1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Adiantum (Indonesia: suplir; Inggris: maidenhair fern) merupakan salah satu marga tumbuhan paku anggota suku Pteridaceae yang cukup menguntungkan secara komersial karena banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias dengan berbagai variasi morfologi dan hasil silangan. Jumlah jenis Adiantum di seluruh dunia diperkirakan mencapai sekitar 280 jenis (Patil et al., 2013) dan 10-20 jenis diantaranya berada di Asia Tenggara (Afriastini, 2003). Penelitian mengenai Adiantum di Indonesia masih terbatas sehingga publikasi mengenai marga ini belum banyak tersedia dan jumlah jenisnya di Indonesia belum dapat dipastikan. Informasi keberadaan dan penyebaran jenis-jenis Adiantum di Indonesia hingga kini masih sebatas data koleksi spesimen herbarium, antara lain Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Belum ada studi mengenai marga ini lagi sejak Posthumus (1944) menemukan 11 jenis Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara). Publikasi oleh Posthumus (1944) dari Kepulauan Sunda Kecil tersebut dapat dijadikan dasar dalam melakukan studi mengenai marga Adiantum di Indonesia. Salah satu langkah awal adalah dengan mempelajari hubungan kekerabatan jenisjenis Adiantum dari kawasan tersebut, yang hingga kini informasinya belum tersedia. Hubungan kekerabatan antar organisme dianggap oleh banyak ahli sistematika dan ahli biologi evolusi merupakan pondasi utama dalam berbagai
2
penelitian biologi lanjutan, serta penting dalam studi genetika, studi evolusi, studi perbandingan, kawin silang maupun klasifikasi ulang (Soltis and Soltis, 2000). Hubungan kekerabatan organisme dapat direkonstruksi berdasarkan karakter morfologi, namun dengan berkembangnya teknik molekuler penggunaan karakter genetik menjadi pilihan utama. Sifatnya yang obyektif dan stabil membuat karakter genetik lebih dapat diandalkan dalam studi sistematika. Penggunaan karakter genetik juga menguntungkan karena tetap dapat mendeteksi variasi walau tidak terekspresi menjadi perbedaan morfologi. Variasi genetik tersebut penting untuk meningkatkan keanekaragaman yang mampu memperbesar peluang keberhasilan bertahan hidup di tengah perubahan kondisi lingkungan. Saat ini DNA kloroplas adalah sumber data yang paling umum digunakan dalam analisis hubungan kekerabatan tumbuhan secara molekuler (Small et al., 2004). Salah satu daerah pada DNA kloroplas yaitu rbcL merupakan plastid pengkode yang paling banyak disimpan dalam GenBank. Gen rbcL dianggap memiliki variasi yang cukup untuk digunakan dalam membedakan antar jenis (Newmaster et al., 2006) dan umum digunakan untuk mengetahui hubungan antar marga bahkan antar jenis pada tumbuhan paku (Soltis and Soltis, 1998). Penggunaan sekuen daerah non-pengkode pada genom kloroplas juga memiliki potensi dalam filogenetik (Soltis and Soltis, 1998). Daerah nonpengkode seperti yang terdapat pada trnL-F merupakan daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi paling tinggi sehingga pada tumbuhan paku sekuen trnL-F paling bervariasi (Taberlet et al., 1991; Li et al., 2011). Kombinasi antara trnL-F dengan gen rbcL diharapkan dapat meningkatkan resolusi (Adjie et al., 2008) dan
3
memenuhi kualitas yang dibutuhkan untuk membentuk barkode yang kuat bagi identifikasi jenis pada tumbuhan paku (de Groot et al., 2011).
1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah keanekaragaman dan hubungan kekerabatan marga Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil berdasarkan variasi sekuen pada DNA kloroplas (rbcL dan trnL-F)?
1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui keanekaragaman marga Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil berdasarkan variasi sekuen pada DNA kloroplas (rbcL dan trnL-F). b. Merekonstruksi hubungan kekerabatan pada marga Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai : a. Langkah awal penyusunan basis data keanekaragaman jenis dan daerah geografis penyebaran marga Adiantum di Indonesia. b. Dasar penelitian lanjutan seperti filogeografi dan spesiasi. c. Dasar penyusunan rekomendasi status dan usaha konservasinya.
4
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Marga Adiantum Adiantum merupakan salah satu marga tumbuhan paku yang cukup dikenal. Bentuk daunnya beraneka ragam dan penampilannya menarik sehingga banyak jenis Adiantum yang digunakan sebagai tanaman hias (Gambar 2.1). Beberapa jenis diantaranya juga dapat dimanfaatkan sebagai sayur dan dalam bidang kesehatan karena kandungan bahan aktifnya (Afriastini, 2003; Perwati, 2009).
a.
b.
c.
Gambar 2.1 Beberapa Jenis Adiantum Keterangan : Adiantum diaphanum Blume (a); A. raddianum C. Presl. cv. variegatum (b); A. macrophyllum Swartz cv. variegatum (c).
Adiantum di Indonesia dikenal dengan nama suplir. Nama tersebut diduga berasal dari penyebutan Adiantum dalam bahasa Perancis yaitu chevelure yang
5
berarti “seperti rambut”. Daunnya yang tumbuh menjuntai dianggap mirip dengan helaian rambut (hair) seorang gadis (maiden) sehingga dalam bahasa Inggris Adiantum disebut sebagai maidenhair fern (Yeow-Chin, 1984). Pendapat yang lain menyatakan jenis ini dinamakan demikian karena tangkai daunnya yang hitam mengkilat seperti rambut. Nama ilmiahnya yaitu Adiantum, berasal dari bahasa Yunani Adiantos yang berarti “anti air”, mengacu pada entalnya yang mampu meloloskan air tanpa membuatnya basah (Hoshizaki, 1970). Jenis tipe dari marga ini adalah Adiantum capillus-veneris (Bouma, 2008) dan pertama kali dideskripsikan oleh Linnaeus (1753). Adiantum dapat dikenali melalui beberapa ciri, antara lain tangkai daunnya hitam mengkilat, tulang daunnya tidak nyata dan adanya indusium semu yang melindungi sporangium di permukaan bagian bawah helaian daunnya (Hoshizaki, 1970). Indusium semu pada Adiantum merupakan pelebaran tepi daun yang melekuk ke bawah dan bukan berupa selaput pelindung sejati seperti halnya pada marga Lindsaea (Jones, 1998). Adiantum berukuran antara 30-120 cm dan sebagian besar diantaranya sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan namun terdapat juga jenis yang tahan (Hoshizaki and Moran, 2002). Adiantum banyak dijumpai tumbuh di tempat yang lembab seperti halnya tumbuhan paku lainnya. Adiantum tidak menyukai sinar matahari langsung ataupun tempat yang berangin karena daunnya yang tipis mudah kering dan terbakar (Hoshizaki, 1970).
6
2.2 Klasifikasi Marga Adiantum Marga Adiantum sempat digolongkan ke dalam beberapa suku yaitu Adiantaceae, Parkeriaceae dan Polypodiaceae (Afriastini, 2003), sebelum akhirnya ditetapkan sebagai anggota dari suku Pteridaceae bersama marga lainnya yang juga tidak memiliki indusium sejati (Smith et al., 2006; Christenhusz et al., 2011). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa marga ini membutuhkan revisi taksonomi yang lebih seksama karena tumbuhan paku Vittarioid (Ananthacorus, Anetium, Antrophyum, Haplopteris, Hecistopteris, Monogramma, Polytaenium, Radiovittaria, Rheopteris, Scoliosorus dan Vittaria) bersarang dalam marga Adiantum dan diperlakukan sebagai satu Subfamily Vittarioideae (Schuettpelz et al., 2007; Schuettpelz and Pryer, 2007; Bouma, 2008; Christenhusz et al., 2011). Studi terkini menggunakan kombinasi tiga penanda (atpA, atpB, rbcL) dan lima penanda (atpA, atpB, rbcL, trnL-F, rps4-trnS) (Lu et al., 2012) serta enam penanda (atpA, atpB, rbcL, atp1, nad5, gapCp) (Rothfels and Schuettpelz, 2013) membuktikan bahwa Adiantum adalah monofiletik. Vittarioid adalah kerabat terdekat bagi Adiantum yang kemudian bersama-sama membentuk klad Adiantoid (Lu et al., 2012; Rothfels and Schuettpelz, 2013). Penggolongan di dalam marga Adiantum sendiri telah dilakukan berdasarkan karakter morfologi (Ching, 1957; Tryon and Tryon, 1982). Studi terkini melalui pendekatan molekuler (Bouma, 2008; Lu et al., 2012) menghasilkan pengelompokan yang ternyata tidak sesuai dengan penggolongan berdasarkan karakter morfologi tersebut. Hingga kini belum ada revisi menyeluruh dan klasifikasi subgenerik terbaru yang menyatukan berbagai hasil penelitian dalam
7
marga Adiantum (Lellinger and Prado, 2001; Afriastini, 2003; Korpelainen et al., 2005; Bouma, 2008) karena kebanyakan masih berdasar pada studi yang bersifat regional (Lu et al., 2012).
2.3 Keanekaragaman Marga Adiantum Adiantum merupakan paku homospor yang tersebar luas terutama di daerah tropis dan subtropis (Korpelainen et al., 2005). Jumlah Adiantum di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 150-200 jenis (Afriastini, 2003), bahkan mungkin mencapai 280 jenis (Patil et al., 2013) mengingat hingga kini masih banyak Adiantum yang dipublikasikan sebagai jenis baru (Sundue et al., 2010; McCarthy and Hickey, 2011; Prado and Hirai, 2013). Angka tersebut belum termasuk hasil silangannya yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari puluhan karena banyak jenis Adiantum yang dibudidayakan secara luas sebagai tanaman hias dalam dan luar ruangan (Rukmana, 1997). Keanekaragaman jenis Adiantum di beberapa wilayah telah dilaporkan, diantaranya tujuh jenis Adiantum yang tumbuh di New Zealand dan tiga jenis diantaranya merupakan jenis endemik yaitu Adiantum cunninghamii Hook., A. viridescens Col. dan A. fulvum Raoul (Large and Braggins, 1993; Bouma, 2008). Enam jenis Adiantum juga ditemukan di Fiji (Brownsey and Perrie, 2011). Jumlah Adiantum di Asia diperkirakan kurang-lebih 60 jenis (Lu et al., 2012), dan sekitar 10-20 jenis diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Afriastini, 2003). Holttum (1968) mencatat terdapat tujuh jenis Adiantum di kawasan Malaya. Lima belas jenis dilaporkan tumbuh di Vietnam (Phan, 2010) dan 18 jenis ditemukan di
8
Thailand (Boonkerd and Pollawatn, 2013). Dua puluh jenis dan dua varietas ditemukan di India (Patil et al., 2013). Delapan jenis terdapat di Jepang, satu diantaranya merupakan jenis endemik yaitu A. ogasawarense Tagawa (Iwatsuki et al., 1995). Tiga puluh empat jenis dan lima varietas ditemukan di Cina, 16 jenis diantaranya endemik (Zhang et al., 2013). Jumlah jenis Adiantum di Indonesia sendiri belum dipastikan. Adiantum bukan merupakan tumbuhan langka, namun beberapa jenis Adiantum tercatat memiliki status konservasi khusus. Adiantum lianxianense dari Cina tercatat sebagai jenis yang extinct di data IUCN tahun 2013. Data yang sama menyebutkan A. fengianum dan A. sinicum yang juga berasal dari Cina memiliki status konservasi endangered, sedangkan A. capillus-veneris yang memiliki persebaran luas dan melimpah tercatat sebagai least concern (IUCN, 2013). Beberapa jenis Adiantum dilaporkan sebagai jenis kompleks (Mehra and Khullar, 1977; Parris, 1980; Paris and Windham, 1988; Large and Braggins, 1993; Rojas-Alvarado, 2008). Jenis kompleks ini merupakan kelompok organisme yang memiliki kemiripan morfologi dan mengalami serangkaian poliploidi (Chao et al., 2012). Kemiripan morfologi yang terjadi pada jenis kompleks misalnya Adiantum pedatum L. membuat identifikasi secara tepat di lapangan kadang sulit untuk dilakukan (Ruesink, 2001). Sulitnya membedakan satu jenis dengan jenis yang lain secara pasti karena adanya ciri-ciri yang serupa dapat menyebabkan upaya perlindungan suatu jenis menjadi terhambat. Pembuatan aturan yang tepat dan efektif akan sulit dilakukan jika nama jenis yang akan dilindungi belum dapat
9
dipastikan (Primack dkk., 1998). Selain konservasi, kepastian identitas tumbuhan juga dibutuhkan dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya genetik suatu tanaman (Arif et al., 2010). Program pemuliaan yang memanfaatkan plasma nutfah untuk memperbaiki sifat-sifat dari kultivar terpilih harus didasarkan pada determinasi yang akurat sehingga penentuan individu tanaman sebagai bahan dalam perbaikan genetik dapat dilakukan dengan tepat (Karsinah dkk., 2002). Poliploidi yang kerap terjadi pada jenis kompleks juga dialami oleh 56,596,7% marga Adiantum (Bidin, 1983; Perwati, 2002). Tumbuhan paku memang menunjukkan frekuensi jenis poliploid yang tinggi (95%) dan berpotensi menimbulkan bentuk morfologi yang baru hingga mengakibatkan terjadinya 31% spesiasi (Quintanilla and Escudero, 2006; Peredo et al., 2011; Chao et al., 2012). Poliploidi ini diperlukan untuk menurunkan tekanan akibat inbreeding serta meningkatkan heterozigositas (Peredo et al., 2011).
2.4 Marga Adiantum di Kepulauan Sunda Kecil Penelitian mengenai Adiantum di Indonesia belum banyak dilakukan meski Adiantum merupakan jenis yang cukup menguntungkan secara komersial di antara jenis tumbuhan paku lainnya. Data mengenai keanekaragaman dan penyebaran jenis-jenis Adiantum di Indonesia juga belum tersedia. Catatan mengenai keberadaan jenis-jenis Adiantum di Indonesia antara lain dapat diketahui dari spesimen herbarium yang telah menjadi koleksi di Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Jenis-jenis Adiantum koleksi Herbarium Bogoriense tersebut antara lain berasal dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
10
Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Seram, Maluku, Halmahera, Sumba, Timor dan Papua (Data Spesimen Koleksi Herbarium Bogoriense, Juni 2012). Keberadaannya yang tersebar di banyak pulau membuat studi mengenai marga Adiantum menjadi lebih rumit dan membutuhkan waktu. Kepulauan Sunda Kecil yang meliputi kawasan Bali dan Nusa Tenggara merupakan salah satu kawasan yang belum banyak terungkap keanekaragaman floranya, yang dikuatkan dengan belum banyaknya data-data flora dari daerah ini (Sulistiarini, 2000). Studi mengenai flora yang dilakukan di Kepulauan Sunda Kecil memang belum sebanyak yang telah dilakukan di daerah lain di kawasan Malesia (Kurniawan et al., 2013). Daerah dengan pulau-pulau kecil yang terletak di bagian timur ini cukup berbeda dengan daerah lain yang ada di Indonesia, iklimnya lebih kering dan terpengaruh musim sehingga menghasilkan flora maupun fauna yang khas (de Lang, 2011). Sebagian dari kawasan Kepulauan Sunda Kecil juga masuk ke dalam kawasan Wallacea yang dikenal memiliki tipe flora yang unik dengan tingkat endemisitas yang tinggi (Metusala, 2011). Penyusunan data keanekaragaman dan hubungan kekerabatan jenis-jenis Adiantum di Kepulauan Sunda Kecil ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam melakukan studi mengenai marga Adiantum di Indonesia. Informasi mengenai keberadaan Adiantum di Kepulauan Sunda Kecil diperoleh dari publikasi oleh Posthumus (1944). Jenis-jenis yang ditemukan di kawasan tersebut adalah Adiantum capillus-veneris L., A. caudatum L., A. cuneatum Langsd. & Fisch., A. diaphanum Blume, A. edgeworthii Hook., A. flabellulatum L., A. hispidulum Sw., A. philippense L., A. pulchellum Blume, A.
11
soboliferum Wall. dan A. tinctum Moore. Spesimen herbarium dari jenis-jenis tersebut disimpan sebagai koleksi dari Herbarium Bogoriense. Informasi mengenai keberadaan jenis-jenis Adiantum di Kepulauan Sunda Kecil juga dapat diperoleh dari Data Registrasi Tanaman Koleksi UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI (Juli, 2012). Beberapa jenis Adiantum asal Kepulauan Sunda Kecil yang telah dikoleksi maupun yang masih berada dalam tahap aklimatisasi di Kebun Raya Bali antara lain A. caudatum L., A. concinnum Humb. & Bonpl. ex Willd., A. diaphanum Blume, A. edgeworthii Hook., A. hispidulum Sw., A. peruvianum Klotzsch, A. philippense L., A. raddianum C. Presl., A. silvaticum Tindale dan A. trapeziforme L. Beberapa koleksi lainnya belum teridentifikasi.
2.5 Penanda Molekuler Penanda (marker) merupakan suatu karakter yang digunakan untuk melacak suatu individu, jaringan, sel, kromosom atau gen. Penanda ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu penanda morfologi dan penanda molekuler. Penanda morfologi (disebut juga penanda fenotip) merupakan karakter pembeda yang dapat dilihat dengan mata secara langsung sehingga merupakan cara yang paling mudah dan paling cepat dalam mengidentifikasi suatu tumbuhan (Bagali et al., 2010). Penggunaan karakter ini tidak membutuhkan teknologi yang mahal, namun memiliki kekurangan yaitu karakter morfologi kerap memiliki variasi ( phenotypic plasticity) (Mondini et al., 2009). Hal ini menyebabkan penggunaan karakter morfologi dalam identifikasi lapangan secara tepat kadang sulit untuk dilakukan.
