BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Warisan budaya mengekspresikan suatu hubungan yang panjang antara manusia dan lingkungannya (Rossler, 2009: 19). Warisan Budaya dapat diartikan sebagai suatu yang dilestarikan dari generasi masa lalu kemudian diwariskan kepada generasi sekarang, yang kemudian akan mewariskannya untuk generasi yang akan datang (Aksa, 2004: 1). Warisan budaya juga dapat dipergunakan untuk menghargai hasil budaya masa lalu yang bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai bagi generasi mendatang (Aplin, 2002: 13). Byrne (2008: 150-151) menyampaikan bahwa budaya menunjukkan totalitas yang berhubungan dengan segala sesuatu yang telah dipelajari oleh kelompok masyarakat. Hasil budaya tersebut meliputi sistem kekerabatan serta sistem politik, perilaku terhadap alam, sistem pertanian, dan keagamaan. Budaya menjadikan suatu masyarakat menjadi berbeda dengan masyarakat lainnya. Seperti dikemukakan Jokilehto (2005: 5), bahwa warisan budaya menjadi bagian penting dalam penegasan dan pengayaan identitas budaya. Mengingat pentingnya warisan budaya, masyarakat perlu didorong untuk berpartisipasi dalam upaya pelestariannya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa salah satu asas pelestarian cagar budaya adalah asas partisipasi. Asas partisipasi yang dimaksud adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan
aktif dalam pelestarian cagar budaya. Partisipasi masyarakat menjadi hal penting dalam pelestarian cagar budaya, seperti tercantum dalam pertimbangan UUCB poin a : “Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun, faktanya sering terjadi kerusakan warisan budaya baik yang disengaja maupun tidak disengaja dengan dalih peningkatan pembangunan ataupun perekonomian. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi penggiat warisan budaya dan masyarakat yang melakukan pembangunan untuk dapat menemukan solusi yang tidak merugikan keduanya. Salah satu warisan budaya yang sering mengalami kerusakan adalah tinggalan budaya megalitik dari masa prasejarah. Menurut Prasetyo (2012: 305), diantara warisan budaya dari masa prasejarah adalah tinggalan megalitik yang maksud pendiriannya adalah sebagai manifestasi dalam menjalin hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Kebudayaan megalitik adalah kebudayaan yang menghasilkan tinggalan-tinggalan dari batu-batu besar (Soekmono, 1991: 72), walaupun dalam kondisi riilnya, ada juga warisan budaya megalitik yang berukuran kecil, bahkan ada pula yang dibuat dari bahan kayu (Atmosudiro, 2012: 1). Budaya megalitik di Indonesia belum dapat ditentukan secara pasti kurun waktunya. Munculnya seni bangunan pada masa prasejarah dapat dihubungkan
dengan pergantian sistem mata pencaharian dari berburu dan mengumpulkan makanan ke sistem bercocok tanam. Sesuai dengan itu maka cara hidup mengembara ditinggalkan, manusia tinggal di suatu tempat untuk masa yang lama (Atmosudiro, 2001:42). Data pertanggalan secara absolut baru dapat menunjukkan bahwa usia budaya megalitik di Indonesia relatif cukup muda. Usia paling tua diperkirakan mulai periode logam, yaitu sekitar awal abad Masehi (Prasetyo, 2012: 311). Bangunan megalitik tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia seperti di Sumatera, Kalimantan, Sumbawa, Sulawesi, Flores, Timor, Bali, dan Jawa (Soejono, 2010: 254-285). Salah satu tinggalan budaya megalitik di Jawa adalah watu kandang yang berada di Dukuh Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah yang sekaligus menjadi fokus penelitian tesis ini (lihat gambar 1.1 dan 1.2).
