BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latarbelakang Masalah Anak adalah mahluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan
orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak merupakan mahluk sosial, perkembangan sosial anak membutuhkan pemeliharaan kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang semuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa anak-anak (http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/19/pengertian-anak-tinjauansecara-kronologis-dan-psikologis diakses 19 September 2009 pukul 18.00 WIB). Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Masih banyak anak-anak Indonesia yang rentan terhadap situasi kekerasan, beberapa fakta yang cukup memprihatinkan misalnya diperkirakan sekitar 60 persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga
Universitas Sumatera Utara
pekerja seks komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang ditahan atau dipenjara dimana 84 persen di antaranya ditempatkan di penjara dewasa. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau daerah bekas bencana, lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orang tua. Seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Hal tersebut mengakibatkan banyak anak yang secara tidak sadar berkonflik dengan hukum, tetapi ada juga anak yang berkonflik dengan hukum sebagai akibat tindak kriminal yang memang secara sadar dilakukan oleh anak. Anak yang berkonflik dengan hukum dari waktu ke waktu selalu menjadi sorotan terutama dari perspektif
masyarakat yang gelisah dan resah akibat
perilaku anak yang sering disebut nakal. Bahkan saat ini masalah kenakalan anak tersebut mendapat perhatian yang cukup besar karena kuantitas dan kualitasnya yang meningkat. Indonesia merupakan salah satu dari 191 negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak Convention on the Right of Children pada tahun 1990 melalui Kepres No. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Hasil studi dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat menunjukan anak yang berkonflik dengan hukum sering memperoleh perlakuan yang buruk, bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang berkonflik dengan hukum mengaku telah mengalami tindak kekerasan ketika berada di kantor polisi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan, namun ada juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersangka anak yang ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan (http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/upaya-penyelesaian-masalahanak_03.html diakses 20 September 2009 Pukul 19.05 WIB). Selain kekerasan pada fisik dan kekerasan seksual yang dilakukan pada anak, bentuk kekerasan lain yang terjadi yaitu perampasan uang yang ada pada anak. Selain itu kekerasan juga terjadi dalam wujud penghukuman yaitu berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi seperti menyapu dan mengepel, dan membersihkan mobil milik polisi. Perlakuan buruk juga kadang masih terjadi ketika anak sudah berada dalam tahanan maupun Lembaga Pemasyarakatan, perlakuan tersebut berupa pemalakan atau bentuk eksploitasi lainnya. Banyak terdapat kasus kekerasan semacam ini yang dilakukan oleh para tahanan atau napi anak dan dewasa sehingga anak sering ditempatkan dalam sel yang terpisah. Berdasarkan data oleh Departemen Sosial, anak yang berkonflik dengan hukum diperkirakan berjumlah sekitar 150.000 dan anak-anak sekitar remaja yang
Universitas Sumatera Utara
terlibat penyalahgunaan zat atau obat bejumlah 120.000. Jumlah ini belum termasuk jumlah pengguna obat-obatan Psikotropik, Ecstasy, obat penenang, dan sebagainya. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum ini antaralain diatur dalam UU Pengadilan Anak yang akhirnya telah disahkan oleh DPR (Irwanto, 99: 53). Anak-anak
yang
berkonflik
dengan
hukum
tentu
membutuhkan
perlindungan khusus, karena rentan dengan kekerasan, penyalahgunaan prosedural hukum dan rawan akan perampasan hak-hak untuk hidup, berkembang dan berpartisipasi. Oleh karena itu, anak-anak yang berkonflik dengan hukum, dalam terminologinya Konvensi Hak Anak (KHA) dikategorikan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Children in need special protection), disamping anak-anak yang dieksploitasi, anak-anak dalam situasi darurat. Jika berbicara tentang advokasi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum maka sebagian besar yang harus dilakukan adalah memberikan suatu intervensi hukum demi pembelaan hak-hak dari anak-anak tersebut. Dalam konteks ini agar mampu mengkritisi berbagai aspek yang nonhumanistis, yang jelas-jelas dihadapi anakanak yang berkonflik dengan hukum (Prasadja, 98: 110). Berdasarkan hasil survei terakhir oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dari 41 form pendokumentasian anak yang berkonflik dengan hukum diketahui, bahwa dalam tahap penyidikan oleh kepolisian tidak satu responden yang didampingi oleh penasihat hukum. Pada saat proses penyelidikan 95 persen anak tidak didampingi oleh orang tua atau wali. Saat akan ditahan, 60 persen orang tua atau wali tidak mendapatkan surat tembusan. Pada saat pemeriksaan hanya 50 persen responden yang menyatakan diberitahukan hak-hak mereka. Pada
