BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kehadiran Agama Islam yang dibawa nabi Muhammad Saw. diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, yang berkaitan dengan tingkah laku manusia, nampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal fikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi
kebutuhan
material
dan
spiritual,
senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, kemitraan, anti feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya.1
1
Yasin Setiawan, Pengertian Pendidikan Akhlak Islam, http://www.siaksoft.net, diakses 21 Februari 2008.
1
2
Umat Islam di era pendidikan global
2
menampilkan keadaan yang
berbeda dari cita-cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji hanya berhenti sebatas melaksanakan kewajiban dan menjadi lambang keshalehan saja. Nilai- nilai agama seolah-olah telah lenyap dalam penampilan dan perilaku sebagai komponen bangsa ini. Siaran-siaran televisi telah semakin marak menayangkan informasi-informasi yang tidak pernah sepi dari pelbagai macam perilaku kejahatan dan pelanggaran. Hampir semua stasiun televisi menampilkan hiburan-hiburan yang mengandung pesan-pesan setan, klenik, kekerasan, tipu daya, dan sebagainya. Majalahmajalah dan surat kabar yang terlepas dari nilai moral agama, dan VCD-VCD yang semakin mudah diperoleh dimana saja dan kapan saja.3 Melihat perkembangan tersebut, tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama di kalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dengan konsep yang tidak jelas. Rusaknya moral umat tidak terlepas dari 2
Tidak ada definisi standar untuk teori atau praktek dari konsep ini. Dua deskripsi yang memungkinkan adalah: 1). Pendidikan Global (Global Education) adalah mengenai isu-isu yang memotong garis perbatasan nasional dan mengenai keterkaitan sebuah sistem, ekologi, budaya, ekonomi, politik, dan teknologi. Pendidikan Global menggunakan perspektif, melihat sesuatu melalui mata, pikiran dan hati orang lain; dan itu berarti seseorang atau sebuah kelompok harus memandang dunia dengan cara berbeda, karena mereka juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama.” 2). Elemen-elemen Pendidikan Global: a). Perspektif kesadaran: sadar dan menghargai sisi-sisi lain dunia. b). Kesadaran lintas-budaya: pengertian umum dalam mendefinisikan karakteristik budaya di dunia, dengan menekankan pada pemahaman kesamaan dan perbedaan. c). Kesadaran akan adanya negara-negara lain dalam satu planet: pemahaman mendalam tentang isu global. d). Pemahaman sistemik: keakraban dengan sistem sebuah alam dan pengenalan pada sistem internasional yang kompleks dimana semua aspek akan saling terhubung pada sebuah pola ketergantungan dan ketergantungan-intern dalam berbagai macam isu. Lihat pada C Hudak,. Essential Definitions for Global Education.(Unpublished handout). (Cleveland, Ohio: Case Western Reserve University,1998) dan http://fpb.cwru.edu/courses/NURS344/definitions.htm. 3 Hamdani Bakran al-Dzakiey, Prophetic Intelligence ; Kecerdasan Kenabian (Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani) (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), xxxi.
3
upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar umat loyo dan berikutnya tumbang sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika melemahnya peran ulama` dan tokoh masyarakat dalam upaya menangani krisis akhlak tersebut. Padahal nilai suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas akhlaknya seperti dikemukakan penyair Mesir Syauki Bik, "Suatu bangsa sangat ditentukan kualitas akhlaknya, jika akhlak sudah rusak hancurlah bangsa tersebut."4 Hampir semua sektor kehidupan umat mengalami krisis akhlak. Para Ulama’ mengalami pertikaian internal dan merebutkan vested interest dan tidak jarang terkooptasi oleh kekuasaan yang dzalim. Para ulama`nya mengalami kemerosotan moral sehingga tidak lagi berjuang untuk kepentingan umat, tetapi hanya kepentingan sesaat; mendukung status quo. Para pengusahanya melarikan diri dari tanggungjawab zakat, infaq dan sedekah, sehingga kedermawanan menjadi macet dan tidak jarang berinteraksi dengan sistem ribawi serta tidak mempedulikan lagi cara kerja yang haram atau halal. Para siswa dan mahasiswa terlibat banyak kasus pertikaian, narkoba dan kenakalan remaja lainnya. Kaum wanita muslimah terseret jauh kepada peradaban Barat dengan slogan kebebasan dan emansipasi yang berakibat kepada rusaknya moral mereka, maka tidak jarang mereka menjadi sasaran manusia berhidung belang dan tidak jarang dijadikan komoditi murahan . Dan berbagai macam lapisan masyarakat muslim termasuk persoalan kaum miskin
4
Ibid.
4
yang kurang sabar sehingga menjadi obyek garapan pihak lain termasuk seperti bentuk nyatanya pemurtadan semisal kristenisasi. 5 Seorang tokoh Islam, Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî6 lewat karyanya kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn mengungkapan konsep perbaikan akhlak. Ia memaparkan bahwa untuk memperbaiki akhlak diperlukan dua konsep yang sangat mendasar yaitu konsep tazkîyah 7 dan tahlîyah 8 . Dalam
5
Hasan Rosyidi, Krisis Akhlak Umat Islam, http// alislam.or.id, diakses 21 Februari 2008. Namanya kadang diucapkan Imâm al-Ghazâlî artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah Imâm al-Ghazâlî ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah al-Ghazâlî diambil dari kata Ghazâlah nama kampung kelahirannya. Imâm al-Ghazâlî lahir pada tahun 450 H / 1058 M, di desa Thus,6 wilayah Khurasan Iran. Ia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (Hujjah al-Islâm), “hiasan agama” (Zaîn al-Dîn), “samudra yang menghanyutkan” (Bahrun al-Mughrîq), dan lain-lain. 6
7Tazkîyah berasal dari bahasa Arab (KLآNO) yang berarti membersihkan, menyucikan dan
merupakan mashdar dari (P)زآ. Pengertiannya tidak sama dengan (RSTO) tetapi tathhir masuk dalam arti tazkîyah. Lihat A.W. Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya: Pustaka Prograsif, 2002), 577. Menurut Isfahani berarti tazkîyah tumbuh karena berkah dari Tuhan, seperti yang terkandung dalam kata zakat. Jika dihubungkan dengan makanan maka mengandung arti halal, jika dihubungkan dengan nafs maka di dalamnya terkandung sifat-sifat terpuji. Seperti yang terkandung pada kalimat (nafsan zakiyyah) jiwa yang suci. Dengan demikian tazkîyah al-Nafs (menyucikan jiwa) adalah membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat sifat terpuji. Sementara itu, para mufassir berbeda dalam memberikan arti pada kata tazkîyah alNafs, antara lain: a. Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tazkîyah dalam arti menyucikan manusia dari syirik dan sifat rendah lainnya. b. Tazkîyah dalam arti menyucikan jiwa dari dosa, demikian pendapat Imam Fakhr al-Razi. c. Menurut Al-Athiyah al-Abarasi, tazkîyah adalah menyucikan dan membersihkan jiwa dari syirik. Kata Tazkiyah disebut di dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali dalam berbagai bentuk kata, dua belas kali dalam bentuk kata kerja (zakka, yuzakki) satu kali dalam bentuk kata kerja (zaka) empat kali dalam bentuk kata kerja (tazakka) dua kali dalam bentuk kata kerja (yazzakka) dua kali dalam bentuk isim sebagai sifat (nafsan zakîyatan) dan (ghulaman zakîyatan) empat kali dalam bentuk tafdlil (azka), di samping tiga puluh dua kali dalam bentuk kalimat (zakat). Dalam kitab ini yang dimaksud dengan tazkîyah adalah tazkîyah al-Nafs yang berarti membersihkan jiwa, penyucian diri. Selain itu pengertian tazkîyah alNafs dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an surat al-Syams ayat 7-10. lihat Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Mahkota, 1989), 1064. Menurut Said Hawwa sebagaimana yang dikutip A.F. Jaelani tazkîyah al-Nafs berarti menumbuhkan dan juga memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat terpuji, dengan demikian arti kata tazkîyah al-Nafs tidak hanya terbatas pada pembersihan jiwa tetapi juga meliputi pembinaan dan pengembangan jiwa. Lihat A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental (Jakarta: Amzah, 2001), 44. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tazkîyah al-Nafs adalah usaha atau proses penyucian jiwa dari dosa baik yang besar maupun yang kecil dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Dan hal ini memberikan petunjuk bahwa jiwa yang tercemar masih dapat diusahakan untuk menjadi suci, baik dengan usaha sendiri, melalui pendidikan atau karena anugerah dan rahmat Allah Swt. 8 Kata tahlîyah dari segi bahasa berasal dari kata halâ yang berarti menghias, mempercantik lihat di A.W. Munawir, Kamus al-Munawir ,299. Konsep tahlîyah adalah konsep perbaikan akhlak yang menitik beratkan pada penghiasan jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Konsep ini merupakan
5
kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Konsep tazkîyah meliputi sepuluh tahap pembersihan sifat tercela. Mulai dari membersihkan nafsu makan yang rakus sampai sifat riya’. Dan menurut Imâm al-Ghazâlî kesepuluh sifat itu merupakan pokok dari akhlak tercela yang meliputi: nafsu makan yang rakus, berbicara kotor, amarah, kedengkian, bakhil dan cinta dunia, ambisi dan gila harta, cinta dunia, takjub diri, takabur dan terakhir adalah riya’. Kemudian konsep tahlîyah meliputi sepuluh tahap pula. Mulai dari taubat sampai mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani. Dan sepuluh sifat ini menurut Imâm al-Ghazâlî sangatlah tepat guna mencegah dan mengantisipasi hati dari kembalinya sifat-sifat tercela. Sepuluh sifat itu adalah: taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta, ridla terhadap qadha’, dan yang terakhir adalah mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani. Dari pembahasan di atas tentang konsep perbaikan akhlak oleh Imâm al-Ghazâlî menurut penulis adalah sangat komprehensif dan relevan di terapkan di era pendidikan global saat ini., pemikirannya tentang konsep perbaikan akhlak sangat menyentuh aspek real dalam kehidupan sehari-hari yang ada pada diri manusia. Ia memaparkan bahwa memperbaiki akhlak itu tidak hanya cukup dengan membersihkan sebagian, melainkan harus secara keseluruhan.9 Kajian tentang setiap bahasan yang dilengkapi dengan dalil-dalil
lanjutan dari konsep tazkîyah. Dalam proses ini jiwa manusia yang telah terbebas dari sifat yang tercela diisi dengan sifat-sifat yang terpuji. Agar jiwa yang sudah bersih tidak lagi tercemar atau ditumbuhi oleh sifat-sifat yang tercela. 9 Imâm al-Ghazâlî, Teosofia al-Qur’ân, terj. M. Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 197.
6
al-Qur’an dan Hadis disertai pendapat-pendapatnya membuat karyanya tersebut unik dan menjadi ciri khusus. Selain itu jarang sekali tokoh-tokoh pendidikan lain yang membahas tentang perbaikan akhlak sedalam dia. Untuk itulah penulis merasa perlu menelaah konsep perbaikan akhlak tokoh tersebut dalam kajian ini dengan judul “Relevansi Konsep Perbaikan Akhlak Perspektif Imâm al-Ghazâlî Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Di Era Pendidikan Global”
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah sebgai berikut : 1. Bagaimana konsep perbaikan akhlak menurut Imâm al-Ghazâlî Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn? 2. Bagaimana relevansi konsep perbaikan akhlak menurut Imâm al-Ghazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn di era pendidikan global?
C. Tujuan Kajian Tujuan dari adanya pembahasan dalam skripsi ini adalah ; 1. Untuk menjelaskan konsep perbaikan akhlak menurut Imâm al-Ghazâlî Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn? 2. Untuk menjelaskan relevansi konsep perbaikan akhlak menurut Imâm alGhazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn di era pendidikan global?
7
D. Manfaat Kajian Manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah : 1. Manfaat teoritis Kajian ini dapat dijadikan salah satu khazanah ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan pendidikan akhlak. 2. Manfaat praktis a
Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam hal penelitian.
b
Bagi para pendidik khususnya pendidik dalam bidang akhlak, dapat memberikan wawasan yang lengkap dalam memberikan pembinaan akhlak terhadap peserta didiknya.
c
Bagi lembaga STAIN Ponorogo, sebagai dokumen yang dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di STAIN Ponorogo.
E. Landasan Teori dan Telaah Pustidaka 1. Pengertian Akhlak
8
Secara etimologi (lughatan), akhlak adalah bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.10 Kata ini berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptidakan. Seakar dengan kata khâliq (Pencipta), makhluq (yang diciptidakan) dan khalq (penciptaan). Sedangkan menurut terminology, (ishthilahan) ada beberapa definisi tentang akhlak , di antaranya : a. Menurut Ibrahim Anis sebagaimana yang dikutip oleh Yunahar Ilyas:
ْ َاوRٍ Lْ r َ ْqpِ ل ُ coَ m ْn َ ْ اcSَ fْ m َ ُرlُ k ْ Oَ ,Kٌ ] َj ِ َراh ِ gْ fe ^ْ [ِ ٌلc` َ _ ُ ^ُ] ُ [ْ َا .Kٍ }َ ْ َو ُرؤRٍ {ْ zِ y َ [ ِاKٍ x َ c` َ Rِ Lْ w َ ْqpِ Rv u َ “ Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
11
b. Menurut Karim Zaidan :
Pzِ َوh ِ gْ fe [ اPzِ ِةRe ِ َ
ْ oُ [ْ ت ا ِ cgَ k [ َواPِ cَ oَ [ْ اq َ pِ Kٌ m َ ْoُ ْ pَ َو, ُ ُ ْ }َ ْن َاو ِ c
َ ْ n ِ ْ اRِ َ َ Pzِ ُ ْ gِ [ْ اq ُ
ُ َْ } cَSِ اNَ Lْ pِ َوcْ ِء َه َ .ُ fْ m َ ُ ُ ْ }َ ْ ِ َاوLْ ^َm َ ُمlُ ْ }َ e َ ْqpِ “(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.” 12
10
164.
Lois Ma’lûf al-Yasû´î, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-I’lâm (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1989),
11 12
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Yogyakarta: Pustidaka Pelajar Offset, 2006), 2. Ibid., 2
9
c. Menurut Ibnu Miskawaih sebagaimana yang dikutip oleh A. Mushtofa: Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).13 d. Dalam kitab Ihyâ´ Imâm al-Ghazâlî mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut :
ُرlُ k ْ Oَ cَSfْ m َ Kٌ ] َj ِ رَاh ِ gْ fe [ْ اyzِ Kٍ َ Lْ ْ َهqm َ ٌ َرةcَm ِ _ ُ ^ْ ] ُ [ْ َا Kٍ }e َو ُر ِوRٍ {ْ zِ yَ[ ِاKٍ x َ cَ` Rِ Lْ w َ ْqpِ Rٍ
ْ }ُ َوKٍ [َْSُ
ُ ِ ل ُ cَzْ n َ ْا Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pemikiran ( lebih dulu ).14 Dari Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya dapat dilihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu: 1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. 2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. 3. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
13 14
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV. Pustidaka Setia, 1997), 13-14. Imâm al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, Jilid III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 58.
10
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. 4. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. 5. Sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian. Dan dari sini dapat kita simpulkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Dalam bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan sebagai etika, moral, watidak, budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan. Kata etika dilihat dari segi etimologi (lughatan), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watidak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini, terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.15 Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut Ahmad Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan
15
Suwito, Filsafat Pendidikan, 32.
11
arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatidakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.16 Berikutnya, dalam Encyclopedia Britanica sebagaimana yang dikutip oleh Suwito, etika dinyatidakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.17 Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatidakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.18 Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatidakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, dapat dikatidakan bahwa antara etika dan moral memiki objek 16
Ibid. Ibid. 18 Ibid., 33. 17
12
yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa Asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten. Dan dalam bahasa Arab disebut dengan qalb atau fu'ad. Kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga
13
berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan pada uraian di atas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar. Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikaitkan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baikburuknya. Semua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
14
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletidak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-Qur'an dan al-Hadis. Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat lokal dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatidakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan. Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
2. Pendidikan Di Era Globalisasi
15
Masalah besar umat hari ini memasuki era globalisasi19 adalah terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan secara meluas melalui media massa yang di tandai dengan semakin berkembangnya pengaruh budaya pengagungan materia secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan penyimpangan jauh dari nilai-nilai keislaman serta merta telah memunculkan berbagai bentuk kriminalitas, sadisme, krisis moral secara meluas.20 Dunia pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh fenomena kurang menggembirakan terlihat dari banyaknya terjadi tawuran pelajar, pergaulan asusila dikalangan pelajar dan mahasiswa, kecabulan, pornografi tak terbendung, sebagian cendekiawan berminat tinggi terhadap kehidupan non-science asyik mencari kekuatan gaib belajar sihir, mencari jawaban dari paranormal menguasai kekuatan jin, bertapa ketempat angker menyelami black-magic dan mempercayai mistik. Diperparah oleh limbah
19
Kata “Globalisasi” berasal dari kata “global” yang mempunyai arti universal (menyeluruh). namun istilah ini belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi. Sedangkan pendidikan global memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, lembaga pendidikan harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptidakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Lihat Reformasi Pendidikan (artikel). Diakses tanggal 12 Juli 2008, dari: http://www.geocities. com/pakguruonline/ wacana. 20 Mas’oed Abidin, Akhlak Remaja Hari Ini dan Prospeknya Di Masa Depan, http://buyamasoedabidin.wordpress.com, diakses 28 Mei 2008.
16
budaya barat berbentuk sensate-culture yang selalu bertalian dengan hedonistik dengan orientasi hiburan selera rendah yaitu sex dan gaya hidup konsumeristis, rakus, boros, cinta mode, pergaulan bebas, individualistik kebebasan salah arah lepas dari kawalan agama dan adat luhur dengan tampilan permissivesness dan anarkis. Budaya sensate21 memuja nilai rasa panca indera, menonjolkan keindahan sebatas yang dilihat, didengar, dirasa, disentuh, dicicipi, dengan tumpuan kepada sensual, erotik, seronok, kadang-kadang ganas, mengutamakan kesenangan badani (jasmani). Orientasinya hiburan melulu, terlepas dari kawalan agama, adat luhur, moral akhlak, ilmu dan filsafat, dan terlepas dari budaya dan nilai-nilai normatif lainnya. Seni dibungkus selimut art for art’s sake, sensual, eksotik, erotik, horor, ganas, yang lazimnya melahirkan klub malam, night club, kasino dan panti pijat. Perilaku sedemikian banyak melahirkan split personalities, pribadi yang terbelah “too much science too little faith”, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama, berkembangnya paham nihilisme budaya senang-senang (culture contenment).22 Kalangan remaja dijangkiti kebiasaan bolos sekolah, minuman keras, kecanduan ectasy, budak kokain dan morfin, kesukaan judi dan 21
Sensate culture menurut Pitirim Sorokin, “…based upon the ultimate principle that true reality and value are sensory and that the beyond the reality and values wich we can see, hear, smell, touch and taste there is no other reality and no real values……….Despite its lipservice to the values of the Kingdom of God, it cares mainly about sensory values of wealth, health, bodily confort, sensual pleasures and last for power and fame. It’s dominant ethic is invariably utilitarian and hedonistic….. Its politics and economics are also decisively utilitarian and hedonistic……..” lihat pada buku Pitirim Sorokin, The Basic Trends of Our Time (New Haven: College & University Press, 1994), 17-18. atau juga di http://buyamasoedabidin.wordpress.com. 22 Ibid.
17
sejenisnya. Para remaja cenderung bergerak menjadi generasi buih terhempas dipantai menjadi Dzurrîyah al-Dhi’afah, suatu generasi yang terbelakang dan tidak berani ikut serta didalam perlombaan ombak gelombang samudera globalisasi. Pada hakekatnya semua prilaku amoral tersebut lahir karena lepas kendali dari nilai-nilai agama dan menyimpang jauh terbawa arus deras keluar dari alur budaya luhur bangsa. Kondisi seperti itu telah memberikan penilaian buruk terhadap dunia pendidikan pada umumnya. 23 Selain itu dampak lainnya adalah berkembangnya penyakit seksual, seperti: penyakit AIDS. Berdasarkan data Depkes tahun 1993 total aborsi sekitar 750.000 sampai satu juta orang pertahun. Sementara di dunia 84 juta wanita seluruh dunia terjadi kehamilan yang tidak diingini, 46 juta berakhir dengan abortus, dan 19 juta dengan abortus yang tidak aman, 80.000 berakhir dengan kematian dan sekitar 5 juta menderita temporer atau permanen akibat tindakan abortus ini.24 Pergeseran moral dan akhlak ini jelas sangat memperihatinkan. Karena itu, guna mengatasi hal tersebut perbaikan akhlak itu sangat urgent dan bersifat mendesak untuk diterapkan sebagai strategi dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin lama semakin merusak perkembangan jiwa umat Islam, khususnya generasi muda25
23
Tarmizi Taher, Membenahi Moral Bangsa, Meneladani Akhlak Rasulullah saw, http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id, diakses 22 April 2008. 24 Tabloid Suara Islam Edisi 19, Perang Total Melawan Pornografi, http://www.suaraislam.com, diakses 18 April 2008. 25 H. Husein Umar, Moral Umat Makin Bergeser, http://www.amanah.or.id, diakses 16 April 2008.
18
3. Implementasi Perbaikan Akhlak Menurut Islam Kehancuran akhlak yang dihadapi oleh Islam pada saat ini seperti kehancuran akhlak bangsa Romawi dan Persia, tidak memberi jaminan untuk melakukan perbuatan yang manusiawi, kecuali petunjuk agamanya. Dalam agama yang dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki akhlak manusia, antara lain anjuran untuk selalu bertobat, bersabar, bersyukur, bertawakal, mencintai orang lain, mengasihani dan menolongnya. Anjuran-anjuran itu, sering didapatkan dalam ayat-ayat al-Qur’an, sebagai nasihat bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk. Ini terbukti bahwa akhlak buruk dapat dididik menjadi baik.26 Islam selalu menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu membiasakan akhlak yang mulia dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasulullah. Akhlak mulia yang bersifat absurd sudah barang tentu memerlukan berbagai pendekatan untuk mendapatkan formula yang aplikatif sehingga manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Masyarakat merupakan bagian dari suatu bangsa. Dan keberadaan suatu bangsa sangat ditentukan akhlaknya. Jika rusak akhlak, binasalah bangsa. Maka maju mundurnya suatu suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak atau pelaksanaan agama oleh bangsa tersebut. Rasulullah Saw. dikenang hingga kini di seluruh jagad oleh miliaran manusia, bukan saja karena ajaran keagamaan yang diembannya, melainkan terutama karena kemuliaan akhlak yang dimilikinya. Ketika 26
Mustofa, Akhlak Tasawuf, 19.
19
kaum musyrik itu melemparinya dengan kotoran unta, Rasulullah Saw. membalasnya dengan doa untuk kebaikan mereka. Dalam Hadis Riwayat Aisyah ra. disebutkan, akhlak Rasulullah Saw adalah al-Qur’an. Jadi, apa yang dipraktikkan Rasulullah Saw. seharihari merupakan ajaran-ajaran al-Qur’an itu sendiri dan mencirikan makna sejati Islam yang cinta damai. Keluhuran akhlak dan budi pekerti Rasulullah Saw. tidak hanya diakui oleh orang yang sezaman dengannya, sampai saat ini pun banyak yang memuji keluruhan akhlak dia, termasuk orang-orang non-Muslim. Bahkan Allah SWT. menyebut dia sebagai pemilik akhlak yang agung (QS. al-Qalam: 4) dan teladan yang baik (QS. al-Ahzâb: 21). Itulah yang menjadikan Nabi Saw. sebagai manusia paripurna (al-Insan al-Kamil).27 Husain bin ‘Alî, cucu Rasulullah saw, menceritidakan bagaimana keagungan kakeknya itu dalam sebuah riwayat, Aku bertanya kepada ayah (‘Alî bin Abî Thâlib) tentang bagaimana Rasulullah Saw di tengah-tengah sahabatnya. Ayah berkata, Rasulullah Saw. selalu menyenangkan, santai dan terbuka, mudah berkomunikasi dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan tidak terlalu lunak, tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur waktu dan tidak tergesa-gesa. Dia meninggalkan tiga hal yaitu riya’, boros, dan sesuatu yang tidak berguna.28
27 28
Tarmizi Taher, Membenahi Moral. Ibid.
20
Di
antara
tujuan
utama
dalam
perbaikan akhlak
adalah
kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.29 Dan secara umum tujuan daripada perbaikan akhlak adalah : 1. Untuk mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-Sâ'adah).30 2. Untuk dapat mengetahui batas mana yang baik dan batas mana yang buruk. Dan untuk memberi pemahaman yang benar dan jelas tentang hal yang berkaitan akhlak. 3. Untuk membentuk akhlak, sikap dan tingkah laku yang mulia. 4. Untuk membuka minat belajar berkaitan dengan perbaikan akhlak. Dari penjabaran keterangan di atas dapat difahami bahwa pokok dari konsep perbaikan akhlak adalah al-Qur’an dan hadis. Namun untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan dan ridha Allah tidak mudah. Manusia harus dapat memilah mana yang buruk dan mana yang baik. Membedakan keduanya berarti dapat menilai. Apabila orang dapat berpegang pada kebaikan dan membuang keburukan, inilah jalan kelurusan. Lebih lanjut seseorang dapat memilih yang baik dan kemudian meninggalkan tindakan yang buruk. Orang yang sudah mencapai pemilihan terhadap kebaikan, diupayakan ada proses keyakinan dan menjadikan dirinya kontinuitas (terus menerus) dalam tindakan untuk 29 30
Abuddin Nata, Pemikiran Para, 86. Suwito, Filsafat Pendidikan, 116.
21
membiasakan diri pada kebaikan, akhirnya dapat menumbuhkan kegemaran.31 Kesempurnaan akhlak manusia dapat dicapai melalui dua jalan: pertama, melalui kurnia Tuhan yang mencipta manusia dengan fitrahnya yang sempurna, akhlak yang baik, nafsu syahwat yang tunduk kepada akal dan Agama. Manusia tersebut dapat memperoleh ilmu tanpa belajar dan terdidik tanpa melalui proses pendidikan. Manusia yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah para Nabi dan Rasul Allah. Kedua, akhlak melalui cara
berjuang secara bersungguh-sungguh (mujâhadah) dan
latihan (riyâdhah), yaitu membiasakan diri melakukan akhlak-akhlak mulia. Ini yang dapat dilakukan oleh manusia biasa dengan belajar dan latihan.32 Berkaitan dengan pelaksanaan perbaikan akhlak tersebut, Imâm alGhazâlî Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn mengemukakan bahwa perbaikan akhlak itu di mulai dari membersihkan dan mensucikan kalbu dari segala hal yang tidak disukai oleh Allah SWT. dan merias diri dengan segala hal yang yang dicintai oleh Allah.33 Dengan jalan mujâhadah 34 dan riyâdhah melaui fase-fase sebagai berikut: Fase pertama: membersihkan atau menjernihkan hati dari akhlak tercela yang mencakup sepuluh sifat tercela yang satu dengan yang lainnya saling
31
Mustofa, Akhlak Tasawu, 26-27. A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental (Jakarta: Amzah, 2001), 73. 33 Imâm al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn (Damsyik: Dâr al-Qalam, 2003), 13. 34 Mujâhadah adalah memaksa sifat-sifat ekstrim yang menyimpang dari aturannya, dimana ia beramal dengan perbuatan yang merusak disiplin amaliahnya, Ibid., 199. 32
22
berkaitan, yang meliputi: nafsu makan yang rakus, berbicara kotor, amarah, kedengkian, bakhil dan cinta dunia, ambisi dan gila harta, cinta dunia, tidakabur, tidakjub diri dan riya’. Fase kedua: merias atau mengisi hati dengan akhlak mulia yang mencakup sepuluh sifat mulia yang satu dengan yang lain juga saling berkaitan, yang meliputi: taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta, ridla terhadap qadha’ dan mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani.
F. Telaah Pustaka Di samping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan ini, penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Adapun hasil temuan penelitan terdahulu adalah : 1. Nama peneliti
: Fathul Arifin
Tahun penelitian
: 2004
Hasil temuan
:
Judul
Rumusan masalah
Kesimpulan
Konsep Pendidikan anak Menurut Imâm alGhazâlî dan Paulo Freire
1. Bagaimana konsep pendidikan menurut Pemikiran Imâm al-Ghazâlî . ? 2. Bagaimana konsep pendidikan menurut Paulo Freire ?
1. Konsep pendidikan anak menurut Imâm al-Ghazâlî adalah mendekatkan diri kepada Allah demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Metode pengajarannya yang dipakai dari konsep pendidikan anak menurut Imâm al-Ghazâlî adalah mengutamakan pemahaman tentang masalah agama dan penanaman akhlak pada anak
23
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan konsep pendidikan anak menurut Imâm al-Ghazâlî dan Pailo Freire ?
2. Nama peneliti
didik. 2. Konsep pendidikan anak menurut Paulo Freire adalah membuat anak didik menjadi sadar pada lingkungan, peka terhadap realitas sosial masyarakat. Dalam penyampaian pendidikan Paulo Freire menggunakan cara pengajaran dan latihan. Jadi tidak hanya pengajaran saja, tetapi latihan juga digunakan dalam menyampaikan materi. 3. Konsep pendidikan anak menurut Imâm al-Ghazâlî dan Paulo Freire itu mempunyai persamaan pandangan pada murid, mereka berpendapat bahwa untuk mencapai suatu cita-cita atau tujuan itu sama-sama melalui pendidikan. Perbedaannya terletidak pada arah dari konsep pendidikan mereka, visi dari pendidikan Imâm alGhazâlî adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat, sedangkan visi pendidikan dari Paulo Freire adalah pengertian politik dan meraih kekuasaan.
