BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Krisis ekonomi yang beberapa waktu lalu melanda beberapa negara sempat mengejutkan dunia. Untuk menghadapi atau mencegah kejadian serupa, kemampuan setiap pelaku ekonomi untuk bersaing baik dalam hal memproduksi maupun memasarkan suatu produk haruslah ditingkatkan. Hal ini dikarenakan perkembangan global telah melahirkan negara -negara dengan kekuatan ekonom i yang semakin kuat, yang menjadi tantangan tersendiri bagi negara lain sehingga tiap-tiap negara berusaha agar prod uknya, baik berupa barang maupun jasa, dapat dikenal luas dan menjadi primadona. Tidak terkecuali bagi Indonesia, sebuah negara berkembang yang terus mengupayakan agar cita-cita bangsanya sebagaimana dalam Pembukaan U ndang Undang Dasar 1945 dapat tercapai, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. rakyat
yang
dilakukan
1
oleh
Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran pemerintah
salah
satunya
dalam
hal
niaga/perdagangan, yaitu dengan menggalakkan dan mendukung Usaha Kecil dan M enengah (UKM ). Pemerintah membantu pelaku UKM dengan memberi pinjaman modal usaha serta membantu memasarkan produk mereka melalui berbagai pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Akan tetapi, upaya yang dilakukan pemerintah seperti hal tersebut di atas tidaklah cukup. Pemerintah sebaiknya juga memberikan perlindungan hukum bagi 1
Pembukaan UUD 1945.
1
para pelaku usaha untuk produk-produk yang telah dihasilkannya. Perlindungan hukum yang penting bagi para pelaku usaha adalah perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual atau yang sering disingkat dengan HKI, agar produk barang atau jasa yang merupakan kekayaan intelektual seseorang tidak ditiru oleh orang lain demi kepentingan dan keuntungan pribadi tanpa izin pemilik produk tersebut. Hak kekayaan intelektual adalah hak yang tim bul da ri hasil pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal, oleh karena itu tak semua orang pula dapat menghasilkan “hak kekayaan intelektual”. Itulah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan hak kekayaan intelektual bersifat eksklusif.
2
O bjek yang diatur dalam HKI adalah
karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Dengan memiliki HKI maka pemegang hak berhak untuk menikmati secara ekonomi hasil dari suatu kreativitas intelektual.
3
M unculnya usaha-usaha perlindungan terhadap HKI sama tuanya dengan adanya ciptaan-ciptaan oleh manusia, oleh karena perlindungan hukum terhadap HKI
pada
prinsipnya
adalah
perlindungan
terhadap
pencipta.
Dalam
perkembangannya, hal tersebut kemudian menjadi pranata hukum yang dikenal 4
dengan Intellectual Property Rights (IPR). Pada lingkup masyarakat awam, telah dikenal beberapa jenis H KI, antara lain hak cipta, merek, dan paten. Perlindungan hak cipta sebenarnya telah berlaku secara internasional 2
3
4
H. OK. Sadikin, 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 9-10. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi M anusia Republik Indonesia, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, hlm. 3. Taryana Soenandar, 2007, Perlindungan HAKI (Hak M ilik Intelektual) di Negara-negara ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 7.
2
sejak diundangkannya Konvensi Bern 1886, yang merupakan konvensi hak cipta 5
yang paling tua. Jauh sebelum berlakunya konvensi tersebut, telah ada kesadaran untuk melindungi ciptaan-ciptaan karya tulis dengan ditemukannya data tentang 6
suatu perkara hak cipta pada tahun 567 M . Pada tahun tersebut seorang biarawan bernama Columba secara diam -diam menyalin karya tulis dalam kitab mazmur yang merupakan ciptaan milik gurunya, seorang biara wan kepala bernama 7
Finian. Ketika raja pada saat itu, bernama Raja Diarmid mengetahui hal tersebut, ia memerintahkan Columba menyerahkan kitab mazmur yang disalinnya tanpa izin biarawan kepala Finian dan melarang melakukannya lagi dengan mengatakan to every cow her calf and to every book its copy (setiap sapi betina mempunyai anak sapi dan setiap buku mempunyai salinannya).
8
Perkataan raja tersebut
mempunyai arti bahwa perlindungan karya tulis seorang pencipta didasari oleh alasan moral (moral impulse) yang melarang dilakukannya perbuatan plagiat.
9
Istilah hak cipta sendiri sebenarnya berasal dari negara yang menganut common law, yang disebut dengan copyright, sedangkan di Eropa seperti Perancis dikenal droit d'aueteur dan di Jerman sebagai urheberecht.
