BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Labu kuning merupakan bahan makanan yang sering digunakan sebagai makanan pendamping ASI seperti bubur dan berbagai macam makanan olahan lainnya. Selain karena memiliki tekstur yang lembut, labu kuning mengandung berbagai macam zat gizi seperti vitamin A, kalsium, fosfor, zat besi, lemak, protein serta zat lainnya yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang bayi (Hendrasty, 2003). Labu kuning ternyata juga mengandung senyawa lain. Dalam berbagai macam penelitian, labu kuning diketahui memiliki kandungan flavonoid, tanin dan saponin (Attarde, 2010). Senyawa tersebut dikenal sebagai senyawa antibakteri yang efektif melawan bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus penyebab keracunan makanan (Hossain, 2014 , Baba, 2014, Nazaruk, 2005, Selcuk, 2011, Akhavan, 2015, Hassan, 2010, Rodrigues, 2014, Fiori, 2013). Keracunan akibat makanan dikenal dengan istilah Food Borne Disease (Kadariya, 2014). Food Borne Disease dapat terjadi akibat konsumsi makanan yang mengandung racun dari bakteri, virus, parasit, atau bahan kimia (WHO, 2011). Tak heran keracunan makanan sangat banyak, hal ini disebabkan karena makanan merupakan media yang sangat baik untuk perkembangbiakan bakteri patogen (Newell, 2010). Salah satu gejala terjadinya keracunan makanan adalah diare. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, kelompok usia yang paling tinggi mengalami diare adalah usia kurang dari 1 tahun dan usia antara 1
1
2
hingga 4 tahun. Dengan kata lain, penderita diare paling tinggi adalah usia balita. Tak jauh dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang menyatakan bahwa usia bayi dan balita juga merupakan usia paling tinggi prevalensinya dibandingkan usia lainnya. Kerentanan anak usia balita terhadap diare dapat berakibat terhadap pertumbuhan fisik dan kognitif yang terhambat (Amalaradjou, 2013). Riskesdas 2007 juga menyatakan bahwa diare merupakan penyebab kematian tertinggi. Hal ini dikuatkan oleh World Health Organization (WHO) yang melaporkan kematian sebanyak 1,8 juta orang akibat penyakit diare terutama karena makanan (Newell, 2010). Talaro (2008) juga menyebutkan bahwa penyakit diare masuk ke dalam sepuluh penyakit paling mematikan. Kematian yang diakibatkan oleh diare dikarenakan tubuh mengalami dehidrasi, yaitu kekurangan cairan dan elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi diantaranya anak memperlihatkan gejala kehausan, berat badan turun, dan elastisitas kulit berkurang. Pemeriksaan dehidrasi dapat dilakukan dengan cara mencubit kulit dinding perut. Bila terjadi dehidrasi maka kulit dinding perut akan lebih lama kembali seperti keadaan sebelumnya (Siswono, 2006). Salah satu penyebab signifikan keracunan makanan adalah bakteri Staphylococcus aureus (Kadariya, 2014). Bakteri Staphylococcus aureus merupakan organisme yang toleran dengan kemampuan bertahan hidup yang baik. Bakteri ini dapat hidup pada suhu 7-48,5oC, optimum pada 30-37oC, dan pH 4,2-9,3 optimum pada pH 7-7,5. Kemampuan ini mendukung bakteri tumbuh dalam banyak jenis produk makanan (Kadariya, 2014). Staphylococcus aureus memiliki masa inkubasi selama 1 hingga 6 jam sampai menimbulkan keracunan. Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh Staphylococcus meliputi mual, muntah,
3
nyeri perut, demam, dan diare (Jahan, 2012). Keracunan tersebut diakibatkan oleh toksin yang diproduksi Staphylococcus aureus (Bennett, 2015). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol labu kuning terhadap Staphylococcus aureus.
B. Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak Labu Kuning mempunyai efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus? 2. Apakah ekstrak Labu Kuning pada konsentrasi tertentu mempunyai daya hambat terhadap Staphyloccus aureus? 3. Apakah ekstrak Labu Kuning pada konsentrasi tertentu mempunyai daya bunuh terhadap Staphylococcus aureus? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui efek antibakteri ekstrak Labu Kuning terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak Labu Kuning (Cucurbita maxima) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923. b. Mengetahui Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak Labu Kuning (Cucurbita maxima) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923.
4
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian dihaapkan bermanfaat untuk : 1. Menambah pengetahuan ilmiah khususnya berkaitan dengan adanya daya antibakteri suatu tanaman. 2. Memberikan informasi bahwa ekstrak Labu Kuning (Cucurbita maxima) dapat digunakan sebagai antibakteri khususnya terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923. 3. Memberikan informasi mengenai pemanfaatan Labu Kuning sebagai makanan fungsional penanganan infeksi Staphylococcus aureus ATCC 25923 pada balita.
