BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya.Hubungan patriarki tidak hanya terjadi dalam lingkup kekerabatan saja, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan manusia
seperti
ekonomi,
politik,
sosial,
dan
keagamaan,
bahkan
seksualitas.Akibatnya, kaum perempuan selalu berada di bawah kuasa kaum lakilaki dalam pembuatan keputusan publik. Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki.Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat.Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan.Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior.Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral.Sementara itu, peran lakilaki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah.Dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut membuat mereka terbatas dalam kegiatan bermasyarakat/ berpolitik, arena politik identik dengan
dunia laki-laki.Apabila perempuan masuk kepanggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius. 1 Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peranan kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan penyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.Sejak reformasi tahun 1999, jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 hanya 9,2% kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 11,81%. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali meningkat menjadi 18%. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi 17,32%. 2 Namun peningkatan dari tahun 1999 sampai pada tahun 2014 tidaklah signifikan Peran dan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik selama ini masih dirasa kurang. Untuk itu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan melalui penerapan kuota minimal 30% bagi perempuan di parlemen. Agar tujuan tersebut tercapai, dibuatlah UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.Yaitu Pasal 8 ayat 2 e “ menyertakan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan padakepengurusan
1
Romany Sihite. 2007. Perempuan, Kesetaraan, keadilan : Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal.158.
2
Dina Martiany, SH, MSi. 2014.Signifikasi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-1.pdf. Diakses pada 20 Desember 2014 Pukul 20.00 wib.
partai politik tingkat pusat” Kemudian Pasal 55 “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
53
memuat
paling
sedikit
30%
(tiga
puluh
persen)keterwakilan perempuan.” 3Namun Jika kita lihat pada pemilihan umum legislatif terakhir pada 09 April
2014 hasilnya masih belum menunjukan
perubahan yang signifikan. Bahkan tidak mencapai
kuota 30% sebagaimana
tercermin pada Gambar 1.1 dan 1.2 dibawah ini.
Gambar 1.1
Komposisi Anggota DPR RI 2014-2019 Berdasarkan Jenis Kelamin
4
Dari tabel tersebut, PDI-P menjadi partai yang paling banyak menempatkan anggota dewan perempuan dengan jumlah 21 orang.Sementara yang paling sedikit adalah PKS hanya memiliki satu orang anggota dewan perempuan. 3
Undang-undang No. 8 Tahun 2012 pasal 8 dan 53. https://www.selasar.com/politik/keterwakilan-perempuan-di-parlemen-baru pukul 20.00 wib. 4
di akses 23 desember 2014,
Gambar 1.2
Persentase Anggota DPR RI 2014-2019 dari Tiap Partai Politik Berdasarkan Jenis Kelamin. 5
Tabel di atas menunjukkan, bahwa tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di parlemen seperti yang diharapkan (menyentuh garis biru) atau mencapai 30%. Yang paling tinggi adalah PPP dengan 25,6% kursi, lalu diikuti dengan Partai Demokrat dan PKB dengan 21,3% kursi. Sedangkan yang paling rendah adalah PKS dengan hanya 2,5% kursi. Gambaran partisipasi politik perempuan diatas memperlihatkan bahwa secara formal adanya minoritas yang cukup besar untuk perempuan berpatisipasi aktif dalam politik yang legal.Menurut Harmona daulaybila di telusurikendala yang dapat dijelaskan dari kondisi ini adalahPertama, sistem negara yang patriarki. Kedua, Sistem politik yang sangat patriarkhis dan sangat identik dengan nilai maskulin.Ketiga, Berlanjut pada partai politik yang hanya melihat 5
Loc.Cit.
perempuan sebagai pengumbul suara.Keempat, Sistem sosial budaya yang sangat seksis, misalnya perempuan tertinggal dalam pendidikan, lemahnya persiapan mental untuk berkompetisi, diskriminasi, stereotip sosial dan marginalisasi di partai dan institusi lainnya. 6 Undang-undangpemilu yang disahkan tentang kuota 30% perempuan telah memberikan pencerahan terhadap partisipasi politik perempuan dalam legislatif. Namun kerja keras dalam mendongkrat kualitas perempuan untuk tampil di politik,untuk bisa mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan partai serta untuk merubah paradigma politik Indonesia yang syarat dengan ukuran laki-laki bukanlah pekerjaan yang sederhana. Kuota yang diberikan bukan menjadi sisi yang membuat politisi laki-laki terpaksa memberikan ruang untuk perempuan atau disiasati dengan memilih perempuan yang gampang diatur dan tetap pada isu mengangkat perempuan karena unsur kasihan dan unsur kuantitas yang besar yang wajib didengar aspirasinya sebagai pengumpul suara. Perempuan harus sadar bahwa ketika mereka tidak peduli kepada politik mereka telah menggantungkan hidup mereka pada keputusan Negara yang sangat bias gender karena diputuskan total oleh laki-laki atau oleh perempuan yang belum sensitif gender. Eksistensi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama pada tingkat lokal dan kepekaan terhadap masalah yang ada.Asumsi pentingnya perempuan berpatisipasi dalam politik maka kaum perempuan sendiri memang
6
Harmona Daulay. 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan:USU Press hal.43.
