BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. Filosofi anak sebagai titipan Tuhan membuat setiap orang tua yang memahami peranannya terus berusaha untuk memberikan bekal terbaik bagi anakanaknya. Bekal yang dimaksud meliputi lingkungan tumbuh yang sehat dan menyenangkan, pendidikan yang memadai, dan pemenuhan segala kebutuhan fisik dan psikisnya. Semua orang tua yang memahami peranannya selalu memiliki mimpi yang sama, yaitu melihat anak-anaknya menjadi pribadi yang mandiri dan berguna. Masalahnya, seperti juga ketika berusaha keras mewujudkan mimpimimpi besar lainnya, merealisasikan “mimpi” agar setiap anak bertumbuh dengan sehat dan menjadi pribadi kokoh jelas bukan hal mudah. Butuh seperangkat konsep tepat dan hal-hal pendukung yang memadai untuk mewujudkan hal itu.1 Sadar ataupun tidak, setiap orang tua menyadari bahwa komponen paling menentukan bagi masa depan anak-anak mereka adalah pendidikan. Membekali anak dengan pendidikan yang memadai adalah sebuah pilihan cerdas. Membentuk keterbukaan anak-anak terhadap tradisi berpendidikan adalah investasi menjajikan untuk masa depan mereka. Tradisi berpikir yang berorientasi pada “kehausan”
1
Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling (Bandung: Progressio. 2007), 4.
1
2
untuk terus memperbaiki kapasitas keilmuannya akan memposisikan mereka pada titik berpikir yang positif.2 Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai sistem peradaban juga mengisyaratkan pentingnya pendidikan. Isyarat ini dijelaskan dari berbagai muatan dalam konsep ajarannya.3 Dalam hal ini, Islam memandang pendidikan sebagai bagian terpenting dari kehidupan manusia yang membedakannya dari hewan. Oleh karena itu, berbagai pandangan menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses budaya untuk mengangkat “harkat” dan “martabat” manusia, dan karenanya pendidikan semestinya berlangsung sepanjang hayat.4 Pertanyaan besar yang berputar di benak orang tua kemudian adalah: Pendidikan macam apa yang paling cocok untuk menjadi bekal terbaik bagi anakanak kita?. Idealnya, pendidikan yang mendudukung masa depan seorang anak tentu harus sesuai dengan karakter anak tersebut. Titik temu yang ingin dicapai adalah kenyamanan si anak saat menjalani proses pendidikannya. Aktivitas apapun akan bernilai lebih lebih ketika orang yang menjalaninya benar-benar menikmati. Hal yang sama juga berlaku pada pilihan pendidikan. Faktor kanyamanan selama menjalani proses belajar tentu sangat menentukan efektif atau tidaknya aktivitas tersebut.5
2
Ibid., 5. Muhammad Azmi, Pendidikan Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Keluarga) (Solo: Bulakas, 2006), 17. 4 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003), 5. 5 Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 5. 3
3
Saat ini, model pendidikan paling umum dan dikenal di masyarakat adalah sistem sekolah. Bahkan sekolah hampir dipandang sebagainya satu-satunya model pendidikan yang ada dan valid di masyarakat6. Dan bahkan ada yang mengatakan bahwa belajar itu diidentikkan dengan sekolah, sehingga kalau tidak sekolah dianggap tidak belajar. Namun sebenarnya, sekolah adalah salah satu sistem yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, karena sesungguhnya ruang lingkup pendidikan jauh lebih luas dari pada sistem sekolah. Proses pendidikan anak terjadi tidak hanya ruang sekolah, tetapi juga keluarga, pergaulan, lingkungan, dan sebagainya7. Pada umumnya, kebanyakan orang tua sangat berharap bahwa sekolah dapat meramalkan bakatnya secara akurat apakah seorang anak kelak akan berhasil mengembangkan bakatnya di kemudian hari. Para orang tua juga menaruh harapan yang sedemikian besar (bahkan ada kalanya berlebihan) untuk menempatkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah unggulan, dengan harapan ketika lulus dari sekolah tersebut anak-anak akan mampu menjalani hidupnya dengan lebih baik, lebih berdaya, dan lebih unggul dari anak anak lainnya.8 Namun realita yang terjadi adalah banyak anak-anak yang gagal mengikuti
6
Sumardiono, Homeschooling: Lompatan Cara Belajar (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2007), 13. 7
Ibid., 14. Monty P. Satiawan & Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), 82. 8
4
pendidikan di sekolah unggulan tertentu dan orang tua merasa kecewa, bahkan di antaranya yang mulai kehilangan harapan akan masa depan anak-anak mereka.9 Banyak peneliti dan ahli telah mendokumentasikan bahwa tata tertib sekolah seperti keharusan baju yang seragam, keharusan datang lebih pagi, pola komunikasi guru-murid, atau antar murid/peserta didik, dan pola seleksi masuk murid baru, telah membuat peserta didik sulit mengembangkan jati dirinya. Respons peserta didik terhadap segala ketertiban otoritarian ini kurang disadari. Justru sebaliknya, mendorong mereka melakukan protes tersembunyi. Selama lebih 30 tahun, tidak ada sebuah sekolah pun yang memiliki progam inti yang berbeda. Semua progam dan proses belajar mengajar di suatu sekolah pun harus mengikuti ketetapan pemerintah.10 Fenomena di atas diperparah dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang tidak kondusif. Ini bisa dilihat dari kondisi pendidikan di Indonesia sejak zaman Orde Baru. Pendidikan dijadikan alat kekuasaan dan militeristik. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan penyeragaman pakaian sekolah dari SD sampai SLTA dan sentralisasi kurikulum. Padahal sentralisasi misalnya, merupakan kerangka politik untuk menyeragamkan pola berpikir, sikap, dan cara bertindak siswa. Selain itu, sentralisasi juga mencerabut kebhinekaan yang menjadi ciri khas rakyat Indonesia, yang berakibat pada tercerabutnya siswa dari praktek budaya dan kebutuhan real siswa di tempat tinggalnya. 9
Ibid., 83. John P.Miller, Cerdas Di Kelas Sekolah Kepribadian (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002),
10
15.
5
Barangkali
otonomisasi
kurikulum
itu
kian
berkurang
lantaran
diterapkannya otonomi sekolah sebagai upaya menuju desentralisasi pendidikan. Namun apa yang terjadi kemudian? Otonomosasi itu berubah mahalnya biaya pendidikan. Sebab, otonomisasi itu ternyata lebih mengarah pada kemandirian sekolah dalam mencari sumber biaya guna memenuhi keberlangsungan proses belajar mengajar.11 Sehingga, sekolah-sekolah itu hanya menjadi “pabrik” pencetak generasi yang tidak siap untuk hidup hanya untuk menjadi dirinya sendiri, dan bahkan orang lain. Sekolah itu, secara tidak langsung maupun tidak langsung, hanya makin meminta, membujuk mengajar dan memaksa kita untuk mematut diri jadi orang lain. Kita dilatih untuk menjadi seragam seperti tumpukan barang kelontong di pertokoan. Padahal, sekolah sebagai “kawah Candradimuka” dunia pendidikan, seharusnya mengajak kita untuk berani menjadi diri sendiri, berani memandang, menghayati dan menjalani kehidupan dengan visi sendiri, dengan penuh kegairahan dan tanggung jawab dengan sosok mandiri.12 Dari fenomena di atas maka dianggap perlu adanya pendidikan alternatif untuk membekali anak dengan pendidikan yang memadai. Karena pada dasarnya mencari alternatif adalah mencari cara lain yang dapat ditempuh seseorang untuk mencapai tujuan. Semakin banyak alternatif semakin mungkin tujuan akan tercapai. Karena biasanya, alternatif disertai dengan kekhususan yang membuat sedemikian rupa agar mudah bagi pihak tertentu unuk mencapai tujuan yang
11 12
Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah (Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press,2003), 8. Ibid., 10.
6
dicanangkan tersebut.13 Dan di antara bermacam-macam pendidikan alternatif yang muncul di tanah air, salah satunya adalah homeschooling atau yang dikenal dengan sekolah rumah. Maka dari itu, peneliti ingin mengambil sebuah judul penelitian “KONSEP
HOMESCHOOLING
DAN
RELEVANSINYA
DENGAN
PENDIDIKAN ISLAM”.
B. Rumusan Masalah. Agar lebih terarah dari segi operasional maupun sistematika penulisan skripsi ini, maka pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah relevansi tujuan homeschooling dengan tujuan pendidikan Islam? 2. Bagaimanakah relevansi pendidik dalam homeschooling dengan pendidik dalam pendidikan Islam? 3. Bagaimanakah relevansi peserta didik dalam homeschooling dengan peserta didik dalam pendidikan Islam? 4. Bagaimanakah relevansi alat pendidikan dalam homeschooling dengan alat pendidikan dalam pendidikan Islam?
13
Yayah Komariah, Homeschooling: Trend Baru Sekolah Alternatif (Jakarta: Sakura Pablishing, 2007), 2.
7
5. Bagaimanakah relevansi lingkungan pendidikan dalam
homeschooling
dengan lingkungan pendidikan dalam pendidikan Islam? C. Tujuan Kajian. 1. Untuk menjelaskan relevansi tujuan homeschooling dengan tujuan pendidikan Islam. 2. Untuk menjelaskan relevansi pendidik dalam homeschooling dengan pendidik dalam pendidikan Islam. 3. Untuk menjelaskan relevansi peserta didik dalam homeschooling dengan peserta didik dalam pendidikan Islam. 4. Untuk menjelaskan relevansi alat pendidikan dalam homeschooling dengan alat pendidikan dalam pendidikan Islam. 5. Untuk menjelaskan relevansi lingkungan pendidikan dalam homeschooling dengan lingkungan pendidikan dalam pendidikan Islam. D. Manfaat Kajian. 1. Secara Teoritis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sebuah teori tentang homeschooling ditunjau dari sebuah sistem. Sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas bagi orang tua, yang ingin menjalankan homeschooling untuk pendidikan anaknya.
8
2. Secara Praktis. a.
Bagi peneliti: dapat memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan homeschooling itu, agar dapat mensosialisasikan kepada masyarakat yang kurang mampu tentang bagaiman cara memberikan pendidikan kepada anaknya yang murah, meriah, dan diakui pemerintah.
b.
Bagi orang tua: dapat memberikan wawasan kepada orang tua bahwa ada pendidikan alternatif yang bisa digunakan untuk mencerdaskan anakanaknya sesuai dengan bakat yang dimilikinya tanpa harus mengikuti pendidikan di sekolah.
c.
Bagi sekolah: dapat memberikan motivasi, untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan yang dikelolanya.
d.
Bagi
pemerintah:
dapat
dijadikan
sebagai
pertimbangan
dalam
pengambilan kebijakan bagi pendidikan alternatif yang ada di Indonesia khusususnya homeschooling dan sekolah-sekolah alternatif lainnya.
E. Metode Kajian. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan Penelitian. 1) Pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gelaja sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan begitu, suatu fenomena sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang
9
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinankeyakinan yang mendasari proses terjadinya tersebut.14 2) Pendekatan filosofis, yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formanya, mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang tedapat dibalik yang bersifat lahiriyah.15 b. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka (Library Research). Artinya, sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang ada kaitannya dengan skripsi ini. Dalam penelitian pustaka, obyek utama adalah buku-buku atau sumber kepustakaan lainnya.16 Materimateri pembahasan didasarkan pada kajian pustaka atas karya-karya kepustakaan, baik berupa buku-buku atau bacaan-bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 2. Sumber Data. a. Sumber Data Primer. 1) A. Abe Saputra. Rumahku Sekolahku: Panduan Bagi Orang Tua untuk Menciptakan Homeschooling. Yogyakarta: Graha Pustaka, 2007.
14
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 39. Ibid., 42. 16 Hadari Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1994), 15
23.
10
2) Abu Izza. Homeschooling Dengan Metode Montessori. (online) http://www.wintersat.com. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 3) Ahmad Tafsîr. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. 4) Armai Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. 5) Basuki & M. Miftahul Ulum. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Po Press, 2007. 6) Ines
Setiawan.
