BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Rumah sakit merupakan salah satu organisasi kesehatan yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan, yang berfokus pada penyembuhan pasien dan berfungsi sebagai tempat sarana pemberi informasi kesehatan kepada masyarakat (Djojodibroto, 2002). Rumah sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan dituntut untuk selalu mengedepankan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama pelayanan keperawatan. Pelayanan perawatan di rumah sakit merupakan salah satu faktor penentu bagi mutu pelayanan dan citra rumah sakit di mata masyarakat. Tenaga perawat profesional diharapkan memberi kualitas pelayanan yang baik. Pengetahuan ilmiah, keterampilan, sikap, dan tingkah laku profesional diperoleh melalui pendidikan tinggi keperawatan yaitu minimal DIII Keperawatan (Kusnanto, 2004). Pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak mungkin tercapai tanpa adanya pelayanan tenaga kesehatan, dalam hal ini adalah keperawatan. Pelayanan keperawatan sangat diperlukan sebagai bagian intergral dari proses penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Hal ini tercantum dalam pasal 32 ayat 2 UU Republik Indonesia No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, bahwa penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
1
2
pengobatan dan atau perawatan. Oleh karena itu, pelayanan keperawatan memegang peran penting di dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien. Sesuai dengan Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, perawat adalah seorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik didalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kusnanto, 2004). Perawat didalam menjalankan praktek keperawatan, juga dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan. Menurut Doheny (1982), didalam buku pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional (Kusnanto, 2004) mengidentifikasi beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi : (1) care giver, sebagai pemberi asuhan keperawatan; (2) client advocate, sebagai pembela untuk melindung klien; (3) counsellor, sebagai pemberi bimbingan/ konseling klien ; (4) educator, sebagai pendidik klien; (5) colllabolator, sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain; (6) coordinator, sebagai koordinator agar dapat menanfaatkan sumber-sumber dan potensi klien; (7) change agent, sebagai pembaharu yang selalu dituntut untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan; (8) consullant, sebagai sumber informasi yang dapat menmbantu memecahkan masalah klien. Selain peran perawat, perawat juga mempunyai kode etik keperawatan yaitu bagian dari etika kesehatan yang menerapkan nilai etika terhadap bidang
3
pemeliharaan atau pelayanan kesehtan masyarakat (Nila isamani, 2001). Kode etik keperawatan mengandung tanggung jawab perawat terhadap klien, hak dan kewajiban klien serta hak dan kewajiban perawat, yang diantaranya menyangkut tentang hubungan interpersonal antara perawat dengan klien. Hubungan interpersonal antara perawat dengan klien merupakan komponen penting dalam pelayanan keperawatan. Kunci dari hubungan tersebut adalah komunikasi yang terapeutik. Untuk itu perawat dalam memberikan pelayanannya harus menggunakan komunikasi yang terapeutik. Sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (1995) dikutip dari (Suryani, 2006), mengenalkan empat fase “helping relationships” yang berkembang secara berurutan dan tiap fase mempunyai tugas yang berbeda yaitu : fase preinteraksi, fase orientasi dan perkenalan, fase kerja, dan fase terminasi. Komunikasi terapeutik secara runtut meliputi pre-interaksi, orientasi, kerja dan terminasi harus selalu menjadi perhatian para perawat dalam memberikan tindakan keperawatan sebagai bagian dari proses asuhan keperawatan kepada klien (Budiwiyono, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Maini Karyanti (2005) tentang Pelaksanaan Tahap - Tahap Komunikasi Terapeutik dalam Hubungan Perawat – Pasien di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Kebumen yang menyatakan bahwa pada tahap pre-interaksi dan tahap kerja dilakukan dengan baik, tahap orientasi kurang serta pada tahap terminasi cukup. Penelitian lain tentang Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Komunikasi Terapeutik di Ruangan Perawatan Intalasi RSPAD Gatatot Suebruto Jakarta Pusat yang diteliti oleh I
4
Gede Agus Adi Wira Putra (2005), menunjukan bahwa 81 responden (71,1 %) memiliki tingkat pengetahuan mengenai komunikasi terapeutik tinggi dan 33 responden (28,9%) tingkat pengetahuan perlu ditingkatkan lagi kualitas pelayanan kepada pasien khusunya komunikasi terapeutik dengan pelayanan keperawatan yang optimal. Selain penelitian di atas yang menggunakan perawat sebagai responden, Andreas Hadi Hermawan (2009) juga meneliti tentang Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Pada Pasien di RS Mardi Rahayu Kudus dengan hasil laporan survey kenyamanan pasien rawat inap dan keluarga di UGD RS Mardi Rahayu dari tahun 2006 sampai Mei 2009, masih ada antara 5% sampai 6,5% responden merasa tidak nyaman saat di UGD semuanya dikarenakan komunikasi yang kurang menurut pasien. Hal ini menujukkan bahwa perawat kurang memperhatikan komunikasi terapeutik. Ruang Barokah merupakan salah satu bangsal rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Bangsal ini memiliki kapasitas 43 ruangan rawat inap dengan didukung 16 orang perawat. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 11 Juli – 10 Agustus 2011. Penulis menjumpai 4 orang perawat yang sedang bertugas sift pagi dalam melakukan tindakan keperawatan kurang memperhatikan pelaksanaan tahap pre-interaksi, orientasi dan terminasi. Sedangkan pada tahap kerja pun keempat perawat hanya melakukan sedikit komunikasi. Mereka beralasan beban kerja menjadi faktor