: Mar’atus Sholihah
Tahun penelitian
: 2004
Hasil temuan
:
Judul
Rumusan masalah
Kesimpulan
Relevansi Pemikiran Imâm Zakaarsyi dengan Pemikiaran Imâm alGhazâlî tentang Ilmu Pendidikan Islam
1. Bagaimana pemikiran Imâm al-Ghazâlî tentang ilmu pendidikan islam ? 2. Bagaimana pemikiran Zakarsyi tentang ilmu pendidikan islam ? 3. Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan Zakarsyi dengan pemikiran Imâm alGhazâlî tentang ilmu pendidikan islam ?
1. Pemikiran Imâm al-Ghazâlî tentang ilmu pendidikan islam adalah bahwa pendidikan itu ditekankan pada pentingnya nilai-nilai luhur yang dapat menerangi jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat 2. Pemikiran Zakarsyi tentang ilmu pendidikan islam adalah bahwa pendidikan harus mampu memberikan nilai-nilai luhur seperti jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri, ukhuwah islamiyah, dan jiwa bebas kepada anak didiknya. 3. Pemikiran Zakarsyi tentang pentingnya ilmu pendidikan islam yang mampu memberikan nilai-nilai luhur seperti jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri, ukhuwah islamiyah, dan jiwa
24
bebasmemiliki relevansi dengan pemikiran Imâm al-Ghazâlî tentang ilmu pendidikan islam yang menekankan pada pentingnya nilai-nilai luhur yang dapat menerangkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah serta bermanfaat bagi kemaslahatan umat, inilah titik temu corak pemikiran para filosof pendidkan islam yang berangkat dari pandangan yang berbeda-beda dalam tataran konsep. Namun mempunyai titik singgung yang sama yaitu teraktualisasinya ilmu pendidikan islam yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
3. Nama Peneliti
: Khusnul Khotimah
Tahun penelitian
: 2003
Hasil temuan
:
Judul
Rumusan masalah
Konsep Pendidikan Menurut Imâm al-Ghazâlî dan Zakiah Daradjat (Studi Komparatif )
1. Bagaimana konsep pendidikan menurut Imâm al-Ghazâlî ? 2. Bagaimana konsep pendidikan menurut Zakiah Daradjat ? 3. Bagaimana komparasi konsep pndidikan menurut Imâm al-Ghazâlî dan Zakiah Daradjat ?
Kesimpulan 1. Konsep pendidikan Imâm al-Ghazâlî adalah bahwa seorang pendidik adalah orang yang membina manusia seutuhnya secara pribadi da kelompok sehingga mereka dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. 2. Konsep pendidikan Zakiah Daradjat adalah bahwa seorang pendidik adalah seorang yang merelakan dirinya memikul sebagian tanggungjawab oran tua. Dimana seorang pendidik harus mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai pendapat para siswa. 3. Kontribusi yang besar dalam rangka membangun konsep seorang pendidik. Sedangkan pemikiran kedua tokoh ini ternyata terdapat suatu perbedaan walaupun banyak persamaannya. Secara operasional konsepnya dapat diaplikasikan dan dijadikan alternatif acuan bagi seorang pendidik di masa sekarang. Namun harus menggunkan
25
bentuk pendekatan baru diperlukan penyempurnaan.
4. Nama Peneliti
serta
: Uswatun Khasanah
Tahun penelitian
: 2002
Hasil temuan
:
Judul
Rumusan masalah
Kesimpulan
Kajian Kritis tentang Konsep Pendidikan Akhlak Imâm alGhazâlî (Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn)
1.Bagaimana konsep pendidikan akhlak dalam pendidikan islam dewasa ini ? 2.Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Imâm alGhazâlî ? 3.Bagaimana kontribusi konsep pendidikan akhlak Imâm al-Ghazâlî dalam pendidikan akhlak dalam pendidikan dewasa ini ?
1. Pendidikan akhlak di sekolah sekarang hanya berorientasi pada urusan sopan santun, belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia yang beragama. Pendidikan akhlak hanya ditekankan pada aspek kognitif, sehingga ajaran agamanya hanya sekedar pengetahuan, bukan untuk diamalkan dalam kehidupan. Akibatnya, dikalangan para siswa terjadi krisis moral. 2. Konsep pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh Imâm al-Ghazâlî sangat komprehensip dan mempunyai tujuan jelas. Dalam menyusun kurikulum, metode dia sangat memperhatikan unsure jasmani maupum rohani dan sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan sakarang ini. Jadi, penilaian seseorang yang negative terhadap dia itu disebabkan olrh kurang lengkapnya dalam memahami dia dengan sebenarnya. 3. Imâm al-Ghazâlî memiliki kontribusi yang besar dalam rangka membangun konsep pendidikan akhlak islam, sedangkan pemikiran akhlaknya cenderung menganut faham sufi, secara operasional konsepnya dapat diaplikasikan dan dijadikan al-ternatif acuan dalam pendidikan akhlak seorang muslim di masa sekarang, namun harus menggunakan bentuk pendekatan baru serta diperlukan penyempurnaan.
G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian
26
Pendekatan pendekatan
ini
yang
digunakan
digunakan
untuk
adalah
pendekatan
memecahkan
deskriptif,
masalah
dengan
menggambarkan/ melukiskan keadaan objek penelitian berdasarkan faktafakta yang tampak.35 Karena penelitian ini didasarkan pada data-data kepustidakaan, maka jenis penelitian ini disebut penelitian pustidaka (library research) atau kajian pustidaka. Kajian pustidaka adalah telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustidaka yang relevan.36 2. Sumber Data Sumber data yang dijadikan bahan- bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan- bahan pustidaka yang dikategorikan sebagai berikut : a. Sumber data primer, merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisis penelitian tersebut. Adapun data primer yang penulis gunakan adalah : Imâm al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn (Damsyik: Dâr alQalam), 2003.
35
Hadari Nawawi dan Mimi Hartini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), 73. 36 Ibid., 23.
27
b. Sumber data sekunder, yaitu buku-buku yang ditulis oleh Imâm alGhazâlî dan tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengan masalah dalam kajian ini, yaitu : 1)
Imâm al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995).
2)
Imâm al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, terj. Moh. Zuhri, Muqoffin Mochtar dan Muqorrobin Misbah (Semarang: CV. Al-Syifâ', 2003).
3)
Imâm al-Ghazâlî, Bidâyah al-Hidâyah (tt: Rasm al-Makhfudzat, tt).
4)
Imâm al-Ghazâlî, Minhaj al-´Ābidîn (tt: Dâr al-Ihyâ´ Kutub al´Arâbîyah, tt).
5)
Imâm al-Ghazâlî, Meniti Jalan Menuju Surga terj. M. Adib Bisri (Jakarta: Pustidaka Amani, 1986)
6)
Imâm al-Ghazâlî, Al-Munqîdz min al-Dhalâl (Kediri: Fath alUlûm, tt).
7)
Imâm Abî Hasan ´Abd al-Ghâfir bin Ismâ´îl bin ´Abd al-Ghâfir bin Muhammad al-Fârisî al-Hafidz, Al-Muntidakhab min al-Siyâq Litârikh Naysaburî (Bairut: Dâr Kutub al-´Ilmîyah, 1989).
8)
Murtadha Muthahhari. Falsafah Akhlak terj. Fâruq bin Dhiyâ´ dan Mûsâ al-Khâzhim (Bandung: Pustidaka Hidayah, 1995).
9)
´Abd Mâlik bin Muhammad al-Qâsim, Muhâsabah Menuju Penyucian Jiwa terj. Ummu Mubârak (Solo: Pustidaka Arafah, 2004).
28
10) Syekh Mushthafa Ghalayinî, Bimbingan Menuju Ke Akhlak yang Luhur (Semarang: CV. Thoha Putra, 1976). 11) ´Abd Qâdîr Ahmad ´Atha´, Adabun Nabi (Jakarta: Pustidaka Azzam, 2002). 12) Amir al-Najâr, Ilmu Jiwa dan Tasawuf (Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer) (Jakarta: Pustidaka Azzam, tt). 13) Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). 14) Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Yogyakarta: Pustidaka Pelajar Offset, 2006). 15) Barmawi Umary, Materia Akhlak (Solo: CV. Ramadhani, 1989). 16) Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak
(Yogyakarta: Belukar,
2004). 17) Bambang Trim, Meng-istall Akhlak Mulia (Bandung: MQ Publishing, 2005). 18) Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003). 19) Hamdanî Bakran al-Dzakî, Prophetic Intelligence ; Kecerdasan Kenabian
(Menumbuhkan
Pengembangan Islamika, 2004). 3. Teknik Pengumpulan Data
Kesehatan
Potensi Hakiki Insani melalui Ruhani)
(Yogyakarta:
Penerbit
29
Penelitian ini termasuk penelitiaan kepustidakaan, oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustidaka yang koheren dengan obyek pembahasan yang dimaksud. 37 Data yang ada dalam kepustidakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara : a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna dan keselarasan makna antara satu dengan yang lain. b. Organizing, yaitu menyatidakan data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah ditentukan. c. Penemuan hasil temuan, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data yang menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah. 4. Analisis Data Setelah pengumpulan data, maka data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analisis, yaitu analisis tentang isi pesan atau komunikasi.38 Metode ini digunakan untuk menganalisis isi dan berusaha menjelaskan bangunan pemikiran tentang masalah yang dibahas dengan
37 Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 24. 38 Noeng Muhajir, Metodologi Peneltitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1987), 49.
30
menggunakan proses berfikir induktif, deduktif dalam penarikan kesimpulan. Berpikir induktif adalah proses berfikir yang berangkat dari faktafakta khusus atau peristiwa- peristiwa yang kongkret, kemudian dari faktafakta atau peristiwa khusus tersebut ditarik generalisasi yang bersifat umum. Sedangkan berpikir deduktif adalah proses berfikir dengan menggunakan analisis yang berpijak kepada dalil yang bersifat umum kemudian diteliti untuk memecahkan masalah yang bersifat khusus.39 5. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terdiri atas lima bab yang saling berkaitan erat satu dengan yang lain, yaitu : Bab Satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran global tentang isi penulian skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan telaah pustidaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab Dua membahasa biografi dan setting sosial Imâm al-Ghazâlî yang meliputi, biografi Imâm al-Ghazâlî, setting sosial Imâm al-Ghazâlî, dan karya-karyanya. Bab Tiga membahas pemikiran Imâm al-Ghazâlî tentang konsep perbaikan akhlak dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn. Bab Empat berisi tentang analisis konsep perbaikan akhlak perspektif Imâm al-Ghazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn dan 39
Sugiono, Memahamai Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabet, 2005), 90.
31
relevansinya di era pendidikan global, yang meliputi relevansi konsep tazkîyah dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn di era pendidikan global dan relevansi konsep tahlîyah dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn di era pendidikan global. Bab Lima merupakan bagian penutup dari pembahasan skripsi ini yang meliputi kesimpulan dan saran.
32
BAB II BIOGRAFI DAN SETTING SOSIAL IMÂM AL-GHAZÂLÎ
A. Biografi Imam Al-Ghazali Nama lengkap Imâm al-Ghazâlî adalah Abû Hamîd Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî al-Thûsî. Dia dilahirkan pada tahun 450/1058 M di Thus40 (sekarang dekat Meshed), yaitu sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran), dan di sana pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H/ 1111 M.41 Ayahnya seorang pengrajin wol yang hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thûs. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya tertarik pada kehidupan sufi. Pada saat ajalnya sudah dekat, dia berwasiat kepada seorang sufi yang sekaligus juga teman karibnya untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad serta menyerahkan sedikit bekal warisan untuk anak-anaknya itu. Sahabat sufi itu menerima wasiat itu dengan baik. Akan tetapi, setelah harta itu habis, sementara sufi tersebut hidup dalam kondisi fakir, membuatnya berinisiatif untuk menyerahkan Imâm al-Ghazâlî dan adiknya ke sebuah madrasah di Thûs agar mendapatkan pendidikan dan pemeliharaan yang layak. Di madrasah ini potensi intelektual dan spiritual Imâm al-Ghazâlî dikembangkan sampai akhir hayatnya. Namun dalam perkembangannya, situasi kultural dan struktural 40 ‘Abd al-Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. terj. Muhammad Muchson Anasy (Jakarta: Khalifa, 2005), 55. 41 A.F. Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental (Jakarta: Amzah, 2001), 6.
32
33
masyarakat pada masa hidupnya ikut mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu, situasi kultural dan struktural pada masanya perlu juga diketahui. 42
B. Setting Sosial Imâm al-Ghazâlî 1. Situasi Kultural dan Struktural pada Masa Imâm al-Ghazâlî Setengah abad usia Imam Al-Ghazali dilalui pada abad ke-5 H. lebih kurang lima tahun dia sempat mereguk udara abad berikutnya. Itulah masa hidup Imâm al-Ghazâlî yang dihabiskan beberapa lama di Khurasan (Iran), daerah tempat kelahiran dan pendidikannya. Di Baghdad (Irak), tempat puncak karier intelektualnya, dan di Damaskus, al-Qûds, Makkah, Madînah, dan kota-kota lain sebagai tempat persinggahannya dalam perjalanannya yang panjang untuk memenuhi tuntutan spiritualnya. Situasi kultural dan struktural di daerah-daerah tersebut pada masa itu akan diuraikan berikut ini. Dari segi politik, di dunia Islam bagian timur, eksistensi Dinasti ‘Abbâsîyah, dengan ibu kotanya Baghdad, masih diakui. Hanya saja kekuasaan efektif berada di tangan Sultan yang membagi wilayah tersebut menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Sultan Togrel Bek (1037-1063 M), sempat berkuasa di daerah-daerah Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, al-Jazirah, Persi dan Ahwaz selama 90 tahun lebih (429-522 H/1037-1127 M). kota Baghdad dikuasainya pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum Imâm al-Ghazâlî lahir. Dinasti Saljuk mengalami masa kejayaannya tepatnya pada masa pemerintahan
42
Ibid., 6.
34
Sultan Alp Arslan (1063-1072) dan Sultan Mâlik Syah (1072-1092) dengan wazirnya yang terkenal Nizhâm al-Mulk (1063-1092).43 Sesudah Itu, Dinasti Saljuk mengalami kemunduran karena terjadi perebutan tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilakukan oleh golongan Bathînîyah. Imâm al-Ghazâlî hidup dan berprestasi pada kedua fase tersebut, baik pada masa kejayaannya maupun pada masa kemundurannya. Cabang lain dari Dinasti Saljuk juga berkuasa di wilayah Syiria, wilayah yang direbutnya dari tangan Dinasti Fathîmîyah di Mesir. Karena letak geografisnya yang strategis, wilayah ini selalu menjadi rebutan para penguasa. Saljuk berkuasa di daerah ini sejak tahun 468 H/1075 M waktu Imâm al-Ghazâlî datang ke daerah ini pemerintahan di pegang oleh Daqqâ’ Abû ´Ashr atau Syams al-Mulk yang memerintah mulai tahun 488 H. pada pemerintahannya terjadi Perang Salib dan mengakibatkan timbulnya beberapa kerajaan Kristen di wilyah Syiria, seperti Kerajaan Ruha pada tahun 490 H/ 1097 M dan Kerajaan Antiochia pada tahun 492 H/ 1099 M dan pada tahun 495 H menyusul pula kota Tripoli. Di Mesir, pada masa itu masih tetap berdiri Khilafah Fathîmîyah. wilayah kekuasaannya tidak hanya terbatas di Mesir saja, namun sampai Afrika Utara dan Syiria. Bahkan pernah sampai beberapa bulan menguasai ibu kota Baghdad, ´Abbâsîyah, yaitu menjelang munculnya Dinasti Saljuk. Dinasti Saljuk kemudian merobek-robek wilayah Kerajaan Fathîmîyah di Irak dan Syiria.
43
Ibid., 7.
35
Pada tahun 472 H/ 1079 M. Dinasti Fathîmîyah sempat berusaha merebut kembali wilayah Syiria dari tangan Saljuk tetapi gagal. Mungkin karena kegagalan ini yang membuat Fathîmîyah bersikap diam tatkala Dinasti Saljuk berjuang mati-matian dalam menghadapi gelombang tentara salib yang menjadi ancaman dunia Islam pada waktu itu.44 Situasi politik dan keamanan dalam negeri Dinasti Saljuk tidak stabil karena adanya gangguan dari gerakan politik bawah tanah yang berbajukan agama, yaitu gerakan Bathînîyah. Gerakan ini bermula dari pecahan sekte Syi´ah Ismâ´ilîyah yang terjadi dalam istana Dinasti Fathîmîyah di Mesir. Gerakan ini menjadi kuat dan berbahaya di bawah pimpinan Hasan alShabâh, yang memegang pimpinan mulai tahun 483 H/ 1090 M dengan menjadikan ´Allâmut (sebelah utara Quzwin) sebagai sentral gerakan dan kekuasaannya. Dalam mensukseskan gerakannya, Bathînîyah tidak segan-segan mengadakan serangkaian pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penguasa dan ulama yang dianggap pengahalang bagi mereka. Di antara korbannya adalah Nizhâm al-Mulk, wazir Saljuk terbesar yang terbunuh pada tahun 495 H/ 1092 M dan sangat berjasa bagi karier intelektual Imâm al-Ghazâlî. Usaha Dinasti saljuk untuk menghancurkan gerakan ini dengan menggunakan serangkaian serangan ke pusat gerakan ´Allâmut selalu gagal. Malah pada tahun 490 H, Bathînîyah sudah berhasil menguasai sebelas benteng di seluruh Iran yang terbentang dari Qahistan di timur sampai Dailam di barat
44
Ibid., 8.
36
laut. Gerakan ini baru dapat dihancurkan oleh tentara Tartar di bawah pimpinan Hulaku pada tahun 654 H/ 1256 M, setelah 177 tahun berdiri dengan delapan orang pimpinan. Pada masa Imâm al-Ghazâlî bukan saja terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial keagamaan. Umat Islam itu terpecah menjadi beberapa golongan madzhab fikih dan aliran kalam. Masing-masing golongan madzhab fikih mempunyai tokoh ulama yang dengan sadar menanamkan fanatisme golongan kepada umat. Sebenarnya gerakan serupa juga telah diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa cenderung berusaha menanamkan pengaruhnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan, seperti yang dilakukan oleh alKundûrî, wazir Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Muktazilah. Madzhab dan aliran lain ditekan, seperti mazhab Syâfi´î dan aliran Asy´ârî, yang tokoh-tokohnya banyak yang menjadi korban. 45 Situasi ini berubah tatkala Nizhâm al-Mulk yang bermadzhab Syâfi´î dan beraliran Asy´ârî menjadi wazir pengganti al-Kundûrî. Nizhâm al-Mulk dan Imâm al-Ghazâlî sama-sama lahir di Thûs, daerah yang mayoritas penduduknya bemadzhab Syâfi´î dan beraliran Asy´ârî. Dalam usahanya mengembangkan madzhabnya dalam masyarakat, Nizhâm al-Mulk bertindak lebih etis dari pada pendahulunya, yaitu dengan mendirikan beberapa madrasah yang diberi nama madrasah Nizhâmîyah. Di madrasah ini para tokoh ulama madzhab Syâfi´î dan aliaran Asy´ârî dengan leluasa
45
Ibid., 10.
37
mengajarkan doktrin-doktrinnya. Untuk itu, Nizhâm al-Mulk mengeluarkan biaya sebesar 600.000 dinar emas setahunnya, jumlah yang dianggap sangat besar oleh Sultan Mâlik Syah. Dinasti Saljuk di Syiria juga mendirikan madrasah model Nizhâmîyah di daerah mereka dengan maksud yang sama. Lebih dari sepuluh buah madrasah mereka dirikan. Tetapi, hanya tinggal satu yang sempat ditemukan Imâm al-Ghazâlî waktu dia datang ke sana. Memang sejak lama, sekolah dijadikan sarana penyebar faham pihak-pihak penguasa yang membinanya. Misalnya, Jâmi’ al-Azhâr di Kairo yang didirikan oleh Dinasti Fathîmîyah pada tahun 972 M dengan tujuan untuk menyebarkan faham sekte Syî´ah Ismâ´ilîyah yang dianut penguasa. Fanatisme yang berlebihan pada masa itu, sering menimbulkan konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antar madzhab dan aliran. Masing-masing madzhab mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan, mayoritas penduduknya bermadzhab Syâfi´î, di Isfahan madzhab Syâfi´î bertemu dengan madzhab Hambalî dan di Balkh bertemu dengan Hanafî. Sementara di Baghdad Syâfi´î lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut madzhab yang satu mengkafirkan madzhab yang lain, seperti antara madzhab Syâfi´î dengan Hambalî. Ibn al-Jauzî (597 H) mengemukakan bahwa ada beberapa peristiwa konflik yang terjadi di Baghdad tahun 469 H. Di Baghdad terjadi peristiwa Qusyairî yaitu timbulnya konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah. Konflik itu terjadi karena pihak pertama menuduh pihak kedua
38
berfaham “tajsîm” yang mengakibatkan korban jiwa seorang laki-laki. Pada tahun
256
H
golongan
Hanabilah,
pengikut
´Abd
al-Shamad,
mendemostrasikan Abû ´Ali ibn al-Wâhid, seorang tokoh Muktazilah yang mengajarkan falsafah dan kalam versi Muktazilah di masjid al-Manshûr. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan Hanabilah dengan Syî´ah, dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme.46 Fenomena fanatisme madzhab dan aliran dalam masyarakat yang diperankan para ulama, erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata di bawah penguasa dalam stratifikasi sosial waktu itu. Hal ini terjadi karena adanya interdepensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para ulama bisa memperoleh semacam legitimasi kekuasaan di mata umat. Sebaliknya dengan peran penguasa para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut dengan kemewahan hidup. Oleh karena itu, para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa dan begitu pula sebaliknya dengan cara masing-masing. Di samping itu, ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di daerah Syiria, Saljuk mendirikan dua buah khankah yang megah, yaitu al-Qashr dan al-Tawamis, sebagai tambahan terhadap khankah yang sudah ada, yaitu al-Samisatîyah, yang dibangun oleh penguasa sebelumnya.
46
Ibid., 11.
39
Di Damaskus, pada masa itu, golongan sufi hidup di khankah-khankah yang megah seperti mahligai dengan taman firdausnya, dianggap kelompok istimewa. Kebutuhan hidup mereka dicukupi oleh masyarakat dan penguasa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan dunia yang penuh dengan noda. Mereka adalah orang-orang suci yang mampu mendoakan kepada Tuhan apa yang diharapkan masyarakat cepat terkabul. Dengan status ini beberapa sufi menggunakannya untuk mendapatkan kemudahan hidup dan kemuliaan dengan sarana kehidupan sufi yang ditonjolkan mereka.47 Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa Imâm alGhazâlî yang didasarkan atas perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari pengaruh kultural terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya dan akhirnya membuat pemikiran umat mengkristal dalam berbagai faham keagamaan yang dalam aspek-aspek tertentu saling bertentangan. Di antara unsur-unsur kultural yang paling berpengaruh pada masa Imâm al-Ghazâlî adalah filsafat Yunani, India, dan Persia. Filsafat Yunani banyak diserap para teolog, filsafat India diadaptasi kaum sufi, dan doktrin Syi’ah dalam konsep Imamah banyak dipengaruhi oleh filsafat Persia. Yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan fahamnya, masing-masing
aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai
alatnya. Untuk itu, semua intelektual baik yang menerima maupun yang
47
Ibid., 12.
40
menolak unsur-unsur filsafat dalam agama harus mempelajari filsafat terlebih dahulu. Interdepensi antara penguasa dan ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Selain saling berkompetisi dalam pelbagai studi ilmu, para ulama juga mencari kesempatan mendapatkan simpati dari penguasa. Penguasa selalu memantau kemajuan mereka untuk menduduki jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Dalam hal ini peran wazir Nizam al-Mulk besar sekali sehingga dia berani mengeluarkan 600.000 dinar emas dari perbendaharaan Negara selama setahun guna kepentingan pengembangan ilmu yang berpusat di
madrasah-madrasah
yang
didirikannya.
Anggaran
sebesar
itu
dipergunakan untuk memberi beasiswa kepada para pelajar dan gaji dalam jumlah besar kepada guru-guru. Di samping itu, Nizam al-Mulk juga mendirikan lembaga-lembaga seminar tempat para intelektual bertukar pikiran. Akan tetapi, usaha pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama, yaitu untuk mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Muktazilah. Filsafat waktu itu tidak hanya menjadi komsumsi umum, bahkan bagi sementara orang kebenaran pemikiran filsafat diterima scara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama serta pengamalannya. Filsafat juga diserap oleh para pemikir Ikhwân al-Shafâ, yang pemikiran mereka banyak pula diserang oleh sekte Ismâ´ilîyah. Bahkan, gerakan Bathînîyah menjadikannya sebagai alat propaganda untuk merusak akidah umat dan mengancam stabilitas politik.
41
Aliran Muktazilah selain banyak menyerap filsafat Yunani, juga secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahl al-Sunnah. Hal itu terjadi pada masa Dinasti Buwayh maupun pada masa pemerintahan al-Kundûrî, wazir Saljuk yang pertama, yang digantikan oleh Nizhâm al-Mulk. Oleh karena itu, menurut pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl al-Sunnah, aliran filsafat, dan Muktazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Di tengah situasi seperti itu, Imâm alGhazâlî dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah.48
2.Karier Intelektual Imâm al-Ghazâlî Pada masa pemeliharaan si sufi pemegang wasiat ayahnya, Imâm alGhazâlî sudah diajari menulis (khath). Pada waktu dia dimasukkan ke sebuah madrasah di Thûs oleh walinya yang tidak lagi mampu memberi nafkah kehidupanya. Imâm al-Ghazâlî mulai belajar fikih Syafi'i dan teologi Asy’ari dari seorang guru yang bernama Ahmâd ibn Muhammad al-Razakanî alThûsî.49 Inilah awal mula Imâm al-Ghazâlî bergelimang dengan dunia ilmu yang digelutinya sampai akhir hayatnya. Setelah itu, dia melanjutkan studinya di Jurjan yang mempunyai madrasah lebih besar di bawah pimpinan seorang ulama bernama Abû Nashr al-Ismâ´ilî. Waktu itu usianya belum mencapai 20 tahun. Selain belajar ilmu agama, dia juga giat mempelajari bahasa Arab dan Persia. 48
Ibid., 14. Imâm abî Hasan ´Abd al-Ghâfir bin Ismâ´îl bin ´Abd al-Ghâfir bin Muhammad al-Fârisî al-Hafidz, Al-Muntakhab min al-Siyâq Litârikh Naysaburî (Bairut: Dâr al-Kutub al-´Ilmîyah, 1989), 73. 49
42
Setelah menuntut ilmu di Jurjan, Imâm al-Ghazâlî kembali ke Thûs. Di sini dia selama tiga tahun mengkaji ulang hasil pelajarannya di Jurjan sehingga dapat dikuasainya dengan baik. Selama itu, dia sempat pula mempelajari tasawuf dari Yûsuf al-Nassaj (wafat 487 H).50 Sesudah itu, Imâm al-Ghazâlî berangkat ke Nisabur bersama beberapa temannya untuk berguru kepada Abû al-Ma´âlî al-Juwaynî (wafat 478 H), tokoh Asy’arisme masa itu yang sedang memimpin perguruan tinggi Nizhâmîyah. Di sini Imâm al-Ghazâlî belajar berbagi disiplin ilmu agama dan ilmu umum seperti fikih, ushûl al-Fikih, teologi, filsafat, dan metode berdiskusi. Dengan demikian, perkembangan intelektual dan kecerdasannya berkembang sehingga diakui gurunya sendiri. Dia digelari dengan Bahr alMughrîq (samudera yang menenggelamkan) dan sering diminta untuk mengajar adik-adik kelasnya. Di sini pula Imâm al-Ghazâlî memulai kariernya sebagai pengarang dengan menulis beberapa karya tulis di bidang fikih dan ushûl al-Fikih dalam madzhab Syâfi´î. Karyanya yang pertama berjudul AlMankhul fî ´Ilm al-Ushûl sangat menggembirakan gurunya, al-Juwaynî, meskipun di sisi lain sang guru merasa iri kepada Imâm al-Ghazâlî dengan mengatakan “Anda sampai hati menguburku padahal aku masih hidup. Apakah anda tidak sabar menunggu sampai aku meninggal ?”.51 Di sini pula Imam Al-Ghazali sempat belajar sufisme dari Abu ‘Ali al-Fadhl ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Farmadhi (wafat 477 H) dari segi teori dan prakteknya. Dengan demikian, selama di Nisabur, kota terbesar di daerah 50 51
Jaelani,Penyucian Jiwa, 15. Ahmad, Tasawuf Antara, 62.