harus berjuang untuk bisa melawan pada kondisi, sistem sosial masyarakat, sistem politik,
sistem
negara
dan
partai
politik
yang
sangat
kental
nilai
patriarki. 7Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam politik, yaitu :Pertama, Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual dan lain-lain.Kedua, Partisipasi perempuan diharapkan bisa mencegah kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotip terhadap perempuan, diskriminasi dibidang hukum, kehidupan sosial dan kerja,marginalisasi
di
dunia
karier
dan
eksploitasi
yang
terjadi
pada
perempuan.Ketiga, Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. 8 Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan kehidupan budaya
yang patriarki. Dalam adat Nias, terikat kuatoleh adanya
sistem kekerabatan yang seringdisebut dengan marga.Marga adalah sebuahsilsilah keluarga yang menjadi identitas suku Nias sejak lahir. Dalam suatu keluargasetiap 7
Ibid. hal.31-32. Ibid. hal 36.
8
anak akan mengikuti marga dari ayahyang diperoleh sang ayah dari leluhurleluhursebelumnya.Marga
merupakan
identitas
penting
bagi
masyarakat
Nias.Dengan adanya marga maka suku Nias dapatmengetahui hubungan kekerabatan dan statuskekerabatan mereka.Hal inilah yang menjadiawal pembentukan budaya patriarki dalamsuku Nias.Dimulai dari pengambilan garis keturunan ayah atau marga ayah yang akan menjadi marga anak, pembagian harta dan sampai pada adat istiadat pernikahan. Contoh lainya Budaya patriarki Nias adalah membuat semua pesta yang dilaksanakan selalu dalam konteks kebutuhan kaum laki-laki.Puncak dari semua pesta yang harus ditunaikan oleh laki-laki Nias adalah Owasa, pesta terbesarnya.Meskipun pelakunya harus menanggung resiko ekonomi yang serius, demi harga diri pesta itu harus ditunaikan. Dampak sosial pelaksanaan Owasa tersebut sangat berdampak pada pelapisan sosial seorang laki-laki yang akan menikah.Oleh karena itu peran dominasi laki-laki sangat tampak dan didukung oleh budaya patriarki masyarakat yang semakin membuat peran perempuan menjadi minoritas dan terkurung dalam peran domestik, mengurus anak dan dapur.Urusan politik, hubungan dengan masyarakat diserahkan kepada laki-laki. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum tentang penetapan namanama anggota DPRD terpilih untuk periode 2014-2019, terdapat 25 anggota DPRD yang lolos sebagai pemenang pada pemilihan umum legislatif pada 9 april 2014 silam. Namun sangat disayangkan karena dari 25 anggota DPRD yang
medapatkan kursi, tidak seorang pun yang mewakili kaum perempuan semuanya di dominasi laki-laki atau dengan kata lain 100% anggota DPRD terpilih kabupaten nias adalah laki-laki. Tidak jauh berbeda pada pemilihan umum tahun 2009 silam yang hasilnya hanya 2 orang perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif dari 40 orang yang lolos menjadi anggota dewan. Hal ini menunjukan bahwa minoritas kaum perempuan di DPRD kabupaten Nias tidak hanya terjadi pada pemilihan umum tahun 2014 melainkan juga pada pemilihan umum tahun 2009 silam. Padahal Jika dibandingkan berdasarkan berita acara Nomor 156/BA/VI/2014 tentang rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) di kabupaten nias maka di peroleh hasil DPT perempuan di kabupaten nias sebanyak 47.222 dan DPT laki-laki adalah 42.759 yang tersebar dalam 10 kecamatan. 9Dari data tersebut menunjukan bahwa pemilih perempuan di kabupaten nias sebenarnya lebih banyak dari pada pemilih laki-laki, namun ironisnya tidak satupun dari calon legislatif perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Nias.Dengan pemilih perempuan yang lebih dominan dari laki-laki seyogianya sudah mampu untuk menempatkan wakil-wakil perempuan untuk duduk dalam jajaran pembuat keputusan atau anggota legislatif.Hal inilah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh budaya patriarki yang telah melekat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat nias
9
KPU Kabupaten Nias.2014. Berita Acara nomor 156/BA/VI/2014 Tentang Rapat pleno rekapitulasi
penentapan daftar pemilih tetap (DPT) 2014.
terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan umum legislatif tahun 2014. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan.Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu, Bagaimana pengaruh budaya patriarki di kabupaten Nias terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan umum tahun 2014?