5
kurangnya komunikasi terapeutik yang dilakukan yaitu jumlah pasien dan jumlah perawat yang tidak seimbang. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi perawat tentang pelaksanaan tahap pre-interkasi, orientasi dan terminasi dalam memberikan tindakan keperawatan di bangsal Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimanakah persepsi perawat tentang pelaksanaan tahap pre-interaksi, orientasi dan terminasi dalam memberikan tindakan keperawatan ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui persepsi perawat tentang pelaksanaan tahap pre-interaksi, orientasi dan terminasi dalam melakukan tindakan keperawatan di Bangsal Barokah RS PKU Muhmammadiyah Gombong. 2. Tujuan Khusus Mengidentifikasi pre-interaksi, orientasi
persepsi perawat tentang pelaksanaan tahap dan terminasi dalam melakukan tindakan
keperawatan di Bangsal Barokah RS PKU Muhmammadiyah Gombong : a. Mengidentifikasi persepsi perawat tentang tahap pre-interaksi dalam melakukan tindakan keperawatan.
6
b. Mengidentifikasi persepsi perawat tentang tahap orientasi dalam melakukan tindakan keperawatan. c. Mengidentifikasi persepsi perawat tentang tahap terminasi dalam melakukan tindakan keperawatan. d. Mengidentifikasi hambatan / problem perawat dalam melakukan komunikasi yang terapeutik secara utuh. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengelola RS PKU Muhammadiyah Gombong mengenai persepsi perawat tentang peaksanaan tahap pre-interaksi, orientasi dan terminasi dalam melakukan
tindakan
keperawatan
sehingga
dapat
digunakan
untuk
mengevaluasi keberhasilan dalam pelayanan keperawatan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan persepsi perawat tentang pelakasnaan tahap preinteraksi, orientasi dan terminasi dalam melakukan tindakan keperawatan. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan peneliti, penelitian ini sebelumnya belum pernah dilakukan di Bangsal Barokah RS PKU Muhmammadiyah Gombong, namun terdapat beberapa penelitian yang sejalan dengan penelitian ini, diantaranya : 1. Efek Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RS Haji Adam Malik Medan yang diteliti oleh Setiawan dan Tanjung (2005). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien pre operasi setelah diinformasikan akan
7
dilakukan tindakan operasi pada pasien pre operasi di RS H.Adam Malik Medan dan mengetahui efek komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS H.Adam Malik Medan. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen. Jumlah sampel 13 orang dengan teknik pemilihan sampel dengan cara convenience sampling. Data dikumpulkan
dari
klien
dengan
menggunakan
kuesioner
tingkat
kecemasan yang diadopsi dari Costello Comrey Depression and Anxiety Scale (CCDAS).Analisa data dilakukan melalui tiga tahap yaitu : (1) Persiapan, mengecek kelengkapan data responden dan memastikan bahwa semua jawaban terisi. (2) Tabulasi, mengklarifikasi analisa data dengan mentabulasikan data yang telah dikumpulkan. (3) Penerapan, pengolahan data menggunakan program SPSS versi 12,00. Data yang diperoleh dari kuisioner yang diisi responden merupakan pengukuran tingkat kecemasan. Pengukuran ini dilakukan dua kali sebelum dan sesudah treatment (komunikasi terapeutik) yang dilakukan. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan untuk menguji hipotesa penelitian sehingga dapat diketahui efek komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan. Perhitungan
satatistik
untuk
data
penelitian
ini
adalah
dengan
menggunakan program aplikasi SPSS versi 12,00. Uji signifikansi terhadap hasil dengan membandingkan hasil perhitungan signifikansi (p) untuk “level of significance” (C) = 0,05 dengan jumlah responden 13 (df = n-1). Hipotesis penelitian akan diterima jika nilai p yang diperoleh dari hasil perhitungan lebih kecil dari nilai C. Hasil penelitian menunjukkan
8
bahwa sebanyak 84,6%% responden mengalami kecemasan ringan dan 15,4% mengalami kecemasan sedang dan tidak ada pasien dengan tingkat kecemasan
berat
maupun
panik
sebelum
pelaksanaan
treatment
(komunikasi terapeutik). Setelah pelaksanaan komunikasi terapeutik 92,3% pasien preoperasi tingkat kecemasannya menjadi ringan dan hanya 7,7% tingkat kecemasannya menjadi sedang. Penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan kecemasan klien (p = 0,001; C = 0,05). Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah ditujukan pada perawat ruangan agar dapat menerapkan komunikasi terapeutik yang efektif dalam menurunkan kecemasan klien pre-operasi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah variabelnya yaitu komunikasi terapeutik, sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang saya lakukan adalah desain/ metode penelitian yaitu penelitian saya menggunakan diskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomologi , serta responden dari penelitian saya adalah perawat. 2. Pelaksanaan Tahap - Tahap Komunikasi Terapeutik dalam Hubungan Perawat – Pasien di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Kebumen yang di teliti oleh Maini Karyanti (2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan tahap-tahap komunikasi terapeutik di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Kebumen. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan fenomenologi dengan cara observasi menggunakan alat bantu check list untuk memperoleh data. Sedangkan