U
Gambar 1.1. Tanda lingkaran adalah lokasi Kabupaten Karanganyar. Sumber: www.geocities.ws dengan modifikasi arah utara dan tanda lingkaran
U
Gambar 1.2. Peta Kab. Karanganyar, tanda panah adalah lokasi penelitian di Desa Karangbangun Sumber: www.maplandia.com dengan modifikasi arah utara dan tanda panah
Watu kandang adalah istilah yang diberikan oleh masyarakat setempat untuk menyebut suatu susunan batu berbentuk persegi atau rectangular of stones. Situs watu kandang di Kabupaten Karanganyar tersebar di tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Matesih, Kecamatan Tawangmangu dan Kecamatan Kerjo. Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih berada di Desa Karangbangun (Dukuh Ngasinan dan Dukuh Bodagan), Desa Matesih (Dukuh Kedungsari), dan Desa Plosorejo (Dukuh Ploso). Situs watu kandang di Kecamatan Tawangmangu terletak di Desa Plumbon (Dukuh Pakem), sedangkan Situs Watu Kandang di Kecamatan Kerjo terletak di Desa Karangrejo. Hasil penelitian dalam tesis Gunadi (1994: 36-60) menyebutkan luas sebaran Situs Watu Kandang dan jumlahnya di masing-masing lokasi (lihat Tabel 1.1).
Matesih Plosorejo
Ngasinan Bodagan Kedungsari Ploso
50.000 * 5.000 *
Jumlah watu kandang (Unit) 27 4 17 4
Tawangmangu
Plumbon
Pakem
70.000
20
Kerjo
Karangrejo
Karangrejo Salestri Sabrang Gondang
*
4 Sudah tidak ada Sudah tidak ada 6
Kecamatan Matesih
Desa Karangbangun
Dukuh
Luas (m²)
Tabel 1.1. Luas sebaran situs watu kandang dan jumlah (unit)
Keterangan : *Tidak disebutkan dalam hasil penelitian Sumber: Gunadi tahun 1994
Gunadi (1994: 45) juga merujuk hasil laporan penelitian Nitihaminoto (1978), yang menunjukkan bahwa jumlah watu kandang berkurang dari waktu ke waktu bahkan sudah tidak dapat ditemukan lagi. Di Dukuh Sabrang, Desa Matesih, Kecamatan Matesih pada penelitian tahun 1978 masih dijumpai 7 unit Watu Kandang, namun sekarang sudah hilang. Watu Kandang di Dukuh Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih semula dilaporkan berjumlah 160 unit tetapi pada tahun 1994 tinggal 27 unit. Watu Kandang di Desa Karangrejo, Kecamatan Kerjo dahulu berjumlah 45 unit, kini tinggal 4 unit (lihat Tabel 1.2). Berkurangnya jumlah watu kandang disebabkan oleh aktivitas para petani penggarap lahan tempat watu kandang-watu kandang tersebut berada. Selain itu,
watu kandang juga menjadi incaran pencari batu untuk dipecah dan dijual sebagai bahan bangunan. Tabel 1.2. Perbandingan jumlah (unit) watu kandang Kecamatan Matesih
Desa Matesih
Dukuh Sabrang
Tahun 1978 7 unit
Matesih Karangbangun Plosorejo
Kedungsari Ngasinan Ploso
* 160 unit
Kerjo
Karangrejo
Tawangmangu
Plumbon
Pakem
Tahun 1994 Sudah tidak ada 17 unit 27 unit 4 unit
45 unit
4 unit
*
20 unit
Keterangan : Tanda (*)Tidak disebutkan dalam hasil penelitian Tahun 1978 berdasarkan Gunadi Nitihaminoto Tahun 1994 berdasarkan penelitian tesis Gunadi Berdasar data jumlah watu kandang tahun 1978 dan 1994, Watu Kandang di Dukuh Ngasinan, Kecamatan Matesih memiliki jumlah paling banyak. Lokasi Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan secara astronomis terletak pada koordinat 7º 39‟ 17.793 Lintang Selatan dan 111º 03‟ 31.149 Bujur Timur sekitar 20 km di sebelah tenggara Kota Karanganyar. Situs Watu Kandang sebelah utara dibatasi Sungai Samin, sebelah timur dibatasi oleh jalan desa, sebelah selatan dibatasi oleh Jalan raya alternatif Karanganyar-Tawangmangu, sedangkan sebelah barat dibatasi oleh pemukiman penduduk (lihat gambar 1.3). Watu Kandang di Kabupaten Karanganyar ditemukan di halaman rumah, kebun dan sebagian besar berada di persawahan milik perseorangan. Demikian pula watu kandang di Dukuh Ngasinan sebagian besar berada di persawahan milik perorangan (lihat gambar 1.4).
