BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.1.1
Masalah Teknologi Informasi dan Konsep Avatar sebagai Solusi Konsep teknologi informasi khususnya Internet telah menyediakan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk aktivitas-aktivitas pembelajaran baik secara formal maupun non-formal. Kelebihan Internet dari sisi otomasi proses, kecepatan, dan ketersediaan
akses
diharapkan
akan
meningkatkan
produktivitas
proses
pembelajaran. Otomasi proses diharapkan mengurangi beban kerja pengguna, kecepatan pemrosesan informasi meningkatkan efisiensi waktu, sementara ketersediaan akses yang semakin baik meningkatkan mobilitas pengguna sehingga proses belajar merupakan proses yang ubiquitous (dimana-mana). Dengan bertambahnya intensitas pemanfaatannya, maka Internet dapat dipandang sebagai suatu dunia virtual yang membawa penggunanya ke dalam suatu aktivitas terhubung satu sama lain dan menyediakan ragam layanan dinamis serta berkembang dengan pesat, seperti kegiatan kuliah live jarak jauh (distance learning) menggunakan kelas virtual, mencari jurnal di Internet, menggunakan jejaring social media untuk diskusi ilmiah dengan komunitas disiplin ilmu tertentu dan sebagainya. Aktivitas dunia virtual melengkapi aktivitas yang masih dilakukan secara fisik di dunia nyata (Gambar 1.1).
1
2
Gambbar 1.1 Duniaa nyata dan dunia d virtuall dalam kehiidupan akadeemik
Kegiiatan pemrossesan dan distribusi infoormasi dalam m masing-maasing dunia n nyata dan du unia virtual serta yang m melibatkan keduanya, k ddikelola dan dikerjakan s secara manuual oleh maanusia. Mannusia harus berpindah-ppindah antaar aktivitas ( (context-swi itching) untu uk mengaturr proses secaara selaras inntra dan antaar aktivitas d dunia yaang berbeda. Dalam bannyak kasus, hal dan h ini menyebabkan maanusia tidak m mampu untu uk menyaring dan mem mroses infoormasi duniaa virtual yaang datang b begitu cepaat dan massif sehinggga kontrapro oduktif terhhadap kelebbihan dari p pemanfaatan n Internet. Manusia M justrru terbebani dengan geloombang inforrmasi yang d datang, keh hilangan bannyak waktuu yang bergguna, dan m menurunkann mobilitas p penggunany ya. Sebaagai suatu alternatif untuk mennjawab tanntangan perrmasalahan t teknologi informasi sepeerti di atas, maka m dikem mbangkanlah sistem Avaatar sebagai s suatu entitass komputasi di dunia virrtual yang beerfungsi sebaagai profil reepresentasi y yang memiliiki behaviouur penggunannya [4]. Avaatar mengganntikan penggguna untuk
3
m melakukan a aktivitas dunnia virtual ddan mengko omunikasikann hasil kerjaanya untuk d dimanfaatka an penggunaanya (Gambaar 1.2). Misaalnya pada aavatar yang melakukan p pencarian pu ublikasi atauu jurnal di IInternet, maaka terhadapp suatu topikk publikasi y yang ditem muinya, avattar akan m memutuskan apakah puublikasi terssebut akan d disimpan unntuk dianalissis atau diabbaikan saja. Keputusan K uuntuk menyiimpan atau m mengabaikan n tersebut sesuai denggan prefereensi dari peenggunanya.Sementara a avatar bekerj rja, maka pen nggunanya ddapat bebas melakukan m a aktivitas lainnnya.
