BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia bisa disebut makhluk bercerita (homo fabulans), karena pada
dasarnya semua manusia memiliki naluri atau kemampuan dasar untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pengalaman langsung mereka. Bentuk penyampaian pengalaman tersebut berkembang seiring mengalirnya waktu, mulai dari tuturan yang ada sejak jaman prasejarah, kemudian berkembang pemikiran untuk mengabadikan tuturan tersebut dalam bentuk simbol berupa ikon dan aksara, yang sekaligus merupakan tanda beralihnya jaman prasejarah menuju jaman sejarah (Irwansyah, 2009: 10). Perkembangan teknologi pun memberikan kontribusinya dengan kemunculan mesin cetak Guttenberg tahun 1439, mesin rekam suara tahun 1887 dan di akhir abad ke 19 muncul media baru yaitu gambar bergerak (motion picture) alias film. “Begitu manusia belajar bahasa sebagai alat komunikasi untuk kehidupan sehari-hari dia juga belajar mempermainkan bahasa demi tujuan lain” (Teeuw, 1983:15). Pada titik tersebut, film telah menjadi media tutur manusia sebagai alat penyampai komunikasi, sekaligus mengekalkan apa yang sudah dilakukan manusia sejak beribu-ribu tahun, yakni menyampaikan kisah. Kisah yang disampaikan tentu saja mengenai kehidupan, maka film dapat disebut sebagai representasi dunia nyata (Irwansyah, 2009: 12). 1
2
Prancis memiliki peranan yang sangat besar dalam dunia perkembangan film (motion picture). Pemutaran film berbayar pertama kali dilakukan di Prancis, tepatnya di Le Grand Café, Paris, pada 28 Desember 1895, yang memutar film pendek karya Louis Lumière dan saudaranya Auguste Lumière. Masyarakat di masa itu membayar satu franc untuk melihat film. Sejak saat itulah film memiliki tempat tersendiri dalam budaya masyarakat Prancis (Powrie & Reader, 2002: 3). Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya para teoris film seperti André Bazin dengan Le Polithique des Autheur-nya, Christian Metz dengan Langage et Cinema dan Le Signifiant Imaginaire, selain itu muncul pula para pekerja film, baik sebagai aktor atau aktris seperti Jean Gabin (1930-1940an), Brigitte Bardot, Alain Delon, Catherine Deneuve (1950-1970an), Isabelle Andjani, Gérard Depardieu, Sophie Marcheau (1980-1990an) ataupun sebagai sutradara seperti Jean Renoir, JeanLuc Godard, François Truffaut, Jacques Tati, Costa-Gavras, maupun Luc Besson. Saat film dibandingkan dengan karya sastra, muncul persamaan dan perbedaan dari proses komparasi tersebut. Eric Sasono (via Irwansyah, 2009) menyatakan bahwa film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari ketika dibandingkan dengan media lain. Film yang dimaksud di sini adalah film live-action (film yang dimainkan tokoh nyata, bukan film animasi), sekaligus film naratif (Irwansyah, 2009: 12). Ada suatu persamaan antara film dan sastra. Keduanya mampu menggambarkan suatu aksi, keduanya dapat menciptakan realisme yang sungguh-sungguh, keduanya dapat menyatakan kejadian-kejadian, baik kejadian lahir maupun batin. Keduanya
3
menunjukkan kerjanya pada penonton atau pembaca dan juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi secara jiwa maupun emosi (Prasetyo, 2007:27). Tetapi hanya hasilnya yang berbeda, karena proses kreatif sastra berbeda dengan proses kreatif film. Sastra menggunakan kata-kata sebagai sarana ekpresinya, sedangkan film menggunakan homogenitas unsur-unsur audio visual dalam merepresentasikan realitas. Representasi realita kenyataan dalam film adalah hasil signifikasi dari heterogenitas kode-kode sinematografis dan visualisasi dari realitas fiksional yang dapat ditangkap oleh penonton (Suryanto, 2004). Hal tersebut merupakan bukti bahwa film memiliki dimensi naratif dan juga dimensi langagière. Fenomena bahwa film merupakan dimensi langagière dapat dikategorikan sebagai gejala kebahasaan, karena film sebagai media komunikasi dengan menggunakan aspek-aspek bahasa yang bersifat semiotis. Unsur naratif film sendiri tidak dapat lepas dari kaidah-kaidah naratologi, seperti karakter, cerita dan tujuan. Secara naratologis suatu narasi memiliki dua buah komponen yaitu cerita dan wacana (Budiman, 1999: 108). Proses representasi tersebut diawali dengan cara pembuat film memandang masyarakatnya. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Irawanto (1999:13) bahwa film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Seperti apa masyarakat yang ingin ditampilkan dalam film. Tentu saja tidak semua realitas dapat diangkat menjadi film. Pembuat film harus memilih yang relevan dan menyingkirkan yang tidak relevan untuk kebutuhan ceritanya. Proses seleksi ini bergantung pada perspektif pembuat