Universitas Sumatera Utara
proses penuntutan oleh kejaksaan, 90 persen responden tidak didampingi oleh penasihat hukum dan 68 persen tidak didampingi oleh orang tua atau wali. Mengenai surat pemberitahuan penahanan oleh kejaksaan, 41 persen orang tua atau wali maupun pengacara tahanan tidak mendapat surat tembusan. Tahap persidangan, 63 persen responden tidak didampingi penasihat hukum, dan 68 persen didampingi orang tua atau wali (Pengakuan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
diakses
dari
http://www.wikimu.com=12381
tanggal
19
September 2009 Pukul 18.25 WIB). Anak berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus. UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially
difficult
circumstances
karena
kebutuhan-kebutuhannya
tidak
terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga atau berada pada lingkup otoritas institusi negara yang membutuhkan proteksi berupa regulasi khsusus, serta membutuhkan perlindungan dan keamanan diri (http://www.ypha.or.id/Praktekpraktek_sistem_peradilan_pidana_anak.pdf+anak+ yang+berkonflik+dengan+hukum diakses 19 September 2009 Pukul 17.50 WIB). Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena anak tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup. Anak dengan kondisi belum matangnya fisik dan psikologisnya menyebabkan mereka membutuhkan perlindungan khusus. Pada dasarnya, apapun kondisinya anak adalah korban, walaupun anak adalah pelaku kejahatan. Sebagai pelaku kejahatan mereka adalah korban, korban kerasnya kehidupan, korban dari kehidupan keluarga yang kurang beruntung dan korban tidak berpihaknya pembangunan dan
Universitas Sumatera Utara
kebijakan terhadap anak. Sebagai korban, mereka harus dilindungi dan dijamin untuk mendapatkan hak-haknya. Berdasarkan data yang diperoleh dari suatu Lembaga Swadaya Masyarakat anak di Sumatera Utara, Medan menempati peringkat tertinggi kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara ditemukan sebanyak 25 kasus di Medan dan dari jumlah itu sebanyak 17 merupakan perkosaan tarhadap anak di bawah umur. Sedangkan kasus lain adalah penganiayaan, delapan perkosaan terhadap anak atau incest, dua sodomi, empat penculikan dan tiga korban pembunuhan. Daerah yang menempati rating kedua kasus kekerasan terhadap anak adalah Langkat disusul Deli Serdang, Asahan dan Nias. Di Simalungun, sepanjang tahun 2008 terjadi tiga kali pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Selanjutnya orang tua yang dianggap sebagai pelindung anak ternyata menempati tempat pertama pelaku kekerasan terhadap anak. Sepanjang tahun 2008 sebanyak 35 orang tua di berbagai daerah di Sumatera Utara melakukan penganiayaan dan pemerkosaan terhadap anak. Refleksi
akhir
tahun
Yayasan
Pusaka
Indonesia
baru-baru
ini
menyebutkan, dari kasus pemerkosaan dan penganiayaan 15 orang diantaranya melakukan pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri. Fakta ini sungguh memprihatinkan, karena orang tua seharusnya bertugas melindungi anaknya tetapi kenyataannya mereka justru jadi pelaku kekerasan. Rata-rata anak anak yang menjadi korban kekerasan orang tua berusia antara 15-16 tahun dengan rincian sebanyak 10 orang diperkosa, 11 dianiaya dan 3 orang dibunuh. Sementara anak yang berusia 9-10 tahun, 5 korban diperkosa, 10 dianiaya dan 1 orang mengalami
Universitas Sumatera Utara