Tujuan
berhomeschooling,
(online)
http://www.sekolahrumah.com ./index.php? option=com_ conten& task=view&id=767&Itemid=71. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 7) Kompas. “homeschooling, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku”. Juli 2007. 8) Lebih Jauh tentang Homeschooling. (online) http://usahamulia.net. Diakses tanggal 20 Maret 2008 9) Loy Kho. Homeschooling Untuk Anak,mengapa Tidak?. Yogyakarta: Kanisius, 2007. 10) M. Arifîn. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner.
Jakarta: Bumi Aksara,
2006. 11) Maulia D. Kembara. Panduan Lengkap Homescooling. Bandung: Progressio, 2007.
11
12) Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. 13) Nur Uhbiyati & Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan Islam . Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. 14) Pormadi Simbolon. Homeschooling: Sebuah Pendidikan Alternatif (online)http
://pormadi-simbolon.blosport.com./homeschooling.
sebuah. pendidikan.htm.t. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 15) Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006. 16) Sekolah Rumah Siapa Mau Coba (online) http://www.vhrmedia. net. Diakses Tanggal 4 Maret 2008. 17) Seto Mulyadi. Homeschooling Keluarga Kak Seto. Bandung: Kaifa: 2007. 18) Sumardiono. Homeschooling, Lompatan Cara Belajar. Jakarta: PT. Elex Media Kompetindo, 2007. 19) Sumardiono. Mulai Homeschooling http: //www.sumardiono.com /index.php?option=com.content& task=view &id=338&Itemid+84. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 20) Yayah Komariah. Homeschooling: Trend Baru Sekolah Alternatif. Jakarta: Sakura Publishing, 2007. 21) Zakiyah Darajad. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
12
b. Sumber Data Sekunder. Yang dijadikan sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku yang ditulis oleh pengarang lain yang masih relevan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini. Adapun sumber-sumber data skunder dalam skripsi ini antara lain: 1) Abdullah Idi & Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. 2) Abudin Nata. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. 3) Ahmad Munîr. Tafsîr Tarbawî: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan. Ponorogo: t.p., 2006. 4) Ainurrafiq Dawam. Emoh Sekolah. Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003. 5) Direktorat Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan. 6) Hadari Nawawî. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1994. 7) Hamdan Ihsan & A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998. 8) Hujair AH. Sanaky. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003.
13
9) John P.Miller. Cerdas Di Kelas Sekolah Kepribadian. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. 10) Jusuf Amir Faisal. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. 11) Monty P. Satiawan & Fidelis E. Waruwu. Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam mendidik Anak Cerdas. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003. 12) M.Suyudi. Pendidikan Islam Dalam perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani. Yogykarta: Mikraj, 2005. 13) Muhammad Azmi. Pendidikan Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Keluarga). Solo: Bulakas, 2006. 14) Muzayyin Arifîn. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. 15) Noeng Muhajir. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. 16) Rashidîn dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005. 17) Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. 18) Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
14
19) Sutirsno Hadi. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset, 1993. 3. Tekhnik Pengumpulan Data. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), maka tekhnik pengumpulan data yang tepat untuk digunakan adalah metode dokumentasi. Yaitu, pengumpulan data yang berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, lengger, agenda dan sebagainya, yang diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder.17 4. Tekhnik Pengolahan Data. Adapun tekhnik yang digunakan dalam mengolah data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Editing data, yaitu proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari data-data yang telah terkumpul. b. Penyajian data, yaitu menyajikan sekumpulan data yang telah tersusun memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. c. Menarik kesimpulan, yakni dari beberapa uraian yang telah dikemukakan kemudian
penulis
menyimpulkan
dengan
mengaitkannya
dengan
relevansi pendidikan Islam.
17
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 206.
15
5. Analisis Data. Adapun analisis data dalam penelitian ini adalah Analisis isi (content analysis), yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.18 Metode ini digunakan untuk menganalisis isi dan berusaha menjelaskan bangunan pemikiran tentang masalah yang dibahas dengan menggunakan berfikir induktif dan deduktif dalam penarikan kesimpulannya. Induktif yaitu proses berpikir yang berasal dari empiris dan mencari abstraksi. Lebih jelas lagi, menurut Sutrisno Hadi, penalaran induktif yaitu metode berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa khusus itu ditarik generalisasinya yang bersifat umum.19 Sedangkan deduktif yaitu proses berpikir berangkat dari yang umum ditarik tolak dari pengetahuan itu kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus. 20
F. Sistematika Pembahasan. Untuk memudahkan dalam memahami skripsi, perlu dikemukakan sistematika pembahasan yang meliputi: Bab I
: Pada bab ini, peneliti mengemukakan masalah-masalah yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan kajian, manfaat kajian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
18
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 49. Sutirsno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), 42. 20 Ibid., 36. 19
16
Bab II
: Pada bab ini, peneliti mengemukakan tentang konsep pendidikan Islam, yang meliputi: pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pendidik dalam pendidikan Islam, peserta didik dalam pendidikan Islam, alat pendidikan dalam pendidikan Islam, dan lingkungan pendidikan dalam pendidikan Islam.
Bab III : Pada bab ini, peneliti mengemukakan tentang konsep homeschooling yang meliputi; pengertian homeschooling, tujuan homeschooling, pendidik dalam homeschooling, peserta didik dalam homeschooling, alat pendidikan dalam homeschooling, dan lingkungan pendidikan dalam homeschooling. Bab IV : Pada bab ini peneliti mengemukakan analisa tentang relevansi konsep homeschooling dengan pendidikan Islam yang meliputi: analisa relevansi tujuan homeschooling dengan tujuan pendidikan Islam, analisa relevansi pendidik dalam homeschooling dengan pendidik dalam pendidikan Islam, analisa relevansi peserta didik dalam homeschooling dengan peserta didik dalam pendidikan Islam, analisa relevansi
alat
pendidikan
dalam
homeschooling
dengan
alat
pendidikan dalam pendidikan Islam, dan analisa relevansi lingkungan pendidikan dalam homeschooling dengan lingkungan pendidikan dalam pendidikan Islam. Bab V
: Bab ini berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
17
BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam. Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dîb, dan al-ta’lîm. Dari ketiga istilah tersebut, term yang populer digunakan dalam praktik pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dîb dan al-ta’lîm jarang sekali digunakan, padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga term tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa argumentasi tersendiri dari pendapat para ahli pendidikan Islam:21 1. Term al-Tarbiyah. Secara bahasa, al-tarbiyah berasal dari kata rabbâ-yurabbî yang berarti tumbuh atau berkembang, rabiya-yarbâ yang berarti tumbuh menjadi besar, dan rabbâ yarubbû yang berarti memperbaiki, mengukur, mengurus,
21
Samsul Nizâr, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis ( Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 25.
18
mendidik.22 Selain itu, kata rabb sebagai kata dasar al-tarbiyah juga mempunyai pengertian menumbuhkembangkan potensi bawaan seseorang, baik potensi fisik (jasmani), akal (pikiran), maupun potensi akhlak (perbuatan dan perilaku).23 Dalam konteks yang luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam term al-tarbiyah terdiri dari empat unsur pendekatan, yaitu:24 a. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. c. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. d. Melaksanakan pendidikan secara bertahap. Penggunaan term tarbiyah untuk menunjukkan makna pendidikan Islam dapat dipahami dengan merujuk firman Allah:
ْEFِ >َGH5 (َ> َآ(َ> َرAُ (ْ * َ ْب ار - ْ َر/1ُ َو4ِ (َ * ْ 65 7 ا8 َ 9ِ ل- <; 7ح ا َ >َ?@ َ >َ(Aُ 7َ ْBCِ D ْ وَا (٢٤:اء6OPًا )ا6Gْ Kِ L َ Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.25 (Q.S. Al-Isrâ’: 24). Maka dari itu, penggunaan term al-tarbiyah mengandung konsep bahwa proses pemeliharaan, pengasuhan, dan pendewasaan anak adalah 22
Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Keluarga) (Solo: Bulakas, 2006), 18. 23 Ibid., 19. 24 Samsul Nizâr, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, 26. 25 Al-Qur’an, 17:24.
19
bagian dari proses rububiyah Tuhan kepada manusia. Titik pusat perhatiannya adalah
terletak
pada
usaha menumbuhkembangkan
segenap
potensi
pembawaan dan kelengkapan dasar anak secara bertahap sampai pada titik kesempurnaannya.26 Mushtafa al-Maraghiy membagi kegiatan al-tarbiyah dengan dua macam. Pertama, tarbiyah khalqiyyah, yaitu penciptaan, pembinaan, dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai sarana bagi pengembangan jiwanya. Kedua, tarbiyah dîniyah tahdzîbiyyah, yaitu pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu Ilahi. Berdasrkan pembagian tersebut, maka ruang lingkup pembagian al-tarbiyah mencakup berbagai kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia dan akhirat, serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan baik dengan lisan atau tulisan.27 2. Term al-Ta’lîm. Kata ta’lîm ditinjau dari asal-usulnya merupakan bentuk mashdar dari kata ‘alama yang kata dasarnya alima, mempunyai arti mengetahui. Kata ‘alima dapat berubah menjadi bentuk a’lama dan kadang dapat berubah menjadi ‘allama yang mempunyai proses tarnsformasi ilmu. Hanya saja, kata a’lama yang bermasdar i’lama dikhususkan untuk untuk menjelaskan adanya transformasi informasi secara sepintas, sedangkan kata ‘allama yang
26 27
Samsul Nizâr, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, 20. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 16.
20
mashdarnya berbentuk ta’lîm menunjukkan adanya proses yang rutin dan terus menerus serta adanya upaya yang luas cakupannya sehingga dapat memberi pengaruh pada muta’allim (orang yang belajar).28 Kata ta’allum mempunyai makna adanya sentuhan jiwa, hal ini ditunjukkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 31:
ْEFِ ْوeُ fِ Fْ > َل َأUَ Vَ 4ِ Wَ Xِ Y َ (َ 7ْ اZَ[\ َ ْ]Aُ ^ َ 6َ \ َ ]5 _ُ >َA[5(َ` َء ُآO ْ aَ َد َم اd ]َ [5\ َ َو (٣١:ة6Uf7 )ا8 َ Gْ 1ِ َ> ِدL ْ]hُ ?ْ ِء ِإنْ ُآkُe(َ` ِء هO ْ mَ Hِ Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ”Sebutlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.29 (QS. Al-Baqarâh: 31) Muhammad Fattah Jalâl berpendapat bahwa, istilah yang lebih konprehensif untuk mewakili istilah pendidikan adalah istilah al-ta’lîm. Menurutnya, istilah al-ta’lîm adalah lebih universal dibanding dengan proses al-tarbiyah.
Istilah
al-ta’lîm
berhubungan
dengan
pemberian
bekal
pengetahuan. Istilah al-ta’lîm adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pengindraan, penglihatan, dan hati, serta tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi.30
28
Ahmad Munîr, Tafsîr Tarbawî: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan (Ponorogo: t.p., 2006), 36. 29 Al-Qur’an, 2: 164. 30 Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah, 20-21.
21
Dalam konteks ini, proses pengajaran dilakukan seorang guru kepada peserta didiknya secara rutin, maka harus mampu memberikan pengaruh terhadap perubahan intelektual peserta didik. Perubahan intelektual tersebut tidak berhenti pada penguasaan materi yang telah diajarkan oleh guru, tetapi juga mempengaruhi terhadap perilaku belajar peserta didik, dari malas menjadi rajin atau dari yang tidak kreatif menjadi kreatif.31 3. Term al-Ta’dîb. Secara bahasa al-ta’dîb berasal dari kata addaba yang dapat diartikan kepada
proses
mendidik
yang lebih
tertuju
pada pembinaan
dan
penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Istilah ta’dîb digunakan untuk makna pendidikan, karena kata tersebut hanya menunjuk pada pendidikan pada manusia saja.32 Menurut Syeh Muhammad Naquib al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dîb. Konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:
ْEfِ qْ ِدmْ rَ 8 َs َ * ْ mَ Vَ ْEH- ْ َرE?ِ Hَ د5 َأ Artinya: “Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku” (H.R. al-“Askary dari Alî R.A) Kata addaba dalam hadits di atas dimaknai al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadits tersebut biasanya 31 32
Ahmad Munîr, Tafsîr Tarbawî, Mengungkap Pesan Al-Qur’ân tentang Pendidikan, 38. Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah, 21.