E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian oleh Karmjit Singh dengan judul Phytochemical determination and antibacterial activity of Trichosanthes dioica Roxb (Patal), Cucurbita Maxima (pumpkin) and Abelmoschus esculentus Moench (Okra) plant seeds. Penelitian ini menggunakan biji Cucurbita maxima yang sudah diketahui kandungan fitokimia seperti flavonoid, tannin, saponin dan lainnya. Pengujian antibakteri biji Cucurbita
maxima
atau
labu
kuning
dengan
bakteri
Bacillus
subtilis,
Pseudomonas fluorescens, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Klebsiella Pneumonia. Aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro dengan metode difusi agar. Biji labu kuning diekstrak dan diuji kandungan tanin, saponin, phlobatanin, terpenoid, flavonoid, glikosida, anthraquinon, karotenoid, alkaloid, dan gula tereduksi. Adanya aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan adanya zona jernih pada sekeliling koloni bakteri. Dalam penelitian ini, ekstrak semua biji yakni
5
Trichosanthes dioica Roxb, Cucurbita Maxima, dan Abelmoschus esculentus Moench memiliki aktivitas antibakteri terhadap semua jenis bakteri yang diujikan. 2. Penelitian oleh Okon, Okon Godwin, Abraham, Nsikak Andrew ,Akpan, dan Gabriel Ukpong dengan judul Nutritional Evaluation, Medicinal value and Antibacterial activity of leaves of Cucurbita maxima D pada tahun 2014 di Nigeria. Penelitian ini menganalisis proksimat untuk mengetahui kadar air, lemak, protein, karbohidrat, serat dan abu. Selain itu dilakukan analisis mineral dan vitamin. Uji fitokima juga dilakukan untuk mengetahui kandungan seperti saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, glikosida dan terpenoid. Pengujian antibakteri menggunakan kertas disc. Daun labu kuning diekstrak menggunakan methanol sebanyak 70%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun Cucurbita maxima memiliki aktivitas antibakteri yang signifikan terhadap Staphylococcus aureus,
Bacillussubtilis,
Pseudomonas
aeruginosa dan Escherichia coli.
Penelitian ini menunjukkan bahwa daun Cucurbita maxima efektif untuk mengobati berbagai infeksi. 3. Penelitian oleh Attarde, Kadu, Chaudhari, Kale dan Bhamber dengan judul In vitro Antioxidant activity of Pericarp of Cucurbita maxima Duch. ex Lam pada tahun 2010. Penelitian meneliti mengenai kandungan fitokimia kulit buah Labu Kuning (Cucurbita maxima) dan menguji aktivitas antioksidannya. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya kandungan flavonoid, tanin, fenol, dan glikosida serta adanya aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol kulit buah labu kuning.
4. Penelitian oleh Ravishankar, Kiranmayi, Reddy, Sowjanya, Sainadh, Durga, Prasad, Swaminaidu, dan Prasad dengan judul Preliminary Phytochemical Screening And In Vitro Antibacterial Activity Of Cucurbita Maxima Seed Extract
6
pada tahun 2012. Hasil penelitian menyatakan bahwa kandungan fitokimia biji Labu Kuning (Cucurbita maxima) meliputi saponin dan flavonoid. Aktivitas antibakteri dapat diketahui dengan adanya zona jernih pada sekeliling koloni bakteri yang telah diberi ekstrak biji labu kuning. Hasil menunjukkan aktivitas antibakteri yang efektif menghambat berbagai macam jenis bakteri meliputi Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherchia coli, Staphylococcus werneri, dan Bacillus subtilis.
5. Penelitian oleh Kabbashi, Koko, Mohammed, Musa, Osman, Dahab, Allah, dan Mohammed dengan judul In vitro amoebicidal, antimicrobial and antioxidant activities of the plants Adansonia digitata and Cucurbit maxima. Penelitian ini menggunakan biji labu kuning sebagai bahannya dan bakteri yang digunakan meliputi Entamoeba histolytica, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis. Metode yang digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri adalah dengan melihat adanya zona jernih pada sekeliling koloni bakteri yang telah diberikan ekstrak biji labu kuning. Hasil menunjukkan adanya aktivitas antibakteri pada ekstrak biji labu kuning.
6. Penelitian oleh Ibrahim, Yuan, Ahmed, Khalil, dan Osman dengan judul In Vitro Antimicrobial Activity of Summer Squash (Cucurbita pepo L.). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan aktivitas antibakteri dari beberapa bagian labu kuning (Cucurbita pepo) meliputi akar, tunas, daun, bunga dan buah dengan menggunakan metode difusi dan dibandingkan dengan beberapa macam bahan pengekstrak. Bakteri yang digunakan pada penelitian adalah bakteri Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Candida albicans.
7
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol buah memberi hasil paling efektif sementara ekstrak akar memberikan hasil paling tidak efektif dalam menghambat bakteri. Selain itu, diketahui ekstraksi dengan petroleum eter memberikan hasil yang tidak efektif untuk semua bagian tanaman.