incest (http://www.Antara.Co.Id/View/?I=1173788569&C=NAS&S diakses 11 Oktober 2009 Pukul 19.25 WIB). Anak-anak yang berkonflik dengan hukum yang menjadi terdakwa dalam persidangan harus dilihat bahwa mereka adalah korban. Mereka merupakan korban konflik rumah tangga, masalah perekonomian, lingkungan sosial, dan lainlain. Pada dasarnya anak-anak dilahirkan dalam keadaan suci dan tidak memiliki persoalan, tetapi karena persoalan lingkungan ataupun konflik orangtua menyebabkan mereka berkonflik dengan hukum. Misalnya, anak melakukan perbuatan kriminal sebagi dampak kurangnya orang tua memberikan perhatian ataupun pengaruh berbagai tontonan yang tidak mendidik. Berdasarkan hal tersebut maka persidangan untuk anak dibuat khusus. Anak selaku terdakwa diperlakukan berbeda dengan terdakwa orang dewasa. Mereka tidak boleh ditempatkan di ruang tahanan di pengadilan bercampur dengan terdakwa orang dewasa. Selain itu, para hakim yang menyidangkannya adalah hakim tunggal yang harus memenuhi beberapa ketentuan. Di antaranya, hakim tidak boleh mengenakan toga hakim dan ruangan siding dibuat senyaman mungkin tanpa menghilangkan identitas pengadilan. Selain itu, selama persidangan hakim harus menggunakan bahasa percakapan serta bahasa anakanak dengan lemah lembut dan tidak menggambarkan bahasa yang bisa membuat mereka menjadi takut. Dengan demikian, suasana sidang yang dibuat sedemikian rupa akan lebih menampilkan suasana tidak formal (Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum diakses dari www.pikiranrakyat.com tanggal 20 September 2009 Pukul 20.11 WIB).
Universitas Sumatera Utara
Dalam segala tindakan yang menyangkut anak, kepentingan terbaik bagi anak harus jadi pertimbangan utama. Inilah poin penting yang tertulis dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi ini, sepertinya belum serius menjalankannya karena masih banyak kasus yang mencerminkan tidak adanya pertimbangan tersebut. Perlindungan harus dengan serius diberikan terhadap anak, pemerintah selaku lembaga yang berkewajiban untuk melindungi hak-hak anak belum cukup untuk memberikan perlindungan terhadap anak, tidak hanya pemerintah masyarakat juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Disamping itu peran lembaga swadaya masyarakat juga sangat penting dalam memberikan pelayanan sosial dan perlindungan terhadap anak. Negara Indonesia punya segudang perundang-undangan yang bertujuan memberikan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum bagi anak. Ada ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres 39/1990 dan sebagai bentuk implementasinya juga ada UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ada lagi UU 3/1997 tentang Peradilan Anak yang khusus mengatur mengenai prosedur hukum bagi anak yang terlibat konflik dengan hukum. Sayangnya, banyak fakta yang menggambarkan UU yang ada tidak mampu melindungi dan menjamin anak dari kondisi hidupnya yang kurang beruntung. UU belum mampu mengeluarkan anak dari kondisi kehidupan yang muram, keluar dari kondisi tidak/putus sekolah, dan akhirnya menjadi pengemis, pemulung, penyemir sepatu, bekerja di pabrik, menjadi pekerja seks komersial dan sebagainya. UU juga belum mampu melindungi dan menjamin bahwa anak tidak lagi yang mengalami tindak kekerasan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu kasus tindak kekerasan terhadap anak terjadi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Bocah berusia 3,5 tahun, Endy Tegar Kurniadinata ditabrakkan ayah tirinya Puryanto ke keretaapi sehingga Tegar kehilangan salah satu kakinya. Belum lagi sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan guru dalam bentuk pemberian sanksi maupun kekerasan yang dilakukan sesama anak, pada kasus tersebut secara tidak langsung anak sudah berkonflik dengan hukum tetapi tidak mendapatkan perlindungan hukum dan pelayanan sosial dari berbagai pihak, padahal anak mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan sosial dari pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Perlindungan dan jaminan kepastian hukum juga belum mampu diberikan Undang-Undang Perlindungan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap anak yang sedang berkonfik dengan hukum (children conflict with the law), khususnya anak sebagai pelaku tindak pidana. Fakta tersebut bisa dilihat dari kasus Raju pada tahun 2005. Dalam usia sembilan tahun pada waktu itu, dia diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat, karena berkelahi. Proses hukum yang dijalani Raju adalah proses hukum sebagaimana layaknya orang dewasa. Kasus terbaru adalah penangkapn sepuluh anak yang kedapatan bermain judi di sekitar Bandara Soekarno-Hatta. Polisi menahan anak tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya kepada orangtua mereka. Kesepuluh anak tersebut hanya bisa menangis di balik jeruji besi Pengadilan Negeri Tangerang karena tidak dapat melakaukan apa-apa sampai menunggu sidang terhadap kasus mereka digelar (http://www.kksp.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=9&id=286 diakses tanggal 4 Oktober 2009 Pukul 17.55 WIB).