9
sampel dipilih secara random sampling.Analisa data dilakukan melalui enam tahap yaitu : (1) mengecek kelengkapan data, (2) coding, memberi kode tiap lembar check list yang di kumpulkan, (3) mengolah data menggunakan SPSS 12, (4) menyajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dialisa, (5) menarik kesimpulan. Hasil dari penelitian ini adalah pada tahap pre-interaksi dan tahap kerja dilakukan dengan baik, tahap orientasi kurang serta pada tahap terminasi cukup. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perawat dalam melaksanakan tahap – tahap komunikasi terpeutik dengan pasien belum sepenuhnya menggunakan tahap – tahap komunikasi terapeutik secara runtut dan benar. Persamaan dengan penelitian yang saya lakukan adalah responden yaitu perawat, sedangkan perbedaan peneitian ini dengan penelitian yang saya lakukan adalah pada cara memperoleh datanya yaitu pada penelitian ini menggunakan observasi sedangkan penelitian yang saya lakukan menggunakan wawancara mendalam.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi a. Pengertian Persepsi Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Perilaku individu seringkali didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri (Wikipedia, 2011). Persepsi adalah interpretasi yang tinggi terhadap lingkungan manusia dan mengolah proses informasi tersebut “Human interpret their surroundings on a higher percive their word through information processing” (Wilson, 2000) didalam artikel Munir Kamarullah (2005). Poerwadarminto (2005) memberi pengertian persepsi adalah sebagai tanggapan langsung dari sesuatu atau persepsi merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indra. Hal ini dapat diartikan persepsi adalah tanggapan diri manusia yang menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi serta meraba (kerja indra) di sekitar kita.
11
Widayatun (2002) menjelaskan bahwa pertama terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek atau stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indra lalu dibawa ke otak, kemudian dari otak terjadi “kesan” atau jawaban (Response) yang dibalikkan ke indra kembali berupa “tanggapan” berupa pengalaman hasil pengolahan otak. Proses terjadinya persepsi ini perlu perhatian (Attention). Dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi adalah suatu pandangan individu terhadap suatu objek yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi / menafsirkan pesan yang diterima melalui panca indra. b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut (Wilson, 2000) didalam artikel Munir Kamarullah (2005) terdapat faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi persepsi dintaranya sebagai berikut : Faktor Eksternal atau dari luar : 1) Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di persepsikan dibandingkan dengan yang objektif . 2) Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan dibandingkan dengan hal-hal yang lama. 3) Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang lambat.
12
4) Conditioned stimuli, stimulus yang di kondisikan seperti bel pintu, deringan telepon dan lain lain. Faktor Internal : 1) Motivation . misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap istirahat 2) Interest, hal hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak menarik. 3) Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian. 4) Assumptions,
juga
mempengaruhi
pesrsepsi
sesuai
dengan
pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain.
2. Perawat a. Pengertian Perawat Sesuai dengan Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, perawat adalah seorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik didalam maupun di luar negri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi dari pengertian perawat tersebut dapat artikan bahwa seorang dapat dikatakan sebagai perawat dan mempunyai tanggungjawab sebagai perawat manakala yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa dirinya telah menyelesaikan pendidikan perawat baik diluar maupun didalam negeri yang biasanya dibuktikan dengan ijazah atau surat tanda tamat belajar. Dengan kata lain orang disebut perawat bukan dari
13
keahlian turun temurun, melainkan dengan melalui jenjang pendidikan perawat (Kusnanto, 2004). Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Menurut Harlley, (1997) dalam artikel Fahrizal (2010) menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses penuaan. Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya. Keperawatan merupakan suatu profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan komunitas dalam mencapai, memelihara, dan menyembuhkan kesehatan yang optimal dan berfungsi. Definisi modern mengenai keperawatan didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan dan suatu seni yang memfokuskan pada mempromosikan kualitas hidup yang didefinisikan oleh orang atau keluarga, melalui seluruh pengalaman hidupnya dari kelahiran sampai asuhan pada kematian (Wikipedia, 2011). Dapat disimpulkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah lulus dari pendidikan keperawatan yang mempunyai tugas dan tanggungjawab secara profesional.