43
Khurasan, Imâm al-Ghazâlî benar-benar menjadi seorang intelektual yang paripurna pengetahuannya dalam berdiskusi bersama para intelektual dan menulis dalam bentuk karya ilmiahnya.52 Pada tahun 478 H/ 1085 M, Imâm al-Ghazâlî meninggalkan kota Nisabur dan menuju Mu´askar, karena guru yang sangat berjasa terhadap perkembangan intelektualnya, al-Juwaynî meninggal. Dia menuju Mu’askar dengan maksud ikut bergabung dengan para intelektual di sana dalam majelis seminar yang didirikan oleh Nizhâm al-Mulk, wazir Saljuk. Kehadiran Imâm al-Ghazâlî di majelis ini disambut gembira oleh Nizhâm al-Mulk yang selalu hadir dalam setiap acara dalam majelis ini. Nama Imâm al-Ghazâlî melangit karena kedalaman ilmunya, kehebatan analisisnya, dalam ketajaman argumentasinya sehingga semua partisipan mengakui keunggulannya. Dengan demikian jadilah Imâm al-Ghazâlî “imam” atau anutan para intelektual di wilayah Khurasan pada waktu itu. Lebih kurang enam tahun Imâm al-Ghazâlî bergelimang dengan perdebatan ilmiyah di Mu’askar ini. Selama itu ilmunya semakin mendalam, terutama di bidang fikih dan kalam. Akhirnya, setelah Nizhâm al-Mulk melihat reputasi ilmiahnya yang cemerlang itu, Imâm alGhazâlî pun diangkat sebagai guru besar sekaligus pemimpin perguruan alNizhâmîyah di kota Baghdad pada tahun 484 H/ 1091 M, yang sudah didirikan sejak tahun 458 H/ 1065 M. Di Nizhâmîyah Baghâd, Imâm al-Ghazâlî memberi kuliah teologi dan fikih (Syâfi´î). Kuliah-kuliahnya dihadiri oleh tiga ratusan tokoh ulama yang
52
Jaelani, Penyucian Jiwa, 16.
44
tekun mengikutinya, termasuk di antaranya beberapa pemuka madzhab Hambalî, seperti Ibn ´Âqil dan Abû al-Khaththab. Sesuatu hal yang sangat langka terjadi pada saat permusuhan antar madzhab meruncing seperti pada masa itu. Oleh Karena itu, dengan cepat nama Imâm al-Ghazâlî terkenal di wilayah Irak, hampir saja mengalahkan kepopuleran para penguasa dan para panglima di ibu kota ´Abbâsîyah. Di sela-sela kegiatan mengajar, Imâm alGhazâlî juga mempelajari filsafat secara mendalam. Dalam tempo kurang dari dua tahun secara otodidak dia sudah menguasai segala aspek filsafat Yunani, terutama yang sudah diolah para filsuf Islam, seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Maskawyh (wafat 421 H) dan mereka tergabung dalam “Ikhwân al-Shafâ”.53 Penguasaan Imâm al-Ghazâlî terhadap filsafat dibuktikan dengan sebuah karyanya berjudul Maqâshid al-Falâsifah (tujuan-tujuan para filsuf). Buku ini mendiskripsikan tiga pokok ajaran filsafat Yunani yaitu logika, metafisika, dan fisika. Dengan bahasa yang mudah dipahami. Menurut Sulaiman buku ini betul-betul dapat mempermudah para pemula mengkaji filsafat Yunani, karena susunannya yang sistematis dan bahasanya yang sangat mudah. Kemampuan di bidang filsafat ini diselaraskan dengan misi ulama dan para penguasa waktu itu, yaitu mengantisipasi pengaruh filsafat yang dianggap berbahaya bagi agama. Untuk itu Imâm al-Ghazâlî mengeluarkan karyanya yang kedua di bidang filsafat yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah (keracunan para filsuf). Dengan karyanya yang monumental ini, Imâm al-Ghazâlî berhak menyandang gelar sebagai filsuf Islam. Isinya berpretensi untuk menghancurkan reputasi
53
Ibid., 17.
45
para filsuf di mata umat, karena adanya keracunan pemikiran mereka sehingga bertentangan dengan akidah yang benar. Reputasi Imâm al-Ghazâlî di bidang filsafat ini menambah ketenaran namanya karena memang belum ada seorang teolog pun yang selama ini mampu menghantam pemikiran para filsuf dengan senjata mereka sendiri, yaitu logika. Oleh karena itu, pada waktu Imâm alGhazâlî menghadiri penobatan Khalifah al-Mustazhîr bin Allâh pada tahun 487 H, dia diminta khalifah ´Abbâsîyah itu untuk menulis karyanya yang menghantam aliran Bathînîyah. Pada waktu itu gerakan Bathînîyah sedang gencar-gencarnya mengganggu stabilitas politik dan keagamaan. Imâm alGhazâlî pun menekuni doktrin-doktrin Bathînîyah, sampai lahirnya karyanya yang berjudul Fadhâ´ih al-Bathînîyah wa Fadhâ´il al-Mustazhirîyah. Selain itu Imâm al-Ghazâlî
tetap mendalami bidang fikih dan kalam. Sehingga
keluarlah beberapa karya tulisnya di bidang-bidang ini, seperti al-Wajîz (ringkasan), al-Wasîth (pertengahan), dan al-Basîth (sederhana) dalam bidang fikih, dan al-Iqtishâd (moderasi dalam akidah) di bidang kalam. Dengan demikian, Imâm al-Ghazâlî merupakan seorang sosok intelektual yang berhasil menyelaraskan kehidupan intelektualnya dengan aspirasi dan misi penguasa pada masanya. Wajarlah kalau Imâm al-Ghazâlî memperoleh kemewahan hidup di samping ketenaran nama. Imâm al-Ghazâlî akhirnya berhasil mencapai puncak karier intelektualnya yang menjadi harapan para intelektual pada umumnya. 54
54
Ibid., 18.
46
Namun pada tahun 488 H/ 1095 M, Imâm al-Ghazâlî mendadak meninggalkan Baghdad menuju Damaskus di Syiria untuk menjalani cara hidup yang sama sekali lain dari kehidupannya selama di Baghâd. Dia meninggalkan keluarga dan jabatan yang dipangkunya berikut dengan kemewahan hidup yang diperolehnya saat itu, untuk hidup sebagai seorang sufi yang fakir dan zuhud terhadap dunia. Banyak pendapat para ahli muncul sekitar sebab intrinsik tindakan Imâm al-Ghazâlî. Di antaranya pendapat positivistik menyatakan bahwa Imâm al-Ghazâlî meninggalkan Baghâd karena takut terhadap gerakan Bathînîyah, yang pada waktu itu mengadakan serentetan pembunuhan terhadap beberapa tokoh ulama dan penguasa. Hal ini dijadikan alasan karena Imâm al-Ghazâlî baru saja mengeluarkan karyanya yang menghantam akidah golongan tersebut. Akan tetapi, Imâm al-Ghazâlî sendiri mengaku bahwa penyebab tindakannya itu adalah bersifat psikologis. Kemudian dalam pengakuannya, dia mempunyai perkembangan spiritual yang unik, yang menyertai karier intelektualnya yang sukses. Pengakuan Imâm alGhazâlî ini tertuang dalam karyanya yang berjudul al-Munqîdz min al-Dhalâl (pembebasan dari kesesatan), yang ditulisnya sekitar tahun 501 H.
3. Perkembangan Spiritual Imâm al-Ghazâlî Menurut pengakuan Imâm al-Ghazâlî, sejak remaja dia sudah mempunyai jiwa yang skeptis dan kritis. Justru itu, dia selalu terdorong untuk menuntut ilmu ke berbagai kota agar tahu banyak tentang bermacam-macam paham dan aliran agama. Dengan memperoleh banyak pengetahuan tentang bermacam-macam aliran, Imâm al-Ghazâlî merasa telah lepas dari belenggu
47
taklid, yaitu mengikuti apa yang harus diyakini tanpa mengetahui dasar argumennya. Menurut pengamatan Imâm al-Ghazâlî, taklidlah yang mendasari keberagaman umat manusia pada mulanya. Karena anak Yahudi cenderung menjadi penganut Yahudi, anak Kristen menjadi Kristen dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Justru itu, Imâm al-Ghazâlî dengan jiwanya yang kritis terdorong untuk meneliti sehingga jelas keyakinan agama yang dianut seseorang termasuk unsur yang esensial (fithrah) atau termasuk unsur kultural ini bisa berbeda antara yang hak dan yang batil. Dorongan meneliti itu ditambah lagi dengan implikasi banyaknya ilmu pengetahuan tentang berbagai paham dan aliran agama yang sudah diperolehnya, yaitu adanya kesetaraan argumen (tafakû al-Adillâh) di antara aliran-aliran tersebut. Hal ini secara implisit dapat diperoleh dari pengakuan Imâm al-Ghazâlî selanjutnya. 55 Akan tetapi, untuk mengetahui kebenaran (hakikat) sesuatu, diperlukan pengetahuan yang menyakinkan terhadap sesuatu itu. Keyakinan yang sampai ke tingkat matematik seperti keyakinan bilangan sepuluh lebih besar dari tiga, yang tidak tergoyahkan lagi oleh intimidasi apapun. Pengetahuan yang meyakinkan seperti contoh tersebut itu tidak dimilikinya, kecuali dari sumber indrawi (hissîyah) dan pemikiran keniscayaan (dharurîyah). Dengan demikian berarti Imâm al-Ghazâlî sudah mencoba berbagai sumber pengetahuan yang
55
Ibid., 19.
48
biasa dipergunakan oleh para intelektual waktu itu seperti akal dan indera, teks-teks al-Qur’ân, hadis, dan postulat-postulat yang umum diterima masyarakat pada waktu itu. Hasilnya, semua itu diragukan kredibilitasnya sebagai sebagai sumber pengetahuan yang meyakinkan dirinya. Termasuk teks-teks al-Qur’an dan hadis yang diambil pengertian lahirnya karena masih adanya pertentangan pendapat dengan dalil yang sama. Namun, kedua sumber yang masih dipegangnya berupa indrawi dan pikiran keniscayaan (dharûrî) masih diragukan setelah diuji lagi kredibilitasnya. Indera penglihatan (indera yang terkuat pada manusia) diragukan kredibilitasnya karena masa sering tertipu. Sebagai contoh, pengamatan terhadap bayang-banyang satu benda yang terlihat tetap di tempat, padahal bergerak secara gradual. Kredibilitas akal diragukan karena adanya kasus mimpi yang menganggap adanya sesuatu, tetapi setelah terjaga, sesuatu itu sebenarnya tidak ada wujudnya. Hal ini terjadi karena adanya anggapan manusia sewaktu hidup adalah seperti sedang tidur dan bermimpi dan setelah mati dia dianggap terjaga dari tidurnya. Dengan tertolaknya kredibilitas kedua sumber pengetahuan yang masih dipegangnya, Imâm al-Ghazâlî meras tidak mempunyai pegangan lagi, dan jadilah dia seorang yang Sophist. Krisis kejiwaan ini berlangsung selama dua bulan dalam perkembangan spriritual Imâm al-Ghazâlî. Dia baru sembuh setelah mendapat ilham dari Tuhan secara langsung yang berisi agar dia tetap meyakini kredibilitas dhârurî sebagai dasar pengetahuan yang meyakinkan. Menurut Imâm al-Ghazâlî, pikiran dhârurî itu sebenarnya sudah ada pada setiap orang dan juga pada dirinya. Akan tetapi, karena jiwanya skeptis, dia
49
pun masih harus mencarinya. Mencari sesuatu yang semestinya tidak perlu dicari. 56 Dengan berpegang pada kredibilitas dhârur, Imâm al-Ghazâlî mulai melangkah meneliti secara partisipan terhadap empat golongan yang dianggapnya mempunyai metode tersendiri untuk memperoleh pengetahuan terhadap hakikat segala sesuatu. Golongan yang dimaksud adalah golongan teolog (mutakallimûn), golongan Bathînîyah, golongan filsuf, dan golongan sufi. Pertama kali Imâm al-Ghazâlî mulai mengikuti kegiatan para teolog. Dia telah menghasilkan beberapa karya tulis di bidang kalam. Akan tetapi, setelah dia melihat kerja para teolog itu hanya sibuk mengumpulkan argumenargumen lawan pahamnya, untuk dibantah dengan argumen sendiri yang dianggapnya lebih rasional. Menurut Imâm al-Ghazâlî, kalam hanya berpretensi untuk membentengi akidah yang benar, yang bersumber dari alQur’andan hadis dari gangguan ahli bid´ah dengan cara rasional. Akan tetapi, untuk menumbuhkan akidah yang benar pada umat yang belum atau tidak menganutnya, kalam tidak bisa dipercaya berhasil melakukannya. Oleh karena itu, Imâm al-Ghazâlî menilai bahwa metode para teolog tidak bisa memuaskan tuntutan jiwanya. Keinginannya menuntutnya
untuk mencari pengetahuan
yang meyakinkan agar hakikat kebenaran terbuka secara tuntas, meskipun dia menyadari ada yang cukup puas dengan hasil kerja para teolog itu.57
56 57
Ibid., 21. Ibid., 22.
50
Selanjutnya Imâm al-Ghazâlî meneliti pula kerja para filosof dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai dapat menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filosof. Akan tetapi, hasil kajian ini pada kesimpulan bahwa metode rasional para filosof tidak bisa dipercaya untuk menghasilkan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat suatu bidang metafisika (ilahîyah) dan sebagian dari ilmu fisika (thabi´îyah) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Imâm al-Ghazâlî tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat di bidang-bidang lain seperti logika dan matematika dengan memberi beberapa catatan untuk menangkal eksesekses yang bisa ditimbulkannya. Dengan demikian, Imâm al-Ghazâlî pun meninggalkan metode filosof. Kemudian Imâm al-Ghazâlî mencoba pula mencari kebenaran di kalangan Bathînîyah. Mula-mula dengan mempelajari segala aspek ajarannya. Bertepatan pula hal ini dengan adanya permintaan dari pihak khalifah ´Abbâsîyah untuk menulis tentang doktrin-doktrin golongan ini. Menurut Imâm al-Ghazâlî, golongan ini menolak kredibilitas akal dalam masalah agama,
karena
adanya
pertentangan-pertentangan
pendapat
yang
dihasilkannya. Justru itu mereka hanya berpegang kepada ajaran dari imam yang ma’shûm (terbebas dari kesalahan), yang menerima langsung ajarannya dari Allah melalui Nabi Muhammad. Mengikuti metode mereka itui pun mencari-cari dimana gerangan imam yang ma’shûm itu berada, untuk bisa
51
diperoleh ajaran-ajarannya. Ternyata tidak bisa ditemukannya. Justru itu Imâm al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa para pengikut Bathînîyah dalam keadaan tertipu. Metode mereka tidak bisa sampai kepada suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat segala sesuatu. Oleh karena itu, metode ini pun ditinggalkannya. Akhirnya, Imâm al-Ghazâlî mau mencoba metode yang dipergunakan para sufi yang terdiri dari dua aspek, yaitu yang terdiri dari ilmu dan amal. Dari segi ilmu, Imâm al-Ghazâlî merasa sudah memilikinya karena sudah mempelajari dan banyak karya sufi yang terdahulu sudah dibacanya. Akan tetapi, Imâm al-Ghazâlî merasa lebih berat mengamalkannya dari pada memburu ilmunya karena ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk mempraktekkannya. Di antaranya dengan memalingkan diri dari segala bentuk kemuliaan status (jah) dan harta benda dan menjauhkan diri dari segala bentuk ikatan dan kesibukan. Malah dia merasa bahwa motivasi (dasar niat) memberi kuliah dan kegiatan ilmiah lainnya tidak ikhlas karena Allah, tetapi untuk memperoleh kemuliaan status dan ketenaran nama. Justru itu Imâm al-Ghazâlî merasa berat sekali untuk mencoba metode terakhir yang akan dicobanya setelah merasa tidak puas terhadap ketiga metode sebelumnya. Dalam situasi seperti ini Imâm al-Ghazâlî mengalami krisis kejiwaan kedua kalinya, malah lebih parah dibandingkan dengan krisis yang pernah dialami sebelumnya. Krisis kejiawaan ini berpangkal dari pergulatan antara dua kepentingan yang berbeda secara diametral di dalam jiwanya, yang masing-masing selalu mendapatkan dukungan dari bisikan-bisikan halus yang silih berganti
52
menyelinap ke dalam hati sanubarinya. Jadilah hatinya ajang pertarungan antara tarikan dunia dan tuntutan jiwa untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan, yang dicarinya beberapa tahun. Krisis kejiwaan ini berlangsung sekitar enam bulan, dan sampai mengakibatkan fisiknya jatuh sakit. Lidahnya untuk beberapa lama kejang dan tidak bisa bersuara. Setelah para dokter sudah putus asa menyembuhkannya, Imâm al-Ghazâlî menyerahkan segala persoalan jiwanya kepada Allah dan memohon petunjuk-Nya. Ternyata Allah mengabulkan permohonannya. Imâm al-Ghazâlî bisa sembuh dan merasa mendapat kemudahan untuk bisa meninggalkan jabatan, kemuliaan status, dan kemewahan hidup yang kesemuanya merupakan hasil karier intelektualnya selama ini. Dia merasa mudah untuk memenuhi tuntutan jiwanya selama ini, dengan harapan dapat memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.58 Inilah isi pengakuan Imâm al-Ghazâlî tentang sebab tindakan untuk meninggalkan Baghdad menuju Damaskus pada tahun 499 H. (1095) yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan faktor politik.59 Imâm al-Ghazâlî mulai menjalani kehidupan sebagai seorang sufi pada usia 38 tahun untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan dirinya. Dia tinggalkan kota Baghdad karena di sini terdapat hal-hal yang mengikat dirinya pada kelezatan hidup di dunia yang merintangi jalan menjadi sufisme secara baik. Setelah memberikan biaya hidup secukupnya kepada keluarga yang ditinggalkannya, Imâm al-Ghazâlî mulai safarinya yang panjang ke berbagai kota dan negeri Islam sebagai seorang sufi. Ada dua negeri yang dengan jelas 58 59
Ibid., 24.
53
disebutnya sebagai tempat yang disinggahinya. Mula-mula dia berada di Syam (Syiria) selama lebih kurang dua tahun melakukan uzlah (isolasi diri), khalwat (nyepi dengan ibadah), riyâdhah (melatih diri dengan segala sifat yang baik dan meninggalkan segala sifat yang tercela), dan mujâhadah (berjuang melawan
tarikan
hawa
nafsu).
Semuanya
dilakukan
dalam
rangka
pembersihan jiwa (tazkîyah al-Nafs), pendidikan akhlak, dan pengisian hati dengan ingat (dzikir) kepada Allah. Hal ini terutama dilakukannya di masjid Damaskus dan Bayt al-Maqdis. Kemudian Imâm al-Ghazâlî pergi ke Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Sebelumnya dia juga sudah berziarah ke makam Nabi Ibrahim di Bayt al-Maqdis.60 Selama lebih kurang sepuluh tahun atau sekitar sebelas tahun.61 Menurut pengakuan Imâm al-Ghazâlî dia melakukan praktek sufisme secara intensif meskipun kadang-kadang konsentrasinya buyar karena adanya masalah-masalah yang menarik perhatian dari dunia sekitar. Selama itu Imâm al-Ghazâlî mengaku telah memperoleh banyak pengetahuan yang meyakinkan terhadap hakekat segala sesuatu yang berkenaan dengan akidah sebagaimana yang dicarinya selama ini. Akhirnya, Imâm al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa metode para sufi adalah metode yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan sampai ke tingkat matematis. Selama itu pula tidak sedikit karya tulis yang dihasilkan Imam Al-Ghazali terutama di bidang sufisme dan kalam, antara lain Ihyâ´ ´Ulûm al-Dîn (menghidupkan kembali 60 61
Ibid., 25. Ibid., 25.
54
ilmu-ilmu agama) merupakan karyanya yang monumental. Jawâhir al-Qur’an (mutiara-mutiara Al-Qur’an), al-Qisthâs al-Mustaqîm (sebuah teraju yang lurus), dan al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn (empat puluh pokok-pokok agama).62 Pada tahun 499 H/ 1106 M, menurut pengakuan Imâm al-Ghazâlî timbul kesadaran baru dalam dirinya bahwa dia harus keluar uzlah dari zawîyah (tempat khalwat sufi) karena merajalelanya dekadensi moral dan amal di kalangan umat, malah sampai ke kalangan ulama, sehingga diperlukan penanganan serius untuk mengobatinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan wazir Fakhr al-Mulk (putra Nizhâm al-Mulk) untuk ikut mengajar lagi di Nizhâmîyah di Nisabur. Pada tahun itu juga dia mulai lagi mengajar di madrasah tersebut, tetapi dengan motivasi sebagaimana pengakuan Imâm alGhazâlî yang sangat berbeda dari motivasi mengajarnya di Nizhâmîyah Baghdad, sekitar 15 tahun sebelumnya. Akan tetapi, Imâm al-Ghazâlî tidak lama mengajar di Nisabur ini, dia pun kembali ke Thûs, tempat kelahirannya. Di sini dia membangun sebuah madrasah untuk mengajar sufisme dan teologi dan sebuah khankah untuk tempat praktikum para sufi di samping rumahnya. Akhirnya pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M, Imâm al-Ghazâlî meninggal.63 Telah lahir pula beberapa karya tulisnya di antaranya adalah al-Munqîdz min al-Dhalâl (pembebas dari kesesatan), Iljam al-´Awam ‘an ‘Ilm al-Kalâm (mengendalikan orang awam dari ilmu kalam), dan Minhaj al-‘Âbidîn (metode para ´âbid). Dari isi-isi kitab tersebut tampak bahwa Imâm al-Ghazâlî sampai akhir hayatnya tetap menaruh 62 63
Ibid., 26. Ismail Jakub, Mencari Makam Imam Ghazali (Surabaya: CV. Faizan, t.t), 111.
55
perhatian kepada bidang-bidang yang pernah ditekuninya seperti filsafat, fikih, kalam, dan sufisme.
C. Karya-karya Imâm al-Ghazâlî Imâm al-Ghazâlî seorang ulama’ yang tekun belajar, mengajar, mengarang dan tekun dalam beribadah. Karena luasnya pengetahuan, maka sangat sulit untuk menentukan bidang spesialis apa yang digelutinya. Hampir semua aspek keagamaan dikaji sewaktu di Perguruan Tinggi Nizhâmîyah Baghdad. Imâm al-Ghazâlî banyak mengarkan tentang ilmu fiqih versi Imâm al-Syâfi´î, tetapi Imâm al-Ghazâlî juga mendalami bidang lain seperti filsafat, kalam, tasawuf. Karena itu, menempatkan Imâm al-Ghazâlî dalam satu segi tentulah tidak adil. Sangat tepat bila gelar “Hujjah al-Islâm” dia sandang dengan pertimbangan Imâm al-Ghazâlî mempunyai keahlian (kualifikasi) multidimensi.64 Kesemuanya itu dapat diteliti melalui karyanya sebagai ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam beraneka ragam bidang. Dia menulis dengan penuh percaya diri sehingga nampak tulisannya itu mampu mewakili masalah yang dia temukan. Menurut Mushthafâ al-Ghalab, Imâm al-Ghazâlî meninggalkan tulisannya berupa buku dan karya ilmiah sebanyak 228 kitab yang terdiri dari beraneka ragam ilmu pengetahuan yang terkenal di masanya. Kitab-kitab yang dikarangnya antara lain:65
2008. 2008.
64
Al-Ghazâlî, http://riobm.wordpress.com/2007/06/02/imam-al-ghazali/, diakses 28 April
65
Al-Imâm al-Ghazâlî wa A’mâluhu, http://ghazali.org/site/oeuvre.htm, diakses 28 April
56
1. Dalam Bidang Tasawuf a. b. c.
KّLzّk[( اداب اAdâb al-Shûfîyah), terbit di Mesir. q}ّl[( اداب اAdâb al-Dîn), telah dicetak di Kairo pada tahun 1343 M. q}ّl[ ا¡ل اyz qLرnب اc( آKitâb al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn),
merupakan bagian ketiga dari Jawâhir al-Qur’ân, terbit di Makkah tahun 1302.
d.
ءcL`¢{ اu اqm ء£p¢( اAl-Imlâ´ ‘an Asykal al-Ihyâ’), sebagai jawaban orang-orang yang menyerang kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Dicetak dibersama pinggiran qLgo[ ا¤cّ
[ف اcّO¢( اal-Ittihâf al-Sabâh al-Muftaqîn), Zabidi Press tahun 1302 M.
e.
q}ّl[^م اm ءcL`¢ا
(Al-Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn), merupakan buku fatwa dan karya dia yang terbesar, telah dicetak berulang kali di Mesir
tahun 1281 M dan terdapat tulisan tangan di beberapa perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Inggris, Oxford dan Paris. f.
l[[ اcSّ}( اAiyuhâ al-Walad), yang membahas tentang zuhud, targhîb dan tahdzîb. Dicetak dan diterjemahkan di Wina tahun 1983 M dan
juga di cetak di Mesir.ا
g.
cSّ}ا KّLmR¦[§داب اc hgّf[©}¨ اSّ[ واK}اlS[ اK}اl
(Bidâyah al-
Hidâyah waal-Tahdzîb al-Nafs bi al-Adâb al-Syar’îyah), telah dicetak berulang kali di Kairo, ada juga tulisan tangan di Berlin, Paris, London, Oxford, Al-Jazair dan Ghute. Ada ringkasan bahkan sejarah dengan nama Maqâry al-Ubdîyah. h.
c`ّورl[ان اR[ اRاهx
(Jawâhir al-Qur’ân al-Dauruhâ), telah dicetak di Makkah, Bombay dan Mesir dan ada juga tulisan tangan di Leiden, Inggris, Dâr al-Kutub, Mesir.
i.
ªت اc«^]o[ اyz Ko{[( اAl-Hikmah fi al-Makhlûqat Allâh), telah dicetak berulang kali di Mesir.
j.
فkّ[ اK¡£`
(Hulâshah al-Tashawuf), Dia tulis dalam bahasa Persi, dan sudah diterjemahkan oleh Muhammad al-Kurdî, dicetak di
57
Mesir tahun 1327 M. k. l.
KLl^[ اK[cj( رRisâlah al-Ladunîyah) KLّ ا[اK[cjR[( اAl-Risâlah al-Wâdhîyah), dicetak di Kairo tahun 1343.
m.
ا[^مKOcz (Fâtihah al-‘Ulûm), terdiri dari dua pasal. Ada tulisan di di perpustakaan Berlin dan Paris. Dicetak di Mesir tahun 1322 H.
n. o.
¤اRun اlm( «اQawâ’îd al-Asyrâh), dicetak berulang kali di Mesir. qLox ا[]^_ اRg¬[ اyz qLLّ[( ا[{¦ واal-Kasyf wa al-Tabyîn fî al-Ghufr al-Khalq Ajma’în), dicetak oleh Sya’rawî.
p.
qLfp®o[ اKّo[ اy[ اqLp§ اluRo[( اAl-Mursyid al-Amîn ilâ alMu´adzah-al-Mukminîn), merupakan ringkasan dari kitab Ihyâ´ ´Ulûm al-Dîn. terbit di Mesir.
q.
ا§ارK^{¦p
r.
بL¬[ة ا[^ اR¯[ اy[ّب اRo[ ا[^ب اKgّ¦{p
(Mukasyfah
al-Qulûbal-Muqarrab
merupakan
(Musykilah al-Anwâr), di dalamnya dibahas tentang filsafat Yunani dari sudut pandang Tasawuf dicetak di Mesir dan ada terjemahan dalam bahasa Ibrani.
ilâ
al-Hadhrah
al-‘Ilm
al-Ghuyûb),
ringkasan al-Mukasyfah al-Kubra oleh Imâm al-Ghazâlî. s.
Kّf[ اy[ اq}lc[ ا°Sfp
(Minhaj al-‘Âbidîn ilâ al-Jannah), ini dikatakan karya dia yang terakhir, terbit berulang kali di Mesir, ada tulisan tangan di Berlin, Paris dan Aljazair. Buku ini adalah ringkasannya dan sejarahnya sudah diterjemahkan dalam bahasa Turki.
t.
o[ان اNp
(Mizân al-‘Amal), merupakan ringkasan tentang ilmu jiwa dan mencari kebahagiaan yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan
ilmu dan amal, dan penjelasan tentang ilmu dan amal, ilmu dan belajar, di dicetak di Leipziq tahun 1838, dan Mesir tahun 1328 H.
58
2. Dalam Bidang Akidah a.
Kّ}اوRr§ ا±c
p yz y[اN¬[ اKاx§ا
(Al-Ajwâbah al-Ghazâlî fî
Masâil al-Ukhrâwîyah) b. c.
دcm¢د اck«¢( اAl-Iqtishâd al-I’tiqâd), terbit berulang kali di Mesir. م£{[^ اm qm ا[^م²o[( اAl-Jam’ al-‘Ulûm ‘an ‘Ilm al-Kalâm), terbit di Mesir dan India, ada naskah tulisan tangan dalam bahasa Eropa.
d.
l±c[ اlm ا[اyz KّLjl[ اK[cjR[ا
(Al-Risâlah al-Qudsîyah fî al-
Qawâ´id al-‘Aqâid), terbit di Iskandariya.
e.
Kfّ
[ة اه اlLm (‘Aqîdah Ahl al-Sunnah), terbit di Iskandariya dan ada naskah di Berlin, Oxford dan London.
f.
Kّ}
©رo[ ا±c¯g[ واKّLfLT[ ا³±c¯z (Fadhâikh al-Bathînîyah wa alFadhâil al-Mustadzrîyah), dan dinamakam Kّ}
©رo[( اAl-Mustadzrîyah), terbit di Leiden tahun 1972 M dengan redaksi bahasa Arab. Terbit juga di Kairo matan bahasa Arab.
g.