10
Di Inggris,
penggunaan istilah copyright dikembangkan bukan untuk melindungi pencipta melainkan penerbit.
11
Hal tersebut, menurut David I. Bainbrige, dilatarbelakangi
oleh rasionalitas ekonomi, yaitu kebutuhan untuk memberikan insentif bagi penerbit yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya serta mengambil 5 6 7 8 9 10
11
Eddy Damian, 2009, Hukum Hak Cipta, Alumni, Bandung, hlm. 41. ibid., hlm. 42 ibid. ibid. ibid., hlm. 43. Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Right, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 1. ibid.
3
risiko kerugian dalam memasarkan produk cetakannya.
12
Copyright atau right to
copy dijabarkan dalam bentuk pembatasan-pembatasan, yaitu apa yang menjadi hak penerbit tidak boleh diambil atau dimanfaatkan oleh pihak lain secara tanpa izin.
13
Konsep perlindungan hak cipta pada comm on law system berbeda dengan civil law system yang menempatkan pencipta sebagai subjek sekaligus objek perlindungan hak cipta.
14
Pengembangan hukum hak cipta ditumpukan pada
konsep kekayaan yang merupakan manifestasi dan eksistensi pencipta. Oleh karena itu, hak cipta dikatakan sebagai instrumen hukum yang berfungsi menjamin terlaksananya pemberian penghargaan atau reward kepada pencipta.
15
Adapun HKI berupa merek telah digunakan sejak lama untuk menandai produk dengan tujuan menunjukkan asal barang dan membedakan kualitas barang untuk menghindari penipuan.
16
Di Inggris, pengertian merek berkembang dengan
mengikutsertakan bentuk tampilan produk di dalamnya sehingga membuat semakin sulit untuk membedakan perlindungan merek dengan perlindungan desain produk.
17
Peraturan merek yang pertama kali diterapkan di Inggris adalah
hasil adopsi dari Perancis tahun 1857, yang kemudian Inggris berhasil membuat peraturan sendiri dengan adanya Merchandise Act tahun 1862 yang berbasis hukum pidana.
18
Pada tahun 1883 berlaku K onvensi Paris mengenai hak milik
industri (paten dan merek) yang banyak diratifikasi negara maju dan berkembang.
12 13 14 15 16 17 18
Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta tanpa Hak M oral, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 23. ibid. ibid., hlm. 27. ibid. Endang Purwaningsih, op.cit., hlm. 7. ibid., hlm. 8. ibid.
4
Kemudian tahun 1973 lahir pula perjanjian M adrid, yaitu perjanjian in ternasional yang disebut Trademark Registration Treaty.
19
Perlindungan HKI pada dasarnya dibangun atas satu asum si dasar bahwa suatu ciptaan atau penemuan merupakan hasil daya olah pikir dan olah kreativitas manusia yang tidak sedikit mengeluarkan pengorban an, sehingga pencipta atau penemu tersebut berhak untuk mendapatkan penghargaan atas satu karya yang telah dihasilkan, mengingat karya tersebut juga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ciptaan tersebut bahkan dapat digunakan untuk tujuan komersial dalam kegiatan bisnis yang amat menguntungkan. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap karya cipta tersebut patut dilaksanakan. Perlindungan hukum pada dasarnya meliputi dua hal, yaitu perlindungan hukum preventif yang meliputi tindakan yang menuju kepada upa ya pencegahan terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yaitu perlindungan yang lebih mengarah kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, contohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan.
20
Perlindungan hukum preventif dalam HKI
dapat berupa sistem pendaftaran sedangkan perlindungan hukum represif berupa pemberlakuan sistem pidana. Namun demikian, pada dasarnya sistem pidana merupakan tindakan terakhir yang dilakukan sebagai perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap HKI di Indonesia, khususnya hak cipta, semula berdasarkan Auteurswet 1912 saat Indonesia masih dalam kolonialisasi Belanda, sebagaimana tercantum dalam Stb. 1912 No. 600 yang terakhir diubah
19 20
ibid. Budi Agus Riswandi, dkk, 2009, Dinamika Hak Intelektual dalam M asyarakat Kreatif, Total M edia, Yogyakarta, hlm. 11-12.
5
dengan Lembaran Negara tahun 1931 No. 232.
21
Akan tetapi, ketika penjajahan
beralih kepada Jepang, pelaksanaan dan pemeliharaan hak cipta tidak berkembang dikarenakan pergolakan dan kemelut perang.
22
Setelah kemerdekaan diraih,
Auteurswet 1912 tetap dinyatakan berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-U ndang Dasar 1945.