14
b. Peran Perawat Menurut Doheny (1982) didalam buku pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional (Kusnanto, 2004) mengidentifikasi beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi : care giver, sebagai pemberi asuhan keperawatan; client advocate, sebagai pembela untuk melindung klien; counsellor, sebagai pemberi bimbingan/ konseling lien ; educator, sebagai pendidik klien; colllabolator, sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain; coordinator, sebagai koordinator agar dapat menanfaatkan sumber-sumber dan potensi klien; change agent, sebagai pembaharu yang selalu dituntut untuk mengadakan pembaharuanpembaharuan; consullant, sebagai sumber informasi yang dapat menmbantu memecahkan masalah klien.
3. Komunikasi Terapeutik a. Pengertian Komunikasi Terapeutik (Theraupetic Communication) Komunikasi Terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain, komunikasi ini direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya
dipusatkan
untuk
kesembuhan
pasien.
Komunikasi
terapeutik adalah kemampuan atau ketrampilan perawat untuk membantu
15
klien beradaptasi terhadap stres, mengatsi psikologis, dan belajar begaimana berhubungan dengan orang lain (Suryani, 2006). Komunikasi terapeutik tidak hanya untuk memberikan terapi pengobatan dan pemberian informasi, akan tetapi juga untuk membantu pasien memperjelas, mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan. Kedua untuk mengurangi keraguan, membantu
dalam
hal
mengambil
tindakan
yang
efektif
dan
mempertahankan kekuatan egonya. Ketiga mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam hal peningkatan derajat kesehatan. Keempat mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis (tenaga kesehatan) secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah pasien (Mundakir, 2006). Adapun tujuan dari komunikasi terapeutik menurut Mundakir (2006) adalah : 1) Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal yang diperlukan. 2) Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya. 3) Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
16
b. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik (Theraupetic Communication) Komunikasi terapeutik dapat dipengaruhi beberapa hal antara lain (Potter dan Perry, 2005) : 1) Perkembangan Perkembangan manusia memengaruhi bentuk komunikasi dalam dua aspek, yaitu tingkat perkembangan tubuh memengaruhi kemampuan untuk menggunakan teknik komunikasi tertentu dan untuk mempersepsikan pesan yang disampaikan. Agar dapat berkomunikasi efektif seorang perawat harus mengerti pengaruh perkembangan usia baik dari sisi bahasa, maupun proses berpikir orang tersebut. 2) Persepsi Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman.
Perbedaan
persepsi
dapat
mengakibatkan
terhambatnya komunikasi. 3) Gender Laki-laki dan perempuan menunjukan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Tannen (1990) menyatakan bahwa kaum perempuan menggunakan teknik komunikasi untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan keintiman, sementara
17
kaum laki-laki lebih menunjukkan indepedensi dan status dalam kelompoknya. 4) Nilai Nilai adalah standar yang memengaruhi perilaku sehingga penting bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha mengklarifikasi nilai sehingga dapat membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien. Dalam hubungan profesionalnya diharapkan perawat tidak terpengaruh oleh nilai pribadinya. 5) Latar belakang sosial budaya Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga akan membatasi cara bertindak dan komunikasi. 6) Emosi Emosi merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti marah, sedih, senang akan memengaruhi perawat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Perawat perlu mengkaji emosi klien agar dan keluarganya sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan dengan tepat. Selain itu perawat perlu mengevaluasi emosi yang ada pada dirinya agar dalam melakukan asuhan keperawatan tidak terpengaruh oleh emosi bawah sadarnya.
18
7) Pengetahuan Tingkat
pengetahuan
akan
memengaruhi
komunikasi
yang
dilakukan. Seseorang dengan tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku juga dalam penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit. Hubungan terapeutik akan terjalin dengan baik jika didukung oleh pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik baik tujuan, manfaat dan proses yang akan dilakukan. Perawat juga perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien secara profesional. 8) Peran dan Hubungan Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang berkomunikasi. Berbeda dengan komunikasi yang terjadi dalam pergaulan bebas, komunikasi antar perawat klien terjadi secara formal karena tuntutan profesionalisme. 9) Lingkungan Lingkungan interaksi akan memengaruhi komunikasi efektif. Suasana yang bising, tidak ada privacy yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan. Untuk itu perawat perlu menyiapkan lingkungan yang tepat dan nyaman sebelum memulai interaksi dengan pasien. Menurut Mariner et al
19
(2006) lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan memengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. 10) Jarak Jarak dapat memengaruhi komunikasi. Jarak tertentu menyediakan rasa aman dan kontrol. Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tetap pada saat melakukan hubungan dengan klien. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan perawat dan klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar dan perbaikan emosi klien. Bagi klien, dalam hal ini perawat memakai dirinya secara terapeutik dan memakai teknik komunikasi agar perilaku klien dapat berubah kearah yang positif seoptimal mungkin. Perawat harus menganalisa dirinya tentang kesadaran dirinya, klarifikasi nilai, perasaan. Kemampuan sebagai role model agar dapat berperan secara efektif. Seluruh perilaku dan pesan yang disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal bertujuan secara terapeutik untuk klien. Kemampuan menerapkan teknik komunikasi memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman, karena komunikasi terjadi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang
yang
turut
memengaruhi
kepuasan
klien.