Kota Karanganyar Tawangmangu
Gambar 1.3. Lokasi Situs Watu Kandang Ngasinan Sumber : Google dengan modifikasi anak panah
a
b
c
d
Gambar 1.4.a,b,c,d. Watu kandang yang berada di persawahan Dokumentasi M. Junawan
Letak watu kandang yang berada di areal terbuka menyebabkan terjadinya pemanfaatan situs yang tidak berwawasan pelestarian. Pada tahun 2012 terjadi penggalian liar yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencari harta karun. Selain itu terjadi perusakan batu watu kandang untuk dijadikan pondasi rumah. Upaya pelestarian situs watu kandang yang telah dilakukan adalah rangkaian kegiatan penelitian yang meliputi ekskavasi, zonasi, pembelian tanah, dan penetapan Peraturan Daerah. Penggalian dilakukan tahun 1977 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan hasil temuan pecahan gerabah, manik-manik, dan fragmen besi. Tahun 1978, dalam kegiatan proyek penelitian dan penggalian purbakala DIY ditemukan fitur bekas galian berukuran 70 cm x 170 cm, lempengan emas dan perak, pecahan gerabah, manik-manik, dan fragmen besi. Tahun 1994 dalam penelitian Gunadi dilakukan penggalian dan ditemukan pecahan gerabah yang memiliki pola hias , fragmen besi, fitur bekas galian. Pada tahun 2014 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah merintis pemanfaatan dan pengembangan Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih dengan kegiatan zonasi Situs Watu Kandang di Kecamatan Matesih. Menurut UUCB Bab I Pasal 1, zonasi bertujuan untuk menentukan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Fungsi ruang ditentukan dengan sistem zonasi yang terbagi atas zona inti, penyangga, pengembangan, dan atau zona penunjang (UUCB Bab VII Pasal 73 ayat (3). Untuk keperluan perlindungan dan sebagai sarana masyarakat dalam mengapresiasi watu kandang, BPCB Jawa Tengah telah melakukan pembelian
tanah seluas 1000 m² di Dukuh Ngasinan yang di dalamnya terdapat sebelas unit watu kandang (lihat gambar 1.5). Watu kandang lainnya tetap berada di areal persawahan yang saat ini masih dimanfaatkan oleh penduduk untuk aktivitas pertanian (lihat gambar 1.6).
Gambar 1.5. Warna coklat (inset) adalah lahan milik pemerintah dan titik merah menunjukkan sebaran batu penyusun watu kandang Sumber: BPCB Jawa Tengah dengan modifikasi penambahan inzet
Gambar1.6. Peta kepemilikan lahan Sumber: BPCB Jawa Tengah
Pemerintah Kabupaten Karanganyar juga melakukan upaya pelestarian watu kandang beserta lingkungannya dengan menetapkan Situs Watu Kandang Ngasinan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dan Cagar Budaya serta Kawasan Lindung Arkeologi dalam Perda Kabupaten Karanganyar Nomor 1 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karanganyar 2013-2032. Adapun Watu Kandang di Pedukuhan lainnya hingga penulisan tesis dilaksanakan tidak dimasukkan dalam kawasan tersebut. Pemanfaatan dan pengembangan warisan budaya Situs Watu Kandang di Dukuh
Ngasinan
belum
dilakukan
secara
optimal
untuk
kepentingan
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Dalam UUCB Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (29) disebutkan bahwa pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi cagar budaya serta pemanfaatannya melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Belum optimalnya pemanfaatan dan pengembangan tersebut tampak dalam minimnya apresiasi masyarakat setempat dan jumlah pengunjung yang menurut data BPCB Jawa Tengah rata-rata hanya 20-30 orang setiap bulannya. Uraian di atas menunjukkan belum adanya pemahaman yang jelas tentang warisan budaya oleh pemangku kepentingan (stakeholder). Stakeholder yang dimaksud seperti yang dikemukakan Freeman (1984: 41-42) adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu tujuan tertentu. Grimble (1998: 1), mendefinisikan stakeholder dari segi posisi penting dan pengaruh yang mereka miliki.
