1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia, terutama di negara tropis dan subtropis di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, beberapa pulau di Lautan Pasifik dan Karibia, Asia Tenggara. Malaria endemis di 109 negara di dunia yang mencakup 40 % populasi dunia dan setiap tahun kurang lebih 1 miliar orang terinfeksi malaria dengan 2 – 3 juta kematian (White, 2009). Manifestasi malaria berat berbeda berdasarkan lokasi geografis dan umur penderita (White, 2009). Di Afrika kematian terbanyak pada anak-anak dan wanita hamil, sedangkan di Asia Tenggara kematian terjadi pada individu non-imun (Idro et al., 2005). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daerah endemis malaria, khususnya di Kawasan Timur Indonesia yang mencakup Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Selain itu telah diidentifikasi adanya
fokus malaria lama dan baru di
Sumatera dan Jawa. Kurang lebih 35 % penduduk Indonesia tinggal di daerah yang berisiko terinfeksi malaria dan kematian karena malaria berat dilaporkan lebih dari 38.000 per tahun (Laihad, 2003). Di daerah endemis malaria di Asia Tenggara, yang pada umumnya merupakan area dengan non-stable transmission, manifestasi malaria berat kebanyakan bersifat multi-sistem dan yang paling sering dijumpai adalah
2
malaria serebral, malaria dengan ikterus dan malaria dengan gangguan ginjal akut. Penelitian di Vietnam dan Thailand menunjukkan malaria serebral didapatkan pada 50 % kasus malaria berat, sedangkan ikterus didapatkan pada 30 % penderita (WHO, 2000). Penelitian di Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1991 – 2000 yang melibatkan 271 penderita malaria berat, menunjukkan malaria dengan ikterus 54,2 %, malaria serebral 21,4 % dan malaria dengan gangguan ginjal akut 17,7 % (Gunawan et al., 2005). Di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda antara tahun 2003 – 2004 dilaporkan
manifestasi
malaria serebral didapatkan pada 62,9 % penderita malaria berat (jumlah penderita 35 orang) sedangkan ikterus dan gangguan ginjal akut masingmasing 62,9 % dan 51,4 % (Gunawan, 2004). Penelitian di rumah sakit yang sama tahun 2004 – 2005 pada 112 penderita menunjukkan malaria serebral dan malaria dengan ikterus masing-masing didapatkan pada 58 % penderita malaria berat dan malaria dengan gangguan ginjal akut 50 % (Gunawan 2005;
Gunawan et al., 2006) dan penelitian tahun 2007-2008 pada 47
penderita malaria berat menunjukkan ikterus didapatkan pada 72,3 % penderita, malaria serebral
40,4 %, gangguan ginjal akut 31,9 % (Gunawan
et al., 2010). Malaria berat didefinisikan sebagai ditemukannya Plasmodium bentuk aseksual dalam darah tepi (asexual parasitemia) yang disertai satu atau lebih komplikasi
(presentasi
klinis
atau
laboratoris)
:
kelemahan
hebat
(prostration), tidak mampu makan, gangguan kesadaran, distres pernapasan, kejang berulang, gagal sirkulasi, edema paru, perdarahan abnormal, ikterus,
3
hemoglobinuria, anemia berat, hipoglikemia, asidosis, gangguan ginjal akut, hiperlaktatemia, hiperparasitemia (WHO, 2010). Sebagian besar kasus malaria berat disebabkan oleh Plasmodium falciparum, namun dewasa ini telah dilaporkan kasus malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium vivax dan Plasmodium knowlesi. Parasit malaria yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax dengan persentase lebih kecil. Mortalitas pada malaria berat terjadi karena komplikasi pada berbagai organ penting dan dilaporkan mencapai 10 – 50 % (WHO, 2000). Penelitian di Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1991 – 2000 menunjukkan mortalitas malaria berat 13,3 % sedangkan di Samarinda tahun 2003 – 2004 17,1 % (Gunawan, 2004; Gunawan et al., 2005). Patogenesis malaria berat yang banyak dianut selama ini adalah : kerusakan sel darah merah karena invasi parasit, obstruksi mikrovaskuler karena sekuestrasi parasit (proses sitoadherens dan rosetting), kelainan regulasi sitokin dan oksida nitrit (Warrell et al., 1990; Angulo et al., 2002; White, 2003; Anstey, 2003; Harijanto, 2006).