Keberhasilan
komunikasi yang terlihat melalui dampak tercapainya kepuasan klien dalam
menerima
asuhan
keperawatan
yang
berkaitan
dengan
20
komunikasi yang juga merupakan kepuasan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional. c. Fase Komunikasi Terapeutik (Theraupetic Communication) Struktur
dalam
komunikasi
terapeutik,
menurut
Stuart,G.W.,(1998) dalam Suryani (2006), terdiri dari empat fase yaitu : 1)
Fase preinteraksi Tahap persiapan sebelum berhubungan dengan pasien. Tugas perawat pada fase ini yaitu : 1) Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya. 2) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok. 3) Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi. 4) Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu dengan klien.
2)
Fase orientasi Dimulai saat pertama kali bertemu dengan klien. Tugas utama perawat pada tahap ini adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta
21
membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain : a) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan
dan
komunikasi
terbuka.
Untuk
membina
hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien. b) Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan sebuah interaksi. Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik pertemuan. c) Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka. d) Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi. (Stuart,G.W, 1998 dikutip dari Suryani, 2006) Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain : (1) Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan. (2) Memperkenalkan diri perawat.
22
(3) Menyepakati
kontrak.
Kesepakatan
berkaitan
dengan
kesediaan klien untuk berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya pertemuan. (4) Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu melengkapi penjelasan tentang identitas serta tujuan interaksi agar klien percaya kepada perawat. (5) Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya. (6) Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat bersama klien mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien. (7) Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi. Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien
saat
ini
dan
mengevaluasi
tindakan
pertemuan
sebelumnya. 3)
Fase Kerja Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi teraupetik. Tahap ini perawat bersama klien mengatasi
23
masalah yang dihadapi klien. Perawat dan klien mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien. Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan
yang telah
ditetapkan. Tekhnik komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard, 1996, dalam Suryani, 2006). 4)
Fase Terminasi Merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan. Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu: a) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan; b) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara menyeluruh. Tugas perawat pada fase ini yaitu :
24
(1) Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan, evaluasi ini disebut evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa meminta klien menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan atau respon objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi (Suryani, 2006). (2) Melakukan
evaluasi
subjektif,
dilakukan
dengan
menanyakan perasaan klien setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu; (3) Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam; (4) Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati adalah topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara dan terminasi akhir, adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.
25
d. Sikap Dalam Komunikasi Terapeutik (Theraupetic Communication) Menurut Egan dalam Suryani (2006), lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, yaitu : 1) Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”. 2) Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. 3) Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu. 4) Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi. 5) Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada klien. Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal, menurut Stuart dan Sundeen (1998) dikutip dari Suryani (2006) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu : 1) Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
26
2) Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh. 3) Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya. 4) Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki. 5) Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan. e. Teknik Komunikasi Terapeutik (Theraupetic Communication) Menurut Stuart dan Sundeen, (1998) dikutip dari Suryani, (2006). Teknik komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut : 1) Mendengarkan dengan penuh perhatian. Perawat dalam hal ini berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan
apa
yang
disampaikan
klien.
Mendengar
merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
27
2) Menunjukkan penerimaan. Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. 3) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan. Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. 4) Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri. Melalui
pengulangan
kembali
kata-kata
klien,
perawat
memberikan umpan balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan. 5) Mengklasifikasi. Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien. 6) Memfokuskan. Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti. 7) Menyatakan hasil observasi. Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien.
28
8) Menawarkan informasi. Memberikan
tambahan
informasi
merupakan
tindakan
penyuluhan kesehatan untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. 9) Diam. Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk
mengorganisir.
Diam
memungkinkan
klien
untuk
berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi. 10) Meringkas. Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. 11) Memberi penghargaan. Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi
untuk
mendapatkan
pujian
dan
persetujuan
atas
perbuatannya. 12) Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan. Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan.
29
13) Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan. Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. 14) Menempatkan kejadian secara berurutan. Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam suatu perspektif. 15) Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya. Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien. 16) Refleksi. Refleksi
memberikan
kesempatan
kepada
klien
untuk
mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. f. Hambatan Komunikasi Terapeutik (Theraupetic Communication) Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien terdiri dari tiga jenis utama (Hamid, 1998) dikutip dari Suryani (2006) : 1) Resisten. Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab
ansietas
yang
dialaminya.
Resisten
merupakan
keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi yang dipelajari
30
atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah. 2) Transferens. Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung. 3) Kontertransferens. Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien. Kontertransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.