12
Kemiripan morfologi seperti yang terjadi pada jenis kompleks juga menjadi penyebab sulitnya membedakan satu jenis dengan jenis yang lain secara pasti karena adanya ciri-ciri yang mirip, seperti yang dialami oleh beberapa jenis Adiantum (Mehra and Khullar, 1977; Paris and Windham, 1988; Large and Braggins, 1993; Rojas-Alvarado, 2008). Perbedaan antara satu jenis tumbuhan dengan jenis tumbuhan lainnya juga kadang terletak pada materi genetik tumbuhan tersebut yaitu DNA (Semagn et al., 2006). Perbedaan yang terdapat pada rangkaian DNA ini dapat digunakan untuk membedakan jenis yang secara morfologi terlihat hampir sama (Primack dkk., 1998). Variasi genetik tersebut dapat diketahui melalui analisis molekuler yang terdiri dari berbagai penanda molekuler DNA, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai tingkatan variasi genetik pada jenis atau populasi tanpa adanya pengaruh langsung dari faktor lingkungan (Mondini et al., 2009). Penanda molekuler merupakan fragmen sekuen DNA yang berhubungan dengan bagian genom pembawa gen yang bertanggung jawab terhadap suatu karakter tertentu (Bagali et al., 2010). Penanda molekuler ini bekerja dengan cara memberi tanda bagian sekuen DNA yang mengalami polimorfisme dari individu yang berlainan. Perbedaan tersebut meliputi insersi, delesi, translokasi, duplikasi dan mutasi titik. Penanda molekuler ini bersifat stabil, dapat terdeteksi pada semua jaringan tanpa dipengaruhi oleh status pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan maupun sistem pertahanan sel serta dapat diaplikasikan pada bagian manapun dari genom (intron, ekson maupun daerah regulasi), dapat
13
membedakan polimorfisme yang tidak menghasilkan variasi yang nampak secara fenotip dan tidak dipengaruhi langsung oleh lingkungan (Mondini et al., 2009). Penanda molekuler telah banyak ditemukan, misalnya SSRs (Simple Sequence Repeats) atau mikrosatelit, AFLP (Amplified Fragment Lenght Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan masih banyak lagi, namun belum ada yang dapat memenuhi semua keinginan peneliti. Penanda yang dipilih biasanya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan dan hasil analisis akan dipengaruhi oleh teknik yang digunakan. Idealnya, suatu penanda molekuler harus mudah diaplikasikan pada berbagai organisme, membutuhkan sedikit sampel jaringan atau DNA serta memiliki cara kerja yang sederhana, murah dan cepat pelaksanaannya. Penilaian yang dilakukan juga tidak membingungkan ataupun mudah berubah, profil genetik yang dihasilkan harus dapat dipercaya dan dapat diulang, bersifat kodominan serta menghasilkan polimorfisme yang tinggi agar kromosom yang membawa gen mutan dapat dibedakan dari kromosom dengan gen normal (Semagn et al., 2006; Mondini et al., 2009; Kumar et al., 2009; Arif et al., 2010; Bagali et al., 2010). Teknik molekuler telah diaplikasikan pada gen yang spesifik dalam upaya meningkatkan pemahaman mengenai aksi gen, peta genetik dan pengembangan teknologi transfer gen. Teknik molekuler juga memegang peranan penting dalam studi filogeni dan evolusi suatu jenis serta digunakan dalam meningkatkan pemahaman mengenai distribusi dan variasi genetik di antara dan antar jenis (Mondini et al., 2009). Data molekuler yang diperoleh dari hasil analisis terhadap
14
karakter genetik ini menjadi pilihan utama dalam studi sistematika karena menghasilkan lebih sedikit homoplasi dibandingkan dengan karakter morfologi, merupakan indikator yang lebih nyata untuk filogeni serta menyediakan lebih banyak karakter yang obyektif (Pryer et al., 1995). Penanda molekuler yang telah digunakan dalam beberapa penelitian pada marga Adiantum antara lain ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat). ISSR merupakan suatu teknik yang melibatkan penggunaan sekuen mikrosatelit (bisa di/tri/tetra/penta-nukleotida, dengan panjang antara 16 bp – 25 bp) sebagai primer dalam reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mengamplifikasi bagian di antara sekuen mikrosatelit yang berulang tersebut. ISSR merupakan metode sederhana dan cepat yang menggabungkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki metode SSRs (Simple Sequence Repeats), AFLP (Amplified Fragment Lenght Polymorphism) dan RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). ISSR merupakan penanda dominan yang menunjukkan polimorfisme yang tinggi dan dapat digunakan dalam studi keanekaragaman genetik, filogeni, penandaan gen, pemetaan genom dan biologi evolusi (Reddy et al., 2002). Korpelainen et al. (2005) menggunakan ISSR untuk menganalisis tingkatan dan pola variasi genetik dari empat jenis Adiantum (Adiantum hispidulum, A. incisum, A. raddianum dan A. zollingeri) dari India Selatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa keempat jenis tersebut terpisah secara genetik. Variasi genetik yang ditemukan pada antar jenis dan antar populasi dalam masing-masing jenis tersebut cukup rendah dan ditemukan lebih tinggi pada jenis yang sama dalam satu populasi.
15
Penanda molekuler lain yang juga telah diaplikasikan pada marga Adiantum adalah RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA). RAPD umumnya menggunakan primer dengan panjang 10 bp pada suhu annealing 34 - 37°C (Semagn et al., 2006). Primer ini mendeteksi polimorfisme dari ketiadaan informasi sekuen nukleotida tertentu. RAPD merupakan penanda yang bersifat dominan sehingga tidak bisa membedakan segmen DNA yang diamplifikasi bersifat heterozigot atau homozigot (Arif et al., 2010). RAPD telah digunakan untuk mengetahui variasi genetik pada jenis langka Adiantum reniforme var. sinense yang berasal dari empat populasi di Cina. Hasil analisis menunjukkan bahwa A. reniforme var. sinense memiliki aliran gen yang tinggi dan keanekaragaman genetik yang rendah sehingga keempat populasi tersebut diduga berasal dari satu populasi utuh yang mengalami perpecahan menjadi empat populasi yang berdiri sendiri dan tidak saling berhubungan akibat aktivitas manusia. Dendrogram menunjukkan individu dari populasi yang berbeda mengelompok bersama sehingga diduga bahwa aliran gen yang tinggi di antara populasi sebenarnya merupakan aliran gen dalam populasi yang sama (Liu et al., 2007).
2.6 Sekuensing DNA Keanekaragaman genetik organisme juga dapat diketahui dengan menguraikan sekuen DNA organisme tersebut menggunakan DNA Sequencing Machines atau DNA Sequencer (Frankham et al., 2010). Sekuen DNA menyediakan informasi yang cukup akurat sehingga sangat berguna sebagai penanda molekuler. Sekuen
16
DNA merupakan urutan basa nukleotida A (Adenine), G (Guanine), C (Cytosine) dan T (Thymine) yang terdapat pada DNA molekul target. Saat ini, teknik dyeterminator sequencing merupakan metode standar dalam analisis sekuen DNA. Dye-terminator sequencing menggunakan pelabelan rantai ddNTPs (dideoxy nucleotide triphosphates) yang menyebabkan sekuen terjadi pada satu reaksi, bukan pada empat reaksi seperti pada metode pelabelan primer sebelumnya. Keempat rantai ddNTPs pada dye-terminator sequencing dilabel dengan pewarna fluoresen, masing-masing dengan panjang gelombang pancaran yang berbeda (Arif et al., 2010). Keuntungan utama dari sekuensing DNA ini adalah kekuatan dan ketelitiannya yang mencapai lebih dari 98%, namun teknik ini juga memiliki kekurangan antara lain ketidakmampuannya untuk mengatasi rangkaian nukleotida yang panjang (lebih dari 900 nukleotida pada fragmen DNA dalam satu reaksi) (Arif et al., 2010). Sekuen DNA dapat digunakan dalam berbagai aplikasi termasuk untuk mendeteksi variasi dan mutasi, identifikasi biologi, studi ekspresi gen dan de novo sequencing dari genom (Applied Biosystems, 2009). Keseluruhan genom dari berbagai jenis organisme kini telah banyak disekuen dan analisis terhadap genom tersebut telah menyediakan metode baru dalam memahami sejarah dan biologi organisme tersebut (Frankham et al., 2010). Teknik sekuensing DNA telah digunakan untuk mendapatkan sekuen nukleotida yang lengkap dari genom kloroplas pada Adiantum capillus-veneris L. Genom kloroplas berbentuk sirkular dari jenis ini diketahui sebesar 150.568 bp dengan large single-copy region (LSC) sebesar 82.282 bp, small single-copy
17
region (SSC) 21.392 bp dan inverted repeats (IR) 23.447 bp (Gambar 2.2) (Wolf et al., 2003).
Gambar 2.2 Peta Gen dari Genom Kloroplas Adiantum capillus-veneris L. Keterangan : Garis tebal menunjukkan inverted repeat (IR) yang memisahkan large single-copy region (LSC) dengan small single-copy region (SSC). Asterik menandai gen yang mengandung intron (Wolf et al., 2003).
Saat ini DNA kloroplas merupakan sumber data yang paling umum digunakan dalam analisis filogenetik tumbuhan secara molekuler baik dalam bentuk situs
18
restriksi maupun analisis sekuen DNA (Small et al., 2004). DNA kloroplas merupakan molekul DNA sirkular yang ditemukan pada kloroplas tanaman (Frankham et al., 2010), bersifat stabil secara struktur, haploid, non-rekombinan dan pada sebagian besar tumbuhan diwariskan dari induk betina (Small et al., 2004). DNA kloroplas juga dapat dimanfaatkan untuk studi populasi tanaman, deteksi hibridisasi, analisis keanekaragaman genetik maupun filogeografi populasi tanaman (Mondini et al., 2009). Sekuen DNA kloroplas banyak digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar jenis pada Angiospermae dan tumbuhan lainnya, namun lambatnya laju evolusi pada molekul ini merupakan kekurangan untuk mengetahui hubungan kekerabatan di dalam jenis (Taberlet et al., 1991). Pemanfaatan DNA kloroplas dalam analisis molekuler terbukti cukup kuat pada tingkat suku melalui penggunaan sekuen daerah pengkode misalnya rbcL (the rubisco large subunit) (Arif et al., 2010). rbcL berukuran lebih dari 1.400 bp (Avise, 2001) dan merupakan gen pengkode sub unit besar dari ribulose 1,5biphosphate carboxylase/oxygenase (rubisco) yang terletak di large single-copy region dari genom kloroplas yang jarang mengalami insersi maupun delesi (Soltis and Soltis, 1998). Gen rbcL bersama dengan matK (megakaryocyte-associated tyrosine kinase) telah ditetapkan sebagai dua lokus plastid standar yang digunakan dalam penyusunan barkode DNA untuk semua tumbuhan darat oleh the Consortium for the Barcode of Life (CBOL) (de Groot et al., 2011; Li et al., 2011). Gen matK banyak digunakan pada Angiospermae, namun jarang digunakan di kelompok tumbuhan lainnya (Soltis and Soltis, 1998). Data matK pada tumbuhan paku sulit
19
untuk diperoleh. Bagian dari genom kloroplas ini mengalami evolusi yang cukup cepat dibandingkan dengan gen lainnya (de Groot et al., 2011) dan pada kelompok tumbuhan tertentu pemanfaatan matK sebagai penanda akan membutuhkan desain sekuen primer khusus (Soltis and Soltis, 1998). Gen rbcL merupakan plastid pengkode yang paling banyak disimpan dalam GenBank. Penggunaan rbcL dianggap telah mewakili seluruh kelompok tumbuhan utama secara luas sehingga dapat digunakan sebagai dasar perbandingan yang baik dengan gen plastid lainnya (Newmaster et al., 2006). Data sekuen rbcL banyak digunakan untuk tingkatan taksonomi yang lebih tinggi (suku ke atas) (Soltis and Soltis, 1998), namun pada tumbuhan paku sekuen rbcL telah diaplikasikan hingga tingkat marga dan jenis karena rbcL dianggap memiliki variasi yang cukup untuk dapat digunakan dalam membedakan antar jenis (Wolf, 1995; Newmaster et al., 2006). Sekuen rbcL juga umum digunakan untuk mengetahui hubungan antar marga bahkan antar jenis pada tumbuhan paku (Soltis and Soltis, 1998). Daerah yang paling bervariasi pada tumbuhan paku adalah trnL-F (Li et al., 2011). trnL-F merupakan daerah yang terbentang dari trnL (UAA) 5’ ekson hingga trnF (GAA) (Adjie et al., 2008). Gen plastid trnL (UAA) dan trnF (GAA) merupakan gen pengkode RNA transfer dan di antara kedua gen tersebut terdapat sekitar 1.000 bp sekuen daerah non-pengkode (intron dari trnL (UAA) dan intergenic spacer (IGS) dari trnL-trnF (GAA)) (Gambar 2.3) (Holt et al., 2005).
20
Gambar 2.3 Bagian-Bagian pada Daerah trnL-F Keterangan : Daerah trnL-F yang terbentang dari trnL (UAA) 5’ ekson hingga trnF (GAA) dan dua daerah non-pengkode diantaranya (intron dan intergenic spacer (IGS)) serta primer universal yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah tersebut (c-f) (Taberlet et al., 1991).
Daerah non-pengkode tersebut merupakan daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi paling tinggi dan mudah diamplifikasi maupun disekuen secara langsung karena ukurannya yang tidak terlalu panjang (Taberlet et al., 1991). Daerah non-pengkode pada genom kloroplas ini dianggap lebih sesuai untuk studi filogenetik mulai dari tingkatan di dalam jenis hingga antar suku dibanding plastid non-pengkode lainnya (Tsai et al., 2006). Daerah trnL-F (intron dan IGS) ini dapat menghubungkan banyak sekuen melalui perbandingan basis data di tingkat marga pada hampir seluruh keturunan tumbuhan darat. trnL-F IGS juga lebih sesuai untuk identifikasi jenis pada tumbuhan paku dibandingkan dengan rbcL (Li et al., 2009). Daerah trnL-F ini diharapkan dapat menjadi pengganti matK dan kombinasinya dengan gen rbcL akan memenuhi kualitas yang dibutuhkan untuk
21
membentuk barkode yang kuat bagi identifikasi jenis pada tumbuhan paku (de Groot et al., 2011). Lima daerah DNA kloroplas yaitu atpA, atpB, rbcL, trnL-F serta rps4-trnS telah digunakan dalam analisis hubungan filogenetik berbagai jenis Adiantum yang berasal dari Cina. Penelitian ini juga memanfaatkan data sekuen jenis-jenis Adiantum dari kawasan lain yang diperoleh dari GenBank. Hasil analisis pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa Adiantum terbukti monofiletik dan mengalami evolusi konvergen pada bentuk entalnya. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa semua jenis Adiantum dari daerah beriklim sedang (Asia, Eropa dan Amerika Utara) membentuk satu klad yang bersarang di dalam grade pantropikal, mengindikasikan bahwa Adiantum berasal dari daerah tropis (Lu et al., 2012).
22
BAB III. KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Adiantum (suplir), salah satu marga tumbuhan paku dari suku Pteridaceae diketahui memiliki banyak potensi, namun di Indonesia belum banyak diteliti sehingga informasi mengenai marga ini masih terbatas. Kawasan Kepulauan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) dipilih sebagai langkah awal dalam melakukan studi mengenai marga Adiantum di Indonesia berdasar pada publikasi Posthumus (1944) mengenai jenis-jenis Adiantum yang ditemukan di daerah tersebut. Karakter genetik khususnya urutan basa nukleotida pada daerah gen rbcL dan trnL-F yang dapat diketahui dengan cara menguraikan sekuen DNA-nya, digunakan
untuk
kekerabatannya.
mengungkap
keanekaragaman
genetik
dan
hubungan
23
Adiantum (Pteridaceae) Indonesia : penelitian terbatas, publikasi kurang, informasi belum tersedia. Langkah awal studi : Kepulauan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) Karakter genetik : sekuens rbcL dan trnL-F 1. Keanekaragaman 2. Hubungan kekerabatan Gambar 3.1 Kerangka Berpikir dalam Penelitian Ini
3.2 Konsep Penelitian Konsep dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman dan hubungan kekerabatan marga Adiantum dari kawasan Kepulauan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) menggunakan analisis molekuler. Analisis molekuler ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih dalam mengenai variasi yang mungkin tidak nampak secara morfologi dan mengungkap sejarah hubungan antar jenis pada marga Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil.
24
KOLEKSI SAMPEL : Pengambilan sampel dari tanaman koleksi yang ada di UPT BKT Kebun Raya ”Eka Karya” Bali – LIPI berupa : 1. Jenis-jenis Adiantum asal : Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Timor, Jawa 2. Kerabat dekat Adiantum (Vittaria dan Antrophyum) asal Bali, Lombok, Sumbawa, Jawa, Seram Hasil : Daun muda.
ANALISIS MOLEKULER : Ekstraksi DNA Hasil : cpDNA, nDNA, mtDNA Elektroforesis 1 Hasil : Pita-pita total DNA Amplifikasi DNA (PCR) Hasil : Gen rbcL dan trnL-F Elektroforesis 2 Hasil : Pita-pita gen rbcL dan trnL-F Pemurnian Produk PCR Hasil : Gen rbcL dan trnL-F Cycle Sequencing Hasil : A T G C Sekuensing DNA Hasil : Kromatogram Gambar 3.2 Konsep Penelitian
ANALISIS FILOGENETIK : Analisis Filogenetik Hasil : Kladogram
25
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2012 hingga April 2013. Jenis-jenis Adiantum dan kerabat dekatnya yang digunakan sebagai sampel (Lampiran 1) merupakan koleksi UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali – LIPI, Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali yang berasal dari Kepulauan Sunda Kecil (Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba dan Timor), Jawa dan Seram (Lampiran 2). Sampel dibuat herbariumnya dan spesimen herbarium disimpan di The Hortus Botanicus Baliense (THBB), UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali – LIPI. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan spesimen sampel dengan spesimen herbarium yang merupakan koleksi Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta – Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Bogor, Jawa Barat. Karakterisasi secara genetik (analisis molekuler) dilakukan di Laboratory of Plant Systematics, Department of Biology, Graduate School of Science, Chiba University, 1-33 Yayoi-cho, Inage-Ku, Chibashi, 263-8522, Jepang.
4.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dibatasi pada analisis filogenetik yang dilakukan terhadap jenisjenis Adiantum yang berasal dari beberapa lokasi di Kepulauan Sunda Kecil
26
(Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba dan Timor) pada gen rbcL dan trnL-F (daerah dari trnL (UAA) 5’ ekson hingga trnF (GAA)).
4.3 Penentuan Sumber Data Sampel berupa daun muda yang telah terbuka sepenuhnya. Sampel bersumber dari tanaman koleksi UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali – LIPI, yaitu jenis-jenis Adiantum yang berasal dari beberapa lokasi di Kepulauan Sunda Kecil (Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba dan Timor) dan Pulau Jawa, serta tumbuhan paku jenis lain yang masih berkerabat dekat dengan Adiantum yaitu Vittaria dan Antrophyum dari Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Jawa dan Seram yang digunakan sebagai outgroup (Lampiran 3.).
4.4 Variabel Penelitian Variabel bebas berupa jenis-jenis Adiantum dan kerabat dekatnya yaitu Vittaria dan Antrophyum, sedangkan variabel tergantung berupa sekuen basa nukleotida yang dapat diamati sebagai peak-peak pada kromatogram dengan warna yang berbeda (Adenine hijau, Thymine merah, Guanine hitam, Cytosine biru).
4.5 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan berupa sampel daun (Adiantum, Vittaria dan Antrophyum) yang sudah dikeringkan, ethanol (CH2H5OH) 70% dan 100%, 2xCTAB extraction buffer (Lampiran 4.), mercaptoethanol (HSCH2CH2OH),
27
kloroform (CHCl3), isoamylalkohol (C5H12O), isopropanol ((CH3)2CHOH), TE buffer (Lampiran 4.), sodium acetate (NaOAc3.H2O), TAE buffer (Lampiran 4.), agarose gel, ethidium bromide (C21H20BrN3), 6xLoading Buffer Triple Dye (Wako, Osaka, Jepang), distilled deionized water, фX174 DNA-HaeIII Digest (TaKaRa Bio, Shiga, Jepang), DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Tokyo, Jepang), PCR Kit (TaKaRa Bio, Shiga, Jepang), primer (rbcL aF, rbcL cR, trnL-F cF dan trnL-F fR) (Fasmac, Kanagawa, Jepang), ExoSAP-IT® PCR Product Cleanup (Affymetrix, Cleveland, Ohio, USA), BigDye Terminator v3.1 Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems, Foster City, California, USA), sodium hydroxide (NaOH), formamide (CH3NO) dan es.