Sitoadherens adalah
melekatnya eritrosit yang terinfeksi parasit (infected red blood cell = IRBC) pada permukaan endotel vaskuler dengan perantaraan penonjolan membran IRBC yang disebut knob. Sitoadherens merupakan proses spesifik yang hanya terjadi pada kapiler dan venule post-kapiler. Molekul adesi pada IRBC yang berperan sebagai ligand adalah suatu protein dengan berat molekul 200 – 350 kD yang terletak di permukaan knob yang dinamakan Plasmodium falciparum erythrocyte membrane protein-1 (Pf-EMP-1) (White et al., 1992). Protein ini
4
didapatkan
pada
skizon,
tropozoit
muda
maupun
tropozoit
matur
P. falciparum. Peran knob ini sangat penting karena penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa varian P. falciparum yang tidak memiliki knob tidak memiliki kemampuan sitoadherens (David et al., 1983). Beberapa molekul yang dapat berperan sebagai reseptor pada endotel pembuluh darah yang berikatan dengan Pf-EMP-1 adalah antara lain CD36, trombospondin, intercellular adhesion molecules-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecules-1 (VCAM-1), E-selektin, kondroitin sulfat. Distribusi reseptor pada jaringan tubuh manusia tidak sama. Sitoadherens menyebabkan sekuestrasi (penumpukan) IRBC pada mikrovaskuler organ vital seperti otak, paru, hati, ginjal, jantung, usus, limpa dengan derajat yang berbeda dan sekuestrasi tertinggi terjadi pada otak yang berhubungan dengan tingkat ekspresi molekul adesi pada endotel vaskuler otak (Turner, 1997). Penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa sekuestrasi di otak terjadi pada malaria serebral maupun non-serebral dengan jumlah kuantitatif lebih tinggi secara bermakna pada malaria serebral dan tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami sekuestrasi (Turner et al., 1994; Turner, 1997). Rosetting adalah fenomena perlekatan antara sebuah IRBC matang yang diselubungi oleh 10 atau lebih eritrosit tak terinfeksi sehingga terbentuk susunan seperti bunga (Ho et al., 1991). Rosetting seperti halnya sitoadherens berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskuler. Persentase IRBC yang melekat pada sel endotel vaskuler dan persentase IRBC yang membentuk roset mempunyai korelasi positif dengan derajat parasitemia dan merupakan faktor terpenting
5
dalam virulensi parasit (Fitri et al., 2003). Oksida nitrit yang diproduksi oleh makrofag sebagai respon terhadap komponen parasit, memiliki efek antiparasit, namun oksida nitrit dapat menghambat neurotransmisi sehingga berperan dalam terjadinya malaria serebral (Yaman et al., 1996). Beberapa penelitian in vivo sebaliknya menunjukkan tidak ada peranan oksida nitrit dalam eliminasi parasit maupun proses patologi (Favre et al., 1999). Pada dasarnya malaria berat adalah suatu penyakit inflamasi sistemik akut (Riley, 2000). Respon imun pada malaria berat yang melibatkan berbagai sel efektor dan sitokin sangat kompleks dan masih memerlukan banyak penelitian untuk menjawab berbagai pertanyaan (Riley, 2002). Respon imun bertujuan mengeliminasi parasit tanpa menimbulkan kerusakaan pada hospes. Peran sitokin pada patogenesis malaria berat masih belum sepenuhnya dipahami. Penelitian di Afrika dan Indonesia menunjukkan pada malaria berat terjadi peningkatan sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-a) interferon-gamma (IFN-g interleukin-1 (IL-1), IL-3, IL-6
(Anstey, 2003). Penelitian di Mali pada penderita malaria anak-anak
menunjukkan kadar IL-6, TNF-a, IL-12 (pro-inflamasi) dan IL-10 (anti-inflamasi) meningkat pada malaria serebral dibandingkan dengan nonmalaria serebral. peningkatan
kadar