C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut.Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana
Budaya
patriarki
bermasyarakat di kabupaten Nias?
yang
berkembang
dalam
hubungan
2. Bagaimana Pengaruh Budaya patriarki terhadap Partisipasi Politik perempuan di DPRD kabupaten nias pada pemilihan legislatif tahun 2014?
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengeksplorasi budaya patriarki yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di kabupaten nias. 2. Untuk menganalisis pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan legislatif tahun 2014
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut: •
Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap partisipasi politik.
•
Secara Lembaga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen Ilmu Politik FISIP USU
•
Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat kabupaten Niassecara khusus dalam memahami pengaruh budaya patriarki terhadap keterwakilan politik perempuan.
F. Kerangka Teori Dalam sebuah penelitian, teori-teori merupakan alat atau “tool”untuk menjelaskan fenomena yang akan diteliti. Teori-teori yang digunakan harus mampu untuk menjelaskan gejala-gejala yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam hal ini adalah peristiwa politik. Menurut Miriam Budiardjo, teori adalah bahasan dan renungan atas tujuan kegiatan, cara-cara mencapai tujuan, kemungkinan-kemungkinan atau prediksi dan kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan. 10 F.1Partisipasi Politik Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberi suara dalam pemelihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan ( contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya. 11Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai 10
Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hal. 30. Ibid. hal. 367.
11
keterlibatan secara aktif (the active angagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintahan.
12
F.1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut : •
Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik, mengajukan alternatif kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain.
•
Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
•
Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan. Michael
Rush
dan
Philip
Althoffmengidentifikasi
bentuk-bentuk
partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau
12
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 180.
administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik, dimana garis vertikal segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang-orang. 13 Bentuk dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush dan Althoff, secara berturut-turut adalah: Gambar 1.3 Hierarki Partisipasi Politik Menduduki jabatan politik atau administrasi. Mencari jabatan politik atau administrasi, Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik, Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik(quasi political), Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political), Partisipasi dalam rapat umum Ikut serta dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik Voting (pemberian suara), Apati total Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 185.
13
Ibid. hal 185.
Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelsonjuga menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi : •
Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
•
Lobbying,
mencakup
upaya
perorangan
atau
kelompok
untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. •
Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
•
Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
•
Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda 14
14
Samuel P Huntington & Joan Nelson.1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta hal. 17-18.
Gabriel A. Almondjugamembedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu : •
Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang “normal“ dalam demokrasi modern.
•
Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. 15 Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi
dapat dilihat pada Gambar 1.4berikut :
Gambar 1.4 Bentuk Partisipasi Politik Kovensional
Tradisional
•
Pemungutan suara
•
Pengajuan Petisi
•
Diskusi Politik
•
Demonstrasi
•
Kegiatan Kampanye
•
Konfrontasi
•
Membentuk
•
Mogok
•
Tindak kekerasan politik terhadap
dan
bergabung
dengan kelompok kepentingan •
Komunikasi Individual dengan pejabat politik dan administratif
benda (Perusakan,Pembakaran) •
Tindak kekerasan Politik terhadap Manusia(Penculikan, Pembunuhan
•
Perang Gerilya dan Revolusi
Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal.189
15
Op.Cit. hal.183-189.
F.1.2 Alasan Partisipasi Politik Menurut Max weber terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut berpatisipasi politik yaitu: •
Alasan Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.
•
Alasan emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.
•
Alasan tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki-laki
yang
hanya
dibolehkan
aktif
diranah
publik,sedangkan
perempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, sehingga mempengaruhi pola partisipasi politik mereka. •
Alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi. 16
F.2 Budaya Politik Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. 17Batasan ini memperlihatkan adanya unsur individu, yakni warga negara dan 16
Op.cit. hal 193-198. Gabriel A. Almond & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik. Jakarta: Bumi Aksara hal. 16.
17
sistem politik serta keterikatanya. Dalam hal ini, budaya politik terlihat dari bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya terhadap
individu
didalam
sistem
politik.Sementara
itu, Almond
dan
Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada
politik,
peranan
dan
segala
kewajibannya
serta
input
dan
outputnya.Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Objek Orientasi Politik dapat digolongkan dalam beberapa unsur. Pertama, adalah sistem politik secara umum. Kedua, adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik.Ketiga, adalah Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi yudikatif. Kemudian Pemegang jabatan dan kebijakan timbal balik yang dapat diklasifikasikan dalam proses atau input politik dan proses administratif atau output politik. 18
18
Ibid hal.17.