4
film. Proses seleksi tersebut membuat film hanya mengambil realitas dari yang berkepentingan untuk membangun cerita. Maka film dapat dimaknai sebagai sarana untuk mengajak penonton memandang dunia dan dari sudut pandang pembuat film. Wacana yang direpresentasikan dalam film oleh pembuatnya muncul dengan cara implisit maupun eksplisit (Irwansyah, 2009: 13). Wacana yang terepresentasi dalam film seringkali bermuatan ideologis, maka film acapkali digunakan sebagai alat propaganda. Film sebagai alat propaganda pernah digunakan pada rezim Adolf Hitler melalui film Triumph des Willens (Triumph of the Will) pada tahun 1935, untuk menyebarkan ideologi Nazi (Combs, 1994:32). Hal tersebut dikarenakan film memiliki kelebihan merepresentasikan masyarakat ideal yang diciptakan oleh para sineas. Demikian juga dalam film karya Julie Gavras yang dibuat tahun 2006 yaitu film La Faute à Fidel (Inggris: Blame It on Fidel). Film tersebut mencakup berbagai filosofi dan ideologi, dari katolikisme hingga komunisme, mitologi dari Yunani hingga Asia. Secara naratif film ini menceritakan tentang kisah Anna de la Mesa (Nina Kervel-Bey), seorang anak yang berusia sembilan tahun, yang bergelut dengan perubahan dalam hidupnya saat ayahnya, Fernando de la Mesa (Stefano Accorsi) dan ibunya, Marie de la Mesa (Julie Depardieu) menjadi aktivis politik sayap kiri di Prancis. Perubahan itu tidak hanya mengubah kehidupan sehari-harinya, tapi Anna juga harus menghadapi kebingungan dengan ideologi-ideologi baru yang berbeda dengan apa yang telah ia percaya. Ideologi yang nampak secara eksplisit dalam film ini adalah ideologi kiri. Istilah “kiri” yang seharusnya biasa dalam pemaknaan secara denotatif menjadi
5
berbeda ketika terminologi ini dihadapkan pada dimensi pemikiran. Ideologi kiri identik dengan hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran dan gerakan sosial yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan (Santoso, 2007: 15). Ketika diaplikasikan ke dalam ranah politik, muncul istilah politik kanan dan kiri untuk mempolarisasikan kekuatan politik dalam suatu wilayah. Istilah tersebut muncul pada masa revolusi Prancis 1789 saat anggota Assemblée Nationale terbagi menjadi dua. Pendukung monarki di sebelah kanan dan pendukung revolusi di sebelah kiri (Gauchet, 1996: 242-245). Pada umumnya Politik Kiri beraliran progresivime, sosialisme, komunisme, dan anarkisme. Sedangkan Politik Kanan beraliran konservatif, reaksioner, nasionalis, monarkisme dan fasisme (Knapp dan Wright, 2001: 2-5). Ideologi kiri dalam film ini nampak secara eksplisit pada latar sosio-historis film ini. Berlatarkan Prancis tahun 1970-1973, yaitu pada saat-saat akhir pemerintahan Charles de Gaulle, yang terjepit diantara masa Pemerintahan Diktator Spanyol, Jenderal Francisco Franco, dan pergerakan revolusioner di Kuba oleh Fidel Castro, dan Salvador Allende di Chile. La Faute à Fidel merupakan debut sutradara muda Julie Gavras, anak dari Constantinos Gavras (Costa-Gavras), seorang sutradara film Prancis yang terkenal dengan film-film bertema politik sayap kiri. Salah satu film Costa-Gavras, Z (1969) dinominasikan dalam ajang bergengsi Academy Award pada tahun 1970 untuk 5
6
kategori dan memenangkan dua penghargaan untuk kategori Best Editing dan Best Foreign Language Film.
1.2
Permasalahan Goenawan Mohamad (1995: 214) dalam salah satu esainya berujar, "Gambar
hidup adalah keajaiban, yang tak cuma dilahirkan oleh teknologi, tapi oleh kepandaian bercerita." Pada titik tersebut, film telah menjadi media bertutur manusia, suatu alat komunikasi, sebagai alat menyampaikan pesan. Pesan dalam film memiliki banyak tujuan, salah satunya menyampaikan pemikiran, ideologi dan idealisme. Dalam film La Faute à Fidel terkandung banyak, ideologi, dan idealisme yang ingin disampaikan sineas pada penontonnya. Film La Faute à Fidel, juga kaya akan tanda yang disampaikan melalui kode-kode film, baik berupa kode sinematis maupun kode naratif yang terdapat dalam film tersebut. Mengacu pada uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai kerangka penelitian, yaitu :
Apa saja kode-kode sinematis yang menjadi penanda ideologi kiri dalam film La Faute à Fidel?
Bagaimana film La Faute à Fidel merepresentasikan ideologi kiri yang terkandung di dalamnya?