Penelitian di Gambia dan Ghana juga menunjukkan TNF-a dan
reseptornya
pada
malaria
serebral
dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi (Lyke et al., 2004; Idro, 2005). Penelitian pada penderita malaria anak di Afrika menunjukkan parasitemia
yang
berat
berhubungan
dengan
peningkatan
kadar
6
TNF-a, IL-10 (Keller, 2005). Penelitian di Vietnam pada penderita malaria dewasa menunjukkan peningkatan kadar IL-6, IL-10, TNF-a pada penderita dengan disfungsi multi organ, namun tidak pada penderita malaria serebral tanpa komplikasi lain (Day et al., 1999). Penelitian di Sri Lanka menunjukkan adanya korelasi kadar TNF-a dengan malaria berat (WHO/ TDR 18, 2004). Penelitian di India menunjukkan peningkatan kadar TNF-a dan IL-10 berkorelasi dengan malaria berat, khususnya malaria serebral (Prakash et al., 2006). Penelitian post mortem pada anak-anak dengan malaria serebral di Malawi menunjukkan peningkatan produksi lokal IL-1 dan TNF-a (Idro, 2005), namun tidak didapatkan peningkatan kadar TNF-a pada cairan serebrospinal (Grau et al., 1989). Penelitian di Sulawesi Utara tahun 1992 – 1995 pada 33 penderita malaria serebral menunjukkan tidak ada korelasi yang bermakna antara kadar IL-6, TNF-a, IFN-g cairan serebrospinal dengan derajat koma dan mortalitas walaupun didapatkan kadar rata-rata IL-6 dan TNF-a pada penderita yang meninggal lebih tinggi daripada penderita yang sembuh (IL-6 113,3 pg/mL vs 20,1 pg/mL dan TNF-a 12,6 pg/mL vs 0,6 pg/mL; p > 0,05) (Simanjuntak et al., 2000). Tumor necrosis factor alpha merupakan sitokin pro-inflamasi utama yang diproduksi oleh monosit dan makrofag yang memegang peran penting dalam patogenesis malaria berat (Riley et al., 1994) dan TNF-a adalah mediator utama dalam respon imun alamiah (innate immunity) dan inflamasi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme atau antigen lain, yang bekerja secara lokal dan sistemik (Abbas et al., 2007). Diketahui pula TNF-a
7
menginduksi diseritropoesis (menghambat pertumbuhan prekursor eritroid, meningkatkan eritrofagositosis, merangsang pelepasan reactive oxygen species oleh sel fagosit teraktivasi yang menyebabkan kerusakan eritroblast dalam sumsum tulang) (Kaplan et al., 1993) dan pelepasan sitokin proinflamasi lain seperti IL-8, IL-12, IL-18 (Silamut, 1993; Flori et al., 2005). Tumor necrosis factor-a memiliki efek anti-parasit namun juga meningkatkan ekspresi
berbagai
molekul
adesi,
terutama
ICAM-1
pada
endotel
mikrovaskuler sehingga terjadi peningkatan proses sitoadherens yang menyebabkan obstruksi mikrovaskuler organ penting seperti otak, ginjal, hati (Armah et al., 2005). Sitokin pro-inflamasi seperti TNF-a, IFN-g, IL-12 meningkatkan produksi oksida nitrit melalui peningkatan ekspresi gen nitric oxide synthase-2 (NOS2), sebaliknya sitokin anti-inflamasi (IL-10, TGF-) menurunkan ekspresi NOS2. Oksida nitrit diduga berperan sebagai radikal bebas toksis yang mematikan parasit. Variasi respon imunitas alamiah yang besar secara kuantitatif dan kualitatif antar individu akan mempengaruhi manifestasi klinis malaria berat (Tsakonas et al., 2003). Dari uraian di atas didapatkan bahwa sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi berperan dalam eliminasi parasit namun sebaliknya juga menimbulkan proses patologis pada manusia dengan manifestasi malaria berat. Respon imun terhadap malaria, terutama yang melibatkan sitokin harus teregulasi dengan baik karena menentukan hidup matinya seorang penderita malaria berat. TNF-a merupakan sitokin pro-inflamasi utama dalam innate immunity (imunitas alamiah) yang berperan dalam kerusakan jaringan/
8
organ bila diproduksi dalam kadar yang tinggi.
IFN-g suatu sitokin
pro-inflamasi lain yang mengaktivasi makrofag dan memiliki fungsi sangat penting dalam imunitas alamiah dan adaptif terhadap mikroba intraseluler (termasuk Plasmodium), diduga memegang peran sentral dalam pengaturan respon imun terhadap malaria karena mengaktivasi makrofag memproduksi TNF-a dan juga IL-10. IL-10 adalah sitokin anti-inflamasi utama dalam respon imun alamiah dan adaptif yang berperan menghentikan respon imun/ inflamasi yang berlebihan melalui inaktivasi makrofag dan sel T. Ketiga sitokin ini merupakan mediator inflamasi lokal dan sistemik dan dapat diproduksi dalam jumlah besar sehingga mudah terdeteksi dalam serum (Abbas et al., 2007). Saat peningkatan dan penurunan kadar sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi, kadar absolut sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi, keseimbangan kadar sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi akan mempengaruhi manifestasi klinis penderita malaria berat. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa respon imun pada malaria dipengaruhi oleh faktor genetik, umur dan paparan/ endemisitas. Penelitian di Afrika dan Asia Tenggara menunjukkan adanya berbagai polimorfisme TNF-a promoter gene yang mempengaruhi produksi TNF-a (Flori et al., 2005; Ubalee et al., 2001). Anak-anak di Afrika yang telah pernah menderita malaria banyak mengalami malaria serebral. Sebaliknya orang dewasa dari daerah non-endemis yang bepergian ke daerah endemis malaria sering mengalami malaria berat pada infeksi pertama, setelah mengalami infeksi
9
beberapa kali, timbul anti-disease immunity dan selanjutnya anti-parasite immunity (Tsakonas et al., 2003). Respon pro-inflamasi pada anak dengan malaria berat lebih hebat dibandingkan dengan penderita dewasa, sebaliknya penderita malaria berat dewasa menunjukkan respon anti-inflamasi yang lebih baik (Kalmbach et al., 2006) dan penderita dewasa dengan infeksi malaria sebelumnya akan menghasilkan respon Th1 yang lebih rendah dibandingkan dengan infeksi primer (Rhee et al., 2001). Dari publikasi dan penelitian yang ada selama ini masih belum jelas bagaimana dinamika (saat peningkatan dan penurunan) kadar sitokin proinflamasi dan kadar sitokin anti-inflamasi selama perjalanan klinis penderita malaria berat dan bagaimana hubungan kadar sitokin dengan manifestasi klinis malaria berat.
Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam patogenesis malaria berat yang dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam mempelajari prognosis, perbaikan penanganan malaria berat, dan penurunan mortalitas. Di Kalimantan Timur, salah satu daerah endemis malaria yang sebagian besar wilayahnya merupakan hutan hujan tropis, dengan karakteristik alam, penduduk, sosial budaya yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, belum ada penelitian mengenai patogenesis malaria berat yang berkaitan dengan dinamika kadar TNF-a, IFN-g, IL-10 dengan pemeriksaan serial selama perjalanan klinis malaria berat dan hubungan kadar TNF-a IFN-g, IL-10 dengan manifestasi klinis malaria berat, khususnya malaria serebral, malaria dengan ikterus dan malaria dengan gangguan ginjal akut (komplikasi
10
malaria berat yang paling banyak dijumpai) serta hubungan derajat parasitemia dengan kadar sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas didapatkan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana dinamika respon sitokin pro-inflamasi (TNF-a, IFN-g) dan sitokin anti-inflamasi (IL-10) pada penderita malaria berat. 2. Apakah ada perbedaan kadar TNF-a IFN-g, IL-10 pada penderita malaria berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi. 3. Bagaimana
hubungan
antara
kadar
TNF-a IFN-g,
IL-10,
rasio
TNF-a/IL-10, rasio IFN-g/IL-10 dengan manifestasi klinis malaria berat (Glasgow Coma Scale, kadar bilirubin total, kadar kreatinin). 4. Bagaimana hubungan antara hitung parasit dengan kadar TNF-a IFN-g, IL-10 pada penderita malaria berat.
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum : Mengetahui
dinamika
respon
sitokin
pro-inflamasi
dan
sitokin
anti-inflamasi pada penderita malaria berat di Kalimantan Timur dan hubungannya dengan manifestasi klinis. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Dinamika respon sitokin pro-inflamasi (TNF-a, IFN-g dan sitokin anti-inflamasi (IL-10) pada penderita malaria berat.
11
2. Perbedaan kadar TNF-a, IFN-g, IL-10 pada penderita malaria berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi. 3. Hubungan kadar TNF-a IFN-g, IL-10, rasio TNF-a/IL-10, rasio IFN-g/IL-10 dengan manifestasi klinis malaria berat (Glasgow Coma Scale, kadar bilirubin total, kadar kreatinin). 4. Hubungan antara hitung parasit dengan kadar TNF-a IFN-g, IL-10 pada penderita malaria berat.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang sitokin pro-inflamasi khususnya TNF-a IFN-g dan sitokin anti-inflamasi IL-10 pada patogenesis malaria berat telah banyak dilakukan di Afrika dan Asia, namun belum ada jawaban yang pasti bagaimana sesungguhnya peran TNF-a IFN-g, IL-10 pada malaria berat (Grau et al., 1989; Day et al., 1999; Anstey, 2003;
Lyke et al., 2004;
Idro, 2005; Walther et al., 2006). Penelitian yang berhubungan dengan kadar sitokin pada malaria berat hampir seluruhnya merupakan penelitian cross-sectional, dimana hanya satu kali dilakukan pemeriksaan kadar sitokin, sehingga tidak dapat memberikan informasi yang memadai mengenai dinamika respon sitokin dan pengaruhnya terhadap manifestasi klinis. Di Indonesia dan di Kalimantan Timur yang merupakan salah satu daerah endemis malaria dengan karakteristik penduduk, etnis dan alam yang berbeda dengan daerah lainnya, belum pernah dilakukan penelitian observasional untuk mengetahui dinamika respon sitokin pro-inflamasi dan sitokin
12
anti-inflamasi pada malaria berat, hubungan kadar TNF-a, IFN-g, IL10 dengan manifestasi klinis malaria berat dan hitung parasit dengan pemeriksaan serial kadar sitokin selama perjalanan klinis seorang penderita.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran manifestasi klinis malaria berat di Kalimantan Timur, bagaimana hubungan kadar TNF-a IFN-g, IL-10 dengan manifestasi malaria berat. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat membantu mengungkapkan dinamika respon sitokin dan peran sitokin pro-inflamasi, sitokin anti-inflamasi
dalam
patogenesis malaria berat. 2. Manfaat klinis Dengan mengetahui dinamika dan pengaruh sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi khususnya TNF-a, IFN-g, IL-10 pada malaria berat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan untuk mempelajari prognosis malaria berat dan membantu dalam penemuan intervensi baru dalam penanganan malaria berat untuk menurunkan mortalitas yang hingga saat ini masih tinggi (10 – 50 %), misal apakah perlu pemberian sitokin rekombinan atau antibodi monoklonal anti-sitokin, soluble-cytokine receptor dan kapan saat yang tepat untuk pemberiannya, selain pemberian obat anti-malaria yang berperan dalam mengurangi parasitemia.