Gambbar 1.2 Avattar merepreseentasikan peengguna dalaam dunia virrtual
Bebeerapa avatar yang bekerrja dalam duunia virtual akan berintteraksi satu s sama lain dalam d skenarrio aktivitass yang berbeeda-beda. K Konsep ini memandang m d dunia virtuaal sebagai baagian dari lingkungan innteraksi dunnia kampus bagi b avatar d penggun dan nanya, sehin ngga proyekk penelitian ini i dinamakaan dengan Digital D Life a Campus (‘DiL@C’). at (
4
1.1.2
Mekanisme Kerja berbasis Konteks Dinamis dan Context Awareness Avatar Suatu entitas komputasi, seperti contohnya komputer, telepon genggam
cerdas, dan avatar, diperlengkapi dengan satu atau lebih fungsionalitas sesuai tujuan diciptakannya entitas tersebut. Seperti misalnya, telepon genggam cerdas memiliki fungsi “tampilkan rumah makan terdekat”. Agar telepon genggam tersebut dapat bekerja menampilkan daftar rumah makan terdekat, maka fungsi tersebut harus diaktifkan terlebih dahulu. Meskipun memiliki fungsionalitas, suatu entitas komputasi adalah konstruksi obyek pasif yang tidak memiliki inisiatif untuk mengaktifkan fungsionalitasnya tersebut. Suatu fungsionalitas bekerja berdasarkan suatu faktor eksternal. Di sinilah konsep konteks diperkenalkan. Konteks merepresentasikan suatu situasi yang mencerminkan kondisi lingkungan dimana suatu entitas komputasi berada. Dalam suatu entitas komputasi, konteks berperan sebagai input yang dapat mengaktifkan fungsionalitas yang dimiliki. Suatu fungsionalitas berhubungan dengan suatu pola situasi konteks tertentu yang dapat mengaktivasi fungsionalitas tersebut. Untuk dapat menjalankan mekanisme di atas, entitas komputasi memerlukan suatu kemampuan yang bernama context awareness. Context awareness adalah suatu kemampuan dari entitas komputasi untuk dapat mendeteksi perubahan situasi konteks yang berfungsi sebagai input untuk mengaktifkan fungsionalitasnya. Tanpa context awareness maka entitas komputasi tidak dapat mengetahui dalam konteks apa ia sedang berada pada saat
5
ini, sehingga kemudian tidak dapat mengaktifkan fungsionalitas dalam situasi konteks seperti yang diharapkan. Untuk menggambarkan bagaimana konteks mempengaruhi aktivasi fungsionalitas entitas komputasi maka diambil contoh sebuah robot pemadam api yang memiliki fungsional “semprotkan air”. Meskipun mekanisme untuk menyemprotkan air dimiliki oleh robot tersebut, namun “semprotkan air” hanya aktif ketika robot mendeteksi bahwa dirinya berada dalam suatu konteks, misalnya: berada di depan titik api. Context awareness pada robot tersebut adalah kemampuan untuk mendeteksi bahwa dirinya sedang berada di depan titik api (dari semula sebaliknya). Tanpa context awareness tersebut maka robot tidak mengetahui apakah dirinya sedang berada pada konteks tersebut atau tidak, sehingga fungsi “semprotkan air” juga tidak dapat diaktifkan meskipun pada kenyataannya robot berada pada konteks tersebut (berada di depan titik api). Avatar merupakan salah satu contoh entitas komputasi yang memiliki konsep aktivasi fungsionalitas yang serupa seperti contoh robot di atas. Avatar bekerja menggunakan konteks sebagai pemicu untuk mengaktifkan fungsionalitas yang dimilikinya dan memiliki context awareness untuk mendeteksi adanya perubahan konteks yang dialami. Namun demikian, alih-alih hanya bekerja pada satu atau dua skenario tetap yang telah ditentukan seperti misalnya “mencari dan memadamkan api” pada contoh robot pemadam api di atas, dalam dunia virtual suatu avatar bekerja dengan banyak skenario yang secara virtual tidak terbatas. Dengan skenario dunia virtual yang dinamis, maka representasi konteks yang menyertai avatar dapat berubah dan bertambah pula secara dinamis dalam
6
waktu singkat seperti halnya di dunia nyata. Pada dunia nyata, robot pemadam api hanya aware terhadap konteks berada di depan titik api. Sementara pada avatar, skenario interaksi yang berbeda akan menghasilkan konteks dan skema context awareness yang berbeda-beda pula sesuai dengan skenario yang dijalani.