7
1.3
Tujuan Penelitian Di dalam penelitian ini ada dua tujuan yang hendak dicapai, yaitu tujuan
teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis berusaha menerapkan analisis film dengan pendekatan semiotika. Tujuan teoritis ini berhubungan dengan usaha penerapan teoriteori semiotika untuk melihat pencapaian hasil maksimal dari pendekatan tersebut ketika digunakan untuk menganalisis film La Faute à Fidel. Di sisi lain, penelitian ini memiliki tujuan praktis yakni mendorong pembaca sastra dan penikmat film untuk lebih banyak memberikan apresiasi terhadap film La Faute à Fidel sehingga dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra dan film pada umumnya dan karya sastra dan film Prancis pada khususnya. Di samping itu penelitian ini juga ingin menambah kuantitas penelitian sastra yang menggunakan kajian semiotika.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Pembahasan dalam penelitian ini akan dibatasi pada aspek sinematis dan
aspek tekstual dalam film La Faute à Fidel terutama mengenai unsur intrinsik dalam film tersebut. Namun untuk pembahasan mengenai kandungan ideologi di dalamnya tentu saja tidak lepas dari sejarah pergerakan politik Prancis pada tahun 1970-an sesuai dengan latar belakang naratif film La Faute à Fidel.
8
1.5
Landasan Teori
1.5.1
Semiotika Secara definitif, semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani yang berarti
penafsir tanda (Cobley & Janz, 2002:4; Ratna, 2004:97). Dalam bahasa Yunani, semiotika mengacu kepada “diagnostik” atau pengamatan gejala (Martinet, 2010:3). Hoed (1992:2) mendefinisikan semiotika sebagai ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Peletak dasar semiotika ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Saussure –yang dikenal sebagai bapak linguistik modern— mempergunakan istilah semiologi, sedang Peirce –yang seorang ahli filsafat— mempergunakan istilah semiotika. Kedua tokoh tersebut berasal dari benua yang berbeda, Eropa dan Amerika, dan tidak saling mengenal, sama-sama mengemukakan teori yang secara prinsipial tidak berbeda (Nurgiyantoro, 1995: 39). Semiotika sebagai suatu pembelajaran dari ilmu pengetahuan sosial yang memiliki unit dasar yang disebut tanda. Tanda terdapat dimana-mana ketika kita berkomunikasi dengan orang, memakai pakaian, makan, minum, dan ketika kita berbicara. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain (id, 1995:41). Proses perwakilan tanda tersebut disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu
9
mewakili sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992:3). Sesuatu tidak akan menjadi tanda jika tidak ditafsirkan sebagai tanda. Proses semiosis tersebut membutuhkan kehadiran tiga hal yang mendasar, yaitu tanda, obyek dan interpretant. Tanda (representamen) haruslah mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai obyek (referent). Proses perwakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili. Hal tersebut disebut interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. Pierce membedakan hubungan antara tanda dengan obyek dalam tiga jenis hubungan : ikon, indeks dan simbol. Ikon menunjukkan kemiripan tanda dengan obyek. Dalam sebuah tanda visual, hal ini sering kali muncul. Foto adalah ikon, peta adalah ikon, tanda visual umum yang ditempel di kamar kecil pria dan wanita adalah ikon. Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan eksistensial dengan obyek. Asap adalah indeks dari api, bersin adalah indeks dari flu. Martinet (2010:48) menyebutkan bahwa salah satu ciri indeks adalah indeks itu ada, dan dapat dipersepsi oleh manusia. Indeks harus diidentifikasi oleh manusia untuk membuka apa yang diindikasikan oleh indeks tersebut. Manusialah yang memberi intrepretasi pada indeks. Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan obyeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan. Palang merah adalah simbol rumah sakit. Warna merah dalam lampu lalu lintas adalah simbol untuk berhenti.
10
Fungsi utama tanda adalah mewakili obyek. Agar berfungsi, tanda tersebut harus ditangkap, dipahami dengan sistem peraturan dan bersifat transindividual yang disebut code. Kode menurut Fiske (1990:91) merupakan sistem pengorganisasian tanda. Sistem-sistem tersebut dijalankan oleh aturan-aturan yang disepakati oleh semua anggota komunitas yang menggunakan kode tersebut. Bernstein (1973) menyatakan bahwa tidak ada kode penandaan yang bisa dipisahkan secara utuh dari praktek sosial penggunanya. Fiske (1990:92) menyatakan bahwa kode memiliki sejumlah sifat dasar. 1. Kode memiliki sejumlah unit, sehingga seleksi bisa dilakukan (dimensi paradigmatik). Unit-unit tersebut dapat dipadukan berdasarkan konvensi (dimensi sintagmatik) 2. Semua kode menyampaikan makna. Unit-unit kode adalah tanda yang mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri melalui berbagai sarana. 3. Semua kode bergantung pada kesepakatan di kalangan para penggunannya dan bergantung pada latar belakang budaya yang sama. Kode dan budaya berinterelasi secara dinamis. 4. Semua kode menunjukkan fungsi sosial atau komunikatif yang dapat diidentifikasi. 5. Semua kode bisa ditransmisikan melalui media dan/atau saluran komunikasi yang tepat.