22
dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya Ia telah membuat pendidikanku menjadi lebih baik”.33 Dalam terminologi ini, al-Attas memberikan devinisi ta’dîb adalah pengenalan dan pengakuan tentang hakekat bahwa pengetahuan dan wujud itu bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat mereka tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakekat serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual serta ruhaniyah seseorang.34 Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba menformulasi pengertian pendidikan Islam. Di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah: a.
Al-Syaibaniy mengemukakan bahwa, pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara
33 34
Samsul Nizâr, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, 30. Ahmad Munîr, Tafsîr Tarbawî, Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, 40.
23
pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.35 b.
M. Arifîn mengemukakan bahwa, pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa Muslim yang bertaqwa untuk secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.36
c.
Muhammad Quthb memberi pengertian pendidikan Islam sebagai usaha untuk melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik dari segi jasmani maupun ruhani, baik dari kehidupan fisik maupun mentalnya, dalam melakasanakan kegiatan dibumi.37
d.
Menurut Muhammad Fadil al-Djamaly, pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajad kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya.38
B. Tujuan Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan. Sebab tanpa perumusan yang jelas tentang tujuan pendidikan, perbuatan menjadi acak35
Samsul Nizâr, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, 31. M. Arifîn, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 22. 37 Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 47. 38 Muzayyin Arifîn, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 16. 36
24
acakan, tanpa arah bahkan bisa sesat atau salah langkah. Oleh kerena itu, perumusan tujuan dengan jelas menjadi inti dari seluruh pemikiran pedagogis dan perenungan filosofi. Dikatakan lebih lanjut bahwa tujuan pendidikan itu penting, disebabkan karena secara implisit dan eksplisit di dalamnya terkandung hal-hal yang sangat asasi, yaitu pandangan hidup pendidikannya, lembaga penyelenggara, dan negara.39 Muhammad Quthb tatkala membicarakan tujuan pendidikan menyatakan bahwa tujuan pendidikan lebih penting daripada sarana pendidikan. Sarana pendidikan pasti berubah dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi tujuan pendidikan tidak berubah. Yang dimaksud ialah tujuan pendidikan yang umum. Tujuan pendidikan yang khusus dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu. Namun, bagian yang mendasar dalam tujuan pendidikan yang khusus tidak berubah.40 Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang dinginkan. Jika berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasikan idealitas Islam. Sedang idealitas Islami itu sendiri pada hakekatnya adalah mengandung
39
Ibid., 133. Ahmad Tafsîr, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 200), 48. 40
25
nilai perilaku manusia yang disadari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.41 Dikatakan oleh Zakiah Daradjat bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insân kâmil42 dengan pola taqwa. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti.43 Dari berbagai tujuan pendidikan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan cita-cita ideal yang mengandung nilai-nilai Islami di mana proses pendidikan diarahkan. Rumusan tujuan pendidikan merupakan pencerminan dari idealitas penyusunnya, baik institusional maupun individual. Oleh karena itu, nilai-nilai apakah yang dicita-citakan oleh penyusun dari tujuan itulah yang akan mewarnai corak kepribadian manusia yang menjadi hasil dari proses pendidikan.44 Oleh karena itu, dalam hal ini perlu dikemukakan tujuan pendidikan Islam dari berbagai tokoh pendidikan Islam: 41
Nur Uhbiyati & Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997),
108. 42
Insîn kâmil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. 43 Nur Uhbiyati Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 41. 44 Nur Uhbiyati & Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, 118.
26
1. Menurut Athiyah al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyatakan bahwa tujuan yang asasi dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut :45 a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. b. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. c. Mempersiapkan untuk mencari rizki dan menjaga kemaslahatan. d. Menumbuhkan ruh ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa keingintahuannya serta memungkinkan untuk mengkaji berbagai ilmu. e. Menyiapkan anak didik untuk menguasi pofesi tertentu. 2. Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan adalah: 46 a. Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk berkreasi, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu yang akan memberikan faedah kepada masyarakat. b. Memperoleh berbagai ilmu pengertauan sebagai alat untuk membantu dalam rangka mencapai kehidupan yang baik dalam masyarakat yang berbudaya. c. Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk mencari rizki. 3. Menurut Jusuf Amir Feisal, tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:47 a. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdlah.
45
M.Suyudi, Pendidikan Islam Dalam perspektif Al-Qur’ân Integrasi Epistimolog, Bayanî, Burhanî, dan Irfanî (Yogykarta: Mikraj, 2005), 67. 46 Ibid., 68. 47 Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 96.
27
b. Membentuk manusia muslim yang disamping dapat melaksanakan ibadah mahdlah dapat juga melaksanakan ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai orang perorangan atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu. c. Membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah Penciptanya. d. Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil yang memungkinkan memasuki teknostruktur masyarakatnya. e. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu agama dan ilmu-ilmu Islami lainnya.
C. Pendidik dalam Pendidikan Islam. Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik dengan nilai-nilai ajaran Islam. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap
28
upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalîfah fî al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam48. Dengan demikian kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang
yang
melakukan
kegiatan
dalam
memberikan
pengetahuan,
ketrampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan dimana saja. Di rumah, orang yang melakukan tugas tersebut adalah kedua orang tua, karena secara moral dan teologis merekalah yang diserahi tanggung jawab pendidikan anaknya. Selanjutnya di sekolah tugas dilakukan oleh guru, dan di masyarakat dilakukan oleh organisasiornganisasi kependidikan dan sebagainya. Atas dasar ini maka yang termasuk kedalam pendidik itu bisa kedua orang tua, guru, tokoh masyarakat dan sebagainya.49 Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Adapun tugas pendidik adalah sebagai berikut :50 1. Tugas secara umum adalah ; Sebagai warâsat al-anbiyâ´, yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat li al-alamîn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia
48
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 41-42. Basuki & M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), 78. 50 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 63. 49
29
akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi. 2. Tugas secara khusus adalah ; a. Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. b. Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insân kâmil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. c. Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Menyangkut upaya pengerahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partsipasi atas program yang dilakukan itu. Menurut Prof. Dr. Moh. Athiyah Al-Abrasyi, seorang pendidik Islam harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapun sifat-sifat itu ialah :51 1. Memiliki sifat zuhûd, tidak mengutamakan materi dan mengejar karena mencari keridaan Allah semata. 2. Seorang guru harus jauh dari dosa besar, sifat ria mencari nama), dengki, permusuhan perselisihan dan lain-lain sifat yang tercela.
51
Hamdan Ihsan & A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), 104-105.
30
3. Ikhlas dalam pekerjaan, keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik kearah suksesnya di dalam tugas dan sukses murid-muridnya. 4. Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil. Berkepribadian dan mempunyai harga diri. 5. Seorang guru harus mencintai murid-muridnya, seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri. Bahkan seharusnya ia lebih mencintai murid-muridnya daripada anaknya sendiri. 6. Seorang guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, adat, kebiasaan, rasa dan pemikiran murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik murid-muridnya. 7. Seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya sehingga mata pelajaran yang diajarkannya tidak akan bersifat dangkal.
D. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang
31
memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. Melalui paradigma diatas menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik.52 Sejarah telah mencatat bahwa, orang-orang yang berhasil dalam pendidikan pada umumnya adalah mereka yang mengikuti pelajaran dengan tekun, mengulangi pelajaran yang telah diberikan, dan mentaati segala peraturan yang diberlakukan di lembaga pendidikan dimana mereka belajar. Syekh AlJarnuzi dalam kitab Ta’lîm al-Muta’alim menerangkan sifat dan tugas seorang murid dalam menuntut ilmu yaitu:53 1. Tawadlu’, iffah, sabar, cinta ilmu, hormat kepada guru dan sesama penuntut ilmu. 2. Tekun belajar.
52
53
2002), 75.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 47.
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press,
32
3. Warâ’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang). 4. Mempunyai cita-cita yang tinggi. 5. Tawakkal.
E. Alat Pendidikan Dalam Pendidikan Islam Dalam konteks pendidikan Islam perlatan pendidikan adalah semua yang digunakan oleh guru dan murid dalam proses pendidikan.54 Adapun peralatan dalam pendidikan Islam terbagi atas dua macam yaitu:55 1. Peralatan fisik pendidikan. Peralatan fisik ini terbagi atas : a. lembaga pendidikan. Lembaga atau badan pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Lembaga pendidikan ini berhak untuk mengembangkan pendidikannya sesuai dengan tujuan dan tarjet yang akan dicapai sesuai dengan aturan dan tata tertib yang berlaku. Sehingga dalam pengembangannya tidak berbenturan dengan aturan-aturan sekolah ataupun pemerintah. b. Media Pendidikan. Media pendidikan menurut Roestiyah NK. dkk: alat, metode dan tehnik yang digunakan dalam rangka meningkatkan efektifitas
54 55
Ahmad Tafsîr, Ilmu Pendidikan Islam, 90. Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 133-134.
33
komunikasi dan interaksi edukatif antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran disekolah. 2. Peralatan non fisik pendidikan yaitu alat pendidikan yang tidak berupa bangunan tetapi berupa materi atau pokok-pokok pikiran yang membantu kelancaran pendidikan. Adapun perlatan fisik ini terbagi atas : a. Kurikulum. Kurikulum merupakan bahan-bahan pelajaran apa saja yang harus disajikan dalam proses pendidikan dalam suatu sistem instutional pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan Islam, terdapat komponen yang penting disebabkan kurikulum merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang sudah disusun secara rapi untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung komponen-komponen kurikulum yaitu:56 1. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagimana yang ingin kita bentuk dengan kurikulum tersebut. 2. Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktifitasaktifitas dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang disebut mata pelajaran.
56
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 153.
34
3. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan memotivasi murid membawa mereka kearah yang dikehendaki oleh kurikulum. 4. Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan kurikulum tersebut. b. Motode. Secara etimologi, metode dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tharîqah yang berarti langkah-langkah strategi yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka metode itu harus diwujudkan dalam proses pendidikan, dalam rangka mengembangkan sikap dan mental dan kepribadian agar peserta didik menerima pelajaran dengan mudah, efektif, dan dicerna dengan baik.57 Penggunaan metode dalam pendidikan Islam pada prinsinya adalah pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik dan mengajar. Hal ini mengingat bahwa sasaran pendidikan Islam itu adalah manusia yang telah memiliki kemampuan dasar untuk dikembangkan. Sikap kurang hatihati akan berakibat fatal sehingga mungkin saja kemampuan dasar yang telah dimiliki peserta didik itu tidak akan berkembang secara wajar.58
57 58
2005), 67.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 184. Al-Rashidîn dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Ciputat: PT. Ciputat Press,
35
Dibawah ini dikemukakan beberapa metode mengajar dalam pendidikan islam yang prinsip dasarnya pada al-Qur’an dan al-Hadits antara lain:59 1. Metode Ceramah. Adalah suatu cara penyajian atau penyampaian informasi malalui penuturan lisan oleh pendidik kepada peserta didik. Prinsip metode ini didalam al-Qur’an bisa dilihat dalam QS. Yunus: 23. 2. Metode Tanya Jawab. Ialah suatu cara mengajar, dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca, kemudian murid memberikan jawaban berdasarkan fakta. 3. Metode Diskusi. Adalah suatu cara penyajian/ penyampaian bahan pembelajaran dimana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membicarakan dan menganalisis secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat, atau membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah. Prinsip metode ini didalam al-Qur’an bisa dilihat dalam Q.S. Assafat 20-23. 4. Metode Pemberian Tugas. Adalah suatu mengajar dimana seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut diperiksa oleh guru dan murid mempertanggung
59
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 193-194.
36
jawabkannya. Prinsip dasar metode ini dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam surat al-Mudatstsir ayat 1-7. 5. Metode Kerja Kelompok. Adalah suatu cara mengajar dimana guru membagi murid-muridnya ke dalam kelompok belajar tertentu dan setiap kelompok diberi tugas-tugas tertentu dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Prinsip dasar metode ini diambil dalam alQur’an surat al-Qashash ayat 21. 6. Metode kisah. Ialah suatu cara mengajar dimana guru memberikan materi pembelajaran melalui kisah atau cerita. Prinsip dasar metode ini diambil dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 4. 7. Metode
Amtsâl.