1.1.3
Pemodelan Konteks dan Context Awareness Avatar Dari penjelasan tersebut, tampaklah bahwa pemodelan konteks dan context
awareness merupakan sesuatu yang sentral. Kemampuan avatar untuk posisi dirinya terhadap suatu situasi konteks berikut perubahan posisi yang terjadi (masuk ke dalam dan atau keluar konteks) adalah satu-satunya faktor yang dapat membuat avatar bekerja dalam bentuk aktivasi fungsionalitas yang dimilikinya. Pemodelan konteks avatar tidak dapat dilakukan secara terburu-buru ke level yang terlalu teknis, misalnya berdasarkan suatu bahasa atau skenario tertentu, yang dapat menyebabkan model konteks yang dihasilkan hanya bersifat parsial (tidak utuh) dan kemungkinan gagal untuk dapat diterapkan pada kebutuhan skenario yang berbeda-beda. Skenario dunia virtual merupakan sesuatu yang dinamis sehingga membutuhkan pemodelan konteks yang fleksibel dan tidak hanya dikhususkan untuk mendukung suatu skenario spesifik saja. Misalnya pada suatu skenario avatar terkait dengan konteks waktu yang memiliki satu nilai tertentu sementara dalam skenario yang lein avatar aware terhadap suatu konteks multi nilai, seperti “mahasiswa login” yang merepresentasikan avatar mahasiswa mana saja yang login ke suatu kelas virtual. Pemodelan yang hanya mendukung skenario konteks tunggal tidak dapat digunakan pada skenario multi konteks. Tool
7
pemodelan yang digunakan harus dapat memberikan dukungan yang seragam pada seluruh kebutuhan representasi konteks dinamis. Konteks yang dimodelkan langsung dengan bahasa pengembangan yang terlalu teknis, akan tergantung pada arsitektural kerangka kerja dari bahasa tersebut. Suatu arsitektur kerangka kerja mendefinisikan bagaimana cara komponen-komponen disusun untuk membangun suatu konstruksi program lengkap dan menspesifikasikan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh konstruksi tersebut pada proses implementasi.Kerangka kerja yang dimiliki oleh bahasa pemrograman generik mungkin tidak dapat merepresentasikan suatu abstraksi baru yang dimiliki oleh elemen lingkungan. Ketika abstraksi konteks harus diekspresikan menggunakan konstruksi bahasa yang ada, programer harus secara manual bekerja dengan representasi tersebut, memaksa programer untuk mengabaikan arsitektur normal yang dimiliki bahasa tersebut dan menghasilkan suatu program yang memiliki komposisi komponen yang tidak natural. Program yang dihasilkan biasanya sulit untuk dimengerti dan dikelola, pendefinisian suatu obyek membutuhkan pendefinisian ulang kelas induknya yang mana merupakan hal yang tidak natural bagi pemodelan berbasis obyek [33]. Oleh karenanya, perlu digunakan bahasa pemodelan yang mengeksplorasi suatu fenomena secara konseptual dan tidak memiliki kerangka kerja yang dapat mengakibatkan suatu model kehilangan semantik ataupun sulit untuk diterapkan dalam fase pengembangan selanjutnya. Untuk dapat memberikan gambaran yang tepat pada pengembangan sistem avatar, maka context awareness harus dapat dimodelkan secara utuh. Keberhasilan
8
dari pemodelan yang dilakukan ini dapat diukur dari kemampuan untuk memodelkan konteks avatar yang berbeda-beda tanpa harus kehilangan semantik akibat menggunakan kerangka kerja pemodelan itu sendiri. Pemodelan konteks dan context awareness avatar memerlukan pendekatan pemodelan dengan abstraksi yang memiliki generisitas yang cukup untuk dapat memodelkan skenario dunia virtual yang dinamis. Pemodelan juga harus memberikan gambaran yang jelas dan tepat sehingga tidak menimbulkan ambiguitas. Untuk memberikan gambaran yang jelas terhadap definisi konteks tersebut, maka konteks akan dimodelkan dengan tool bahasa formal dengan dukungan naratif dan diagram. Penggunaan bahasa formal memiliki keuntungan untuk meminimalisir ambiguitas dari suatu konsep yang dimodelkan . Dari penjelasan di atas, maka penelitian ini berfokus pada pengembangan model konteks dan context awareness avatar. Model konteks akan memberikan definisi yang jelas dan lengkap tentang hubungan konteks dengan avatar dalam rangka menjembatani interaksi avatar. Model yang dihasilkan menggambarkan struktur konteks dan dinamika yang dapat terjadi antara avatar dan konteks, khususnya pada mekanisme sensitifitas avatar terhadap konteksnya (context awareness).
1.2
Perumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang sebelumnya, maka masalah yang akan
dibahas pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
9
1. Penelitian tentang pemodelan konteks untuk entitas komputasi belum membahas tentang interaksi avatar dalam beragam skenario di dunia virtual kampus. 2. Pemodelan
konteks dan context awareness yang ada bersifat terlalu
spesifik dan implementatif sehingga tidak dapat diterapkan dalam beragam skenario seperti yang dikerjakan oleh avatar.