11
1.5.1.1 Semiotika Film Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis semiotika, karena film dibangun dengan tanda-tanda (Van Zoest, 1993; Sobur, 2004). Tandatanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Memang, ciri gambargambar film adalah persamaannya dengan realita yang ditunjukannya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realita yang dinotasikannya. Semiotika film berbeda dengan semiotika fotografi. Film bersifat dinamis, gambar film muncul silih berganti, sedangkan fotografi bersifat statis. Gambar film yang muncul silih berganti menunjukkan pergerakan yang ikonis bagi realita yang dipresentasikan. Kedinamisan gambar pada film menarik daya tarik langsung yang sangat besar, yang sulit untuk ditafsirkan. Semiotika digunakan untuk menganalisa media dan untuk mengetahui bahwa film itu merupakan fenomena komunikasi yang sarat akan tanda. Secara akademis, semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin, salah satunya pada analisis film. Film dibangun atas dasar berbagai sistem tanda yang sedemikian kompleks.
12
1.5.2
Film UU No. 8/2002 pasal 1 tentang perfilman mendefinisikan film sebagai karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi masa pandang-dengan (kreasi audio visual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi (Prasetyo, 2007:19). Film adalah artefak budaya yang diciptakan oleh suatu budaya tertentu, merefleksikan budaya tersebut dan sebaliknya dapat mempengaruhi budaya tersebut. Unsur visual dalam film menjadi ujung tombak kekuatan komunikasi yang bersifat universal, sehingga relasi komunikasi film tidak hanya mempengaruhi penonton secara individual namun juga mampu mempengaruhi masyarakat secara luas.
1.4.2.1 Bahasa film Mengacu pada buku Cours de Linguistique Générale karya Saussure, Metz dalam Langage et Cinema mengemukakan bahwa film bukanlah merupakan system bahasa (langue) namun lebih merupakan bahasa itu sendiri (langage). Pendapat itu muncul didasari opininya bahwa bahasa film tidak memiliki ekuivalensi dengan tanda-tanda linguistik yang bersifat arbiter. Biran (2006:29) menyatakan bahwa film menuturkan bahasanya dengan rangkaian gambar (visual) dan suara (audio). Bahasa sinematografi bersifat heterogen karena terdiri dari kombinasi dan interaksi aspek visual dan audio.
13
Himawan Pratista (2008:1) menulis, film secara umum terbentuk dari dua unsur yakni, unsur naratif dan unsur sinematik. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Setiap cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif. Selalu ada karakter, masalah, pemecahan masalah, lokasi, waktu dan lainnya. Elemen-elemen ini terjalin menjadi satu kisah untuk kemudian difilmkan. Saat kisah difilmkan diperlukan unsurunsur sinematik untuk membentuknya menjadi satu film yang utuh. Unsur sinematik merupakan hal teknis dalam produksi film. Unsur ini terbagi menjadi empat elemen pokok : mise-en-scene, sinematografi, editing dan suara (Pratista, 2008:1). Masingmasing unsur tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya berdiri sendirisendiri. Tanda-tanda dalam film dapat diintrepretasikan secara bebas oleh individu yang menyaksikan film tersebut. Tanda-tanda tersebut bekerja dan memproduksi makna dalam batas pemahaman dan pengalaman individu tersebut, hal tersebut senada dengan credo Roland Barthes bahwa pengarang telah mati. Dalam hal ini kata pengarang dapat disejajarkan dengan pembuat film. Maka setelah karya telah dilepaskan untuk publik, maka publiklah yang memiliki karya tersebut, pengarang atau pembuat film tidak berhak lagi untuk menjelaskan maksud dari karya tersebut. Tanda dan wacana yang terkandung dalam film tersebut menjadi hal yang dapat dicermati untuk memahami perspektif yang terkubur dalam lautan tanda berupa aspek sinematik dan naratif bekerja membentuk film yang bercerita.
14
1.4.2.1.1
Logika Film
Logika film sangat diperlukan dalam memahami bahasa film (Irwansyah, 2009:47). Salim Said (1991:22) menyatakan bahwa film yang baik adalah film yang di dalamnya ada cukup akal sehat, yang menyediakan cukup logika untuk memahami kausalitas dalam film. Film mempunyai logikanya sendiri, logika inilah yang membuat penonton mampu meyakinkan penonton mempercayai segala kemustahilan yang ada dalam film tersebut. Logika dalam film tersebut disebut JB. Kristanto (2004:204) sebagai logika dalam. Logika ini terbentuk ketika sineas mengawali filmnya dalam bentuk apapun. Begitu awalan ditetapkan, maka tercipta suatu logika yang tetap berpatokan pada logika umum. Sineas harus mematuhi hukum kausalitas, ada penjelasan yang padu antara satu peristiwa dan peristiwa lain, antara satu adegan ke adegan lain, sehingga penonton tidak menerima serentetan gambar tanpa penjelasan sebab-akibat yang utuh.
