BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai. Clinton rossiter Keberadaan serta proses pelembagaan di dalam tubuh partai politik menjadi
topik yang sangat menarik untuk diteliti, karena untuk mewujudkan suatu upaya demokratisasi dalam suatu negara membutuhkan sarana atau saluran politik yang koheren dengan kebutuhan masyarakat, selain itu dengan menguatnya suatu pelembagaan dalam partai politik secara tidak langsung akan berdampak pada terciptanya suatu rezim demokrasi yang bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis
pula.
Samuel
Huntington
dan
Larry
Diamond,
misalnya,
berpandangan bahwa salah satu indikator utama menuju demokrasi terkonsolidasi diperlukan kelembagaan partai politik dan pemilu sebagai esensi demokrasi. Pandangan ini sejalan dengan Katz yang berpendapat tentang posisi partai politik sebagai institusi paling esensial dan inti dari pemerintahan demokrasi modern.1 Kualitas
demokrasi
sesungguhnya
bergantung
pada
kualitas
partai,
keberlangsungan fungsi-fungsi partai akan menentukan wajah demokrasi. Buruk
1
Hanta Yuda AR. “Partai Politik, Pemilu, Koalisi Pemerintahan dan Prospek Demokrasi”. (Indonesia: Journal The Indonesian Institute center for public policy research.2009). hlm.79
1
wajah partai, buruk pula kualitas demokrasi; sebaliknya baik wajah partai baik pula kinerja demokrasi.2 Studi ini dipicu oleh semakin memburuknya citra partai politik di Indonesia. Partai politik di Indonesia dewasa ini tengah dilanda krisis kepercayaan dari masyarakatnya. Kredibilitas dan citra publik partai politik di Indonesia merosot secara dramatis. Publik menilai partai politik selalu identik dengan permasalahan, seperti, konflik internal dalam tubuh partai, patronase dan oligarki, serta pragmatisme kekuasaan. Data survei memperlihatkan, bahwa tingkat kepercayaan masyarakat di Indonesia terhadap partai politik mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada awalnya memang pemilih secara umum optimis terhadap partai bahwa partai dapat diandalkan untuk memperjuangkan kepentingan pemilih. Seiring waktu yang berjalan pemilih justru dikecewakan oleh partai politik itu sendiri. Grafik. 1 Tingkat Kepercayaan Masyarakat Kepada Partai Politik (%) 100 Kepercayaan kepada partai politik 80
79 65
60
57 47
40
39
39
20 0 2001
2002
2005
2006
2007
2008
Sumber: Saiful Mujani, R. William Lidle, Kusrido Ambardi. Kuasa Rakyat. Analisis tentang perilaku memilih dalam pemilihan legislatif dan presiden indonesia pasca-orde Baru. Hlm: 381 2
Sigit Pamungkas. “Partai Politik Teori Dan Praktik Diindonesia”. (Yogyakarta: Institute For Democracy And Welfarism (IDW), 2011). Hlm.62
2
Selain itu Survey Asia Barometer (Pratikno 2009) menunjukan bahwa partai politik dan parlemen merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat untuk mewakili kepentinganya. Sering rakyat melihat bahwa kinerja dan perilaku berbagai partai politik hanya sebuah upaya untuk meraih kekuasaan semata, setelah kekuasaan didapat berbagai agenda kerakyatan sebagai kewajiban mutlak partai kepada konstituennya tidak dilaksanakan. Robert Michelis dalam “Hukum Besi Oligarki”, mengupas adanya sistem bagaimana para pelaku demokrasi atau elit-elit partai politik seperti lumpuh dan berkhianat. Hal ini disebabkan berubahnya tujuan elit partai politik dari mensejahterakan rakyat menjadi tujuannya hanya melanggengkan kekuasaanya, sehingga mereka pun sulit untuk berkomunikasi dengan massa.3 Dalam suatu partai, tidaklah jelas apakah kepentingan massa yang tergabung membentuk partai akan selaras dengan kepentingan-kepentingan birokrasi yang menjaga personafikasi partai tersebut.4 Berbagai dinamika politik yang dirasakan masyarakat terhadap partai politik saat ini merupakan cerminan bahwa partai politik di Indonesia masih mengalami masalah serius dalam hal pelembagaannya. Sebagaimana yang digambarkan oleh Mainwaring bahwa hambatan dalam pelembagaan partai politik dapat terlihat dari tiga sisi. Pertama, Lemahnya tingkat kompetensi antar partai secara demokratis; Kedua, pelembagaan partai bermasalah pada karakter partai yang terjebak pada kepentingan individu, korupsi, prematur, terpolarisasi, mengalami kebangkrutan dan tidak efektif; Ketiga, Pelembagaan juga terhambat oleh struktur organisasi 3
Diterjemahkan dari Macridis, Roy C and Brown, Bernard e,. eds Comparative Politics. Note and Reading Edition ( Homewood: the Dorsey press, 1968) 4 Ichlasul. Amal. “Teori-Teori Muktahir Partai Politik”. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012). hal. 43.
3
yang lemah, pendanaan yang tidak teratur dan transparan, tidak otonom, partai dengan gaya kepemimpinan personalistik dan diperkuat faksi-faksi yang memiliki potensi internal partai.5 Ketika ditelisik lebih jauh buruknya pelembagaan partai politik di Indonesia tersebut
dapat
terlihat dari masih
tingginya
angka
golput, terjadinya
ketidaksetabilan perolehan suara dalam pemilihan umum (electoral volatility), serta terjadinya perpindahan suara dari satu partai ke partai lain, dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya. Perubahan suara ini terjadi sebagai hasil dari perubahan pilihan pemilih dan perubahan pergerakan elit, seperti penggabungan partai dan perpindahan seorang politisi dari satu partai kepartai lain.6 Grafik. 2 Perolehan Suara 10 Partai Politik Besar di Indonesia Pada Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 25 20 15 10 5 0
Golkar
PDI PKB Perjua ngan 2004 21,62 18,31 10,61
PPP
Demo krat
PKS
PAN
Gerin Hanur Nasde dra a m
8,16
7,46
7,2
6,41
0
0
0
2009 14,45 14,01
4,95
5,33
20,81
7,89
6,03
4,46
3,77
0
2014 14,75 18,95
9,04
6,53
10,19
6,79
7,59
11,81
5,26
6,72
Sumber: data diolah dari berbagai Modul dan data mentah KPU Republik Indonesia 5
Scott Mainwaring. Party System In The Third Wafe, Journal Of Democracy, Volume 9. 3 juli 1998, hal 67-70 dalam Muhtar.. Reinstitusionalisasi Partai Golkar Pasca Pemilu 2004 dikota ambon. (Yogyakarta: Thesis Universitas Gadjah Mada, 2008) 6 Scoot Mainwairing dan Edurne Zoco, „Political Sequences and the Stabilization Of Interparty Competition: Electoral Volatility in Old and New Democracies‟, Party Politics 13 (2), (London: Sage Publications, 2007) hal. 158
4
Dari Grafik diatas terlihat, sejak Pemilu Tahun 2004 hingga Pemilu Tahun 2014, sebagian besar partai politik di Indonesia mengalami naik turun perolehan suara (electoral volatility). Terakhir pada Pemilu Tahun 2014 yang lalu misalnya, dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercatat Golongan Putih (Golput) Indonesia yang tidak memilih relatif tinggi mencapai 24,89 persen dari jumlah seluruh suara sah 124.972.491 suara, sedangkan dalam perpindahan suara dapat kita lihat dari menurunnya jumlah dukungan suara partai-partai besar seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang cukup signifikan7. Berbeda dengan hal tersebut diatas, ditengah buruknya citra partai politik secara nasional justru berbanding terbalik dengan citra partai politik di tingkal lokal. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur menjadi partai yang memperoleh dukungan suara tertinggi dalam tiga periode pemilihan umum, yakni pada Pemilu Tahun 2004, Pemilu Tahun 2009 dan Pemilu Tahun 2014. Perolehan suara tersebut dapat dilihat dari grafik dibawah ini. Grafik.3 Perolehan Suara Sah Partai Politik pada Pemilu 2004 198.036 200.000 150.000 100.000 50.000 0
134.309 95.655 53.642
PAN
50.532
PKB
PKS
PDI Perjuangan
Golkar
Perolehan Suara Pemilu 2004 Sumber: diolah dari data KPUD Kabupaten Lampung Timur 7
Lihat dalam Website Resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2014 di www.kpu.go.id
5
Dari grafik diatas terlihat bahwa PDI Perjuangan merupakan partai politik yang meraih suara dominan jika dibandingkan dengan partai politik lainnya. PDI Perjuangan mengantongi suara sebesar 198.036 suara. Sedangkan di peringkat kedua adalah partai Golkar dengan meraih suara 134.309 suara. Perolehan suara partai islam berada ditempat ketiga, keempat dan kelima yakni PKB dengan memperoleh suara sebesar 95.655, PAN yang mengantongi suara sebesar 53.642 dan terakhir yang masuk lima besar perolehan suara tertinggi yakni PKS dengan mengantongi suara sebesar 50.532. Sedangkan pada Pemilu 2009 terdapat perubahan perolehan suara yang mencolok dan masuknya partai baru yang sukses menembus lima besar. Berikut grafik dibawah ini: Grafik.4 Perolehan Suara Sah Partai Politik pada Pemilu 2009
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14,63
6,4
HANURA
6,57
PKS
15,71
14,09
7,33 5,56
PAN
PKB
GOLKAR
PDI-P
DEMOKRAT
Sumber: diolah dari data KPUD Kabupaten Lampung Timur
Dari grafik ini terlihat pada periode pemilihan umum legislatif Tahun 2009 PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur memperoleh 73.372 suara atau dengan persentase sebesar 15,71%. Perolehan suara ini tertinggi dibandingkan dengan partai politik lain seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan partai politik lainnya. Sedangkan pada pemihan umum legislatif Tahun 2014 PDI Perjuangan kembali menduduki posisi tertinggi atas perolehan suara. Tercatat PDI 6
Perjuangan memperoleh 100.476 suara dengan pesentase 18,94 %. Perolehan suara ini justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang lalu. Dengan perolehan suara tersebut partai ini menduduki suara mayoritas di Dewan Perakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Timur dengan meraih 8 (delapan) kursi di Pemilu Tahun 2009 dan 9 (sembilan) kursi di Pemilu Tahun 2014. Grafik. 5 Perolehan Suara Sah Partai Politik Dalam Pemilu 2014
18,94
20 15 10
12,66
11,62 10,99
10,93 9,93
9,34 6,88 4,07
5
2,55
1,17
0,93
0
NASDEM
PKB
PKS
PDI-P
GOLKAR
GERINDRA
DEMOKRAT
PAN
PPP
HANURA
PBB
PKPI
Sumber: diolah dari data KPUD Kabupaten Lampung Timur
Dari perolehan suara PDI Perjuangan diatas yang mendapatkan suara tertinggi jelas sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan fenomena yang terjadi dalam partai politik di tingkat nasional. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi ditengah kemungkinan partai politik ditingkat nasional memburuk tetapi di tingkat lokal justru meningkat. Fenomena ini kemudian memunculkan asumsi yang kuat, sebagaimana yang dikatakan oleh sejumlah ilmuan seperti Basedau dan Stroh bahwa syarat terlembaganya suatu partai politik dapat terlihat dari stabil atau meningkatnya perolehan suara partai tersebut dalam pemilihan umum minimal 7
dua kali pemilihan umum, hal inilah yang kemudian menjadi fondasi utama penelitian untuk melihat lebih dalam proses pelembagaan dari PDI Perjuangan di Kabupaten Lampung Timur dan kaitannya dengan perolehan suara partai tersebut dalam pemilihan umum. Berdasarkan data dan paparan diatas itulah sehingga dirasa perlu diadakan suatu penelitian yang mendalam untuk membuktikan asumsi yang telah dibangun dalam penelitian ini. B.