Yaitu
suatu
cara
mengajar,
dimana
guru
menyampaikan materi pembelajaran dengan membuat/ melalui contoh atau perumpamaan. Prinsip dasar metode ini dapat dilihat dalam alQur’an surat al-Baqarâh ayat 17. 8. Metode Targhîb dan Tarhîb. Adalah cara mengajar dimana guru memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan dan hukuman terhadap keburukan agar peserta didik melakukan kebaikan dan menjahui keburukan. Prinsip dasar metode ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Bainah 7-8.60 c. Evaluasi.
60
Ibid., 196-197.
37
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mentalpsikologis dan spiritual-religius, karena manusia bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersifat religius, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.61
Adapun
jenis-jenis
penilaian
(evaluasi)
dalam
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:62 1. Penilaian formatif, yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik setelah menyelesaikan progam dalam suatu materi pokok pada suatu bidang tertentu. Aspek-aspek yang dinilai pada penilaian formatif ialah hasil kemajuan belajar peserta didik yang meliputi; pengetahuan, keterampilan, sikap terhadap materi ajar agama yang disajikan. 2. Penilaian sumatif, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik yang telah selesai mengikuti pembelajaran dalam satu catur wulan, semester, atau akhir tahun. Aspek-aspek yang dinalai ialah kemajuan hasil belajar meliputi pengetahuan, keterampilan, sikap penguasaan murid tentang materi pembelajaran yang diberikan.
61
M. Arifîn, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, 162. 62 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 227-228.
38
3. Penilaian Penempatan (placement), yaitu penilaian tentang pribadi peserta didik untuk kepentingan penempatan didalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Tujuan penilaian ini adalah untuk menempatkan peserta didik pada tempatnya yang sebenarnya berdasarkan bakat, minat, kemampuan, kesanggupan, serta keadaan diri peserta didik sehingga peserta didik tidak mengalami hambatan dalam mengikuti pelajaran atau setiap progam bahan yang disajikan guru. 4. Penilaian diagnostik, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keberadaan peserta didik baik kesulitan atau hambatan yang ditemui dalam proses yang ditemui dalam proses pembelajaran pada suatu bidang study atau keseluruhan progam pembelajaran. Secara umum, ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam. Pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengatahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik. Ketiga, dari segi ahli pikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir pendidikan Islam untuk mengetahui kelemahan teori-teori pendidikan Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori
39
pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah. Keempat, dari segi politik pengambil bijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (Islam).63 d. Manajemen. Manajemen dalam pendidikan butuh keseriusan yang tinggi, salah dalam pengelolaan ataupun perencanaan pendidikan akan berakibat pada amburadulnya pelaksanaan proses pendidikan. Dalam manajemen pendidikan
perlu
memperhatikan
hal-hal
seperti;
perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, penempatan pegawai, pengawasan yang baik, dengan demikian akan memperkuat pelaksanaan pendidikan Islam secara menyeluruh.64 e. Landasan Dasar. Mengenai landasan dasar dalam pelaksanaan pendidikan Islam selama ini mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadits. Akan tetapi secara konsitusional pendidikan Islam juga menggunakan UU pendidikan yang berlaku di negaranya. Sebagaimana di negara RI maka pendidikan Islam disamping berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadist maka pendidikan Islam juga mengacu pada UU Sisdiknas.
63 64
Al-Rashidîn dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 78. Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 135.
40
f. Mutu Pelajaran. Terkadang mutu pelajaran terabaikan, hanya karena memikirkan pembiayaan sekolah yang didalamnya termasuk gaji guru. Sehingga terkesan mutu pelajaran pendidikan Islam sama halnya kesenian yang cuma dipahami di kelas dan tidak pernah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam meningkatkan mutu pelajaran harus diimbangi dengan peningkatan mutu guru dalam penyampaian/proses pembelajaran. Sehingga dapat menghasilkan out put yang siap pakai dan dapat menjawab tantangan global.65 g. Keuangan. Masalah keuangan sangat rawan akan penyimpangan dalam penggunaannya. Ini terkait dengan pelaku yang menangani keuangan sekolah, untuk itu pihak sekolah harus benar-benar selektif dalam memilih pegawai yang mengurusi keuangan sekolah. Karena akhir-akhir ini marak dengan penyimpangan keuangan dengan penggunaan yang tidak jelas. Pengelolaan keuangan sekolah harus diiringi dengan manajemen sekolah yang sehat, sehingga dapat memberikan kontribusi pada kelancaran kegiatan sekolah. 66
F. Lingkungan Pendidikan dalam Pendidikan Islam
65 66
Ibid. Ibid., 136.
41
Menurut Sartain (seorang ahli spikologi Amerika) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan sekitar ialah meliputi semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia, pertumbuhan dan perkembangan kecuali gen-gen. dan bahkan gen-gen dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan bagi gen yang lain.67 Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan Islam, yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap anak didik. Lingkungan pendidikan adalah tanggung jawab siapa yang melaksanakan dalam pendidikan itu. Dalam pendidikan Islam lingkungan pendidikan terbagi atas tiga, yaitu:68 1. Lingkungan pendidikan di keluarga. Dalam proses pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum memperoleh bimbingan dari keluarganya. Dari kedua orang tua, terutama ibu, untuk pertama kali seorang anak mengelami pembentukan watak
(kepribadian)
dan
mendapatkan
pengarahan
moral.
Dalam
keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya, pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak pondasi dari watak dan pendidikan setelahnya. 2. Lingkungan pendidikan di sekolah.
67 68
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, 209. Basuki & M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 145.
42
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang sangat penting sesudah keluarga. Pada waktu anak-anak menginjak umur 6 atau 7 tahun perkembangan intelek, daya pikir telah meningkat sedemikian rupa, karena itu pada masa ini disebut masa keserasian bersekolah. Pada saat ini anak telah cukup matang belajar di sekolah. Ia telah mampu mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah seperti Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa, Olahraga, Ketrampilan, Agama dan sebagainya. Keluarga umumya tidak berkesempatan atau bahkan banyak yang tidak berkemampuan mengejarkan ilmu-ilmu tersebut. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah mereka menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada sekolah. Dan memang sekolah yang telah diatur dan sipersiapkan sedemikian rupa, mampu melaksanakan tugas-tugas diatas, tugas guru dari pemimpinpemimpin di sekolah disamping memberikan pendidikan dasar-dasar keilmuan juga pendidikan budi pekerti dan agama ini seharusnya merupakan lanjutnya atau setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan yang diberikan di dalam keluarga.69
3. Lingkungan pendidikan di masyarakat. Secara sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh satuan Negara, kebudayaan dan agama. Masyarakat dalam hal ini memberikan pengaruh yang besar terhadap 69
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, 213-214.
43
arah pendidikan, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasaan didalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setaiap anak dididik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga negara. Dengan
demikian,
dipundak
mereka
terpikul
keikutsertaan
membimbing perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin dan penguasaan
dari
masyarakat
ikut
bertanggung
jawab
terhadap
penyelenggaraan pendidikan sebab tanggung jawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial.70
70
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 44-45.
44
BAB III KONSEP HOMESCHOOLING
A. Pengertian Homeschooling. Homeschooling adalah istilah yang relatif baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan masyarakat awam banyak yang belum mengenal istilah ini. Istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut homeschooling antara lain school at home, home education, home-based learning, dan sebagainya. Dalam Bahasa Indonesia, istilah yang diperkenalkan oleh Departeman Pendidikan Nasional adalah sekolah rumah. Istilah ini juga digunakan oleh asosiasi yang bernama ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia).71 Dalam pengertian umum, homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua/keluarga di rumah atau tempat-tempat lain, di mana proses belajar mengajar dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.72 Ada juga yang memberikan pengertian bahwa homeschooling adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab 71
A. Abe Saputra, Rumahku Sekolahku (Yogyakarta: Graha Pustaka, 2007), 11. Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif (Jakarta: Sakura Pablishing, 2007), 5. 72
45
sendiri secara aktif atas pendidikan anak-anaknya dan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Yang dimaksud bertanggung jawab secara aktif di sini adalah keterlibatan penuh orang tua pada proses penyelenggaraan pendidikan, mulai dalam hal penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai (values) yang ingin dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan yang hendak diraih, kurikulum dan materi pembelajaran, hingga metode belajar serta praktik belajar keseharian anak-anak. 73 Pendidikan di rumah bukanlah sebuah hal yang baru. Sebelum ada pendidikan modern (sekolah) sebagaimana yang dikenal pada saat ini, pendidikan dilakukan berbasis rumah. Sistem magang adalah model pendidikan yang sangat dikenal oleh masyarakat. Demikian pula belajar otodidak yang sampai sekarang masih dilakukan. Selain itu, para bangsawan pada zaman dahulu bisa mengundang guru-guru privat untuk mengajar anak-anaknya. Itulah jejak homeschooling pada zaman dahulu.74 Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk memaksimalkan proses pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilainilai modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah 73
Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar (Jakarta: Elex Media Komputindo,
74
Ibid., 19.
2007), 4.
46
dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik anaknya secara sadar dan terencana.75 Walaupun sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan manfaat bagi kemanusiaan, namun proses pencarian pendidikan yang terbaik tidak pernah berhenti. Berbagai filsafat dan pemikiran terus lahir, serta berinteraksi dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat. Di Amerika Serikat, gelombang pertama homeschooling terjadi pada era 1960-an. Pada masa ini, muncul pemikiran bahwa anak-anak belajar baik jika tanpa instruksi sebagaiman di sekolah. Selain John Holt, inisiator lainnya pada masa itu adalah Raymond Moore, seorang psikolog perkembangan dan peneliti pendidikan. Pada akhir 1970-an, Holt menerbitkan surat kabar Growing Without School yang menjadi sistem pendukung homeschooling pada masa itu.76 Di Indonesia, belum ada penelitian secara khusus yang meneliti akar perkembangan homeschooling. Sebagai sebuah istilah, homeschooling atau sekolah rumah adalah istilah yang relatif baru dalam khasanah pendidikan di Indonesia. Tetapi kalau dirunut esensi dari filosofi, model dan praktek penyelenggaraannya, homeschooling bukanlah sebuah hal yang benar-benar baru. Dengan merunut konsep-konsep kunci homeschooling, kita mendapatkan bentukbentuk praktik homeschooling yang pernah ada di Indonesia. Salah satu konsep kunci dari homeschooling adalah pembelajaran yang tidak berlangsung melalui
75 76
Ibid., 20. A. Abe Saputra, Rumahku Sekolahku, 14-15.
47
institusi sekolah formal. Konsep ini membawa kita pada konsep yang lebih umum yaitu, belajar otodidak atau belajar mandiri. Dengan mengambil konsep-konsep kunci itu, kita dapat mendapat tokoh-tokoh di dalam sejarah Indonesia yang menempuh pembelajaran secara mandiri. Salah satu contoh yang sangat dikenal adalah KH. Agus Salim.77 K.H. Agus Salim yang tamatan HBS, enggan menyekolahkan anakanaknya di sekolah Belanda. Dia tidak ingin anak-anaknya terpengaruh pikiran dan kebudayaan penjajah. Saat menikahi Zaitun Nahar pada tahun 1912, K.H. Agus Salim meminta istrinya banyak membaca dan berdzikir karena ingin mendidik anak-anaknya sendiri.78 Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya. Banyak keluarga Indonesia yang belajar di luar negeri menyelenggarakan homeschooling untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Selain itu, ketidakpuasan terhadap kualitas pendidikan di sekolah formal juga menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga Indonesia untuk menyelenggarkan homeschooling yang dinilai lebih dapat mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang direncanakan oleh keluarga.79
77
Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, 24. Seto Mulyadi, Homeschooling Keluarga Kak Seto: Mudah, Murah, Meriah dan diretui Pemerintah (Bandung: Kaifa, 2007), 63. 79 Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, 25-26. 78
48
B. Tujuan Homeschooling. Menurut Ines Setiawan, tujuan homeschooling adalah sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 3, yang disebutkan bahwa tujuan pendidikan konvensional, atau lebih tepatnya (formal, informal dan nonformal) adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.80 Rumusan yang sama dikemukakan oleh Dr Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), saat keduanya tampil berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, 22 Juli 2007. Mereka menyatakan bahwa, tujuan homeschooling adalah agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.81 I’m competent because I do it myself. Motto benar-benar menjadi standar penerapan gaya belajar homeschooling. Karena setiap peserta homeschooling
80
Ines Setiawan, Tujuan berhomeschooling (online) http://www.sekolahrumah.com ./index . php? option=com_ conten& task=view&id=767&Itemid=71. Diakses tanggal 20 Maret 2008. 81 Lebih Jauh tentang Homeschooling, (online) http://usahamulia.net. Diakses Tanggal 20 Maret 2008.