1.4.2.2 Kode-Kode Film Film tersusun dari berbagai banyak hal yang berkaitan untuk membentuk suatu wacana yang akan dikomunikasikan kepada penonton. Hal tersebut direpresentasikan melalui kode-kode terbagi menjadi kode sinematik dan kode naratif pada film.
15
1.4.2.2.1
Kode Sinematik
a. Kode Editing (Montage) Montage dan pergerakan kamera merupakan satu-satunya unsur sinematik yang dimiliki oleh film (Pratista, 2008:123). Sejak awal perkembangan sinema, para sineas telah menggunakan editing untuk memanipulasi ruang dan waktu dalam film. Pada umumnya, editing berbentuk transisi antar shot. Transisi shot dalam film umumnya dilakukan dalam empat bentuk, yakni : 1. Cut (Coupe) 2. Wipe (Volet) 3. Dissolve (Fondu enchaîné) 4. Fade (Fondu) Teknik editing memungkinkan sineas untuk mengontrol kontinuitas grafik, aspek ritmik, aspek spasial dan aspek temporal dalam film. b. Kode Kamera i.
Pergerakan Kamera
Pergerakan kamera menjadi ujung tombak dalam membawakan wacana dalam film. Secara teknis, kamera mengambil peranan paling besar dalam pembuatan film. Tanpa kamera film tidak akan diproduksi. Berbeda dengan drama teatrikal yang memungkinkan penonton untuk melihat panggung secara keseluruhan, kamera membatasi mata penonton dan mengarahkannya kepada suatu hal yang diinginkan oleh sineas.
16
Kamera sangat dimungkinkan untuk bergerak bebas dalam produksi film. Penggunaan pergerakan kamera sangat umum digunakan oleh produksi film, sangat jarang ada sineas yang menggunakan kamera statis (id, 2008:108). Pergerakan kamera berfungsi umumnya untuk mengikuti pergerakan tokoh atau obyek. Pergerakan kamera juga sering digunakan untuk menggambarkan situasi dan suasana lokasi. Secara teknis, variasi pergerakan kamera tidak terhitung dikarenakan banyaknya kombinasi pergerakan kamera yang dapat dilakukan. Secara umum, pergerakan kamera dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1. Pan (Caméra panoramique horizontal) 2. Tilt (Caméra panoramique vertical) 3. Tracking (Traveling) 4. Crane Shot (Plan Grue) c. Kode Mise-en-Scene Mise-en-scene adalah segala hal yang terletak di depan kamera. Kata ini berasal dari bahasa Prancis yang berarti meletakkan dalam layar. Mise-en-scene adalah kode sinematik yang paling mudah dikenali. Mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yakni: i.
Setting
Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya. Pada umumnya, setting dibuat senyata mungkin dengan konteks ceritanya. Fungsi utama setting adalah sebagai penunjuk ruang dan waktu untuk memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita. Selain berfungsi sebagai latar cerita, setting juga mampu
17
menjadi petunjuk ruang, penunjuk waktu, penunjuk status sosial, dan pembangun mood (id, 2008:66). ii.
Kostum dan Make-up
Kostum dan make-up memiliki fungsi yang sama dengan setting yaitu memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita, selain itu, kostum dan make-up juga memberikan informasi mengenai kepribadian karakter dan membentuk image karakter (id, 2008:71) iii.
Pencahayaan
Seluruh gambar yang ada dalam film merupakan hasil manipulasi cahaya. Tata cahaya dalam film secara umum dikelompokkan menjadi empat, yakni kualitas cahaya, arah cahaya, sumber cahaya serta warna cahaya. Keempat unsur ini sangat memperngaruhi tata cahaya dalam membentuk suasana dan mood dalam film (id, 2008:75). iv.