31
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat-klien (Hamid, 1998). Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan komunikasi terapeutik dan mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar belakang perilaku digali baik klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan dampak negative pada proses terapeutik. 4. Tindakan Keperawatan a. Pengertian Tindakan Keperawatan / Implementasi Menurut Mirzal (2010) dalam artikelnya yang berjudul “Tahap Implementasi
keperawatan”
mengatakan
bahwa
pengertian
implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997). Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan
32
interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al., 1995). Menurut
Mirzal
(2010),
dalam
Implementasi
tindakan
keperawatan memerlukan beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Individualitas klien, dengan mengkomunikasikan makna dasar dari suatu implementasi keperawatan yang akan dilakukan. 2) Melibatkan klien dengan mempertimbangkan energi yang dimiliki, penyakitnya,
hakikat
stressor,
keadaan
psiko-sosio-kultural,
pengertian terhadap penyakit dan intervensi. 3) Pencegahan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. 4) Mempertahankan kondisi tubuh agar penyakit tidak menjadi lebih parah serta upaya peningkatan kesehatan. 5) Upaya rasa aman dan bantuan kepada klien dalam memenuhi kebutuhannnya. 6) Penampilan perawat yang bijaksana dari segala kegiatan yang dilakukan kepada klien.
33
b. Tipe Tindakan Keperawatan / Implementasi Menurut Craven dan Hirnle (2000) dalam artikel Mirzal (2010) yang berjudul “Tahap Implementasi keperawatan” , secara garis besar terdapat tiga kategori dari implementasi keperawatan, antara lain: 1) Cognitive implementations, meliputi pengajaran/ pendidikan, menghubungkan tingkat pengetahuan klien dengan kegiatan hidup sehari-hari, membuat strategi untuk klien dengan disfungsi komunikasi,
memberikan
umpan
balik,
mengawasi
tim
keperawatan, mengawasi penampilan klien dan keluarga, serta menciptakan lingkungan sesuai kebutuhan, dan lain lain. 2) Interpersonal implementations, meliputi koordinasi kegiatankegiatan, meningkatkan pelayanan, menciptakan komunikasi terapeutik, menetapkan jadwal personal, pengungkapan perasaan, memberikan 66cukungan spiritual, bertindak sebagai advokasi klien, role model, dan lain lain. 3) Technical kebersihan
implementations, kulit,
melakukan
meliputi aktivitas
pemberian rutin
perawatan keperawatan,
menemukan perubahan dari data dasar klien, mengorganisir respon klien yang abnormal, melakukan tindakan keperawatan mandiri, kolaborasi, dan rujukan, dan lain-lain. Sedangkan
dalam
melakukan
implementasi
keperawatan,
perawat dapat melakukannya sesuai dengan rencana keperawatan dan
34
jenis implementasi keperawatan. Terdapat tiga jenis implementasi keperawatan, antara lain: 1) Independent
implementations,
adalah
implementasi
yang
diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu klien dalam mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhan, misalnya: membantu
dalam
memenuhi
activity
daily
living
(ADL),
memberikan perawatan diri, mengatur posisi tidur, menciptakan lingkungan yang terapeutik, memberikan dorongan motivasi, pemenuhan kebutuhan psiko-sosio-spiritual, perawatan alat invasif yang dipergunakan klien, melakukan dokumentasi, dan lain-lain. 2) Interdependen / Collaborative implementations, adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama sesama tim keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya, seperti dokter. Contohnya dalam hal pemberian obat oral, obat injeksi, infus, kateter urin, naso gastric tube (NGT), dan lain-lain. Keterkaitan dalam tindakan kerjasama ini misalnya dalam pemberian obat injeksi, jenis obat, dosis, dan efek samping merupakan tanggungjawab dokter tetapi benar obat, ketepatan jadwal pemberian, ketepatan cara pemberian, ketepatan dosis pemberian, dan ketepatan klien, serta respon klien setelah pemberian merupakan tanggung jawab dan menjadi perhatian perawat. 3) Dependent implementations, adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain, seperti ahli gizi, physiotherapies,
35
psikolog dan sebagainya, misalnya dalam hal: pemberian nutrisi pada klien sesuai dengan diit yang telah dibuat oleh ahli gizi, latihan fisik (mobilisasi fisik) sesuai dengan anjuran dari bagian fisioterapi. c. Tahap
yang
Diperlukan
Dalam
Tindakan
Keperawatan
/
Implementasi Menurut Mirzal (2010), secara operasional hal-hal yang perlu diperhatikan perawat dalam pelaksanaan implementasi keperawatan adalah: 1) Pada tahap persiapan. a) Menggali perasaan, analisis kekuatan dan keterbatasan professional sendiri. b) Memahami rencana keperawatan secara baik. c) Menguasai keterampilan teknis keperawatan. d) Memahami rasional ilmiah dari tindakan yang akan dilakukan. e) Mengetahui sumber daya yang diperlukan. f) Memahami kode etik dan aspek hukum yang berlaku dalam pelayanan keperawatan. g) Memahami
standar
praktik
klinik
keperawatan
untuk
mengukur keberhasilan. h) Memahami efek samping dan komplikasi yang mungkin muncul. i) Penampilan perawat harus menyakinkan.