Pemahaman tersebut berupa interpretasi tentang warisan budaya yang bersifat tidak hanya mengajari sesuatu tetapi memberikan makna tertentu (Carter, 2007: 3). Seperti halnya disampaikan juga oleh Colquhoun (2005: 7), bahwa interpretasi merupakan komunikasi tentang makna tempat, masyarakat dan peristiwa, sehingga masyarakat mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana sesuatu hal itu harus dihargai. Interpretasi warisan budaya yang tepat merupakan hal penting dalam memudahkan upaya memberikan pemahaman tentang warisan budaya. Tilden (1957: 58) juga mengemukakan pendapatnya bahwa melalui interpretasi akan muncul pemahaman, dengan pemahaman menghasilkan apresiasi dan akhirnya melindungi. Kaelan (2012: 183-186) menyebutkan bahwa interpretasi merupakan upaya menyampaikan pesan dan makna objek yang secara eksplisit dan implisit terkandung di dalamnya. Pesan dan makna objek disampaikan oleh interpretator, sehingga pesan dan makna objek dapat dikomunikasikan kepada masyarakat. Interpretasi
berfungsi
untuk
mengungkapkan,
menerangkan
dan
menterjemahkan. Fungsi mengungkapkan yaitu menuturkan, mengatakan sesuatu yang merupakan esensi realitas. Menerangkan, yaitu dengan mengitrodusir faktor dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berada di luar objek. Menterjemahkan, yaitu „memindahkan‟ arti, esensi atau makna yang terkandung dalam objek ke dalam kehidupan manusia modern. ICOMOS Charter (2008: 4), menjelaskan bahwa interpretasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang situs warisan
budaya dengan cara mengkomunikasikan interpretasi situs warisan budaya melalui presentasi. Makna baru yang merupakan hasil interpetasi untuk selanjutnya diinformasikan melalui presentasi kepada masyarakat. 1.2. Rumusan Masalah Pelestarian warisan budaya adalah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai lanskap, tempat dan objek, baik secara individu maupun kolektif, sehingga masyarakat dapat menghargai warisan budayanya. Masyarakat dapat belajar dari warisan budaya dan mewariskannya kembali kepada generasi mendatang (Heritage Interpretation Policy, 2005: 2). Interpretasi dan presentasi situs warisan budaya menjadi hal yang penting untuk dijadikan landasan pengelolaan situs. Menurut Carter (2010: 5), interpretasi situs warisan budaya berkaitan erat dengan pengelolaan fisik situs atau presentasi objeknya. Pengelolaan fisik dan presentasi objek warisan budaya harus menghargai dan meningkatkan kualitas situs atau koleksinya, serta memberikan kepada masyarakat pengetahuan baru terhadap keberadaan situs warisan budaya. Permasalahan yang terjadi di Situs Watu Kandang Dukuh Ngasinan dapat menjadi ancaman untuk kelestarian Situs Budaya Megalitik di Kabupaten Karanganyar dimasa yang akan datang jika tidak segera diketahui sumber permasalahannya. Situasi dan kondisi seperti ini tidak mudah begitu saja untuk menyalahkan masyarakat jika menganggap Watu Kandang Ngasinan hanya merupakan “benda mati” dan tidak membawa manfaat apapun. Sangat ironis, bahwa
masyarakat
sebagai
pemilik
aktif
budaya
di
lingkungannya
(Byrne, 2003: 58) justru belum memahami makna keberadaan warisan budayanya.
Situs Watu Kandang Ngasinan merupakan contoh kasus situs warisan budaya yang belum ditangani secara optimal baik interpretasi maupun presentasinya. Sementara itu, keberadaan watu kandang di Dukuh Ngasinan semakin lama semakin berkurang baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Mengacu pemaparan yang telah diuraikan, maka muncul pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Apa saja interpretasi yang berkembang diantara stakeholder terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan ? 2. Mengapa interpretasi diantara stakeholder terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan dapat berkembang? 3. Bagaimana interpretasi dan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan yang mudah dipahami masyarakat ?