49
memiliki kebabasan luar biasa untuk berkembang sesuai dengan kompetensinya. Tidak ada penyeragaman yang mematikan keunikan setiap peserta didik.82 Dengan mengacu pada tujuan di atas, maka bahwa belajar dalam konsep homeschooling itu adalah:83 1. Living (hidup). 2.
Make a living (berpenghasilan).
3. Contribute to life (sumbangsih besar/kecil untuk kehidupan). 4. For the afterlife (dunia akhirat).
C. Pendidik dalam Homeschooling. Homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua/keluarga di rumah atau tempat-tempat lain, di mana proses belajar mengajar dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.84 Sehingga dalam hal ini dapat dipahami bahwa, pendidik dalam homeschooling adalah orang tuanya sendiri. Orang tua disini ingin melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan bagi masa depan anak mereka. Orang tua ingin memberikan diri mereka, waktu mereka, dan sebagian hidup mereka serta mengembalikan otoritas dan peranan
82
Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 28. Ines Setiawan, Tujuan berhomeschooling, (online) http://www.sekolahrumah.com ./ index. php? option=com_ conten& task=view&id=767&Itemid=71. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 84 Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 5. 83
50
mereka dalam kehidupan anak mereka. Para orang tua juga merasa lebih nyaman dengan kelenturan waktu, bahan pelajaran, cara belajar, dan terutama keakraban yang terjalin didalam keluarga pada saat mereka mendidik anak mereka di rumah.85 Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama homeschooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada magang (internship), dan sebagainya. Sesuai dengan namanya, proses homeschooling memang berpusat di rumah. Tetapi, proses homschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orang tua homeschooler dapat menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya.86 Ada banyak alasan bagi orang tua yang memilih jalur pendidikan sekolah rumah (homeschooling) ini, di antaranya adalah: 87 1. Tidak puas dengan kualitas pendidikan di sekolah regular. 2. Sering berpindah-pindah atau melakukan perjalanan. 3. Merasa keamanan dan pergaulan sekolah tidak kondusif bagi perkembangan anak. 4. Menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan anak.
85
Loy Kho, Homeschooling Untuk Anak, Mengapa Tidak? (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 50-
86
Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 5. A. Abe Saputra, Rumahku Sekolahku, 16.
51). 87
51
5. Merasa sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau.
6. Anak-anak memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat dipenuhi di sekolah umum. 7. Sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga yang dipegangnya. 8. Merasa terpanggil untuk mendidik sendiri anaknya. Namun dalam hal ini, orang tua yang ingin menjalankan konsep pendidikan rumah harus memenuhi tiga syarat. Pertama, syarat akademis, yaitu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis, yaitu memiliki jiwa pendidik. Dan ketiga, harus memiliki syarat pedadogis, yaitu keahlian menularkan pengetahuan kepada orang lain. Selain itu, menurut Kepala Lab School di Rawangmangun, praktisi sekolah rumah juga harus memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.88
D. Peserta Didik dalam Homeschooling. Homeschooling
adalah model pendidikan di mana sebuah keluarga
memilih untuk bertanggung jawab sendiri secara aktif atas pendidikan anakanaknya dan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya.89 Sehingga dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa peserta didik dalam homeschooling adalah anak-anaknya sendiri dari keluarga yang menjalankan homeschooling. 88
Sekolah Rumah Siapa Mau Coba, (online) http://www.vhrmedia.net. Diakses Tanggal 4 Maret 2008. 89 Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 4.
52
Keuntungan besar bagi peserta didik dalam homeschooling adalah mereka “mendapatkan pelayanan pendidikan secara individual”.90 Sehingga tidak ada penyeragaman anak dalam proses pembelajaran homeshooling. Selain itu, dalam homeschooling, siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang akan dipelajarinya. Baik dengan sistem klasikal atau mempelajari semua materi berdasarkan jenjang pendidikan, atau sistem tematik yang artinya siswa mempelajari suatu pelajaran hingga tuntas. Semuanya bisa disesuaikan dengan kondisi dan minat siswa dengan tujuan agar mereka bisa menikmati proses belajar sesuai dengan selera dan target pemahaman dapat dicapai.91
E. Alat Pendidikan dalam Homeschooling. Secara umum peralatan pendidikan terbagi atas dua macam, yaitu peralatan pendidikan fisik dan peralatan pendidikan non fisik. Adapun peralatan fisik dalam homeschooling adalah sebagai berikut:92 1. Papan nama kelompok belajar. 2. Papan struktur organisasi penyelenggara. 3. Kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran yang meliputi: a. Buku induk peserta didik dan tenaga pendidik. b. Buku daftar hadir peserta didik dan tenaga pendidik.
90
Kompas. “homeschooling, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku”. Juli 2007, 6. Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 47. 92 Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 59. 91
53
c. Buku keuangan/kas umum. d. Buku daftar inventaris. e. Buku agenda pembelajaran. f. Buku laporan bulanan tenaga pendidik. g. Buku agenda surat masuk dan keluar. h. Buku daftar nilai peserta didik. i. Buku tanda terima ijazah. Sedangkan peralatan non fisik dalam homeschooling adalah: 1. Kurikulum dan Bahan Ajar. Untuk kurikulum yang digunakan, keluarga homeschooling dapat mengikuti kurikulum yang dibuat Diknas. Kurikulum ini dapat di-download secara gratis di situs www.puskur.net. Kurikulum yang ada di situs tersebut adalah kurikulum yang digunakan oleh sekolah formal.93 Bedanya hanya penyampaian saja. Jika di sekolah formal siswa dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ada, maka sekolah rumah kebalikannya. Dalam homeschooling, siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang akan dipelajarinya. Baik dengan sistem klasikal atau mempelajari semua materi berdasarkan jenjang pendidikan, atau sistem tematik yang artinya siswa mempelajari suatu pelajaran hingga tuntas. Semuanya bisa disesuaikan dengan kondisi dan minat siswa dengan tujuan
93
Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 78.
54
agar mereka bisa menikmati proses belajar sesuai dengan selera dan target pemahaman dapat dicapai.94 Selain menggunakan kurikulum Depdiknas, saat ini banyak tersedia paket-paket kurikulum luar negeri yang dapat dibeli melalui Internet. Penyedia layanan pendidikan di luar negeri tidak hanya menyediakan kurikulum, tetapi banyak di antara mereka juga sekaligus menyediakan layanan bahan pengajaran, tutorial, alat uji (test), dan berbagai layanan pendidikan lainnya. Keluarga homeschooling dapat membelinya secara terpisah atau dalam satu paket progam. 95 Untuk bahan pengajaran, keluarga homeschooling dapat menggunakan bahan pengajaran apa saja yang dimiliki. Keluarga homeschooling tidak terbebani untuk membeli sebuah buku tertentu dan berganti buku pelajaran setiap tahun. Pilihan buku tersedia luas, mulai membeli buku bekas atau buku baru, memakai buku lama atau buku baru. Atau, tidak menggunakan buku pelajaranpun tak menjadi masalah jika memang itu adalah metode yang paling sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Kreatifitas dan kematangan pertimbangan (judgement maturity) menjadi landasan untuk setiap keputusan keluarga homeschooling. Selain buku, keluarga homeschooling dapat menggunakan berbagai sarana yang ada untuk pembelajaran, baik barang cetakan (majalah,
94 95
Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 47. Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 78.
55
ensiklopedia, brosur), alat-alat audio (kaset, CD), audio visual (TV, VCD, film), Internet dan sebagainya. Selain itu, di Internet tersedia banyak sekali materi pengajaran (lembar kerja, ide pengajaran, aktivitas, ketrampilan, dan sebagainya) yang dapat diperoleh baik secara gratis maupun berlangganan.96 2. Pendekatan dan Metode. Banyak
metode
pendidikan
yang
dapat
diterapkan
untuk
homeschooling. Pilihlah metode harus disesuaikan dengan gaya belajar anakanak. Metode homeschooling sangat beragam, mulai yang sangat tidak terstruktur (unschooling) hingga yang sangat terstruktur (school at home). Unschooling adalah membiarkan anak-anak belajar apa saja sesuai minatnya dan orang tua tinggal memfasilitasinya. School at home adalah model belajar seperti sekolah reguler, dengan menggunakan buku pegangan seperti sekolah, hanya saja belajarnya dilaksanakan di rumah.97 Di antara dua metode itu, ada banyak sekali metode belajar yang dapat diterapkan dalam homeschooling:98 a. School at Home. School at home adalah model pendidikan yang serupa dengan yang diselenggarakan disekolah. Hanya saja, tempatnya tidak di sekolah, tetapi
96
Ibid., 79. Sumardiono. Mulai Homeschooling (online) http: //www.sumardiono.com/index.Php? option= com.content & task=view &id=338&Itemid+84. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 98 Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 33. 97
56
di rumah. Metode ini juga disebut textbook approach, tradicional approach, atau school approach. b. Unit Studies. Unit Studies adalah model pendidikan yang berbasis pada tema (unit study). Pendekatan ini banyak dipakai oleh orang tua homeschooling. Dalam pendekatan ini, siswa tidak belajar satu mata pelajaran tertentu (matematika, IPA, IPS), tetapi mempelajari banyak pelajaran sekaligus melalui sebuah tema yang dipelajari. Metode ini berkembang atas pemikiran bahwa proses belajar seharusnya terintegrasi (integrated), bukan terpecah-pecah (segmented). c. Charlotte Mason atau the Living Books Approach. The living books approach adalah model pendidikan melalui pengalaman dunia nyata. Metode ini dikembangkan oleh Charlotte Mason. Pendekatannya dengan mengajarkan kebiasaan baik (good habit), keterampilan dasar (membaca, menulis, matematika), serta mengekspos anak dengan pengalaman nyata, seperti berjalan-jalan, mengunjungi musium, berbelanja ke pasar, mencari informasi di perpustakaan, menghadiri pameran, dan sebagainya.99 d. Classical Approach. The
classical
approach
adalah
model
pendidikan
yang
dikembangkan sejak abad pertengahan. Pendekatan ini menggunakan 99
Ibid., 34.
57
kurikulum yang distrukturkan berdasarkan tiga tahap perkembangan anak yang disebut trivium. Penekanan metode ini adalah kemampuan ekspresi verbal dan tertulis. Pendekatannya berbasis teks/literatur (bukan gambar/ image). e. Waldorf Approach. The
waldorf
approach
adalah
model
pendidikan
yang
dikembangkan oleh Rudolph Steiner, banyak diterapakan di sekolahsekolah alternatif Waldorf di Amerika Serikat. Karena Steiner berusaha menciptakan setting sekolah yang mirip keadaan rumah, metodenya mudah diadaptasi oleh homeschooling.100 f. Montessori. Metode ini dinamai berdasarkan nama founder-nya, Maria Montessori, seorang psikolog dari Italia, yang menemukan sebuah metode yang membuat anak-anak supaya dapat belajar dan mengajari diri mereka sendiri. Inti metode ini adalah supaya anak-anak dapat mencari ilmu pengetahuan sendiri. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan pendidikan yang selama ini ditemui di lingkungan kita, di mana seorang anak memperoleh sebuah pengetahuan tentang sesuatu hal dari seorang guru. Metodenya pun tidak mengajarkan mereka tentang bagaimana sebenarnya ilmu tersebut, tapi lebih sekedar direct transfer tanpa pernah 100
Ibid., 35.
58
ada pembelajaran yang akan membuat si anak tergugah untuk menggali pengetahuan
itu
menjadi
lebih
dalam.
"You don’t teach the kids calculus or the law of gravity, you teach them how to teach themselves", demikian menurut Montessori . Metode ini memungkinkan anak-anak untuk bagaimana supaya belajar secara mandiri dengan memanfaatkan kelima inderanya dengan optimal. Proses belajar bagi mereka pada akhirnya adalah sebuah proses inovasi, penyelidikan, serta kegiatan yang mereka cintai serta dikerjakan dengan sepenuh hati.101 g. Unschooling atau natural learning. Unschooling adalah berangkat dari keyakinan bahwa anak-anak memiliki keinginan natural untuk belajar. Jika keinginan itu difasilitasi dan dikenalkan dengan pengalaman di dunia nyata, mereka akan belajar lebih banyak daripada melalui metode lainnya. Unschooling tidak berangkat dari textbook, tetapi dari minat anak yang difasilitasi. h. Eclectic Method. Eclectic method memberikan kesempatan pada keluarga untuk mendesain sendiri progam homeschooling yang sesuai, dengan memilih atau menggabungkan dari sistem yang ada.102
101
Abu Izza, Homeschooling Dengan Metode http://www.wintersat.com. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. 102 Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 36.