23
Setelah berlaku selama 70 tahun,
Auteurswet 1912 digantikan oleh UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta,
24
yang di kemudian hari mengalami perubahan pada tahun 1992 dan yang kemudian digantikan oleh UU Nomor 19 Tahun 2002 dan pada akhirnya digantikan dengan UU Nomor 28 Tahun 2014. Disamping itu, Indonesia juga memberikan perlindungan hukum atas merek dengan mengundangkan UU Nomor 21 Tahun 1961 tentang M erek Perusahaan dan M erek Perniagaan untuk menggantikan Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb. 1912 N om or 545 jo. Stb. 1914 Nomor 214.
25
Perkembangan berikutnya, lahirlah undang-undang merek yang baru yaitu U U Nomor 19 Tahun 1992 tentang M erek untuk menggantikan UU M erek 1961. Pada tahun 1997 pemerintah merevisi U U M erek 1992 dengan U U Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas U U Nomor 19 Tahun 1992 tentang M erek yang pada akhirnya diganti dengan UU Nomor 15 Tahun 2001.
26
Pada tanggal 10 M ei 1979 Indonesia meratifikasi K onvensi Paris ( Paris Convention for the Protection of Industrial Property [Stockholm Re vision 1967]) berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979 yang kemudian dilakukan 21 22 23 24 25 26
Ramdlon Naning, 1982, Perihal Hak Cipta Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 14. ibid., hlm. 11. ibid., hlm. 14. ibid., hlm. 15. Endang Purwaningsih, loc.cit. ibid.
6
perubahan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden N o. 24 Tahun 1979 Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing 27
The World Intellectual Property Organization. Indonesia juga salah satu negara yang telah meratifikasi World Trade Organization (WTO) melalui UU Nom or 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang disahkan pada tanggal 2 November 1994. Dengan demikian, Indonesia yang kini telah menjadi anggota WTO mempunyai konsekuensi untuk melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya, khususnya pada Hak Kekayaan Intelektual yang selaras dengan ketentuan WTO, termasuk yang berkaitan dengan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) (Persetujuan Aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang Terkait dengan Perdagangan) yang memuat norma -norma dan standar perlindungan bagi hak kekayaan intelektual.
28
Sejalan dengan apa yang telah dipaparkan sebelumnya, maka semua undang-undang di bidang HKI akhirnya diperbaiki guna menyelaraskan dengan perjanjian-perjanjian
internasional
tersebut
yang
antara
lain
dengan
dikeluarkannya undang-undang sebagai berikut: 1. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; 2. UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
27
28
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual beke rja sama dengan EC -ASEAN Intellectua l Property Rights Co-operation Programme (ECAP II), Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual Dilengkapi dengan Peraturan Perundang -undangan di Bidang H ak Kekayaan Intelektual, hlm. 9. ibid.
7
3. UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; 4. UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; 5. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 6. UU No. 15 Tahun 2001 tentang M erek; dan 7. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang diganti dengan U U Nomor 28 Tahun 2014. Seluruh peraturan perundang-undangan tersebut tentunya dapat menjadi dasar hukum untuk diterapkan pada sengketa HKI. Penyelesaian terhadap sengketa H KI berdasarkan tiap-tiap peraturan perundang-undangan tersebut dapat melalui gugatan dan/atau pidana. Den gan demikian, seseorang dapat memilih cara penyelesaian sengketa melalui pengajukan gugatan apabila HKI -nya telah dilanggar oleh orang lain ataupun pengajukan tuntutan pidana terhadap orang lain yang melakukan perbuatan pidana terhadap HKI yang dimilikinya . Suatu sengketa, demi kepastian hukum, diselesaikan berdasarkan satu jenis peraturan perundang-undangan saja. M eskipun demikian, salah satu penyelesaian sengketa H KI yang pernah terjadi ternyata dapat diselesaikan dengan dua jenis peraturan perundang-undangan, yaitu pada sengketa logo. Sengketa ini terjadi karena logo yang lazimnya merupakan penanda bahwa suatu produk berbeda dengan produk yang lain, namun satu jenis logo yang sama telah digunakan oleh dua orang yang berbeda sehingga salah satu pihak meras a dirugikan karena masyarakat tidak tahu manakah produk yang asli dengan yang tidak asli. Sengketa logo, yang dalam hal tersebut terjadi pada produk kecantikan “Natasha”, diselesaikan baik secara perdata maupun pidana. Penggugat, yaitu
8
Fredi Setiawan, menggugat Then Gek Tjoe yang menggunakan merek berupa nama dan logo “Natasha Skin Care” yang telah lebih dahulu didaftarkan Penggugat.
29
Perkara gugatan tersebut telah diputus dalam putusan Kasasi N omor
122 K /Pdt.Sus/2010 dengan menggunakan dasar hukum U U Nomor 15 Tahun 2001 tentang M erek (UU M erek). Disamping itu, Then Gek Tjoe juga dituntut pidana karena telah melanggar hak cipta Fredi Setiawan karena penggunaan seni logo “Natasha”. Perkara pidana tersebut telah diputus berdasarkan UU N omor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) dalam Putusan N omor 389/P id.B/2010/PN.Yk. Hal tersebut membuat penulis berkeinginan mencari tahu alasan sebuah sengketa, dalam hal ini adalah sengketa logo, dapat diselesaikan dengan dua jenis peraturan perundang-undangan, yaitu UU M erek dan UU Hak Cipta. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pengaturan mengenai logo dalam peraturan perundang-undangan mengenai H KI sehingga ketika terjadi sengketa logo maka pengadilan dapat memutus dengan menerapkan hukum secara tepat.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mengenai logo dalam peraturan perundang undangan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI)? 2. Apakah logo dapat dikategorikan ke dalam lingkup hak cipta sekaligus 29
Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 122 K/Pdt.Sus/2010.
9
merek? M engapa demikian? 3. Bagaimana penerapan hukum terhadap penyelesaian sengketa logo bila logo dikategorikan sebagai sengketa hak cipta dan merek?
C. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran untuk mengetahui apakah sebelumnya telah ada penelitian yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan. Berdasarkan penelusuran penulis, penelitian mengenai HKI memang telah banyak dilakukan, termasuk yang berkaitan dengan merek dan hak cipta. Pada umumnya penelitian-penelitian tersebut membahas perlindungan hukum, penyelesaian sengketa, dan analisis mengenai suatu putusan pengadilan terhadap suatu sengketa HKI, antara lain seperti pada penelitian tesis sebagai berikut: 1. Penelitian pada tahun 2011 oleh Indri Rosmita Ayu Dani, M agister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah M ada mengenai Analisis Yuridis Pertimbangan Hukum dalam Pembuktian Orisina litas Sengketa Hak Cipta Logo “Natasha” (Studi Kasus Putusan Sengketa Seni Logo Natasha No. 02/HAKI/C/2009/PN.Sm g). Penelitian tersebut menitikberatkan pada pembahasan pertimbangan hakim Pengadilan Niaga Semarang dalam memutus se ngketa logo pada produk Natasha dengan menerapkan UU Hak Cipta sedangkan penulis tidak melakukan analisis terhadap pertimbangan hukum dalam putusan, tetapi penulis meneliti hal-hal yang dapat menjadikan suatu sengketa logo dapat diputus baik dengan dasar hukum UU N omor 15 Tahun 2001 tentang M erek
10
maupun UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 2. Penelitian pada tahun 2011 oleh Armelya, M agister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah M ada mengenai Analisis tentang Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Merek Terkenal Internasion al untuk Barang dan /atau Jasa yang Tidak Sejenis. Penelitian tersebut membahas dasar hukum yang digunakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam memutus perkara pembatalan merek terkenal internasional di Indonesia untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sedangkan penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai sengketa logo. Dengan adanya berbagai penelitan tentang hak kekayaan intelektual, khususnya merek dan hak cipta sebagaimana tersebut di atas, tidak mengurangi kualitas keaslian penelitian penulis. Hal ini dikarenakan sepanjang penelusuran penulis tidak ditemukan penelitian lain dengan judul ataupun bahasan yang sama sehingga topik dalam penelitian penulis merupakan hal yang baru.
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan
pokok
permasalahan
sebagaimana
te lah
disebutkan
sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai logo dalam peraturan perundang -undangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI); 2. Hal yang menjadikan suatu logo dapat dikategorikan ke dalam lingkup hak cipta dan merek; dan 3. Penerapan hukum terhadap penyelesaian sengketa logo apabila logo
11
dikategorikan sebagai sengketa hak cipta dan merek. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan bagi perkembangan hukum yang berkaitan dengan bidang HKI, khususnya bagi beberapa pihak sebagai berikut: 1. Pascasarjana M agister Hukum, sebagai sumbangan penelitian bagi perpustakaan di bidang ilmu hukum dan ilmu sosial di lingkungan Universitas Gadjah M ada Yogyakarta; dan 2. M asyarakat, agar masyarakat lebih paham betapa pentingnya memberikan perlindungan HKI terhadap produk barang atau jasa yang dihasilkannya serta dapat memahami upaya penyelesaian sengketa, khususnya pada sengketa logo, apabila terjadi masalah di kemudian hari.
12