36
2) Pada tahap pelaksanaan. a) Mengkomunikasikan / menginformasikan kepada klien tentang keputusan tindakan keperawatan yang akan dilakukan oleh perawat. b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya terhadap penjelasan yang telah diberikan oleh perawat. c) Menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar manusia dan kemampuan teknis keperawatan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan yang diberikan oleh perawat. d) Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat pelaksanaan tindakan adalah energi klien, pencegahan kecelakaan dan komplikasi, rasa aman, privacy, kondisi klien, respon klien terhadap tindakan yang telah diberikan. 3) Pada tahap terminasi. a) Terus memperhatikan
respons klien terhadap tindakan
keperawatan yang telah diberikan. b) Tinjau kemajuan klien dari tindakan keperawatan yang telah diberikan. c) Rapikan peralatan dan lingkungan klien dan lakukan terminasi. d) Lakukan pendokumentasian
37
d. Prinsip Tindakan Keperawatan / Implementasi Menurut Mirzal (2010), beberapa pedoman atau prinsip dalam pelaksanaan implementasi keperawatan (Kozier et al,. 1995) adalah sebagai berikut: 1) Berdasarkan respons klien. 2) Berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standar pelayanan professional, hukum dan kode etik keperawatan. 3) Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia. 4) Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan. 5) Mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana intervensi keperawatan. 6) Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu dalam upaya meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri (Self Care). 7) Menekankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatan status kesehatan. Dapat menjaga rasa aman, harga diri dan melindungi klien. 8) Memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan. 9) Bersifat holistik. 10) Kerjasama dengan profesi lain. 11) Melakukan dokumentasi
38
B. Kerangka Teori
Faktor yang memengaruhi Komunikasi Terapeutik: 1. Perkembangan 2. Nilai 3. Emosi 4. Masa bekerja 5. Latar belakang sosial budaya 6. Pengetahuan 7. Persepsi 8. Peran 9. Lingkungan 10. Jarak
Fase Komunikasi Terapeutik : 1. 2. 3. 4.
Fase Pre-interaksi Fase orientasi Fase kerja Fase terminasi
Faktor Penghambat: 1. Resisten 2. Transferen 3. Kontertransferens.
Proses Keperawatan
Peran Perawat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Care giver Cilent advocate Counsellor Educator Collabolator Coordinator Change agent Consullant
Gambar 2.1 Skema Landasan Teori Modifikasi: Kusnanto (2004), Perry & Potter (2005), Suryani (2006)
39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2001). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yaitu pendekatan yang didasari atas pandangan dan asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh melalui hasil interprestasi (Sudarwan, 2002). Penelitian kualitatif memanfaatkan wawancara baik tertutup maupun terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu dan sekelompok orang (Sudarwan, 2002).
B. Populasi dan Partisipan Penelitian 1. Batasan Populasi Populasi adalah universum. Universum itu dapat berupa orang, benda, gejala, atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti (Sudarwan, 2002). Penelitian ini mengambil populasi perawat di bangsal Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong sebanyak 16 orang.
40
2. Partisipan Sampel adalah subunit populasi survei atau populasi survei itu sendiri, yang oleh peneliti dipandang mewakili populasi target (Sudarwan, 2002). Prinsip yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah purposive sampling
yaitu dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai
dengan yang dikehendaki peneliti (Nursalam, 2001). Secara keseluruhan partisipan yang akan diambil sebanyak 5 orang perawat ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong : a. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target terjangkau yang akan diteliti (Al Ummah, 2009): 1) Perawat pegawai tetap maupun kontrak yang betugas di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang masih dalam masa kerja ( tidak cuti ). 2) Perawat yang betugas di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang bersedia menjadi partisipan. 3) Perawat yang betugas di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang mempunyai masa kerja J 1 tahun. b. Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/ mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria karena berbagai sebab (Al Ummah, 2009) : 1) Perawat pegawai tetap maupun kontrak yang betugas selain di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong. 2) Perawat yang betugas di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang berada dalam masa cuti.
41
3) Perawat yang betugas di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang menolak menjadi partisipan. 4) Perawat yang betugas di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong yang mempunyai masa kerja < 1 tahun.
C. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilaksanakan di ruang Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong. Adapun waktu penelitian ini dimulai Februari 2012 sampai Maret 2012. D. Variabel Penelitian Adapun variabel penelitian ini merupakan variabel tunggal yaitu persepsi perawat tentang pelaksanaan tahap pre-interaksi, orientasi dan terminasi dalam melakukan tindakan keperawatan. E. Instrumen Penelitian Menurut Saryono (2010), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah. Dalam proses pengumpulan data kualitatif, manusia berfungsi sebagai instrument penelitian utama (Saryono, 2010). Pada pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman pengumpulan data (pedoman wawancara) yang akan membantu peneliti mengumpulkan data secara efisien. Selain itu, untuk menunjang keabsahan data dilakukan observasi sehingga data yang diperoleh akan valid.