Acting
Penampilan seorang aktor merupakan unsur penting dalam film. Film mudah dinilai dari kemampuan akting aktor yang memainkan karakter dalam cerita. Secara umum akting seorang aktor dalam film dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni visual dan audio. Visual meliputi penampilan fisik, gerstur, ekspresi, serta gaya bicara (id, 2008:83), sedangkan secara audio meliputi bahasa bicara dan aksen. (id, 2008: 150)
18
1.4.2.2.2 Kode Suara Pada tahun 20-an, film memperluas invansi budayanya dengan ditemukannya perekaman suara secara langsung. Tepatnya pada tahun 1926, saat studio Warner Bros memperkenalkan alat bernama ‘Vitaphone’. Mulai dari sini film telah berbicara, yang kemudian membuatnya masuk ke dalam dimensi oral. Bermaterialkan sesuatu yang telah dikenal sebelumnya, yaitu cerita, film mulai masuk ke dalam ranah linguistik. Ada tiga hal esensial yang merupakan material bagi linguistik dalam film, yaitu bicara, menceritakan, dan memperlihatkan. Linguistik visual berwujud sebagai segala bentuk pencantuman dalam penceritaan seperti: teks terjemahan dan namanama artis pemain dan semua kru film (credit title), sedangkan dari sisi oral masuk ke dalam film berwujud sebagai dialog, monolog, dan narasi (Prasetyo, 2007: 22). 1.4.2.2.3 Kode Naratif Setiap cerita, apapun bentuknya dan seberapa pun pendeknya pasti mengandung unsur naratif. Tanpa unsur naratif, cerita takkan pernah ada. Naratif adalah rangkaian peristiwa yang terjadi dan berhubungan satu-sama lain, dan terikat hubungan sebab-akibat yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu (Pratista, 2008:33). Suatu cerita tidak mungkin akan terjadi tanpa adanya ruang dan waktu. Cerita dalam film terbentuk dengan adanya elemen-elemen pokok naratif, yakni karakter, permasalahan atau konflik, serta tujuan. Premis dasar film yang paling sederhana diungkapkan oleh Richard Krevolin (2003:12) dalam How to Adapt Anything into Screenplay dalam satu kalimat “Somebody wants something badly but
19
having a hard time while getting it.” Karakter selalu berpijak pada suatu tujuan untuk menghadapi suatu permasalahan atau sebaliknya memiliki masalah yang mampu memotivasi tujuan (Pratista, 2008:43). Film naratif memiliki pola struktur naratif yang secara umum dapat dibagi tiga tahap, yakni pendahuluan, konflik, dan penyelesaian. Melalui tiga tahapan inilah karakter, masalah dan tujuan ditetapkan dan berkembang menjadi alur cerita secara keseluruhan (id, 2008:44).
1.4.3
Ideologi Secara etimologis 'Ideologi' berasal dari 'idea' Yunani (gambar, bentuk,
gagasan) dan 'logos' (sistem pemikiran, disiplin). Hal ini dapat merujuk (Williams 1977:55) ke 'sistem kepercayaan umum untuk kelompok tertentu', suatu 'sistem kepercayaan ilusi', atau 'proses umum produksi makna dan ide-ide’, yang mirip dengan semiosis, produksi dan sirkulasi tanda. Semua membawa 'idea' pada 'logos'. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak, ketika hal tersebut diterapkan dalam masalah-masalah publik, konsep ini berelasi dengan banyak hal, salah satunya politik dan kekuasaan. Istilah ideologis dalam konteks politik secara populer diperkenalkan Karl Marx dalam Pengantar Kritik Hukum Hegel pada tahun 1844 (Suseno, 1999:123),
tetapi
ia
hanya
mengambil
istilah,
menggunakannya
tanpa
mendefinisikannya. Bagi Marx, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang-orang menganggap itu sah. Ideologi melayani kepentingan kelas yang berkuasa karena
20
memberikan legitimasi pada suatu keadaan yang sebetulnya tidak memiliki legitimasi.
1.4.3.1 Ideologi Kiri Kiri adalah kebiasaan sekaligus konsensus untuk membedakan dengan (sebelah) kanan. Santoso (2007:15) mengungkapkan bahwa terminologi kiri akan menjadi luar biasa, saat diendapkan pada dimensi pemikiran. Bukan hanya karena menyimpan sejumlah gagasan besar yang mendekonstruksi setiap tradisi yang dianggap mapan, namun juga karena peran signifikan atas ide-ide besar yang merubah keadaan. Dalam perspektif sejarah, terminologi kiri ditimpakan pada segala hal (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Menariknya, terminologi ini kemudian menjadi ‘hantu’ ketika ia dilabelkan pada pemikiran
atau
gerakan
sosial
yang
mengusung
simbol-simbol
‘revolusi’
sebagaimana sosialisme, marxisme dan komunisme (Santoso, 2007: 16). Selama ini, kebanyakan masyarakat terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah. Hasil pemikiran yang berbeda dengan mainstream yang selalu dianggap sebagai model pemikiran ‘kiri’. Parahnya, ‘kiri’ selalu diidentikan dengan komunis dan/atau komunisme. Padahal wacana pemikiran kiri adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan dan mengkritik segala yang berbau kemapanan, terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern (Santoso, 2001).