Montessori,
(online)
59
3. Ujian Kesetaraan. Ujian kesetaraan bagi keluarga homeschooling bersifat pilihan (optional). Jika keluarga homeschooling ingin agar hasil pendidikannya dapat dintegrasikan dengan Sistem Pendidikan Nasional, siswa homeschooling harus mengikuti ujian kesetaraan. Jika keluarga homeschooling ingin mengikuti ujian kesetaraan, keluarga harus mengintegrasikan kurikulum dan bahan-bahan pelajaran yang diujikan dalam ujian kesetaraan ke dalam progam homeschooling yang dilaksanakan.103 Ujian kesetaraan di dalam Sistem Pendidikan Nasional berfungsi sebagai alat ukur dan bukti formal pencapaian prestasi siswa pada jenjang pendidikan
tertentu.
Dengan
menempuh
ujian
kesetaraan,
siswa
homeschooling memiliki alat bukti formal jika akan beralih ke pendidikan formal (sekolah umum). Hasil dari ujian kesetaraan juga dapat dipergunakan sebagai pengganti ijazah formal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih (misalnya perguruan tinggi) atau memasuki dunia kerja.104 Sistem penilaian pendidikan kesetaraan dapat dilakukan dengan;105 a. Penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul.
103
Ibid., 73. Ibid., 68-69. 105 Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 55. 104
60
b. Penilaian formatif oleh tutor melalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio dalam proses tutorial. c. Penilaian per semester. d. Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Ujian Nasional diselenggarakan selama 2 kali setahun, yaitu periode pertama pada bulan April dan Mei, kemudian periode kedua pada bulan Oktober. Penyesuaian jadwal ujian dapat dapat dilakukan bila pada bulan tersebut bertepatan dengan bulan Ramadhan. Peserta Ujian Nasional adalah warga belajar pada progam Paket A, B, dan C dengan persyaratan administrasi sebagai berikut:106 a. Terdaftar pada Kelompok Belajar dan tercatat pada buku induk. b. Memiliki STTB/Ijazah/Surat Keterangan yang berpenghargaan sama dengan STTB dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, dengan tahun penerbitan sekurang-kurangnya dua tahun sebelum mengikuti Ujian Nasional. c. Duduk di kelas VI untuk paket B, kelas III untuk Paket C, serta telah menyelesaikan seluruh modul pembelajaran yang harus dipelajari pada masing-masing progam atau telah menyelesaikan seluruh progam pada SD/MI, SMP/ MTS atau SMA/MA atau sederajat disertai bukti berupa hasil penilaian berupa rapor. 106
Ibid., 56-57.
61
d. Pada saat ujian telah berumur sekurang-kurangnya 12 tahun untuk Paket A, 15 tahun untuk Paket B, dan 18 tahun untuk Paket C. Untuk pelaksanaan Ujian Kesetaraan, Depdiknas membuat petunjuk pelaksanaan Ujian Kesetaraan tersebut. Mata pelajaran yang diujikan pada setiap jenjang pendidikan adalah:107 a. Materi pelajaran Paket A (5 jenis) meliputi mata pelajaran: PPKn, Metematika, IPS, Bahasa Indonesia, dan IPA. b. Materi pelajaran Paket B (6 jenis) meliputi mata pelajaran: PPKn, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA. c. Materi pelajaran Paket C (6 jenis) IPS meliputi mata pelajaran: PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia, Ekonomi. d. Materi pelajaran Paket C IPA (6 jenis) meliputi mata pelajaran: PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika, Matematika. e. Materi pelajaran Paket C Bahasa (6 jenis) meliputi mata pelajaran: PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Bahasa Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia, Bahasa asing pilihan. Nilai minimal kelulusan secara akumulatif dari seluruh mata pelajaran yang diujikan tanpa ada nilai kurang dari 3, 01 pada setiap mata ujian adalah:
107
Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 72.
62
a. Paket A: 22.5. b. Paket B: 28.5. c. Paket C IPS: 28.5. d. Paket C IPA: 33.25 4. Portofolio. Konsep homeschooling dengan segala keunikannya bagi sebagaian orang akan terkesan sangat asing. Salah satunya tentang ketiadaan rapor. Bagi sebagian orang tua, rapor sebagai parameter perkembangan studi anak tertentu menjadi sangat penting. Dalam tradisi homeschooling, sebagian besar pesertanya memiliki portofolio yang berfungsi sebagai rapor. 108 Portofolio ini bisa diibaratkan seperti “learning journey scrapbook” dari homeschooler. Perjalanan belajar dari homeschooler terekam disana, kelebihan dan kekurangan homeschooler, kehebatan dan kesalahannya, kemajuan dan kemundurannya. Pada jenjang pendidikan dasar, portofolio selain berfungsi sebagai buku kenangan, juga berfungsi untuk menginventarisasi proses belajar mengajar homeschooler untuk kepentingan internal orang tua atau untuk kepentingan eksternal, misalnya pindah ke sekolah biasa, atau barang kali untuk kebutuhan pelaporan pada instansi tertentu (di Indonesia belum ada aturan khusus). Pada jenjang yang lebih tinggi, portofolio ini kan lebih berbentuk seperti curriculum Vitae (CV) dari homeschooler. Biasanya 108
Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 88.
63
beberapa universitas ada yang mensyaratkan adanya portofolio ini selain hasil ujian berstandar dari lembaga independen dan placement test. 109 Karena setiap homeschooler memiliki karakteristik yang berbeda, isi portofolio juga sangat bervariasi. Beberapa poin yang biasanya ada dalam portofolio antar lain sebagai berikut:110 a. Lembar kerja homeschooler (beberapa sampel atau keseluruhan). b. Daftar buku yang telah dibaca. c. Daftar majalah/koran yang dibaca secara regular. d. Daftar software/CD/DVD/Video yang pernah dipakai sebagai media belajar. e. Kegiatan hands on yang pernah dilakukan (dokumentasi dan raport). f. Proyek yang pernah dibuat (dokumentasi dan raport). g. Field trip yang pernah dilakukan (dokumentasi dan raport). h. Buku/ karangan/essai/puisi yang pernah ditulis. i. Hasil karya seni/keterampilan. j. Rekaman audio/video: kemampuan vokal, musik yang pernah dimainkan, lagu yang pernah dikarang, kemampuan membaca berita, membaca pusi, mengisi suara, menjadi penyiar/reporter, bercerita, bermain drama, olah gerak, dan lain-lain.
109 110
Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 53. Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 89.
64
k. Klub yang diikuti: misalnya sepakbola, menari, musik, drama, bahasa, dan lain sebagainya. l. Kursus yang pernah diikuti: misalnya memasak, menjahit, distance learning chemistry course, rainforest course, menyelam, dan lain-lain. m. Penghargaan yang pernah diperoleh. n. Organisasi tempat homeschooler terlibat. o. Kerja praktik: nama perusahaan/ badan, lama kerja, deskripsi pekerjaan. p. Kewirausahaan: berjualan/berdagang, baby sitting, penitipan binatang peliharaan, mencuci mobil, berternak ikan hias, dan lain-lain. q. Kerja sosial (community service): pernah membantu di penjara, panti asuhan, ikut kegiatan kebersihan lingkungan, menggalang dana, dan lain sebagainya. 5. Keuangan. Seperti halnya sekolah formal, pada realisasinya agar proses pendidikan
bagi
para
homeschooler
bisa
berlangsung
secara
berkesinambungan, terarah dan sesuai dengan kurikulum yang ada, homeschoolingpun harus memiliki administrasi keuangan yang rapi. Sebagai contoh, pada komunitas homeschooling Berkemas. Pada administrasi keuangannya terdapt biaya-biaya yang secara sederhana menjadi dua bagian yaitu pemasukan dan pengeluaran, dengan rincian:111
111
Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 56.
65
a. Pemasukan; biaya pendaftaran, SPP (sumbangan sukarela), uang ujian, dan biaya pembuatan rapor. b. Pengeluaran; pendataan siswa keDepdiknas, pembuatan soal, koreksi soal, pembelian buku rapor, biaya operasional, dan legalisasi. 6. Landasan Dasar. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat 1) menyebutkan: “kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: “hasil pendidikan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.112 Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa, penyelenggaraan homeschooling memiliki basis legal yang kuat dan merupakan salah satu kekayaan keberagaman model pendidikan yang berjalan di masyarakat.
F. Lingkungan Pendidikan dalam Homeschooling. Sesuai dengan namanya homeschooling, sehingga proses pembelajaran berpusat di rumah. Tetapi, proses homschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orang tua homeschooler pada umumnya
112
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. 2006, 19-20.
66
menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya.113 Untuk melakukan pendidikan dan pengayaan (enrichment), keluarga homeschooling juga memanfaatkan semua infrastruktur dan sarana yang ada dimasyarakat seperti halnya fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), maupun fasilitas bisnis )mall, pameran, restoran, pabrik, sawah dan perkebunan.114 Dengan demikian dapat dipahami bahwa, lingkungan pendidikan dalam homeschooling adalah di keluarga dan di masyarakat.
113 114
Sumardiono, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, 5. Ibid., 6.
67
BAB IV ANALISA RELEVANSI KONSEP HOMESCHOOLING DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Analisa Relevansi Tujuan Homeschooling dengan Tujuan Pendidikan Islam. Pemaknaan pendidikan Islam pada umumnya mengacu pada term altarbiyah.115 Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan itu adalah proses menumbuhkembangkan potensi bawaan seseorang, baik potensi fisik, akal maupun akhlak.116 Sehingga, tujuan pendidikan Islam dapat dipahami sebagai upaya menumbuhkembangkan segenap potensi pembawaan dan kelengkapan dasar anak secara bertahap sampai pada titik kesempurnaannya,117 untuk mewujudkan sosok insân kâmil sesuai dengan ajaran Islam.118 Sedangkan
dalam
homeschooling
tujuan
pendidikan
adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
115
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, ( Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 25. 116 Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Keluarga) (Solo: Bulakas, 2006), 18. 117 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, 20. 118 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 41.
68
jawab.119 Atau dalam pengertian lain yaitu mengembangkan potensi anak yang unik secara maksimal.120 Sehingga antara tujuan homescholing dengan tujuan pendidikan Islam memiliki relevansi yang jelas. Dari aspek tujuan pendidikan di atas sangatlah jelas bahwa dalam homeschooling maupun pendidikan Islam, pengembangan kompetensi peserta didik menjadi hal yang sangat diprioritaskan dalam setiap kegiatan pendidikan. Pendidikan yang berorientasi pada pengembangan kompetensi peserta didik adalah sebagai pilihan yang tepat, karena dengan mengembangkan kompetensi peserta didik nantinya dapat dijadikan sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan setiap problema hidup dan kehidupan. Memberikan pendidikan sesuai dengan karakter atau kompetensi peserta didik merupakan usuha jitu untuk memberikan ruang bagi pengembangan imajinasi mereka. Ketika setiap anak mendapatkan pendidikan sesuai dengan karakter mereka, maka kemampuan dasar atau fitrah yang dimiliki akan berkembang. Sehingga percuma saja ketika anak dilibatkan dalam sebuah aktivitas belajar yang padat seperti halnya disekolah tanpa menikmati aktivitas tersebut. Anak-anak akan merasa terjebak dalam situasi tanpa pilihan ketika mereka harus mengikuti konsep belajar standar tanpa bisa berimprovisasi.
119
Ines Setiawan Tujuan berhomeschooling, (online) http://www.sekolahrumah.com ./ ind ex. php? option=com_ conten& task=view&id=767&Itemid=71. Diakses tanggal 20 Maret 2008. 120 Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif (Jakarta: Sakura Pablishing, 2007), 5.
69
Maka dari itu, kita harus merubah paradigma bahwa pendidikan adalah memasukkan beragam informasi atau pelajaran kepada peserta didik, melainkan memaknai pendidikan sebagai pemberdayaan potensi-potensi unggul yang dimiliki oleh setiap peserta didik yang saling berbeda. Karena memang pikiran bukanlah bejana yang harus diisi, melainkan api yang harus dinyalakan. Sehingga dalam hal ini kita perlu memfungsikan kembali pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik dalam menghadapi perannya di masa mendatang. Dengan hal tersebut, anak akan dapat hidup dalam situasi dan kondisi apapun tanpa harus menggantungkan hidup kepada orang lain.
B. Analisa Relevansi Pendidik dalam Homeschooling dengan Pendidik dalam Pendidikan Islam Pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik dengan nilai-nilai ajaran Islam.121 Sehingga kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya, baik itu di rumah, sekolah dan masyarakat. Berawal dari sebuah
121
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 41-42.
70
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, yang termasuk kedalam pendidik itu bisa kedua orang tua, guru, tokoh masyarakat dan sebagainya.122 Sedangkan dalam homeschooling, pendidik disini adalah para orang tuanya sendiri.123 Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama homescooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada magang (internship), dan sebagainya.124 Dengan demikian, pendidik dalam homeschooling mempunyai relevansi dengan pendidik dalam pendidikan Islam. Hal ini didasarkan pada sebuah paradigma bahwa selain guru, orang tua juga merupakan seorang pendidik. Karena boleh dikatakan bahwa, sebenarnya tanggung jawab utama dalam pelaksanaan pendidikan adalah orang tuanya sendiri. Karena keterbatasan orang tua terhadap akses pendidikan, maka para orang tua melimpahkan anaknya kesekolah atau lembaga-lembaga lain yang memberikan jasa layanan pendidikan. Tanggung jawab keluarga atau orang tua dalam memikul pendidikan bagi anaknya diisyaratkan dalam al-Qur’an:
َ> َر ُةwx ِ 7ْ س وَا ُ >5?7ْ ُدهَ> اz1ُ َ>رًا َوF ْ]Wُ Gْ [ِ ]ْ َوَأ ْهWُ s َ Cُ Fْ ْا َأz1ُ ْاz?ُ 9َ d 8 َ qْ <ِ 75َ> اAq; `َأq ن َ ْو6ُ 9َ ْeqُ >َ9 ن َ ْz[ُ{َ Cْ qَ ُه]ْ َو6َ 9َ َ` َأ9 | َ نا َ ْz} ُ {ْ qَ ~َ ٌَاد ِ ظ ٌY َ ِ ٌ4Wَ Xِ َ9 >َAGْ [َ \ َ (٦:]q6xh7)ا Artinya:
122
Basuki & M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), 78. 123 Yayah Komariah, Homeschooling Trend Baru Sekolah Alternatif, 5. 124 Ibid., 5.
71
“Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ”.125 (QS. al-Tahrîm: 6). Ayat di atas memberikan gambaran bahwa seyogianya, pendidikan harus diawali dari lembaga yang paling kecil, yaitu diri sendiri dan keluarga. karena keluarga merupakan tempat pertama, di mana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Seorang akan menjadi warga masyarakat yang baik, bergantung pada sifatnya yang tumbuh dalam kehidupan keluarga di mana anak dibesarkan. Orang tua secara fitrah memang sangat berpotensi untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Ibu terutama memiliki interaksi kuat dengan anak, karena dialah orang yang pertama kali menjalin interaksi, memahami dan selalu mengikuti seluruh aspek tumbuh kembang anak tanpa ada yang terlewatkan. Oleh karena itu, kesadaran bahwa orang tua merupakan orang pertama yang seharusnya memainkan
fungsi
sentral
mendidik
anak-anak
sangan
penting
untuk
dimunculkan. Kesadaran tersebut tidak berhenti pada tataran idealias saja, namun harus berkembang menjadi aktivitas riil untuk mendapingi anak-anak dalam proses belajar mereka. Maka dari itu, penulis disini menyimpulkan bahwa, homeschooling adalah sebuah konsep pendidikan yang memberikan kesempatan bagi orang tua, untuk menunaikan peran dan tugasnya dalam memberikan pendidikan bagi anaknya secara optimal, yang nantinya akan dituntut pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. 125
Al-Qur’an, 66: 6.
72
C. Analisa Relevansi Peserta Didik dalam
Homeschooling dengan Peserta
Didik dalam Pendidikan Islam. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik.126 Sedangkan dalam homeschooling peserta didik adalah anak-anaknya sendiri dari keluarga yang menjalankan homeschooling.127 Keuntungan besar bagi peserta didik dalam homeschooling adalah mereka “mendapatkan pelayanan pendidikan secara individual”.128 Sehingga
setiap peserta didik dalam
homeschooling memiliki kebabasan luar biasa untuk berkembang sesuai dengan kompetensinya, karena tidak ada penyeragaman yang mematikan keunikan setiap peserta didik.129 Dengan mengacu pada data di atas, penulis disini dapat menggaris bawahi bahwa, dalam homeschooling maupun pendidikan Islam peserta pendidik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memiliki kemampun dasar yang
126 127
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 47 Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2007), 4. 128 129
Kompas. “homeschooling, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku”. Juli 2007, 6. Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling (Bandung: Progressio. 2007), 28.
73
perlu dikembangkan. Sehingga paradigma peserta didik dalam homeschooling maupun pendidikan Islam memiliki relevansi yang sangat jelas. Dengan menggunakan pendekatan school at home peserta didik dalam Homeschooling sebenarnya lebih mudah untuk mengembangkan kompetensinya tersebut. Hal ini didasarkan pada keluwesan dalam proses pembelajaran, sehingga anak-anak dapat menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban yang terkondisi oleh tarjet kurikulum. Selain itu, bimbingan dan layanan pengajaran yang dilakukan secara individual dalam proses pembelajaran, akan lebih bermakna karena terintegrasi dengan aktivitas sehari-hari. Lebih dari itu, waktunya pun lebih fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kesiapan anak dan orang tua.
D. Analisa Relevansi Alat Pendidikan
dalam Homeschooling dengan Alat
Pendidikan dalam Pendidikan Islam. Dalam konteks pendidikan Islam perlatan pendidikan adalah semua yang digunakan oleh guru dan murid dalam proses pendidikan.130 Adapun peralatan dalam pendidikan Islam terbagi atas dua macam yaitu, peralatan yang bersifat fisik dan non fisik.131 Sedangkan dalam homeschooling dari data yang ada tidak ada istilah yang menegaskan tentang peralatan pendidikan. Namun jika merunut esensi dan substansi dari peralatan pendidikan tersebut, maka ditemukan data
130 131
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 200), 90. Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 133.
74
papan nama kelompok belajar, papan struktur organisasi penyelenggara, kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran. Dan juga kurikulum, bahan ajar serta ujian kesetaraan. Sehinggga dapat dipahami bahwa, dalam pendidikan Islam maupun homeschooling memiliki alat pendidikan secara fisik maupun non fisik untuk mencapai tujuan pendidikan. Namun disini penulis perlu memberikan analisa pada setiap aspek. sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang relevansi alat pendidikan dalam homescholing maupun pendidikan Islam. 1. Analisa relevansi peralatan fisik dalam homeshooling dengan peralatan fisik dalam pendidikan Islam. Peralatan fisik dalam homeschooling adalah papan nama kelompok belajar, papan struktur organisasi penyelenggara. kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran yang meliputi: buku induk peserta didik dan tenaga pendidik, buku daftar hadir peserta didik dan tenaga pendidik. Buku keuangan/kas umum, buku daftar inventaris, buku agenda pembelajaran, buku laporan bulanan tenaga pendidik.buku agenda surat masuk dan keluar, buku daftar nilai peserta didik.132 Sedangkan dalam pendidikan Islam sarana fisik terbagi atas lembaga pendidikan dan media pendidikan.133 Secara positivistik berdasarkan data diatas, peralatan fisik dalam homeschooling dengan pendidikan Islam tidak memiliki kesamaan. Tetapi
132 133
Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 59. Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 133-134.
75
kalau merujuk pada tujuan penggunaan peralatan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, maka secara tidak langsung memiliki kesamaan. Karena, peralatan yang bersifat fisik dalam pendidikan tidaklah harus sama, hal ini didasarkan pada perbedaan situasi dan kondisi pada sebuah lembaga pendidikan tersebut. 2. Analisa peralatan non fisik dalam homeshooling dengan peralatan non fisik dalam pendidikan Islam. a. Analisa relevansi kurikulum dalam homeschooling dengan kurikulum dalam pendidikan Islam. Kurikulum merupakan bahan-bahan pelajaran apa saja yang harus disajikan dalam proses pendidikan dalam suatu sistem instutional pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan Islam terdapat komponen yang penting disebabkan kurikulum merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang sudah disusun secara rapi untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam.134 Untuk kurikulum yang digunakan, keluarga homeschooling dapat mengikuti kurikulum yang dibuat Diknas. Kurikulum ini dapat didownload secara gratis di situs www.puskur.net. Kurikulum yang ada di situs tersebut adalah kurikulum yang digunakan oleh sekolah formal.135 Sehingga dalam hal ini kurikulum adalah sesuatu yang sangat vital dalam
134 135
Ibid., 18. Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, 78.
76
setiap kegiatan pendidikan baik itu homeschooling maupun pendidikan Islam untuk mengembangkan potensi peserta didik. Hanya saja kurikulum homeschooling memiliki keunikan tersendiri dari pada kurikulum pendidikan Islam. Dalam homeschooling para orang tua dapat memilih
kurikulum yang mereka inginkan. Mereka dapat
memilih kurikulum lokal, nasional, maupun internasional sebagai acuan proses penbelajarannya. Tinggal kompetensi atau kemampuan apa yang ingin dikembangkan orang tua terhadap anaknya. Namun dalam hal ini kurikulum yang banyak dipakai oleh para orang tua homeschooling adalah kurikulum Diknas yang biasanya dipakai di sekolah umum. Dengan menggunakan pendekatan school at home, para orang tua dapat memberikan materi-materi yang sama di sekolah umum. Hanya saja diintegrasikan dalam lingkup rumah. Keuntungan yang dimiliki dalam pemilihan kurikulum ini adalah dapat terlaksananya pembelajaran individual. Karena kita ketahui bahwa dengan pembelajaran individual tersebut para orang tua akan mengetahui sejauh mana penyerapan materi pelajaran oleh anaknya. Selain itu anakanaknya juga dapat menguasai pelajaran apapun secara komperhensif dan mendalam. b. Metode. Dalam konsep pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi
77
sarana dalam menyampaikan materi-materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan Selain itu, pendidikan Islam juga mengakui kebenaran adanya fitrah sebagai kemampuan dasar yang dikaruniai Allah dalam setiap diri manusia. Sehingga fitrah tersebut merupakan potensi yang harus dikembangkan melalui proses kependidikan dengan metode yang tepat guna, berdayaguna, dan berhasil guna. Adapun motode yang digunakan dalam pendidikan Islam antara lain: metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, amtsal, targhîb wa tarhîb, metode hiwar dan lain lain. 136 Sedangkan dalam homeschooling, banyak metode pendidikan yang dapat diterapkan. Metode homeschooling sangat beragam, mulai yang sangat tidak terstruktur (unschooling) hingga yang sangat terstruktur (school at home). Hanya saja, pilihan tersebut metode harus disesuaikan dengan gaya belajar anak-anak.137 Dari data tersebut dapat dipahami bahwa, secara abstrak metode yang dipakai dalam homeschooling tidak sama dengan metode dalam pendidikan Islam. Namun jika kita merujuk pada filosofi metode adalah suatu cara untuk memudahkan dalam menyampaikan materi, maka hal ini 136
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 193-194. Sumardiono. Mulai Homeschooling http: //www.sumardiono.com/index. php?option= com. content & task =view &id=338&Itemid+84. Diakses tanggal 20 Maret 2008. 137
78
kesamaan. Yaitu, apapun metode yang dipakai dalam homeschooling maupun dalam pendidikan Islam, harus sesuai dengan karakter yang dimiliki anak. Hal ini memang sangat tepat, karena mamang setiap anak itu mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Ada yang mempunya gaya belajar audio visual, visual dan juga kinestetik. Sehingga sangat keliru sekali ada sebuah pembelajaran yang menyeragamkan anak seperti halnya di sekolah. Karena, seorang anak yang memiliki gaya belajar kinestetik biasanya akan cenderung ramai, dan tidak mau duduk tenang di kelas. Sehingga apabila seorang guru yang tidak sabar atau memiliki disiplin ketat akan dengan mudah melebelkan anak seperti ini sebagai anak yang mengidap ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Sedangkan anak yang berkarakter pendiam, pemalu, bosan berada dalam ruang kelas dan cenderung menerawangkan pikirannya pada hal-hal yang menarik minatnya akan diberi label autistik. Maka dari itu kita harus merefleksi ulang sistem pembelajaran yang diterapkan oleh guru pada saat ini. Karena apabila seorang guru atau orang tua yang memegang peranan penting dalam pendidikan salah dalam memilih metode maka hal ini akan berakibat fatal. Karena proses pembelajaran bukanlah datang, duduk, dengar, dan pulang, melainkan bagaiman kompetensi unik yang dimiliki oleh peserta didik dapat berkembang secara maksimal.
79
c. Evaluasi. Dalam setiap kegiatan pendidikan, evaluasi memiliki peranan yang sangat urgen untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan proses pendidikan tersebut. Sangatlah mustahil pengembangan kompetensi peserta didik yang dibentuk melalui proses tersebut dapat diketahui oleh pendidik tanpa melalui evaluasi. Dalam pendidikan Islam, proses evaluasi yang digunakan adalah penilaian formatif, sumatif, diagnostik dan penilaian penempatan.138 Sedangkan dalam homeschooling evaluasi yang digunakan adalah ujian kesetaraan. Sistem penilaian pendidikan kesetaraan dapat dilakukan dengan penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul, penilaian formatif oleh tutor melalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio dalam proses tutorial dan penilaian per semester.139 Sehingga,
tekhnik
evaluasi
dalam
homeschooling
maupun
pendidikan Islam memiliki kesamaan, yaitu menggunakan tekhnik penilaian formatif dan sumatif dalam tekhnik pelaksanaannya. Namun yang membedakannya adalah tekhnik penilaian tersebut terintegrasi dalam ujian kesetaraan homeschooling. Karena dalam pendidikan Islam tidak menggunakan tekhnik tersebut.
138 139
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 227-228. Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, 55.
80
Namun yang perlu dicermati disini adalah proses evaluasi yang dilakukan dalam homeschooling, karena dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Disinilah kejujuran orang tua dan anak dituntut. Karena memang selama ini banyak orang tua yang tidak rela apabila anaknya mendapatkan nilai jelek. Namun justru sebaliknya inilah sebenarnya proses pendidikan yang benar. Karena apaun nilai yang diperoleh itu merupakan hasil yang telah dicapai sorang anak, sehingga nantinya dapat sebagai wahan ishlâh dalam proses pendidikan yang lebih baik. Sehingga proses evaluasi yang dilakukan bukan hanya sekedar formalitas saja. Hal ini memang selaras dengan fungsi evaluasi dalam pendidikan Islam.
Yaitu,
evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat
mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik. Sehingga proses pendidikan benar-benar berjalan sesuai dengan kebutuhan kondisi anak.140 d. Portofolio. Dari data yang diperoleh diatas,
penggunaan portofolio hanya
berlaku dalam homeschooling, karena dalam pendidikan Islam tidak menggunakan portofolio melainkan menggunakan rapor seperti halnya yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan Islam sekarang ini.
140
78.
Rashidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005),
81
Disinilah salah satu keunikan homeschooling, Karena, baisanya rapor adalah menjadi ukuran barometer keberhasilan anak dalam menjalani pendidikan. Namun sebanarnya hal itu belum tentu benar, karena siswa cenderung untuk melakukan hal-hal yang kurang baik untuk mendapatkan nilai bagus tersebut, sehingga menyampingkan proses dalam sebuah pembelajaran. e. Keuangan. Keuangan adalah sesuatu yang sangat fital bagi terlaksananya pendidikan
Islam
dan
homeschooling,
meskipun
homeschooling
merupakan sebuah konsep pendidikan yang dilakukan oleh orang tua, hal ini tetap memerlukan pendanaan untuk mendaftarkan ke DepDiknas, dan juga untuk mendaftarkan ujian kesetaraan. f. Landasar dasar. Mengenai landasan dasar dalam pelaksanaan pendidikan Islam selama ini mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadits. Selain itu pendidikan Islam juga mengacu pada undang-undang yang berlaku di negaranya.141 Sedangkan dalam homeschooling dasar yang dipakai adalah UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat 1 dan 2.142
141
Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 136. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, 19-20. 142
82
Dari aspek landasan dasar dalam homeschooling maupun pendidikan Islam secara keseluruhan memang tidak memiliki relevansi, hal ini dikarenakan pendidikan Islam tersusun dan dikembangkan berdasarkan
al-Qur’an
dan
al-Hadits,
sedangkan
homeschooling
merupakan konsep pendidikan yang berasal dari barat yang merupakan notabennya bukan Islam. Namun selain menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai lan dasan dasar pendidikannya, Pendidikan Islam juga mengacu pada aturanaturan yang berlaku dalam Suatu negara, disinilah aspek relevansi dasar pendidikan Islam dengan dasar homeschooling.
E. Analisa Relevansi Lingkungan Pendidikan dalam Homeschooling dengan Lingkungan Pendidikan dalam Pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam, lingkungan pendidikan terdapat tiga kategori yaitu; lingkungan pendidikan dikeluarga, lingkungan pendidikan disekolah, dan lingkungan pendidikan dimasyarakat. Atau yang disebut tri pusat lingkungan pendidikan.143 Sedangkan dalam homeschooling, dengan merunut dari sebuah nama homeschooling, maka lingkungan pendidikannya adalah dikeluarga dan masyarakat.144 Sehingga dengan mengacu pada data tersebut, secara positivistik lingkungan pendidikan dalam homeschooling dan pendidikan Islam memiliki
143 144
Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, 145. Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, 5.
83
relevansi,
yaitu
menggunakan
keluarga
dan
masyarakat
sebagai
basis
pendidikannya. Dalam hal ini, keluarga merupakan tempat pertama, di mana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Selain itu, keluarga juga merupakan sarana
yang
paling
efektif
dalam
upaya
membangun
hubungan
baik dan hangat dengan anak. Dengan fleksibilitas waktu dan tempat yang dimiliki dalam homeschooling,
memungkinkan keluarga untuk memainkan
peranan tersebut lebih efektif dan efisien. Namun secara umum, pertanyaan yang muncul ketika seseorang memulai sekolah rumah adalah bagaimana dengan sosialisasi anak. Karena anak tidak bisa bergaul dengan teman sebayanya seperti hanya disekolah. Sebenarnya dalam hal ini, anak dapat bersosialisasi dengan siapa saja, teman sebaya, atau yang lebih tua. Karena, setelah melakukan pembelajaran anak dapat berinteraksi dengan temantemanya. Selain itu, siswa homeschooling biasanya juga terlibat dalam kegiatan bersama dalam komunitas homeschooling. Dengan memanfaatkan semua infrastruktur dan sarana yang ada dimasyarakat seperti halnya fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), maupun fasilitas bisnis )mall, pameran, restoran, pabrik, sawah dan perkebunan sebagi pendidikan dan pengayaan (enrichment) dalam homeschooling, maka secara tidak langsung juga dapat memenuhi kebutuhan sosialisasi anak dengan lingkungannya. Sehingga, tidak ada istilah
84
anak yang kurang pergaulan dalam homeschooling. Namun justru sebaliknya, pola interaksi yang terjalin anak dengan orang tuanya dalam homeschooling, memungkinkan anak akan dapat berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dan memiliki fokus yang jelas.
85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil kajian di atas, di sini penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Mengembangkan potensi peserta didik merupakan tujuan pendidikan yang tepat, karena anak akan dapat hidup dalam situasi dan kondisi apapun tanpa harus menggantungkan diri kepada orang lain. Dan hal inilah yang menjadi titik sentral dalam tujuan homeschooling dan tujuan pendidikan Islam. 2. Dalam homeschooling mapun pendidikan Islam orang tua adalah orang yang pertama berkwajiban dalam mendidik anak-anaknya. Secara fitrah, orang tua memang sangat berpotensi untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Ibu terutama memiliki interaksi kuat dengan anak, karena dialah orang yang pertama kali menjalin interaksi, memahami dan selalu mengikuti seluruh aspek tumbuh kembang anak tanpa ada yang terlewatkan. 3. Dalam homeschooling maupun pendidikan Islam peserta didik di pandang sebagai subjek dan objek pendidikan yang memiliki kompetensi baik itu kompetensi fisik, akal, dan akhlak yang masih perlu untuk dikembangkan. 4. Dalam homeschooling maupun pendidikan Islam, perlatan pendidikan adalah semua yang digunakan oleh guru dan murid dalam proses pembelajaran untuk
86
mencapai tujuan pendidikan. Secara abstrak peralatan pendidikan dalam homeschooling tidak sama dengan peralatan dalam pendidikan Islam, Namun jika merunut esensi dan substansi makna dari peralatan pendidikan tersebut, maka peralatan dalam homeschooling memiliki relevansi dengan peralatan dalam pendidikan Islam. 5. Dalam homeschooling maupun pendidikan pendidikan Islam keluarga dipandang sebagai tempat pertama dan utama dalam mendidik anak-anaknya. Karena keluarga merupakan tempat pertama di mana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Pola interaksi yang terjalin anak dengan orang tuanya, memungkinkan anak akan dapat berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dan memiliki fokus yang jelas. B. Saran Homeschooling adalah konsep pendidikan yang representatif dalam mengembangkan potensi peserta didik, karena memiliki komponen-komponen sebuah sistem pendidikan yang jelas. Namun, pelaksanaanya sendiri harus memiliki komitmen yang tinggi baik itu orang tua maupun anaknya sendiri, sehingga konsep ini bisa berjalan lebih efektif dan efisien.
87
DAFTAR RUJUKAN
Abe, A. Saputra. Rumahku Sekolahku. Yogyakarta: Graha Pustaka, 2007.
Amir, Jusuf Feisal. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Azmi, Muhammad. Pendidikan Anak Usia Pra Sekolah (Upaya Mengefektifkan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Keluarga. Solo: Bulakas, 2006. Darajad, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Dawam, Ainurrafiq. Emoh Sekolah. Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003. Direktorat Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan. Idi, Abdullah & Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Ihsan, Hamdan & A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998. Izza,
Abu. Homeschooling Dengan Metode Montessori. (online) http://www.wintersat.com., Diakses Tanggal 20 Maret 2008. Kembara, Maulia D. Panduan Lengkap Homescooling. Bandung: Progressio, 2007. Kho, Loy. Homeschooling Untuk Anak, Mengapa Tidak?. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
88
Komariah, Yayah. Homeschooling: Tren Baru Sekolah Alternatif. Jakarta: Sakura Pablishing, 2007. Lebih Jauh tentang Homeschooling, (online) http://usahamulia.net. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. Miller, John P. Cerdas Di Kelas Sekolah Kepribadian. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. Miftahul Ulum, M & Basuki. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Po Press, 2007. Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Mulyadi, Seto. Homeschooling Keluarga Kak Seto: Mudah, Murah, Meriah dan diretui Pemerintah. Bandung: Kaifa, 2007. Munir, Ahmad. Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan. Ponorogo: t.p., 2006. Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Nawawi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1994. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006. Rashidin, Al dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005. Satiawan, Monty P. & Fidelis E. Waruwu. Mendidik Kecerdasan: Pedoman Bagi Orang Tua dan Guru dalam mendidik Anak Cerdas. Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003. Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta : Safira Insania Press, 2003. Sekolah Rumah Siapa Mau Coba (online) http://www.vhrmedia. net. Diakses Tanggal 4 Maret 2008.
89
Setiawan, Ines. Tujuan berhomeschooling. (online) http://www.sekolahrumah.com ./index.php? option=com_ conten& task=view&id=767&Itemid=71. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. Sumardiono. Homeschooling, Lompatan Cara Belajar. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007. __________. Mulai Homeschooling (online) http: //www.sumardiono.com /index.php?option=com.content& task=view &id=338&Itemid+84. Diakses Tanggal 20 Maret 2008. Suyudi, M. Pendidikan Islam Dalam perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani. Jogjakarta: Mikraj, 2005. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Uhbiyati, Nur Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. ________, & Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.