1.3
Keaslian Penelitian Konteks dalam sistem context aware merupakan suatu bidang yang
penting untuk dimodelkan secara generik dan sederhana agar informasi konteks dari sumber yang beragam dan dinamis dapat dimanfaatkan oleh aplikasi. Beberapa penelitian tentang pemodelan suatu sistem context aware, khususnya dalam area komputasi pervasive dan komputasi bergerak, telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian dari [16] mengemukakan tentang model informasi konteks yang dapat mengekspresikan keberagaman dan dinamika konteks komputasi pervasive. Framework yang dikembangkan dapat memodelkan konteks secara generik dengan menggunakan pendekatan mirip dengan ontology untuk mengekspresikan kualitas, kebergantungan antar konteks, dan jenis asosiasi. Meski hasil penelitian tersebut telah membahas tentang representasi struktur konteks, namun model yang dihasilkan belum mengekspresikan context-awareness dan dinamika interaksi. Pemodelan mobilitas konteks dan sistem berbasis konteks untuk komputasi bergerak (mobile computing) telah dilakukan [23]. Pemodelan tersebut memiliki
10
kesamaan dengan penelitian ini, sebab seperti halnya avatar, entitas bergerak (mobile entity) merupakan entitas virtual yang berinteraksi menggunakan mekanisme adaptasi konteks. Penelitian tersebut baru membahas fundamental dari konteks dan memfokuskan pada pergerakan entitas bergerak terhadap konteks yang dialaminya. Model mobilitas konteks belum mengeksplorasi lebih jauh tentang situasi-situasi perubahan konteks yang lebih kompleks, seperti bagaimana dalam suatu situasi entitas berada dalam suatu konteks yang konkuren, misalnya avatar berada dalam aktivitas kuliah dan secara bersamaan itu pula berada dalam aktivitas mengajar jarak jauh. Sebagai kontribusi terhadap karya tersebut, penelitian ini melakukan pengembangan terhadap kerangka kerja dengan mengeksplorasi situasi avatar yang berada pada kondisi yang konkuren tersebut. Pemodelan interaksi dalam lingkungan berupa skenario-skenario aktivitas dalam komputasi pervasive juga telah dilakukan [25]. Suatu aktivitas mencakup role (jenis pengguna) dan obyek yang terlibat, kemudian menspesifikasikan policy untuk interaksi diantaranya. Seperti juga sistem avatar, penelitian tersebut juga memaparkan tentang penspesifikasian interaksi berbasis konteks dalam dunia pervasive. Namun demikian, definisi lingkungan aktivitas pada penelitian tersebut lebih ditekankan pada spesifikasi suatu interaksi dan belum menggambarkan secara jelas konsep keterkaitan antara avatar dan konteks dalam interaksi yang terjadi.
11
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan representasi model
konteks avatar yang bersifat generik agar dapat memodelkan secara utuh konteks dan context-awareness sistem avatar yang bersifat dinamis dalam beragam skenario dunia virtual pada proyek Digital Life at Campus (DiL@C).
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan gambaran pemodelan pada perancang sistem sebagai pedoman dalam membuat model sistem avatar atau sistem pervasive pada umumnya. 2. Memberikan fleksibilitas dalam pengembangan sistem berkelanjutan karena generisitas pemodelan membuat penambahan detail atau fitur pada model tidak merubah desain dasar sistem secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan melalui kemudahan pengaplikasian kerangka kerja untuk skenario yang berbeda. 3. Menambahkan suatu pondasi awal untuk pengembangan sistem avatar pada proyek Digital Life at Campus (DiL@C). 4. Memberikan kontribusi dalam perkembangan teknologi komputasi pervasive.
1.6
Batasan Masalah Permasalahan pemodelan konteks dalam dunia virtual berpotensi untuk
12
digali secara luas dari berbagai aspek. Untuk menjaga fokus dari penelitian, maka peneliti membatasi penelitian ini sebagai berikut : 1. Penelitian ini tidak membahas secara spesifik representasi profil avatar secara detail. Avatar hanya direpresentasikan sebagai entitas yang menggunakan informasi konteks untuk memicu aktivasi fungsionalitas yang dimilikinya. 2. Sensitivitas dan context awareness dimodelkan secara diskrit (true dan false) sehingga tidak membahas tingkat sensitivitas ataupun tingkat persentase kebenaran state konteks 3. Fungsionalitas avatar direpresentasikan sebagai suatu kemampuan avatar yang dapat dieksekusi ketika avatar mengalami suatu konteks tertentu. Implementasi teknis dari fungsionalitas tidak dibahas dalam penelitian ini. 4. Dunia virtual bagi avatar yang dimunculkan pada penelitian ini berperan sebagai abstraksi dari lingkungan avatar yang berbentuk konseptual, sehingga dengan kata lain tidak berfokus pada pembangunan visualisasi dunia virtual. 5. Pemodelan yang dihasilkan belum diterapkan pada sistem yang operasional namun pada contoh skenario yang diambil dari aktivitas di kampus.