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga di daerah Sumatera Utara, masih cenderung mengabaikan masalah anak-anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah. Anak-anak korban kekerasan di sekolah, anak-anak korban kekerasan seksual, anak-anak korban traffiking dan anak-anak yang berkonflik dengan hukum merupakan kelompok yang paling menderita lemahnya perlindungan hukum ini. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang cukup tinggi, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beserta divisi sebagai penanggungjawab yaitu Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) adalah salah satu lembaga swadaya masyakat yang aktif berperan dalam memberikan bantuan dan pelayanan sosial terhadap anak menyebutkan, terhitung Januari-November 2008 tercatat 373 kasus kekerasan terhadap anak, meningkat dari tahun sebelumnya 308 terhitung Januari-November 2007. PKPA menangani 130 kasus kekerasan pada anak tahun 2008 (http://www.pkpa.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=7&id=121 diakses 4 Oktober 2009 Pukul 18.30 WIB). PKPA sejak tahun 2006 sampai 2009 berhasil menangani dan mendampingi kasus anak baik secara litigasi dan nonlitigasi yaitu mulai dari proses di kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, tercatat kasus yang ditangani tahun 2006 kasus trafficking 37 kasus, kasus kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual 28 kasus dan kasus anak yang berkonflik dengan hukum 6 kasus. Tahun 2007 untuk kasus trafficking 27 kasus, kasus kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual 35 kasus dan kasus anak yang berkonflik dengan hukum 12 kasus. Sementara tahun 2009 kasus trafficking sebanyak 33 kasus, kasus kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual 23 kasus, dan kasus anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 20 kasus. Dapat terlihat
Universitas Sumatera Utara
bahwa hal ini mengalami tingkat penurunun, tetapi pada dasarnya jumlah kasus tersebut tentu relatif sangat kecil dibandingkan dengan fakta sebenarnya, karena banyak kasus yang tidak melapor ke PKPA atau selesai pada tingkat keluarga. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial. Dengan melihat respon dapat diketahui bagaimana sebenarnya tanggapan dan sikap anak tersebut terhadap program pelayanan sosial. Karena perbedaan respon dapat memunculkan perbedaan yang tajam pada pemanfaatan suatu program. Penelitian ini dirangkum dalam skripsi dengan judul : “Respon Anak yang Berkonflik dengan Hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latarbelakang masalah, maka yang menjadi
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA”
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan gambaran harapan-harapan peneliti akan hasil akhir dari penelitian tersebut, dimana apabila terdapat kesesuaian atau kecocokan antara hasil dan harapan berarti bahwa penelitian ini sukses. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai bahan masukan bagi LSM PKPA-PUSPA sebagai unit Pelayanan Teknis agar lebih peka lagi dalam menangani dan memberikan Pelayananpelayanan yang terbaik melalui Program-Program Pelayanan Sosial 2. Lembaga khususnya PKPA-PUSPA untuk mengetahui sejauhmana respon anak penerima tersebut terhadap program-program pelayanan sosial yang mereka tetapkan 3. Hasil
penelitian
dapat
menambah
wawasan
pengetahuan
dan
meningkatkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah. 4. Sebagai referensi dan bahan sumbangan pemikiran serta bacaan bagi kelompok-kelompok yang tertarik terhadap permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum.
Universitas Sumatera Utara
1.4.
Sistematika Penulisan Penulisan ini disajikan dalam 6 (enam) BAB dengan sistematika sebagai
berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.
BAB III :
METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tipe penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknis analisis data.
BAB IV :
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang lokasi penelitian, sejarah dan latarbelakang berdirinya lembaga.
BAB V :
ANALISIS DATA Bab ini menguraikan bagaimana menganalisis data, berisikan penganalisaan data-data yang diperoleh dalam penelitian
BAB VI :
PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran-saran penulis, atas penelitian yang telah dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara