengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Bahan Hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian; 2. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan; 3. Bahan Hukum yang telah disistematisasikan kemudian dievaluasi, diberikan argumentasi, dan dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.