Rumusan Masalah Sesuai dengan fenomena yang terdapat dalam latar belakang dan masalah-
masalah yang dimunculkan dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana proses pelembagaan PDI Perjuangan di Kabupaten Lampung Timur?
2.
Bagaimana hubungan antara pelembagaan DPC PDI Perjuangan di Kabupaten Lampung Timur dengan perolehan suara PDI Perjuangan dalam pemilihan umum Kabupaten Lampung Timur, terutama pada pemilu 2014?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini mengemban tujuan utama antara lain sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi sosial-budaya masyarakat, dinamika politik lokal, dan Track Record DPC PDI Perjuangan di Kabupaten Lampung Timur; 2. Menganalisis empat dimensi dalam pelembagaan PDI Perjuangan di Kabupaten Lampung Timur; 3. Menganalisis korelasi antara pelembagaan PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur terhadap hasil perolehan suara pada pemilihan umum. 8
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1. Secara teoritis memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu politik diperguruan tinggi terutama tentang pelembagaan partai politik di tingkat lokal. 2. Secara praktis memberikan masukan kepada institusi partai politik PDI Perjuangan dan partai politik lainnya terkait dengan perbaikan kinerja kelembagaan partai secara demokratis. 3. Penelitian ini dapat membantu menyajikan informasi bagi berbagai elemen terutama menjadi salah satu referensi bagi masyarakat untuk menilai partai politik.
E.
Literatur Review Terkait dengan Pelembagaan Partai Politik di Indonesia, berikut ini akan di
uraikan beberapa studi tentang hal tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan posisi tulisan ini dengan studi-studi sebelumnya. Dari hasil studi literatur, setidaknya ada beberapa karya ilmiah akademis yang menyinggung secara langsung mengenai pelembagaan partai politik, baik dalam hal proses reinstitusionalisasi partai, institusionalisasi yang berkaitan dengan survival partai, maupun praktik institusionalisasi antar partai di Indonesia. Akan tetapi, dari sejumlah penelitian tersebut belum ada secara eksplisit fokus pada pelembagaan partai di tingkat lokal dengan mendasari pada tingkat perolehan suara partai politik tersebut. Selain itu, sejumlah kajian penelitian juga belum ditemukan menggunakan konsep pelembagaan Basedau dan Stroh, serta penelitian 9
sebelumnya juga belum ada yang menganalisis secara keseluruhan terkait hubungan antara pelembagaan suatu partai terhadap tingkat elektoralnya dalam pemilihan umum, untuk itu penelitian ini mencoba menggali lebih dalam ketiga hal tersebut sebagai pembaharuan dalam tesis ini. Sebelumnya marilah kita sedikit melihat kebelakang literatur-literatur tentang studi institusionalisasi. Terutama di negara-negara dunia ketiga sebagaimana yang digambarkan oleh Huntington di periode demokratisasi yang dimulai pada tahun 1974 dan berkembang keseluruh penjuru dunia hingga tahun 1990-an, partai politik memiliki peran penting sebagai pilar berjalannya proses konsolidasi demokrasi.8 Pengakuan tentang pentingnya partai politik sebagai penentu keberhasilan konsolidasi demokrasi dapat disimpulkan dari beberapa studi sejumlah ahli politik, baik di Afrika (Clapham,1993; Sandbrook, 1996), Asia (Diamond,1989) atau Amerika Latin (Dix,1992). Sebagai struktur-struktur sentral antara masyarakat dan pemerintah, partai politik harus memenuhi fungsi-fungsi tertentu, utamanya dalam bidang artikulasi dan pengumpulan kepentingan. Partai politik mampu menyusun, menyaring dan mengumpulkan opini publik sehingga sistem politik mampu memprosesnya.9 Meskipun para ahli tersebut sepakat tentang pentingnya peran partai politik dalam konsolidasi demokrasi namun para ahli tersebut tidak sependapat tentang kriteria apa saja yang harus dimiliki oleh partai
8
Samuel.P. Huntington. The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, (Norman: University Of Oklahoma Press,1993), hal 109-163 9 Giovanni Sartori (2005 [1976]): Parties and Party Systems. Colchester: ECPR hlm ix
10
politik secara individual, dan sistem kepartaian seperti apa yang paling kondusif bagi keberlangsungan partai politik tersebut.10 Pada pertengahan 1990-an literatur tentang partai dan sistem kepartaian mengabaikan fakta pentingnya sebuah institusionalisasi. Hal ini karena sebagian besar penelitian tentang subjek ini secara implisit mengasumsikan pentingnya mengkaji sistem partai dan partai politik, namun tidak fokus pada pelembagaan, sehingga menurut Mainwaring menjadi hal yang mustahil untuk menjelaskan karakteristik penting sistem partai di sebagian besar negara demokrasi dan semi demokrasi pasca Tahun 1978, pemilih, partai dan sistem partai. Secara teoritis, kebutuhan untuk pelembagaan baik pelembagaan partai politik dan pelembagaan sistem kepartaian digarisbawahi dalam banyak diskusi dan literatur (Diamond 1988: Merkel 1996; Mainwaring 1998, Lewis 1994, Dix, 1992). Dan merupakan tema sentral dari mainwaring dan Scully pada bangunan sistem kepartaian di amerika latin (Mainwaring dan Scully, 1995). Meskipun ada banyak ahli yang mengkonstruksikan bangunan dari pelembagaan suatu partai politik maupun pelembagaan sistem kepartaian namun Randal dan Svansad11 telah menunjuk setidaknya ada tiga aspek tantangan dalam hal ketelitian memahami konsep dalam literatur yang telah ada terkait pelembagaan. Ketiga aspek tersebut mengacu pada perbedaan partai dan sistem kepartaian, kesenjangan antara teori dan operasionalisasi, dan terakhir, penggunaan data yang tidak cukup memadai.
10
Vicky Randall dan Lars Svansand, Party Institutionalization In New Democracies, Party Politic, Vol. 8. No.1 (London: Sage Publication,2002) hal 5-29. 11 Vicky Randall dan Lars Svansand, Party Institutionalization In New Democracies, Party Politi.ibid. Hal.1-15
11
Dalam penjelasannya, tantangan yang pertama adalah sangat sedikit studi yang berhubungan dengan institusionalisasi yang membedakan antara satu partai dan sistem partai, perlu untuk kita membedakan kajian antara pelembagaan sistem kepartaian dan pelembagaan partai politik. Dalam pelembagaan sistem kepartaian masing-masing partai politik dituntut untuk membangun pelembagaan internal partai dan berkompetisi secara sehat dengan partai politik lainnya. Namun secara empiris hal ini menjadi bertentangan dan menimbulkan masalah. Masalah yang pertama adalah ketidakrataan pelembagaan partai. Ketika kita menegaskan bahwa pelembagaan partai penting bagi konsolidasi demokrasi, ada asumsi tak tertulis bahwa pelembagaan tersebut akan menjadi relatif bagi seluruh partai. Tapi dalam kondisi transisi demokrasi ini belum tentu. Dibanyak kasus, partai-partai tertentu justru menikmati keuntungan dari proses kelembagaan partainya. Hubungan dekat mereka dengan rezim berkuasa serta mendapatkan akses yang lebih luas dan mendapatkan peluang jabatan publik, dan keuntungan lainnya justru menghambat kemungkinan pertumbuhan dan pelembagaan dari partai lain. Masalah kedua adalah masalah monopoli terhadap sumber utama kekuatan kelembagaan partai yakni identifikasi dengan kelompok etnis atau budaya eksklusif. Seperti dalam kasus partai berbasis etnis di banyak negara Afrika. Dapat dikatakan bahwa ketika hanya satu pihak memonopoli pemilih dalam setiap kelompok, persaingan tidak benar-benar ada. oleh karenanya, bagaimanapun pelembagaan individu partai dan pelembagaan sistem kepartaian tetap fenomena yang berbeda dan penting untuk di analisis secara terpisah, karena kita tidak bisa mengevaluasi masing-masing organisasi dengan instrumen analisis yang sama. 12
Tantangan kedua adalah pendekatan teoritis yang sering dibangun oleh Selznick dan Broom serta Huntington12 serta operasionalisasi empirisnya kurang terintegrasi dengan baik, serta lebih mengarah dibawah kompleksitas pengukuran pelembagaan partai. Tantangan ketiga kurangnya kombinasi antara data kualitatif dan data kuantitatif. Kontribusi Randall dan Svansand setidaknya mencoba menjawab ketiga tantangan tersebut, seperti memisahkan antara pengukuran pelembagaan
partai
mengembangkan
politik
pola
dan
dimensi
pelembagaan
sistem
kepartaian,
pelembagaan
partai
politik
dan
dengan
menggambungkan sejumlah dimensi pelembagaan partai yang sebelumnya sudah ditawarkan oleh sejumlah peneliti. Namun Randall dan Svansand tidak mampu menempatkan konsep mereka sendiri untuk menguji secara empiris pelembagaan partai pada partai politik tertentu. Matthias Basedau dan Alexander Stroh kemudian mencoba mengisi kesenjangan tersebut dengan mengembangkan instrumen untuk mengukur pelembagaan partai politik secara empiris dan sesuai dengan konsep teori. Dengan menggunakan konsep Randall dan Svansand sebagai titik awal, mereka kemudian membangun
Index
Of
The
Institutionalization
Of
Parties
(IIP)
yang
memungkinkan penilaian tingkat institusionalisasi partai di seluruh dunia. Indeks pelembagaan tersebut di uji pada 28 partai politik di benua afrika, hasilnya sebagian besar partai politik tersebut pelembagaannya masih rendah.