21
Dalam wacana politik, istilah politik kanan dan kiri digunakan untuk mempolarisasikan kekuatan politik dalam suatu wilayah. Istilah tersebut muncul pada masa revolusi Prancis 1789 saat anggota Assemblée nationale (Majelis Legislatif) terbagi menjadi dua. Pendukung bertahannya sistem aristokrat yang telah dijalankan sejak dinasti Valois hingga Bourbon (ancien régime), dan gereja di sebelah kanan dan pendukung perubahan radikal dalam revolusi, terbentuknya republik dan sekularisasi di sebelah kiri (Gauchet, 1997:242-245). Istilah kiri kemudian dilabelkan pada sejumlah gerakan revolusioner, khususnya sosialisme, anarkisme dan komunisme serta gerakan-gerakan reformis seperti sosial demokrasi dan liberalisme sosial. (Knapp & Wright, 2001:10). David Nolan (1969) membuat diagram untuk memudahkan klasifikasi ideologi politik, sebagai berikut:
22
Gambar 1.1 Nolan Chart
Diagram tersebut terdiri dari dua sumbu yang menjadi variabel dalam klasifikasi ideologi politik. Sumbu x adalah sumbu sudut pandang ekonomi sedangkan sumbu y adalah sumbu sudut pandang kebebasan personal. Nolan mendefinisikan libertarian sebagai ideologi yang memaksimalkan kebebasan personal, sedang authoritarian sebagai ideologi yang mengharuskan individu dalam masyarakat patuh pada negara. Ekonomi kanan didefinisikan sebagai pandangan bahwa ekonomi harus diserahkan pada pasar tanpa campur tangan negara,
23
sedangkan ekonomi kiri didefinisikan sebagai pandangan bahwa ekonomi harus dijalankan oleh negara untuk didistribusikan secara merata kepada masyarakat.
1.4.3.2 Sosialisme Sosialisme modern berasal dari gerakan yang mengkritik efek industrialisasi dan kepemilikan lahan pribadi di masyarakat pada abad ke-18. Sosialis utopis seperti Robert Owen (1771-1858), mencoba untuk menciptakan masyarakat mandiri dengan memisahkan diri dari masyarakat kapitalis. Henri de Saint Simon (1760-1825), yang menciptakan istilah socialisme, memperjuangkan terciptanya teknokrasi dan perencanaan industri. Saint-Simon, Friedrich Engels dan Karl Marx mendukung terciptanya masyarakat yang memungkinkan untuk aplikasi luas dari teknologi modern untuk merasionalisasi kegiatan ekonomi dengan menghilangkan anarki produksi kapitalis yang menghasilkan ketidakstabilan dan krisis siklus overproduksi (Engels, 1910: 11). Ekonomi sosialis didasarkan pada konsep Karl Marx tentang penghapusan kepemilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak, seperti air, listrik, bahan pangan, dan sebagainya (Marx, 1875) Sebagai gerakan politik, sosialisme mencakup beragam ideologi politik, mulai dari reformisme ke sosialisme revolusioner. Sosialisme bagi sosialis revolusioner
24
adalah penghapusan total sistem ekonomi kapitalisme dan direformasi menjadi sistem ekonomi sosialis. Sementara sosialis demokrat menganggap sosialisme dapat dicapai melalui reformasi sambil tetap dalam kerangka kapitalisme, dan kompromi (sementara atau permanen) dengan ekonomi liberal. Visi sosialisme, digambarkan sebagai sosial yang demokratis dalam bahasa politik saat ini. Bagi Karl Marx - dan kemudian Rosa Luxemburg - sosialisme adalah penghapusan kerja dengan sistem upah dan penghapusan kepemilikan alat-alat produksi. Karena mempertahankan sistem upah sama dengan mempertahankan kediktatoran pemilik alat-alat produksi yang menindas kaum proletar (Luxemburg, 1986: 280)
1.4.3.3 Komunisme Komunisme adalah gerakan sosial-politik yang bertujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara, terstruktur dalam kepemilikan umum alatalat produksi, akses gratis ke barang konsumsi, dan akhir kerja upahan dan kepemilikan pribadi dalam sarana produksi dan real estate (Engels, 1847: 18). Dalam teori Marxis, Komunisme merupakan tahap tertentu dalam perkembangan sejarah yang mau tidak mau muncul dari perkembangan tenaga produktif yang mengarah pada kekayaan materi berlimpah, memungkinkan untuk distribusi didasarkan pada kebutuhan dan relasi sosial individu yang terkait. Definisi yang tepat komunisme bervariasi, dan sering keliru, dalam wacana politik umum, digunakan secara bergantian dengan sosialisme, namun, teori Marxis berpendapat
25