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasar pada permasalahan dan pertanyaan penelitian, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui interpretasi masyarakat terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan 2. Mengetahui penyebab munculnya interpretasi terhadap Situs Watu Kandang Ngasinan yang berkembang diantara stakeholder 3. Menyusun interpretasi dan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan agar pemahaman tentang watu kandang dapat optimal. Model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap Situs Watu Kandang sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Melalui presentasi yang baik,
masyarakat tidak hanya melihat namun muncul cara pandang baru tentang warisan budaya. Selanjutnya masyarakat setempat selaku pemilik warisan budaya dapat berperan aktif dalam pelestarian Situs Watu Kandang. 1.4.Tinjauan Pustaka Penelitian tentang Situs Watu Kandang Ngasinan belum banyak dilakukan. Hingga saat ini penelitian yang ada sebatas pada aspek fungsi watu kandang. Skripsi Respati Hardjajanta tahun 1978 dengan judul Fungsi Watu Kandang Situs Megalitik Matesih, meneliti tentang fungsi watu kandang sebagai tempat penguburan dan pemujaan. Fungsi penguburan didasarkan pada istilah untuk menyebut tinggalan megalitik yaitu kuburan budho. Fungsi pemujaan didasarkan pada peninggalan megalitik yang dianggap keramat dan dihubunghubungkan dengan kepercayaan mereka. Soejono mengulas tentang Situs Watu Kandang Matesih dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (1984) jilid I dengan judul Jaman Prasejarah di Indonesia. Menurut Soejono, secara tipologis watu kandang dapat dihubungkan dengan peti kubur di Bali yang terkait dengan fungsi religi. Sukendar (1986) menulis artikel dengan judul Susunan Batu Gelang (Enclosure of Stones), Tinjauan Bentuk dan Fungsi dalam Tradisi Megalitik dalam PIA IV. Sukendar berpendapat bahwa batu temugelang di Matesih berfungsi sebagai tempat penguburan. Kesimpulan para peneliti seperti Nitihaminoto (1977), Hardjajanta (1983), dan Gunadi (1994) menyebutkan bahwa watu kandang Matesih berfungsi sebagai tempat penguburan.
Gunadi (1994) menulis tesis dengan judul Situs-Situs Watu Kandang di Lembah Sungai Kali Samin, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah : Suatu Penelitian Peninggalan Megalitik dengan Pendekatan Lingkungan. Penelitiannya difokuskan pada hubungan situs watu kandang dengan potensi sumberdaya alamnya. Selain itu disampaikan pula sepaham dengan peneliti lainnya bahwa situs watu kandang berfungsi sebagai kubur atau tanda kubur. Hal ini didasarkan pada hasil ekskavasi berupa fitur yang diidentifikasi sebagai liang lahat dan temuan artefaktual berupa manik, gerabah, fragmen emas, perak dan besi, meskipun tidak ditemukan sisa rangka manusia. Benda-benda tersebut diperkirakan berfungsi sebagai bekal kubur. Pemukiman masyarakat yang mendirikannya terletak relatif tidak jauh dari situs watu kandang, yaitu ditandai dengan faktor-faktor lingkungan yang mendukungnya serta kepadatan temuan gerabah. Menurut Gunadi, salah satu keunikan dari watu kandang ini adalah arah hadap yang tidak berkiblat pada puncak gunung, tetapi pada arah munculnya matahari. Jika dikaitkan dengan pembangunan watu kandang, maka watu kandang diduga dibangun pada saat curah hujan kecil sehingga masyarakat tidak melakukan aktivitas pertanian. Pada saat itulah masyarakat memiliki waktu untuk melaksanakan aktivitas religinya. 1.5.Landasan Teori Pelestarian warisan budaya seharusnya tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian dan penelitian saja, namun harus memikirkan juga aspek pemanfaatan dan pengembangannya, sehingga tidak lagi terlihat seperti benda mati dalam