K«lّN[م وا£j¢ اqL K}Rgّ[ اyz (Fî al-Tafrîqah bain al-Islâm wa alZindiqah), terbit di Mesir tahun 1343 H.
h.
L
o[´ اk[ا
(Al-Qishash al-Mustaqîm), terbit berulang kali di
Mesir dan terdapat sejarah yang namanya Taqwîn) i. j.
}[ان اNp
(Mizân al-
ةlّ
[ اcLLoL(آKimiyâ al-Sa’adah), terbit berulang kali di Mesir. Pf
[ اª اyojف اRu yz yf¢ اl¡co[( اAl-Maqâsid al-Isny fî Syarf Ismî Allâh al-Husnâ), terbit di Mesir tahun 1324 H.
3. Dalam bidang Fiqih a. b.
° ّ [ار اRj( اIsrâr al-Haj), dalam fiqih al-Syafi’i terbit di Kairo. ا[^ ا§¡لyz PgTko[( اAl-Mushthafâ fî al-‘Ilm al-Ushûl), terbit berulang kali di Kairo, terdapat ringkasan tulisan ini di Dâr al-Kutub, Mesir dan perpustakaan Ghute.
c.
وعRg[ اyz R}ا[ز
(Al-Wazîr fî al-Furû’), kitab dalam mazhab Syafi’i dan terdapat ringkasan tangan di Dâr al-Kutub, Mesir dan sejarahnya belum terbit.
4. Dalam Bidang Manthiq dan Filsafat
59
a.
Kgj£g[ اKzcSO
b.
RّLT ّ [ اK[cj( رRisâlah al-Thaiyir), terbit di Kairo tahun 1343 H. _Tfo[ اyz Rّf[ اrlp (Madkhal al-Nazhri fî al-Manthiq), terbit di
c.
(Tahâfah al-Falâsifah), terbit berulang kali di Bombay tahun 1304 H. dan di Bairut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani.
Mesir.
d. e.
{¶ ا§ارp (Miskah al-Anwâr), terbit di Mesir tahun 1343 H. hgّf[ اKzRp ارجlp yz سl[ر اcp (Maqâr al-Quds fî Madârij
Ma’rifah al-Nafs), terbit di Kairo tahun 1346 H. f.
_Tfo[ اyz ^[ر اcLp
(Mi’yâr al-‘Ilm fî al-Manthiq), terbit di Mesir
tahun 1329 H.
g.
Kgj£g[ اl¡cp
(Maqâshid al-Falâsifah), tentang manthiq dan hikmah ketuhanan dan hikmah thabi’at, terbit di Leiden t ahun 1888 M. lengkap dengan sejarah, di Kairo terbit berulang kali, diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin. Telah terbit di Radûqîyah tahun 1506 M. h.
ل£ّ[ اqp ©fo[( اAl-Munqidz min al-Dhalâl), terdapat ringkasan
tulisan tangan di perpuastakaan Berlin, Leiden, Paris, Austria dan Dar al-Kutub, disalin secara panjang lebar dalam kitab filsafat Arab yang terbit yahun 1842 M. di Perancis, serta telah disadur berulang kali di Damsyik dan Beirut. 5. Karya Manuskrip
¹L^[ اKR¦ _±c[ اKLox
a.
(Jamî’ah al-Haqâiq bi Tasyribah al‘Alaik), ada ringkasan tangan di Usala.
b.
g[ اl( زهZuhud al-Fath), terdapat ringkasan di Britania. ¹^o[زل اcfo[ اP[ ا[
ّ^ك اrlp (Mudkhal al-Sulûk ilâ al-Manâzil al-
c.
Mulk), membahas tentang kehidupan sufi. d.
qL{[cّ
[رج اcp
(Ma’ârij al-Sâlikîn), ada ringkasan di perpustakaan
Paris. e.
KLo[ اRS» cLS yz Koّ¦[ر ا
(Nûr al-Syam´ah fî Bahyâ Zhuhr
al-Jam’îyah), ada ringkasan di Leiden.
Demikian sebagian karya dari Imâm al-Ghazâlî yang dapat dibaca sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan, dan masih banyak lagi kitab-kitab
60
yang lain yang dapat dijadikan rujukan. Kitab-kitab tersebut sebagian ada di perpustakaan asing. Hal ini, berarti Imâm al-Ghazâlî mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pedoman hidup manusia.
61
BAB III KONSEP PERBAIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IMÂM AL-GHAZÂLÎ DALAM KITAB AL-ARBA´ÎN FÎ USHÛL AL-DÎN
A. Deskripsi Singkat Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn merupakan salah satu kitab yang dikarang oleh Hujjah al-Islâm Imâm al-Ghazâlî dan merupakan kitab lanjutan dari kitab jawahir al-Qur’ân yang membahas tentang empat puluh dasar keagamaan dan terbagi menjadi empat sub bab pembahasan. Pada pembahasan pertama membahas sepuluh prinsip ilmu dan akidah66, pembahasan kedua membahasan sepuluh prinsip amal-amal lahiriyah67, dilanjunkan pembahasan ketiga membahasan penjernihan hati dari akhlak tercela68, dan pembahasan keempat atau pembahasan terakhir membahasas sepuluh prinsip akhlak mulia.69 Kitab ini dikarang oleh Imâm al-Ghazâlî ketika ia berusia 48 tahun setelah sembuh dari krisis kejiwaan70 sebagaimana kitab jawahir al-Qur’ân,
66
Sepuluh prinsip ilmu dan akidah itu meliputi: dzat Allah Swr, taqdis Allah Swt, qudrat, ilmu, iradat, sama’ dan basher, kalam, af’â, yaum al-Akhir, dan yang terakhir kenabian. 67 Sepuluh prinsip amal-amal lahiriyah meliputi: shalat, zakat dan sedekah, puasa, haji, membaca al-Qur’an, dzikrullâh, mencari rizki yang halal, memenuhi hak sesame muslim dan menegakkan pergaulan sosial, amar ma’rûf nahî munkar,dan yang mengikuti jejak sunah Nabi Saw. 68 Sepuluh prinsip penjernihan hati dari akhlak tercela meliputi: nafsu makan yang rakus, berbicara kotor, amarah, kedengkian, bakhil dan cinta dunia, ambisi dan gila harta, cinta dunia, takjub diri, tidakabur dan terakhir adalah riya’. 69 Sepuluh prinsip akhlak mulia meliputi: taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta, ridla terhadap qadha’, dan yang terakhir adalah mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani. 70 Krisis kejiwaan dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki dan merupakan hakikat kebenaran dari segala sesuatu. Dan akhirnya ia menemukan bahwa metode sufi itulah yang dapat membawanya pada kebenaran yang hakiki dan mempraktekkan ajaran sufi yang telah diyakininya tersebut pada usia ia berumur 38 tahun.
61
62
kitab Ihyâ’ ‘Ulum al-Dîn, dan lain sebagainya. Dan menggunakan dasar pemikiran sufi yang berorientasi pada kehidupan akhirat. Keempat sub bab di atas satu dengan yang lainnya saling berkaitan mulai dari penguasaan ilmu. Setelah ilmu dikuasai maka harus diamalkan dan ini dibahas pada sub bab yang kedua. Ketika ilmu dan amal sudah terwujud maka kecenderungan penyimpangan jiwa dari petunjuk Allah dan mengikuti hawa nafsu syetan sangat
besar.
Oleh
karena
itu
pengenalan
dan
bagaimana
cara
menghilangkannya hal tersebut dibahas pada sub bab ketiga. Kemudian ketika jiwa sudah terbebas dari nafsu syetan maka langkah selanjutnya mengisinya dengan sifat-sifat yang baik. Sehingga bisa menjadikannya makhluk Allah yang kamil. Dan pembahasan tentang pengisian dan pengenalan sifat-sifat yang baik ini berada pada pembahasan terakhir dari kitab ini yaitu pada bab keempat. Dan secara global isi kitab ini mengajak manusia menuju insan alKamil, manusia yang selalu berada di jalan Allah, terhindar dari kemaksiatan dan kebahagiaanpun akan diraih baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn ini diterbitkan pertama kali di Makkah tahun 1302. Dan sampai sekarang sudah banyak penerbit yang menerbitkan kitab ini di antaranya Dâr al-Jail, Bairut pada tahun 1977, Dâr al-kutub, Bairut pada tahun 1988, Dâr al-Syâmîyah, Bairut pada tahun 2003, Dâr alQalam, Bairut pada tahun 2003, dan Dâr al-Basyîr, Jidah, Arab saudi pada tahun 2003. Namun menurut sepengetahuan penyusun kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn belum diterbitkan di Indonesia. Oleh karena itu untuk
63
mendapatkan kitab ini harus memesan dari penerbit yang ada di luar negeri seperti penerbit-penerbit yang telah disebutkan di atas. Dalam skripsi ini penyusun menggunakan referensi primer71 yang diterbitkan oleh , Dâr al-Qalam, Bairut pada tahun 2003. Ada beberapa alasan yang menyebabkan penyusun memilih menggunakannya diantaranya adalah pertama. kitab tersebut sudah disusun secara sistematis. Jadi pembaca lebih mudah dan cepat mencari sub bab yang ingin dibacanya. Kedua, hadis- hadis yang ada di dalamnya sudah diberi rujukan refensi yang mengacu pada kitabkitab hadis induk72. Sehingga pembaca dapat mengetahui kwalitas hadis yang digunakan oleh mushanif. Ketiga, kata-kata sulit yang ada di dalamnya sudah diberi batuan penjelasan baik yang berupa komentar maupun arti dari kamus. Sehingga mempermudah pembaca dalam memahami isi kitab dengan lebih cepat. Dan lain sebagainya. Pada skripsi ini konsep perbaikan akhlak yang ditawarkan oleh Imâm alGhazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn terdapat pada sub bab yang ketiga dan keempat. Dan secara umum konsepnya berasaskan pada ajaran tasawuf sebagaimana kondisi pemikiran Imâm al-Ghazâlî pada saat itu yang meliputi dua aspek, yaitu: ilmu dan amal. Demikian deskripsi singkat dari kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn
71 72
Yaitu Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn. Diantaranya adalah shahîh al- Bukharî, shahîh al-Muslim, dan lain sebagainya.
64
B. Konsep Tazkîyah Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Konsep Tazkîyah73 dalam kitab al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn merupakan sub bab yang ketiga. Secara umum konsep ini membahas tentang pembersihan hati dari akhlak tercela yang mencakup sepuluh sifat tercela yaitu nafsu makan yang rakus, berbicara kotor, amarah, kedengkian, bakhil dan cinta dunia, ambisi dan gila harta, cinta dunia, takjub diri, takabur dan terakhir adalah riya’. Imâm al-Ghazâlî dalam konsep tazkîyah ini menyusun kesepuluh sifat tersebut mulai dari yang paling urgent untuk diselesaikan sampai yang mudah. Karena yang untuk mengatasi sesuatu itu harus dimulai dari akarnya. Sebagaimana mencabut rumput harus sampai keakarnya karena apa yang tumbuh diatanya adalah perwujudan dari apa yang ada dibawahnya. Imâm alGhazâlî berpendapat bahwa kesepuluh sifat itu merupakan akar dari timbulnya akhlak yang tercela. Dengan membersihkannya maka manusia itu telah terbebas dari akhlak tercela. Dan secara ringkas sepuluh sifat tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1. Nafsu Makan yang Rakus Nafsu makan merupakan sumber penyebab dari segala kerakusan. Sebab lambung merupakan sumber syahwat, yang kemudian melahirkan nafsu birahi. Dan bila nasfu makan dan kelamin mencapai klimaksnya, timbullah nafsu baru, yaitu kerakuasan terhadap harta-benda. Sebab, mustahil dua nafsu itu (makan dan kelamin) dapat terpenuhi, kecuali dengan harta-benda ini menggelora dalam diri, muncullah gila kekuasaan.
73
Pengertian tazkîyah sebagaimana keterangan yang ada pada bab I.
65
Sebab, dalam realitasnya tidak mungkin harta-benda didapatkan tanpa jabatan dan kekuasaan. Dan bila keduanya telah didapatkan maka akan memuncukan sifat tercela lainnya. Seperti riya’, takabur, dan lain sebagainya. Imâm al-Ghazâlî berkata:
R{[c آ,cS^ت آcznد` اNO ,coS^¼ و¤c[ل واco[ل اk` lfm 74 .cهRLwاوة وl[ واl[ واl
[ء واc}R[وا “Ternyata setelah harta dan kedudukan berhasil direngkuh, berbagai bencana mulai bermuculan seperti sifat takabur, dengki, riya’, dendam kesumat, persaingan yang tidak sehat dan lain sebagainya.” Menurut Imâm al-Ghazâlî jika harta dan kedudukan dapat diraih maka dapat melahirkan bencana yang lain seperti sifat takabur, dengki riya’, dendam kesumat, persaingan yang tidak sehat dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu bersumber dari perut. Karena itu, tidak mengherankan bila Rasulullah Saw. sangat menghargai budaya lapar dan menganjurkannya. Dalam Hadis yang diriwayatkan dari Ibn Mâjah dari Miqdâm, Rasulullah bersabda:
ُ ^e[ اPe^¡ َ ِ ^e[ل ا َ ُj¶ َر ُ ْ oِ j َ ل ُ ُ}َ ب َ Rِ َ{} lِ ْ pَ q َ ْ َا َمlْ pِ ْqm َ ¨ ُ
ْ` َ q ٍT ْ َ ْqpِ ½اRu َ ًءcَm ِوy ¿ pِ َدÀ Áَ^َpَ cَp ل ُ ُ}َ َ ^ej َ ِ َوLْ ^َm َ ٌÂ^ُÃُ zَ ُ
ُ gْ َ y e pِ َدÄْ[َ^ َ¶ْ اw َ ْنÅِzَ ُ َ ْ^¡ ُ q َ oْ ِ }ُ ٌتcَoLْ َ [ُ y pِ َدÄْ[ا .h ِ gَ fe^ِ[ ٌÂ^ُُ ب َو ِ َاR¦ e ^ِ[ ٌÂ^ُُ ِم َوcَT e ^ِ[ ”Dari Miqdâm bin ma’dan Yakarib berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada bejana yang diisi oleh anak adam yang lebih buruk dari pada perutnya. Cukuplah bagi anak adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika 74
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî, 112.
66
tidak bisa, maka sepertiga dari perutnya hendaknya diisi untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.” (H.R. Ibn Mâjah)75 Budaya menahan lapar mempunyai beberapa manfaat bagi seorang muslim dalam beribadah. Imâm al-Ghazâlî menyebutkan ada tujuh macam manfaat, yaitu 76: a. Dengan lapar, menjernihkan pikiran sehingga menjadi cemerlang. Sebab, rasa kenyang dapat mengakibatkan pikiran dan hari menjadi tumpul. b. Dengan lapar, hati halus, sehingga dapat merasakan lezatnya munajat dan mudah tersentuh oleh aktivitas dzikir dan ibadat. Al-Junaid berkata, “Ada tempat kosong antara seseorang dengan perutnya, dan ia ingin menemukan manisnya munajat.” c. Dengan lapar, jiwa serasa menjadi rendah dan dengan demikian perasaan semena-mena dan egoisme akan sirna dengan sendirinya. d. Dengan lapar, seseorang merasakan adanya ujian, sebagai salah satu macam pintu surga. Dengan lapar itu ia merasakan siksaan. Dan dengan demikian ia merasa takut akan siksa akhirat. e. Lapar dapat mengikis semua bentuk nafsu yang merupakan sumber kemaksiatan, begitupun nafsu amarah. f. Dengan lapar, badan akan terasa ringan untuk melakukan tahajjud dan ibadah lainnya, menghindarkan rasa kantuk yang dapat
75 76
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz II (Bairut: Dâr al-Fikr, 1993), 304. Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî, 113.
67
menghambat semangat ibadah. Modal pokok kebahagiaan adalah umur. Banyak tidur dapat mengurangi umur, karena dapat mencegah diri dari ibadah. Pankalnya tiada lain, karena banyak makan. Abu Sulaiman Al-Darânî berkata, “Barangsiapa berkenyang-kenyang, maka akan tertimpa enam bencana: a) Kehilangan manisnya ibadah, b) Tidak dapat menjaga hikmah, c) Tidak mempunyai tenggang rasa terhadap sesama makhluk, karena beranggapan bahwa makhluk pun telah kenyang sebagaimana dirinya, d) Merasa berat untuk melakukan ibadah, e) Tambah syahwat, dan f) Saat semua orang mukmin sibuk pergi ke masjid, ia disibukkan untuk segera ke tempat sampah.” g. Dengan terbiasa lapar, justru meringankan biaya hidup keseharian, dan akan merasa puas dengan sedikit harta. Kesadaran sosial jauh labih tinggi terhadap orang-orang fakir. Sebab, orang yang telah selamat dari kerakusan dirinya, maka dia tidak akan butuh pada harta banyak, dan dengan demikian akan hilang dari dirinya kesusahan terhadap kepentingan dunia. Dan bila ia bermaksud untuk memotong syahwatnya, maka ia telah memangkas keinginannya sendiri, dan meninggalkan syahwatnya. Dan
untuk
menghilangkan
nafsu
makan
yang
rakus
dan
membiasakan lapar Imâm al-Ghazâlî memberikan metode yang mungkin sebagian besar manusia merasa sulit untuk berlatih membiasakan diri
68
berlapar lapar serta merasa kesulitan untuk meninggalkan kecenderungan berkenyang-kenyang lantaran sudah menjadi kebiasaan.77 Menurut Imâm al-Ghazâlî itu mudah, bila betul-betul ada niatan untuk mengubah pola hidup secara bertahap. Mula-mula dengan cara mengurangi porsi menu makanan perhari satu suap atau sepotong (roti), dalam sebulan akan terasa pengaruhnya, sementara sedikit makan segera menjadi kebiasaan. Dan bila anda berkeinginan untuk membiasakan lapar dan sedikit makan, perlu melihat waktu, kadar dan jenisnya. Kadar makanan itu terbagi menjadi tiga tingkatan:78 a) Tingkatan Para Shidiqîn, yang makan sekedar untuk bisa berdiri, suatu kadar yang dikhawatirkan bisa mengurangi daya tahan (hidup) dan perkembangan akal. b) Tingkatan orang yang makan 1 mud (3 ons) atau sekitar sepertiga isi perut (lambung) dalam sehari. c) Tingkat komsumsi lebih dari dari 1 mud atau lebih setiap hari sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya. Tentunya yang terakhir ini berbelok dari tradisi orang yang pergi menempuh jalan Allah Swt. Sementar kadar yang memiliki pengaruh, berbeda-beda menurut pribadi masing-masing. Prinsipnya, seseorang menjulurkan tangannya pada makanan, apabila benar-benar lapar. Jika sudah cukup, dia tidak menoleh ke makanan. Tanda-tanda lapar, apabila seseorang sangat 77 78
Ibid., 115. Ibid.
69
berselera makan walaupun tanpa ada lauknya. Sebaliknya, jika tidak berselera berarti masih tergolong kenyang. Adapun waktu atau lamanya lapar dapat dibagi dalam tiga tingkatan:79 a) Tingkatan tertinggi, mampu menahan lapar selama tiga hari atau lebih. b) Tingkatan pertengahan, yaitu menahan lapar dalam tempo dua hari. c) Tingkatan terendah, yaitu hanya makan sekali sehari. Sebab, barang siapa makan dua kali sehari, tidak mungkin merasakan lapar, berarti dia telah meninggalkan keutamaan lapar. Sedangkan jenis makanan yang perlu diperhatikan dalam upaya melatih diri untuk mampu menahan lapar setiap saat adalah, jangan sampai mengonsumsi berlebihan jenis makanan yang berlauk dan berbumbu hukumnya makruh, dan dengan demikian seseorang tidak akan pernah merasakan lapar. Umar bin Khattab r.a. selalu berpesan kepada putrannya sebagaimana yang dikutip oleh Imâm al-Ghazâlî: 80
ةRp و,cfojا وNr ةRp آ:¤l[[ fm ª اy رRom لc« 81 .راcg« اNr ةRp و,c^pا وNr ةRp و,cf[ا وNr Nasihat tersebut mengingatkan makan yang terbaik bagi adat kebiasaan. Sedangkan para penempuh, telah meninggalkan lauk-pauk, bahkan mengekang nafsu syahwatnya. Bahkan ada yang mengekang selera
79
Ibid., 115-116. Ibid. 81 Umar ra. berkata kepada putranya: “Hendaklah engkau makan roti dan daging sesekali, dan sesekali makan roti yang diolesi minyak samin, pada kesempatan lain roti dan susu, dapat pula roti dengan garam, dan sekali waktu makan roti tawar!. 80
70
makannya selama sepuluh hingga dua puluh tahun. Ia, senantiasa melawan selera nafsunya.
2. Berbicara Kotor Kebiasaan berbicara kotor harus segera dihentikan, karena sangat berpengaruh terhadap hati. Secara khusus, lisan merupakan proyektor hati. 82 Imâm al-Ghazâlî berkata:
نc اذا آ¹[©^z ,cS[ KLآcp ¨^[ اyz ¡رةKo^ آ آy¯z 83 .Kذc ا[^¨ ¡رة آyz k` cذcآ Dari pernyataan di atas sudah jelas bahwa setiap perkataan manusia akan berbuah goresan di dalam hati. Bila ia berkata dusta maka akan terjelma gambaran dusta di hati dan dengan demikian hati pun akhirnya berkecenderungan melakukan penyimpangan. Demikian pula bila lisan mengobral kata yang tidak berguna, hati pun menjadi pekat dan akhirnya mematikan hati. Tidak mengherankan bila Rasulullah sangat memperhatikan perkara lisan ini. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imâm Tirmidzî dari Ibn ‘Umar:
cَ[ َ ^ej َ ِ َوLْ ^َm َ ُ ^e[ اPe^¡ َ ِ ^e[ل ا ُ ُjل َر َ cَ« ل َ cَ« Rَ oَ m ُ q ِ ْ ْ اqm َ ِ ^e[ اRِ ِذ ْآRِ Lْ ¬َ ِ ِمcَ^{َ [ْ َة اRَ Ãْ ن َآ e Åِzَ ِ ^e[ اRِ ِذ ْآRِ Lْ ¬َ ِ َمcَ^{َ [ْ ُوا اRÃِ {ْ Oُ .yِjcَ[ْ ¨ ا ُ ^ْ َ [ْ ^ ِ اe[ْ اqpِ س ِ cef[ اlَ َ ْ ن َأ e ¨ َوِإ ِ ^ْ َ ^ْ [ِ ٌ
َة ْ «َ “Dari Ibn ‘Umar berkata. Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian berbanyak kata selain dzikrullâh. Sesungguhnya hal itu akan 82
Ibid., 118. Setiap kata yang terucap akan membekas di dalam hati dan akan tergores di dalam benaknya. Karenanya, bila lisan berkata dusta, akan terjelma gambaran dusta di hati. 83
71
menjadikan kerasnya hati. Dan manusia yang paling jauh dari Allah adalah pemilik hati yang keras. (H.R. Tirmidzî).84 Sebenarnya bencana dan penyakit lisan itu ada dua puluh, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Ihyâ’, Bab “Penyakit Lisan”. Namun panjang uraiannya dan pada intinya dapat dirangkum dalam ayat berikut ini:
:ءc
f[ )ا.ف ٍ ْوRُ ْ pَ ْ َاوKٍ «َ lَ k َ ِ Rَ pَ ْ َاqpَ n e َا ُهْ ِا ْ َ ْqpِ Rِ Lْ Ãِ َآyِz Rَ Lْ r َ n َ (١٤٤ “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisik mereka, kecuali bisik-bisik dari orang yang menyuruh memberi sedekah atau berbuat ma’ruf”. (Q.S. al-Nisâ’: 114).85 Maksudnya, seseorang itu dianjurkan bicara kalau bicaranya itu mempunyai arti bagi dirinya. Dengan membatasi bicara yang penting dan berarti saja maka itu akan dapat menyelematkannya dari siksa api neraka. Batasan bicara yang tidak berarti, apabila pembicaraan itu ditinggalkan, maka tidak menghilangkan pahala, dan tidak membuatnya bahaya. Dan di antara penyakit lisan itu adalah dusta, menggunjing, berdebat secara konfrontatif, senda gurau dan pujian.86
3. Amarah Amarah adalah nyala api neraka Allah Swt. yang menjilat hingga ke relung hati. Orang yang tidak mampu menahan amarahnya identik dengan 84 Muhammad bin ‘Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ bin al-Dhahâk, Sunan al-Tirmudzî, Juz IV (Bairut: Dâr al-Fikr, 2003), 50. 85 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Mahkota, 1989), 140. 86 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî, 118.
72
orang yang telah menggeser perilakunya pada perangai setan yang memang diciptakan dari api. Oleh Karena itu, kemampuan mengendalikan nafsu amarah dipandang penting oleh agama. Rasulullah Saw. bersabda:
¨ ِ ¯ َ ¬َ [ْ اlَ fْ m ِ ُ
َ gْ َ ¹ ُ ^ِoْ }َ [©ِىe اlُ }ْ lِ ¦ e [ اcَoe ِا,Kِ m َ ْRk Í [cِ lُ }ْ lِ ¦ e [ اh َ Lْ [َ “Bukanlah orang yang kuat itu karena kemampuannya bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengendalikan nafsunya ketika marah.” (H.R. Muslim)87 Hadis di atas menunjukkan bahwa sifat marah itu dikategorikan ke dalam persoalan yang besar. Sebab, secara lahir orang yang marah akan mengomel, memaki, dan memukul orang, sedangkan secara batin melahirkan dendam, benci, selalu ingin berbuat jahat, ingin memaki dan membuka rahasia serta kehormatan orang, senang jika yang terkena amarah mendapatkan musibah, dan gelisah jika yang dimarahi mendapat kesenangan. Untuk mencegah amarah ini Imâm al-Ghazâlî memberikan dua cara: a) Cara Pertama: 88
.¼cp ا¤R
{ yfm و[
¶ ا,Kc}R[c ¤R
آ
“Menaham secara bertahap dengan latihan secara intensif. Bukan menghapus total sifat amarah.” Menurut Imâm al-Ghazâlî
cara yang pertama adalah dengan
menaham secara bertahap dengan latihan secara intensif. Bukan menghapus total sifat amarah. Karena sifat ini masih diperlukan sebagai alat untuk menghadapi orang-orang kafir, mencegah 87
Imâm Abî al-Husaynî Muslim bin al-Hijjâj al-Qusyayrî, Shahîh Mulim, Juz II (Bairut: Dâr al-Fikr, 1993), 412. 88 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 130-131.
73
kemungkaran dan melakukan berbagai kebaikan yang memerlukan sifat marah. Potensi marah itu ibarat anjing pemburu, yang perlu terusmenerus dilatih dan dibina agar tunduk pada pertimbangan akal yang sehat dan syariat agama. Sehingga dapat bangkit dan memuncak atas petunjuk akal dan agama, dan dapat dingin atas petunjukknya pula. Sebagaimana anjing pemburu, dapat diam dan mengejar, duduk dan memburu, atas perintah tuannya. Pengendalian ini hanya mungkin dilakukan dengan perjuangan (mujâhadah) yakni membiasakan bersikap lembut dan menahan diri dengan mencagah kemarahan. b) Cara Kedua:
^m L^m qL} و,{[c نcLS[ اlfm ¨¯¬[ اÏ 89 .omو “Manahan amarah ketika mencapai klimaksnya dengan jalan berdiam diri. Dan hal ini dapat ditempuh dengan ilmu dan amal.” Melalui ilmu, amarah merupakan salah satu sifat yang timbul karena keingkaran manusia atas kehendak Allah, bukan kehendak dirinya. Pengingkaran takdir Allah merupakan pangkal kebodohan. Sebagai hamba Allah, manusia harus menyadari dengan sepenuhnya bahwa murka Allah itu jauh lebih hebat dibandingkan amarahnya manusia. Sedangkan karunia-Nya jauh lebih besar dari segala sesuatu yang ada. 89
Ibid.
74
Berapa banyak manusia yang mendurhakai dan menentang perintah-Nya? Tetapi, mengapa Dia tidak cepat murka kepada makhluk-Nya itu? Mengapa justru manusia yang hanya memiliki sedikit jasa saja mudah marah terhadap orang lain yang membangkang terhadap perintahnya? Bukankah perintah dan larangan kepada hambahamba-Nya jauh lebih layak dan wajib untuk ditaati dibanding perintah manusia?. Secara amaliah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar seseorang itu terhindar dari nafsu amarah: a. Perbanyak membaca ta’awwudz, karena api amarah itu berasal dari setan dan selayaknya seseorang itu meminta perlindungan kepada Allah dari gangguannya b. Bila amarah tidak kunjung mereda, sebaiknya duduk jika dalam keadaan berdiri, berbaring bila dalam keadaan duduk. Jika hal ini masih tetap tidak membawa hasil, segeralah berwudlu dan shalat atau membaca al-Qur’ân.
4. Kedengkian Rasulullah bersabda:
¨ َ T َ َ [ْ ُر اcef[ ا ُ ْ ُآÁOَ cَoت َآ ِ cَf
َ َ [ْ ا ُ ْ ُآÁ}َ lُ
َ َ [ْ َا “Sesungguhnya dengki (hasad) itu memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.”90
90
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, Juz IV (Bairut: Dâr al-Fikr, 1993), 325.
75
Menurut Imâm al-Ghazâlî kedengkian berarti menginginkan hilangnya karunia dari seseorang atau menginginkan turunnya musibah atas diri orang lain. Ini haram hukumnya. Tetapi, jika merasa iri dan ingin meniru seperti orang lain tanpa menginginkan hilangnya karunia dari diri orang tersebut atau turunnya musibah kepadanya, hal ini dinamakan persaingan sehat (munafasah). Dan hal seperti ini tidak dilarang oleh agama. Atau boleh saja mengharapkan hilangnya karunia dari seseorang, jika ternyata karunia tersebut dipergunakan untuk berfoya-foya dan berbuat durhaka kepada Allah. Namun apabila kemaksiatan telah hilang, ia tidak menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang tersebut.91 Sebab-sebab timbulnya kedengkian, di antaranya karena adanya sifat sombong, bermusuhan dan keadaan jiwa seseorang yang kotor (khabats alNafs), karena munculnya sifat kikir itu menyebabkan keinginan agar pihak lain tidak mendapatkan nikmat Allah, tanpa adanya tujuan yang benar. Menurut Imâm al-Ghazâlî hasud itu merupakan penyakit hati yang paling kronis, dan hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.92 Dari segi ilmu, seseorang itu harus menyadari bahwa kedengkian hanyalah akan merugikan diri sendiri, dan sedikitpun tidak akan merugikan orang lain yang telah didengkiin. Bahkan justru sebaliknya akan semakin menguntungkannya. Dikatakan merugikan karena kebaikan orang yang yang dengki akan terhapus dan juga akan mendapatkan murka Allah jika dilihat dari segi agama. Dan jika dilihat dari segi duniawi, orang 91 92
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 132. Ibid., 133.
76
yang mempunyai sifat dengki akan menderita karena orang yang telah didengki ternyata semakin jaya dan jauh dari kehancuran, yang diharapkan terkena musibah ternyata tidak turun kepadanya dan berbalik menimpa dirinya dengan sejumlah kesedihan dan kegelisahan. Hal ini justru menguntungkan pihak yang di dengki. Karena sesungguhnya karunia itu tidak akan musnah dengan rasa dengki seseorang. Tetapi justru semakin dilipatgandakan kebaikan-kebaikannya. Sebab, setiap waktu kebaikan dari seorang pendengki itu akan dipindahkan pada catatan kebaikan orang didengkinya, sehingga akhirnya merugi. Apalagi jika kedengkian itu disertai dengan cacian, jelas pihak yang didengki termasuk orang yang dizalimi, karena pendengki menginginkan agar pihak yang didengki kehilangan nikmat dunia, maka kelak di akhirat yang didengki justru mendapatkan nikmat akhirat dari perbuatan pendengki. Dalam kaitan ini pendengki jelas mendapatkan siksa dunia dan akhirat. Orang yang dengki itu ibarat orang yang melempar batu pada musuh dan tidak mengenai sasaran, tetapi justru malah memantul mengenai matanya sendiri hingga buta. Perselingkuhan iblis semakin kokoh di sini. Karena hilangnya nikmat dan ridha Allah. Padahal jika seseorang itu ridha maka akan memperoleh pahala. Apalagi jika dengki itu sasarannya adalah ilmu dan wara’. Maka, bagi pencinta ilmu, pahalanya semakin besar. Adapun terapi amaliahnya, harus mengetahui dan menyadari hukum dengki serta kata-kata dan perilaku yang menjurus pada perbuatan itu. Dengan mengamalkan sebaliknya, bahwa yang didengki itu mendapatkan
77
nikmat. Sehingga yang didengki justru menjadi teman, rasa dengki menjadi hilang, bahkan bersih dari dosa dengan kepedihannya. Secara umum sesorang itu tidak akan mau menyamakan kedudukan teman dan musuh. Bahkan dia benci bila salah seorang temannya mendapatkan musibah, tetapi tidak jika menimpa musuhnya. Demikian juga akan merasa gembira ketika salah satu temannya mendatkan nikmat, namun tidak pada musuhnya. Dalam hal ini Imâm al-Ghazâlî memberikan dua cara yang dengannya bisa menyebabkan seseorang itu menjadi bersikap sama antara teman dan musuh: 93 a. Jangan menampakkan kedengkian terhadap musuh melalui ucapan, gerakan fisik, dan upaya-upaya yang telah umum dilakukan kepada musuh. Kalau perlu perlakukan sebaliknya, dari tindakan itu semua. b. Hilangkan sifat tidak senang jika melihat nikmat Allah atas hambahamba-Nya musnah. Itulah cara yang diberikan oleh Imâm al-Ghazâlî dalam mengatasi kedengkian. 5. Bakhil dan Cinta Harta Bahkil adalah penyakit hati yang sangat kronis dan riskan. Allah berfirman:
(٩
:R¦[ن )ا َ ْ ُ ^ِgْ oُ [ْ ُه ُ ا¹ َ ِ [ُوÁzَ ِ
ِ gْ َ eu ُ ق َ ْ}ُ ْqpَ َو
“Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. al-Hasyr: 9).94 93 94
Ibid., 134. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 917.
78
(١٨٠
:انRom ¯ِ^ ِ )ال ْ zَ ْqpِ ª ُ ُه ُ اcَO ءَاcَoِ ن َ ْ^ُ] َ ْ }َ q َ }ْ ©ِ [e اq e َ
َ ْ }َ n َ َو “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu bik bagi mereka.” (Q.S. Âli-Imrân: 180)95
(٣٧ :ءc
f[ )ا ِ] ْ ُ [ْ cِ س َ cef[ن ا َ ْوRُ pُ ْÁ}َ ن َو َ ْ^ُ] َ ْ }َ q َ }ْ ©ِ [eَا “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir…” (Q.S. al-Nisâ’: 37).96 Rasulullah bersabda,
ْ{ُ ^َْ «َ ن َ cَْ آqpَ ¹ َ ^َ ُ َا ْهeÁِ zَ ,]ُ[ ُآْ وَاce}ِا “Jauhilah sifat bakhil, karena sesungguhnya sifat bakhil itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu.” 97 Imâm al-Ghazâlî berkata:
[ لcp n qp و,مp©p وه,لco[^ ان ا¡ ا[] `¨ اmا 98 .لco[ ¨ اRS} q{[ و,كc
pnc ^] RS} n “Ketahuilah bahwa sesungguhnya sumber sifat bakhil itu lantaran cinta harta, sebagaimana sifat tercela. Dan orang yang tidak mempunyai harta tidak akan tampak kebakhilannya dengan keengganan bersedekah, tetapi akan tampak dengan adanya orang yang cinta terhadap harta.” Menurut Imâm al-Ghazâlî cinta harta merupakan sumber dari sifat bakhil. Seperti halnya manusia yang tidak memiliki harta tidak akan tampak kebakhilannya melainkan adanya cinta terhadap harta. Betapa banyak orang berderma, tetapi hatinya sangat terpaut dan cinta pada harta. Sehingga bila berderma, yang diharapkannya adalah agar dirinya disebut 95
Ibid., 108. Ibid., 124. 97 Dâwud, Sunan Abû, Juz I, 90. 98 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 136. 96
79
dermawan. Inipun tercela dalam agama. Karena cinta dunia membuat hati lupa berdzikir kepada Allah, berpaling pada kepentingan duniawi, dan tidak suka pada kematian yang merupakan wahana bertemu Allah. Bagaimana harta sepenuhnya tercela? Sedangkan seseorang itu berpergian menuju Allah, dan kehidupan dunia hanyalah salah satu fase perjalanannya, fisiknya adalah kendaraannya? Dapatkan melakukan perjalanan menuju Allah tanpa harta, dan kuatkah fisik menjadi kendaraan tanpa makan dan pakaian? Tentu saja tidak! Tanpa harta, orang mustahil dapat memiliki dan mengenakan pakaian, serta makan. Tanpa makan dan pakaian, orang tidak akan mungkin mampu untuk melakukan perjalanan menuju Allah. Jika hal ini dapat dipahami seseorang tidak mungkin akan menumpuk kekayaan dan harta melebihi kebutuhannya sebagai bekal perjalanan. Jika mampu seperti itu, dia akan meraih makna kebahagiaan sejati. Sebagaimana
musafir,
bila
dia
mengambil
dunia
melebihi
kebutuhannya sebagai bekal perjalanan, maka dia akan binasa karena terlalu berat memikul beban bekal tersebut. Pada akhirnya justru menghambat perjalanannya bahkan tidak akan sampai ke tujuan semestinya. Sesungguhnya menumpuk harta melebihi kebutuhannya, dapat membinasakan diri, hal ini ditinjau dari tiga sisi:99 Pertama: Bahwa menumpuk harta itu cenderung menyeret seseorang ke tebing kedurhakaan dan maksiat, sebab, ujian dengan kemewahan jauh
99
Ibid., 137-138.
80
lebih sulit dari pada dengan kesengsaraan. Dan sabar dalam kondisi mampu itu jauh lebih sulit. Kedua: Cenderung mendorong seseorang untuk hidup berfoya-foya terhadap hal-hal yang memang halal, yang menyebabkan badan gemuk, dan tidak mungkin ada kesabaran di sana. Ketiga: Cenderung lalai dari mengingat Allah, padahal mengingat Allah merupakan asas kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mengatasi sifat bakhil ini Imâm al-Ghazâlî memberikan dua jalan yang saling berkaitan, yaitu:100 1. Secara ilmiah a. Sifat bakhil itu dapat membawa kehinaan di dunia dan kebinasaan di akhirat kelak. b. Harta itu, berapa pun banyaknya, tidak akan menyertai dan tidak pula kita bawa mati. Ia merupakan milik Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya untuk dipergunakan sesuai dengan petunjukNya. c. Menahan harta karena ingin berfoya-foya dengannya, merupakan tabiat binatang dan nilainya hanya sementara. Sedangkan menginfakkannya di jalan Allah merupakan perangai yang bijak dan pahalanya akan abadi dan berlipat ganda. d. Dan bila harta itu tidak diinfakkan dengan maksud untuk diwariskan
100
Ibid., 141-142.
kepada
anak-cucu,
seakan-akan
seseorang
itu
81
meninggalkan kekayaan kepada mereka. Padahal ia sendiri menghadap Allah dengan membawa kejahatan. Ini benar-benar bodoh, bagaimana tidak, seandainya anaknya kelak menjadi anak yang shaleh, Allah pasti akan memcukupi rizkinya. Namun apabila anaknya fasik, pasti harta itu dipergunakan untuk kemaksiatan. Justru harta warisan itu menjadi peluang bagi perbuatan maksiatnya. Hal tersebut akan membuat orang tua menderita, sementara yang lain menikmatinya. 2. Secara Amaliah a. Untuk sementara waktu tidaklah mengapa bila pertama kali tergiur oleh popularitas dan membayangkan mendapatkan balasan lebih banyak sehingga dapat memotivasi diri untuk senang berinfak. b. Dengan senantiasa mendisiplinkan diri untuk rajin berinfak, sehingga akhirnya menjadi lapang dan terbiasa.
6. Ambisi dan Gila Harta Allah Swt. berfirman dalam surat al-Qashash ayat 83:
ض ِ ْرn َ ْ اyِz ُ^½اm ُ ن َ ْوlُ }ْ Rِ }ُ n َ q َ }ْ ©ِ ^e[ِ cَS^َُ ْ َ ُةRَ r ِ§ َ ْا ُر اel[ ا¹ َ ^ْ Oِ ( ٨٣ : ´k[ )اq َ Lْ ِ eoُ ^ْ [ِ Kُ َ «ِ cَ[ْ دًا وَاcَ
zَ n َ َو “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”101
101
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 624.
82
Dan juga hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Tirmidzî dari Ibn Ka’b:
ل ُ ُjل َر َ cَ« ل َ cَ« ِ Lِْ َأqm َ ي ِرcَkْ Áَ[ْ ا¹ ٍ [ِcَp q ِ ْ ¨ ِ ْ َآq ِ ْ ْ اqm َ ٍ fَ w َ yِz cَ^j ِ ْن ُأر ِ cَ±ِ cَx ن ِ cَ±ْ ِذcَp َ ^ej َ ِ َوLْ ^َm َ ُ ^e[ اPe^¡ َ ِ ^e[ا ¤ ِ )رواfِ }ِl[ِ ف ِ Rَ ¦ e [ل وَا ِ cَo[ْ اPَ^m َ ْ ِءRoَ [ْ ص ا ِ ْR` ِ ْqpِ cَS[َ lَ
َ zْ Áَِ (©يpR[ا “Dari Ibn Ka’b bin Mâlik al-Anshârî dari ayahnya berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Serigala yang buas yang dilepas di kandang kambing tidak lebih berbahaya dari pada cinta harta dan tahta dalam kehidupan agama seseorang.”. 102 Imâm al-Ghazâlî mengemukakan bahwa keinginan untuk menguasai hati orang lain sehingga ia tunduk kepada semua keinginannya adalah hakikat dari tahta dan kedudukan. Imâm al-Ghazâlî berkata:
¨
` P^m ¤c[ [©ي اR]
[ ا[^ب¹^p :y ه¤c[ اKL` 103 .xc` yz P
O و,L^m ءcfÃ[c نc
^[^_ اTO و,¤ادRp “Sesungguhnya hakikat tahta dan kedudukan adalah penguasaan terhadap hati orang lain sehingga tunduk kepadanya karena tahtanya, dan memujinya dengan ucapan serta berusaha memenuhi segala keinginannya sesuai perintahnya.” Dari keterangan di atas tahta dan kedudukan dapat diumpamakan seperti halnya kepemilikan harta yang fungsinya untuk mencapai semua tujuan yang telah diagendakan. Seperti seorang bos yang menyuruh anak buahnya bekerja.
102 103
Al-Dhahâk, Sunan al-Tirmudzî, Juz VI, 77. Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 144.
83
Secara umum tahta lebih dicintai dibanding harta, karena bisa mendatangkan harta kekayaan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:104 a. Dengan tahta, orang akan lebih mudah untuk meraup harta kekayaan, tetapi belum tentu dengan kekayaan seseorang dapat meraih jabatan secara mudah. b. Tahta lebih aman dan terpelihara dari pencurian, perampasan dan bencana lainnya, berbeda dengan harta kekayaan yang senantiasa menjadi incaran para pencuri dan perampok. c. Tahta lebih mudah untuk berkembang dan cepat menanjak, tanpa melalui
proses
berbelit-belit.
Berbeda
dengan
harta
yang
perkembangannya memerlukan pencurahan pikiran, tenaga dan waktu. d. Tahta berarti ketinggian atau kemuliaan. Sifat ini secara teologis merupakan sifat Allah Swt. Dan setiap manusia secara naluriah pasti mencintai sifat-sifat Allah Swt. Bahkan sifat tersebut telah menjadi instrumen untuk meraih segalanya. Karena pada sifat tersebut ada rahasia samar, keterkaitan antara ruh dengan persoalan-persoalan ketuhanan. e. Tahta adalah perkara ketuhanan, yang memberi pesona pada watak, sebagai wahana kediktatoran dan satu-satunya eksistensi wujud. Itulah hakikat ketuhanan, karena tiada wujud lagi di sisi Allah.
104
Ibid.
84
Bahkan semua yang maujud ini, hanyalah sebagai bayangan dari cahaya kekuasaan (qudrat). Dan bayangan itu hanya bersifat mengikuti, bukan pada dataran menyertai, karena itu, tiada wujud lain yang menyertai Allah Swt. Manusia memiliki ambisi seperti itu. Bahkan pada jiwanya muncul egoisme seperti ucapan, "Akulah tuhan kamu sekalian yang luhur!" Namun Fir'aun kemudian memperjelas, dan manusia lain menyamarkan. Tetapi manakala terputus dari sikap "satu-satunya dalam wujud" (yang paling), dia tetap berambisi meraih keluhuran dan tahta di atas segalanya di dunia, agar dia bisa meraih apa yang dikehendakinya. Dan sikap demikian berarti memasuki wahana ketuhanan. Menurut Imâm al-Ghazâlî setiap manusia perlu mengetahui etika bertahta. Sesungguhnya tujuan tahta itu adalah keluhuran sedangkan untuk menggapai keluhuran yang hakiki manusia dapat mencapainya dengan taqarrub kepada Allah Swt. Sebab, itulah supremasi dan kesempurnaan sejati,
yang tidak
mengandung kehinaan,
kekayaan
yang tidak
mengandung kefakiran, kekekalan yang tidak mengandung kehancuran, serta kenikmatan yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Sementara ambisi yang dicaci adalah upaya mencapai kesempurnaan semu, bukan kesempurnaan hakiki.105 Setiap keparipurnaan hakiki selalu dikembalikan pada asas keilmuan, kemerdekaan dan kekuasaan. Yaitu, nuansa yang bebas tidak terikat oleh
105
Ibid., 145.
85
makhluk lain. Sedangkan hamba, tidak memiliki kompetensi untuk berkuasa secara hakiki. Jika kekuasaannya terletak pada harta dan tahta. Padahal kekuasaan seperti itu bersifat semu tidak langgeng dan akan habis karena kematian.
7. Cinta Dunia Cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa dan pendorong hati yang menyenangkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang. Menurut Imâm al-Ghazâlî pangkal dari segala dosa adalah cinta dunia. Imâm al-Ghazâlî berkata: 106
.KLTr رأس آcLl[^ ان `¨ اmا
“Ketahuilah seseungguhnya cinta dunia itu adalah pangkal dari segala dosa.” Dunia tidaklah sama dengan harta dan tahta. Harta dan tahta hanyalah bagian terkecil dari kehidupan dunia yang amat luas itu. Kehidupan dunia adalah kondisi obyektif sebelum meninggalkan dunia. Sedangkan akhirat adalah kondisi obyektif setelah meninggal. Apa pun isi kehidupan yang dihadapi sebelum meninggal, maka itu adalah kehidupan dunia, kecuali ilmu pengetahuan, ma'rifat dan kebebasan. Kehidupan duniawi itu amat variatif. Apa yang ada setelah kematian, juga merupakan wahana kenikmatan, bagi yang memiliki matahati. Tetapi wahana setelah meninggal itu bukanlah dunia, walaupun muncul di dunia.
106
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 150.
86
Kepentingan manusia terhadap bumi itu pun bervariasi, bergantung pada sisi bumi itu sendiri. Tanahnya secara umum dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat tinggal dan kebun. Tetumbuhannya sebagai obat dan makanan. Barang tambangnya sebagai sumber devisa, bahan-bahan produksi
dan
berbagai
peralatan.
Sedangkan
binatang-binatang
difungsikan sebagai alas kendaraan dan bahan makanan. Adapun manusia itu sendiri berperan sebagai khalifah Allah yang bertugas memakmurkan bumi dengan melakukan berbagai kebajikan dan mengembangkan keturunan. Namun di balik semua itu berbagai ancaman terselubung terhadap batin , berupa kedengkian, kesombongan, riya’, berfoya-foya, cinta dunia dan gila sanjungan. Sementara kekayaan fisik adalah dunia lahiriah. Kesibukan manusia untuk memakmurkan dan mengelola dunia melalui industri dan profesi, yang membuat manusia sibuk sehingga lupa diri, lupa prinsip dan kehilangan makna hidup. Menurut Imâm al-Ghazâlî kesibukan itu muncul akibat dua kaitan: pertama, ketergantungan hati karena cinta dunianya, dan kedua, ketergantungan fisik dengan sibuk mengolahnya.107 Itulah hakikat dunia, mencintainya merupakan pangkal dari segala dosa. Padahal dunia diciptakan semata sebagai bekal menuju akhirat. Hanya saja gemerlap dunia itu seringkali membuat orang tersesat sehingga lupa pada tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhir. Ibarat pemula yang menunaikan ibadat haji, dia pasti disibukkan dengan segala
107
Ibid., 151.
87
persiapan dan perbekalan maupun perlengkapan kendaraannya, sehingga akhirnya dia pun tertinggal oleh rombongannya dan gagal menunaikan ibadat haji, malah dimangsa oleh binatang buas di padang pasir. Menurut Imâm al-Ghazâlî hidup di dunia, ibarat suatu kaum yang mengendarai sebuah kapal. Di suatu pulau, kapal itu berlabuh. Para awak kapal menyuruh penumpang turun untuk melihat-lihat kondisi alam di pulau tersebut dan sekaligus memenuhi hajat yang diperlukan. Akan tetapi, mereka diliputi kekhawatiran tertinggal oleh kapal dan tempatnya diambil alih orang lain. Maka, reaksi mereka pun berbeda-beda satu sama lain. Ada yang segera turun dan memenuhi hajat kebutuhannya, lalu segera kembali ke kapal sehingga mendapatkan tempat yang luas dan masih kosong. Ada yang terlena menyaksikan panorama pulau itu, sehingga terlambat naik ke kapal dan akibatnya dia pun tidak mendapatkan tempat yang cukup luas untuk dirinya berikut buah tangan yang dibawanya. Karenanya, buah tangannya itu terpaksa dipikul di atas bahunya hingga ke tempat tujuan. Demikianlah ilustrasi kehidupan di alam dunia bila dikaitkan dengan kehidupan akhirat.108 Orang yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal Tuhannya. Siapa yang mengenal perhiasan dunia dan mengenal akhirat, maka la akan menyaksikan
dengan
cahaya
jiwa,
betapa
kehidupan
dunia
itu
bertentangan dengan kehidupan akhirat. Salah satunya adalah, bahwa seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan di akhirat, kecuali jika
108
Ibid., 155.
88
menghadap Allah Swt. dengan ma'rifat dan mahabbah kepada-Nya. Dan mahabbah tidak akan bisa dicapai, kecuali dengan melanggengkan dzikir. Demikian pula ma'rifat kepada-Nya tidak akan teraih, kecuali dengan terus "mencari" dan "berpikir". Dan keduanya tidak dapat dilakukan, kecuali menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Sebab, cinta dan ma'rifat kepada Allah tidak akan pernah bersandar di hati, kecuali bila hati itu sendiri terlepas dari rasa cinta kepada selain Allah Swt. Namun perhatikan peringatan Allah dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.109 Allah Swt. berfirman:
(١٥ : )هدcَSLْ zِ ْSُ [َcَom ْ ْ َاSِ Lْ [َف ِا َ ُ cَSَ fَ }ْ ِ َوزcَLْ lÍ [ َة اcَL َ [ْ اlُ }ْ Rِ }ُ ن َ cَْ آqpَ "Barangsiapa
yang
menghendaki
kehidupan
dunia
dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna ..." (Qٍ.ٍ S. Hûd: 15).110 Rasulullah bersabda: 111
.cَSfْ pِ Pَ[cَOَ ª ِ ِن َ cَ آcَp n e ِا,cَSLْ zِ cَp ٌ ْ^ ُْنpَ :Kٌ َ ُْ ^ْ pَ cَLْ lÍ [َا
“Sesungguhnya dunia itu dilaknat, berikut segenap isinya juga dilaknat, kecuali jika disertai untuk tujuan kepada Allah Swt. Dari penjelasan di atas, sudahlah jelas bahwa dunia adalah rumah jamuan bagi orang yang lewat. Bahkan rumah para penghuni, orang-orang yang
lewat
memanfaatkan
mengambil
bekal
perjalanan,
seperti
pemanfaatan barang pinjaman. Kemudian dipindahkan kepada orang berikutnya dengan hati yang lapang tanpa ada rasa ketergantungan hati
109
Al-Ghazâlî, Teosofia Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,, 163. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 329. 111 Al-Dhahâk, Sunan al-Tirmudzî, Juz VI, 102. 110
89
terhadap apa yang beralih dari tangannya. Bukannya seperti orang yang menyesal ketika dunianya berakhir ke tangan orang lain.
8. Takabur Takabur adalah sikap menganggap diri lebih dan meremehkan orang lain. Karena sikapnya itu, orang sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu datang dari pihak yang statusnya dianggap lebih rendah dari dirinya.112 Allah Swt. berfirman dalam surat al-Mu’minûn ayat: 35
( ٣٥ :نfp®o[ ٍر )اcex َ Rٍ {َ َ pُ ¨ ِ ^ْ «َ ُآPَ^m َ ª ُ ا²ُ َ T ْ }َ ¹ َ [ِ©َآ “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.”113 Sifat takabur sebagaimana yang dikemukakan Imâm al-Ghazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn akan menimbulkan kehinaan dan bisa mengganggu akidah. Karena itu, para sahabat pernah minta izin kepada Umar r.a. agar memberi nasihat umat setelah subuh. Umar r.a. menjawab, "Aku lebih takut ada hembusan yang melambungkan sampai ke bintang Tsuraya."114 Sebab, hembusan tersebut berpengaruh pada aktivitas lahiriah, seperti duduk di tempat yang tinggi, jalan di depan, melihat dengan pandangan sinis dan marah jilka ada orang tidak mengucapkan salam, atau kepada orang yang tidak menghormatinya, lebih banyak menentang kalau
112
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 157. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 530. 114 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 157. 113
90
dinasihati, menentang kebenaran bila diberi pandangan, dan memandang orang awam seperti memandang khimar. Takabur tergolong dosa besar. Bahkan orang yang hatinya ada sebesar dzarah ketakaburan, tidak akan masuk surga. Sebab di dalam takabur ada tiga macam kotoran:115 Pertama, takabur itu bertentangan dengan sifat-sifat khusus Allah Swt., dimana sifat tersebut adalah pakaian Allah Swt., sebagaimana firman Allah Swt. Keagungan tidak layak, kecuali hanya bagi-Nya. Lalu dari sisi mana, keagungan layak bagi hamba yang hina, yang tidak memiliki dirinya, apalagi menguasai yang lainnya? Kedua, takabur seringkali membuat orang menolak kebenaran dan cenderung meremehkan orang lain. Nabi saw menjelaskan soal takabur dengan sabdanya, "Takabur, muncul dari mesa bodoh terhadap kebenaran, menganggap rendah manusia, dan merasa lebih benar. Takabur menutup pintu kebahagiaan, begitu juga merendahkan makhluk." Sebagian sufi berkata, "Sesungguhnya Allah SWT.menyembunyikan tiga perkara dalam tiga hal:116 a)
Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya. Maka, janganlah merendahkan sedikit pun terhadap taat, siapa tahu ridha Allah ada di dalamnya.
115 116
Ibid., 157-158. Ibid.
91
b)
Menyembunyikan dendamnya dalam maksiat kepada-Nya, maka janganlah meremehkan sekecil apa pun maksiat itu, barangkali di dalamnya tersembunyi dendam-Nya.
c)
Menyembunyikan kewalian dalam diri hamba-hamba-Nya, maka janganlah merendahkan seseorang, siapa tahu orang itu wali Allah SWT. Ketiga, takabur dapat menghalanginya dari perilaku mulia dan ter-
puji. Sebab, orang yang takabur tidak akan pernah merasa mencintai orang lain sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Dia juga tidak bisa merendah, tidak bisa meninggalkan antagonisnya, dengki dan amarahnya. Ia tidak bisa menahan diri, lembut dalam bicara, dan tidak mampu meninggalkan riya'. Secara global setiap perilaku tercela, senantiasa dilalui oleh orang takabur, dan tidak ada perilaku terpuji, kecuali harus meninggalkan sifat takabur tersebut.
9. Takjub Diri Allah Swt. berfirman dalam surat al-Taubah ayat: 25
(٢٥
:K[ ُ{ْ )اOُRَ Ãْ َ ْ ُ{ْ َآ َm ْ ِاذْ َا,q ِ Lْ fَ ` ُ َ}ْ َم
“…dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu…” (Q.S. al-Taubah: 25)117
117
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 281.
92
Ibn al-Mas’ûd r.a berkata, “Kebinasaan itu terdapat pada dua hal: putus asa dan rasa takjub diri sendiri.” Hal itu karena orang yang berputus asa tidak akan sudi mencari kebahagiaan. Sedangkan orang yang takjub tidak berambisi lagi untuk mencari kebahagiaan, lantaran merasa dirinya serba cukup dan beruntung.118 Imâm al-Ghazâlî berkata, hakikat takjub adalah merasa diri serba berkecukupan dan bangga hati atas nikmat yang ada, dan lupa jika kelak akan sirna. Apabila dia menyandarkan diri bahwa dirinya merasa benar di sisi Allah, hal itu disebut menonjolkan diri (idlal). Dalam suatu hadis dijelaskan, shalat orang yang disertai idlal derajatnya tidak lebih di atas kepalanya saja. Tanda-tandanya, pada rasa heran terhadap orang yang doanya ditolak, heran pula pada konsistensi ibadat orang yang pernah menyakitinya.119 Di sisi lain sifat takjub itu sendiri merupakan induk dari sifat takabur. Sifat takabur berdampak kepada pihak yang ditakaburi, sementara takjub diri hanya terbatas bagi diri sendiri. Orang yang memandang nikmat Allah atas dirinya melalui amal, ilmu dan lainnya, kadang dia sendiri khawatir atas hilangnya nikmat tersebut, di samping merasa bahagia bahwa nikmat itu semata dari Allah, bukan tergolong orang yang takjub diri. Takjub adalah melupakan sandaran nikmat kepada Allah Swt. Ketika seseorang merasa takjub atas potensi, kecantikan dan kekuasaannya, maka hal itu merupakan suatu kebodohan sejati. Dan terapinya 118 119
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 164. Ibid.
93
juga dengan ilmu. Sebab, semua itu muncul bukan karena hasil lerihpayahnya, tetapi seharusnya kagum kepada yang memberi nikmat, dirinya tidak berhak. Sebaiknya dia berpikir, bukankah suatu saat kekuatan, kecantikan dan kekuasan itu dapat musnah dalam sekejap mata karena ditimpa penyakit dan kelemahan? Kalau dia takjub pada prestasi ilmu dan amalnya, serta segala usahanya, seharusnya is merenungkan, bahwa semua itu didukung oleh anggota badan, kekuatan, kehendak dan pengetahuan. Padahal semuanya adalah ciptaan Allah Swt. Apabila Allah mencipta anggota badan kita, kemampuan, mampu mengerjakan berbagai urusan perdagangan, maka hasil pekerjaan tersebut bersifat darurat dan terpaksa belaka. Orang yang terpaksa tidak layak takjub diri terhadap hasil yang diusahakan secara terpaksa. Ia terpaksa dalam lkhtiarnya, jika mau da tidak melakukannya. Tetapi manakala Allah Swt. berkehendak, mau atau tidak, kapan pun akan tercipta kehendak-Nya. Allah Swt.berfirman:
(٢٩
:R}{[ )اª ِ َء اcَ¦}َ ْ َانn e ن ِا َ ْ ُءوcَ¦Oَ cَpَو
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali jika Allah menghendaki." (Q.S. al-Takwîr: 29).120 Menurut Imâm al-Ghazâlî kunci dari kerja adalah terwujudnya kehendak, didukung perangkat yang ada, disertai kemampuan dan fisik yang sempurna. Semua itu ada pada kekuasaan Allah Swt. Yang mengherankan, jika orang berilmu dan berakal merasa terkesima dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Bahkan manakala kecerdasan dan prestasi 120
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1030.
94
kekayaan terkumpul dalam diri seseorang, sementara kebodohan terhindar darinya, tentu kondisi seperti itu semakin mengherankan. Seperti dalam kasus keheranan orang yang diberi kuda oleh raja, dan orang lain diberi budak. Orang tersebut lalu bicara, "Bagaimana raja memberi budak itu kepada seseorang padahal la tidak memiliki kuda, sedang aku punya kuda?"121 Padahal dia memiliki kuda atas pemberian raja. Lalu pemberian itu dia jadikan alibi untuk meraih hak pemberian yang lain. Tentu hal ini suatu kebodohan. Orang pandai selamanya merasa kagum pada karunia Allah. Karena kedermawanan-Nya yang telah memberikan kepandaian dan ilmu, memberikan pertolongan mampu beribadah tanpa meminta haknya. Padahal karunia seperti itu tidak diberikan kepada orang lain, malah orang lain terlibat tindak kerusakan. Sedang dirinya mampu mengerjakan kebaikan. Dan tindakan tersebut tidak didahului oleh tindak kriminal. Jika seseorang menyaksikan secara benar semua itu, pasti dia takut berbangga diri. Sebab kadang-kadang dia berkata, “Allah benar-benar memberikan nikmat kepadaku di dunia tanpa perantara. Dan Allah memberi keistimewaan kepadaku tidak kepada orang lain.” Orang yang berkata demikian, tanpa merasa adanya perantara, dikhawatirkan dia disiksa dan dicabut nikmat-nikmatnya, tanpa luka dan sebab-sebab yang mendahuluinya.
121
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 166.
95
10. Riya’ Allah Swt. berfirman dalam surat al-Mâ’ûn: 4-6.
ْ ُهq َ }ْ ©ِ [e َا.ن َ ْ ُهcَj ْSِ Oِ £ َ¡ َ ْqm َ ْ ُهq َ }ْ ©ِ [e َا.q َ Lْ ^k َ oُ ^ْ [ِ ٌ}ْ َ zَ ن َ ْm ُ cَo[ْن ا َ ُْ oَ fْ }َ ن َو َ َْا ُءوR}ُ “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orangorang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’…” (Q.S. al-Mâ’ûn: 4-6)122 Rasulullah Saw. bersabda:
ل َ cَ« ُهَ؟cَp : َ Lْ «ِ ,Rُ ¬َ ¡ ْ n َ ْك ا ُ ْR¦ [ ُ{ ُ اLْ ^َm َ ف ُ cَr َاcَp ف َ َ r ْ ن َا e ِا 123 . ُءcَ}R [َ ا:َ ^ej َ ِ َوLْ ^َm َ ª ُ اPe^¡ َ ª ِ لا ُ ْj ُ َر “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan dari kamu sekalian adalah syirik kecil.” Para Shahabat bertanya, “Apakah syirik kecil ya Rasulullah?” Imâm al-Ghazâlî menjawab, “Riya’.” Sedangkan
menurut
Imâm
al-Ghazâlî
riya'
adalah
mencari
kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan ibadat dan amal-amal kebajikan.124 Dilihat dari segi bentuknya, maka riya' dapat dibagi menjadi enam bagian: a)
Riya' lewat anggota badan, yaitu dengan cara menampakkan kurus kerempengnya badan, agar disangka orang kurang tidur (selalu bangun malam) dan banyak berpuasa, atau menampakkan rasa sedih dan iba agar disangka sangat peduli terhadap urusan agama, menampakkan kusutnya rambut agar disangka betul-betul tenggelam
122 123
155.
124
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1108. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz IV (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 168-170.
96
dalam urusan agama, menampakkan keringnya bibir dan rendahnya suara agar disangka betul-betul aktif berpuasa dan tekun berjuang. b)
Riya' lewat gaya penampilan, yaitu dengan cara mencukur kumis, menundukkan kepala saat berjalan, sangat berhati-hati dalam setiap gerak-geriknya, sengaja membiarkan bekas sujud dalam shalat, dan memejamkan mata saat berbicara agar orang menilai bahwa dirinya betul-betul memiliki kasyaf dan wawasan pengetahuannya dalam.
c)
Riya' lewat pakaian, yaitu dengan mengenakan baju wol dan baju kasar yang menjulur ke betis, memakai baju compang-camping dan lusuh agar orang mengira bahwa dirinya ticlak sedikit pun berpaling dari mengingat Allah, mengenakan serban dan membawa serta sajadah sebagaimana seorang tasawuf, mengenakan baju takwa agar disangka orang alim, membuat penutup di atas sorban dengan kain, memakai kaus kaki agar disangka meninggalkan hidup duniawi karena begitu kuatnya wara' dan agar terhindar dari debu jalanan.
d)
Riya' lewat kata-kata, seperti riya' seorang muballigh dan pakar. Yaitu dengan cara berkata-kata indah yang memikat, berucap dengan lagak bijak, mengutip hadis, dan kata-kata ulama salaf, dengan suara yang lembut, dan menampakkan rasa sedih dan iba, padahal dalam hatinya kosong dari nilai-nilai keikhlasan dan kejujuran. Mengaku ahli hadis, berteman para syeikh, dengan cepat-cepat menyela pembicaraan agar disangka ahli ilmu pengetahuan, merasa sedih atas kemaksiatan yang merajalela, padahal hatinya tidak demikian.
97
e)
Riya' melalui amal, seperti melambatkan berdiri dan memanjangkan bacaan shalat, memperbagus cara ruku' dan sujud, tidak menoleh kanan-kiri, banyak bersedekah, puasa, berkali-kali menunaikan ibadah haji, berjalan khusyu', padahal Allah Swt. Mahatahu batinnya, kalau di dalam keadaan sendiri tidak bergaya seperti itu semua. Bahkan jika tidak dilihat orang, la berjalan cepat, dan meremehkan salat. jika merasa ada yang melihat, la kembali tenang agar disangka khusyu'.
f)
Riya' karena banyak murid, dan menyebut banyak syeikh agar disangka bahwa dia betul-betul banyak berteman para syeikh. Seperti orang yang senang bila dikunjungi oleh para penguasa dan ulama, agar dia disebut-sebut banyak berkahnya. Penjelasan di atas adalah jenis-jenis riya' dalam agama, bahkan
tergolong dosa besar dan tentunya haram, jika berkedokkan agama dalam mewujudkan ambisi pribadi. Tetapi, bila menyangkut masalah duniawi dan tidak memperalat agama untuk mencapai maksudnya, maka bukanlah tergolong riya' yang dilarang, sepanjang tidak mengandung unsur penipuan. Menurut Imâm al-Ghazâlî riya' memiliki tiga derajat negatif:125 Pertama, riya' tidak bisa memasuki wilayah keagamaan dan ibadah. Seperti ketika memakai pakaian bagus, saat keluar, tetapi tidak saat khalwat. Semisal infak harta untuk suatu jamuan orang-orang kaya, supaya
125
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 171.
98
disangka dermawan, bahkan karena agar disangka sebagai wara' yang shaleh. Maka riya' seperti di atas tidak haram. Sebab kompetensi hati itu seperti kepemilikan harta. Memang, sedikit harta namun bermanfaat, sementara banyak harta yang bisa melupakan dzikir kepada Allah Swt., kedudukannya tetap seperti orang kaya. Apabila hartanya
didistribusikan untuk kepentingan
kedudukannya, yang tentu bisa menyeret pada sikap alpa dan maksiat, tindakan. tersebut haram. Keharaman tersebut sebenarnya terletak pada sikap manipulasi keagamaan dan kewara'an. Karena ia telah memanipulasi agar manusia yakin, seakan-akan la orang yang mukhlis dan taat. Niat tersebut sangat dibenci oleh Allah, dan tergolong fasik. Kedua, kalau seseorang beribadah kepada Allah, tetapi demi makhluk, berarti dia telah menghina agama. Seandainya ada hamba yang mau beribadah, dengan keyakinan bahwa hamba-hamba Allah lebih mampu memberi manfaat dan menjauhkan dari bencana dibanding Allah Swt., yang kemudian mendorongnya untuk beribadah secara baik di mata orang banyak, lantaran pamer ibadahnya dengan motivasi, manusia bisa dikuasai hatinya. Itulah sebabnya, mengapa riya' itu tergolong syirik kecil, yang kemudian semakin bertambah karena rusaknya motivasi dan niat. Menurut Imâm al-Ghazâlî, riya’menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam:126
126
Ibid., 188-190.
99
Pertama, riya’ secara terang-terangan, adalah hal-hal yang membangkitkan amal, kalau saja hal-hal tersebut tidak ada, dia tidak pernah senang beramal, minimal dia merasa berat beramal. Namun amal tersebut menjadi ringan dan disertai semangat jika ada motivasi tersebut. Seperti orang yang bertahajud, apabila ada tamu semakin bersemangat. Tetapi ketika dilihat oleh orang lain sebelum dan sesudah tahajud, la merasa gembira. Ada suatu kebanggaan tersendiri. Hal demikian menunjukkan bahwa riya' telah menempati lubuk hatinya Kedua, riya’ secara samar adalah tindakan yang mengarah pada riya’ namun sangat kecil, bahkan lebih kecil dari semut. Ali r.a. berkata, "Sesungguhnya Allah Swt. bersabda pada hari Kiamat kepada ulamaulama, 'Bukankah Allah Swt. telah menurunkan harga bagi kalian? Bukankah kalian semua telah memulai salam? Bukankah kalian telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian? Tiada pahala bagi kalian, karena kalian telah dipenuhi oleh upah kalian'." 127 Karena itu, seseorang harus tekun apabila ingin ikhlas, dan orang lain yang berada di sisinya tidak lebih dari sekedar binatang dan amal-amal kecil. belaka. Dengan tidak membedakan dalam beribadah, apakah orang lain ada atau tidak, apakah mereka tahu atau tidak dengan satu tujuan utama yaitu Allah SWT. sebagai tempat memohon pahala. Dan Allah tidak akan menerimanya kecuali dengan hati yang jernih (ikhlas).
127
Ibid.
100
Demikian sedikit penjelasan tentang konsep perbaikan akhlak menurut Imâm al-Ghazâlî pada fase pertama. Jika seseorang telah melaksanakan tahap pertama ini dapat diasumsikan bahwa ia telah melakukan setengah dari perjalanan perbaikan akhlak. Dan tahap terakhirnya adalah dengan mengisian akhlak-akhlak yang mulia yang mencerminkan pribadi muslim yang ittiba’ kepada Rasulullah selaku uswatun al-Hasanah bagi seluruh umatnya. Dan penjelasan tentang konsep tersebut akan dibahas pada pembahasan di bawah ini.
C. Konsep Tahlîyah Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Konsep tahlîyah dalam kitab al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn merupakan sub bab yang keempat dan merupakan lanjutan dari proses tazkîyah. Secara umum konsep ini membahas tentang pengisian jiwa yang telah bersih dari sifat-sifat tercela dengan sifat-sifat terpuji (sifat al-Mahmudah). Dan menurut Imâm alGhazâlî sifat terpuji yang harus ditanamkan meliputi sepuluh sifat. Karena kesepuluh sifat tersebut merupakan pondasi dari sifat-sifat terpuji lainnya. Dan dengan menanamkannya bisa terbentuk insane al-Kamil. Sepuluh sifat tersebut adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta, ridla terhadap qadha’, dan yang terakhir adalah mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani. Dan secara ringkas sepuluh sifat tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1. Taubat Firman Allah Swt. dalam surat al-Nûr ayat 31:
(٣١ :رf[ )ا.…cًLْ oِ x َ ª ِ اPَ[ْ ُْا ِاOُ َو
101
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah....”128 Dan juga hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn ‘Umar:
cَS}Í َأcَ} َ ^ej َ ِ َوLْ ^َm َ ُ ^e[ اPe^¡ َ ِ ^e[ل ا ُ ُjل َر َ cَ« ل َ cَ« Rَ oَ m ُ q َ ْ ْ اqm َ . ٍةRe pَ Kَ ±َ cِp ِ Lْ [َْ ِم ِإLَ [ْ اyِz ب ُ ُO َأyÅِ zَ ِ ^e[ اPَ[ُُا ِإO س ُ cef[ا (^
p ¤)روا “Dari Ibn ‘Umar berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Hai manusia! Tobatlah kamu kepada Allah dan minta ampunlah kepadaNya. Karena sesungguhnya aku sendiri biasa bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.”.129 Menurut Imâm al-Ghazâlî melakukan perbuatan taubat adalah kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat. Namun demikian, taubat itu memiliki pilar, prinsip dasar dan kesempurnaan. Prinsip dasarnya adalah iman. Yang berarti, terpancarnya cahaya ma'rifat pada kalbu sehingga dosa-dosa yang ada di dalamnya merupakan racun yang membinasakan. Dari sana bara rasa takut (khauf) dan penyesalan (nadam), kernudian dari bara inilah memancar sikap waspada dan sikap memperbaiki kekeliruan dan berupaya meninggalkan segala macam dosa yang telah diperbuat pada masa yang lalu dan memperbaikinya dengan semaksimal mungkin. Dengan demikian taubat dapat digapai.130 Jika esensi taubat telah diketahui, maka sangat jelas bahwa taubat itu merupakan kewajiban setiap individu yang wajib dilakukan dalam kondisi
128
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 548. Al-Naysâbûrî, Shahîh Muslim, Juz II, 575. 130 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 191-192. 129
102
apa pun. Karena itulah Allah Swt. berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah ...." (Q.S. al-Nûr: 31).131 Di sini Allah mengarahkan khitab-Nya kepada semua pihak secara menyeluruh. Taubat itu wajib karena muatan maknanya adalah mengetahui bahwa dosa-dosa bisa dihancurkan, serta darinya motivasi yang kuat untuk meninggalkannya. Ini merupakan salah satu komponen keimanan, yakni mengenal faktor-faktor di atas. Imâm al-Ghazâlî mengemukakan bahwa taubat itu wajib bagi setiap manusia. Karena manusia itu terdiri dari beberapa sifat: kebinatangan, kebuasan, kesetanan, dan sifat-sifat ketuhanan. Dari unsur-unsur kebinatangan lahir sifat rakus, nafsu birahi dan durhaka. Dari unsur kebuasan lahir sifat-sifat marah, dengki, permusuhan dan rasa benci. Dari unsur kesetanan lahir sifat-sifat tipu daya dan pengkhianatan dan dari unsur ketuhanan lahir sifat sombong, senang dipuja dan cinta kekuasaan.132 Prinsip akhlak tersebut adalah keempat perilaku di atas. Sifat-sifat itu telah mendarah daging dalam diri manusia dan sulit untuk dipisahkan. Yang dapat dilakukan hanyalah upaya menyelamatkan diri dari kegelapannya dengan cahaya yang dapat diperoleh dari akal pikiran dan syariat. Pertama kali unsur yang diciptakan dalam sifat manusia adalah unsur kebinatangan, karena itu pada masa bayi sifat rakus, tamak dan birahi 131 132
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 548. Ibid.
103
menguasainya. Lalu unsur kebuasan, yang menguasainya melalui sifat bermusuhan dan saling berkompetisi menguasainya. Kemudian diciptakan unsur setaniah yang menguasai dirinya dengan sifat tipu daya dan rekayasa. Unsur kebuasan dan kebinatangan ini menggiring manusia untuk mempergunakan kecerdikannya dalam menyiasati terlaksananya hawa nafsu dan terwujudnya sifat amarah. Setelah unsur-unsur tersebut, lahirnya unsur ketuhanan (rubûbiyah) yang menimbulkan sifat sombong, cinta martabat dan tahta. Kemudian diciptakan akal pikiran, yang mencerahkan cahaya dan cahaya itu adalah pasukan Allah dan pasukan malaikat. Sementara sifat-sifat negatif di atas adalah bala tentara setan. Pasukan akal menjadi sempurna ketika usia seseorang mencapai empat puluh tahun, dan awalnya tampak pada usia baligh. Sedangkan seluruh balatentara setan telah bercokol di dalam hati sebelum berusia baligh. Hati dikuasai oleh balatentara tersebut dan dijinakkan oleh nafsu, selanjutnya la menyebar luas dalam nafsu birahi (syahwat) menuruti gerak nafsu, sampai cahaya akal pikiran itu masuk. Maka terjadilah perang antara nafsu dan akal pikiran dalam konflik hati. Apabila pasukan akal dan cahaya iman tidak mampu mengalahkan balatentara setan, maka balatentara setan tersebut tetap bercokol sebagaimana semula, berarti kerajaan hati telah menyerah kepada setan. Perang antara hawa nafsu dan akal pikiran merupakan kelaziman dalam fitrah manusia, sebab naluri seorang anak itu tidak akan meluas jika naluri sang bapak tidak meluas pula. Kisah Adam as. itu dituturkan, agar menjadi
104
pelajaran dan perhatian, bahwa hal itu telah menjadi kepastian atas dirinya. Tentu juga menjadi kepastian atas seluruh anak cucunya dalam ketetapan azali yang tidak dapat diubah lagi. Jadi, tidak seorang pun yang tidak membutuhkan taubat. Bahwa taubat itu wajib dilakukan setiap saat, karena tingkah laku manusia, tidak lepas dari dosa, baik organ tubuhnya atau pada kalbunya. la juga tidak lepas dari moral dan perilaku tercela, suatu hal yang harus dijauhi dan dibersihkan dari hati. Perilaku tercela itu menjauhkan diri dari Allah dan upaya untuk menyingkirkan merupakan taubat itu sendiri, karena hal tersebut merupakan tindakan meninggalkan jalan yang jauh (alBu'd) kembali menuju jalan yang dekat (al-Qurb) kepada-Nya. Semuanya merupakan taubat. Hanya saja taubat orang awam itu dari dosa-dosa lahiriah. Sedangkan taubat orang-orang shaleh adalah taubat dari perilaku-perilaku batin yang tercela, taubat orang-orang takwa adalah taubat dari posisi-posisi keragu-raguan, taubat orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. (muhibbîn) adalah taubat dari kelalaian dzikir; dan taubat orang-orang arif (al-Ârifîn) adalah taubat dari berhenti pada suatu maqam, padahal di depannya masih terdapat maqam-maqam lagi. Maqammaqam kedekatan kepada Allah tidaklah berujung, maka taubat seorang arif tidak juga berujung pangkal, tidak berbatas akhir. Taubat yang telah terpenuhi syarat-syaratnya pasti diterima. Seseorang
tidak perlu khawatir, Jika dia mengerti tentang makna
penerimaan taubat. Makna penerimaan taubat adalah kesiapan hati untuk
105
menerima cahaya-cahaya ma'rifat dalam dirinya. Hati bagaikan cermin yang pencerahannya terhalangi oleh kotoran-kotoran hawa nafsu dan cinta nafsu. Setiap dosa merupakan bintik hitam kalbu, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada kalbu. Karena itulah, kebaikankebaikan dapat membersihkan dan mencerahkan jiwa. Imâm al-Ghazâlî mengumpamakan taubat bagaikan sabun bagi pakaian. Sabun itu pasti dapat menghilangkan kotoran jika digunakan sebagaimana
mestinya.
Orang
yang
meragukan
diterima-tidaknya
taubatnya, berarti belum yakin atau belum memenuhi syarat-syarat taubat secara utuh. Hal itu sama dengan orang yang meminum obat sakit perut, tetapi dia tidak yakin hal itu akan menyembuhkan sakitnya, karena dia tidak tahu tentang syaratsyarat penggunaan obat itu secara utuh. Sebaliknya bila ia mengetahui hal itu, pastilah tergambar kesembuhan, pasti menerima syarat orang yang menolong. Namun pada saat-saat tertentu keragu-raguan ini tidaklah menghantuinya, bahwa taubat itu sendiri harus melalui jalan-jalan tertentu untuk dapat diterima.133
2. Khauf Khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Rasa takut (khauf) adalah rasa pedih dan terbakarya hati disebabkan oleh kejatuhannya pada situasi yang dibenci pada masa yang
133
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 194.
106
akan datang. Rasa takut itu dapat bersumber dari mengalirnya dosa-dosa yang tiada pernah berhenti. Adakalanya, rasa takut kepada Allah itu bersumber dari ma’rifat terhadap sifat-sifat-Nya. Ini benar-benar khauf paling sempurna, karena orang yang mengenal Allah, pasti takut kepadaNya.134 Karena itu Allah berfirman.:
(٢٨ :R¼cz) ®اo^َُ [ْ ا¤ِ ِدcَ m ِ ْqpِ ª َ اP¦ َ] ْ }َ coَ e ِا “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (Q.S. al-Fathir: 28)135 Orang yang terjerat di sarang binatang buas, tidak akan merasa takut kepadanya, kalau ia tidak tahu akan sifat binatang tersebut. Orang yang tahu persis terhadap binatang buas, mengetahui bahwa binatang buas itu pasti dapat membinasakannya. Demikian juga jika seseorang itu mengetahui bahwa Allah yang mempunyai sifat Yang Maha Tinggi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana tentu ia akan takut karena ancaman dan siksaan-Nya. Sebagaimana Allah telah membinasakan orangorang yang durhaka kepadanya seperti kasus Fir’aun dan itupun tidak mengurangi sedikit pun dari kekuasaan Allah. Menurut Imâm al-Ghazâlî di antara terapi untuk mencapai khauf adalah dengan cara ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat kepada Allah akan menyebabkan seseorang itu takut kepada-Nya. Karena dengan mengetahui keagungan dan keperkasaan Allah, seperti telah diciptakannya surga 134 135
Ibid., 199. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 700.
107
berikut penghuninya dan diciptakan neraka beserta penghuninya, serta telah menetapkan kebahagiaan dan kesengsaraan kepada setiap hambaNya dengan benar dan adil, yang tidak dapat diubah oleh siapa pun, atau disimpangkan dari ketentuan azali-Nya. Seseorang tidak dapat mengetahui ketetapan qadha’ yang akan diterimanya dan juga ketetapan akhir kehidupannya, sementara ia dibebani pikiran, jangan-jangan kesengsaraan abadi itu ada padanya. Maka persepsi rasa takut tidak perlu dihadirkan lagi, karena ia sudah pasti takut.136 Bagi orang yang tidak dapat menembus hakikat ma’rifat, terapinya adalah dengan melihat, menyaksikan, memperhatikan dan menyimak perihal orang-orang yang takut. Manusia yang paling takut kepada Allah adalah para Nabi, wali, ulama, dan ahl al-Bashîrah. Sedangkan manusia yang paling merasa dirinya aman dari ancaman Allah adalah orang-orang lalai, pandanga mereka tidak ke masa lampau, tidak pula kemasa depan, serta tidak mengarahkan pandangannya untuk mengenali Allah. Itulah di antara terapi yang diberikan oleh Imâm al-Ghazâlî dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn pada bab khauf.
3. Zuhud Allah berfirman dalam surat Al-Syûrâ ayat 20:
lُ }ْ Rِ }ُ ن َ cَْ آqpَ َو,ِ ِ ْR` َ Pِz ُ [َ ْدNِ َ ِةRَ r ِ Ýث ا َ ْR` َ lُ }ْ Rِ }ُ َنcَْ آqpَ .¨ ٍ Lْ k ِ َ ْqpِ ِةRَ r ِ Ý اPِz ُ [َ cَp َوcَSfْ pِ ِ Oِ ْ®ُ cَLْ lÍ [ث ا َ ْR` َ ( ٢٠ :)ا[¦رى 136
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 200-201.
108
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”137 Dan juga hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dari Sahl:
ِ Lْ ^َm َ ُ ^e[ اPe^¡ َ y e ِ fe[ اPَOل َأ َ cَ« ي lِ m ِ ce
[ اlٍ ْ j َ q ِ ْ ِ Sْ j َ ْqm َ ُ ُ ^ْ oِ m َ cَ ِإذَا َأ ٍ oَ m َ Pَ^m َ yِf[e^ ِ ُدe[ل ا َ ُj َرcَ} ل َ cَzَ ٌx ُ ^ َ َرej َ َو ِ Lْ ^َm َ ُ ^e[ اPe^¡ َ ِ ^e[ل ا ُ ُjل َر َ cَzَ س ُ cef[ اyِfe ` َ ^ ُ َوَأe[ اyِfe` َ َأ س ِ cef[ِي اl}ْ َأyِz cَoLِz ْl^ ُ وَازْ َهe[ ا¹ َ e ِ }ُ cَLْ lÍ [ اyِz ْl^ َ ازْ َهej َ َو (xcp q ا¤ك )روا َ Í ِ }ُ ”Dari Sahl bin Sa’d al-Sâ’id berkata: “Telah datang seorang lakilaki
kepada Nabi Saw. Kemudian dia bertanya kepada Nabi:
“Wahai Rasulullah, Tunjukkan kepadaku perbuatan yang bila kuamalkan Allah SWT.dan mnusia akan suka kepadaku.”Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Zuhudlah terhadap dunia niscahnya kamu dicintai oleh Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscahya kamu akan dicintai mereka.”138 Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Menurut Imâm alGhazâlî esensi zuhud adalah menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin. Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal.
137 138
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 574. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz II (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), 142.
109
Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buahbuahan dengan permata.139 Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekedar memenuhi kebutuhan, sekedar biaya penumpang kendaraan. Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekedar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan peralatan rumah tangga.140 Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka la tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja, dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dari jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, la tidak mendapatkan pakaian lain 139 140
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 204. Ibid.
110
sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud. Tempat tinggal dalam ukuran paling sederhana adalah, jika seseorang itu puas dengan salah satu sudut di dalam masjid. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan. Jadi pada intinya apapun itu harus sesuai dengan kebutuhan. Imâm al-Ghazâlî membagi zuhud dalam beberapa tingkatan: Pertama, dia hidup zuhud, sementara nafsunya cenderung pada dunia, namun la terus berjuang dan meneranginya. la adalah orang yang berupaya hidup zuhud (mutazahid), bukan zahid. Kedua, dirinya berpaling dari dunia, sama sekalo tidak cenderung kepadanya. Karena dia tahu, bahwa kompromi antara kenikmatan dunia dan akhirat sangatlah mustahil. Maka jiwanya dibiarkan meninggalkan dunia, sebagaimana seseorang yang mengorbankan uangnya, guna mendapatkan permata, meskipun uang itu sangat dicintainya. Inilah hidup zuhud. Ketiga, jiwanya tidak cenderung dan tidak berpaling dari dunia. Baginya, ada dan tiadanya harta-benda (dunia) adalah sama.141 Menurut Imâm al-Ghazâlî hidup zuhud yang sempurna adalah zuhud dalam zuhud. Yakni, dia tidak menganggap hidup zuhud itu sebagai derajat tertentu. Sebab, orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan
141
Ibid., 208-209.
111
mengira
bahwa
dirinya
meninggalkan
sesuatu,
identik
dengan
mengagungkan dunia. Karena dunia atau harta-benda bagi mereka yang memiliki mata hati, tiada berarti apapun. Pemilik harta-benda itu ibarat orang yang dihalang-halangi anjing di depan pintu istana raja. Maka la berikan sepotong roti pada anjing tersebut, sehingga si anjing pun sibuk dengan urusan makanan itu, lalu la pun masuk ke dalam istana raja dan duduk di atas singgasananya. Dan anjing yang ada di depan pintu istana Allah itu adalah setan, seluruh isi dunia nilainya lebih sedikit dari sepotong roti tadi bila dibandingkan dengan kerajaan sang raja. Sebab, sepotong roti itu dinisbatkan kepada sang raja, yang bisa binasa dengan nilai sepadannya. Sedangkan kehidupan akhirat tidaklah fana’, tidak binasa, tidak seperti kehidupan dunia, sebab akhirat itu tanpa batas.142 Ditinjau dari motifnya, zuhud itu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu: Pertama, motivasi zuhud itu adalah rasa takut (khauf) terhadap api neraka. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut (al-Khâifûn). Kedua, motivasi zuhud yang berupa cinta pada kenikmatan akhirat. Ini lebih tinggi dari yang pertama. Inilah zuhud orang-orang yang berharap (al-Râjûn). lbadah yang berdasarkan rasa harap (al-Râja') lebih utama dari ibadah yang berdasarkan rasa takut (al-Khauf). Karena rasa harap itu mengantarkan pada rasa cinta (mahabbah). Ketiga, ini lebih tinggi lagi. Motivasi zuhud di sini adalah sikap menjauhkan diri dari perhatian terhadap selain Allah, sebagai upaya
142
Ibid.
112
menyucikan diri dari selain Allah dan sebagai sikap mengecilkan selain Allah. Ini adalah zuhud orang-orang yang ma'rifatullah (al-‘Ârifûn). Inilah zuhud yang hakiki. Sedangkan dua bentuk zuhud sebelumnya adalah sekedar muamalat, sebab bisa saja si zahid dalam dua tingkatan di atas lepas dari sesuatu harapan masa kini (dunia) untuk diganti dengan masa depan (akhirat) yang pahalanya berlipat ganda. Zuhud ditinjau dari kandungan isinya terbagi dalam tiga tingkatan pula. sedangkan zuhud yang sempurna adalah hidup zuhud meninggalkan selain Allah Swt. di dunia dan akhirat. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah hidup zuhud meninggalkan dunia, tanpa akhirat. Berarti la meninggalkan segala bentuk kesenangan di dunia termasuk di dalamnya, baik itu berupa harta-benda, kehormatan, jabatan dan kenikmatan duniawi. Tingkatan di bawahnya lagi adalah hidup zuhud dari harta-benda, namun tanpa meninggalkan kedudukan atau kehormatan. Atau, hidup zuhud dalam beberapa hal, tanpa meninggalkan lainnya. Dan zuhud itu tergolong lemah, karena kedudukan itu lebih menggiurkan daripada harta-benda, maka zuhud dengan meninggalkan kedudukan itu lebih utama. Hidup zuhud sendiri adalah menjauhkan diri dari dunia sepenuhnya menurut kemampuan. Kemudian bila dunia itu menjauhi, sedangkan hati masih mencintainya, maka itu adalah kefakiran, bukannya zuhud. Walaupun demikian, kefakiran itu memiliki keistimewaan dibanding kaya, karena fakir atau miskin itu mencegah diri dari bersenang-senang dengan kelezatan duniawi. Ini lebih utama dari pada orang yang diberi
113
kemampuan
untuk
menguasai
harta-benda
dan
bersenang-senang
dengannya hingga la terbiasa merasa tenang dengan gelimang harta-benda tersebut. Kalbunya pun tidak bisa jauh dari kenikmatan. Akhirnya, semakin besar dan keras penyakit serta kerugiannya menjelang mati. Lalu dunia itu seakan-akan surga, dan bagi si miskin seakan-akan penjara. Karena si kaya merasa bersih dari bencana dunia. Padahal kemiskinan atau kefakiran adalah faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan.
4. Sabar Allah berfirman dalam surat Al-Anfâl ayat 46:
(٤٦ :لcg§ )اq َ }ْ Rِ ِ cek[ ا²َ pَ ª َ نا e وْا ِاRُ ِ ¡ ْ وَا “Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.143 Ada beberapa hal yang dikaruniakan untuk orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kepada selain mereka. Allah berfirman:
:ةR[ن )ا َ ْوlُ َ Sْ oُ [ْ ُْا ُه ُ اcَ آcَp q ِ
َ` ْ Áَِ َْ ُهRx ْ وْا َاRُ َ ¡ َ q َ }ْ ©ِ [e اq e }َ Nِ ْ fَ [ََو (١٥٧ “Dan sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada orangorang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”144 Menurut Imâm al-Ghazâlî sabar adalah keteguhan yang mendorong hidup beragama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Itu adalah salah satu karakteristik manusia yang terkomposisi dari unsur malaikat dan
143 144
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 265. Ibid., 39.
114
unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. Mereka bertasbih menyucikan Allah Swt. sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.145 Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang
145
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 212.
115
yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh. Ditinjau dari kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:146 a) Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus-menerus. b) Tingakatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguhsungguh
melakukan
peperangan.
Dalam
peperangan
itu,
kemenangan silih berganti. Adakalanya dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. Indikasinya dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak dapat mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin pada suatu waktu ia mampu mengalahkan dan menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan akhirnya kalah. c)
Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. Sehingga ia menjadi tawanannya hawa nafsu. Kebutuhan akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam segala
hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, la sepakat dengan hawa
146
Ibid., 213-214.
116
nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, la akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa nafsu. Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para shahabat berkata, "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar." Menurut Imâm al-Ghazâlî bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.147 Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam: a. Sabar dalam taat. Nafsu sering bertentangan dengan ketaatan, seperti rasa malas dalam shalat, sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit.
147
Ibid.
117
Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: pertama, mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotorankotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. Kedua, ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan ketiga, setelah melaksanakan ibadah, la hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang lain (sum'ah). Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu. b. Sabar terhadap maksiat. Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan
yang
muncul
untuk
menghadapi
dorongan-dorongan
keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan, yaitu pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan. Bila keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar. Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh. c. Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.
118
Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah. Sebagian sahabat berkata, "Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi.148
5. Syukur Allah berfirman:
(١٥٦ :ةR[ن )ا َ ْوRُ gُ {ْ Oَ n َ ْ َوy[ِ وْاRُ {ُ u ْ وَا “Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.”149 Menurut Imâm al-Ghazâlî syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disebutkan sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri sendiri, tetapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap melepaskan diri dari ikatan-ikatan 148 149
Ibid. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 39.
119
hubungan yang bisa melupakan Allah Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, la tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, taubat, khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, la abadi di dalam surga.150 Itulah sebabnya Allah Swt.berfirman:
(١٠ :h}) .q َ Lْ oَِ [cَ[ْ ب ا َرª ِ ِ lُ oْ َ [ْ ن ا ِ َا ُهْ َاm ْ َدRُ r ِ َوءَا "Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah, 'Al-Hamd lillâh Rab al-‘Âlamîn (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’. " (Q.S. Yûnus: 10).151 Imâm al-Ghazâlî berkata, setiap orang akan mengetahui hal tersebut, jika telah memahami hakikat tentang syukur yang terdiri dari tiga rukun: ilmu, tingkah laku dan amal.152 a. Rukun pertama: Ilmu. Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat dan Dzat Pemberi nikmat. Seluruh nikmat berasal dari Allah Swt., Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dan tauhid. Keduanya masuk dalam kategori syukur bahkan tahap pertama dalam pengertian atau pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).153
150
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 218-219 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 306. 152 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 219. 153 Ibid. 151
120
Jika telah mengenal Dzat Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid. Kemudian, jika seseorang telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan dari Dzat Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-Hamd). Yang demikian itu, karena penyucian dan pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah SWT.Tingkah laku ruhani ini merupakan buah dari pengetahuan di atas. Yaitu, rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat yang disertai dengan ketundukan dan pengagungan. b. Rukun kedua: Amal. Artinya, dengan nikmat tersebut untuk mencintai-Nya, bukan durhaka kepada-Nya. Yang demikian ini, hanya dipahami orang yang mengenal hikmah Allah kepada seluruh makhluk-Nya. Misalnya seseorang mengetahui bahwa mata adalah nikmat dari Allah. Mensyukuri mata adalah menggunakannya untuk menelaah Kitab Allah, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, melakukan studi dan riset tentang langit dan bumi, agar dia mampu menyerap pelajaran darinya dan mengagungkan Sang Penciptanya. Dia juga harus menutupi matanya dari segala bentuk aurat kaum Muslimin.154
154
Ibid., 221.
121
Kemudian menggunakan telinganya untuk menyimak peringatan dan segala hal yang bermanfaat di akhirat nanti, berpaling dari aktivitas mendengarkan kata-kata keji dan berlebihan. Menggunakan lisan untuk berdzikir dan memuji Allah, sebagai rasa syukur tanpa keluhan. Sebab, orang yang ditanya tentang keadaannya, lalu mengeluh, maka dia itu tergolong pelaku maksiat. Karena dia mengadukan milik Sang Maha Raja kepada seorang budak hina yang tidak dapat berbuat apapun. Sebaliknya, bila bersyukur, maka
dia
tergolong
orang
taat.
Mensyukuri
hati,
berarti
menggunakannya untuk berpikir, bertafakur, dzikir, berma'rifat, merahasiakan kebaikan dan niat yang baik. Demikian pula dengan tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh, seluruh harta-benda dan halhal lainnya yang tidak terbatas. Demikianlah sedikit penjelasan Imâm al-Ghazâlî dalam bab syukur dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn.
6. Ikhlas dan Jujur Menurut Imâm al-Ghazâlî ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan kesempurnaan. Prinsip ikhlas adalah niat, sebab dalam niat itu terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampurinya. Kesempurnaan ikhlas adalah kejujuran.155 Ikhlas mempunyai tiga pilar yaitu: niat, keikhlasan niat dan kejujuran. a. Pilar yang pertama: Niat. 155
Ibid., 224.
122
Allah berfirman:
:مc§ )ا.ُ Sَ x ْ ن َو َ ْوlُ }ْ Rِ }ُ y ¦ ِ َ [ْ َا ِة وَاl¬َ [ْ cِ ْSُ eن َر َ ْm ُ ْl}َ q َ }ْ ©ِ [e ِد اRُ T ْ Oَ n َ َو (٥٢ “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru kepada Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka mengehendaki keridhaan-Nya.”.156 Al-Ghazâlî berpandangan bahwa hakikat niat adalah kemauan yang mendorong kekuatan yang lahir dari pengetahuan. Penjelasannya bahwa seluruh pekerjaan seseorang tidaklah absah tanpa kekuatan, kemauan
dan ilmu. Ilmu
menggerakkan kemauan.
Kemauan
merupakan motivasi dan pendorong kekuatan dan kekuatan adalah alat, sarana dan pembantu kemauan untuk menggerakkan seluruh organ tubuh.157 Niat itu adalah, kecenderungan atau kemauan kuat yang merupakan motivator bagi kekuatan. Jika suatu amal perbuatan dapat terealisasi dengan dorongan niat, maka niat dan amal merupakan ibadah yang sempurna. Niat merupakan satu dari dua sisi ibadah, namun merupakan sisi yang terbaik dan paling vital. Karena amal perbuatan dengan organ tubuh tidak akan mengenai sasaran, kecuali punya pengaruh dalam hati, yakni agar cenderung pada kebaikan dan jauh dari keburukan. Sehingga berpikir dan berdzikir mampu mengantarkan pada kesenangan jiwa dan ma'rifat, yang keduanya
156 157
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 194. Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 225.
123
merupakan faktor bagi kebahagiaan di akhirat. Jadi, tujuan dan maksud dari meletakkan dahi di atas tanah bukanlah semata-mata peletakan dahi di atas tanah. Tetapi, ketundukan hati, sedangkan hati itu dapat dipengaruhi dengan perbuatan-perbuatan organ tubuh. Tujuan zakat itu bukan untuk menghilangkan hak milik, tetapi untuk
memusnahkan
kehinaan
sifat
kikir.
Yakni,
memotong
ketergantungan hati dengan harta-benda. Tujuan dari penyembelihan binatang kurban bukanlah daging dan darahnya, tetapi rasa ketakwaan hati dengan mengagungkan dan membesarkan syiar-syiar Allah Swt. Dan niat merupakan kecenderungan hati pada kebaikan. Dimana tujuan utamanya adalah untuk mempengaruhi hati. Karena itulah seluruh amal hati mewarisi pengaruh dhahirnya, namun bukan amal anggota badan. Perbuatan anggota badan tanpa kehadiran hati merupakan hal yang siasia belaka. Niat memiliki keutamaan, karena di situlah inti tujuan itu bersemayam dan berpengaruh. Karena itu, banyak-banyaklah berniat dalam seluruh amal perbuatan, bahkan seseorang bisa beramal satu amaliah saja dengan niat yang banyak. jika kemauan dan kecintaannya itu benar, niscaya ia akan diberi petunjuk jalannya. Misalnya, jika seseorang masuk dan berdiam di dalam masjid adalah lbadat, dan itu bisa dilakukan dengan delapan macam niat:158
158
Al-Ghazâlî, Teosofia Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,, 258-259.
124
Pertama, seseorang yakin bahwa masjid adalah rumah Allah (baitullâh). Orang yang memasuki masjid berarti datang menemui Allah dan pasti berniat untuk berjumpa dengan Allah SWT.Kedua, niat untuk mengikat diri dengan Allah SWT.(murabathah). Maksudnya adalah menunggu datangnya shalat setelah melaksanakan shalat sebelumnya. Ketiga, niat i'tikaf. Maksudnya adalah mencegah pendengaran, penglihatan dan organ tubuh dari kebiasaan bergerakgerak i’tikaf adalah bentuk lain dari puasa. Keempat, niat untuk khalwat dan meninggalkan segala kesibukan untuk merenungkan kehidupan akhirat, serta cara mempersiapkan diri menghadapinya. Kelima, memusatkan diri untuk dzikir dan mendengarkan dzikir, atau memperdengarkannya. Keenam, bermaksud untuk mengamalkan ilmu, memberi peringatan kepada orang yang keliru ketika melakukan shalat, beramar ma'ruif nahi munkar, sehingga dengan demikian kebaikan itu terwujud bersamanya. Ketujuh, meninggalkan dosa-dosa karena malu kepada Allah Swt. dengan jalan melakukan niat yang baik dalam diri, perkataan dan amal perbuatan, sehingga orang yang berbuat dosa pun merasa malu. Kedelapan, berniat mengambil faedah pada saudara seakidah, sebab yang demikian itu rnerupakan simpanan berharga bagi kehidupan akhirat. b. Pilar yang kedua: keikhlasan niat Menurut Imâm al-Ghazâlî, ikhlas adalah pemusatan satu motivasi. Lawannya adalah dualisme. Yakni dualisme dalam motivasi,
125
sehingga setiap hal yang berkembang selalu dicampuri dengan unsur lain. Apabila terbebas dari segala bentuk campur unsur lain bisa disebut murni. 159 Seperti penjelasan di atas, bahwa niat itu merupakan pendorong. Orang beramal tanpa riya' itu disebut mukhlish. Orang yang beramal hanya karena Allah disebut mukhlash. Namun ada istilah khusus bagi keduanya. Ingkar misalnya, adalah bentuk kecenderungan, namun kecenderungan dalam konteks kebatilan. Rasa ikhlas itu dapat punah pula karena motif-motif dan tujuan-tujuan lainnya. Orang yang berpuasa kadang-kadang bermaksud untuk memperoleh perlindungan, kesehatan yang prima yang bisa dilahirkan dengan berpuasa. Orang yang menunaikan ibadat haji mungkin saja bertujuan agar sehat dengan gerakan-gerakan tubuh dalam perjalanannya itu. Atau dia lari dari problem keluarga, atau lari dari penganiayaan musuh ataupun kejenuhan bersama keluarga. Orang mandi dengan berniat agar berbau sedap. Beri'tikaf untuk memperingan beban tempat tinggal. Dia berpuasa untuk memperingan beban untuk memasak dan membeli makanan atau menjenguk orang sakit agar dijenguk pula bila sakit. Niat dan tujuan semacam itu kadang-kadang lepas dan kadang-kadang bercampur-aduk dengan tujuan ibadah. Jika salah satu tujuan seperti disebutkan di atas terbesik dalam sebuah amal perbuatan, itu artinya keikhlasan telah punah. Ini merupakan suatu hal yang cukup alot dan sulit.
159
Ibid., 230.
126
c. Pilar yang ketiga: kejujuran. Kejujuran adalah kesempurnaan ikhlas. Menurut Imâm alGhazâlî ada enam tingkatan kejujuran. Orang yang mencapai derajat kejujuran yang sempurna layak disebut sebagai orang yang benar-benar jujur, antara lain:160 Pertama, jujur dalam perkataan, di setiap situasi, baik yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang Kedua, kejujuran dalam niat. Hal itu berupa pemurnian, yang menjurus pada kebaikan jika di dalamnya terdapat unsur campuran lainnya, berarti kejujuran kepada Allah Swt. telah sirna. Ketiga,
kejujuran
dalam
bertekad.
Seseorang
bisa
saja
mempunyai tekad yang bulat untuk bersedekah bila dikaruniai rezeki. Juga bertekad untuk berbuat adil bila dikaruniai kekuasaan. Namun adakalanya tekad itu disertai dengan kebimbangan, tetapi juga merupakan kemauan bulat yang tanpa keragu-raguan. Orang yang mempunyai tekad yang bulat lagi kuat disebut sebagai orang yang benar-benar kuat dan jujur. Keempat, memenuhi tekad. Seringkali jiwa dibanjiri dengan kemauan yang kuat pada mulanya, tetapi ketika menginjak tahap pelaksanaan, bisa melemah. Karena janji tekad yang bulat itu mudah, namun menjadi berat ketika dalam pelaksanaan.
160
Ibid., 232-234.
127
Kelima, kejujuran dalam beramal. Tidak mengekspresikan halhal batin, kecuali batin itu sendiri memang demikian adanya. Artinya, perlu adanya keselarasan dan keseimbangan antara yang lahir dan yang batin. Orang yang berjalan tenang misalnya, menunjukkan bahwa batinnya penuh dengan ketentraman. Bila ternyata tidak demikian, dimana kalbunya berupaya untuk menoleh kepada manusia, seakanakan batinnya penuh dengan ketentraman, maka hal itu adalah riya'. Keenam, kejujuran dalam maqam-maqain agama. Ini adalah peringkat kejujuran tertinggi. Seperti maqam takut (khauf), harapan (raja'), cinta (hub), ridha, tawakal dan lain-lain. Seluruh maqam tersebut memiliki titik tolak, hakikat dan puncak akhir (klimaks). Sebab dinyatakan pula, "Ini adalah rasa takut yang benar (al-Khauf al-Shâdq)", dan, "Ini adalah kesenangan yang jujur/ benar (al-Syahwah al-shâdiq). Inilah tingkatan-tingkatan kejujuran. Orang yang mampu mewujudkannya secara keseluruhan, dialah orang yang benar-benar jujur. Orang yang belum mampu mencapai sebagian peringkat kejujuran, tingkatan dirinya sesuai dengan kadar peringkat kejujuran yang telah digapainya. Di antara sejumlah kejujuran adalah pembenaran kalbu bahwa Allah Swt. adalah Maha Pemberi rezeki, inilah yang perlu diingat.
7. Tawakal Allah berfirman dalam surat al-Mâidah ayat 3:
128
(٣ :ةl±co[ )ا.q َ Lْ fِ pِ ْ®pُ ُْ fْ آُ^ْا ِانْ ُآe َ َ zَ ª ِ اP^َm َ َو “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”.161 Secara esensial (hakiki) tawakal merupakan kondisi ruhani yang lahir dari tauhid, yang pengaruhnya terwujud dalam amal nyata. Menurut Imâm al-Ghazâlî tawakal memiliki tiga pilar: Pengenalan diri akan Allah (ma’rifat), kondisi tawakal (hâl) dan amal.162 a. Pilar pertama: Ma’rifat. Inilah dasar tawakal yakni tauhid. Orang yang bertawakal hanya berserah kepada Allah, ia tidak melihat subyek lain selain Allah. Sebenarnya
hakikat
tawakal
hanya
membutuhkan
penyatuan
perbuatan, tidak membutuhkan fana' dalam penyatuan Dzat. Bahkan orang yang bertawakal boleh menyaksikan fenomena ganda dan aneka sebab-akibat atau hukum kausalitas, namun dia harus tahu dan menyaksikan keterkaitan rangkaian sebab-akibat dengan sebab pertama. Demikian pula, bila seseorang menisbatkan perbuatan manusia pada kemauan, penglihatan
pengetahuan dan kemampuan
seseorang
tidak
dapat
mereka,
memandang
pena
sebab yang
menggoreskan pengetahuan dalam papan-papan kalbu. Penglihatannya tidak pula memandang pada jari-jemari yang berakhir pada hati atau kalbu manusia. Padahal pada waktu seseorang melaksanakan hal di atas, sebenarnya bukan ia yang melakukan, akan tetapi Allah-lah yang 161 162
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,157. Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 235.
129
melakukan, dimana pada waktu itu ia dikuasi oleh motif-motif atau sebab-sebab yang pasti dan nyata, seakan-akan dialah yang melakukannya. Kekuasaan
itu
lahir
sebagai
pengetahuan sebagai instrumen
instrumen
kehendak,
dan
dari penundukan dan penaklukan.
Seseorang itu tahu bahwa dirinya dihadapkan pada realitas pilihan, kemudian jika ia mau, maka ia melakukannya. Seseorang itu punya kehendak jika Allah berkehendak, baik pada saat itu ia mau atau tidak. b. Pilar kedua: Kondisi tawakal. Maksudnya adalah menyerahkan setiap urusan kepada Allah dengan keyakinan hati dan ketentraman jiwa. Dan tidak berpaling kepada selain Allah.163 Dalam hal ini, seseorang itu diumpamakan dengan orang yang menyerahkan perkara kepada orang yang paling pintar dan kuat guna membongkar kebatilan, untuk dihadapkan di meja pengadilan. Dia percayakan perkara itu kepadanya karena tahu bahwa orang tersebut adalah paling mengerti tentang seluk beluk kebatilan, dan orang yang paling giat menegakkan keadilan. Karena itulah, orang yang menyerahkan perkara itu pasti hatinya tenang, tentram dan tidak ambil pusing dengan perkara di pengadilan tersebut. Ia tidak meminta bantuan kepada orang lain, karena ia tahu bahwa dia tidak akan ditentang oleh pihak lain.
163
Ibid., 276.
130
Orang yang ma’rifatnya telah sempurna, akan mengetahui bahwa persoalan rizki, ajal, penciptaan dan kekuasaan itu ada di tangan Allah. Dia itu Maha Tunggal tiada berserikat, yang penuh dengan kasih sayang kepada hambanya sehingga hatinya hanya terpau kepada-Nya serta perhatiannya tidak terarah selain kepada-Nya. Itulah sebenarnya tawakal yang merupakan kondisi kalbu dalam bentuk keyakinan yang bulat
kepada
Sang
Wakil
Yang
Maha
Benar
(Allah)
dan
ketidakpedulian kepada selain-Nya. c. Pilar ketiga: Amal nyata. Kadang-kadang orang-orang bodoh mengira bahwa persyaratan tawakal adalah menganggur, tanpa berobat, pasrah dan menyerah pada hal yang membahayakan. Ini keliru, sebab yang demikian haram dalam ajaran syariat. Agama memuji tawakal dan menganjurkannya, lalu bagaimana mungkin tawakal itu bisa digapai dengan hal yang dilarang oleh agama? Realisasinya, bahwa usaha manusia tidak lebih dari empat segi: 1) Mengupayakan kegunaan yang belum ada, 2) Memelihara yang ada, 3) Mencegah marabahaya agar tidak terjadi dan 4) Menghilangkan marabahaya.164 Yang pertama adalah mengupayakan kegunaan atau hal yang bermanfaat. Dalam hal ini ada tiga faktor: 1) Adanya kepastian, 2) Dugaan yang mendekati pasti secara lahiriah, 3) Angan-angan belaka.
164
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 242.
131
Contoh dari yang sudah pasti: Tangan tidak mengambil makanan, padahal dia lapar, lalu berkata, "Ini adalah suatu usaha, sebab aku adalah orang yang berserah diri." Atau menginginkan tanaman namun tidak menanam benih. Ini semua merupakan tindakan bodoh, sebab sunnatullâh tidak berubah. Allah telah memberi tahu bahwa keterkaitan sebab-akibat ini merupakan sunnah yang tidak ada gantinya. Sebenarnya sikap tawakal dalam hal ini dilakukan dengan dua hal:165 a)
Hendaklah Anda tahu bahwa tangan, makanan, benih dan kemampuan untuk menggapainya merupakan kekuasaan Allah Swt.
b)
Jangan bergantung pada tangan, makanan dan benih, tetapi bergantunglah kepada Sang Penciptanya. Bagaimana
bisa
bergantung
pada
tangan,
padahal
ada
kemungkinan terpotong ketika itu atau makanan itu sendiri menjadi basi. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari ucapan, "Lâ haul wa lâ quwwah illâ billâh (Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan Allah)." Daya adalah gerak, dan kekuatan adalah kekuasaan. Jika demikian, orang itu dikatakan bertawakal walaupun ia berusaha. 8. Cinta Allah Swt. Berfirman:
(٥٣ :ةl±co[ْ )اSُ َ ْÍ ِ }ُ ْ َوSُ Í ِ }ُ 165
Ibid., 243.
132
“Allah mencintainya dan mereka pun mencintai-Nya.” 166 Rasulullah Saw. Bersabda: 167
.coَ َا ُهj ِ coe pِ ِ Lْ [َ¨ ِا e ` َ ُْ[ ُ َاj ُ َو َرª ُ نا َ ْ{ُ }َ Pe` َ ْ ُآlُ ` َ َاq ُ pِ ْ®}ُ n َ “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lainnya.” Abû Bakr al-Shiddiq r.a. berkata, "Barangsiapa merasakan
kemurnian cinta kepada Allah, hal itu mencegahnya untuk mencari kehidupan duniawi dan menjadikan dirinya meninggalkan seluruh manusia."168 Hasan al-Bashrî berkata, "Orang yang kenal Allah, pasti Allah mencintainya. Orang yang kenal dunia, la pasti hidup zuhud di dalamnya. Seorang mukmin tidak terkecoh kecuali dia lalai, bila bertafakur la sedih dan pilu."169 Menurut Imâm al-Ghazâlî setiap yang lezat, enak, itu digandrungi, disenangi dan dicintai. Maksud dari kata "dicintai atau disenangi" adalah jiwa cenderung kepadanya atau digandrungi oleh jiwa. Kecenderungan yang amat kuat disebut keasyikan cinta. Maksud dari kata "dibenci" adalah jiwa berpaling darinya, tidak menyenanginya, karena menjemukan dan menyakitkan. Rasa benci yang mendalam disebut dendam.170
166
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 169. Imâm al-Bukhârî, Shahîh Bukhâr, Juz I (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), 105. 168 Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 246. 169 Ibid. 170 Ibid., 146 167
133
Cinta adalah segala sesuatu yang dirasakan dengan segenap indera dan perasaan bisa selaras dengan perasaan dan itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, yang bertentangan dengan indera, selera dan perasaan itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Atau tidak sesuai, ataupun tidak bertentangan dengan indera, atau selera itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak pula menyakitkan. Setiap yang menyenangkan pasti disukai, artinya, jiwa yang terangsang olehnya pasti cenderung dan menggandrunginya. Dan itu tidaklah mustahil. Senang atau enak itu mengikuti indera, sedangkan indera itu terdiri dari dua macam: Indera lahir dan batin.171 Indera lahir adalah pancaindera. Sudah barangtentu kelezatan mata itu adalah ketika melihat keindahan-keindahan, kelezatan yang dirasakan oleh telinga ketika mendengarkan alunan melodi yang indah, sedangkan kelezatan rasa dan penciuman adalah ketika merasakan makanan dan bau yang cocok. Sementara, kelezatan yang dirasakan oleh organ-organ tubuh lainnya, ketika mengenakan sesuatu yang halus lagi menyenangkan. Semua itu disenangi jiwa, atau jiwa itu gandrung kepadanya. Indera batin adalah kehalusan (lathifah) yang terdapat di dalam kalbu. Kadang-kadang disebut akal-budi, kadang-kadang disebut cahaya, dan terkadang pula disebut indera keenam. Misalnya wewangian dan wanita terdapat unsur untuk disentuh, dicium dan dipandang. Sedangkan apa yang terdapat dalam shalat tidak dapat dirasakan atau diindera oleh
171
Ibid., 147.
134
pancaindera, tetapi hanya dapat dirasakan atau diindera oleh indera keenam yang terdapat dalam kalbu. Apa yang dirasakan dalam shalat tidak dapat diindera oleh orang yang tidak mamiliki kalbu, sebab Allah itu tertutup antara seseorang dan kalbunya. Apabila seseorang itu mencintai selain Allah, seperti mencintai wanita, mencintai kerabat, negara, pakaian, anak angkat, karya dan ciptaannya, serta setiap yang berasal darinya dan dikaitkan kepadanya. Maka ia melupakan satu hal, yaitu semuanya hal di atas adalah ciptaan Allah Swt. Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Jadi, mencintai seorang Rasul identik dengan mencintai-Nya, sebab Imâm al-Ghazâlî
adalah
seorang utusan yang dicintai-Nya dan sekaligus merupakan kekasih-Nya. Lalu, mengapa harus mencintai para sahabat? Karena mereka dicintai oleh Rasulullah Saw. dan mereka pun mencintai Imâm al-Ghazâlî . Mereka berkhidmat dan tekun mematuhi Imâm al-Ghazâlî . Cinta atau suka terhadap makanan, karena dapat menguatkan tubuh yang dapat mengantarkan kepada orang yang dicintainya. Mencintai dunia, semata karena merupakan bekal menuju Sang Kekasih. Ketika memandangi bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan-keindahan dengan penuh cinta, karena semua itu adalah ciptaan Allah Swt. Semua itu merupakan tanda-tanda keindahan dan kemuliaanNya, serta mengingatkan akan sifat-sifat-Nya yang terpuji yang memang dicintai dan disayangi.
135
Jadi, motivasi cinta (mahabbah) itu hanya dua: Pertama, ihsan dan kedua adalah puncak kemuliaan dan keindahan Allah yang berwujud kesempurnaan kemahamurahan, hikmah, ketinggian, kemahakuasaan dan kemahasucian Allah dari segala bentuk cacat dan kekurangan. Tiada satu pun bentuk kebaikan dan perlakuan baik, kecuali bersumber dari-Nya. Tidak ada kemuliaan, keindahan dan kesucian kecuali milik-Nya. Seluruh kebaikan dan perilaku baik di alam semesta ini hanyalah satu di antara bentuk kemahamurahan-Nya, yang diarahkan kepada hamba-hamba-Nya dengan satu getaran, yang Dia ciptakan dalam kalbu seorang muhsin. Jika seseorang itu telah mengetahui wujud cinta di atas maka indikasi antara lain: mendahulukan perintah Allah dari pada hawa nafsu, terwujudnya sikap takwa dan wara’, menjaga aturan-aturan syariat, rasa rindu untuk bertemu kepada Allah, lepas dari rasa takut mati dan ridha terhadap ketetapan Allah.
9. Ridha Terhadap Qadha’ Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Mâidah ayat 199:
(١١٩
:ةl±co[ ُ …)اfْ m َ ْا ْ ْ َو َرSُ fْ m َ ª ُ اy َ ِ ِ … َر
“…Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapNya….” (Q.S. al- Mâidah: 199)172 Rasulullah Saw. bersabda:
.173¤ُ cَgT َ¡ ْ ِاP َ ِ َوِإنْ َر,¤ُ cَ ِ x ْ ِاRَ َ ¡ َ ن e Åِzَ ,¤ُ £ َ َ ْ ًا ِاlْ m َ ª ُ ¨ا e ` َ ا َذا َا 172
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,184.
136
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia mencobanya. Jika hamba itu sabar, Allah memilihnya, dan bila ridha Dia mengutusnya.” Sekelompok ulama mengingkari adanya ridha terhadap qadha' Allah SWT.Mereka berkata, "Ridha terhadap qadha' tidak mungkin digambarkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan nafsu. Sedangkan yang bisa digambarkan hanyalah sabar."174 Tanda-tandanya adalah ridha terhadap bencana dan ridha terhadap realita yang kontra. dengan watak serta kesenangan. Bentuk ridha ini ada tiga arah.175 Arah pertama, bila seseorang dibuat tercengang oleh penyaksian cinta secara langsung, dan berpaling dari rasa sakit. Ini adalah bentuk musyahadah langsung dari cinta manusia ketika dikuasai oleh amarah, ambisi dan nafsu syahwat, bahkan pada saat marah, la tidak merasakan luka yang mengenai dirinya. Orang yang tamak tidak merasakan rasa sakit ketika kakinya tertusuk duri. Sebaliknya, bila amarahnya telah reda dan apa yang dituju oleh si tamak itu telah digapai, rasa sakit itu menjadi-jadi. Arah kedua, bila seseorang merasakan kepedihan dan secara naluri tidak menyukainya. Hanya saja ia ridha, disebabkan akal pikiran dan imannya, karena tahu banyaknya pahala disebabkan oleh kesusahan atau bencana. Seperti halnya orang sakit yang rela dioperasi dan minum obat. Karena dia tahu bahwa itu adalah faktor yang dapat menyembuhkan, 173
Hanbal, Musnad Ahmad, Juz III, 267. Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 259. 175 Ibid, 159-160. 174
137
bahkan ia merasa gembira bila ada orang yang menghadiahkan obat kepadanya, walaupun pahit. Jadi, orang yang yakin bahwa imbalan pahala bencana (kesusahan) lebih besar dari apa yang dideritanya, tentu ia akan bersikap ridha. Arah ketiga, bila seseorang itu yakin bahwa di balik segala sesuatu itu atas kehendak Allah, maka dia tidak akan heran terhadap segala hal yang menimpanya, dan akan ridha terhadap kepastian Allah. Imâm al-Ghazâlî berpendapat bahwa ridha dan benci merupakan dua hal yang bertolak belakang bila menimpa satu hal, dari satu arah. Keduanya tidak bertolak belakang atau bertentangan.176
Misalnya
perbuatan maksiat, la memiliki dua segi: Satu segi dikembalikan kepada Allah, yakni dari sisi bahwa perbuatan maksiat itu terjadi atas qadha' dan kehendak Allah Swt. Dari segi ini maksiat itu diridhai. Segi kedua dikembalikan kepada pelaku maksiat tersebut, yakni dari sisi bahwa maksiat tersebut adalah sifat dirinya dan hasil perbuatannya. Karena maksiat itu dibenci oleh Allah, maka dari segi ini maksiat dibenci. Allah Swt. telah menjadikannya sebagai hamba dengan membenci siapa yang membenci-Nya, di antara orang-orang yang mendurhakai dan melanggar perintah-Nya. Maka, dia sebagai orang yang dijadikan hamba oleh Allah dengan hal tersebut, harus mematuhi perintah-Nya. Ini adalah persoalan yang Samar. Orang-orang lemah selalu tergelincir di situ, karenanya mereka berbicara tentang hal tersebut secara
176
Ibid., 262.
138
serampangan. Selain itu, tidak layak bila seseorang itu menduga bahwa pengertian ridha terhadap qadha' Allah adalah orang yang meninggalkan doa kepada Allah, bahkan membiarkan anak panah yang mengarah kepadanya sehingga mengenai dirinya, padahal dia mampu menahannya dengan perisai. Justru doa sebagai refleksi ibadahnya agar dari kalbunya memancar dzikir yang murni, kekhusyu'an dan kehalusan kalbu demi kesiapannya menerima kelembutan-kelembutan dan cahaya-cahaya. Di antara bentuk ridha terhadap qadha' Allah ialah berhubungan dengan kekasihnya melalui berbagai sebab yang bisa sampai kepada sang kekasih. Ia juga meninggalkan sebab-sebab yang bertentangan dengan apa yang diinginkan kekasihnya itu, demi ridhanya. Keengganan orang haus meminum air dingin, karena beranggapan bahwa dirinya ridha dengan rasa haus, sebagai salah satu qadha' Allah Swt. Padahal, qadha' dan kecintaan Allah justru perilaku menghilangkan rasa haus dengan air tersebut. Demikian juga tindakan keluar dari peraturan-peraturan syariat dan dari Sunnatullâh juga bukan perilaku ridha terhadap qadha' Allah Swt. Justru pengertian dari sikap ridha adalah tidak menentang terhadap Allah Swt. baik secara lahir maupun batin. Ridha berarti pula mengerahkan seluruh tenaga untuk berhubungn segala hal yang dicintai Allah Swt., dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. 10. Mengingat Mati dan Hikmah Mati serta Ragam Siksa Ruhani.
139
Kesembilan maqam ruhani yang telah disebutkan di awal bukanlah satu hal yang berdiri sendiri. Justru sebagian di antaranya menunjukkan esensi maqam lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta (mahabbah) dan prinsip atau maqam ridha (rela terhadap ketetapan Allah), keduanya merupakan maqam tertinggi. Di antara maqam tersebut saling berkait dengan maqam lainnya, seperti maqam tobat dan zuhud, maqam takut (khauf) dan sabar. Sebab, taubat itu merupakan tindakan kembali dari jalan yang menjauhkan (diri dari Allah) menuju jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam kesibukan yang menghalangi
pendekatan
diri
kepada-Nya,
rasa
takut
(al-Khauf)
merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan kesibukan-kesibukan tersebut. Sabar adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan diri kepada-Nya. Jadi, masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma'rifat dan mahabbah, yang berdiri sendiri. Hanya saja, ma'rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna, kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain Allah dalam kalbu. Untuk kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan
zuhud. Di antara hal yang besar manfaat dan
fungsinya dalam hal ini adalah mengingat mati. Syariat memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati akan menyulitkan
140
dirinya dalam mencintai dunia, selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri. Allah Swt. berfirman:
(٨
:Ko[ )ا.ْ{ُ Lْ «ِ £ َ pُ ُ eÅِzَ ُ fْ pِ ن َ ْوRÍ gِ Oَ [©ِيeت ا َ ْoَ [ْ ن ا e ُ«ْ ِا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.”.177 Menurut Imâm al-Ghazâlî mati merupakan persoalan besar, sekaligus masalah yang luar biasa. Tiada sesuatu pun yang luar biasa melebihi kematian.
Mengingat
mati
besar
manfaatnya.
Kematian
dapat
mempersempit kehidupan dunia dan menjadikan hati benci pada dunia. Membenci duniawi merupakan pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan.178 Bagi orang arif
mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan
kegunaan: Pertama, benci pada dunia, dan kedua, rindu akhirat.179 Orang yang mencintai sesuatu pasti akan merindukannya. Rindu pada hal-hal yang bisa diraba, pengertiannya adalah penyempurnaan fantasi untuk mencapai pada penyaksian langsung. Rasa rindu kepada-Nya pasti bisa dicapai melalui fantasi, tanpa penglihatan dengan mata. Segala sesuatu yang berhubungan dengan akhirat dan kenikmatannya berikut keindahan hadirat ketuhanan, bagi orang arif diketahui dalam bentuk seakan-akan dia melihat dari balik tirai. Dia merindukan kesempurnaan itu melalui tajalli dan musyahadah. Dia tahu bahwa hal tersebut tidak akan 177
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 933. Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 265. 179 Ibid., 267. 178
141
terjadi, kecuali dengan maut, karenanya dia tidak benci mati, sebab dia tidak membenci pertemuan dengan Allah Swt., bahkan dia menyukai pertemuan dengan-Nya. Selain itu, orang yang arif tidak pernah berhenti menyebut dan mengingat Allah dan tidak lagi merasakan rasa takut (khauf) dan rasa berharap (raja'), karena khauf dan raja' itu adalah cambuk yang menggiring seorang hamba kepada suatu kondisi yang penuh dengan rasa. Lalu bagaimana la akan mengingat mati, padahal tujuan mengingat mati itu adalah agar hubungan ikatan kalbunya dengan apa yang bisa ditinggalkan setelah kematian itu terputus. Sedangkan seorang arif telah mengalami mati, dalam kaitannya dengan hak dunia dan apa saja yang akan ia tinggalkan dengan terjadinya kematian itu. Dia juga bebas dari orientasi kepada akhirat, apalagi pada dunia. Selain Allah Swt., baginya rendah dan hina. Maut baginya merupakan penyingkapan tirai agar tambah jelas dan yakin Seseorang itu tidak akan mengetahui hakikat mati sebelum mengetahui tentang hakikat hidup. Dan dia tidak akan pernah mengetahui hakikat hidup sebelum mengetahui tentang ruh. Ruh adalah hal yang tersembunyi dalam diri manusia. Allah berfirman:
(٢٩ :R[)ا....Pِ`ْرو Í
ْqpِ ِ Lْ zِ ¶ ُ ] ْ gَ َ َو...
"…Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku…." (Q.S. al-Hijr: 29).180
180
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 393.
142
Maksud ayat tersebut bukan ruh jasad yang halus, yang merupakan pembawa energi indera dan gerak, yang bersumber dari hati dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebar ke seluruh rongga urat-urat yang berdenyut. Dari situ mengalir cahaya indera penglihatan pada mata, cahaya indera pendengaran pada telinga, dan pada seluruh kekuatan dan indera-indera lainnya. Sebagaimana cahaya matahati yang menyinari seluruh sisi rumah. Ruh ini sama dengan ruh binatang, la bisa menjadi binasa dengan maut. Ruh semacam ini menjadi binasa dengan terputusnya makanan, karena makanan bagi ruh tersebut minyak bagi lampu. Pembunuhan terhadapnya seperti tiupan pada lampu. Ruh semacam ini, kesehatan dan stabilitasnya menjadi garapan ilmu kedokteran. Ruh ini tidak memikul ma'rifat dan amanat. Sedang ruh yang memikul amanat itu adalah ruh istimewa manusia (al-Rûh al-Hasanah lil Insân). Yang kami maksudkan dengan amanat adalah penguasaan terhadap janji taklif, dalam bentuk keterbukaan terhadap kemungkinan memperoleh pahala dan siksa dengan kepatuhan dan kedurhakaan. Ruh ini tidak pernah mati dan tidak pula binasa, malah justru kekal setelah mati. Baik itu dalam kesenangan dan kebahagiaan ataupun dalam kesusahan dan kesengsaraan. Itulah ruh tempat memikul ma'rifat dan amanah. Imâm al-Ghazâlî menyebutkan ada tiga klasifikasi siksa akhirat, yaitu: 181 a) Pedihnya perpisahan dengan apa yang dicintai atau disenangi.
181
Al-Ghazâlî, Al-Arba´în fî Ushûl, 280.
143
b) Terbukanya kejelekan yang memalukan. c) Penyesalan atas hilangnya apa yang disenangi dan dicintai. Dari tiga klasifikasi di atas dapat ditarik penjelasan bahwa manusia hidup di dunia ini sudah pasti memiliki sesuatu yang disenangi dan disukai, baik itu berupa benda, kekuasaan, kehormatan, dan sebagainya. Yang dengannya ia merasakan kebahagiaan. Namun ketika ajal datang menjemput maka semua yang disenanginya akan terpisah dari dirinya. Yang ada hanyalah kesedihan dan kepedihan. Dan bila di dunia ia mempunyai banyak dosa karena suka berbuat maksiat. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mengetahui akan kemaksiatannya itu, maka di akhirat nanti apa yang telah disembunyikannya itu akan terbuka karena setiap anggota akan bersaksi di hadapan Allah dengan kesaksian yang sebenar-benarnya. Maka terbukalah aibnya dan dia akan dihinakan karena telah menjadi hamba Allah yang suka berbuat maksiat.
144
BAB IV ANALISIS KONSEP PERBAIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IMÂM AL-GHAZÂLÎ DALAM KITAB AL-ARBA´ÎN FÎ USHÛL AL-DÎN DAN RELEVANSINYA DI ERA PENDIDIKAN GLOBAL
A. Analisis Konsep Tazkîyah Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Dan Relevansinya Di Era Pendidikan Global Tampilnya pemikiran Imâm al-Ghazâlî tentang konsep perbaikan akhlak telah membawa angin segar sekaligus kontribusi yang besar bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi dunia pendidikan pada waktu itu. Hal ini dikarenakan aktualitas konsepnya, kejelasan orientasi sistemnya dan secara umum karena pemikirannya yang sesuai dengan konteks sosio kultural yang terjadi pada saat itu. Dari uraian konsep tazkîyah pada bab ketiga penulis melihat bahwa konsep tazkîyah tersebut di bagi menjadi sepuluh macam. Yang pertama tazkîyah dari nafsu makan yang rakus sampai yang kesepuluh yaitu tazkîyah dari riya’. Adapun tazkîyah dari nafsu makan yang rakus adalah konsep tazkîyah pertama yang merupakan akar dari sifat-sifat tercela. Dan konsep tazkîyah yang kedua sampai kesepuluh adalah tahap lanjutan dari tahap yang pertama, dimana kadar urgent-nya di bawah tahap yang pertama. Dalam konsep ini jika akar dari penyebab sifat-sifat tercela sudah tercabut maka apa yang ada di atasnya lama-kelamaan akan mati juga. Yang mana tujuan akhirnya adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan tujuan itu 144
145
tidak akan terwujud dengan sempurna tanpa adanya ilmu dan amal. Artinya selain mempelajari konsepnya juga harus diamalkan. Dengan ilmu seseorang itu akan mengetahui dan memahami tentang hakikat perbuatan baik dan jelek. Dengan ilmu ibadah seseorang menjadi benar. Karena ibadah itu harus dilakukan sesuai petunjuk Allah melalui rasul-Nya. Karena itu, hukum ibadah dan cara ibadah harus diketahui lebih dahulu sebelum diamalkan. Konsep tazkîyah yang tertuang dalam kitab al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn tidak semata-mata tercipta begitu saja. Namun kemunculannya disebabkan karena keadaan sosio-kultural yang pada waktu itu. Imâm al-Ghazâlî hidup disaat masyarakat sedang terpuruk dengan dekadensi moralnya. Mulai dari kehidupan yang mengutamakan materi di atas segala-galanya. Budaya nifak, suka membunuh dengan tanpa hak, saling kafir-mengkafirkan, saling berebut. pangkat, jabatan, dan kekuasaan dengan menggunakan cara-cara yang melanggar tata aturan agama Islam, dan lain sebagainya. Melihat kondisi seperti itulah Imâm al-Ghazâlî tergugah hatinya untuk mengatasinya. Dengan keintelektualannya maka ia mengarang kitab ini dan mempraktekannya di lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa itu. Ia memandang bahwa pokok permasalahannya tertuju pada dunia pendidikan. Dimana dunia pendidikan saat itu gagal dalam membina akhlak anak didiknya sehingga tercipta kemerosotan moral. Dari beberapa analisa di atas penulis melihat bahwa konsep tazkîyah yang tertuang dalam kitab al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn ini ternyata ada relevansinya dengan keadaan masyarakat di era pendidikan global. Adapun
146
kerelevanan konsep tazkîyah tersebut dengan keadaan pendidikan di era global adalah: 1. Keadaan sosio-kultural masyarakat yang ada di era pendidikan global ini tidak jauh berbeda dengan keadaan sosio-kultural masyarakat pada masa Imâm al-Ghazâlî. a. Pada masa Imâm al-Ghazâlî : 1) Budaya mengutamakan materi di atas segala-galanya. Sehingga lebih mengutamakan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat. 2) Budaya nifak, seperti tidak jujur, mengingkari janji dan khianat 3) Suka membunuh dengan tanpa hak, 4) Saling kafir-mengkafirkan, 5) Saling
berebut.
pangkat,
jabatan,
dan
kekuasaan
dengan
menggunakan cara-cara yang melanggar tata aturan agama Islam. Seperti yang dilakukan oleh golongan Bathinîyah terhadap pemerintahan yang ada pada waktu itu. 6) Pendidikan hanya dijadikan wahana untuk mencari pangkat, jabatan, kekuasaan, dan materi. dan lain sebagainya. b. Pada masa era pendidikan global: 1) Merebaknya budaya kekerasan di dalam lingkungan pendidikan. Kekerasan itu terjadi dengan mulut yang berakibat penderitaan psikologis maupun tangan dan kaki yang mengakibatkan penderitaan fisik. Misalnya terjadi tawuran pelajar.
147
2) Lingkungan pendidikan yang senang uang, sehingga melahirkan output-nya menjadi mata duitan tetapi tidak bermoral. Semakin besar biaya pendidikan sekarang ini, dengan adanya otonomi sekolah atau kampus. Mahalnya biaya pendidikan ini tentu saja tidak
bisa
diakses
rakyat
miskin
yang
juga
betul-betul
membutuhkan pendidikan yang bermutu. 3) Ketidakjujuran / kekurangjiwa satrianya para pelaku pendidikan. Seorang mahasiswa bisa lulus dengan membayar sejumlah uang guna penyelesaian skripsinya. Contek sana sini di sekolah. Orangtua murid menyuap para guru yang membutuhkan uang agar nilai anaknya di atas rata-rata. 4) Pengajaran agama dan moral hanya sebagai ilmu pengetahuan, bukan sebagai tuntunan yang harus diamalkan. Sehingga dekadensi moral merebak di berbagai lapisan masyarakat. 5) Masuknya budaya barat yang tidak terfilter menyebabkan moral masyarakat semakin tipis. Sehingga pornografi, pornoaksi, free sex, prostitusi berkembang bagaikan jamur. Dan lain sebagainya. 2. Permasalahan yang dihadapi pada masa Imâm al-Ghazâlî tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang ada pada masyarakat di era pendidikan global. yaitu permasalahan dekadensi moral. Dari uraian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa konsep tazkîyah dalam kitab al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn merupakan konsep perbaikan akhlak yang tepat guna mengatasi dekadensi moral yang ada di era pendidikan
148
gobal. Konsep perbaikan akhlak yang ditawarkan merupakan konsep yang di idam-idamkan dalam sistem pendidikan saat ini bagi perbaikan akhlak anak didiknya. Pandangannya terhadap ilmu dan amal menunjukkan bukti pemaduan secara integral dari teori dan praktek dalam pembelajaran pendidikan akhlak pada sistem pendidikan dewasa ini. Dan kalau kita mau menerapkan konsep perbaikan akhlak tersebut, maka Insya Allah dekadensi moral yang terjadi pada saat ini akan dapat diatasi. Dan masyarakat yang di idam-idamkan akan terwujud yaitu masyarakat yang bermoral dan bermartabat dan tujuan al-Sa’adah fî al-Dîn wa al-Dunyâ wa al-Akhîrah dapat tercapai.
B. Analisis Konsep Tahlîyah Dalam Kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn Dan Relevansinya Di Era Pendidikan Global Dari uraian di atas tentang analisis konsep tazkîyah dalam kitab alArba´în fî Ushûl al-Dîn dan relevansinya di era pendidikan global penulis melihat bahwa konsep tersebut tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ditunjang dengan penyempurna dari konsep tersebut yaitu konsep tahlîyah. Dimana setelah manusia itu sudah bersih dari sifat-sifat tercela maka jiwa tersebut harus segera diisi dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini untuk menjaga agar jiwa yang sudah bersih itu tidak ternodai kembali dengan sifat-sifat tercela dikarenakan tidak ada penjaganya. Dan penjaga jiwa dari sifat-sifat tercela itu adalah sifat-sifat yang terpuji yang sudah masuk di dalamnya. Dan sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sifat tercela itu selalu berlawanan dengan sifat terpuji.
149
Dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn konsep tahlîyah itu terbagi menjadi sepuluh sifat yang berfungsi sebagai pondasi bagi terbentuknya akhlak yang terpuji. Mulai dari konsep tahlîyah dengan taubat sampai mengingat mati serta ragam siksa ruhani. Kesepuluh sifat menurut penulis sangat tepat guna mengisi kekosongan setelah diterapkannya konsep tazkîyah. Dan hal ini selaras dengan kandungan-kandungan yang ada di kitab-kitab perbaikan akhlak lainnya seperti: Nashâih al, Taisîr al-Khalâq, dan Irsyâd al‘Ibâd. Kitab-kitab tersebut selain membahas tentang perbaikan akhlak juga berisi tentang tuntunan bagi kita supaya bisa dekat dengan Allah Swt Melihat dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa konsep tahlîyah dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn memiliki relevansi dengan keadaan masyarakat di era pendidikan global sebagai pelengkap atau penyempurna dari konsep tazkîyah. Karena konsep tazkîyah itu sangat erat hubungannya dengan konsep tahlîyah. Dan hal itu dapat diibaratkan sebagai mata logam yang dua sisinya memiliki bagian tersendiri namun satu. Satu dalam fungsi umum yaitu sebagai alat pembayaran. Dan menjadi kurang bila dipisahkan menjadi bagian-bagian tersendiri. Karena kedua konsep itu menjadi satu sistem perbaikan akhlak yang ada di dalam kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn. Dengan diterapkan kedua konsep di atas, insya Allah apa yang kita risaukan saat ini yaitu dekadensi moral akan segera dapat teratasi dan pendidikan yang yang diidam-idamkan pun akan terwujud. Pendidikan yang tidak hanya menjadikan anak didik pandai dalam segi intelektual namun juga
150
berakhlak karimah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. melalui hadis-hadisnya baik yang berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dan kebahagiaan di dunia dan akhirat pun akan tercapai.
151
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Imâm al-Ghazâlî adalah seorang pemikir besar Islam yang karya-karyanya sedikit banyak telah memberikan khazanah keilmuan bagi umat Islam. Setiap pemikiran beliau sangat di pengaruhi oleh situasi sosial yang terjadi pada waktu itu. Dengan memahami kondisi sosial tersebut seseorang akan mudah memahami alur pemikirannya yang tertuang dalam berbagai karyanya, di antaranya adalah kitab Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn. 2. Konsep perbaikan akhlak perspektif Imâm al-Ghazâlî dalam kitab AlArba´în fî Ushûl al-Dîn meliputi dua konsep yaitu: a
Pertama, konsep tazkîyah yaitu konsep tentang pembersihan atau penjernihan hati dari akhlak tercela yang mencakup sepuluh sifat tercela yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yang meliputi: nafsu makan yang rakus, berbicara kotor, amarah, kedengkian, bakhil dan cinta dunia, ambisi dan gila harta, cinta dunia, takabur, takjub diri dan riya’.
b
Kedua, konsep tahlîyah yaitu konsep tentang merias atau mengisi hati dengan akhlak mulia. mencakup sepuluh sifat mulia yang satu dengan yang lain juga saling berkaitan, yang meliputi: taubat, khauf, zuhud,
151
152
sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, cinta, ridla terhadap qadha’ dan mengingat mati dan hakikat mati serta ragam siksa ruhani kini. 3. Kerelevansian konsep perbaikan akhlak dalam kitab al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn dengan kondisi masyarakat di era pendidikan global adalah karena kesesuaian konsep yang dikandung dengan masalah yang dihadapi yaitu untuk mengatasi dekadensi moral. Sehingga tujuan al-Sa’adah fî al-Dîn wa al-Dunyâ wa al-Akhîrah dapat tercapai.
B. Saran 1. Dalam mengimplementasikan konsep perbaikan akhlak ini, hendaklah guru memiliki kesungguhan dan keikhlasan dalam penyampaian materi pelajaran, sehingga keberhasilan peserta didik dapat tercapai dengan maksimal. Adapun tugas dari peserta didik menyadari bahwa tugasnya adalah belajar untuk mencapai kebagusan akhlak yang nantinya akan membawanya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. 2. Hendaklah suatu lembaga pendidikan menggunakan konsep perbaikan akhlak ini yang dapat dipadukan dengan pelajaran akhlak seperti aqidah akhlak. Karena konsep pemikiran al-Ghazâlî dengan perbaikan akhlaknya sangatlah ideal bila diterapkan dalam era sekarang ini di tengah-tengah pesatnya era globalisasi sebagai filter sekaligus tameng dari budayabudaya yang dapat merusak moral bangsa ini.
153
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, ‘Abd al-Fattah Sayyid. Tasawuf Antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. terj. Muhammad Muchson Anasy. Jakarta: Khalifa, 2005. Al-Dhahâk, Muhammad bin ‘Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ bin. Sunan al-Tirmudzî, Juz IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. Al-Dzakiey, Hamdani Bakran. Prophetic Intelligence; Kecerdasan Kenabian (Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani). Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004. Al-Ghazâlî, Imâm. Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, terj. Moh. Zuhri, Muqoffin Mochtar dan Muqorrobin Misbah, Jilid 5. Semarang: CV. Al-Syifâ', 2003. _______, Al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn. Damsyik: Dâr al-Qalam, 2003. _______,
Tahap-tahap ibadah, http://ading.wordpress.com/2007/01/04/alghazali-tahap-tahap-ibadah/, diakses 1 Mei 2008.
_______, http://riobm.wordpress.com/2007/06/02/imam-al-ghazali/, diakses 28 April 2008. Al-Bukhârî, Imâm. Shahîh Bukhârî, Juz I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Al-Hafidz, Imâm abî Hasan´Abd al-Ghâfir bin Ismâ´îl bin ´Abd al-Ghâfir bin Muhammad al-Fârisî. Al-Muntakhab min al-Siyâq Litârikh Naysaburî. Bairut: Dâr al-Kutub al-´Ilmîyah, 1989. Al-Imâm al-Ghazâlî wa A’mâluhu, http://ghazali.org/site/oeuvre.htm, diakses 28 April 2008. Al-Yasû´î, Lois Ma’lûf. Al-Munjid fî al-Lughah wa al-I’lâm. Beirut: Dâr alMasyriq, 1989. Arikunto, Suharmini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Al-Qusyayrî, Imâm Abî al-Husaynî Muslim bin al-Hijjâj. Shahîh Mulim, Juz II. Bairut: Dâr al-Fikr, 1993. Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.Jaelani, A.F. Penyucian Jiwa (Tazkiyat al-Nafs) dan Kesehatan Mental. Jakarta: Amzah, 2001.
154
Imâm al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn, Jilid III. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Setiawan, Yasin. Pengertian Pendidikan Akhlak Islam, http://www.siaksoft.net, diakses 21 Februari 2008. Imâm al-Ghazâlî, Teosofia al-Qur’ân, terj. M. Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad. Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Dâwud, Abû. Sunan Abû Dâwud, Juz IV. Bairut: Dâr al-Fikr, 1993. Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006. Jakub,Ismail. Mencari Makam Imam Ghazali. Surabaya: CV. Faizan, t.t. Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesi. Surabaya: Kartika, 1997. Malik. Al-Muwattâ´. Bairut: Dâr al-Fikr, 1989. Mâjah, Ibn. Sunan Ibn Mâjah, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Muhajir, Noeng. Metodologi Peneltitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1987. Nawawi, Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 1994. Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Prasetyo,
Eddy. Perbaikan Akhlak Melalui Pendekatan http://eddyprasetyo.net diakses 21 Februari 2008.
Pesantren
Rosyidi, Hasan. Krisis Akhlak Umat Islam, http// alislam.or.id, diakses 21 Februari 2008. Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak. Yogyakarta: Belukar, 2004. Sugiono, Memahamai Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet, 2005. Syakur, Amin. Zuhud di Abad Modern, Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
155
Tanjung, M Ihsan Arliansyah. Ahwal al-Muslim al-Yaum ,http://pks-jogja.org/, diakses 18 April 2008. Taher, Tarmizi. Membenahi Moral Bangsa, Meneladani Akhlak Rasulullah saw, http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id, diakses 22 April 2008. Tabloid
Suara Islam Edisi 19, Perang Total Melawan http://www.suara-islam.com, diakses 18 April 2008.
Pornografi,
Umar, Husein. Moral Umat Makin Bergeser, http://www.amanah.or.id, diakses 16 April 2008. .