42
F. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara mendalam dan wawancara tidak berstruktur dengan wawancara bebas, dimana peneliti
hanya
mengajukan
sejumlah
pertanyaan
kepada
partisipan.
Pengumpulan data dilakukan dengancara: 1. Peneliti meminta surat ijin studi pendahuluan pada Institusi STIKES Muhammadiyah Gombong. 2. Setelah mendapatkan surat ijin studi pendahuluan, peneliti memberikan surat studi pendahuluan kepada Direktur RS PKU Muhammadiyah Gombong. Peneliti menjelaskan cara maksud dan tujuan dari pada studi pendahuluan yang dilakukan. 3. Peneliti mendapat ijin untuk melakukan studi pendahuluan pada tanggal 11 Juli 2011 dengan diterima langsung oleh Direktur RS PKU Muhammadiyah Gombong. 4. Pengambilan data dilakukan di Bangsal Barokah RS PKU Muhammadiyah Gombong, dengan jumlah responden direncanakan berjumlah 5 responden. 5. Setelah mendapat persetujuan dari responden tentang kesediannya untuk menjadi responden dan memberitahukan bahwa penelitian ini tidak berdampak buruk pada responden, kemudian dilakukan proses wawancara.
43
G. Keabsahan Data Pada studi kualitatif, melakukan verifikasi/ konfirmasi data kepada partisipan merupakan salah satu cara untuk memvalidasi dan memperoleh keabsahan data. Terdapat empat kriteria untuk memperoleh keabsahan data dalam studi kualitatif yaitu dengan derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability) (Saryono, 2010). Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data atau informasi yang dikumpulkan (Saryono, 2010). Credibility hasil penelitian ini dapat dicapai melalui upaya-upaya peneliti dalam mengklarifikasi hasil-hasil temuan dari partisipan. Pada penelitian ini, peneliti melakukan dengan cara merekam hasil wawancara dan mendengarkan hasil wawancara tersebut, hasil wawancara menjadi keabsahan data yang diteliti dan bukan merupakan hasil rekayasa peneliti. Selain itu peneliti membuat transkrip verbatim kemudian mencocokannya dengan rekaman. Setelah itu peneliti mengembalikan transkrip verbatim ini kepada partisipan untuk dibaca dan diteliti kembali kebenaran informasi yang telah diberikan. Transferability (ketarihan) sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Peneliti bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan tentang pengalihan tersebut. Untuk keperluan itu peneliti harus melakukan penelitian kecil untuuk memastikan usaha memverifikasi tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan uraian rinci (thick description) terhadap hasil
44
penelitian sehingga uraian itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan. Dependability merupakan kriteria apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi data (Saryono, 2010). Dalam penelitian ini peneliti melakukan dependability auditing dengan pembimbing penelitian. Confirmability merupakan kriteria untuk menilai mutu atau tidaknya hasil penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan audit confirmability. Pada tahap ini peneliti menyerahkan dokumen temuan data dalam bentuk transkrip verbatim untuk dibaca oleh partisipan pada tahap validasi data sebagai upaya untuk memperoleh kepastian atau obyektifitas data yang diperoleh.
H. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif
adalah aktivitas intensif yang memerlukan
pengertian yang mendalam, kecerdikan, kreatifitas, kepekaan konseptual dan pekerjaan berat (Saryono, 2010). Proses analisa data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data. Adapun tahapan proses analisa data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pengaturan/penataan data Setelah melakukan wawancara dipastikan bahwa semua data telah lengkap, tercatat dan diberi label dengan sistematis sehingga data menjadi teratur dan mudah untuk dilacak.
45
2. Coding dan kategorisasi Yaitu
memberi
kode
setelah
data
diperoleh
serta
mengelompokkannya sesuai kategorinya masing-masing sehingga data yang begitu banyak akan mudah diatur untuk menafsirkan fenomenafenomena. 3. Mencari pola dan proposisi penelitian Mengelompokkan kategori yang berbeda-beda menjadi tematema yang besar sehingga lebih satbil, rapi dan logis serta masuk akal. 4. Menafsirkan data 5. Mengevaluasi penafsiran Yaitu mengevaluasi hasil penafsiran agar analisa data dapat bemakna, berguna dan kredibel dengan cara melakukan pencarian terhadap penjelasan alternatif dan kasus negatif, melakukan validasi terhadap keabsahan data responden dan refleksikan terhadap intepretasi yang telah dilakukan.
I. Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting mengingat keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia, maka peneliti menjamin hak
46
asasi responden dalam penelitian ini. Etika dalam penelitian keperawatan meliputi : 1. Informed Consent Tujuannya agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia menjadi responden, maka harus menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika subyek menolak menjadi responden maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. 2. Anonimity Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan memberi nama responden kepada lembar data hasil wawancara yang diisi oleh peneliti, lembar tersebut hanya diberi kode tertentu. 3. Confidentiality Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan di jamin kerahasiaannya oleh peneliti.