kehidupan masyarakat, tetapi memiliki kebermaknaan sosial (Byrne:2003). Memunculkan kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya hakekat kinerja Cultural Resource Management (Sulistyanto, 2011). Seperti tercantum dalam The Burra Charter (1999) bahwa makna budaya (cultural significance) berarti nilai estetis, historis, ilmu pengetahuan, sosial dan keagamaan untuk generasi masa masa lalu, saat ini dan yang akan datang. Penyampaian makna budaya suatu warisan budaya diperlukan komunikasi yang baik sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan warisan budaya yang mereka miliki. Di sinilah pentingnya interpretasi, seperti dikemukakan (Howard, 2003: 24) bahwa interpretasi mencakup perencanaan berbagai cara berkomunikasi tentang warisan budaya kepada masyarakat. Melalui interpretasi akan muncul pemahaman, dengan pemahaman menghasilkan apresiasi dan akhirnya melindungi. Interpretasi adalah seni bercerita yang baik, atau dengan kata lain interpretasi membantu menghubungkan pengunjung dengan yang mereka lihat. Interpretasi tidak hanya mangajari sesuatu tetapi memberikan makna tertentu (Carter, 2007: 3). Interpretasi merupakan komunikasi tentang makna tempat, orang dan peristiwa sehingga pengunjung mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana sesuatu hal itu harus dihargai (Colquhoun, 2005: 7). Tanudirjo (2003) mengemukakan bahwa pelestarian pada hakekatnya adalah upaya mempertahankan agar suatu sumberdaya budaya tetap berada pada konteks sistem (lingkungan budaya yang masih berlangsung) agar dapat berfungsi aktif atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sumberdaya budaya yang sudah berada
pada konteks arkeologis akan dapat dilestarikan kalau sumberdaya itu dapat dimasukan kembali ke dalam konteks sehingga sumberdaya budaya yang sudah tidak lagi bermakna menjadi memiliki makna atau arti penting bagi sistem budaya yang masih berlangsung. Hal serupa disampaikan oleh (Carter, 2001: 4) bahwa inti dari interpretasi adalah mengungkapkan wawasan baru ke dalam tempat atau lokasi yang dianggap memiliki arti khusus. Interpretasi merupakan aktivitas pendekatan untuk menentukan nilai penting dan makna baru warisan budaya pada sistem budaya yang masih berlangsung. Seperti dikemukakan Pearson dan Sullivan (2006: 16-17), proses penentuan nilai budaya memiliki dua unsur yang saling terkait dan saling tergantung. Pertama adalah penentuan unsur-unsur yang membuat tempat menjadi signifikan, dan jenis atau tipe signifikansi yang diwujudkan.
Kedua adalah
penentuan tingkatan nilai tempat bagi masyarakat. Penilaian adalah suatu usaha yang hampir selalu mengungkapkan informasi baru dan memberikan wawasan baru ke dalam tempat budaya atau tempat yang dinilai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, interpretasi situs warisan budaya merupakan salah satu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam situs warisan budaya. Seperti disampaikan oleh Atmosudiro (2013: 8), bahwa kemampuan nenek moyang pendiri bangunan cagar budaya yang sarat makna itu pada masa sekarang mulai dilupakan, bahkan banyak yang kurang dipahami. Oleh karena itu, upaya pelestarian tidak hanya fisik bangunan cagar budaya, tetapi juga aktualisasi nilai-nilai yang dikandungnya.