bahwa sosialisme hanya tahap transisi di jalan menuju komunisme. Leninis merevisi teori ini dengan memperkenalkan gagasan tentang partai politik untuk memimpin revolusi proletar dan memegang semua kekuasaan politik setelah revolusi, "atas nama buruh" dan seharusnya dengan partisipasi buruh, dalam tahap transisi antara kapitalisme dan sosialisme (Marx & Engels, 1962). Teori komunis pada umumnya menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk memecahkan masalah yang ada dalam kapitalisme adalah menggulingkan sistem kapitalis dalam sebuah revolusi sosial yang luas, untuk kelas proletar, yang secara kolektif merupakan produsen utama kekayaan dalam masyarakat, dan yang terusmenerus dieksploitasi dan terpinggirkan oleh kelas kapitalis. Revolusi ini, dalam prakteknya biasanya melibatkan suatu pemberontakan bersenjata (Lenin, 1917). Revolusi dilakukan dengan cara-cara tertentu yang berbeda, tergantung pada lingkungan di mana komunisme tertentu berasal. Revolusi Cina kedua digambarkan sebagai pertempuran militer antara Tentara Merah Cina dan tentara Nasionalis Cina (Franke, 1970), sedangkan Revolusi Vietnam sebagian besar dalam bentuk gerilya antara sejumlah besar pendukung tentara Rakyat Vietnam dan tentara Barat (Marr, 1995), khususnya melawan Amerika Serikat. Revolusi Kuba adalah dasarnya kudeta yang melibatkan pertempuran intensif antara tentara Fulgencio Batista dan pengikut Fidel Castro. Castro bahkan tidak percaya bahwa partai pelopor diperlukan dalam kasus Kuba untuk memulai revolusi seperti pandangan Leninis, hal ini didorong oleh fakta bahwa Batista, pada saat
26
konflik bersenjata revolusioner Kuba dan tentaranya, secara signifikan lemah dalam hal solvabilitas politik pemerintahannya (Faria, 2002: 69). Tidak peduli seperti apa bentuk spesifik revolusi komunis, tujuannya adalah kelas pekerja dapat menggantikan kaum borjuis sebagai kelas yang berkuasa untuk membentuk suatu masyarakat tanpa perbedaan kelas.
1.6
Metodologi Penelitian Metodologi dengan teknik semiotika dalam penelitian ini pada dasarnya
bersifat kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2008:47). Pencarian tanda-tanda yang terkandung dalam film dilakukan dengan membagi film menjadi adegan-adegan. Kemudian adegan-adegan tersebut dipilah menggunakan teori semiotika untuk mencari kode-kode sinematik yang mengandung penanda ideologi kiri yang menjadi data-data premier dalam penelitian ini. Penanda-penanda ideologi kiri dalam bentuk kode-kode sinematik di film tersebut kemudian dikaitkan dengan kode-kode naratif untuk diintrepretasikan berdasarkan latar sosiohistoris film.
1.7
Tinjauan Pustaka Tinjauan mengenai film dan semiotika telah banyak dianalisis oleh mahasiswa
jurusan Sastra Roman, Universitas Gadjah Mada. Seperti pembahasan mengenai
27
tanda-tanda ikonis menggunakan teori semiotika Peirce yang ditulis oleh Venny Hadijah dalam skripsinya yang berjudul “Tanda-Tanda Ikonis pada Film Prancis Eugénie Grandet atas Roman Karya Honore de Balzac”. Film Marquise ditelaah oleh A. Sigit Suryanto pada tahun 2004 dalam skripsinya “Analisis Semiologis Marquise” Dalam skripsi tersebut A. Sigit Suryanto menggunakan metode signifikasi bertingkat Roland Barthes untuk menganalisa fragmen ideologi dalam film Marquise dan menggunakan Teori Eksistensi Erich Fromm untuk menganalisis Orientasi Eksistensialisme tokoh utama. Penggunaan metode analisis ikonik Peirce telah dibahas dalam skripsi Ari Mustikawati pada tahun 2004 yang berjudul “Analisis Ikon Mère Célibataire dalam Film Chocolat: Sebuah Kajian Semiotika” dan dalam skripsi Indira Dwiajeng Ayudha pada tahun 2007 yang berjudul “Analisis Ikon Kekerasan dalam Film Les Choristes (Sebuah Tinjauan Semiotika)”. Andi Prasetyo juga melakukan pengkajian melalui skripsi berjudul “Harmoni Naratif dalam Film Les Choristes” pada tahun 2007 untuk mengkaji hubungan antara narasi dan tanda musikal dalam film tersebut. Penelitian yang menggunakan film La Faute á Fidel belum pernah dilakukan di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Sementara di internet sekalipun pembahasan mengenai film ini sulit ditemukan, sebagian besar sumber di internet lebih banyak didominasi oleh resensi dari film ini.
28
1.8
Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini dibagi ke dalam empat bab. Bab I adalah
pengantar yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab ini merupakan landasan pokok bagi analisis dari bab II sampai bab IV. Bab II adalah uraian kode-kode sinematik yang bertujuan untuk mencari penanda ideologi kiri yang terdapat dalam obyek penelitian. Bab III adalah uraian analisis penanda ideologi kiri yang bertujuan untuk menjabarkan bagaimana kode-kode sinematik yang menjadi penanda ideologi kiri bekerja dan merepresentasikan ideologi kiri tersebut yang terdapat dalam obyek penelitian. Bab IV adalah intisari hasil penelitian yang dianalisis pada bab-bab sebelumnya.