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlengkapan pembuatan herbarium (gunting stek, kertas label, kertas koran, sasak, tali, heating oven (Binder Gmbh, Tuttlingen, Germany), mounting paper), kantong teh, silica gel, plastik kedap udara, peralatan ekstraksi DNA (TissueLyser System (Qiagen, Tokyo, Jepang) yang terdiri dari mixer mill MM 300, adapter set 2 x 24 dan carbide bead), micropippet, microtube, vortex, rotor, sentrifuge, freezer, vaccum pump), PCR thermal cycler dice™ (TaKaRa Bio, Shiga, Jepang), electrophoresis apparatus, UV Transilluminator dengan kamera CCD (charge-coupled device) dan ABI 3500 Genetic Analyzer (Applied Biosystems, Foster City, California, USA).
28
4.7 Prosedur Penelitian
Spesimen
Daun muda
Daun dewasa
Ekstraksi DNA
Herbarium
Elektroforesis 1 Amplifikasi DNA (PCR) Elektroforesis 2 Pemurnian produk PCR Cycle Sequencing Sekuensing DNA Analisis filogenetik
4.7.1 Pembuatan Herbarium Pembuatan herbarium mengacu pada metode Sardiwinata dkk. (2008) yang telah dimodifikasi. Material herbarium dipilih yang lengkap (daun dewasa yang telah memiliki sporangium atau seluruh bagian tanaman jika memungkinkan) dan dalam kondisi yang baik (tidak robek, terkena penyakit atau hama). Material herbarium yang dikoleksi diberi label (nama dan asal tanaman, nomor kolektor, nomor akses serta tanggal pengambilan), selanjutnya disusun rapi pada lembaran kertas koran agar daun tidak terlipat serta diatur agar permukaan bagian atas dan bagian bawah pada satu helai
29
daun bisa ditampilkan. Kertas koran ditutup dan ditumpuk menjadi satu. Bagian atas dan bawah tumpukan koran berisi spesimen diberi kertas karton, lalu dijepit pada sasak di kedua sisinya dan diikat dengan tali. Spesimen selanjutnya dikeringkan menggunakan oven bersuhu 33°C selama 5-7 x 24 jam. Spesimen yang telah kering disusun di atas mounting paper. Bagian tangkai daun direkatkan pada kertas dengan cara diikat dan data spesimen ditempel di sebelah kanan bawah kertas (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Spesimen Herbarium Keterangan : Contoh spesimen herbarium yang dibuat dari salah satu sampel (Adiantum silvaticum Tindale (BA808)).
30
4.7.2 Identifikasi Spesimen Spesimen diidentifikasi dengan menggunakan literatur (Holttum, 1968; Piggott, 1996; Jones, 1998; Hoshizaki and Moran, 2002; Matsumoto et al., 2008) dan membandingkan spesimen dengan koleksi herbarium.
4.7.3 Koleksi Sampel untuk Analisis Molekuler Daun muda dari masing-masing sampel diambil, disimpan dalam kantong teh dan ditempatkan dalam plastik kedap udara yang telah diberi silica gel untuk keperluan ekstraksi DNA.
4.7.4 Ekstraksi DNA 4.7.4.1 Ekstraksi DNA dengan CTAB Ekstraksi DNA sampel dilakukan menggunakan metode CTAB (Doyle and Doyle, 1987) yang dimodifikasi. Sampel daun yang telah kering (30-50 mg) dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan diberi carbide bead. Sampel dihaluskan menggunakan TissueLyser System (Qiagen, Tokyo, Jepang)) selama 2 menit pada kecepatan 25 goyangan/detik sebanyak tiga kali hingga berbentuk seperti bubuk. Sampel yang telah menjadi bubuk ditambah dengan 800 µl 2xCTAB extraction buffer dan 16 µl mercaptoethanol kemudian dihomogenkan menggunakan vortex. Sampel diinkubasi (55ºC, 2 jam) dan selama inkubasi sampel dibolak-balik tiap setengah jam. Setelah inkubasi, sampel ditambah
31
dengan 800 µl campuran kloroform : isoamylalkohol (24 : 1) dan dihomogenkan menggunakan rotor pada kecepatan 80% selama 10 menit. Sampel selanjutnya disentrifugasi (13.000 rpm, 25ºC, 10 menit). Supernatan yang terbentuk diambil sebanyak 700 µl dan dipindahkan ke tabung mikro 2 ml yang baru tanpa mengenai lapisan tengah larutan sampel. Sampel ditambahkan kembali dengan 800 µl campuran kloroform : isoamylalkohol (24 : 1) dan disentrifugasi (13.000 rpm, 25ºC, 10 menit) lagi. Supernatan yang terbentuk diambil sebanyak 500 µl dan dipindahkan ke tabung mikro 2 ml yang baru, kemudian ditambah dengan isopropanol (⅔ volume). Sampel dibolak-balik dengan tangan dan selanjutnya diinkubasi (4ºC, 18 jam). Setelah inkubasi, sampel disentrifugasi (13.000 rpm, 4ºC, 10 menit) hingga pelet DNA dapat terlihat menempel di bagian dasar tabung mikro. Cairan pada tabung mikro dibuang dan tabung mikro dibalik di atas kertas tissue untuk membuang cairan yang tersisa. Sampel ditambah dengan 400 µl TE Buffer. Tabung mikro diketuk-ketuk perlahan agar DNA yang menempel di bagian dasar tabung dapat larut dan kemudian sampel diinkubasi (60ºC, 10 menit). Setelah inkubasi, sampel ditambah dengan 1.000 µl ethanol 100% dan 40 µl 3M sodium acetate. Sampel dibolak-balik, kemudian diinkubasi kembali (-30ºC, 2 jam). Setelah inkubasi, sampel disentrifugasi (13.000 rpm, 3ºC, 10 menit). Setelah sentrifugasi, cairan dibuang dan sampel ditambah dengan ethanol 70% sebanyak 400 µl. Sampel disentrifugasi kembali (13.000 rpm, 3ºC, 10 menit) dan setelah sentrifugasi cairan dibuang. Sampel ditambah dengan 400 µl
32
ethanol 70% dan disentrifugasi lagi (13.000 rpm, 3ºC, 10 menit). Setelah sentrifugasi cairan dibuang dan pelet dikeringkan dengan vaccum pump. Sampel ditambah dengan 100 µl TE Buffer dan diinkubasi (60ºC, 10 menit). Hasil ekstraksi selanjutnya dielektroforesis (4.7.5) untuk melihat fragmen DNA total yang diperoleh. Jika hasil ekstraksi bagus, selanjutnya dibuat template DNA dengan cara memasukkan 90 µl TE Buffer ke dalam tabung mikro 1,5 ml dan ditambah dengan 10 µl sampel DNA, kemudian diaduk perlahan dengan micropipet. Sisa DNA total maupun template DNA selanjutnya dapat disimpan di suhu -30ºC.
4.7.4.2 Ekstraksi DNA dengan DNeasy Plant Mini Kit Elektroforesis terhadap DNA total beberapa sampel yang diekstraksi menggunakan metode CTAB menunjukkan hasil pita yang kurang jelas sehingga kemudian dilakukan ekstraksi ulang menggunakan DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Tokyo, Jepang) (Lampiran 5.). Sampel tersebut adalah Adiantum concinnum Humboldt & Bonpland ex Willdenow (SH1129), A. silvaticum Tind. (BA808 dan Drapemmu 103), A. capillus-veneris L. (WN154), A. tenerum Swartz (WN113), Antrophyum callifolium Blume. (WN146 dan DEE37), Antrophyum sp. (RS54) dan Vittaria zosterifolia Willd. (SO002). Sampel daun yang telah kering (30-50 mg) dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan diberi carbide bead. Sampel dihaluskan menggunakan
33
TissueLyser System (Qiagen, Tokyo, Jepang) selama 2 menit pada kecepatan 25 goyangan/detik sebanyak tiga kali hingga berbentuk seperti bubuk. Sampel ditambah dengan 400 µl Buffer AP1 (Lysis Buffer) dan 4 µl RNAse, kemudian dicampur dengan vortex. Sampel diinkubasi (65ºC, 20 menit) dan setiap 5 menit dibolak-balik. Buffer AP2 (Precipitation Buffer) ditambahkan pada sampel sebanyak 130 µl, kemudian tabung dibolak-balik agar larutan tercampur dan selanjutnya sampel diinkubasi di es batu (5 menit). Sampel disentrifugasi pada kecepatan 14.000 rpm (25ºC, 5 menit). Cairan sampel diambil sebanyak 500 µl dan dimasukkan ke dalam QIA Shreder MiniSpin Column. Sampel disentrifugasi kembali pada kecepatan 14.000 rpm (25ºC, 2 menit), kemudian cairan pada sampel diambil sebanyak 450 µl dan dipindahkan ke tabung mikro 1,5 ml yang baru. Buffer AP3/E (Binding Buffer) ditambahkan sebanyak 1,5 kali volume (kurang-lebih 675 µl) dan tabung dibolak-balik agar cairan tercampur. Cairan sampel diambil sebanyak 650 µl, dimasukkan ke dalam QIA Shreder Mini-Spin Column lalu disentrifugasi (8.000 rpm, 25ºC, 2 menit). Setelah sentrifugasi semua cairan dibuang dengan cara menuang bagian bawah QIA Shreder Mini-Spin Column. Sisa cairan yang ada di tabung mikro 1,5 ml dimasukkan ke dalam QIA Shreder Mini-Spin Column yang baru dan disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm (25ºC, 2 menit). Cairan yang terdapat di bagian bawah QIA Shreder Mini-Spin Column dibuang lagi dan bagian atas QIA Shreder Mini-Spin Column dipindahkan ke collection tube yang baru. Buffer AW (Wash Buffer) ditambahkan pada
34
sampel sebanyak 500 µl dan sampel disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm (25ºC, 1 menit). Semua cairan dibuang dengan cara menuang bagian bawah QIA Shreder Mini-Spin Column. Buffer AW (Wash Buffer) ditambahkan lagi sebanyak 500 µl, kemudian sampel disentrifugasi lagi di kecepatan 14.000 rpm (25ºC, 2 menit). Setelah sentrifugasi, cairan yang ada di bagian bawah QIA Shreder Mini-Spin Column dibuang dan bagian atas QIA Shreder Mini-Spin Column dipindahkan ke tabung mikro 2 ml. Buffer AE (Elution Buffer) ditambahkan pada sampel sebanyak 100 µl dan diinkubasi di suhu ruang selama 5 menit. Selanjutnya sampel disentrifugasi di kecepatan 8.000 rpm (25ºC, 1 menit). Setelah sentrifugasi, bagian atas QIA Shreder Mini-Spin Column dibuang dan cairan yang tertampung dalam tabung mikro 1,5 ml disimpan sebagai DNA total. Hasil ekstraksi selanjutnya dielektroforesis untuk melihat fragmen DNA total yang diperoleh. Jika hasil ekstraksi bagus, selanjutnya dibuat template DNA dengan cara memasukkan 90 µl TE Buffer ke dalam tabung mikro 1,5 ml dan ditambah dengan 10 µl sampel DNA, kemudian diaduk perlahan dengan micropipet. Sisa DNA total maupun template DNA selanjutnya dapat disimpan di suhu -30ºC.
4.7.5 Elektroforesis Elektroforesis dilakukan dengan agarose gel 1% yang mengandung ethidium bromide 10 µl selama 20 menit pada tegangan 100 V. Visualisasi
35
fragmen DNA dilakukan di bawah sinar ultraviolet menggunakan alat UV Transilluminator dan kamera CCD (charge-coupled device).
4.7.6 Amplifikasi DNA (PCR) Primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA (PCR) terhadap gen rbcL (Hasebe et al., 1994) dan trnL-F (Taberlet et al., 1991) adalah :
Tabel 4.1 Primer yang Digunakan Nama Primer aF cR cF fR
Sekuen Primer (5’ – 3’) ATGTCACCACAAACAGAGACTAAAGC GCAGCAGCTAGTTCCGGGCTCCA CGAAATCGGTAGACGCTACG ATTTGAACTGGTGACACGAG
Target rbcL rbcL trnL-F trnL-F
Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan PCR Kit (TaKaRa Bio, Shiga, Jepang). PCR Master Mix (rbcL maupun trnL-F) dibuat dengan skala 25 µl untuk masing-masing sampel, terdiri dari 17,375 µl distilled deionized water, 2,5 µl 10xBuffer, 2 µl dNTP, 1 µl primer (F) 10 µM, 1 µl primer (R) 10 µM, 0,125 µl Ex – Taq dan 1 µl sampel. Prosedur amplifikasi untuk rbcL dilakukan dengan cara inkubasi (95°C, 3 menit), dilanjutkan dengan siklus 35 kali (95°C, 45 detik; 55°C, 45 detik; dan 72°C, 90 detik) dan reaksi akhir (72°C, 10 menit). Prosedur amplifikasi untuk trnL-F dilakukan dengan mengikuti protokol Taberlet et al. (1991) yaitu inkubasi (95°C, 3 menit), dilanjutkan dengan siklus 35 kali (94°C, 1 menit;
36
55°C, 1 menit; dan 72°C, 2 menit) dan reaksi akhir (72°C, 10 menit). Hasil PCR selanjutnya dielektroforesis (Lampiran 6.) untuk melihat fragmen gen rbcL dan trnL-F yang diperoleh.
4.7.7 Pemurnian Produk PCR Hasil PCR dimurnikan menggunakan ExoSAP-IT® PCR Product Cleanup (Affymetrix, Cleveland, Ohio, USA). Sampel hasil PCR dipindah ke 8-strip tube yang baru masing-masing sebanyak 10 µl dan ditambahkan 1 µl ExoSAP-IT. Cairan sampel dicampur dengan cara mengetuk pinggir tabung dan selanjutnya sampel diinkubasi (37ºC, 1,5 jam; 80ºC, 15 menit).
4.7.8 Cycle Sequencing dan Sekuensing DNA Cycle Sequencing dilakukan menggunakan BigDye Terminator v3.1 Cycle Sequencing Kit (Applied Biosystems, Foster City, California, USA). Cycle Sequencing Master Mix dibuat per primer dengan skala 10 µl untuk masingmasing sampel, terdiri dari 6,44 µl distilled deionized water, 1,98 µl 5xSequencing Buffer, 0,08 µl primer (F/R) 10 µM, 0,5 µl Big Dye dan 1 µl produk PCR. Cycle Sequencing dilakukan dengan inkubasi (96ºC, 1 menit), dilanjutkan dengan siklus 30 kali (96ºC, 10 detik; 50ºC, 5 detik; 60ºC, 4 menit) dan reaksi akhir (60ºC, 7 menit). Masing-masing sampel selanjutnya ditambah dengan 1 µl 125 mM EDTA dan 26 µl ethanol : 3 M sodium hydroxide (50 : 2). Sampel dicampur dengan
37
menggunakan vortex dan diinkubasi di suhu ruang selama 10 menit dalam kondisi gelap, kemudian disentrifugasi (12.500 rpm, 25ºC, 60 menit). Cairan dibuang dan sampel ditambah dengan 50 µl ethanol 70%, kemudian disentrifugasi kembali (12.500 rpm, 25ºC, 45 menit). Setelah sentrifugasi, cairan dibuang dan sampel diinkubasi (95ºC, 2 menit). Masingmasing sampel selanjutnya ditambah dengan formamide dan dicampur dengan vortex. Sampel kemudian diinkubasi lagi (95ºC, 3 menit) dan segera setelahnya sampel diletakkan di atas es (2-3 menit). Reaksi sekuensing selanjutnya diproses menggunakan ABI 3500 Genetic Analyzer (Applied Biosystems, Foster City, California, USA) sesuai protokol dari produsen.
4.8 Analisis Data Fragmen-fragmen sekuen dianalisis dengan perangkat lunak Sequencing Analysis (Applied Biosystems, Foster City, California, USA) dan dirangkai menggunakan Auto Assembler 2.1.1. Hasil sekuen dibandingkan dengan database yang terdapat di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Sekuen rbcL dan/atau trnL-F dari 22 spesimen diunduh dari GenBank untuk melengkapi data dan disertakan dalam analisis (Lampiran 7.). Pensejajaran sekuen dilakukan secara otomatis dengan menggunakan ClustalW (Larkin et al., 2007) yang tersedia di MEGA 5.05 (Tamura et al., 2011) dan selanjutnya disesuaikan secara manual. Analisis filogenetik terhadap sekuen rbcL dan trnL-F dilakukan secara terpisah, menggunakan metode Neighbor-Joining (NJ) dan Maximum Parsimony (MP) pada perangkat lunak MEGA 5.05. Pohon filogenetik pada metode NJ
38
direkonstruksi dengan jarak genetik mengacu pada Jukes-Cantor Model (Jukes and Cantor, 1969), sedangkan pada metode MP dikalkulasi menggunakan CloseNeighbor-Interchange (CNI) on Random Trees. Konsistensi pohon filogenetik NJ dan MP diuji dengan metode bootstrap (Felsenstein, 1985) sebanyak 1.000 kali ulangan. Nilai bootstrap yang lebih besar dari 85% menunjukkan bahwa susunan klad konsisten (peluang terjadinya perubahan susunan klad rendah). Semua karakter diberi bobot yang sama dimana insersi dan delesi dianggap sebagai data yang hilang. Topologi dengan panjang cabang rata-rata untuk semua ruas yang dihasilkan diperoleh dengan metode 50% majority-rule consensus tree (Adjie et al., 2008).
39
BAB V. HASIL PENELITIAN
5.1 Identifikasi Spesimen Tiga puluh spesimen Adiantum digunakan dalam penelitian ini dan dua spesimen diantaranya belum teridentifikasi yaitu Adiantum sp. WN118 dari Bali dan AG326 asal Sumbawa. Hasil BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa sekuen trnL-F dari Adiantum sp. WN118 memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dengan sekuen trnL-F Adiantum sp. dari Bolivia (97%). Sekuen rbcL dari spesimen ini tidak berhasil diperoleh sehingga tidak dapat dibandingkan.
Tabel 5.1 Hasil Pencarian BLAST di GenBank No.
Name of Specimens
Region
1.
Adiantum sp. WN118
trnL-F
2.
Adiantum sp. AG326
rbcL
trnL-F
Accessions JF980679 JF980684 JF980668 JF935296 JF935297 JF935317 JF980641 JF980646 JF980671
Description*
Max. Score
Total Score
Adiantum sp. A. cuneatum A. raddianum A. caudatum A. malesianum A. gravesii A .caudatum A. sinicum Adiantum sp.
1493 1410 1410 2015 2015 1905 1371 1306 1293
1493 1410 1410 2015 2015 1905 1371 1306 1293
Query Coverage (%) 96% 96% 96% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
E Value 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
* Hanya tiga jenis paling mendekati yang ditampilkan.
Hasil BLAST sekuen rbcL dari Adiantum sp. AG326 asal Sumbawa menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi dengan Adiantum caudatum dari Cina
Max. Identity (%) 97% 96% 96% 98% 98% 97% 95% 93% 93%
40
(98%). Sekuen trnL-F dari Adiantum sp. AG326 juga menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi dengan jenis yang sama (95%).