12
Selznick/ Broom (1955): Sociology: A text with adapted readings. (New York: Harper & Row) dan Samuel P. Huntington (1968): Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press.
13
Dalam konteks Indonesia, perkembangan demokrasi dan pelembagaan partai politik di Indonesia mengalami gelombang politik pasang surut. Sejak 1998 hingga saat ini Indonesia masih berada dalam tahap konsolidasi demokrasi. Proses transisi ini berjalan tersendat karena lemahnya komponen-komponen yang dapat menjamin terselenggaranya sistem yang demokratis. Salah satu komponen tersebut adalah partai politik. Pasca–pemilu 1999 dimana sukacita dan euforia kebebasan berimbas pada tingginya dukungan terhadap terbentuknya sejumlah partai politik dan didukungnya sejumlah partai politik yang merefresentasikan rakyat melawan otoritarian rezim Soeharto justru kini mengalami titik balik terutama setelah masyarakat merasakan terjadinya kesenjangan antara harapan mereka dengan kinerja dari partai politik itu sendiri baik di parlemen maupun di pemerintahan. Faktanya di Indonesia fungsi dan peran partai politik berbalik dengan konsep ideal partai politik dalam teori demokrasi. Sistem oligarki dalam kekuasaan internal partai politik, tidak berjalannya fungsi pendidikan politik, tidak tersalurkannya kepentingan konstituen dan masyarakat, tidak transparannya pengelolaan keuangan, serta proses seleksi kandidat yang tidak fair adalah beberapa fakta yang menunjukkan bagaimana sebagian partai politik belum siap untuk menjadi salah satu penggerak proses demokrasi di Indonesia.13 Partai yang menjadi institusi vital demokrasi justru merupakan institusi yang bermasalah, sebagai contoh misalnya Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) yang bermasalah dengan konflik internal partai dalam 13
Agung Djojosoekarto dkk. Transformasi demokratis partai politik di indonesia. Model, strategi, dan praktik. (Jakarta: Kemitraan Partnership, 2008) Hal. 50-51
14
suksesi pergantian kepemimpinan, oligarki partai dan presidensialisme partai yang menguat dalam tubuh PDI Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan partai politik lainnya. termasuk suksesi pergantian kepemimpinan partai islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) masih beraroma oligarki sesepuh partai dengan terpilihnya tokoh muda yang mendapat restu dari Dewan Syuro ataupun Ketua Penasehat Partai. Melihat fakta-fakta empiris yang terjadi di indonesia saat ini bagaimana kemudian proses pelembagaan sistem kepartaian dan pelembagaan dari partai politik tersebut?. dari beberapa literatur terlihat bahwa dalam institusionalisasi sistem kepartaian Indonesia di era demokrasi liberal (1945-1965) dan sistem kepartaian
Indonesia di
era reformasi
(1999-2008) memiliki
beberapa
persamaan.14 Sistem atomized party system yang digunakan saat ini seperti metamorfosis dari sistem atomized party system tahun 1950-an. Dimasa fase diantara kedua titik tersebut yakni pada masa orde baru, dipisahkan dengan lahirnya hegemonic party system.15 Sistem yang digunakan saat ini merupakan penerapan sistem multipartai, namun sistem multi partai saat ini cendrung berkarakter mudah retak (fragile) dengan tingkat pelembagaan yang rendah, rentan akan adanya oligarki dan personalisasi dalam struktur organisasi partai, dan terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen. secara substantif tentu hal ini tidaklah jauh berbeda dengan praktek hegemonic party sistem era orde baru yang
14
Hanta Yudha AR. Potret Institusionalisasi Partai Politik Indonesia: dinamika, karakter, dan Prospek Pasca-pemilu 2009. (Indonesia: Journal: The Indonesia Institute.2008) 15 Affan Gaffar: Javanese Voter: Elections under hegemonic party system in Indonesia (Yogyakarta: Desertasi Gadjah Mada Press 1992)
15
jauh dari “nafas” demokrasi. Permasalahan konsolidasi sistem kepartaian itu juga diperparah dengan permasalahan dari internal partai politik itu sendiri. Menurut Hanta Yudha salah satu masalah serius yang dihadapi partai-partai di indonesia adalah tidak adanya institusionalisasi dalam tubuh partai secara menyeluruh. Partai seakan-akan menjalankan aktivitasnya menjelang pemilihan umum, setelah itu masyarakat tidak lagi mengetahui kinerja dari partai politik tersebut.16 Partai politik juga kerap kali kehilangan sikap kritisnya, apalagi menghadapi berbagai permasalahan yang menjadi hajat hidup rakyat banyak. Partai-partai politik bahkan tampak gagal memberikan pedoman bagi rakyat dalam banyak kasus pemilihan pemimpinnya: presiden dan wakil presiden, gubernur, walikota, bupati, serta angggota legislatif.17 padahal seharusnya partai politik inilah yang menjadi lembaga yang mendistribusikan kepentingan warga negara dalam sistem politik yang kemudian di konversi kedalam bentuk kebijakan-kebijakan publik. Tanpa adanya pelembagaan politik maka sistem politik akan mengalami kondisi anarkisme sosial, kondisi dimana masing-masing membuat peraturan sendiri tanpa ada kesepakatan.18 Adanya permasalahan yang mendasar terkait pelembagaan sistem kepartaian dan pelembagaan partai politik di indonesia menjadi cerminan bahwa partai belum siap dalam menghadapi perubahan, padahal dalam sistem politik yang demokratis, 16
Hanta Yudha AR.Potret Institusionalisasi Partai Politik Indonesia, 2008. Opcit hal: 2 Paige Johnson Tan. “Party Rooting, Political Operators, and Instability in Indonesia: A Consideration of Party System Institusionalization in a Communaly Charged Society”, Paper Presented to the Southern Political Science Association, New Orleans Louisiana, January 10, 2004 yang mengutip hasil-hasil survey dan Polling LP3ES, CESDA, IFES, Polling Center, periode 1999-2004. Http://people .uncw.edu/tanp/SPSA2004.html. dalam Akbar Tandjung. 2007. The Golkar Away Survival Partai Gokar ditengah turbulensi politik di era transisi. Jakarta.Gramedia Pustaka Utama. Hal 5 18 Hanta Yudha AR. Potret Institusionalisasi Partai Politik Indonesia.2008 Opcit: hal:18 17
16
partai politik dituntut untuk secara cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi, kegagalan menyesuaikan diri dengan konstituen dan kehendak rakyat akan menyebabkan terancamnya posisi partai dalam percaturan politik, bahkan kontestasi partai tersebut hilang dan mati
jika tidak didukung oleh
konstituen/masyarakat. Ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa beberapa partai politik telah melewati fase-fase dimana partai mampu melembagakan dirinya. Sebagai contoh misalnya Desertasi Akbar Tanjung yang menilai bahwa Partai Golongan Karya (Golkar) telah berhasil melewati masa-masa krisis diera jatuhnya orde baru hingga era reformasi, menurutnya keberhasilan tersebut merupakan hasil dari proses pelembagaan partai yang dibangun secara sistematis. Untuk terus berperan dalam kepolitikan nasional, Partai Golkar melakukan adaptasi nilai-nilai dan restrukturisasi organisasi serta jaringan terhadap lingkungan eksternal baru yang telah berubah menjadi demokratis di sisi lain Partai Golkar juga melakukan demokratisasi internal.19 Begitupun juga dengan riset lain yang menegaskan bahwa partai islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah berhasil melembagakan dirinya jika dibandingkan dengan partai politik islam lainnya. Hal tersebut dapat terlihat dari bagaimana PKS mampu mempertahankan disiplin internal dan kesatuan, meskipun faksionalisme dan fragmentasi menjadi biasa selama dekade pertama Era Reformasi. Selain itu adanya kepemimpinan prosedural dalam proses pengambilan keputusan, efektivitas mekanisme resolusi konflik dalam internal partai PKS, kelanjutan kaderisasi sistematis dan komitmen 19
Akbar Tanjung.The Golkar Away Survival Partai Gokar ditengah turbulensi politik di era transisi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)
17
terhadap nilai-nilai bersama,dan ada kemungkinan besar partai PKS mampu melestarikan kohesi nya.20 Penelitian lain dilakukan pada pelembagaan partai politik di indonesia. Studi banding Ufen pada pelembagaan partai dalam tiga Negara Asia Tenggara menyimpulkan partai politik di Indonesia lebih maju dibandingkan dengan partai politik di Filipina dan Thailand dalam hal partai institusionalisasi.21 Meskipun situasi yang tidak merata terjadi di mana terdapat degradasi kualitas pelembagaan partai terjadi, dirinya percaya bahwa partai di Indonesia jauh lebih baik dibandingkan dengan dua negara tersebut. Dengan menggunakan pendekatan Levitsky yang mengimplementasikan dua dimensi pelembagaan partai, yaitu nilai infus yang terkait dengan kemampuan untuk membangun akar politik di masyarakat sipil dan rutinitas perilaku, Ufen menunjukkan bahwa partai-partai lama, seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan PDI Perjuangan adalah partai yang paling dilembagakan, terutama Partai Golkar. Namun ia juga percaya bahwa partai baru seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PKS memiliki juga akar yang cukup kuat di masyarakat, terutama di pedesaan, domain Muslim tradisionalis dan di daerah perkotaan masing-masing, yang menunjukkan Kehadiran pelembagaan partai. Namun, Ufen juga mengakui bahwa dari waktu ke waktu, Situasi ini menjadi dipertanyakan, beberapa pemilu lokal kontemporer dan nasional pemilu, misalnya, mengkonfirmasi kelemahan nilai infus, termasuk pada partai PKB. Kegagalan kandidat PKB untuk 20
Firman Noor. “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008)”. (Arab Saudi: Tesis University of Exeter,2012) 21 Andreas Ufen, “Political Party and Party System Indstitutionalization in South East Asia: A Comparison of Indonesia, The Philippines and Thailand”, GIGA Working Papers 44/2007.
18
memenangkan Pemilihan Gubernur 2008 di Provinsi Jawa Timur, 22 sebagai salah satu kantong politik yang paling penting atau "tradisional" untuk PKB, menjadi indikasi tidak adanya nilai infus dalam partai ini. Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) telah mengembangkan dan memeriksa pelembagaan pada beberapa partai politik terkemuka di Era Reformasi Indonesia. faktor-faktor ini termasuk adanya demokrasi internal, identitas partai atau nilai infus yang sangat terkait dengan ideologi partai, hubungan kohesif antara anggota partai, otonomi keuangan, pengembangan kader sistematis dan hubungan yang baik dengan publik.23 Dalam hal ideologi partai, penelitian P2P LIPI meliputi hal-hal seperti keberadaan platform politik, masalah pemahaman sikap politik partai, komitmen untuk tujuan politik dan rasa kebersamaan. Dari sisi demokrasi internal meliputi pelaksanaan aturan main, desentralisasi sumber daya partai, adanya kontrol yang efektif dan prosedur untuk seleksi kepemimpinan. Dari sisi kohesi meliputi resolusi konflik internal, konsensus pelembagaan. Dari sisi otonomi keuangan meliputi asal-usul sumber keuangan, kontinuitas dan pengelolaan dana partai. Dari sisi organnisasi meliputi
adanya
perekrutan
sistematis,
manajemen
keanggotaan
dan
pengorganisasian data dan informasi yang relevan dengan keanggotaan. Dan dari sisi pengakaran di masyarakat meliputi membangun hubungan yang baik dengan masyarakat.
22
Kandidat PKB yakni Achmady hanya meraih 7% dari seluruh total suara. Pemilihan Umum tersebut memenagkan Soekarwo yang didukung oleh tiga partai politik besar seperti Partai Demokrat, PAN and PKS. 23 Muchlis (ed.), Reformasi Kelembagaan Partai Politik Pasca-Orde Baru di Indonesia, hlm: 18-19.
19
Penelitian P2P LIPI ini kemudian menyimpulkan bahwa hampir semua partai penting di Negara Indonesia memiliki masalah dengan pelembagaan mereka, terutama dalam kaitannya dengan ini hal tersebut di atas. Penelitian ini membahas sepuluh partai besar yang ada sebelum pemilu 2009, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (FBR) dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Dari hasil analisis terhadap sepuluh partai tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya PKS yang bisa dikategorikan sebagai partai yang terlembaga, sementara partai politik lain dianggap sebagai partai masih yang setengah jalan untuk dilembagakan. Sementara dua partai politik tersebut yakni: PDI Perjuangan dan PKB, dianggap sebagai partai yang menderita masalah serius dengan pelembagaan. Dalam sejumlah penelitian juga difokuskan melihat derajat pelembagaan suatu partai politik, sebagaimana dalam penelitian tesis dari Aji Deni yang berjudul “Institusionalisasi Partai Politik studi pada DPW Partai Amanat Nasional Provinsi Maluku Utara Periode 2001-2005”. Dalam penelitian ini Aji Deni mengidentifikasi beberapa masalah krusial yang sering menjadi hambatan proses institusionalisasi seperti: tingkat stabilitas dan kompetisi partai, stabilitas dan pengakaran di masyarakat, legitimasi partai dan Pemilu serta struktur dan organisasi partai. Temuan serta kesimpulan yang didapat adalah hambatan utama dari institusionalisasi partai politik adalah adanya bawaan perilaku personalistik
20
kepengurusan partai politik pusat terhadap partai politik daerah, serta kualitas intelektual pengurus organisasi partai yang lemah.24 Di dalam penelitian yang hampir sama yakni tesis tentang Institusionalisasi Internal Partai-Partai Politik Di Indonesia Pasca Orde Baru (Studi Komparasi Antara Partai Massa, Partai Kader, Dan Partai Cacht-All Ditingkat Pusat Dan Di Tingkat Kota Yogyakarta) yang ditulis oleh Tunjung Sulaksono. Dalam penelitian ini diawali dengan adanya kegelisahan atas buruknya kinerja partai politik di dalam menjalankan fungsinya sebagai ujung tombak demokrasi di Indonesia. Peneliti melihat ada persoalan besar yang ada dibalik organisasi partai termasuk dalam partai modern sekalipun. Penulis mencoba melihat derajat institusionalisasi partai massa, partai kader dan partai catch-all di Indonesia pasca orde baru. Dengan dibantu menggunakan pendekatan Randall Dan Svasand Serta Katz dan Mair sebagai pisau analisis maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah: Pertama, partai-partai di Indonesia belum dapat digolongkan sebagai partai yang sepenuhnya terinstitusionalisasi, terutama dari segi pendanaan dan penanaman nilai yang hingga kini masih sangat memperihatinkan. Kedua, perbedaan karakter partai dalam beberapa hal juga berpengaruh terhadap derajat institusionalisasi partai. Ketiga, Perbedaan konteks yang dihadapi partai juga akan berpengaruh terhadap institusionalisasi partai politik di Indonesia.25 Dalam penelitian yang lain Muhtar dalam tesisnya Reinstitusionalisasi Partai Golkar Pasca Pemilu 2004 di Kota Ambon mengindentifikasi proses 24
Aji Deni.“Institusionalisasi Partai Politik study pada DPW Partai Amanat nasional Provinsi Maluku Utara Periode 2001-2005”. (Yogyakarta: Tesis Universitas Gadjah Mada, 2007) 25 Tunjung Sulaksono. Institusionalisasi Internal Partai-Partai Politik Di Indonesia Pasca Orde Baru (Studi Komparasi Antara Partai Massa, Partai Kader, Dan Partai Cacht-All Ditingkat Pusat Dan Di Tingkat Kota Yogyakarta). (Yogyakarta: Tesis Universitas Gadjah Mada, 2007).
21
Reinstitusionalisasi Partai Golkar di Kota Ambon Pasca Konflik Setelah Pemilu 2004. Hasil dari penelitian ini menunjukkan reinstitusionalisasi partai politik dalam hal ini Partai Golkar di Kota Ambon pasca Pemilu 2004 mengalami distorsi politik. Hal tersebut disebabkan institusionalisasi pada aspek keutuhan partai pasca pemilu 2004 mengalami perpecahan ditubuh internal partai. Konflik kepentingan pragmatis adalah salah satu pemicu yang dapat mengancam keutuhan partai. Proses reinstitusionalisasi dalam tubuh partai ini dilakukan dengan cara menempatkan kelompok birokrasi yang terselubung didalam Partai Golkar. Kelompok birokrasi diluar kepengurusan resmi memiliki daya tekan yang cukup baik karena secara empiris jaringan kelompok tersebut mempunyai pengaruh signifikan terhadap konstituen partai.26 Terkait korelasi antara pelembagaan dengan tingkat dukungan elektoral partai politik sejauh ini literatur yang membahas hal tersebut menitiberatkan pada pengaruh aspek pelembagaan sistem kepartaian terutama di negara-negara maju dibandingkan dengan negara-negara yang sedang berkembang, seperti pendekatan yang digunakan oleh Scot Mainwaring. Sebagaimana pelembagaan yang digunakan Mainwaring dan Scully, mereka menggunakan dua dimensi; Pertama, stabilitas kompetisi akar partai dan kedalaman akar partai dalam masyarakat. Dalam dua dimensi ini ada perbedaan kelembagaan yang terus menerus dan besar antara kebanyakan negara demokrasi dan semi demokrasi pasca 1978 dan negara demokrasi industri maju. Sebagian besar negara industri maju menunjukan stabilitas yang jauh lebih besar dalam kompetisi antarpartai daripada kebanyakan 26
Muhtar.“Reinstitusionalisasi Partai Gokar Pasca Pemilu 2004 Dikota Ambon”. (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2008)
22
negara demokrasi pasca 1978. Selain itu, akar partai di masyarakat jauh lebih kuat disebagian besar negara-negara demokrasi industri maju daripada sebagian besar negara demokratis dan semi demokrasi pasca 1978.27 Sebagai contoh misalnya akibat lemahnya pelembagaan sistem kepartaian memiliki konsekuensi langsung dengan menguatnya politisi anti-partai berkuasa. Banyak politisi partai yang seperti hal tersebut seperti Presiden Alberto Fujimori di peru dan Presiden Hugo Chavez di Venezuela selain itu dari tingkat volatilitas Pemilu, perubahan hasil pemilihan umum rata-rata jauh lebih besar di negara-negara demokrasi yang sedang berkembang dan negara-negara semi-demokrasi daripada negara-negara demokrasi industri maju sebagai contoh misalnya negara-negara yang stabil tingkat volatilitas pemilu (Amerika Serikat, Australia, dll) sedangkan negara yang tingkat volatilitas pemilu yang tinggi (Ukraina, Latvia, Rumania, Peru, Rusia, Polandia, dan Estonia). Dari sejumlah literatur diatas, belum ada literatur yang secara spesifik terutama penelitian di indonesia yang melihat konsekuensi langsung keberhasilan suatu partai yang terlembaga terhadap tingkat perolehan suara yang stabil dalam pemilihan umum, hal ini penting untuk diketahui karena selama ini pemahaman umum yang terbangun adalah untuk apa partai harus sibuk melembagakan partainya jika perolehan suara masih didapat dengan banyak cara. Hal ini kemudian menjadi poin penting untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian ini terutama untuk menggambarkan kondisi pelembagaan suatu partai politik di daerah terhadap tingkat perolehan suaranya yang stabil dalam pemilihan umum. 27
Scott Mainwaring dan Mariano Torcal dalam Richard S. Katz dan William Crotty. Hand book partai politik. (Bandung: Nusa media, 2014) Hal. 336
23
F. Kerangka Pikir Teoritis demokrasi elektoral
Pelembagaan partai politik
dukungan konstituen
Penelitian ini memiliki Kerangka pikir yang dibangun dengan beberapa kajian teoritis yang disesuaikan dengan pendekatan (Approach), konsep (Concept), dan teori (Theory) yang digunakan. 1.
Demokrasi Elektoral Demokrasi elektoral merupakan konsep dalam sebuah demokrasi dimana
terdapat sebuah sistem konstitusional yang menyelanggarakan pemilihan umum multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif (Salim, 2000). Demokratisasi di Indonesia mempunyai persoalan dalam pelembagaan nilainilai demokrasi. Setidaknya ada 4 (empat) aspek yang krusial dan membutuhkan perhatian serius, yaitu: 1. Aspek desain kelembagaan dari sistem politik yang mengabaikan kebutuhan dan kecendrungan budaya politik yang ada; 2. Aspek perbaikan performa partai politik yang kinerjanya terukur dan mempunyai party rooting yang semakin mapan; 3. Sistem pemilu yang tidak disusun secara sistematis, logis dan taat asas; dan 4. Susunan kedudukan di pemerintahan dimana unsur kinerja optimal dari eksekutif dan legislatif bisa dikenali dari hasil legislasi yang kredibel.28 Dalam penelitian ini aspek yang akan di lihat adalah permasalahan dari performa partai politik yang ada di tingkat lokal dimana adanya peningkatan kinerja yang cukup signifikan di bandingkan dengan partai-partai di tingkat
28
Pipit R Kartawidjaja dan M Faishal Aminuddin.2014. Demokrasi elektoral bagian 1 perbandingan Sistem Dan Metode Kepartaian Dan Pemilu. (Surabaya:Sindikasi Indonesia)
24
nasional,
partai
politik
di
wilayah
lokal
diasumsikan
telah
mampu
mengkonsolidasikan partai politiknya sehingga mampu bersaing secara baik dan mapan dibuktikan dengan keberhasilan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai yang mendapatkan suara mayoritas terutama di lembaga legislatif selama periode 2009 dan periode 2014. Peningkatan jumlah dukungan terhadap partai diwilayah lokal tersebut menjadi perhatian serius, apakah proses pelembagaan partai politik yang berkembang selama ini yang bersifat sentralistis justu berhasil di level daerah ataukah ada faktor lain yang mendukung adanya perbedaan dukungan partai politik secara nasional dengan lokal. 2.
Partai & Pelembagaan Partai Politik Indonesia sebagai negara yang memiliki sistem demokrasi yang besar ketiga
di dunia perlu adanya partai politik yang kuat dalam menjalankan fungsi dan perannya serta mengakar, baik pada konstituennya maupun pada masyarakat secara umum. Partai politik memiliki peran yang sangat signifikan atas proses demokrasi baik secara prosedural seperti: peran dalam seleksi kandidat, maupun mobilisasi dukungan dalam pemilihan umum. Serta secara substansial yakni menjalankan fungsi utamanya sebagai partai dalam pendidikan politik, sosialisasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan maupun formulasi agenda kebijakan. Menurut pandangan Sigmun Neumand partai politik adalah sebuah organisasi artikulatif yang terdiri atas pelaku-pelaku politik yang aktif di dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintah dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan 25
begitu partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintah yang resmi dan mengaitkannya dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas.29 Menurut Joseph La Palombara dan Myron Weiner, partai politik bukanlah organisasi politik yang mempunyai hubungan terbatas dan temporal dengan para pendukungnya di daerah. Partai politik adalah organisasi yang melakukan aktivitas yang berkesinambungan diantara dua pemilihan umum. Masa hidupnya tidak tergantung pada masa jabatan atau usia para pemimpinnnya. Organisasinya terbuka dan permanen, tidak hanya ditingkat pusat tetapi juga di tingkat lokal. Para pemimpin ditingkat pusat dan lokal berkehendak kuat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan politik secara sendiri maupun dengan berkoalisi dengan partai lain, dan melakukan kegiatan mencari dukungan dari para pemilih melalui pemilihan umum.30 Untuk menjalankan seluruh fungsi dan tujuannya, partai politik harus mampu mengembangkan sumberdaya yang ada didalam tubuh organisasi tersebut, jika kita bandingkan dengan kinerja partai politik di berbagai negara maka hasilnya akan bervariasi secara substansial31. Variasi tersebut secara tidak langsung ditentukan dari tingkat pelembagaan masing-masing partai politik, 29
Miriam Budiarjo (ed), Partisispasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), edisi revisi. Hlm 67-70 30 Ahmad Farhan Hamid. Partai politik lokal diaceh, desentralisasi politik dalam negara kebangsaan. (Jakarta: Kemitraan, 2008) Hlm 6-7 31 Tingkat pelembagaan partai telah di uji oleh Basedau dan stroh di 28 partai politik di benua afrika, dan variasi kinerja partai yang muncul antar partai tersebut ternyata dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan mereka dalam melembagakan partainya. Lihat Basedau, Mathias, Alexander Stroth, Measuring Party Institutionalization In Developing Countries : A New Research Instrument Applied To 28 African Political Parties, Paper,2008 dalam www.giga-hamburgh.de/workingpapers
26
artinya secara rasional bahwa partai yang dilembagakan lebih menguntungkan dalam hal menjalankan fungsi mereka daripada partai yang kurang melakukan pelembagaan. Seperti yang di jelaskan diatas bahwa sebagian besar literatur yang membahas pelembagaan partai dan sistem kepartaian berangkat dari pemikiran pelembagaan yang didefinisikan oleh Huntington yakni: “pelembagaan adalah proses dimana organisasi dan prosedur memperoleh nilai baku dan stabil”.32 Huntington mengukur tingkat pelembagaan politik dari beberapa tahapan yakni adaptabilitas, kompleksitas, otonomi dan koherensi. Dari korelasi keempat bagian tersebut Huntington membaginya dalam beberapa kriteria. Pertama, Huntington menilai pentingnya usia organisasi dalam mengubah tataran fungsi dan generasi kepemimpinan secara damai guna memungkinkan untuk selalu survive; Kedua, perlunya kompleksitas sub unit organisasi baik dari segi hirarki maupun fungsional guna menjamin dan mempertahankan anggotanya, maka dapat dikatakan jika semakin beragam sub-sub unit organisasi maka kemampuan organisasi menjamin dan mempertahankan anggotanya semakin besar; Ketiga, sejauh mana organisasi politik dan prosedur tidak bergantung pada kelompok sosial dan perilaku organisasi lain; Keempat, konsensus merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap kelompok, kesepakatan harus mencakup mereka yang aktif dalam sistem.33
32
Samuel P.Huntington.“Tertib Politik Ditengah Pergeseran Kepentingan Massa”. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003). Hlm. 16 33 Samuel P.Huntington. Tertib Politik Ditengah Pergeseran Kepentingan Massa. 2003. Ibid, hal 16-30
27
Disisi lain Panebianco yang fokus pada institusionalisasi partai politik terutama di negara-negara yang demokrasinya dipandang sudah mapan mendefinisi institusionalisasi sebagai "jalan/cara organisasi mengeras”.34 Proses ini pada dasarnya berhubungan dengan kemampuan partai untuk melestarikan otonomi terhadap lingkungannya dan tingkat 'systemness' atau tingkat saling ketergantungan
antara
anggotanya.
Jadi,
menurut
Panebianco,
partai
dilembagakan adalah salah satunya yang dapat meningkatkan otonomi dari intervensi kelompok lain dan memelihara saling ketergantungan di antara aktoraktor internal dan sektor yang berbeda. Dia menyarankan bahwa tahap awal dari masa pengembangan partai akan menentukan kemampuan partai untuk mencapai tipe ideal. Menurutnya, partai yang dikembangkan melalui terpusat proses daripada satu disebarkan dan dengan terbatas "dukungan eksternal" daripada tergantung pada "legitimasi eksternal" kemungkinan besar akan menemukan otonomi mudah dan mengembangkan tingkat tinggi saling ketergantungan antara unsur-unsurnya.35 Publikasi sebelumnya, Selznick dan Broom menggarisbawaih aspek nilai dengan menggunakan istilah “nilai infus/pemasukan nilai”.36 Nilai infus adalah ketika sebuah organisasi yang terlembaga mampu mendapatkan atau memasukkan nilai yang dapat dihormati dan dijalankan oleh seluruh aktor yang ada dalam partai tersebut. Aktor partai memiliki komitment kepada partai melampaui
34
Angelo Panebianco, “Political Parties: Organization and Power”, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), hlm. 49. 35 Angelo Panebianco, ibid 63-68 36 Selznick/ Broom (1955): Sociology: A text with adapted readings. New York: Harper & Row.Opcit.
28
kepentingan diri sendiri. Nilai infus ini ada hubungannya dengan keberhasilan partai dalam menciptakan budaya khas atau nilai-sistem sendiri. Dari ketiga penjelasan terkait pelembagaan partai politik tersebut ada keterputusan pemahaman antara konsepsi awal pelembagaan yang diajukan oleh Selznick dan Broom dengan konsep pelembagaan Huntington dan Penebianco. Dengan demikian Huntington berbicara cara dari organisasi mengembangkan kehidupannya sendiri terlepas dari fungsi-fungsi khusus organisasi dan penebianco juga berbicara tentang bagaimana organisasi menjadi berharga dalam dan dari dirinya sendiri, namun keduanya hanya mengelaborasi nilai infus dengan pengertian sempit. Selain itu ada tumpang tindih dalam penentuan kriteria atau dimensi yang di tentukan oleh ilmuan tersebut, bahkan justru saling bertentangan. seperti gagasan Penebianco tentang dimensi systemnes tampaknya merangkul kombinasi kompleksitas dan koherensi Huntington, Penebianco juga menilai tingkat tingginya pelembagaan dalam organisasi akan menghambat Fleksibilitas atau adaptasi. Selain ketiga ilmuan tersebut, Kenneth Janda dalam kerangka konseptualnya mengidentifikasi pelembagaan sebagai salah satu dari beberapa aspek hubungan eksternal partai, bukan fitur internal organisasi partai. Dia menunjukkan bahwa partai yang dilembagakan adalah salah satu yang tereifikasi dalam benak publik37. Sedangkan sehubungan dengan adanya nilai infus, MacGuire menunjukkan nilai infus memiliki keutamaan kausal tertentu untuk pelembagaan partai. MacGuire
37
For this reason, Janda developed six variables as indicators for an institutionalised party, namely: The year of origin, name changes, organisational discontinuity, leadership competition, legislative instability, electoral instability. Kenneth Janda. “Political Parties: A Cross National Survey”. (New York: The Free Press, 1980), hlm: 19.
29
menilai bahwa "nilai infus membantu organisasi bertahan hidup cukup lama, dan meningkatkan sebuah kapasitas organisasi untuk membentuk dan membatasi perilaku aktor internal selama jangka waktu tertentu”. Adanya nilai infus pada dasarnya adalah dengan melakukan pengembangan nilai-nilai identitas atau budaya yang unik yang mengidentifikasi dan membedakan satu partai tertentu dari partai politik yang lain.38 Terkait dengan "nilai infus", Levitsky berpendapat bahwa pelembagaan harus tidak dilihat sebagai hanya masalah konsistensi dalam menerapkan prosedur partai. Perkembangan situasi di mana anggota yang menghargai keberadaan partai juga menjadi unsur penting dalam pelembagaan. Menurut Levitsky, sebuah partai yang lemah dalam hal pelaksanaan prosedur, tapi kuat dalam hal "nilai infus "membuat kelanjutan eksistensi partai menjadi mungkin, selain itu Levitsky berpendapat bahwa selain "masalah teknis", orang harus memperhitungkan kemampuan untuk membuat komitmen berdasarkan "unsur-unsur non-teknis" sebagai bagian dari institusionalisasi.39 Dari sejumlah pembahasan diatas sejauh ini kita mampu menerima pandangan bahwa pelembagaan partai adalah salah satu proses dimana masingmasing partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum mengalami peningkatan nilai organisasi dan stabilitas organisasi. sebagai tambahan dari dua aspek diatas yakni aspek pemasukan nilai dan aspek stabilitas, ada lima kriteria atau lima dimensi yang muncul dan diajukan oleh sejumlah ilmuan. Sejumlah
38
James W. McGuire. “Peronism without Peron. Unions, Parties and Democracy in Argentina”, (Stanford: Stanford University Press, 1997), hlm: 8 39 Steven Levitsky, “Institutionalisation and Peronism. The Case, The Concept and Case for Unpackingthe Concept”, Party Politics, Vol.4, No.1, hlm: 77-92.
30
studi mengatakan untuk mengukur masing-masing partai dan beberapa studi yang mengukur sistem kepartaian menyebutkan “tingkat organisasi” sebagai salah satu kriteria (Mainwaring 1998, Basedau 2007, Bendel dan Grotz 2001 dan dimensi complexity dalam Huntington 1968 dan Dix 1992). Kriteria kedua adalah “Koherensi internal” (Mainwaring 1968, Kuenzi dan Lambright 2001, Basedau 2007, Dix 1992). Dua dimensi lebih lanjut berhubungan erat dengan dengan konsep institusionalisasi. Dimensi tersebut adalah “Otonomi” dari pengaruh luar partai (Huntington 1968, Dix 1992, Randall dan Svansand 2002; mengacu pada kebebasan dari pengaruh negara, Bendel dan Grotz 2001) dan dimensi “pengakaran partai di dalam masyarakat” (dimensi ini mengindikasikan ikatanikatan yang kuat antara organisasi dan masyarakat tempat dia berada (Mainwaring 1968, Kuenzi dan Lambirght 2001, Randall dan Svansand 2002, Basedau 2007, adaptabilitas dalam Huntington 1968, dan Dix 1992)). Dimensi otonomi dan pengakaran dimasyarakat memiliki keterkaitan dan harus seimbang karena dimensi ini tidak dapat dimaksimalkan secara bersamaan, sebagai contoh misalnya ketika ikatan-ikatan yang dibangun sangat kuat terhadap ekternal partai/masyarakat akan mengindikasikan ketergantungan yang justru akan mengecilkan dimensi “Otonomi”. Satu dimensi yang diajukan oleh beberapa ilmuan adalah model-model persaingan yang digunakan oleh Mainwaring 1998, dan Kuenzi dan Lambright 2001) namun dimensi ini lebih mengarah pada pengujian pelembagaan sistem kepartaian. Dari beberapa uraian konsep pelembagaan partai politik serta indikator yang dapat diukur diatas, konsep Randall Svansand sejauh ini telah mampu meramu 31
sejumlah dimensi penting dari beberapa konsep pelembagaan partai politik. Hal ini dikarenakan konsep Randall Svansand telah memfokuskan kriteria pengukuran pada masing-masing partai, selain itu konsep mereka juga membedakan antara dimensi eksternal dan internal partai. Namun kelemahan dari kosep Randall Svansand ini adalah; Pertama, konsep ini tidak mampu melihat secara jelas proses pelembagaan dalam suatu partai politik karena indikator yang digunakan tidak mampu melihat secara utuh fakta empiris di lapangan; Kedua konsep ini tidak mampu melihat secara eksplisit keterkaitan/ korelasi antara proses pelembagaan suatu partai dengan tingkat dukungan suara yang diraih partai tersebut dalam pemilihan umum. Untuk menjaga kriteria wawasan teoritis yang dibangun dalam penelitian ini, maka penelitian ini kemudian menggunakan pendekatan pelembagaan partai politik yang di tawarkan oleh Matthias Basedau dan Alexander Stroh. Hal ini karena Basedau dan Stroh telah memodifikasi sejumlah dimensi yang ditawarkan oleh beberapa ilmuan, khususnya pendekatan dari Randall dan Svansand. Sehingga konsep ini akan memudahkan penulis untuk mengukur proses pelembagaan partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Kabupaten Lampung Timur dan korelasinya terhadap perolehan suara PDI Perjuangan dalam dalam pemilihan umum. Menurut Basedau dan Stroh studi tentang institusionalisasi partai politik telah dikarakterkan oleh satu penjajaran penelitian yang berorientasi secara teoritis dan penelitian yang berorientasi secara empiris. Saat para pakar teori berkonsentrasi pada validitas dari konsep-konsep dan mungkin tidak tergangu 32
untuk berpikir tentang operasionalisasi, para pakar yang berorientasi pada hal-hal empiris sering menggunakan data dan indikator-indikator yang tersedia tapi terlalu sering tidak benar-benar terkait dengan konsep yang dibahas. Selain itu terkait observasi di lapangan menurut Basedau dan Stroh selama ini tentu tidak ada
kekurangan
pemikiran
tentang
bagaimana
mengukur
karakteristik-
karakteristik yang berbeda-beda dari institusionalisasi partai namun seringkali data yang dibahas sering tidak tersedia atau sulit untuk diperoleh. Akibatnya, beberapa aspek dari institusionalisasi partai dikesampingkan secara sistematis dalam penelitian empiris. Inilah mengapa sebagian besar studi empiris tentang institusionalisasi partai lebih mengukur sistem-sistem partai dan bukan masingmasing partai. Meskipun tidak dapat dihindari dari masalah tersebut, konsep yang ditawarkan Basedau dan Stroh setidaknya mampu menghindari dari beberapa masalah tersebut. hal tersebut ditandai dengan pertama, fokus dari konsep ini yang mengukur masing-masing partai, kedua, konsep ini menggunakan sebanyak mungkin indikator untuk menjaga tetap sedekat mungkin dengan konsep dan meminimalkan gangguan dari konsep teoritis yang rumit yang dapat muncul ketika hanya sedikit indikator yang digunakan. Menurut Basedau dan Stroh40 terdapat empat aspek pelembagaan partai politik yakni; Pertama, roots in society/pengakaran masyarakat, partai memiliki akar yang stabil dalam masyarakat. Kedua, Autonomy/otonomi, sekalipun berakar dalam masyarakat partai relatif independen dari individu didalam dan diluar 40
Basedau, Mathias, Alexander Stroth, Measuring Party Institutionalization In Developing Countries. Opcit Hal. 8-12
33
partai. Ketiga, party organization/organisasi, apparatus organisasi hadirkan konstituen disemua level administrasi dan bertindak dalam kerangka kepentingan partai. Keempat, coherence/koherensi, tindakan partai sebagai sebuah kesatuan organisasi dan tingkatan toleransi dalam perselisihan partai. Basedau dan Stroh kemudian menempatkan roots in society di dalam dimensi stabilitas eksternal, dan party organization didalam stabilitas internal, sedangkan autonomy dan coherence masuk kedalam dimensi Nilai infus Eksternal dan Nilai Infus Internal masingmasing. (Pembagian tersebut dapat dilihat di dalam tabel sebagai berikut). Tabel. 1 Dimensi Pelembagaan Partai politik Basedau dan Stroh
Eksternal Internal
Stability
Value Infusion
Roots in society
Autonomy
Level of organization
Coherence
Sumber: Basedau dan Stroh (2008:12)
Dari hasil persilangan tersebut diatas, kemudian menghasilkan empat dimensi pengukuran dan lima belas indikator. Dimensi pertama adalah Pengakaran di masyarakat, indikatornya yaitu: 1). Relativitas umur partai terhadap kemerdekaan, indikator ini mengandaikan bahwa partai politik yang terlembaga dapat terlihat dari tingginya usia partai terhadap kemerdekaan negara tersebut. artinya semakin dekat dengan kemerdekaan maka partai tersebut secara tidak langsung telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat; 2). Relativitas umur partai terhadap permulaan periode multi partai, Indikator ini mengandaikan bahwa partai politik yang terlembaga dapat terlihat dari tingginya usia partai terhadap permulaan periode multi partai, artinya semakin dekat dengan permulaan periode 34
multi partai maka partai tersebut secara tidak langsung telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat; 3). Perubahan dukungan elektoral dalam pemilu terakhir atau dua pemilu terakhir, Indikator ini menjelaskan bahwa salah satu indikasi terlembaganya suatu partai politik terlihat dari stabilnya perolehan suara atau dukungan elektoral. Dukungan tersebut dapat dilihat dari dua kali periode pemilihan umum, semakin dia stabil atau dukungan meningkat keatas maka partai politik ini dapat dikatakan telah terlembaga; 4). Hubungan dengan organisasi masyarakat sipil, Hubungan dengan organisasi masyarakat sipil dipahami sebagai sebuah ikatan yang dapat memberikan kontribusi bagi partai politik, artinya indikator ini mengandaikan bahwa terlembaganya suatu partai politik dapat terlihat dari bagaimana suatu partai politik mampu menjalin hubungan atau kerjasama, mampu membina, dan berkomunikasi secara aktif dengan organisasi masyarakat sipil. Hubungan-hubungan yang kuat dengan kelompok masyarakat sipil seperti organisasi keagamaan, kelompok dagang, kelompok tani atau lembaga swadaya masyarakat tentu merupakan indikator yang baik dari akar-akar dalam masyarakat. Dimensi Kedua adalah Otonomi, indikatornya yaitu: 1). Jumlah pergantian kepemimpinan partai, indikator ini mengandaikan bahwa terlembaganya suatu partai politik jika partai politik tersebut telah mampu melembagakan pemimpinnya, hal tersebut akan tampak dari seberapa sukseskah regenerasi kepemimpinan itu di jalankan. Partai mampu melembagakan organisasinya dengan mengatur pola perilaku pemimpin dan regenerasi pemimpinnya agar sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama yang termanisfestasi dalam 35
AD/ART partai atau berbagai bentuk peraturan organisasi lainnya; 2). Pergeseran dukungan elektoral setelah pergantian kepemimpinan partai, Indikator ini mengandaikan terlembaganya suatu partai politik jika dalam setiap pergantian kepemimpinan, perolehan suara partai politik itu stabil dan tidak mengalami penurunan. Artinya indikator ini menghendaki berjalannya mekanisme partai terhadap suksesi regenerasi kepemimpinan namun pergantian kepemimpinan tersebut tidak membawa dampak buruk bagi partai dengan hanya mengandalkan figur ketua didalamnya tapi lebih mengandalkan kinerja partai secara keseluruhan; 3). Otonomi keputusan dari individu dan kelompok, Indikator ini mengandaikan terlembaganya suatu partai politik dapat terlihat dari bagaimana di setiap pengambilan keputusan suatu partai politik baik program dan hal-hal yang bersifat pribadi partai dilakukan secara independen dari kepentingan individual ataupun kelompok-kelompok tertentu baik yang ada di dalam partai maupun kelompok di luar partai. Keputusan yang dihasilkan merupakan hasil dari kesepakatan bersama antara pimpinan dengan kader pengurus lainnya; 4). Apresiasi rakyat atas partai tertentu, indikator ini mengandaikan terlembaganya suatu partai politik jika partai politik tersebut mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari masyarakat pemilih, pengakuan tersebut dapat di lihat dari seberapa dekat kah konstituen mengidentifikasi dirinya dengan partai politik dan apakah kedekatan konstituen pada partai politik tertentu didasarkan atas kesukaan atau lebih dari itu. Dimensi Ketiga adalah Organisasi, indikatornya yaitu: 1). Kekuatan Anggota, indikator ini berfungsi untuk mengukur kekuatan dari keanggotaan kader suatu partai politik. Partai politik yang terlembaga menghendaki adanya 36
kuantitas dan kualitas dari kader atau anggota partai. partai mampu menampung dan menseleksi kandidat kader yang datang dari masyarakat eksternal partai dan menseleksinya sesuai dengan aturan yang ada didalam partai tersebut. dengan adanya proses seleksi tersebut maka diyakini kader yang terpilih adalah orangorang yang memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap partai, dan pengabdian kepada partai dalam masyarakat umum tidak tercela; 2). Kongres partai teratur, indikator ini mengandaikan terlembaganya suatu partai politik jika dalam pelaksanaan kongres partai tersebut terlaksana sesuai jadwal dan teratur, keteraturan kongres tersebut juga apakah telah sesuai dengan undang-undang maupun aturan partai itu sendiri; 3). Sumberdaya personal dan material, indikator ini adalah terkait dengan sumberdaya kepartaian. Suatu partai politik yang terlembaga memiliki sumberdaya personal yang cukup dan sumber daya material seperti karyawan, kantor, dan pendanaan yang kuat, penilaian ini terlepas dari ketentuan partai politik dengan penggunaan dana negara (Kemandirian Partai politik); 4). Kehadiran Organisasional diseluruh negara, aktivitas tidak sekedar kampanye pemilihan, indikator ini mengandaikan terlembaganya suatu partai politik dapat terlihat dari keaktifan partai dalam lingkungan masyarakat, partai politik hadir disetiap sendi-sendi kehidupan rakyat, kehadiran partai tersebut dapat berbentuk program maupun kegiatan, selain itu kader partai yang berada disetiap tingkatan mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan daerahnya baik kader yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) atau kader pengurus partai itu sendiri. Pentingnya tingkat kehadiran suatu partai politik di
37
lingkungan masyarakat akan mampu mendorong citra partai sebagai jembatan inspirasi antara masyarakat dan pemerintah Dimensi Keempat adalah Koherensi, Indikatornya yaitu: 1). Koherensi kelompok parlemen (tidak meninggalkan partai atau lompat pintu), indikator ini mengandaikan pada terlembaganya suatu partai politik jika kader partai yang terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun di daerah tidak melakukan tindakan yang merugikan partai. tindakan tersebut adalah melakukan tindakan-tindakan diluar dari kesepakatan partai yang disetujui dalam parlemen, kader partai melakukan tindakan pembelotan dengan meninggalkan partai dan berpindah kepartai politik lain dengan sejumlah alasan tertentu. Indikator ini menghendaki adanya koherensi dari masing-masing kader yang terpilih di lembaga legislatif. Kader partai memahami mekanisme yang berlaku dan ditetapkan oleh aturan partai. baik dalam AD/ART partai maupun aturan turunan lainnya; 2). Relasi moderat antara pengelompokan dalam partai (tidak ada disfungsi faksionalisme), indikator ini akan membawa kita lebih dalam untuk melihat apakah di tubuh suatu partai politik terbentuk faksionalisme, dan apakah faksionalisme tersebut justru tidak terpelihara dengan baik sehingga menghasilkan perpecahan. Indikator ini mengandaikan terlembaganya partai politik jika tidak terjadi disfungsi dari faksionalisme yang mengarah pada terbelahnya kader; 3). Toleransi vis-a-vis perselisihan dalam partai, indikator ini mengandaikan terlembaganya suatu partai politik jika pemimpin partai dan kader mampu menjaga prinsip-prinsip atau nilai dasar partai yang tertuang dalam AD/ART Partai. pemimpin memiliki peran sebagai pemersatu dan tidak menghendaki atas 38
kepentingannya sendiri, pemimpin partai memberikan kesempatan kepada seluruh kader untuk bebas berekspresi dalam menentukan langkahnya namun langkah yang diambil harus berdasarkan atas aturan yang ada dalam partai politik tersebut. Pemimpin partai juga mentolerir atas penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus maupun kader dengan atau tanpa menggunakan kekerasan, ancaman atau pengusiran. G.
Definisi Konseptual 1. Demokrasi
Elektoral
adalah
sistem
konstitusional
yang
menyelanggarakan pemilu multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif. 2. Partai Politik adalah organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan berbeda. 3. Pelembagaan partai politik adalah proses dimana masing-masing partai yang berpartisipasi dalam pemilihan umum mengalami peningkatan stabilitas dan nilai infus organisasi. selain itu organisasi harus mampu melembagakan dirinya terhadap hubungan eksternal dan internal. Proses pelembagaan ini kemudian mengandung dua dimensi, yaitu aspek internal-eksternal, dan aspek stabilitas-nilai infus. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan terlihat dalam empat dimensi yaitu: Pertama, dimensi pengakaran di masyarakat (roots in society) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan stabilitas. Kedua, dimensi Otonomi 39
(autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan nilai infus. Ketiga, dimensi Organisasi (level of organization) sebagai hasil persilangan aspek internal dengan stabilitas. Keempat, dimensi Koherensi (coherence) sebagai hasil persilangan aspek internal dengan nilai infus. H.
Definisi Operasional Untuk memudahkan pengukuran Pelembagaan Partai Politik di dalam Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur maka dalam penelitian ini indikator yang digunakan berdasarkan pendekatan pelembagaan partai politik yang ditawarkan oleh Basedau dan Stroh yakni: 1.
Pengakaran di masyarakat, partai memiliki akar yang stabil dalam masyarakat; a. Relativitas umur partai terhadap kemerdekaan b. Relativitas umur partai terhadap permulaan periode multi partai c. Perubahan dukungan elektoral dalam pemilu terakhir atau dua pemilu terakhir d. Hubungan dengan organisasi masyarakat sipil
2.
Otonomi, sekalipun berakar dalam masyarakat partai relatif independen dari individu didalam dan diluar partai. a. Jumlah pergantian kepemimpinan partai b. Pergeseran dukungan elektoral setelah pergantian kepemimpinan partai c. Otonomi keputusan dari individu dan kelompok d. Apresiasi rakyat atas partai tertentu
40
3.
Organisasi, apparatus organisasi hadirkan konstituen disemua level administrasi dan bertindak dalam kerangka kepentingan partai. a. Kekuatan anggota b. Kongres partai teratur c. Sumberdaya personal dan material d. Kehadiran organisasional diseluruh negara, aktivitas tidak sekedar kampanye pemilihan
4.
Koherensi, tindakan partai sebagai sebuah kesatuan organisasi dan tingkatan toleransi dalam perselisihan partai. a. Koherensi kelompok parlemen (tidak meninggalkan partai atau lompat pintu) b. Relasi moderat antara pengelompokan dalam partai (tidak ada disfungsi faksionalisme) c. Toleransi vis-a-vis perselisihan dalam partai
I.
Metode Penelitian Untuk menjawab pertanyaan riset dalam penelitian ini sebagaimana yang
diajukan dalam rumusan masalah maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. jenis penelitian kualititatif dalam penelitian ini digunakan untuk membantu memahami, memberikan tafsir pada fenomena kemenangan partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baik dalam bentuk informasi personal dari narasumber yang menjadi pengurus aktif di PDI Perjuangan maupun dari data tertulis atau data lainnya. Dalam penelitian
41
kualitiatif, metode yang bisa digunakan beragam (multi-metode), tergantung tujuan dan sifat penelitian.41 Menyesuaikan dengan tujuan dan maksud penelitian, maka penelitian ini bersifat eksploratif. Penelitian ini mencoba mengali informasi sebanyak mungkin mengenai proses pelembagaan partai politik di tingkat lokal. Penelitian ini berdasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi di Kabupaten Lampung Timur, dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapatkan suara tertinggi dibandingkan dengan partai-partai lainnya baik dalam pemilihan umum Tahun 2009 maupun Tahun 2014. peneliti menilai perlu untuk mengidentifikasi hal tersebut, apakah keberhasilan partai Partai Demokrasi Indonsesia Perjuangan (PDIP) ini merupakan suatu keberhasilan Proses Pelembagaan partai yang terkonsolidasi dengan baik. Selain itu Penelitian ini masih relatif baru terutama mengaitkan kemenangan partai dalam Pemilu dengan proses pelembagaan partai politik di tingkat lokal. Untuk menajamkan penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus ini digunakan karena dari 15 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Lampung, hanya ada dua kabupaten yang diberikan penghargaan sebagai Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Pelopor oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Salah satu dari DPC Pelopor tersebut adalah Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur. Alasan diberikannya penghargaan tersebut adalah karena DPC PDI Perjuangan Kabupaten lampung 41
Agus Salim (ed.), “Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, hal. 69-205
42
timur telah memenuhi kriteria penilaian yakni: Pertama, PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur telah memenangkan pemilihan umum sepanjang berdirinya Kabupaten Lampung Timur (Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014), Kedua, DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur sangat disiplin dalam penyusunan administrasi Ketiga, DPC PDI Perjuangan sangat solid, tidak ada konflik internal ditingkat cabang yang mengindikasikan perpecahan kader. Selain itu penelitian ini tidak ditujukan untuk mencari generalisasi karena setiap kemenangan partai dalam pemilu memiliki keunikan tersendiri. Dengan menggunakan pendekatan ini peneliti akan secara mendalam mengidentifikasi pelembagaan dari DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur baik secara internal maupun eksternal dan korelasinya dengan perolehan suara PDI Perjuangan dalam pemilihan umum. 1.
Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini adalah Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur. 2.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data menggunakan teknik
wawancara mendalam (Depht Interview), teknik dokumentasi, dan teknik literasi. Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap tokoh-tokoh kunci partai politik, dalam hal ini adalah pengurus aktif DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur periode 2010-2015. Tokoh-tokoh tersebut yakni Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung 43
timur Ali Johan Arif, SE, M.Si. Wakil Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung timur sekaligus sebagai PLT Sekretaris Partai Herman Hamid S.IP, Wakil Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung timur yang membidangi beberapa bidang yakni, Sudarmi, A.Ma, Trisno, Dewi Pujiwati, SE, Bendahara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung timur Sarmiati. Wawancara terhadap pengurus partai ini merupakan langkah utama untuk mampu melihat lebih jauh tentang organisasi partai dan bagaimana mesin partai ini bekerja. Selain itu wawancara ini juga menurut penulis menjadi sangat penting dilakukan terhadap kandidat-kandidat yang memenangkan suara pemilihan umum di Kabupaten Lampung Timur terutama pemilihan umum Tahun 2014 yang lalu, hal ini dilakukan karena mereka adalah selain mereka sebagai peserta dari kontestasi pemilihan umum itu, disisi lain juga mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dengan partai politik pengusung, sehingga pernyataan-pernyataan mereka diharapkan mampu menjadi salah satu basis argumentasi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam tesis ini. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Timur yang dipilih untuk di wawancara adalah Antonius Gatot Suyarso, dan Miswanto, SE. Dua tokoh PDI Perjuangan tersebut sengaja dipilih karena berasal dari daerah pemilihan 3 (tiga) yang diakui selama ini sebagai salah satu basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Selain itu juga kedua anggota DPRD Kabupaten Lampung Timur tersebut adalah pengurus aktif yang baru menduduki jabatan sebagai wakil
44
ketua di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kabupaten Lampung Timur Periode 2015-2020. Teknik pengumpulan data yang kedua adalah teknik dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk memperoleh banyak data dalam bentuk dokumentasi, arsip, dan laporan-laporan partai politik. Data ini meliputi Visi dan Misi partai, struktur kepengurusan
partai,
serta
peraturan-peraturan
partai
seperti
anggaran
dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)), surat keputusan, sejarah resmi partai, platform partai serta data lain yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Teknik literasi (studi kepustakaan) adalah teknik yang ketiga yang digunakan oleh peneliti. Teknik ini perlu dilakukan untuk mempertajam analisis terutama sebagai perbandingan dengan data yang didapat dalam objek penelitian. Studi pustaka ini dilakukan terhadap beberapa literatur-literatur yang memberikan informasi tentang teori-teori berkenaan dengan topik penelitian. 3.
Teknik Analisa Data Temuan dalam penelitian ini di analisis dengan model interaktif yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman42 yang terdiri dari tiga komponen analisis, sebagai berikut: Pertama, Reduksi data, dalam reduksi data ini data yang diperoleh dari objek penelitian yakni DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur akan dituangkan dalam laporan yang lengkap, laporan lengkap tersebut di dapat dari wawancara mendalam terhadap pengurus aktif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur,
42
Sugiono. “Memahami Penelitian Kualitatif”. ( Bandung: Alfabeta,2013)
45
selain itu juga data dari wawancara dengan Anggota Dewan yang duduk di DPRD Kabupaten Lampung Timur yang berasal dari PDI Perjuangan. Laporan data juga didapat dari data AD/ART partai, dan data partai lainnya. setelah direduksi dan dirangkum dan kemudian dipilih untuk mendapatkan data pokok yang menjadi fokus penelitian yakni ingin melihat pelembagaan partai PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur dan korelasi dari pelembagaan partai politik tersebut terhadap stabilitas elektoral di pemilihan umum. Hal ini dilakukan agar peneliti lebih mudah menganalisis data sesuai dengan tema dan desain penelitian yang ditetapkan. Kedua, Penyajian Data, penyajian data ini adalah proses dimana data yang telah direduksi akan disajikan secara sistematis. Penyajian data ini dilakukan dalam bentuk tabel, gambar, grafik, data narasi, uraian, dan bagan. Penyajian data ini dimaksudkan untuk memudahkan penulis memahami gambaran dari Pelembagaan Partai Politik yang ada didalam tubuh partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur, dan korelasinya dengan stabilitas elektoral partai tersebut dalam pemilihan umum. Sedangkan ketiga, Kesimpulan Verifikasi, kesimpulan verifikasi dimaksudkan sebagai proses kegiatan verifikasi yang dilakukan sejak awal penelitian baik pada saat datang ke lokasi penelitian (DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lampung Timur) selama pengumpulan data hingga proses penyusunan hasil penelitian. Data yang telah disajikan kemudian dijadikan dasar penarikan kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian ini merupakan jawaban akhir atas rumusan masalah.
46
J.
Sistematika Penulisan Dalam
penelitian
ini
peneliti
memaparkan
sistematika
penulisan
berdasarkan alur argumen berurutan dan jelas yang disesuaikan dengan kerangka utamanya yakni untuk melihat proses pelembagaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur serta korelasi dari pelembagaan PDI Perjuangan tersebut terhadap perolehan suara partai didalam pemilihan umum. Lebih jelasnya berikut sistematika bab-bab yang akan disajikan. Pada Bab I peneliti akan memaparkan berbagai macam penjelasan dalam pendahuluan yakni latar belakang masalah, selanjutnya peneliti merumuskan masalah tersebut dalam rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian yang diharapkan, peneliti juga memaparkan berbagai macam literatur review. Pada bab I ini juga peneliti menguraikan kerangka pikir teoritis, definisi konseptual, definisi operasional, dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Khusus metode penelitian: dalam metode ini akan dijelaskan jenis penelitian, unit analisa, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data. Selanjutnya dalam Bab II peneliti ini akan mendeskripsikan Sosio-Kultural Masyarakat
Kabupaten
Lampung
Timur,
dinamika
politik
lokal
serta
mendeskripsikan juga profil dari DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur dan AD dan ART Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 2010-2015. Selain itu dalam bab II ini juga akan di deskripsikan dominasi partai PDI Perjuangan dalam meraih suara pemilihan umum legislatif baik dalam pemilu tahun 2009 maupun pemilu 2014.
47
Bab berikutnya yakni Bab III, penulis akan mulai menganalisis teori pelembagaan partai politik dengan kaitannya terhadap kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuang (PDIP) di Kabupaten Lampung Timur, dengan menguji masing masing indikator maka akan terlihat bagaimana proses pelembagaan PDI Perjuangan tersebut bekerja. Bab berikutnya yakni Bab IV, Bab ini akan menganalisis korelasi antara pelembagaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kabupaten Lampung Timur dengan perolehan suara PDI Perjuangan dalam pemilihan umum terutama Pemilu 2014. Bab ini kemudian mampu memberikan gambaran yang jelas bagaimana keterkaitan antara pelembagaan suatu partai dengan tingkat dukungan elektoral partai tersebut. Bab terakhir ini adalah Bab V, Bab ini akan
menjelaskan kesimpulan
penulis terhadap hasil analisis pelembagaan PDI Perjuangan diperbandingkan dengan kemenangan partai ini. Penulis juga akan menjabarkan secara spesifik faktor yang dominan dari teori pelembagaan partai politik ini. Selain itu penulis juga akan menyimpulkan korelasi antara pelembagaan PDI Perjuangan terhadap tingkat dukungan elektoral partai tersebut.
48