Nilai-nilai
warisan
budaya
selanjutnya
dikomunikasikan
kepada
masyarakat melalui presentasi situs warisan budaya. Pengertian presentasi situs warisan budaya menurut ICOMOS Charter (2008: 4) adalah lebih khusus menunjukkan komunikasi yang direncanakan dengan baik dan merupakan hasil interpretasi melalui penyampaian informasi yang mudah dipahami, kemudahan untuk mengakses lokasi, dan infrastruktur di situs warisan budaya. Menurut Shalaginova (2008: 2), presentasi warisan budaya adalah proses komunikasi yang dirancang untuk menyampaikan makna dari suatu situs warisan budaya kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat,
pemahaman tentang situs warisan budaya dan
memperoleh dukungan publik dalam kegiatan diarahkan pada pengelolaan dan pelestarian. Kegiatan presentasi warisan budaya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap situs. 1.6.Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih menitikberatkan pada fungsi watu kandang dan belum ada perumusan mengenai nilai penting, interpretasi, dan presentasinya kepada masyarakat. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk menyampaikan alternatif dalam pemanfaatan situs watu kandang. Alternatif pemanfaatan situs dilakukan dengan cara melakukan interpretasi dan penyusunan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan sehingga mempermudah masyarakat dalam memahami makna yang terkandung di dalam watu kandang. Setelah masyarakat memperoleh pemahaman tentang watu
kandang, diharapkan masyarakat dapat mengapresiasi dan melestarikan watu kandang yang ada di Kabupaten Karanganyar. 1.7.Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Oleh karena itu, metode kualitatif senantiasa memiliki sifat holistik, yaitu penafsiran terhadap data dalam hubungannya dengan berbagai aspek yang mungkin ada ( Bogdan dan Taylor, 1975 dalam Kaelan, 2012: 5). Metode penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu penentuan lokasi penelitian, pengumpulan data, analisis, perumusan interpretasi, dan penyusunan model presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan. 1.7.1. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian difokuskan di Dukuh Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar dengan beberapa pertimbangan. 1.7.1.1. Potensi Arkeologis Jumlah watu kandang di daerah ini paling banyak dibandingkan dengan lokasi lain di Kabupaten Karanganyar serta memiliki cakupan areal yang luas yaitu 50.000 m². Dalam laporan pengolahan data Situs Matesih yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah tahun 1992, di Dukuh Ngasinan juga terdapat tinggalan budaya megalitik berupa menhir, dolmen, lumpang batu, dan batu dakon.
1.7.1.2. Potensi lingkungan Sebagian besar Watu Kandang berada di areal terbuka (persawahan) sehingga lebih memudahkan dalam merancang model presentasi. Posisi areal terbuka juga memudahkan penelitian tentang hubungan antara situs dengan lingkungannya. 1.7.1.3. Potensi aksesibilitas Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan dilalui oleh jalan raya yang menghubungkan Kota Karanganyar dengan Tawangmangu sehingga memudahkan dalam pengembangan situs. 1.7.1.4.Potensi gangguan terhadap situs. Kondisi
situs yang berada di areal terbuka berpotensi dimanfaatkan
masyarakat untuk pemukiman atau kepentingan lain sehingga potensi kerusakan situs lebih besar. 1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian berupa data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan stakeholder sehingga diperoleh informasi terkini watu kandang berserta lingkungannya, aktivitas masyarakat dan budaya yang berlangsung. Data sekunder
dengan cara mengkaji
laporan-laporan penelitian
sebelumnya serta data tertulis lain yang terkait dengan Situs Watu Kadang. Data
yang diperoleh dipergunakan sebagai data dukung interpretasi dan penyusunan model presentasi.
1.7.2.1. Data Primer Observasi difokuskan pada aspek budaya materi (watu kandang dan tinggalan budaya megalitik lainnya), budaya non materi (adat istiadat, kesenian, dan kondisi sosial) serta lingkungan alamnya. Observasi pada aspek budaya materi dilakukan untuk mengkonfirmasi ulang hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya. Selain itu, diharapkan memperoleh data baru pada objek budaya materi (watu kandang dan tinggalan budaya megalitik lainnya). Observasi terhadap budaya non materi berupa adat istiadat, kesenian serta kondisi sosial sangat perlu dilakukan untuk mengetahui secara langsung aktivitas masyarakatnya. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan pertimbangan dalam interpretasi dan presentasi situs kepada masyarakat, sehingga tidak bertentangan dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Lingkungan alam Situs Watu Kandang di Dukuh Ngasinan dan lingkungannya sebagian besar masih alami. Lingkungan alam menjadi fokus observasi untuk memperoleh karakter lingkungan serta keterkaitannya dengan Situs Watu Kandang. Dengan demikian, interpretasi dan presentasi warisan budaya watu kandang menjadi satu kesatuan yang harmonis. Interpretasi stakeholder terhadap situs watu kandang saat ini belum diketahui secara jelas. Untuk mengetahuinya diperlukan wawancara terhadap stakeholder sehingga diperoleh informasi keterkaitan antara interpretasi dan
perilaku stakeholder terhadap situs watu kandang. Wawancara juga bertujuan untuk menggali pendapat dan pengetahuan masyarakat tentang watu kandang sehingga interpretasi dan presentasi sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Wawancara dilakukan pada masyarakat yang lahannya terdapat watu kandang, masyarakat yang tidak mengetahui informasi tentang watu kandang, pengunjung situs watu kandang, dan pemerintah. Wawancara dilakukan dengan teknik semi terstruktur sehingga responden dapat terbuka dalam menyampaikan informasi. Informasi yang bersifat lebih fokus dilakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan stakeholder. 1.7.2.2.Data Sekunder Interpretasi dan Presentasi situs warisan budaya memerlukan data yang dapat diterima secara ilmiah sehingga informasi yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan. Data tersebut berupa laporan-laporan hasil penelitian yang berkaitan dengan situs watu kandang. Informasi lain yang diperlukan adalah monografi desa dan data Karanganyar dalam angka, sehingga diketahui gambaran umum tentang data sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Kedua data ini sangat diperlukan agar interpretasi dan presentasi yang disampaikan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Presentasi hasil interpretasi tentunya memerlukan sarana dan prasarana sehingga membutuhkan ruang yang sesuai dengan informasi yang akan disampaikan. Data tersebut dapat diketahui dari Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Karanganyar dan zonasi cagar budaya.
Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 1 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karanganyar berisi tentang zona pemanfaatan ruang daerah. Zonasi Cagar Budaya berisi tentang penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan pelestarian. Berdasar pada data tersebut maka dapat ditentukan sarana dan prasarana yang sesuai. 1.7.3. Langkah-Langkah Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun menjadi 3 (tiga) unit analisis, yaitu; (1) interpretasi stakeholder (2) hasil penelitian, peraturan, dan kebijakan, dan pustaka (3) karakteristik ekologi, sosial, dan budaya. Ketiga unit analisis kemudian diklasifikasi menjadi; (1) kondisi kerusakan dan kelengkapan batu komponen watu kandang; (2) upaya pelestarian Situs Watu Kandang yang telah dilakukan stakeholder; (3) hasil penelitian; (4) karakteristik sosial dan budaya (5) nilai penting. 1.7.4. Perumusan Interpretasi Situs Watu Kandang Ngasinan Interpretasi berkaitan dengan upaya menyampaikan nilai penting dan makna situs kepada berbagai kalangan masyarakat. Oleh karena itu, interpretasi Situs Watu Kandang Ngasinan harus diawali dengan penentuan nilai penting sehingga dapat diketahui makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang terkandung di dalam Situs Watu Kandang merupakan bentuk aktualisasi,
sehingga
masyarakat
mudah
dalam
memahami
pentingnya
memelihara warisan budayanya. Masyarakat diharapkan mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana warisan budaya harus dilestarikan.
1.7.5. Penyusunan Model Presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan Berdasar interpretasi yang telah dirumuskan, selanjutnya ditentukan tema presentasi yang mewakili nilai penting dan makna situs. Penentuan tema akan dapat lebih memfokuskan gagasan dan ide peneliti dalam menyampaikan nilai dan makna objek, sehingga dapat membantu dalam mengatur lokasi dalam sebuah kesinambungan (Carter, 2001: 6-7). Tema di Situs Watu Kandang Ngasinan dilakukan dengan menentukan tema utama watu kandang yang merupakan warisan budaya megalitik. Selanjutnya untuk lebih mempermudah dalam menyampaikan pesan, maka ditentukan sub-sub tema yang menjelaskan makna yang terkandung dalam watu kandang melalui lokasi atau area yang telah ditentukan. Langkah-langkah penelitian yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan dalam bagan alur berikut: Teknik Pengumpulan Data : penelitian 1. Data primer, melalui observasi dan wawancara 2. Data sekunder, melalui studi pustaka
Unit Analisis : 1. Interpretasi stakeholder 2. Hasil Penelitian terdahulu, peraturan dan kebijakan 3. Karakter ekologi, sosial dan budaya
4. Nilai penting Analisis Data
Interpretasi Situs Watu Kandang Ngasinan
Penyusunan Model Presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan
Penentuan Tema Presentasi Situs Watu Kandang Ngasinan
Bagan 1.1. Alur Penelitian