5.2 Ekstraksi, Amplifikasi dan Sekuensing DNA Total sampel (Adiantum, Antrophyum dan Vittaria) yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 37 spesimen. Elektroforesis terhadap DNA total dari sampel yang diekstraksi menggunakan metode CTAB secara umum menunjukkan hasil pita yang cukup jelas, kecuali pada beberapa sampel yaitu Adiantum concinnum Humb. & Bonpl. ex Willd. (SH1129), A. silvaticum Tind. (BA808 dan Drapemmu 103), A. capillus-veneris L. (WN154), A. tenerum Swartz (WN113), Antrophyum callifolium Blume (WN146 dan DEE37), Antrophyum sp. (RS54) dan Vittaria zosterifolia Willd. (SO002). Amplifikasi terhadap sampel-sampel tersebut juga
mengalami
kegagalan.
Ekstraksi
terhadap
sampel-sampel
tersebut
selanjutnya diulang menggunakan DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Tokyo, Jepang) hingga diperoleh pita DNA yang nampak lebih jelas (Lampiran 5.). Sekuensing terhadap produk PCR dari ke-37 spesimen yang digunakan dalam penelitian ini tidak semuanya menghasilkan sekuen yang baik dan memiliki grafik kromatogram yang jelas. Hanya 13 spesimen dari total 37 spesimen diantaranya berhasil diperoleh baik sekuen rbcL maupun trnL-F-nya. Tujuh spesimen lainnya hanya diperoleh sekuen rbcL-nya dan 17 spesimen lainnya hanya sekuen trnL-Fnya.
41
5.3 Karakteristik Sekuen Panjang sekuen rbcL yang diperoleh dari sampel Adiantum bervariasi antara 1.062 bp (Adiantum hispidulum WN157) hingga 1.380 bp (A. capillus-veneris WN154; A. hispidulum BA706; A. raddianum WN111) (Lampiran 3.). Hasil pensejajaran terhadap 40 sekuen rbcL dari Adiantum dan kerabat dekatnya (20 sekuen diantaranya diunduh dari GenBank) mengandung 740 (70%) conserved region dan 317 (30%) variable sites, 267 (25,2%) diantaranya parsimony informative. Variasi genetik terlihat pada gen rbcL baik antar jenis maupun dalam jenis karena beberapa nukleotida mengalami substitusi. Variasi genetik tersebut tidak menyebabkan terjadinya insersi maupun delesi pada jenis manapun dalam gen ini. Variasi genetik dalam jenis pada gen rbcL misalnya terjadi pada Adiantum hispidulum (Tabel 6.1) dan A. philippense (Tabel 6.2).
Tabel 6.1 Perbedaan Jenis Basa pada Urutan Nukleotida Gen rbcL Adiantum hispidulum Basa Nukleotida ke- * 445 484 795 1258 1. BA809 Sumba A T C A 2. WN157 Bali A T C A 3. WN120 Bali C C A A 4. WN144 Jawa C C A A 5. WN158 Timor C C A A 6. BA706 Timor C C A G *Urutan basa nukleotida setelah sekuen disejajarkan dengan sampel dari jenis yang sama dalam penelitian ini. No.
Kode
Asal
42
Tabel 6.2 Perbedaan Jenis Basa pada Urutan Nukleotida Gen rbcL Adiantum philippense Basa Nukleotida ke- * 107 909 1. WN153 Jawa T G 2. WN128 Bali T G 3. WN142 Lombok T G 4. SH1130 Lombok A C *Urutan basa nukleotida setelah sekuen disejajarkan dengan sampel dari jenis yang sama dalam penelitian ini. No.
Kode
Asal
Panjang sekuen trnL-F dari sampel Adiantum juga bervariasi, antara 814 bp (Adiantum capillus-veneris WN154) hingga 966 bp (A. concinnum WN150) (Lampiran 3.). Hasil pensejajaran 45 sekuen trnL-F dari Adiantum dan kerabat dekatnya (15 sekuen diantaranya diunduh dari GenBank) menghasilkan 1.176 karakter. Matriks data mengandung 348 (29,59%) conserved region dan 748 (63,6%) variable sites, 623 (53,0%) diantaranya parsimony informative. Variasi genetik antar jenis maupun dalam jenis lebih jelas terlihat pada sekuen trnL-F. Variasi tersebut berupa substitusi, insersi maupun delesi. Variasi genetik dalam jenis pada trnL-F, misalnya terjadi pada Adiantum concinnum (Tabel 6.3), A. diaphanum (Tabel 6.4) dan A. hispidulum (Tabel 6.5).
43
Tabel 6.3 Perbedaan Jenis Basa pada Urutan Nukleotida trnL-F Adiantum concinnum Basa Nukleotida ke- * 61 178 1. WN117 Bali G 2. SH1129 Lombok 3. WN150 Jawa C G *Urutan basa nukleotida setelah sekuen disejajarkan dengan sampel dari jenis yang sama dalam penelitian ini. No.
Kode
Asal
Tabel 6.4 Perbedaan Jenis Basa pada Urutan Nukleotida trnL-F Adiantum diaphanum Basa Nukleotida ke- * 117 118 121 1. WN112 Bali G A A 2. BA754a Bali C G *Urutan basa nukleotida setelah sekuen disejajarkan dengan sampel dari jenis yang sama dalam penelitian ini. No.
Kode
Asal
Tabel 6.5 Perbedaan Jenis Basa pada Urutan Nukleotida trnL-F Adiantum hispidulum Basa Nukleotida ke- * 88 98 155 267 663 706 722 1. BA809 Sumba A A G T G T G 2. WT797 Lombok A A G T G T G 3. WN157 Bali A A G T G T G 4. WN120 Bali G G A C G T C 5. WN144 Jawa G G A C G T C 6. WN158 Timor G G A C G T C 7. BA706 Timor G G A C A C G *Urutan basa nukleotida setelah sekuen disejajarkan dengan sampel dari jenis yang sama dalam penelitian ini. No.
Kode
Asal
44
5.4 Analisis Filogenetik Analisis filogenetik dilakukan terhadap masing-masing set data menggunakan metode Neighbor-Joining (NJ) dan Maximum Parsimony (MP). Dua metode rekonstruksi yang digunakan ini menghasilkan topologi yang kurang-lebih sama di masing-masing set data. Analisis terhadap gen rbcL melibatkan 40 sekuen dalam set data. Analisis menggunakan metode NJ menghasilkan hipotesis hubungan kekerabatan antar sampel berdasarkan jarak genetik pada gen rbcL (Lampiran 8). Metode MP menghasilkan 15 pohon filogeni yang paling parsimony dengan 653 langkah (CI = 0.550000; RI = 0.862525). Pohon filogenetik yang dihasilkan oleh metode NJ (Gambar 5.1) dan MP (salah satunya ditampilkan pada Gambar 5.2) pada gen rbcL dari spesimen yang digunakan dalam penelitian ini maupun yang diunduh dari GenBank menghasilkan lima klad utama. Klad I (NJ : 100/MP : 99) terdiri dari grup Adiantum hispidulum. Adiantum hispidulum dan A. raddianum dari Kepulauan Sunda Kecil mengelompok bersama A. hispidulum, A. cuneatum dan A. concinnum dari Jawa, A. diaphanum dari Taiwan dan Cina, A. aethiopicum dari New Zealand dan spesimen lain dari Bolivia yang belum teridentifikasi.
45
Klad V
Klad IV
Klad III
Klad II
Klad I
Outgroup
Gambar 5.1 Pohon Filogenetik berdasarkan Sekuen rbcL Hasil Rekonstruksi dengan Metode Neighbor-Joining (NJ) Keterangan : Bootstrap pada cabang pohon ditampilkan dalam persentase (> 50%). Nilai bootstrap kurang dari 50% ditampilkan sebagai tanda hubung (-). Jenis dengan cetak tebal berasal dari Kepulauan Sunda Kecil.
46
Klad V
Klad IV
Klad III
Klad II
Klad I
Outgroup
Gambar 5.2 Pohon Filogenetik berdasarkan Sekuen rbcL Hasil Rekonstruksi dengan Metode Maximum Parsimony (MP) Keterangan : Bootstrap pada cabang pohon ditampilkan dalam persentase (> 50%). Nilai bootstrap kurang dari 50% ditampilkan sebagai tanda hubung (-). Jenis dengan cetak tebal berasal dari Kepulauan Sunda Kecil.
47
Klad II (100/99) atau grup Adiantum tenerum terdiri dari A. tenerum serta A. princeps dari Mexico dan tidak terdapat sampel dari Kepulauan Sunda Kecil dalam kelompok ini. Klad III, yang merupakan sister bagi Klad II, adalah grup A. peruvianum, terdiri dari A. peruvianum dari Kepulauan Sunda Kecil, A. tetraphyllum (cultivated) dan spesimen lain yang belum teridentifikasi dari Malaysia. Hubungan dalam klad ini cukup kuat (100/99), begitu pula hubungan antara Klad II dan III yang juga nampak jelas di NJ, namun lemah di MP (85/74). Klad IV (100/99) atau grup Adiantum caudatum terdiri dari A. philippense asal Kepulauan Sunda Kecil dan Jawa, spesimen yang belum teridentifikasi dari Kepulauan Sunda Kecil (AG326), A. soboliferum, A. caudatum, A. malesianum, A. mariesii dan A. sinicum dari Cina serta A. egdeworthii dari Sunda Kecil, Jepang dan Cina. Klad V (grup A. capillus-veneris) juga merupakan kelompok yang cukup kuat (100/97) dan merupakan sister bagi Klad IV. Klad ini terdiri dari A. capillus-veneris dari Jawa dan Cina, A. jordanii dari Amerika dan A. flabellulatum yang juga berasal dari Cina. Tidak terdapat sampel dari Kepulauan Sunda Kecil yang termasuk dalam klad ini. Empat puluh lima sekuen terlibat dalam set data untuk region trnL-F. Analisis menggunakan metode NJ menghasilkan hipotesis hubungan kekerabatan antar sampel berdasarkan jarak genetik pada trnL-F (Lampiran 9). Metode MP menghasilkan 15 pohon filogeni yang paling parsimony dengan 884 langkah (CI = 0.622328; RI = 0.901058). Pohon filogenetik yang dihasilkan oleh metode NJ (Gambar 5.3) dan MP (salah satunya ditampilkan pada Gambar 5.4) pada trnL-F dari spesimen yang
48
digunakan dalam penelitian ini maupun yang diunduh dari GenBank mencakup lima klad dengan keanggotaan yang kurang-lebih sama seperti pada set data rbcL, dengan tambahan beberapa spesimen yang sebelumnya tidak berhasil diperoleh sekuen rbcLnya. Adiantum silvaticum, A. diaphanum, A. concinnum dan sampel yang belum teridentifikasi (WN118) dari Kepulauan Sunda Kecil termasuk dalam Klad I (grup A. hispidulum). Seperti halnya pada rbcL, berdasarkan sekuen trnL-F ini tidak terdapat sampel dari Kepulauan Sunda Kecil yang masuk dalam Klad II (grup A. tenerum) dan Klad V (grup A. capillus-veneris). Adiantum tenerum dari Jawa termasuk dalam Klad II (grup A. tenerum), sementara A. trapeziforme dari Kepulauan Sunda Kecil dan A. polyphyllum dari Jawa termasuk dalam Klad III (grup A. peruvianum), sedangkan A. caudatum dari Kepulauan Sunda Kecil bergabung dalam Klad IV (grup A. caudatum). Masing-masing kelompok utama adalah monofiletik pada kedua analisis yang dilakukan.
49
Klad V
Klad IV
Klad III
Klad II
Klad I
Outgroup
Gambar 5.3 Pohon Filogenetik berdasarkan Sekuen trnL-F Hasil Rekontruksi dengan Metode Neighbor-Joining (NJ) Keterangan : Bootstrap pada cabang pohon ditampilkan dalam persentase (> 50%). Nilai bootstrap kurang dari 50% ditampilkan sebagai tanda hubung (-). Jenis dengan cetak tebal berasal dari Kepulauan Sunda Kecil.
50
Klad V
Klad IV
Klad III
Klad II
Klad I
Outgroup
Gambar 5.4 Pohon Filogenetik berdasarkan Sekuen trnL-F Hasil Rekontruksi dengan Metode Maximum Parsimony (MP) Keterangan : Bootstrap pada cabang pohon ditampilkan dalam persentase (> 50%). Nilai bootstrap kurang dari 50% ditampilkan sebagai tanda hubung (-). Jenis dengan cetak tebal berasal dari Kepulauan Sunda Kecil.
51
BAB VI. PEMBAHASAN
6.1 Identifikasi Spesimen Publikasi oleh Posthumus (1944) dan Data Spesimen Koleksi Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi – LIPI (Juni, 2012) menyebutkan beberapa jenis Adiantum yang ditemukan di Kepulauan Sunda Kecil, yaitu Adiantum capillus-veneris L., A. caudatum L., A. cuneatum Langsd. & Fisch., A. diaphanum Blume, A. edgeworthii Hook., A. flabellulatum L., A. hispidulum Sw., A. mettenii Kuhn, A. philippense L., A. pulchellum Blume dan A. tinctum Moore. Lima jenis diantaranya yaitu A. caudatum, A. diaphanum, A. edgeworthii, A. hispidulum dan A. philippense merupakan bagian dari sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menggunakan jenis Adiantum lain yang tidak ditemukan dalam studi oleh Posthumus sebelumnya (1944) yaitu A. concinnum Humb. & Bonpl. ex Willd., A. peruvianum Klotzsch, A. raddianum C. Presl. dan A. trapeziforme L., sedang satu jenis lainnya yaitu A. silvaticum Tind. diduga merupakan spesimen yang sama dengan yang diidentifikasikan sebagai A. flabellulatum L. oleh Posthumus (1944). Sampel Adiantum concinnum dari Kepulauan Sunda Kecil yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pulau Lombok dan Bali. Spesimen yang berasal dari Bali ditemukan tumbuh di antara bebatuan dalam kawasan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI dan ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan sampel sejenisnya yang berasal dari Lombok. Jenis ini dapat dikenali dari bagian dalam
52
pinnae yang terletak tumpang-tindih dengan bagian rachis. Adiantum concinnum merupakan jenis yang umum dijumpai di kawasan tropis Amerika, bahkan kadang-kadang tumbuh sebagai gulma (Hoshizaki and Moran, 2002). Selain dari Lombok dan Bali, A. concinnum yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini juga berasal dari Pulau Jawa. Sampel Adiantum raddianum dari Kepulauan Sunda Kecil dalam penelitian ini juga berasal dari spesimen yang tumbuh di sela-sela bebatuan dalam kawasan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Jenis ini biasa dijumpai di daerah tropis Amerika dan merupakan jenis yang paling umum dibudidayakan. Jumlah kultivarnya banyak dan cukup sulit untuk dibedakan (Hoshizaki and Moran, 2002). Adiantum trapeziforme merupakan jenis yang berasal dari Amerika dan India bagian barat (Hoshizaki and Moran, 2002). Sampel A. trapeziforme yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Sumbawa. Jenis tersebut ditemukan di tempat terbuka yang jauh dari pemukiman penduduk, tumbuh menempel di bebatuan yang terletak di tepi sungai pada ketinggian 173 m dpl. Diduga baik A. concinnum, A. raddianum maupun A. trapeziforme merupakan jenis introduksi yang kemudian meliar di kawasan ini. Adiantum peruvianum dalam penelitian ini diperoleh dari Bali dan ditemukan dipelihara di rumah penduduk. Adiantum peruvianum merupakan jenis asli dari daerah Ekuador, Peru dan Bolivia (Hoshizaki and Moran, 2002). Keasliannya di Kepulauan Sunda Kecil juga masih diragukan dan diduga merupakan jenis yang dibudidayakan.
53
Adiantum silvaticum merupakan jenis yang juga ditemukan tumbuh di Australia. Sampel A. silvaticum dari Kepulauan Sunda Kecil yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pulau Sumba yang diduga juga merupakan daerah persebarannya. Jenis ini sangat mirip dengan A. cunninghamii Hook., A. fulvum Raoul dan A. viridescens Colenso yang merupakan jenis endemik dari New Zealand (Large and Braggins, 1993; Bouma, 2008). Dua dari 30 spesimen Adiantum yang digunakan dalam penelitian ini belum teridentifikasi yaitu Adiantum sp. WN118 dari Bali dan AG326 asal Sumbawa. Adiantum sp. (WN118) dari Bali ini ditemukan tumbuh di sela-sela bebatuan dalam kawasan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali - LIPI bersama jenis A. concinnum dan A. raddianum di ketinggian sekitar 1.200 m dpl. Hasil BLAST sebelumnya (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa sekuen trnL-F dari Adiantum sp. (WN118) memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dengan Adiantum sp. dari Bolivia (97%). Sayangnya sekuen rbcL dari spesimen ini tidak diperoleh sehingga tidak bisa dibandingkan. Diduga Adiantum sp. (WN118) ini juga merupakan jenis yang diintroduksi dan kemudian meliar di kawasan tersebut. Jenis lainnya yang belum teridentifikasi yaitu Adiantum sp. (AG326) asal Sumbawa menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi dengan A. caudatum dari Cina (98%) pada sekuen rbcL-nya dan dengan spesimen yang sama (95%) pada sekuen trnL-F-nya. Adiantum sp. (AG326) ini memiliki ental berbentuk pinnatus dan bagian ujung rachis memanjang seperti cambuk yang menjadi ciri khas dari grup caudatum, namun memiliki bentuk daun yang berbeda jika dibandingkan dengan A. caudatum. Adiantum sp. (AG326) asal Sumbawa ini ditemukan tumbuh
54
di tebing sungai yang agak terlindung pada ketinggian 525 m dpl. Diduga Adiantum sp. (AG326) ini merupakan jenis asli daerah tersebut.
6.2 Ekstraksi, Amplifikasi dan Sekuensing DNA Beberapa sampel menunjukkan hasil pita DNA total yang nampak kurang jelas saat diekstraksi dengan menggunakan metode CTAB. Amplifikasi terhadap sampel-sampel tersebut juga mengalami kegagalan. Hal tersebut diperkirakan terjadi karena adanya inhibitor dalam sampel. Inhibitor tersebut dapat berupa polisakarida atau metabolit sekunder yang tidak tercuci secara sempurna dalam proses ekstraksi DNA dan menjadi kontaminan dalam proses berikutnya. Ekstraksi terhadap sampel-sampel tersebut selanjutnya dicoba untuk diulang menggunakan DNeasy Plant Mini Kit (Qiagen, Tokyo, Jepang). Hasil ekstraksi ulang menggunakan DNeasy Plant Mini Kit tersebut menunjukkan pita DNA yang nampak lebih jelas dan hasil ekstraksi dapat diamplifikasi. Membran pada DNeasy Plant Mini Kit dirancang untuk memastikan semua inhibitor proses amplifikasi dan reaksi enzimatik lainnya tersaring dengan baik sehingga diperoleh DNA total yang lebih murni (Qiagen, 2000). Tiga belas spesimen dari total 37 spesimen diantaranya berhasil diperoleh baik sekuen rbcL maupun trnL-F-nya. Grafik kromatogram hasil sekuensing yang diperoleh dari spesimen lain kurang jelas sehingga menyulitkan pembacaan sekuen secara tepat dan tidak dapat digunakan dalam analisis selanjutnya sehingga tujuh spesimen lainnya hanya diperoleh sekuen rbcL-nya dan 17 spesimen lainnya hanya sekuen trnL-F-nya. Kegagalan dalam sekuensing DNA dapat disebabkan
55
oleh banyak faktor antara lain kualitas DNA yang kurang baik atau hilangnya DNA selama proses pencucian (presipitasi ethanol).
6.3 Karakteristik Sekuen Panjang sekuens rbcL yang diperoleh dari sampel Adiantum yang digunakan dalam penelitian ini bervariasi antara 1.062 bp (Adiantum hispidulum WN157) hingga 1.380 bp (A. capillus-veneris WN154; A. hispidulum BA706; A. raddianum WN111). rbcL merupakan gen besar yang berukuran lebih dari 1.400 bp (Avise, 2001) sehingga tidak mudah untuk mendapatkan keseluruhan sekuennya. Umumnya bagian ujung dan pangkal kromatogram dari sekuen yang panjang sulit untuk dibaca karena bagian peak-nya yang datar. Teknik sekuensing DNA umumnya hanya mampu mengatasi kurang dari 900 nukleotida pada fragmen DNA dalam satu reaksi (Arif et al., 2010). Perbedaan pada sekuen rbcL nampak baik antar jenis maupun dalam jenis. Perbedaan dalam jenis misalnya dialami oleh Adiantum hispidulum pada basa ke445, 484, 795 dan 1258 setelah semua sekuen dari jenis yang sama dalam penelitian ini disejajarkan. Perbedaan yang terjadi pada gen rbcL A. hispidulum tersebut adalah substitusi. Substitusi juga terjadi pada sekuen rbcL A. philippense pada basa nukleotida ke-107 dan 909. Gen rbcL merupakan gen pengkode sub unit besar dari ribulose 1,5biphosphate carboxylase/oxygenase (rubisco). Gen ini termasuk gen yang konservatif dan jarang mengalami insersi maupun delesi (Soltis and Soltis, 1998). Insersi maupun delesi yang terjadi pada gen pengkode suatu protein dapat
56
berakibat protein yang dihasilkan berbeda dari protein yang seharusnya disintesis (Yuwono, 2005). Panjang sekuen trnL-F dari sampel Adiantum juga bervariasi, antara 814 bp (Adiantum capillus-veneris WN154) hingga 966 bp (A. concinnum WN150). Sekuen trnL-F pada kebanyakan jenis bahkan berukuran kurang dari 700 bp sehingga memudahkan daerah tersebut diamplifikasi dan disekuen secara langsung (Tsai et al., 2006). Variasi sekuen yang terjadi pada daerah trnL-F lebih banyak jika dibandingkan dengan variasi sekuen pada rbcL. Daerah trnL-F yang terbentang di antara gen plastid pengkode RNA transfer (trnL (UAA) dan trnF (GAA)) mengandung daerah non-pengkode atau non-gen yaitu intron dari trnL (UAA) dan intergenic spacer (IGS) dari trnL-trnF (GAA) (Holt et al., 2005). Daerah nonpengkode merupakan daerah yang menunjukkan frekuensi mutasi paling tinggi sehingga dimungkinkan terdapat banyak perbedaan pada daerah tersebut baik antar jenis maupun dalam jenis (Taberlet et al., 1991; Tsai et al., 2006). Bagian intron, ekson dan intergenic spacer dari sekuen trnL-F pada masing-masing sampel Adiantum dalam penelitian ini tersaji dalam Lampiran 10. Adiantum concinnum mengalami insersi/delesi pada sekuen trnL-Fnya. Insersi/delesi tersebut terjadi pada bagian intron dari sekuen trnL-F tersebut yaitu basa nukleotida ke-61 dan 178 setelah semua sekuen dari jenis yang sama dalam penelitian ini disejajarkan. Adiantum diaphanum juga mengalami variasi dalam sekuen trnL-Fnya. Basa ke-117 dan 121 mengalami substitusi sedangkan basa ke118 mengalami insersi/delesi. Ketiga perubahan ini juga terjadi di bagian intron.
57
Intron dari trnL (UAA) ini berada di antara trnL (UAA) 5’ ekson hingga trnL (UAA) 3’ ekson dan merupakan bagian gen yang awalnya ikut ditranskripsi menjadi bagian dari mRNA, namun selanjutnya mengalami proses splicing (dihilangkan) sehingga intron tersebut tidak terlibat dalam proses translasi RNA membentuk protein (Frankham et al., 2010). Variasi terbanyak terjadi pada Adiantum hispidulum. Substitusi terjadi pada bagian intron sekuen trnL-F dari jenis ini yaitu pada basa ke-88, 98, 155 dan 267, serta pada bagian intergenic spacer yaitu basa ke-663, 706 dan 722. Intergenic spacer adalah bagian DNA yang tidak ikut ditranskripsi. Perubahan sekuen trnL-F beberapa jenis Adiantum tersebut hanya terjadi pada bagian intron dan intergenic spacer. Perubahan yang terjadi pada bagian nonpengkode ini tidak mempengaruhi proses sintesa protein manapun. Bagian trnL (UAA) 3’ ekson yang mengkode RNA transfer untuk asam amino Leusin pada semua sampel Adiantum dari penelitian ini menunjukkan urutan basa nukleotida yang sama dengan panjang 47 bp (Lampiran 10.). Substitusi maupun insersi/delesi yang terjadi di beberapa tempat dalam kedua region tersebut menandakan adanya variasi genetik di dalam jenis yang sama. Variasi genetik yang terjadi di dalam jenis sama pentingnya dengan variasi antar jenis, karena secara genetik organisme tersebut telah dipersiapkan untuk dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang mungkin terjadi (Ramel, 1998). Variasi genetik pada jenis-jenis tersebut juga merupakan pertanda akan kemungkinan adanya cryptic species (jenis tersembunyi), namun hal tersebut masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Perubahan sekuen pada gen rbcL
58
misalnya, telah digunakan sebagai dasar dalam menguji dugaan adanya cryptic species pada jenis komplek Asplenium nidus yang memiliki 4-5% perbedaan dalam sekuen rbcLnya (Murakami et al., 1999; Yatabe and Murakami, 2003). Jenis-jenis yang tergolong cryptic species secara morfologi memang sulit untuk dibedakan namun secara genetik sudah mengalami perubahan. Jenis-jenis tersebut mengalami isolasi reproduktif sehingga dugaan adanya cryptic species umumnya juga dibuktikan melalui penelitian ekologi dan kawin-silang.
6.4 Analisis Filogenetik Hubungan kekerabatan dari jenis-jenis Adiantum yang ditemukan di Kepulauan Sunda Kecil ini direkonstruksi menggunakan dua fragmen DNA kloroplas yaitu rbcL dan trnL-F (daerah dari trnL (UAA) 5’ ekson hingga trnF (GAA)). Pohon filogeni dari jenis-jenis Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil maupun yang diunduh dari GenBank yang dibentuk menggunakan metode NJ dan MP terbagi menjadi lima klad utama. Sampel Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil tidak monofiletik (mengelompok bersama berdasarkan asalnya), melainkan menjadi bagian dari tiga klad diantaranya. Beberapa jenis Adiantum yang ditemukan di Kepulauan Sunda Kecil memiliki penyebaran yang luas dan diperkirakan memiliki hubungan dengan jenis yang sama dari tempat yang berbeda. Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil terbagi ke dalam tiga klad utama, yaitu Klad I (grup A. hispidulum), Klad III (grup A. peruvianum) serta Klad IV (grup A. caudatum), dan tidak terdapat sampel dari Kepulauan Sunda Kecil pada Klad II (grup A. tenerum) maupun Klad V (grup A. capillus-veneris).
59
Klad I (grup A. hispidulum) terdiri dari tujuh hingga sembilan jenis Adiantum (enam jenis diantaranya berasal dari Kepulauan Sunda Kecil). Sampel-sampel Adiantum hispidulum pada klad ini terpisah menjadi dua sub klad karena adanya perbedaan dalam susunan basa nukleotidanya, baik pada rbcL maupun trnL-F. Perubahan basa pada sekuen tersebut menyebabkan variasi secara genetik dan mempengaruhi hubungan kekerabatannya, namun masih berada dalam satu klad monofiletik. Adiantum hispidulum merupakan salah satu jenis kompleks dalam marga ini. Adiantum hispidulum ditemukan tumbuh di India bagian selatan, Afrika bagian timur dan Kepulauan Pasifik (Hoshizaki and Moran, 2002) dan juga di New Zealand (Large and Braggins, 1993), Thailand (Boonkerd and Pollawatn, 2013), Indonesia (Posthumus, 1944; Lu et al., 2012) dan Cina (Lu et al., 2012). Adiantum hispidulum sensu lato nampaknya memiliki banyak perbedaan berdasarkan persebarannya, setidaknya jika dilihat dari sisi genetiknya (Large, 2013 kom. pribadi.). Large dan Braggins (1993) memisahkan dua anggota kompleks Adiantum hispidulum dari New Zealand yaitu A. hispidulum sensu stricto dan A. pubescens Schkuhr. berdasarkan rambut-rambut yang terdapat pada pinula. Jenis yang memiliki rambut-rambut yang pendek (63-815 µm), kuat, berpigmen dan sel pada bagian pangkal rambut membesar dianggap sebagai A. hispidulum, sedangkan jenis lain yang memiliki rambut-rambut yang panjang (251-1003 µm), lembut dan sel pada bagian pangkal menyempit diperlakukan sebagai varietas dengan nama A. hispidulum var. pubescens. Bouma (2008) menemukan tipe lain dari rambut-
60
rambut pinula pada A. hispidulum dari New Zealand yang disebut sebagai tipe 3 namun tidak mendeskripsikannya secara jelas. Pengamatan terhadap sampel-sampel Adiantum hispidulum dalam penelitian ini belum menemukan karakter morfologi yang menyebabkan sampel-sampel tersebut terpisah dalam dua sub klad. Perubahan nampaknya mulai terjadi pada individu tersebut secara genetik, namun perubahan tersebut belum terekspresi menjadi perubahan dalam morfologi sehingga secara morfologi individu-individu tersebut masih terlihat sama. Sekuen trnL-F menyatakan Adiantum silvaticum dari Kepulauan Sunda Kecil juga termasuk ke dalam klad ini. Sekuen rbcL dari sampel jenis ini tidak dapat diperoleh dan belum terdapat di GenBank sehingga posisinya di kedua pohon filogeni tidak dapat dibandingkan. Adiantum silvaticum dilaporkan tumbuh alami di Australia bagian timur dan berkerabat dekat dengan A. cuninghamii Hook., A. fulvum Raoul. dan A. viridescens Col., tiga jenis Adiantum yang endemik di New Zealand (Parris and Croxall, 1974). Adiantum silvaticum di klad ini juga berkerabat dengan A. diaphanum. Jenis ini merupakan jenis yang ditemukan tumbuh alami di Asia, Australia, New Zealand dan Kepulauan Pasifik (Hoshizaki and Moran, 2002). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa pengelompokan Adiantum berdasarkan pendekatan secara molekular tidak sesuai dengan klasifikasi dalam marga berdasarkan karakter morfologi (Bouma, 2008; Lu et al., 2012). Adiantum concinnum dan A. raddianum misalnya, secara morfologi dianggap berkerabat dekat dengan A.
61
capillus-veneris. Analisis secara genetik menunjukkan bahwa keduanya berkerabat jauh dengan A. capillus-veneris yang membentuk klad tersendiri bersama dengan A. jordanii. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jenis-jenis tersebut nampak mirip, sebenarnya secara genetik mereka berbeda. Adiantum raddianum di Klad I ini mengelompok bersama dengan A. cuneatum. Nama A. cuneatum ternyata tercatat sebagai sinonim dari A. raddianum (Scamman, 1960; Hoshizaki and Moran, 2002). Sampel dari Kepulauan Sunda Kecil tidak ditemukan di Klad II, namun anggota dari kelompok ini, Adiantum tenerum dan A. princeps memiliki karakter morfologi yang serupa. Bagian segmen dari kedua jenis tersebut berbentuk trapesium hingga rombik-oblong dan bagian sori membulat hingga short-oblong (Scamman, 1960). Adiantum peruvianum dan A. trapeziforme dari Kepulauan Sunda kecil yang berada di Klad III (grup A. peruvianum) mengelompok bersama dengan A. polyphyllum dari Jawa. Adiantum peruvianum tercatat tumbuh alami di Ekuador, Peru dan Bolivia. Adiantum trapeziforme dilaporkan berasal dari Amerika bagian tengah dan India bagian barat, sedangkan A. polyphyllum dari Venezuela hingga Peru (Hoshizaki and Moran, 2002). Anggota dari kelompok ini memiliki kesamaan morfologi yaitu memiliki sisik rhizoma yang berlubang-lubang dengan bagian tepi bergerigi (McCarthy, 2012). Klad IV merupakan kelompok dengan karakteristik sama yang cukup mudah untuk diamati, yaitu ental berbentuk pinnatus dengan bagian ujung rachis memanjang seperti cambuk. Bagian cambuk ini dapat berfungsi sebagai alat
62
reproduksi aseksual (vegetatif). Akar baru dapat tumbuh di bagian ujung cambuk tersebut dan jika akar semakin besar dan berat maka ental akan merunduk, membuat akar baru mampu menyentuh tanah. Jika kondisi telah memungkinkan, hubungan dengan induk melalui ental lama akan terputus dan tanaman dapat berdiri sendiri menjadi individu baru. Adiantum edgeworthii dalam klad ini polifiletik: A. edgeworthii dari Cina mengelompok dengan A. soboliferum dan A. philippense, sedangkan A. edgeworthii dari Jepang dan Kepulauan Sunda Kecil mengelompok bersama A. sinicum. Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya differensiasi DNA lebih dalam dari jenis A. edgeworthii atau karena kesalahan identifikasi. Adiantum edgeworthii ini selain ditemukan di Cina, Jepang dan Indonesia, juga ditemukan di Bhutan, bagian utara India, Malaysia, Myanmar, Nepal, Fillipina, utara Thailand dan Vietnam (Zhang et al., 2013). Klad yang terakhir yaitu Klad V mengacu pada grup capillus-veneris dalam Lu et al. (2012). Adiantum capillus-veneris merupakan jenis yang terdistribusi luas dari daerah sedang hingga subtropis (Hoshizaki and Moran, 2002). Morphological plasticity dalam jenis ini cukup tinggi, namun semua sampel A. capillus-veneris dari berbagai lokasi penyebarannya mengelompok bersama dalam pohon filogeni ini. Lu et al. (2012) menganggap bahwa heterogenitas morfologi dari jenis ini mungkin berhubungan dengan penyebarannya yang cukup luas serta kisaran ekologi yang lebar, dan mendukung anggapan migrasi geografik langsung dari A. capillus-veneris.
63
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Adiantum yang berasal dari Kepulauan Sunda Kecil memiliki variasi genetik antar jenis dan beberapa diantaranya memiliki variasi dalam jenis. Variasi tersebut terjadi baik pada gen rbcL maupun pada trnL-F, khususnya pada bagian intron dan intergenic spacer. Jenis-jenis Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil tidak monofiletik melainkan menjadi bagian dari tiga klad utama diantara lima klad utama yang terbentuk berdasarkan analisis sekuen rbcL dan trnL-F. Pengelompokan jenis-jenis Adiantum ini tidak berdasarkan asalnya dan juga tidak sesuai dengan klasifikasi dalam jenis yang dibuat berdasarkan karakter morfologi sebelumnya. Klad I dari jenis-jenis Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil ini terdiri dari grup Adiantum hispidulum (A. hispidulum, A. silvaticum, A. diaphanum, A. raddianum dan A. concinnum). Klad III terdiri dari grup A. peruvianum (A. peruvianum, A. trapeziforme) dan Klad IV terdiri dari grup A. caudatum (A. caudatum, A. philippense, A. edgeworthii). Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil tidak ditemukan di Klad II (grup A. tenerum) dan Klad V (grup A. capillus-veneris).
7.2 Saran Sebagian anggota dari marga Adiantum merupakan jenis kompleks sehingga dibutuhkan ketelitian dalam pengamatan morfologinya. Beberapa diantaranya
64
diketahui memiliki variasi genetik dalam jenis yang merupakan petunjuk awal akan adanya jenis tersembunyi (cryptic species). Untuk membuktikan hal tersebut diperlukan pengujian lebih lanjut seperti uji molekuler dengan kombinasi penanda (marker) DNA kloroplas dan DNA inti serta uji kawin-silang.
65
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, B., Takamiya, M., Ohta, M., Ohsawa, T. A., Watano, Y. 2008. Molecular Phylogeny of the Lady Fern Genus Athyrium in Japan Based on Chloroplast rbcL and trnL-trnF Sequences. Acta Phytotaxonomica et Geobotanica 59 (2):79-95. Afriastini, J. J. 2003. Adiantum L. In: de Winter, W. P. and Amoroso, V. B., editors. Plant Resources of South-East Asia No. 15 (2) Cryptogams : Ferns and Fern Allies. Bogor: PROSEA. ISBN : 979-8316-45-2. p. 50-55. Applied Biosystems. 2009. DNA Sequencing by Capillary Electrophoresis – Applied Biosystems Chemistry Guide. 2nd edition. Applied Biosystems. California. Arif, I. A., Bakir, M. A., Khan, H. A., Al Farhan, A. H., Al Homaidan, A. A., Bahkali, A. H., Al Sadoon, M., Shobrak, M. 2010. A Brief Review of Molecular Techniques to Assess Plant Diversity. International Journal of Molecular Sciences 11 (5):2079-2096. Avise, J. C. 2001. Molecular Markers, Natural History and Evolution. 4th printing. Massachusetts: Kluwer Academic Publishers. ISBN : 978-0-87893041-8. p. 340. Bagali, P. G., Prabhu, P. D. A. H., Raghavendra, K., Bagali, P. G., Hittalmani, S., Vadivelu, J. S. 2010. Application of Molecular Markers in Plant Tissue Culture. Asia-Pacific Journal of Molecular Biology and Biotechnology 18 (1):85-87. Bidin, A. 1983. Penelitian Sitologi pada Genus Adiantum L. (Adiantaceae). Sains Malaysiana 12 (4):275-286. Boonkerd, T. and Pollawatn, R. 2013. Note on Adiantum hispidulum (Pteridaceae), a New Record Species to Fern Flora of Thailand. Songklanakarin Journal of Science and Technology 35 (5):513-516. Bouma, W. L. M. 2008. “A Phylogenetic Investigation of the New Zealand Pteridaceae Ferns” (thesis). New Zealand: Victoria University of Wellington. Brownsey, P. J. and Perrie, L. R. 2011. A Revised Checklist of Fijian Ferns and Lycophytes. Telopea 13 (3):513-562.
66
Chao, Y., Liu, H., Chiang, Y., Chiou, W. 2012. Polyploidy and Speciation in Pteris (Pteridaceae). Journal of Botany 2012. DOI : 10.1155/2012/817920. [cited 2014 Jan. 10]. Available from: URL: http://www.hindawi.com/journals/jb/2012/817920/. Ching, R. C. 1957. On the Genus Adiantum L. of China with Notes on Some Related Species From Neighbouring Regions. Acta Phytotaxonomica Sinica 6:301-354. Christenhusz, M. J. M., Zhang, X., Schneider, H.. 2011. A Linear Sequence of Extant Families and Genera of Lycophytes and Ferns. Phytotaxa 19:7-54. de Groot, G. A., During, H. J., Maas, J. W., Schneider, H., Vogel, J. C., Erkens, R. H. J. 2011. Use of rbcL and trnL-F as a Two-Locus DNA Barcode for Identification of NW-European Ferns: an Ecological Perspective. PLoS ONE 6 (1):e16371. DOI : 10.1371/journal.pone.0016371. de Lang, R. 2011. The Snakes of the Lesser Sunda Islands (Nusa Tenggara), Indonesia. Asian Herpetological Research 2 (1):46-54. DOI: 10.3724/SP.J.1245.2011.00046. Doyle, J. J. and J. L. Doyle. 1987. A Rapid DNA Isolation Procedure for Small Quantities of Fresh Leaf Tissue. Phytochemical Bulletin 19:11-15. Ebihara, A., Nitta, J. H., Ito, M. 2010. Molecular Species Identification with Rich Floristic Sampling: DNA Barcoding the Pteridophyte Flora of Japan. PLoS ONE 5 (12):e15136. DOI : 10.1371/journal.pone.0015136. Felsenstein, J. 1985. Confidence Limits on Phylogenies: an Approach using Bootstrap. Evolution 39:783-791. Frankham, R., Ballou, J. D., Briscoe, D. A., Mclnnes, K. H. 2010. Introduction to Conservation Genetics. 2nd edition. Cambridge : Cambridge University Press. ISBN : 978-0-521-70271-3. 618 p. Hasebe, M., Omori, T., Nakazawa, M., Sano, T., Kato, M., Iwatsuki, K. 1994. rbcL Gene Sequences Provide Evidence for the Evolutionary Lineages of Leptosporangiate Ferns. Proceedings of the National Academy of Sciences 91:5730-5734. Holt, S. D. S., Horová, L., Bureš, P., Janeček, J., Černoch, V. 2005. The trnL-F Plastid DNA Characters of Three Poa pratensis (Kentucky Bluegrass) Varieties. Plant, Soil and Environment 51 (2):94-99. Holttum, R. E. 1968. Flora of Malaya Vol. II.: Ferns of Malaya. 2nd edition. Singapore: Government Printing Office. p. 596-604.
67
Hoshizaki, B. J. 1970. The Genus Adiantum in Cultivation (Polypodiaceae). Baileya 17(3):97-144. Hoshizaki, B. J. and Moran, R. C. 2002. Fern Grower’s Manual. Revised and Expanded Edition. Portland: Timber Press Inc. ISBN : 0-88192-495-4. p. 159-176. IUCN. 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. <www. iucnredlist.org>. Downloaded on 24 March 2014. Iwatsuki, K., Yamazaki, T., Boufford, D. E., Ohba, H., editors. 1995. Flora of Japan Vol. I: Pteridophyta and Gymnospermae. Tokyo: Kodansha Ltd. p. 82-84. Jones, D. L. 1998. Encyclopaedia of Ferns. Melbourne: Lothian Publishing Company Pty., Ltd. ISBN : 0-85091-179-6. 433 p. Jukes, T. H. and Cantor, C. R. 1969. Evolution of Protein Molecules. In: Munro, H. N., editor. Mammalian Protein Metabolism. New York: Academic Press. p. 21-132. Karsinah, Sudarsono, Setyobudi, L., Aswidinnoor, H. 2002. Keragaman Genetik Plasma Nutfah Jeruk Berdasarkan Analisis Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian (7) 1:8-16. Korpelainen, H., de Britto, J., Doublet, J., Pravin, S. 2005. Four Tropical, Closely Related Fern Species Belonging to the Genus Adiantum L. are Genetically Distinct as Revealed by ISSR Fingerprinting. Genetica 125 (2-3):283-291. Kumar, P., Gupta, V. K., Misra, A. K., Modi, D. R., Pandey, B. K. 2009. Potential of Molecular Markers in Plant Biotechnology. Plant Omics Journal 2 (4):141-162. Kurniawan, A., Asih, N. P. S., Yuzammi, Boyce, P. C. Studies on the Araceae of the Lesser Sunda Islands I: New Distribution Records for Alocasia alba. Gardens’ Bulletin Singapore 65 (2):157-162. Large, M. F. 2013. Komunikasi pribadi. New Zealand: Department of Natural Sciences, UNITEC Institute of Technology. Large, M. F. and Braggins, J. E. 1993. A Morphological Assessment of Adiantum hispidulum Swartz and A. pubescens Schkuhr (Adiantaceae: Filicales) in New Zealand. New Zealand Journal of Botany 31:403-417.
68
Larkin, M. A., Blackshields, G., Brown, N. P., Chenna, R., McGettigan, P. A., McWilliam, H., Valentin, F., Wallace, I. M., Wilm, A., Lopez, R., Thompson, J. D., Gibson, T. J., Higgins, D. G. 2007. ClustalW and ClustalX version 2. Bioinformatics 23 (21):2947-2948. Lellinger, D. B. and Prado, J. 2001. The Group of Adiantum gracile in Brazil and Environs. American Fern Journal 91 (1):1-8. Li, F., Tan, B. C., Buchbender, V., Moran, R. C., Rouhan, G., Wang, C., Quandt, D. 2009. Identifying A Mysterious Aquatic Fern Gametophyte. Plant Systematics and Evolution 281:77-86. DOI : 10.1007/s00606-009-0188-2. Li, F., Kuo, L., Rothfels, C. J., Ebihara, A., Chiou, W., Windham, M. D., Pryer, K. M. 2011. rbcL and matK Earn Two Thumbs Up as the Core DNA Barcode for Ferns. PLoS ONE 6 (10):e26597. DOI : 10.1371/journal. pone.0026597. Linnaeus, C. 1753. Species Plantarum Vol. 2. Stockholm. Salvi. Liu, X., Gituru, R. W., Chen, L. 2007. Genetic Variation in the Endangered Fern Adiantum reniforme var. sinense (Adiantaceae) in China. Annales Botanici Fennici 44:25-32. Lu, J., Wen, J., Lutz, S., Wang, Y., Li, D. 2012. Phylogenetic Relationships of Chinese Adiantum based on Five Plastid Markers. Journal of Plant Research 125 (2):237-249. Matsumoto, S., Nose, T., Nakamura, T., Sugisaki, Y., Yoshikawa, N. 2008. Pteridaceae. In: Nakamura, T. and Matsumoto, S., editors. The National Museum of Nature and Science Series No. 8: Illustrated Flora of Ferns and Fern-Allies of South Pacific Islands. Tokyo: Tokai University Press. ISBN 978-4-486-0179-2. p. 105-132. McCarthy, M. R. 2012. “Molecular Systematics and Morphology of the Adiantum peruvianum Group (Pteridaceae)” (dissertation). USA: Miami University. McCarthy, M. R. and Hickey, R. J. 2011. Adiantum mariposatum (Pteridaceae), a New Species from Ecuador. American Fern Journal 101 (1):1-5. Mehra, P. N. and Khullar, S. P. 1977. Biosystematics of Adiantum lunulatum Burm. Complex in India with Special Reference to W. Himalayan Taxa. Cytologia 42:501-511. Metusala, D. 2011. Keragaman Vanda spp. (Orchidaceae) di Kepulauan Sunda Kecil - Indonesia. Berkala Penelitian Hayati edisi khusus 5A:29-33.
69
Mondini, L., Noorani, A., Pagnotta, M. A. 2009. Review: Assessing Plant Genetic Diversity by Molecular Tools. Diversity 1:19-35. DOI : 10.3390/d1010019. Murakami, N., Yokoyama, J., Yatabe, Y., Iwasaki, H., Serizawa, S. 1999. Molecular Taxonomic Study and Revision of the Three Japanese Species of Asplenium sect. Thamnopteris. Journal of Plant Research 112:15-25. Newmaster, S. G., Fazekas, A. J., Ragupathy, S.. 2006. DNA Barcoding in Land Plants: Evaluation of rbcL in a Multigene Tiered Approach. Canadian Journal of Botany 84:335-341. DOI : 10.1139/B06-047. Paris, C. A. and Windham, M. D. 1988. A Biosystematic Investigation of the Adiantum pedatum Complex in Eastern North America. Systematic Botany 13 (2):240-255. Parris, B. S. 1980. Adiantum hispidulum Swartz and A. pubescens Schkuhr (Adiantaceae: Filicales) in New Zealand. New Zealand Journal of Botany 18:503-506. Parris, B. S. and Croxall, J. P. 1974. Adiantum viridescens Colenso in New Zealand. New Zealand Journal of Botany 12:227-233. Patil, S., Patil, S., Dongare, M. 2013. The Genus Adiantum L. from Maharashtra: a Note on Addition of Two Species for Maharashtra, India. Fern Gazette 19 (5):159-163. Peredo, E. L., Revilla, A., Méndez, M., Menéndez, V., Fernández, H. 2011. Diversity in Natural Fern Populations: Dominant Markers as Genetic Tools. In: Fernández, H., Kumar, A., Revilla, M. A., editors. Working with Ferns: Issues and Applications. New York: Springer Science+Business Media. e-ISBN : 978-1-4419-7162-3. p. 221-234. Perwati, L. K. 2002. Sitogeografi Marga Adiantum L. di Gunung Merapi dan Lawu. Biosfera 19 (3):65-69. Perwati, L. K. 2009. Analisis Derajat Ploidi dan Pengaruhnya terhadap Variasi Ukuran Stomata dan Spora pada Adiantum raddianum. Bioma 11 (2):3944. Phan, K. L. 2010. The Updated Checklist of the Fern Flora of Vietnam Following the Classification Scheme of A. Smith et al. (2006). Journal of Fairylake Botanical Garden 9 (3):1-13. Piggott, A. G. 1996. Ferns of Malaysia in Colour. Reprint. Kuala Lumpur: Tropical Press Sdn. Bhd. ISBN : 978-9677300293. p. 415-436.
70
Posthumus, O. 1944. Malayan Fern Studies III: The Ferns of the Lesser Sunda Islands. Annals of the Botanic Gardens 51 (1):35-113. Prado, J. and Hirai, R. Y. 2013. Adiantum lindsaeoides (Pteridaceae), a New Fern Species from the Atlantic Rain Forest, Brazil. Systematic Botany 38 (1):28-31. Primack, R. B., Supriatna, J., Indrawan, M., Kramadibrata, P. 1998. Biologi Konservasi. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN : 979-461288-X. Pryer, K. M., Smith, A. R., Skog, J. E. 1995. Phylogenetic Relationships of Extant Ferns Based on Evidence from Morphology and rbcL Sequences. American Fern Journal 85 (4):205-282. Qiagen. 2000. DNeasy® Plant Mini Kit and DNeasy Plant Maxi Kit Handbook – for DNA Isolation from Plant Tissue. Qiagen. Tokyo. Quintanilla, L. and Escudero, A. 2006. Spore Fitness Components Do Not Differ Between Diploid and Allotetraploid Species of Dryopteris (Dryopteridaceae). Annals of Botany 98 (3):609-618. Ramel, C. 1998. Biodiversity and Intraspecific Genetic Variation. Pure and Applied Chemistry 70 (11):2079-2084. Reddy, M. P., Sarla, N., Siddiq, E. A. 2002. Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) Polymorphism and Its Application in Plant Breeding. Euphytica 128:9-17. Rojas-Alvarado, A. F. 2008. Novelties in the Adiantum tetraphyllum Complex (Pteridaceae) from the Neotropics. Métodos en Ecología y Sistemática 3 (1):1-7. Rothfels, C. J. and Schuettpelz, E. 2013. Accelerated Rate of Molecular Evolution for Vittarioid Ferns is Strong and Not Driven by Selection. Systematic Biology 63 (1):31-54. DOI : 10.1093/sysbio/syt058. Ruesink, A. 2001. New England Plant Conservation Program - Conservation and Research Plan: Adiantum viridimontanum Paris, Green Mountain Maidenhair Fern. Framingham: New England Wild Flower Society. Ruhfel, B., Lindsay, S., Davis, C. C. 2008. Phylogenetic Placement of Rheopteris and the Polyphyly of Monogramma (Pteridaceaes.l.): Evidence from rbcL Sequence Data. Systematic Botany 33 (1):37-43. Rukmana, H. R. 1997. Seri Tanaman Hias: Suplir. Cetakan 1. Yogyakarta: Kanisius. ISBN : 979-497-881-7. 52 hal.
71
Sardiwinata, J. S., Hamzah, R., Kusnadi. 2008. Cara Pengumpulan, Pembuatan dan Pemeliharaan Koleksi Material Herbarium Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Jakarta: LIPI Press. ISBN : 978-979-799308-5. 31 hal. Scamman, E. 1960. The Maidenhair Ferns (Adiantum) of Costa Rica – Contributions from the Gray Herbarium of Harvard University No. 187. Harvard University Herbaria. p. 3-22. Schuettpelz, E., Schneider, H., Huiet, L., Windham, M. D., Pryer, K. M. 2007. A Molecular Phylogeny of the Fern Family Pteridaceae: Assessing Overall Relationships and the Affinities of Previously Unsampled Genera. Molecular Phylogenetics and Evolution 44:1172-1185. DOI : 10.1016/j.ympev.2007.04.011. Schuettpelz, E. and Pryer, K. M. 2007. Fern Phylogeny Inferred from 400 Leptosporangiate Species and Three Plastid Genes. Taxon 56 (4):10371050. Semagn, K., Bjørnstad, Å., Ndjiondjop, M. N. 2006. An Overview of Molecular Marker Methods for Plants. African Journal of Biotechnology 5 (25):25402568. Small, R. L., Cronn, R. C., Wendel, J. F. 2004. L. A. S. Johnson Review No. 2: Use of Nuclear Genes for Phylogeny Reconstruction in Plants. Australian Systematic Botany 17:145-170. Smith, A. R., Pryer, K. M., Schuettpelz, E., Korall, P., Schneider, H., Wolf, P. G. 2006. A Classification for Extant Ferns. Taxon 55 (3):705-731. Soltis, D. E. and Soltis, P. S. 1998. Choosing an Approach and an Appropriate Gene for Phylogenetic Analysis. In: Soltis, D. E., Soltis, P. S., Doyle, J. J., editors. Molecular Systematics of Plants II: DNA Sequencing. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. ISBN : 0-412-11131-4. p. 142. Soltis, D. E. and. Soltis, P. S. 2000. Contributions of Plant Molecular Systematics to Studies of Molecular Evolution. Plant Molecular Biology 42:45-75. Sulistiarini, D. 2000. Anggrek dari Kepulauan Sunda Kecil. Prosiding Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Bogor: Kebun Raya Bogor – LIPI. Sundue, M. A., Prado, J., Smith, A. R. 2010. Adiantum camptorachis (Pteridaceae), a New Species from South America with Notes on the Taxonomy of Related Species from the Southern Cone and Bolivia. American Fern Journal 100 (4):195-206.
72
Taberlet, P., Gielly, L., Pautou, G., J. Bouvet. 1991. Universal Primers for Amplification of Three Non-coding Regions of Chloroplast DNA. Plant Molecular Biology 17:1105-1109. Tamura, K., Peterson, D., Peterson, N., Stecher, G., Nei, M., Kumar, S. 2011. MEGA5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis using Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Molecular Biology and Evolution 28 (10):2731-2739. DOI : 10.1093/molbev/msr121. Tryon, R. M. and Tryon A. F. 1982. Ferns and Allied Plants, with Special Reference to Tropical America. New York: Springer-Verlag. Tsai, L., Yu, Y., Hsieh, H., Wang, J., Linacre, A., Lee, J. C. 2006. Species Identification Using Sequences of the trnL Intron and the trnL-trnF IGS of Chloroplast Genome Among Popular Plants in Taiwan. Forensic Science International 164:193-200. DOI : 10.1016/j.forsciint.2006.01.007. Wolf, P. G. 1995. Phylogenetic Analysis of rbcL and Nuclear Ribosomal RNA Gene Sequences in Dennstaedtiaceae. American Fern Journal 85:306-327. Wolf, P. G., Rowe, C. A., Sinclair, R. B., Hasebe, M. 2003. Complete Nucleotide Sequence of the Chloroplast Genome from a Leptosporangiate Fern, Adiantum capillus-veneris L. DNA Research 10:59-65. Yatabe, Y. and Murakami, N. 2003. Recognition of Cryptic Species in the Asplenium nidus Complex using Molecular Data - a Progress Report. Telopea 10 (1):487-496. Yeow-Chin, W. 1984. Common Ferns and Fern-Allies of Singapore. 1st edition. Singapore: Malayan Nature Society. ISBN : 9971-83-948-2. p. 7. Yuwono. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta: Erlangga. Zhang, G. M., Liao, W. B., Ding, M. Y., Lin, Y. X., Wu, Z. H., Zhang, X. C., Dong, S. Y., Prado, J., Gilbert, M. G., Yatskievych, G., Ranker, T. A., Hooper, E. A., Alverson, E. R., Metzgar, J. S., Funston, A. M., Masuyama, S., Kato, M. 2013. Pteridaceae. In: Wu, Z. Y., Raven, P. H., Hong, D. Y., editors. Flora of China Vol. 2-3 (Pteridophytes). Beijing: Science Press; St. Louis: Missouri Botanical Garden Press. p. 169-256.
73
LAMPIRAN 1. Foto Jenis-Jenis Adiantum dan Kerabat D
ekatnya
yang Digunakan sebagai Sampel dalam Penelitian Ini
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Keterangan : Adiantum sp. WN118 dari Bali (a); Adiantum sp. AG326 dari Sumbawa (b); A. capillus-veneris WN114 dari Jawa (c); A. caudatum WN140 dari Bali (d); A. concinnum WN117 dari Bali (e); A. diaphanum WN112 dari Bali (f); A. edgeworthii BA742 dari Timor (g); A. hispidulum WN144 dari Jawa (h).
74
LAMPIRAN 1. Lanjutan ...
d
eb h
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Keterangan : Adiantum hispidulum WN120 dari Bali (a); A. hispidulum WN157 dari Bali (b); A. hispidulum WT797 dari Lombok (c); A. hispidulum WN158 dari Timor (d); A. hispidulum BA706 dari Timor (e); A. hispidulum BA809 dari Sumba (f); A. peruvianum WN119 dari Bali (g); A. philippense WN128 dari Bali (h); A. polyphyllum WN116 dari Jawa (i).
75
LAMPIRAN 1. Lanjutan ...
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
g
h.
Keterangan : Adiantum raddianum WN111 dari Bali (a); A. raddianum WN149 dari Jawa (b); A. silvaticum BA808 dari Sumba (c); A. tenerum WN155 dari Jawa (d); A. trapeziforme AG329 dari Sumbawa (e); Antrophyum callifolium DEE37 dari Bali (f); Antrophyum latifolium RS51 dari Maluku (Dok. : N. K. E. Undaharta) (g); Vittaria zosterifolia SO002 dari Bali (h).
76
LAMPIRAN 2. Peta Distribusi Pengambilan Sampel (Adiantum dan Kerabat Dekatnya)
Seram
Bali Jawa
Sumbawa
Lombok Sumba
Timor
77
LAMPIRAN 3. Daftar Sampel (Adiantum dan Kerabat Dekatnya) Nama Jenis
Kode
Tahun Koleksi
AG326 WN118 WN114 WN154 WN140 WN117
2010 2010 2010 2012 2012 2010
Bima, Sumbawa Kebun Raya Bali Malang, Jawa Malang, Jawa Klungkung, Bali Kebun Raya Bali
SH1129
2012
Lombok Utara, Lombok
WN150
2012
9. 10. 11.
Adiantum sp.1 Adiantum sp.2 A. capillus-veneris L. 1 A. capillus-veneris L. 1 A. caudatum L. 1 A. concinnum Humb. & Bonpl. ex Willd. 2 A. concinnum Humb. & Bonpl. ex Willd. 2 A. concinnum Humb. & Bonpl. ex Willd. 2 A. diaphanum Blume1 A. diaphanum Blume1 A. edgeworthii Hook. 1
WN112 BA754a BA742
2010 2011 2011
12. 13. 14. 15. 16.
A. hispidulum Sw. 1 A. hispidulum Sw. 1 A. hispidulum Sw. 1 A. hispidulum Sw. 1 A. hispidulum Sw. 1
BA809 WT797 WN157 WN120 WN144
2011 2013 2013 2010 2012
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Asal
Panjang Sekuen rbcL trnL-F (bp) (bp) 1142 924 926 1148 1380 814 898 913 -
923
Batu, Jawa
1367
966
Kebun Raya Bali Karangasem, Bali Timor Tengah Selatan, Timor Sumba Timur, Sumba Lombok Timur, Lombok Buleleng, Bali Buleleng, Bali Batu, Jawa
1182
868 949 843
1336 1062 1365 1366
901 852 858 934 906
78
LAMPIRAN 3. Lanjutan ...
No.
Nama Jenis
Kode
Tahun Koleksi
Asal
17. A. hispidulum Sw. 1 WN158 2013 Timor Tengah Selatan, Timor 18. A. hispidulum Sw. 1 BA706 2011 Timor Tengah Selatan, Timor 19. A. peruvianum Klotzsch3 WN119 2010 Buleleng, Bali 1 20. A. philippense L. WN128 2011 Buleleng, Bali 21. A. philippense L. 1 WN142 2012 Lombok Barat, Lombok 22. A. philippense L. 1 SH1130 2012 Lombok Utara, Lombok 23. A. philippense L. 1 WN153 2012 Malang, Jawa 3 24. A. polyphyllum Willd. WN116 2010 Tulungagung, Jawa 25. A. raddianum C. Presl. 2 WN111 2010 Kebun Raya Bali 26. A. raddianum C. Presl. 2 WN149 2012 Batu, Jawa 27. A. silvaticum Tind.1 BA808 2011 Sumba Timur, Sumba 1 28. A. silvaticum Tind. Drapemmu103 1996 Sumba Timur, Sumba 29. A. tenerum Sw. 2 WN155 2012 Malang, Jawa 30. A. trapeziforme L. 2 AG329 2010 Bima, Sumbawa 31. Antrophyum sp. *1 RS54 2011 Seram 1 32. Antrophyum callifolium Blume * WN146 2012 Batu, Jawa 33. Antrophyum callifolium Blume *1 DEE37 2009 Bali 34. Antrophyum callifolium Blume *1 SH1163 2012 Lombok Utara, Lombok 35. Antrophyum latifolium Blume *1 RS51 2011 Seram 1 36. Vittaria zosterifolia Willd. * SO002 2012 Kebun Raya Bali 37. Vittaria zosterifolia Willd. *1 SO002a 2012 Bima, Sumbawa Keterangan : * Outgroup; 1Jenis asli; 2Jenis yang diintroduksi dan kemudian meliar; 3Jenis yang dibudidayakan. ●
Panjang Sekuen rbcL trnL-F (bp) (bp) 1376 910 1380 900 1373 858 1173 1221 1244 1156 909 1380 910 896 882 915 824 839 910 865 975 951 1231 851 1177 1377 -
79
LAMPIRAN 4. Cara Membuat Beberapa Larutan yang Digunakan dalam Analisis Molekuler
Konsentrasi Akhir : 2xCTAB Extraction Buffer : 1. CTAB (CH3(CH2)15N(CH3)3) 10 gr 2% 2. Sodium chloride (NaCl) 41 gr 1,4 M 3. 1 M Tris – HCl (pH 8,0) 50 ml 100 mM 4. 0,5 M EDTA2Na (pH 8,0) 20 ml 20 mM Dilarutkan dalam distilled deionized water hingga 500 ml, autoclave. TE Buffer : 1. 1 M Tris – HCl (pH 8,0) 1 ml 2. 0,5 M EDTA2Na (pH 8,0) 200 µl Dilarutkan dalam distilled deionized water hingga 100 ml. Stok 50xTAE Buffer : 1. Tris (C4H11NO3) 242 gr 2. 0,5 M EDTA2Na (pH 8,0) 100 ml 3. Acetic Acid (CH3COOH) 57,1 ml Dilarutkan dalam distilled deionized water hingga 1.000 ml. 1xTAE Buffer : 10 ml stok 50xTAE dilarutkan dalam 490 ml distilled deionized water.
80
LAMPIRAN 5. Hasil Elektroforesis DNA Total
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
ab c ed
A
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
a cbd e
B Keterangan : Elektroforesis DNA total hasil ekstraksi beberapa sampel menggunakan modifikasi CTAB (A) dan DNeasy Plant Mini Kit (B) : Adiantum sp. WN118 (1); A. concinnum SH1129 (2); A. silvaticum BA808 (3); A. silvaticum Drapemmu 103 (4); A. trapeziforme AG329 (5); A. capillus-veneris WN154 (6); A. tenerum WN113 (7); A. macrophyllum WN129 (8)-tidak digunakan dalam penelitian ini; Antrophyum callifolium WN146 (9); A. callifolium DEE37 (10); Antrophyum sp. RS54 (11); A. callifolium SH1163 (12); Monogramma trichoidea SO001 (13) dan M. trichoidea SO004a (14)-tidak digunakan dalam penelitian ini; Vittaria zosterifolia SO002 (15); V. zosterifolia SO002a (16). M = Marker (a : 1353 bp; b : 1078 bp; c : 872 bp; d : 603 bp; e : 310 bp).
81
LAMPIRAN 6. Hasil Elektroforesis Produk PCR Gen rbcL dan trnL-F
M
ab
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
cd e
Keterangan : Hasil amplifikasi gen rbcL : Adiantum hispidulum BA809 (1); A. raddianum WN111 (2); A. trapeziforme AG329 (3); A. capillus-veneris WN154 (4); A. tenerum WN155 (5); A. concinnum WN150 (6); A. hispidulum WN144 (7); A. philippense WN153 (8); A. polyphyllum WN116 (9); Antrophyum callifolium WN146 (10); Antrophyum sp. DEE37 (11). M = Marker (a : 1353 bp; b : 1078 bp; c : 872 bp; d : 603 bp; e : 310 bp).
M
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
a
Keterangan : Hasil amplifikasi trnL-F : Adiantum hispidulum WN157 (1); A. hispidulum WN158 (2); A. hispidulum WT797 (3); A. philippense WN128 (4); A. philippense WN142 (5); A. philippense SH1130 (6); A. peruvianum WN119 (7); A. silvaticum BA808 (8); A. silvaticum Drapemmu103 (9); A. hispidulum WN120 (10); A. hispidulum BA706 (11); A. hispidulum BA809 (12); A. raddianum WN111 (13); A. trapeziforme AG329 (14); A. capillus-veneris WN144 (15); A. capillus-veneris WN154 (16). M = Marker (a : 1353 bp).
82
LAMPIRAN 7. Daftar Sekuen yang Diunduh dari GenBank No. Akses rbcL trnL-F 1. Adiantum sp. Bolivia JF935335 JF980679 2. Adiantum sp. Malaysia JF935344 JF980689 3. A. aethiopicum New Zealand JF935350 JF980695 4. A. capillus-veneris China JF935322 5. A. caudatum China JF935296 6. A. cuneatum Indonesia JF935339 JF980684 7. A. diaphanum Taiwan AB574797 8. A. diaphanum China JF935301 JF980647 9. A. edgeworthii Japan AB574798 10. A. edgeworthii China JF935311 JF980660 11. A. flabellulatum China JF935315 JF980663 12. A. jordanii USA JF935348 JF980693 13. A. malesianum China JF935297 JF980642 14. A. mariesii China JF935302 JF980648 15. A. philippense Fillipina JF980675 16. A. princeps Mexico JF935356 JF980701 17. A. sinicum China JF935300 JF980646 18. A. soboliferum China JF935299 JF980644 19. A. tenerum Mexico JF935355 20. A. tetraphyllum Cultivated EF452135 21. Antrophyum callifolium EU024556 22. Vittaria sp. China JF980705 Keterangan : JF = akses dari Lu et al. (2012); AB = akses dari Ebihara et al. (2010); EF = akses dari Schuettpelz et al. (2007); dan EU = akses dari Ruhfel et al. (2008). No.
Nama Jenis
Asal
83
LAMPIRAN 8. Jarak Genetik Antar Spesimen Sampel berdasarkan Sekuen rbcL No.
Nama Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
Adiantum sp. AG326
2
JF935296 A. caudatum
0.013
3
A. edgeworthii BA742
0.035
0.029
4
AB574798 A. edgeworthii
0.034
0.028
0.001
5
JF935311 A. edgeworthii
0.031
0.031
0.032
0.031
6
A. philippense WN128
0.038
0.036
0.033
0.032
0.020
7
A. philippense WN142
0.038
0.036
0.033
0.032
0.020
0.000
8
A. philippense WN153
0.038
0.036
0.033
0.032
0.020
0.000
0.000
9
A. philippense SH1130
0.039
0.037
0.034
0.033
0.021
0.001
0.001
0.001
10
A. hispidulum WN158
0.104
0.105
0.105
0.104
0.090
0.098
0.098
0.098
0.099
11
A. hispidulum WN157
0.103
0.104
0.104
0.103
0.089
0.097
0.097
0.097
0.098
0.003
12
A. hispidulum BA809
0.103
0.104
0.104
0.103
0.089
0.097
0.097
0.097
0.098
0.003
0.000
13
A. hispidulum WN120
0.104
0.105
0.105
0.104
0.090
0.098
0.098
0.098
0.099
0.000
0.003
0.003
14
A. hispidulum BA706
0.105
0.106
0.106
0.105
0.091
0.099
0.099
0.099
0.100
0.001
0.004
0.004
0.001
15
A. hispidulum WN144
0.104
0.105
0.105
0.104
0.090
0.098
0.098
0.098
0.099
0.000
0.003
0.003
0.000
16
A. raddianum WN111
0.099
0.104
0.102
0.101
0.093
0.097
0.097
0.097
0.098
0.023
0.024
0.024
0.023
17
JF935335 Adiantum sp.
0.101
0.104
0.100
0.099
0.093
0.097
0.097
0.097
0.098
0.023
0.024
0.024
0.023
18
JF935339 A. cuneatum
0.099
0.104
0.102
0.101
0.093
0.097
0.097
0.097
0.098
0.023
0.024
0.024
0.023
19
JF935355 A. tenerum
0.087
0.091
0.094
0.093
0.077
0.093
0.093
0.093
0.094
0.082
0.081
0.081
0.082
20
JF935356 A. princeps
0.083
0.085
0.088
0.087
0.075
0.087
0.087
0.087
0.088
0.083
0.082
0.082
0.083
84
LAMPIRAN 8. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
1
Adiantum sp. AG326
2
JF935296 A. caudatum
3
A. edgeworthii BA742
4
AB574798 A. edgeworthii
5
JF935311 A. edgeworthii
6
A. philippense WN128
7
A. philippense WN142
8
A. philippense WN153
14
15
16
17
18
9
A. philippense SH1130
10
A. hispidulum WN158
11
A. hispidulum WN157
12
A. hispidulum BA809
13
A. hispidulum WN120
14
A. hispidulum BA706
15
A. hispidulum WN144
16
A. raddianum WN111
0.024
0.023
17
JF935335 Adiantum sp.
0.024
0.023
0.010
18
JF935339 A. cuneatum
0.024
0.023
0.000
0.010
19
JF935355 A. tenerum
0.083
0.082
0.082
0.088
0.082
20
JF935356 A. princeps
0.084
0.083
0.082
0.084
0.082
19
0.001
0.029
20
21
22
23
24
25
26
27
85
LAMPIRAN 8. Lanjutan ... No. 1
Nama Jenis Adiantum sp. AG326
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
0.010
0.011
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.009
0.003
0.013
0.012
0.013
0.012
2
JF935296 A. caudatum
0.010
0.011
0.010
0.009
0.009
0.009
0.009
0.009
0.000
0.013
0.012
0.013
0.012
3
A. edgeworthii BA742
0.010
0.011
0.010
0.009
0.009
0.009
0.009
0.009
0.005
0.013
0.012
0.013
0.013
4
AB574798 A. edgeworthii
0.010
0.011
0.010
0.009
0.009
0.009
0.009
0.009
0.005
0.013
0.012
0.013
0.013
5
JF935311 A. edgeworthii
0.010
0.010
0.010
0.009
0.009
0.009
0.009
0.008
0.006
0.012
0.011
0.012
0.012
6
A. philippense WN128
0.010
0.011
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.009
0.006
0.012
0.012
0.013
0.013
7
A. philippense WN142
0.010
0.011
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.009
0.006
0.012
0.012
0.013
0.013
8
A. philippense WN153
0.010
0.011
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.009
0.006
0.012
0.012
0.013
0.013
9
A. philippense SH1130
0.010
0.011
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.009
0.006
0.012
0.012
0.013
0.013
10
A. hispidulum WN158
0.004
0.011
0.004
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.013
0.012
0.012
0.012
11
A. hispidulum WN157
0.004
0.011
0.004
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.013
0.012
0.012
0.012
12
A. hispidulum BA809
0.004
0.011
0.004
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.013
0.012
0.012
0.012
13
A. hispidulum WN120
0.004
0.011
0.004
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.013
0.012
0.012
0.012
14
A. hispidulum BA706
0.005
0.011
0.004
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.013
0.012
0.012
0.012
15
A. hispidulum WN144
0.004
0.011
0.004
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.010
0.013
0.012
0.012
0.012
16
A. raddianum WN111
0.005
0.010
0.004
0.009
0.009
0.009
0.009
0.010
0.010
0.012
0.012
0.012
0.012
17
JF935335 Adiantum sp.
0.005
0.010
0.004
0.009
0.009
0.009
0.009
0.010
0.010
0.012
0.012
0.012
0.012
18
JF935339 A. cuneatum
0.005
0.010
0.004
0.009
0.009
0.009
0.009
0.010
0.010
0.012
0.012
0.012
0.012
19
JF935355 A. tenerum
0.009
0.009
0.009
0.008
0.008
0.008
0.008
0.010
0.009
0.012
0.012
0.012
0.012
20
JF935356 A. princeps
0.009
0.008
0.009
0.008
0.008
0.008
0.008
0.009
0.009
0.012
0.012
0.012
0.011
86
LAMPIRAN 8. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0.108
0.106
0.104
0.103
0.100
0.105
0.105
0.105
0.106
0.027
0.028
0.028
0.027
21
AB574797 A. diaphanum
22
JF935301 A. diaphanum
0.108
0.106
0.104
0.103
0.100
0.105
0.105
0.105
0.106
0.027
0.028
0.028
0.027
23
JF935299 A. soboliferum
0.036
0.034
0.033
0.032
0.018
0.003
0.003
0.003
0.004
0.096
0.094
0.094
0.096
24
JF935300 A. sinicum
0.036
0.032
0.028
0.027
0.029
0.031
0.031
0.031
0.032
0.098
0.097
0.097
0.098
25
JF935302 A. mariesii
0.031
0.029
0.038
0.037
0.035
0.044
0.044
0.044
0.045
0.102
0.102
0.102
0.102
26
A. peruvianum WN119
0.097
0.092
0.096
0.094
0.081
0.093
0.093
0.093
0.094
0.086
0.085
0.085
0.086
27
EF452135 A. tetraphyllum
0.106
0.103
0.109
0.108
0.096
0.104
0.104
0.104
0.105
0.100
0.099
0.099
0.100
28
A. concinnum WN150
0.101
0.100
0.100
0.099
0.089
0.094
0.094
0.094
0.096
0.020
0.019
0.019
0.020
29
JF935344 Adiantum sp.
0.112
0.113
0.118
0.116
0.103
0.114
0.114
0.114
0.115
0.110
0.109
0.109
0.110
30
JF935350 A. aethiopicum
0.100
0.099
0.099
0.098
0.090
0.096
0.096
0.096
0.097
0.013
0.014
0.014
0.013
31
A. capillus-veneris WN114
0.097
0.093
0.087
0.086
0.079
0.091
0.091
0.091
0.092
0.090
0.091
0.091
0.090
32
A. capillus-veneris WN154
0.097
0.093
0.087
0.086
0.079
0.091
0.091
0.091
0.092
0.090
0.091
0.091
0.090
33
JF935322 A. capillus-veneris
0.097
0.093
0.087
0.086
0.079
0.091
0.091
0.091
0.092
0.090
0.091
0.091
0.090
34
JF935348 A. jordanii
0.097
0.093
0.087
0.086
0.079
0.091
0.091
0.091
0.092
0.090
0.091
0.091
0.090
35
JF935315 A. flabellulatum
0.092
0.092
0.082
0.081
0.074
0.083
0.083
0.083
0.084
0.096
0.094
0.094
0.096
36
JF935297 A. malesianum
0.013
0.000
0.029
0.028
0.031
0.036
0.036
0.036
0.037
0.105
0.104
0.104
0.105
37
EU024556 Antrophyum callifolium
0.146
0.146
0.141
0.140
0.133
0.141
0.141
0.141
0.142
0.133
0.136
0.136
0.133
38
Antrophyum latifolium RS51
0.144
0.142
0.140
0.139
0.130
0.142
0.142
0.142
0.144
0.133
0.136
0.136
0.133
39
Vittaria zosterifolia SO002
0.148
0.151
0.151
0.149
0.144
0.151
0.151
0.151
0.152
0.139
0.139
0.139
0.139
40
Vittaria zosterifolia SO002a
0.142
0.145
0.145
0.144
0.137
0.147
0.147
0.147
0.148
0.140
0.140
0.140
0.140
87
LAMPIRAN 8. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
14
15
16
17
18
19
20
0.028
0.027
0.029
0.027
0.029
0.092
0.090
21
22
23
24
25
26
27
21
AB574797 A. diaphanum
22
JF935301 A. diaphanum
0.028
0.027
0.029
0.027
0.029
0.092
0.090
0.000
23
JF935299 A. soboliferum
0.097
0.096
0.094
0.094
0.094
0.091
0.085
0.103
0.103
24
JF935300 A. sinicum
0.099
0.098
0.097
0.099
0.097
0.088
0.088
0.101
0.101
0.031
25
JF935302 A. mariesii
0.103
0.102
0.105
0.105
0.105
0.087
0.087
0.105
0.105
0.042
0.038
26
A. peruvianum WN119
0.087
0.086
0.086
0.088
0.086
0.061
0.061
0.094
0.094
0.091
0.097
0.098
27
EF452135 A. tetraphyllum
0.101
0.100
0.100
0.104
0.100
0.076
0.077
0.108
0.108
0.104
0.108
0.110
0.039
28
A. concinnum WN150
0.021
0.020
0.018
0.020
0.018
0.081
0.081
0.030
0.030
0.092
0.094
0.101
0.081
29
JF935344 Adiantum sp.
0.111
0.110
0.108
0.112
0.108
0.085
0.086
0.116
0.116
0.114
0.118
0.121
0.044
0.028
30
JF935350 A. aethiopicum
0.014
0.013
0.017
0.017
0.017
0.082
0.082
0.021
0.021
0.093
0.096
0.102
0.082
0.098
31
A. capillus-veneris WN114
0.091
0.090
0.094
0.090
0.094
0.083
0.081
0.097
0.097
0.091
0.087
0.092
0.076
0.091
0.097
32
A. capillus-veneris WN154
0.091
0.090
0.094
0.090
0.094
0.083
0.081
0.097
0.097
0.091
0.087
0.092
0.076
0.091
33
JF935322 A. capillus-veneris
0.091
0.090
0.094
0.090
0.094
0.083
0.081
0.097
0.097
0.091
0.087
0.092
0.076
0.091
34
JF935348 A. jordanii
0.091
0.090
0.094
0.090
0.094
0.083
0.081
0.097
0.097
0.091
0.087
0.092
0.076
0.091
35
JF935315 A. flabellulatum
0.097
0.096
0.098
0.098
0.098
0.086
0.083
0.100
0.100
0.083
0.084
0.099
0.081
0.093
36
JF935297 A. malesianum
0.106
0.105
0.104
0.104
0.104
0.091
0.085
0.106
0.106
0.034
0.032
0.029
0.092
0.103
37
EU024556 Antrophyum callifolium
0.134
0.133
0.132
0.128
0.132
0.132
0.134
0.133
0.133
0.139
0.142
0.137
0.133
0.146
38
Antrophyum latifolium RS51
0.134
0.133
0.137
0.132
0.137
0.127
0.129
0.137
0.137
0.140
0.144
0.132
0.128
0.142
39
Vittaria zosterifolia SO002
0.140
0.139
0.140
0.137
0.140
0.131
0.136
0.139
0.139
0.148
0.154
0.151
0.141
0.151
40
Vittaria zosterifolia SO002a
0.141
0.140
0.140
0.137
0.140
0.124
0.129
0.142
0.142
0.145
0.148
0.145
0.134
0.146
88
LAMPIRAN 8. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
21
AB574797 A. diaphanum
22
JF935301 A. diaphanum
23
JF935299 A. soboliferum
24
JF935300 A. sinicum
25
JF935302 A. mariesii
26
A. peruvianum WN119
27
EF452135 A. tetraphyllum
28
A. concinnum WN150
29
JF935344 Adiantum sp.
0.104
30
JF935350 A. aethiopicum
0.013
0.105
31
A. capillus-veneris WN114
0.090
0.098
0.086
32
A. capillus-veneris WN154
0.090
0.098
0.086
0.000
33
JF935322 A. capillus-veneris
0.090
0.098
0.086
0.000
0.000
34
JF935348 A. jordanii
0.090
0.098
0.086
0.000
0.000
0.000
35
JF935315 A. flabellulatum
0.093
0.103
0.091
0.043
0.043
0.043
0.043
36
JF935297 A. malesianum
0.100
0.113
0.099
0.093
0.093
0.093
0.093
0.092
37
EU024556 Antrophyum callifolium
0.134
0.155
0.133
0.129
0.129
0.129
0.129
0.128
0.146
38
Antrophyum latifolium RS51
0.137
0.147
0.138
0.130
0.130
0.130
0.130
0.125
0.142
39
Vittaria zosterifolia SO002
0.140
0.152
0.144
0.138
0.138
0.138
0.138
0.136
0.151
0.106
0.104
40
Vittaria zosterifolia SO002a
0.140
0.149
0.144
0.131
0.131
0.131
0.131
0.131
0.145
0.102
0.097
39
0.032 0.011
40
89
LAMPIRAN 9. Jarak Genetik Antar Spesimen Sampel berdasarkan Sekuen trnL-F No.
Nama Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
JF980660 A. edgeworthii
2
A. caudatum WN140
3
Adiantum sp. AG326
0.065
0.042
4
JF980648 A. mariesii
0.087
0.089
0.079
5
JF980642 A. malesianum
0.065
0.009
0.040
0.091
6
JF980646 A. sinicum
0.040
0.040
0.042
0.069
0.038
7
JF980644 A. soboliferum
0.038
0.053
0.063
0.085
0.055
0.040
8
JF980675 A. philippense
0.036
0.059
0.065
0.087
0.061
0.042
0.005
9
JF980689 Adiantum sp.
0.224
0.244
0.234
0.246
0.239
0.217
0.229
0.227
10
JF980663 A. flabellulatum
0.234
0.239
0.234
0.217
0.237
0.210
0.227
0.224
0.234
11
JF980693 A. jordanii
0.224
0.239
0.229
0.232
0.237
0.208
0.215
0.215
0.234
0.119
12
A. capillus-veneris WN154
0.222
0.237
0.227
0.229
0.234
0.205
0.213
0.213
0.232
0.117
0.002
13
Adiantum sp. WN118
0.264
0.277
0.251
0.284
0.279
0.264
0.264
0.266
0.259
0.319
0.313
0.311
14
A. raddianum WN111
0.274
0.290
0.266
0.290
0.292
0.274
0.277
0.279
0.261
0.319
0.322
0.319
0.022
15
A. raddianum WN149
0.274
0.290
0.266
0.290
0.292
0.274
0.277
0.279
0.261
0.319
0.322
0.319
0.022
14
0.067
0.000
15
90
LAMPIRAN 9. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
A. concinnum WN150
0.261
0.274
0.249
0.282
0.277
0.261
0.261
0.264
0.256
0.316
0.311
0.308
0.002
0.023
0.023
17
A. concinnum WN117
0.261
0.274
0.249
0.282
0.277
0.261
0.261
0.264
0.256
0.316
0.311
0.308
0.002
0.023
0.023
18
A. concinnum SH1129
0.261
0.274
0.249
0.282
0.277
0.261
0.261
0.264
0.256
0.316
0.311
0.308
0.002
0.023
0.023
19
JF980684 A. cuneatum
0.274
0.290
0.266
0.290
0.292
0.274
0.277
0.279
0.261
0.319
0.322
0.319
0.022
0.000
0.000
20
A. tenerum WN155
0.215
0.244
0.246
0.239
0.241
0.224
0.215
0.213
0.185
0.251
0.259
0.256
0.256
0.266
0.266
21
JF980695 A. aethiopicum
0.269
0.297
0.279
0.300
0.300
0.274
0.274
0.277
0.259
0.327
0.324
0.322
0.036
0.044
0.044
22
JF980701 A. princeps
0.187
0.215
0.208
0.217
0.215
0.187
0.187
0.185
0.151
0.224
0.227
0.224
0.215
0.227
0.227
23
JF980647 A. diaphanum
0.274
0.292
0.269
0.297
0.295
0.277
0.274
0.277
0.264
0.319
0.319
0.316
0.040
0.046
0.046
24
A. diaphanum BA754a
0.274
0.292
0.269
0.297
0.295
0.277
0.274
0.277
0.264
0.319
0.319
0.316
0.040
0.046
0.046
25
A. diaphanum WN112
0.274
0.292
0.269
0.297
0.295
0.277
0.274
0.277
0.264
0.319
0.319
0.316
0.040
0.046
0.046
26
A. edgeworthii BA742
0.061
0.065
0.067
0.087
0.063
0.038
0.065
0.067
0.237
0.222
0.222
0.220
0.274
0.284
0.284
27
JF980679 Adiantum sp.
0.269
0.284
0.261
0.290
0.287
0.269
0.271
0.274
0.266
0.319
0.327
0.324
0.022
0.011
0.011
28
A. hispidulum BA706
0.269
0.292
0.269
0.292
0.295
0.274
0.274
0.277
0.254
0.324
0.316
0.313
0.025
0.033
0.033
29
A. hispidulum BA809
0.274
0.297
0.274
0.297
0.300
0.279
0.279
0.282
0.259
0.324
0.322
0.319
0.022
0.029
0.029
30
A. hispidulum WN144
0.271
0.295
0.271
0.295
0.297
0.277
0.277
0.279
0.256
0.322
0.319
0.316
0.023
0.031
0.031
91
LAMPIRAN 9. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
16
A. concinnum WN150
17
A. concinnum WN117
0.000
18
A. concinnum SH1129
0.000
19
JF980684 A. cuneatum
0.023
0.023
0.023
20
A. tenerum WN155
0.254
0.254
0.254
0.266
21
JF980695 A. aethiopicum
0.038
0.038
0.038
0.044
0.266
22
JF980701 A. princeps
0.213
0.213
0.213
0.227
0.075
0.224
23
JF980647 A. diaphanum
0.042
0.042
0.042
0.046
0.277
0.042
0.234
24
A. diaphanum BA754a
0.042
0.042
0.042
0.046
0.277
0.042
0.234
0.000
25
A. diaphanum WN112
0.042
0.042
0.042
0.046
0.277
0.042
0.234
0.000
0.000
26
A. edgeworthii BA742
0.271
0.271
0.271
0.284
0.246
0.284
0.203
0.284
0.284
0.284
27
JF980679 Adiantum sp.
0.023
0.023
0.023
0.011
0.266
0.044
0.224
0.048
0.048
0.048
0.279
28
A. hispidulum BA706
0.027
0.027
0.027
0.033
0.256
0.035
0.208
0.038
0.038
0.038
0.284
0.033
29
A. hispidulum BA809
0.023
0.023
0.023
0.029
0.261
0.035
0.213
0.038
0.038
0.038
0.290
0.029
0.005
30
A. hispidulum WN144
0.025
0.025
0.025
0.031
0.259
0.036
0.213
0.040
0.040
0.040
0.287
0.031
0.005
29
0.000
0.004
30
92
LAMPIRAN 9. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
31
A. hispidulum WN120
0.271
0.295
0.271
0.295
0.297
0.277
0.277
0.279
0.256
0.322
0.319
0.316
0.023
0.031
0.031
32
A. hispidulum WN158
0.271
0.295
0.271
0.295
0.297
0.277
0.277
0.279
0.256
0.322
0.319
0.316
0.023
0.031
0.031
33
A. hispidulum WN157
0.274
0.297
0.274
0.297
0.300
0.279
0.279
0.282
0.259
0.324
0.322
0.319
0.022
0.029
0.029
34
A. hispidulum WT797
0.274
0.297
0.274
0.297
0.300
0.279
0.279
0.282
0.259
0.324
0.322
0.319
0.022
0.029
0.029
35
A. silvaticum BA808
0.266
0.290
0.266
0.295
0.292
0.274
0.271
0.274
0.269
0.316
0.303
0.300
0.038
0.044
0.044
36
A. silvaticum Drapemmu103
0.266
0.290
0.266
0.295
0.292
0.274
0.271
0.274
0.269
0.316
0.303
0.300
0.038
0.044
0.044
37
A. polyphyllum WN116
0.220
0.237
0.232
0.244
0.232
0.215
0.229
0.227
0.081
0.246
0.239
0.237
0.234
0.241
0.241
38
A. trapeziforme AG329
0.237
0.251
0.246
0.259
0.246
0.229
0.241
0.239
0.089
0.259
0.249
0.246
0.246
0.254
0.254
39
A. peruvianum WN119
0.227
0.244
0.239
0.251
0.239
0.222
0.237
0.234
0.083
0.254
0.241
0.239
0.234
0.241
0.241
40
Antrophyum latifolium RS51
0.644
0.624
0.628
0.632
0.628
0.636
0.636
0.628
0.596
0.600
0.608
0.612
0.620
0.608
0.608
41
Antrophyum callifolium DEE37
0.649
0.624
0.628
0.624
0.628
0.632
0.640
0.632
0.604
0.616
0.616
0.620
0.600
0.588
0.588
42
Antrophyum callifolium SH1163
0.649
0.624
0.628
0.624
0.628
0.632
0.640
0.632
0.604
0.616
0.616
0.620
0.600
0.588
0.588
43
Antrophyum callifolium WN146
0.653
0.632
0.624
0.616
0.636
0.636
0.644
0.636
0.620
0.620
0.608
0.612
0.616
0.608
0.608
44
Antrophyum sp. RS54
0.666
0.632
0.636
0.636
0.636
0.644
0.649
0.640
0.616
0.612
0.604
0.608
0.620
0.616
0.616
45
JF980705 Vittaria sp.
0.624
0.596
0.592
0.588
0.600
0.596
0.624
0.616
0.565
0.592
0.596
0.592
0.572
0.584
0.584
93
LAMPIRAN 9. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
A. hispidulum WN120
0.025
0.025
0.025
0.031
0.259
0.036
0.213
0.040
0.040
0.040
0.287
0.031
0.005
0.004
0.000
32
A. hispidulum WN158
0.025
0.025
0.025
0.031
0.259
0.036
0.213
0.040
0.040
0.040
0.287
0.031
0.005
0.004
0.000
33
A. hispidulum WN157
0.023
0.023
0.023
0.029
0.261
0.035
0.213
0.038
0.038
0.038
0.290
0.029
0.005
0.000
0.004
34
A. hispidulum WT797
0.023
0.023
0.023
0.029
0.261
0.035
0.213
0.038
0.038
0.038
0.290
0.029
0.005
0.000
0.004
35
A. silvaticum BA808
0.040
0.040
0.040
0.044
0.269
0.042
0.227
0.033
0.033
0.033
0.279
0.046
0.036
0.036
0.038
36
A. silvaticum Drapemmu103
0.040
0.040
0.040
0.044
0.269
0.042
0.227
0.033
0.033
0.033
0.279
0.046
0.036
0.036
0.038
37
A. polyphyllum WN116
0.232
0.232
0.232
0.241
0.187
0.244
0.147
0.246
0.246
0.246
0.227
0.237
0.241
0.237
0.234
38
A. trapeziforme AG329
0.244
0.244
0.244
0.254
0.192
0.256
0.156
0.259
0.259
0.259
0.239
0.254
0.254
0.249
0.246
39
A. peruvianum WN119
0.232
0.232
0.232
0.241
0.189
0.244
0.153
0.246
0.246
0.246
0.234
0.241
0.241
0.237
0.234
40
Antrophyum latifolium RS51
0.624
0.624
0.624
0.608
0.584
0.624
0.565
0.608
0.608
0.608
0.632
0.608
0.616
0.612
0.608
41
Antrophyum callifolium DEE37
0.604
0.604
0.604
0.588
0.576
0.596
0.557
0.604
0.604
0.604
0.624
0.588
0.596
0.592
0.588
42
Antrophyum callifolium SH1163
0.604
0.604
0.604
0.588
0.576
0.596
0.557
0.604
0.604
0.604
0.624
0.588
0.596
0.592
0.588
43
Antrophyum callifolium WN146
0.620
0.620
0.620
0.608
0.580
0.624
0.569
0.624
0.624
0.624
0.624
0.608
0.616
0.612
0.608
44
Antrophyum sp. RS54
0.624
0.624
0.624
0.616
0.576
0.632
0.572
0.636
0.636
0.636
0.632
0.616
0.624
0.620
0.616
45
JF980705 Vittaria sp.
0.576
0.576
0.576
0.584
0.539
0.596
0.521
0.588
0.588
0.588
0.604
0.584
0.580
0.580
0.580
94
LAMPIRAN 9. Lanjutan ... No.
Nama Jenis
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
31
A. hispidulum WN120
32
A. hispidulum WN158
0.000
33
A. hispidulum WN157
0.004
0.004
34
A. hispidulum WT797
0.004
0.004
0.000
35
A. silvaticum BA808
0.038
0.038
0.036
0.036
36
A. silvaticum Drapemmu103
0.038
0.038
0.036
0.036
0.000
37
A. polyphyllum WN116
0.234
0.234
0.237
0.237
0.249
0.249
38
A. trapeziforme AG329
0.246
0.246
0.249
0.249
0.259
0.259
0.018
39
A. peruvianum WN119
0.234
0.234
0.237
0.237
0.249
0.249
0.009
0.009
40
Antrophyum latifolium RS51
0.608
0.608
0.612
0.612
0.620
0.620
0.580
0.584
41
Antrophyum callifolium DEE37
0.588
0.588
0.592
0.592
0.600
0.600
0.576
0.580
0.572
0.057
42
Antrophyum callifolium SH1163
0.588
0.588
0.592
0.592
0.600
0.600
0.576
0.580
0.572
0.057
0.000
43
Antrophyum callifolium WN146
0.608
0.608
0.612
0.612
0.620
0.620
0.588
0.592
0.584
0.059
0.044
44
Antrophyum sp. RS54
0.616
0.616
0.620
0.620
0.628
0.628
0.596
0.600
0.592
0.063
0.055
0.055
0.038
45
JF980705 Vittaria sp.
0.580
0.580
0.580
0.580
0.600
0.600
0.546
0.550
0.546
0.259
0.277
0.277
0.264
44
0.576
0.044 0.277
45
95
LAMPIRAN 10. Susunan Sekuen trnL-F pada Masing-Masing Sampel Adiantum No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Nama Jenis Adiantum sp. Adiantum sp. A. capillus-veneris A. capillus-veneris A. caudatum A. concinnum A. concinnum A. concinnum A. diaphanum A. diaphanum A. edgeworthii A. hispidulum A. hispidulum A. hispidulum A. hispidulum A. hispidulum A. hispidulum A. hispidulum A. peruvianum A. philippense A. philippense A. philippense
Kode WN 118 AG 326 WN 114 WN 154 WN 140 WN 117 SH 1129 WN150 WN 112 BA 754a BA 742 BA 809 WT 797 WN 157 WN 120 WN144 WN 158 BA 706 WN 119 WN 128 WN 142 SH 1130
trnL-F 1 - 926 1 - 924 1 - 814 1 - 898 1 - 913 1 - 923 1 - 966 1 - 868 1 - 949 1 - 843 1 - 901 1 - 852 1 - 858 1 - 934 1 - 906 1 - 910 1 - 900 1 - 858 -
Intron trnL 1 - 574 1 - 562 1 - 494 1 - 550 1 - 550 1 - 549 1 - 595 1 - 489 1 – 580 1 - 487 1 - 525 1 - 499 1 - 505 1 - 562 1 - 526 1 - 530 1 - 524 1 - 514 -
trnL 3’ ekson Basa Nukleotida ke575 - 621 563 - 609 495 - 541 551 - 597 551 - 597 550 - 596 596 - 642 490 - 536 581 - 627 488 - 534 526 - 572 500 - 546 506 - 552 563 - 609 527 - 573 531 - 577 525 - 571 515 - 561 -
trnL-F IGS 622 - 926 610 - 924 542 - 814 598 - 898 598 - 913 597 - 923 643 - 966 537 - 868 628 - 949 535 - 843 573 - 901 547 - 852 552 - 858 610 - 934 574 - 906 577 - 910 572 - 900 562 - 858 -
96
LAMPIRAN 10. Lanjutan ... trnL 3’ ekson trnL-F IGS Basa Nukleotida ke23. A. philippense WN153 24. A. polyphyllum WN 116 1 - 909 1 - 567 568 - 614 615 - 909 558 - 604 605 - 910 25. A. raddianum WN 111 1 - 910 1 - 557 26. A. raddianum WN149 1 - 896 1 - 544 545 - 591 592 - 896 27. A. silvaticum BA 808 1 - 882 1 - 508 509 - 555 556 - 882 28. A. silvaticum Drapemmu 103 1 - 915 1 - 544 545 - 591 592 - 915 29. A. tenerum WN155 1 - 824 1 - 534 535 - 581 582 - 824 30. A. trapeziforme AG 329 1 - 839 1 - 513 514 - 560 561 - 839 Keterangan : Intron trnL = bagian dari gen trnL yang tidak mengkode dan akan mengalami splicing; trnL 3’ ekson = bagian dari gen trnL yang menghasilkan asam amino Leusin (47 bp); trnL-F IGS = intergenic spacer yang terletak di antara trnL dan trnF; (-) = sekuen trnL-F dari sampel tersebut tidak berhasil diperoleh. No.
Nama Jenis
Kode
trnL-F
Intron trnL