F.2.1 TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK F 2.1.1 Budaya Politik Parokial Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
F.2.1.2 Budaya Politik Subjek Budaya
Politik
subyek lebih
rendah
satu
derajat
dari
budaya
politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-
berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
F.2.1.3 Budaya Politik Partisipan Masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair. Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan,
karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.19Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture) Tipe budaya politik ini sebagian besar penduduknya menolak tuntutantuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.Budaya ini merupakan peralihan dari budaya Parokial menuju budaya Subyek. b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture) Tipe budaya ini sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasiorientasi input yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk lainnya terus diorientasikan kea rah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif.
19
Ibid. hal 20-22
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture) Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Disejumlah negara ini pada umumnya buday politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan Persoalan yang muncul adalah sering kali terjadi ketimpangan antara struktur yang yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu satu hal yang harus ditanggulangi adalah upaya mengembangkan orientasi input dan output secara perlahan sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil, yang suatu ketika kearah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi.20 F.3 Teori Feminisme F.3.1 Paradigma Fungsionalisme dalam Feminisme Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme, adalah mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Rober Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung kaum perempuan.Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (Agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus
20
menerus
mencari
keseimbangan.(equilibrium) dan
harmoni
Komarudin Sahid. 2011. Memahami Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia hal 158-160.
dalam
menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena konsensus. Pola yang nonnormatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali.Bagi penganut teori ini masyarakat berubah secara evolusioner.Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan.Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional bernilai tinggi dan harus ditegakan sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini menolak setiap usaha yang menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.Pengaruh fungsionalisme ini dapat kita lihat pada pemikiran Feminisme Liberal. •
Feminisme Liberalis Feminisme Liberal. Dalam lingkup sosial, kebebasan (freedom) dan
kesamaan
(equlity)
berakar
dari
rasionlitas
dan
pemisahan
antara
dunia privat dan public yang didalamnya ada hak perempuan dan laki-laki sehingga sisi pembedaan tidak ada. Perempuan pun adalah makhluk rasional, maka kalaupun perempuan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan kaum perempuan sendiri.Pemecahannya adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam situasi dunia yang penuh dengan persaingan bebas.Sebagian usaha ini dapat dilihat dari pembangunan (Women intervensi
guna
in
Development) dengan
meningkatkan
taraf
hidup
menyediakan
keluarga
spirit
“program pendidikan,
keterampilan “serta” kebijakan yang dapat meningkatkan kaum perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan. F.2.2 Paradigma Konflik dalam Feminisme Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan ( power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang termasuk dalam paradigm konflik yaitu: •
Feminisme Radikal Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an.Penganut aliran ini muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang terjadi pada waktu itu 21. Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi, kedua, Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kelas seks dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan.Konsep patriarki menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam
21
Bownmiller.1976 dalam Mansour Fakih.2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 84.
melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya.Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.Lebih lanjut aliran feminism radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi. 22 •
Feminisme Marxis Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan
biologis sebagai dasar pembedaan gender.Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta tingkat
kemajuan masyarakat dapat diukur dari
status
perempuannya. Adapun Engels mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme, yang menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karna perubahan organisasi kekayaan.Oleh karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka.Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai.
22
Elly M setiadi & Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Prenada Media Group. hal. 897.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan istrinya. Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh, dan istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, Kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah.Ketiga, Masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki.Rendahnya upah buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan pekerja tidak berupah (unpaid worker).Selain itu masuknya permpuan dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme, karena
perempuan
dianggap
sebagai
tenaga
cadangan
yang
tak
terbatas.Akibatnya, posisi tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhirnya akumulasi kapital menjadi semakin cepat.Sehingga banyak analisis yang menyimpulkan bahwa salah satu musuh kapitalisme adalah feminisme. 23 Oleh karena itu, menurut feminism marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari eksploitasi yang bersifat struktural.Aliran ini
23
Ibid. hal 897-899.
menganggap sistem kapitalisme sebagai penyebab penindasan perempuan.Maka emansipasi perempuan tejadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Perubahan struktur kelas inilah yang disebut sebagai revolusi •
Feminisme Sosialis Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistik
Marx dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal). 24Bagi mereka penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta menaikkan posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan sebelumnya yang secara tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis mutualisme) karena tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe Marx). Oleh karena itu kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan yaitu analisis patriarki dan analisis kelas, dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan.
G. Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara atau tentative answer yang hendak dibuktikan kebenaranya melalui suatu penelitian. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : 24
Jaggar, 1983.dalam Mansour Fakih. Op.cit hal.89.
•
Adanya pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten Nias tahun 2014
Maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini untuk membuktikannya yaitu: Hipotesis Nol (Ho) : Pernyataan yang menyatakan tidak ada hubungan budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y) yang akan diteliti, atau Variabel independen tidak mempengaruhi variable dependen. Hipotesis alternative (Ha) : Pernyataan yang menyatakan terdapat hubungan antara budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y) atau variabel independen mempengaruhi variabel dependen. H. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif.Penelitian kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial.Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena sosial di jabarkan kedalam beberapa komponen masalah, variabel dan indikator. Setiap variabel yang di tentukan di ukur dengan memberikan simbol-simbol angka yang berbeda- beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan simbol-simbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik
dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di dalam suatu parameter. H.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptitif.Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hal ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci.Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci. 25 H.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Nias, yang terdiri dari 10 kecamatan. H.3 Populasi dan Sampel Populasi
adalah
keseluruhan
objek
penelitian
yang
mempunyai
karakteristik tertentu dalam suatu penelitian atau keseluruhan gejala/satuan yang ingin di teliti.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Penduduk Perempuan kabupaten Nias yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan data daftar pemilih tetap dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Nias tahun 2014, maka jumlah DPT perempuan di kabupaten nias berjumlah 47.222 orang yang tersebar di sepuluh kecamatan. 25
Bagong suyanto dan sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hal. 17-18.
H.4 Sampel Penelitian Sampel merupakan bagian terkecil dari populasi yang menjadi contoh ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi.Oleh karena itu,sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri.Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan metode penarikan sampel stratified random sampling atau metode acak terlapis, untuk menentukan jumlah responden pada 10 kecamatan yang tersebar di kabupaten nias, kemudian akan dilakukan teknik Quota samplinguntuk memilih sampel dari masing-masing kecamatan, teknik sampel quota ini adalah teknik yang sama dengan stratified random
samplinghanya
saja
bedanya
penarikan
sampel
secara
yang
berartisampeldapat terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat, dalam arti siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang orang yang ditemui itu cocok sebagai sumber data. 26 Banyak metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya sampel, dalam artikel ini akan dibahas cara menghitung besar sampel dengan metode yang dikembangkan oleh Isaac danMichael.Metode yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael adalah cara untuk menentukan jumlah sampel yang memenuhi syarat berikut:
26
Bambang Prasetyo & Lina Miftahul Jannah. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada Hal. 135.
(1) diketahui jumlah populasinya; (2) pada taraf kesalahan (significance level) 1%, 5% dan 10%; dan (3) cara ini khusus digunakan untuk sampel yang berdistribusi normal, sehingga cara ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang tidak berdistribusi normal, seperti sampel yang homogen. Cara menggunakan metode ini sangat praktis, cukup dengan mencocokkan jumlah populasi dengan taraf kesalahan (significance level) yang dikehendaki. 27
Tabel 1.1 Penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu Dengan taraf kesalahan, 1, 5, dan 10 %
Sumber:https://freelearningji.wordpress.com/2013/03/20/88/ diakses pada tanggal 08 januari 2015. Pukul 20.00 wib.
27
https://freelearningji.wordpress.com/2013/03/20/88/ diakses pada tanggal 08 januari 2015.Pukul 20.00 wib.
Dikarenakan Jumlah populasinya adalah 47.222 maka sampel yang diambil adalah sebanyak 270 orang ( dengan tingkat kesalahan sebesar 10% dan tingkat kepercayaan adalah 90 %.) Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus table Isaac dan Michael maka diperoleh sampel sebanyak 270 orang. Tetapi karena kabupaten nias yang populasinya 47.222 orang terdiri dari 10 kecamatan , maka dilakukan lagi penentuan jumlah sampel pada tiap-tiap kecamatan. Penentuan jumlah sampel ini menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak terlapis ini disebabkan populasi yang hendak diteliti bersifat heterogen atau bervariasi. Dari jumlah tersebut , maka akan diperoleh jumlah responden dari masing-masing kecamatan dengan menggunakan rumus:
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 1 𝑥𝑥 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃
1. Kecamatan bawolato 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
7868 𝑥𝑥 270 47222
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
2987 𝑥𝑥 270 47222
=44.98 dibulatkan menjadi 50
2. Kecamatan Botomuzoi
= 17.07 dubulatkan menjadi 17
3. Kecamatan Gido 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
6876 𝑥𝑥 270 47222
= 39.31 dibulatkan menjadi 39
4. Kecamatan Hiliduho 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
3249 𝑥𝑥 270 47222
= 18.57 dibulatkan menjadi 19
5. Kecamatan Hiliserangkai 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
4727 𝑥𝑥 270 47222
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
8822 𝑥𝑥 270 47222
= 27.02 dibulatkan menjadi 27
6. Kecamatan Idanogawo
= 50.44 dubulatkan menjadi 51
7. Kecamatan Ma’u 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
3531 𝑥𝑥 270 47222
= 20.28 dibulatkan menjadi 20
8. Kecamatan Sogae’adu 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
3580 𝑥𝑥 270 47222
= 20.46 dibulatkan menjadi 20
9. Kecamatan Somolo-molo 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
2118 𝑥𝑥 270 47222
= 12.16 dibulatkan menjadi 12
10. Kecamatan Ulugawo 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 1 =
3464 𝑥𝑥 270 47222
= 19.80 dibulatkan menjadi 20
Jumlah sampel tiap-tiap kecamatan dapat juga dilihat pada Tabel 1.2 Tabel 1.2 Jumlah Sampel Tiap Kecamatan No
Kecamatan
Populasi
Sampel
1
Bawolato
7868
50
2
Botomuzoi
2987
17
3
Gido
6876
39
4
Hiliduho
3249
19
5
Hiliserangkai
4727
27
6
Idanogawo
8822
51
7
Ma’u
3531
20
8
Sogaeadu
3580
20
9
Somolo-molo
2118
12
10
Ulugawo
3464
20
Total
47222
270
Sumber :data DPT KPU Kabupaten Nias kemudian data diolah
Setelah
mendapatkan
jumlah
sampel
tiap-tiap
kecamatan
dengan
menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak terlapis, maka selanjutnya pemilihan sampel berdasarkan kuota hasil perhitungan, dengan menggunakan teknik Quota Sampling atau sampel Quota. Teknik penarikan sampel kuota merupakan teknik penarikan sampel yang sejenis dengan teknik penarikan sampel stratifikasi. Perbedaannya adalah ketika menarik anggota sampel dari masing-masing lapisan, tidak menggunakan cara acak melainkan melalui cara aksidental. Sampel berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat. H.5 Defenisi Konsep Defenisi konsep merupakan proses yang digunakan untuk menunjukan secara tepat tentang apa yang kita maksudkan bila kita menggunakan suatu istilah tertentu.
28
Untuk mendapatkan batasan istilah yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti, maka defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:
Budaya Patriarki Secara umum patriarki dapat didefenisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah).Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan dan mengambil keputusan. Ada yang meyakini bahwa budaya patriarki sebagai suatu sistem yang bertingkat, yang telah dibentuk oleh suatu 28
Op.Cit hal 90.
kekuasaan yang mengontrol dan mondominasi pihak lain. Pihak lain ini adalah kelompok miskin,lemah, rendah, tidak berdaya, juga lingkungan hidup dan perempuan. 29 Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat institusi-institusi seperti keluarga, sekolah, masyarkat, agama, tempat kerja hingga kebijakan negara. Patriarki merupakan bentuk cara pandang yang umum dan membudaya di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah ideologi atau budaya patriarki. Ideologi ini merupakan sebuah sistem yang dikendalikan oleh laki-laki.Pemahaman atas laki-laki dan perempuan di sini,tidak mengacu pada jenis kelamin namun lebih pada peran gender.Gender adalah sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara sosial dan kultural dan berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender. Gender berbeda dengan istilah seks.Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki. 30
Implikasi dari patriarki tersebut menyebabkan beberapa manifestasi ketidakadilan gender yaitu : 29
Nunuk P Murniati. 2004. Getar Gender. Magelang: Yayasan Indonesia Tera hal.80. Mansour Fakih, 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 71-72.
30
•
Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan, termanifertasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan laki-laki. Subordinasi ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun jumlah penduduk dunia, perempuan seimbang dengan penduduk laki-laki. Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat atau di masing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global.
•
Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan.
•
Membentuk penandaan atau Stereotip terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Stereotip merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga, sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Sedangkan stereotip laki-laki sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa saja yang di hasilkan oleh perempuan dianggap sambilan atau tambahan.
•
Membuat kaum perempuan bekerja lebih keras karena berperan ganda yaitu mengurusi pekerjaan rumah dan pekerjaan nya di luar rumah.
•
Melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara fisik maupun mental. 31
Partisipasi Politik Perempuan di DPRD Partisipasi Politik politik perempuan di DPRD adalah ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yang secara langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik adalah faktor Rasional, emosional, tradisional,Rasional instrumental. H.6 Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan pengambaran prosedur untuk memasukan unit-unit analisis kedalam kategori-kategori tertentu dari tiap-tiap variabel. 32. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti yaitu: a. Variabel Independen ( Budaya Patriarki) yaitu variabel yang sering juga disebut sebagai variabel prediktor ialah ialah variabel yang mempengaruhi variabel dependen baik secara positif maupun negatif. Budaya patriarki di kabupaten Nias dilihat dari sistem adat dan pola hidup masyarakat kabupaten Nias.
31
Ibid. hal.147-151. Ibid. hal. 91.
32
Implikasi dari Budaya patriarki sebagai variabel independen yaitu : •
Subordinasi perempuan. Subordinasi ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan.
•
Marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan.
•
Membentuk Stereotip. Stereotip merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga, sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan.
•
Peran ganda. Budaya patriarki Membuat kaum perempuan bekerja lebih keras karna mempunyai peran ganda yaitu mengurusi pekerjaan rumah dan pekerjaan nya di luar rumah.
•
Melahirkan kekerasan. kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara fisik maupun mental sangat didukung dan dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menjadikan laki-laki dalam posisi superior.
b. Variabel dependen ( Partisipasi politik perempuan di DPRD) yaitu variabel yang sering juga disebut variabel kriteria ( criterion variable) adalah variabel yang nilai atau valuenya dipengaruhi oleh nilai variabel lain. 33 Partisipasi politik perempuan di DPRD sebagai variabel dependen dipengaruhi oleh: •
Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.
•
Emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.
•
Tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum lakilaki yang hanya dibolehkan aktif diranah publik,sedangkan perempuan diharapkan
lebih
mendominasi
ranah
domestik,
sehingga
mempengaruhi pola partisipasi politik mereka. •
Rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi
33
Sukaria Sinulingga. 2011. Metode Penelitian. Medan: USU Press. hal. 73.
Tabel 1.3 Alur Pemikiran Variabel Independen
Variabel Dependen
(Budaya Patriarki)
(
1
Subordinasi perempuan
perempuan)
2
Marginalisasi perempuan
1
Rasional nilai
3
Membentuk Stereotip
2
Emosional afektif
4
Peran Ganda perempuan
3
Tradisional/kultural
5
Melahirkan kekerasan
4
Rasional instrumental
Partisipasi
Politik
H.7 Teknik Pengumpulan Data •
Penelitian Lapangan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara sistematik
dan penyebaran kuosioner kepada penduduk perempuan kabupaten Nias berdasarkaran kriteria penelitian.Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan melalui: Kuesioner ( angket), adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan mengenai suatu masalah atau bidang yang akan diteliti yang bertujuan memperoleh informasi yang relevan, serta informasi yang dibutuhkan.
Wawancara (interview), yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian yang terdapat dalam buku,jurnal, surat kabar dan lain sebagainya. H.8 Pengukuran Variabel Penelitian Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi skala Likert, yaitu dari 1 sampai 4. Adapun penggunaan skala 1 sampai 4 untuk setiap jawaban responden selanjutnya di bagi kedalam empat kategori yakni :
I.
•
Sangat Setuju (SS) diberi skor 4
•
Setuju (S) diberi skor 3
•
Tidak Setuju (TS) diberi skor 2
•
Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1 34
Teknik Analisa Data Dalam peneletian ini tekniki analisa data yang dilakukan adalah teknik
kuantitatif dengan menggunakan bantuan software SPSS.Untuk menguji
34
Sugiono.2002. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta Hal. 70
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun metode pengujian yang digunakan adalah : I.1
Analisis Tabel Frekuensi Analisis tabel frekuensi merupakan suatu analisis yang dilakukan dengan
membagi-bagi variabel kedalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi.Tabel-tabel frekuensi merupakan langkah awal atau bahan dasar untuk analisi selanjutnya.Tabel frekuensi biasanya memuat dua kolom, terdiri dari frekuensi dan presentasi untuk setiap kategori. 35 I.2
Korelasi Product Moment Korelasi product moment adalah istilah yang menyatakan derajat
hubungan linear ( searah bukan timbal balik) antara dua variabel atau lebih.36 Untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel X (Budaya Patriarki) dengan variabel Y ( Partisipasi Politik Perempuan di DPRD), yaitu variabel bebas dan variabel terikat yang berskala interval – SPSS menyebutnya scale. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) atau negatif (-).Jika korelasi menghasilkan angka positif maka hubungan kedua variabel bersifat searah yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikatnya juga besar. Jika angka negatif berarti tidak searah atau mempunyai makna jika variabel bebas besar maka
35
Nasruddin MN & Eddy Marlianto. 2008. Statistika. Medan: USU Press hal. 9. Ibid. hal. 145.
36
variabel terikat kecil.Pada korelasi ini
kriteria penerimaan atau penolakan
hipotesis dalam SPSS adalah sebagai berikut: •
Tolak HO jika nilai probabilitas yang dihitung < probabilitas yang ditetapkan sebesar 0.1 ( sig.2-tailed < α 0.1).
•
Terima HO jika nilai probabilitas yang dihitung > probabilitas yang ditetapkan sebesar 0.1 ( sig.2-tailed > α 0.1).
I.3 Uji Asumsi Klasik •
Uji Normalitas Pengujian normalitas data dilakukan untuk melihat apakah dalam model
regresi, variabel independen dan dependennya memiliki distribusi normal atau tidak.Pengertian normal secara sederhana dapat dianalogikan dengan sebuah kelas.Dalam kelas siswa yang bodoh sekali dan pandai sekali jumlahnya hanya sedikit dan sebagian besar berada pada kategori sedang atau rata-rata.Jika kelas tersebut bodoh semua maka tidak normal, atau sekolah luar biasa.Dan sebaliknya jika suatu kelas banyak yang pandai maka kelas tersebut tidak normal atau merupakan kelas unggulan. 37Distribusi dikatakan normal jika Pertama, data yang mendekati nilai rata-rata (mean) jumlahnya terbanyak, setengah data memiliki nilai lebih kecil dan setengah data memiliki nilai lebih besar.Kedua, data yang memiliki nilai ekstrim (terlalu besar/terlalu kecil) tidak terlalu 37
http://www.konsultanstatistik.com/2009/03/uji-asumsi-klasik.html. Diakses pada 14 Januari 2015 Pukul 15.00 Wib.
banyak.Pengamatan data yang normal akan memberikan nilai ekstrim rendah dan ekstrim tinggi yang sedikit dan kebanyakan mengumpul di tengah.Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi Normalitas. •
Uji Heterogenitas Uji heterogenitas digunakan untuk menguji apakah dalam model
regresi,terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari suatu pengamatan yang lain. Jika variasi residual dari satu pengamatan kepengamatan yang lain tetap, maka
disebut
homokedastisitas,
dan
jika
varians
berbeda
disebut
heterokedastisitas. I.4 Analisi Regresi Sederhana Analisi regresi sederhana dilakukan dengan bantuan Sofware SPSS dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. 38 Model regresi linear sederhana yaitu: Y= a + bx Keterangan: Y
= Variabel Partisipasi politik perempuan
X
= Variabel Budaya patriarki
38
Op.Cit. hal.163.
a
= Konstanta
b
= Koefisien regresi
I.5 Koefisien Determinasi Korelasi determinasi atau digunakan untuk mengetahui bagaimana variasi nilai variabel terikat dipengaruhi oleh variasi nilai variabel bebas.Besarnya koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1 (0 < R2< 1).Analisis digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas (Budaya patriarki) terhadap variabel terikat (Partisipasi Politik perempuan di DPRD). 39 I.6 Pengujian Hipotesis a. Uji T Uji T (uji parsial) dilakukan untuk melihat secara individual pengaruh secara positif dan signifikan dari variabel bebas (variabel) yaitu X terhadap variabel terikat (dependen) yaitu Y dengan asumsi bahwa variabel lain dianggap konstan, dengan tingkat keyakinan 90 % (𝛼𝛼 = 0,1). 40 Kriteria penilaian: Tolak HO jika nilai probabilitas ( sig ≤ α 0,1) Terima HO Jika nilai probabilitas ( sig> α 0,1) 39
Op.Cit. Hal. 73. Cornelius Trihendradi. 2005. Step by Step Analisis Data Statistik. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 134
40
b. Uji F Uji F dilakukan untuk melihat bagaimanakah pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya.Atau untuk menguji apakah model regresi telah baik/ signifikan atau tidak baik/nonsignifikan. 41 Kriteria penerimaan /penolakan hipotesis adalah sebagai berikut: a. Tolak HO jika probabilitas yang dihitung ≤ probabilitas yang ditetapkan sebesar 0,1 (sig. ≤ α 0.1
b. Terima HO jika nilai probabilitas yang dihitung > probabilitas yang ditetapkan sebesar 0,1 (sig. > α 0,1)
J. Sistematika Penulisan BAB I:
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II:
PROFIL KABUPATEN NIAS,DPRD DAN BUDAYA PATRIARKI
41
Ibid. Hal. 135
Bab ini menjelaskan deskripsi singkat mengenai Profil kabupaten Nias,Profil DPRD dan budaya patriarki. BAB III:
PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS TAHUN 2014
Bab ini berisi penyajian data dan analisis data-data yang diperoleh yang diperoleh dari lapangan mengenai Budaya patriarki dan pengaruhnya terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD BAB IV:
PENUTUP
Bab ini terdiri dari kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data, dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh.