BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sector terkait lainnya seperti sektor pendidikan, sektor ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan kesehatan (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2011‐ 2014. 2011). Depkes RI. (2007) menyatakan pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih dalam kandungan. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan
sampai
5
tahun
pertama
kehidupannya,
ditujukan
untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional, maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya.
1
2
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya Manusia. Penduduk sasaran program pembangunan kesehatan sangatlah beragam, sesuai dengan karakteristik kelompok umur tertentu atau didasarkan pada kondisi siklus kehidupan yang terjadi. Beberapa upaya program kesehatan memiliki sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas; sedangkan beberapa program lainnya dengan penduduk sasaran terfokus pada kelompok umur tertentu, meliputi : bayi, batita, balita, anak balita, anak usia sekolah SD, wanita usia subur, penduduk produktif, usia lanjut dan lain-lain (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2011 ‐ 2014. 2011). Sepanjang rentang kehidupannya, semenjak dari masa kehamilan sampai meninggal manusia selalu mengalami perubahan, baik perubahan dalam bentuk fisik maupun kemampuan mental psikologis. Perubahan-perubahan tersebut terus berlangsung karena terjadi pertumbuhan dan perkembangan pada dirinya. Pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupan manusia merupakan dua sisi mata uang, yang menunjukkan gambaran yang berbeda namun merupakan dua hal
3
yang tak terpisahkan, bahkan kadang kala dikacaukan pengertiannya (Herawati Mansur. 2011). Sigmund Freud cit Sunaryo (2004) dalam teori perkembangannya mengatakan bahwa anak usia 3-6 tahun termasuk dalam fase anal yaitu ditandai dengan berkembangnya kepuasan (kateksis) dan ketidakpuasan (antikateksis) disekitar fungsi eliminasi. Dengan mengeluarkan fases (buang air besar) timbul perasaan lega, nyaman dan puas. Kepuasan tersebut bersifat egosentrik yaitu anak mampu mengendalikan sendiri fungsi tubuhnya. Kebiasaan dalam mengontrol buang air besar dan buang air kecil akan menimbulkan hal-hal yang buruk pada anak di masa mendatang. Dapat menyebabkan anak tidak disiplin, manja, dan yang terpenting adalah dimana nanti pada saatnya anak akan mengalami masalah psikologis. Anak akan merasa berbeda dan tidak dapat mengontrol buang air besar dan buang air kecil (Ayi. 2012). Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional di perkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak. Fenomena ini dipicu karena banyak hal, pengetahuan yang kurang tentang cara melatih BAB dan BAK, pemakaian popok sekali pakai, hadirnya saudara baru dan masih banyak hal lainnya.
4
Melakukan toilet training memang harus melihat kesiapan anak secara fisik dan mental serta kesiapan orang tua. Namun, prosesnya juga tidak boleh terlambat dilakukan. Usia dua sampai tiga tahun harus sudah dikenalkan ke toilet, apa itu BAK dan BAB. Jika sudah lewat dari usia tiga tahun, apalagi ketika akan memasuki masa sekolah, namun belum diberi toilet training, itu akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial si kecil (Ayi. 2012). Tidak ada patokan usia kapan toilet training (TT) harus dimulai. Saat yang tepat tergantung dari perkembangan fisik dan mental anak. Anak berusia di bawah 12 bulan tidak mempunyai kontrol terhadap kandung kemih dan buang air besar, 6 bulan sesudahnya ada sedikit kontrol. Antara 18 dan 24 bulan beberapa anak sudah menunjukkan kesiapan, tetapi beberapa anak belum siap sampai usia 30 bulan atau lebih (Rini Sekartini. 2009). Menurut penelitian American Psychiatric Association dalam Medicastore. 2008, dilaporkan bahwa 10 -20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia 10 tahun, hampir 2% anak usia 12-14 tahun, dan 1% anak usia 18 tahun masih mengompol (nocturnal enuresis), dan jumlah anak laki-laki yang mengompol lebih banyak dibanding anak perempuan (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimusgdl-ekanurulaf-6681-2-bab1.pdf). Studi teranyar merekomendasikan para orang tua untuk mulai mengenalakan toilet training saat anak berusia 27-32 bulan. Anak yang baru mulai belajar menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering mengompol hingga usia sekolah. Sebaliknya, bila ibu mulai mengenalkan anak untuk pipis dan
5
buang air besar di toilet sebelum ia berusia 27 bulan justru lebih sering gagal (Kompas. 2010).
Berdasarkan data awal yang peneliti peroleh di Desa Miruk, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, diperoleh sebanyak 34 ibu yang memiliki anak usia 2-4 tahun. Dari survey awal yang dilakukan peneliti terhadap 15 orang ibu yang memiliki anak usia 2-4 tahun, 11 diantara anak-anak tersebut masih memiliki kebiasaan yang salah dalam buang air kecil dan buang air besar. Misalnya, masih mengompol di malam hari, buang air besar dan buang air kecil di celana tanpa memberitahu ibu, kurang mandiri dalam hal penggunaan toilet serta buang air besar dan buang air kecil sambil menangis.
Dari hasil pengamatan sementara peneliti, juga terlihat kurangnya pengetahuan ibu dalam hal tata cara mengaplikasikan penggunaan toilet terhadap anakanaknya, misalnya ibu membentak anaknya pada saat anak mengompol di malam hari dan buang air besar dan buang air kecil di celana, kemudian kurang tanggap terhadap anaknya pada saat anak buang air besar dan buang air kecil.
Berdasarkan uraian di atas bahwa keluarga ikut memegang peranan penting dalam merawat anggota dalam perkembangan yang bisa dicapai seorang anak terutama dalam kehidupan sehari-hari si anak. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
6
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini
dirumuskan
“Apakah
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
ibu
dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar? C.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
ibu
dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan ibu terhadap pelaksanaan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar. b. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan ibu terhadap pelaksanaan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar. c. Untuk mengetahui pengaruh kesiapan psikologis anak terhadap pelaksanaan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan Dapat menambah wawasan dan pengetahuan khusus tentang toilet training pada anak usia 2-4 tahun 2. Bagi peneliti Sebagai bahan masukan dalam penambahan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penerapan ilmu yang diperoleh. 3. Bagi Institusi Pendidikan Menambah bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan
ilmu
atau
penelitian
lebih
lanjut
bagi
yang
membutuhkannya khususnya tentang penerapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun. 4. Bagi masyarakat Memberikan masukan atau informasi kepada ibu mengenai toilet training dan perilaku yang seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam melatih toilet training pada anak usia 2-4 tahun.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Toilet Training pada anak 1. Pengertian Toilet Training (Pelatihan Buang Air) Menurut Hierarki Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia yang paling utama adalah kebutuhan fisik dan biologis. Kebutuhan ini juga berlaku pada anak, anak butuh makan, minum, menghirup udara segar, kehangatan, eliminasi baik itu buang air besar maupun buang air kecil. Kesemuanya ini akan berjalan dengan lancar jika bantuan aktif dari orang tua (Nita Nur Sugiarti. 2008). Menurut Gilbert 2003, ada banyak
hal yang menyertai pertumbuhan
seorang anak terutama dalam tiga tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung sangat pesat pada lima tahun pertama kehidupan anak. Proses ini mencakup perkembangan kemampuan kognitif dan perilaku. Seringkali dalam membesarkan anak, para orangtua terjebak dalam pola pikir untuk menyelesaikan semua pendidikan anak secepat mungkin, baik itu berbicara, berjalan, bahkan menggunakan toilet. Sebenarnya semua hal tersebut merupakan langkah perkembangan normal yang prosesnya tidak perlu terburu-buru. Menyesuaikan pemberian latihan dengan usia anak adalah hal yang wajib diperhatikan. Demikian pula dengan toilet training, di mana orangtua/pengasuh mengajarkan cara-cara buang air
9
kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) di toilet pada anak. Selain itu perlu diperhatikan teknik pelaksanaan dan sikap orang tua. Berhasil atau tidaknya fase toilet training ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari seorang anak yaitu kemampuan mengendalikan perkemihan dan pencernaan (http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0808689_chapter2.pdf). Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat. 2008). Toilet Training pada anak adalah latihan menanamkan kebiasaan pada anak untuk aktivitas buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (toilet), (Bunda edisi 256. 2011). Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol hajatnya apakah itu saat ia ingin buang air kecil atau buang air besar, Selain itu anak diharapkan mampu BAK dan BAB di tempat yang telah ditentukan (Bunda edisi 256. 2011). Toilet training adalah upaya pelatihan kontrol buang air kecil dan buang air besar anak yang masing masing dilakukan oleh sistem perkemihan dan defekasi http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23318/4/Chapter%20II.pdf).
10
Seseorang mungkin berharap anak segera dapat dilatih untuk melakukan toilet training. Namun, tak ada patokan waktu yang pasti kapan hal itu sebaiknya dimulai, apakah di musim semi atau di musim panas, walaupun itu dianggap ideal. Patokan utamanya adalah kesiapan fisik dan mental anak. Umumnya, pada anak yang normal mereka akan siap pada usia 18-30 bulan, atau bahkan pada usia lebih dari itu (Vicki Lansky. 2006). Peter Stavinoha, penulis buku Stress-Free Potty Training, mengatakan bahwa usia tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan kapan anak harus mulai diajarkan menggunakan toilet. "Meski rata-rata anak sudah bisa diajarkan di usia 2, 5 tahun tapi tidak semua anak sama. Kuncinya adalah saat perkembangan fisik, emosi, dan psikologis anak siap” (Kompas. 2010). Beberapa tanda yang penting pada anak adalah: pola buang air yang lebih jarang sehingga anak bisa memakai popok kering lebih lama (sekitar beberapa jam), kemampuan anak untuk mengerti perintah dan penjelasan sederhana, keinginan untuk menirukan kebiasaan rutin orang dewasa di kamar mandi, saat anak mulai suka terhadap kerapian dan tidak suka saat merasa dirinya basah atau kotor. Yang perlu di ingat oleh seorang ibu adalah jika ia memaksa, hal yang akan terjadi adalah adegan kejar-kajaran dengan si kecil (Vicki Lansky. 2006). Jika anak tidak merespon atau menunjukkan minat, atau jika ibu akhirnya berdebat karena keinginannya berbeda, tundalah seluruh upaya ini sampai beberapa minggu atau bulan. Sikap seorang ibu sebaiknya tenang dan jangan
11
terlalu banyak memperhatikan anjuran teman atau kerabat (Vicki Lansky. 2006). Masalah lainnya ialah masalah mengompol (buang air kecil yang tidak terkontrol) di malam hari sering membuat anak maupun orang tua putus asa. Umumnya hal ini lebih sering dialami anak laki-laki, dan bisa berlanjut hingga usia prasekolah, atau bahkan lebih. Sebaiknya ibu minta dokter memeriksa apakah tidak ada penyebab fisik lain. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa mengompol dapat dikaitkan dengan reaksi alergi terhadap susu . Atau, bisa saja mengompol terjadi karena anak tertidur dengan sangat lelap sehingga tidak membaca tanda-tanda yang diberikan oleh tubuhnya (Vicki Lansky. 2006). Hal ini dapat ditunjukan anak mampu duduk atau berdiri sehingga memudahkan anak untuk dilatih buang air besar dan kecil, demikian juga kesiapan psikologis di mana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar atau kecil. Persiapan intelektual pada anak juga dapat membantu dalam proses buang air besar dan kecil. Hal ini ditunjukkan apabila anak memahami arti buang air besar atau kecil sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat mengetahi kapan saatnya harus buang air kecil dan kapan saatnya harus buang air besar, kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai kemandirian dalam mengontrol khususnya buang air kecil dan buang air besar (toilet
12
training). Pelaksanaan toilet training dapat dimulai sejak dini untuk melatih respon terhadap kemampuan untuk buang air kecil dan buang air besar. Keberhasilan toilet training tergantung pada cara pengajaran bertahap yang sesuai dengan anak anda. Ibu harus mendukung usaha anak anda. Jangan menginginkan hasil yang terlalu cepat. Berikan anak pelukan dan pujian jika mereka berhasil. Bila terjadi kesalahan jangan mamarahi atau membuat mereka sedih. Hukuman akan membuat mereka merasa bersalah dan membuat toilet training menjadi lebih lama (Bunda Edisi 256. 2011). 2. Tahapan toilet training Pengaturan buang air besar dan berkemih diperlukan untuk keterampilan sosial, mengajarkan toilet training (TT) membutuhkan waktu, pengertian dan kesabaran. Hal terpenting untuk diingat adalah bahwa anda tidak dapat memaksakan anak untuk menggunakan toilet. The American Academy of Pediatrics telah mengembangkan brosur ini untuk membantu anak anda melewati tahap penting perkembangan sosial (Rini Sekartini. 2009). Pelatihan buang air besar biasanya mulai dilakukan pada saat anak berumur 2-3 tahun, sedangkan pelatihan buang air kecil dilakukan pada umur 3-4 tahun. Pada umur 5 tahun, kebanyakan anak sudah dapat melakukan buang air besar sendiri; melepas pakaian dalamnya sendiri, membersihkan dan mengeringkan penis, vulva maupun anusnya sendiri serta kembali memakai pakaian dalamnya sendiri.
13
Toilet training memang perlu diajarkan sejak dini pada anak. Tetapi kebanyakan ibu tidak menunggu sampai sang anak menunjukkan ia ingin pergi ke toilet sendiri karena takut anaknya tidak akan pernah belajar. Melatih toilet training juga dapat membantu meringankan beban ibu di saat-saat harus menggantikan pampersnya yang sudah kotor. Walau bagaimanapun, sedari dini anak harus diajarkan toilet training agar melatihnya lebih mandiri (Nita Nur Sugiarti. 2008). Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet training pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk kedalam WC anak akan lebih cepat beradaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air (Nita Nur Sugiarti. 2008). Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari, terutama 20 menit setelah bangun tidur dan selesai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum melakukan dengan baik (Nita Nur Sugiarti. 2008).
14
Ibu mungkin berharap anak segera dapat dilatih untuk melakukan toilet training. Namun, tak ada patokan waktu yang pasti kapan hal itu sebaiknya dimulai, apakah dimusim semi atau dimusim panas, walaupun itu dianggap ideal. Patokan utamanya adalah kesiapan fisik dan mental anak (Nita Nur Sugiarti. 2008). Prinsip dalam melakukan toilet training ada 2 langkah yaitu melihat kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri: a. Melihat kesiapan anak Mengajari cara buang air besar yang paling mudah pada anak adalah ketika anak siap melaksanakan tahapan ini dan ia mampu bekerja sama. Memulai sebelum anak siap hanya akan mengundang masalah dan sering menyebabkan kecelakaan dalam pemakaian kamar kecil (Hidayat. 2008). b. Persiapan dan perencanaan Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal ini yang perlu diperhatikan yaitu dengan menggunakan istilah yang mudah di mengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air. Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada anak sebab anak-anak cepat meniru tingkah laku orang tua. Orang tuanya hendaknya segera mungkin mengganti celana anak bila basah karena enkopresis atau terkena kotoran, sehingga anak merasa risih bila menggunakan celana yang basah dan kotor. Meminta padanya untuk memberitahu atau menunjukkan bahasa tubuhnya apabila ia ingin buang air dan bila anak mampu mengendalikan
15
dorongan buang air maka jangan lupa berikan pujian pada anak (Farida. 2008). Latihan miksi biasanya dicapai sebelum defekasi karena ini merupakan aktivitas regular yang dapat diduga. Sementara, defekasi merupakan suatu sensasi yang lebih besar dari pada miksi, yang dapat menimbulkan perhatian si anak (Nursalam. Et All. 2005). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training a. Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis termasuk didalamnya adalah belajar (Sudarajat, 2008). b. Pendidikan Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada saat melatih secara dini penerapan toilet training. Menurut
Bloom
(1908),
untuk
kepentingan
pendidikan
praktis,
dikembangkan manusia dalam tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik atau tindakan (practice). Mulai 4 dari pengetahuan ibu tentang apa itu toilet training, bagaimana cara toilet
16
training serta apa saja yang dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu mengetahui tentang toilet training, ibu harus mempersiapkan diri serta balita untuk latihan toilet training, diharapkan setelah ibu memahami dan mempersiapkan diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan apa yang telah diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Notoatmodjo. 2010). Memang suatu tugas yang besar pada anak adalah toilet training atau pendidikan menjadi ceri/bersih. Control volunteer dari spingter ani dan uretha dicapai pada waktu anak dapat berjalan dan biasanya terjadi antara usia 18-24 bulan (bagi anak yang normal tanpa keterbelakangna mental). Namun, factor kesiapan psikologis sangat berpengaruh pada kesiapan toilet training (Nursalam, et All. 2005). Keberhasilan toilet training tergantung pada: persiapan fisik, persiapan psikologis, persiapan intelektual (Apriyani Puji Hastuti, 2012)
1) Kesiapan Fisik Indikator anak kesiapan fisik: anak mampu duduk atau berdiri. Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air kecil dan buang air besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus mandapat perhatian karena kemampuan untuk
17
buang air besar ini lancar dan tidaknya dapat dilihat dari kesiapan fisik sehingga ketika anak berkeinginan untuk buang air kecil dan buang air besar sudah mampu dan siap untu melakukannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang air besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol setelah tidur (Apriyani Puji Hastuti, 2012) 2) Kesiapan Psikologis Indikator kesiapan psikologis: adanya rasa nyaman sehingga anak mampu mengotrol dan konsentrasi dalam merangsang BAK dan BAB. Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil dan buang air besar seperti anak tidak rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu buang air besar atau buang air kecil, ekspresi wajah menunjukan kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan sudah mau ke toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa rewel atau meninggalkannya, adanya keinginantahuan kebiasaan toilet training pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orangtuanya (Apriyani Puji Hastuti, 2012) 3) Kesiapan intelektual Indiklator kesiapan intelektual: anak paham arti BAK atau BAB memudahkan pengontrolan anak dapat mengetahui kapan saatnya harus BAB & BAK anak memiliki kemandirian dalam mengontrol BAB & BAK. Pengkajian intelektual pada latihan buang air kecil dan buang air besar antara lain kemampuan anak untuk
mengerti
buang
air
kecil
dan
buang
air
besar,
kemampuan
18
mengkomunikasikan buang air kecil dan buang air besar, anak menyadari timbulnya buang air kecil dan buang air besar, mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru prilaku yang tepat seperti buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan buang air besar (Apriyani Puji Hastuti, 2012). Dalam melakukan pengkajian kebutuhan buang air kecil dan buang air besar, terdapat beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training, diantaranya: hindari pemakain popok sekali pakai dimana anak akan merasa aman, ajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan buang air besar, mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci muka saat bangun tidur, cuci muka, cuci kaki, dan lain-lain (Apriyani Puji Hastuti, 2012)
4. Cara melatih toilet training pada anak a. Tehnik lisan Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil dan buang air besar. Cara ini benar dilakukan oleh orang tua dan mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan buang air besar. Dimana kesiapan psikologis anak akan semakin matang sehingga
19
anak mampu melakukan buang air kecil dan buang air besar (Warta warga, 2009). Tehnik ini dimana orang tua mengucapkan apa-apa yang ada dalam pikirannya sendiri, dalam paralel-talk orang tua berperan memverbalkan apa apa yang mungkin sedang dipikirkan dan dirasakan anak. Dalam hal ini butuh latihan dan kecermatan orang tua untuk membaca keinginan dan perasaan anak (Tsurakarta, 2009). b. Teknik modeling Usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar dengan cara memberikan contoh dan anak menirukannya. Cara ini juga dapat dilakukan dengan membiasakan anak buang air kecil dan buang air besar dengan cara mengajaknya ke toilet dan memberikan pispot dalam keadaan yang aman. Namun dalam memberikan contoh orang tua harus melakukannya secara benar dan mengobservasi waktu memberikan contoh toilet training dan memberikan pujian saat anak berhasil dan tidak memarahi saat anak gagal dalam melakukan toilet training (Warta Warga, 2009). Dalam terapi bahasa, keterlibatan orang tua sangat mutlak. Karena itu sebaiknya terapis melibatkan orang tua sejak proses observasi awal, pembuatan program dan pada tahap terapi. Orang tua tidak harus selalu hadir diruang terapi, cukup dengan beberapa kali mengajak orang tua
20
mengamati proses terapi dan kemudian melanjutkan model yang sama dirumah (Tsurakarta, 2009). B. Manfaat Toilet Training Dalam Warta Warga (2007), tujuan dari pengajaran toilet training adalah mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginannya BAB atau BAK. Hal ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak di mana ia dituntut secara sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK pada tempatnya,
yaitu
toilet
(http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0808689_chapter2.pdf).
1. Kemandirian Toilet Training juga dapat menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata sebab anak sudah bisa untuk melakukan hal-hal yang kecil seperti buang air kecil dan buang air besar (Bunda edisi 256, 2011).
2. Mengetahui bagian-bagian tubuh dan fungsinya Toilet Training bermanfaat pada anak sebab anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh serta fungsinya (anatomi) tubuhnya. Dalam proses toilet training terjadi pergantian impuls atau rangsangan dan instink anak dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar (Bunda edisi 256, 2011). C. Dampak toilet training
21
Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentive di mana anak cenderung bersikap keras kepala. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air atau melarang anak saat berpergian. D. Konsep Pengetahuan 1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Terjadinya pengetahuan adalah setelah seseorang
melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran, yakni mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo. 2010). Ahmadi (2003) mengatakan pengetahuan adalah kesan dalam pemikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan-penerangan yang keliru. Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat erat hubunganya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi
22
perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu positif dan negative. Kedua aspek ilmiah yang pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang tentang suatu objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Melalui pengalaman dan penelitian diketahui
bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkap bahwa sebelum terjadi Adopsi perilaku, di dalam diri sesorang secara berurutan terjadi proses sebagai berikut: a) Awareness (kesadaran) yaitu proses menyadari dalam arti mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu. b) interest, yakni seseorang mulai tertarik terhadap stimulus c) Evaluation (evaluasi) yaitu proses menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik. d) Trial, yaitu orang mulai mencoba melakukan sebuah perilaku baru e) Adoption,
subjek
pengetahuan,
telah
kesadaran,
(Notoatmodjo. 2007).
berperilaku dan
baru
sikapnya
sesuai
terhadap
dengan stimulus
23
Namun demikian, penelitian selanjutnya membuktikan bahwa tidak seluruh tahap dilewati dalam pencapaian adopsi. Apabila penerimaan adopsi sebuah perilaku didasari oleh adanya pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif maka hal tersebut akan menyebabkan perilaku yang langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007). 2. Jenis-Jenis Pengetahuan Pengetahuan seseorang berbeda-beda. Secara garis besar pengetahuan dalam domain kognitif memiliki enam tingkatan yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai pengingatan (recall) terhadap sebuah materi yang sebelumnya sudah dipelajari. Termasuk dalam tingkat ini adalah kemampuan untuk recall atau mengingat kembali sesuatu hal spesifik dari pelajaran terdahulu. Pengukuran tercapainya kualitas pengetahuan ini adalah dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Misalnya, tahu bahwa buah tomat banya mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Agepti, dan sebagainya. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaanpertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC, bagaimana cara melakukan pemberantasan sarang nyamuk, dan sebagainya (Notoatmodjo. 2010).
24
b. Memahami (comprehension) Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi, maka harus bisa menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya, terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang perencanaan proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja. Orang yang telah paham metodologi peneletian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di mana saja (Notoatmodjo, 2010). d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam sebuah struktur pengorganisasian, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
25
menggambarkan,
membedakan,
memisahkan,
mengelompokkan,
dan
sebagainya. Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungakan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu hal baru dari hal-hal yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada (Notoatmodjo, 2010). f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang
26
telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilaksanakan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2010).
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut
Notoatmodjo
(2007),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan ada 6 yaitu : a. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar dan madrasah ibtidayah atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama dan madrasah sanawiyah atau bentuk lain sederajat, pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan tinggi terdiri dari diploma, sarjana, magister, spesialis dan dokter yang di selengarakan perguruan tinggi (Sisdiknas, 2003). b. Media / informasi. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi
27
akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media masa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Hidayat, 2007). Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan rendah, tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media dapat meningkatkan pengetahuan seseorang (Hidayat, 2007). Pengetahuan seseorang tidak secara mutlak dipengaruhi oleh pendidikan karena pengetahuan dapat juga diperoleh dari pengalaman masa lalu, namun tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami informasi yang diterima yang kemudian menjadi dipahami. c. Sosial budaya dan ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan
28
untuk kegiatan tertentu,
sehingga
status sosial ekonomi
ini akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang. d. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. e. Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerja. Semua pengalaman pribadi dapat
merupakan sumber
kebenaran
pengetahuan, namun perlu diperhatikan disini bahwa tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar, diperlukan berpikir kritis dan logis (Notoadmodjo, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengetahuan diantaranya adalah pengalaman, semakin banyak seseorang mendengar, melihat dan
29
melakukan tindakan maka semakin bertambah pengetahuan tentang subjek tersebut (Taufik, 2007). f. Usia Mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya. Menurut teori Notoadmodjo (2007), mengemukakan bahwa makin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu memang daya ingat seseorang dipengaruhi oleh umur. Bertambahnya umur seseorang
dapat
berpengaruh
pada
pertambahan
pengetahuan
yang
diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. Pengetahuan sebagai bagian dari perilaku kesehatan, dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: a. Faktor predisposisi (predisposing factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat, tradisi dan kepercyaan masyarakat, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya menjaga kesehatan ibu hamil, diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat. Di samping itu, kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong dan menghambat perilaku. Faktor-faktor ini terutama yang positif dapat
30
mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering pula disebut dengan faktor pemudah.
b. Faktor pemungkin (enabling factor) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk tercapainya perilaku, misalnya perilaku kesehatan masyarakat. Contohnya adalah ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk pula di dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis. Untuk berperilaku sehat, masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana mendukung yang memadai. Seseorang yang melakukan perilaku sehat bukan hanya karena kesadaran dan pengetahuan, melainkan juga karena ketersediaan fasilitas. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin pemudah. c. Faktor penguat (reinforcing factor) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas, termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang, peraturan, baik dari pusat maupun dari perda. Selain kesadaran dan pengetahuan yang didukung oleh fasilitas yang memadai, seseorang dalam berperilaku juga membutuhkan perilaku contoh (acuan) dari tokoh-tokoh.
Selain itu peraturan dan undang-undang juga
31
memperkuat keberadaan suatu perilaku.Oleh sebab itu, intervensi pendidikan hendaknya dimulai dengan memperhitungkan ketiga faktor tersebut, kemudian intervensinya diarahkan pula pada ketiga faktor tersebut. Pendekatan ini disebut dengan model Precede, yaitu predisposing, reinforcing, and enabling cause in educational diagnosis and evaluation (Notoatmodjo. 2010). E. Pendidikan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya, pendidikan meliputi SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi (Notoatmodjo. 2005). Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses paparan/materi pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan tingkah laku/tujuan pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan sikap, kepercayaan, keterampilan aspek-aspek kelakuan lainnya. Setiap individu pada umumnya menginginkan pendidikan makin banyak dan makin tinggi pendidikan seseorang maka makin baik tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo. 2005). Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, system pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
32
mangembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bansa dan negara. Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memehami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang agar lebih tanggap adanya masalh perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya. Adapun tujuan pendidikan menurut Notoatmodjo (2005) adalah suatu upaya untuk menanamkan pengetahuan atau pengertian pendapat dan konsep-konsep, persepsi serta menanamkan tingkah laku. Kebiasaan yang baru semakin tinggi dan semakin formal tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang semakin besar pula kegiatan yang bersifat intelek yang dilakukan seperti halnya dalam memilih tempat pemerikasaan kehamilan untuk mendapatkan pelayanan pada ibu hamil. Jangka pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan adalah jenjang pendidikan terdiri dari pendidikan ini merupakan pendidikan awal selama 9 tahun pertama maka sekolah anak-anak yaitu menengah. Pendidikan menengah merupakan lenjutan pendidikan dasar, diakhiri masa pendidikan SMP, para siswa harus mengikuti dan lulus ujian nasional untuk dapat melanjutkan pendidikan ke SMA. Pendidikan menengah ke atas merupakan lanjutan dari pendidikan menengah pertama. Pendidikan
33
perguruan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah atas dengan pengetahuan dan perubahan sifat yang semakin bertambah dewasa (Wordpress. Com/2008). F.
Kesiapan psikologis anak Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia. Atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial dan lingkungan (Abu Ahmadi. 2009). Psikologi kognitif ialah suatu ilmu yang mempelajari proses-proses membentuk gagasan, menyelesaikan beragam masalah dan membuat keputusan (Laura A. king. 2010). Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu pada usia 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap mencelakakan dirinya (berbahaya), (Herawati. 2011) Karena manusia pertama-tama tergantung sekali pada orang lain, maka penting sekali peranan orang tersebut misalkan ibu, terhadap perkembangan kepribadian anak. Pengaruh orang tua dan lingkungan masa kanak-kanak itu tidak berhenti dimasa kanak-kanak saja, tetapi berlangsung terus, kadang-kadang
34
sampai seumur hidup, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman-pengalaman yang menegangkan, menakutkan, mengoncangkan, membahayakan dan lain-lain (Sarwono. 2003). Pada usia 2-3 tahun seorang anak mulai melihat kemampuan-kemampuan tertentu pada dirinya. Sikap terhadap orang tua mulai berubah. Disatu pihak masih membutuhkan orang tua, dilain pihak rasa keakuannya mulai tumbuh dan ia ingin mengikuti kehendak-kehendaknya sendiri (sarwono.2003). Menurut Hurlock tahun 1980, buang air yang terkendali atau terlatih merupakan keterampilan fisik dan motorik yang harus dicapai oleh bayi. Kemampuan untuk mengendalikan buang air ini sangat bergantung pada kematangan otot dan motivasi yang dimiliki. Ketika baru lahir bayi belum mampu mengendalikan buang airnya, sehingga buang air dilakukan setiap saat. Pada usia 4 bulan, interval buang airnya sudah dapat diramalkan (Herawati. 2011). Pengendalian buang air besar rata-rata dimulai pada usia 6 bulan, dan kebiasaan pengendalian buang air besar baru terbentuk pada akhir masa bayi. Sedangkan pengendalian buang air kecil dimulai pada usia 15 hingga 16 bulan, namun sampai akhir masa bayi pengendalian buang air kecil ini belum sempurna (Herawati. 2011). Seorang psikolog perkembangan mengatakan, kalau bayi tidak merasa mengompol karena selalu pakai pospak, ia jadi kehilangan kesempatan belajar kenal tanda-tanda mau buang air kecil (BAK) dan keinginan untuk mengendalikannya hingga tiba di tempat yang semestinya, yakni toilet. Kita sama-
35
sama tahu, bayi mungil belum memiliki kemampuan mengontrol pembuangannya, baik BAK maupun BAB (http://www.infospesial.net/6303/5-manfaat-ngompolpada-anak/) Kemampuan mengontrol buang air besar (BAB), rata-rata dimulai pada usia 6 bulan. Sedangkan kemampuan mengontrol BAK berkisar antara 15-16 bulan. Umumnya bayi yang berusia kurang dari 6 bulan akan BAK setiap 1-2 jam sekali. Memasuki usia 6 bulan ke atas, frekuensi tersebut mulai berkurang. Sayangnya, tak semua orangtua menyadari bahwa mengompol pada bayi memberikan banyak manfaat untuk tumbuh kembangnya kelak. http://www.infospesial.net/6303/5manfaat-ngompol-pada-anak/). Tak perlu khawatir bahwa mengompol akan mengganggu tidur si bayi, karena umumnya setelah diganti popok dan alasnya, ia akan tertidur kembali. Pada masa tidur itulah tubuhnya aktif memperbaiki sel-sel otak yang rusak dan memproduksi sekitar 75% hormon pertumbuhan. Namun patut diingat, umumnya bayi tidak memiliki masalah tidur, ia bisa cepat tertidur pulas kembali setelah ngompol (http://www.infospesial.net/6303/5-manfaat-ngompol-pada-anak/). Menurut psikolog Ivonne Edr SPsi, kepala divisi TPA Ubaya, saat yang tepat untuk memulai toilet training adalah ketika anak dan orang tua sama-sama siap. ”Anak mulai bisa mengenali bahwa popok atau celananya basah atau kotor serta bisa mengeluarkan kata-kata sederhana seperti ’Ma, pipis’ . Sementara itu, bunda juga sedang tidak terikat dengan komitmen lain sehingga bisa fokus,” paparnya (Jawa Pos. 2012).
36
Memasuki usia 18 bulan, pada umumnya si kecil sudah mampu berjalan untuk menuju ke toilet, tentunya dengan pengawasan orang tua. Pada usia tersebut, dia juga mulai bisa mengenali ada rasa basah yang tidak nyaman di tubuhnya. Selain melihat kesiapan fisiknya, perhatikan juga kesiapan mental atau psikologis si anak. Sebab, seorang anak yang sudah siap secara fisik belum tentu siap meninggalkan kenyamanan popoknya (Jawa Pos. 2012). Tahap awal, biasanya anak menunjukkan reaksi fisik atau tanda-tanda saat ada tekanan dari dalam tubuhnya. ”Tanda-tanda yang diperlihatkan setiap anak bisa jadi berbeda. Ortu harus peka mengenali ketika anak mengejan, meremas celananya, menyilangkan kaki, mundur ke pojok, atau bersembunyi. Tandanya dia akan BAK atau BAB,” urai Ivonne (Jawa Pos. 2012). Adapun Faktor-faktor yang mendukung Toilet Training pada anak:
a. Kesiapan Fisik 1. Usia telah mencapai 18-24 bulan 2. Dapat jongkok kurang dari 2 jam 3. Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan berjalan 4. Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana dan pakaian b. Kesiapan Mental 1.
Mengenal rasa ingin berkemih dan devekasi
2.
Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin berkemih.
37
3.
Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru perilaku orang lain
c. Kesiapan Psikologis 1.
Dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa berdiri dulu
2.
Mempunyai rasa ingin tahu dan penasaran terhadap kebiasaan orang dewasa dalam BAK dan BAB
3.
Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat dicelana dan ingin segera diganti
d. Kesiapan Anak 1.
Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan devekasi
2.
Ada keinginan untuk meluangkan waktu untuk latihan berkemih dan devekasi pada anaknya
3.
Tidak mengalami koflik tertentu atau stress keluarga yang berarti (Perceraian), (Warta Warga. 2009).
G. Kerangka Teori Menurut teori Hidayat yaitu: 1. Dukungan keluarga 2. Kemandirian anak 3.
Kesiapan anak
38
a. Kesiapan fisik b. Psikologis c. Intelektual
Menurut teori Henry yaitu: Ibu dalam
1. Pengetahuan
mengaplikasikan kesiapan Toilet Training
Menurut teori Notoatmodjo yaitu: 1. Pendidikan 2. Pengalaman
Gambar 2.1. kerangka Teori
pada anak usia 2-4 Tahun
39
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
H. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini dibuat berdasarkan teori menurut Henry (2008) yaitu: pengetahuan Toilet training sangat penting dimiliki oleh seorang ibu. Sedangkan menurut Hidayat (2005) yang menyatakan bahwa kehidupan anak juga sangat di tentukan dari keberadaanya bentuk dukungan dari keluarga, ketika masuk fase kemandirian anak dan kesiapan anak. Berdasarkan uraian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini : Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan Ibu
Ibu dalam mengaplikasikan kesiapan Toilet Training pada anak usia 2-4 Tahun
Pendidikan Ibu
Kesiapan psikologis anak
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
40
I. Definisi Operasional Variable Penelitian
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
- Ada
Ordinal
Variabel Dependen Kesiapan ibu
Latihan
Membagikan
dalam
penggunaan
kuesioner
mengaplikasikan
toilet untuk
kepada ibu yang
toilet training
mengontrol
memiliki
pada anak usia 2-
BAB dan
usia 2-4 tahun
4 tahun
BAK
Kuesioner
- Tidak Ada
anak
Variabel Independen Pengetahuan Ibu
Pemahaman
Membagikan
Kuesioner
ibu tentang
kuesioner
x > 12
cara mengajari
kepada ibu yang
- Sedang bila
toilet training
memiliki
x = 8-12
dengan benar
usia 2-4 tahun
anak
x<8
Pendidikan
Membagikan
formal yang
kuesioner
- Menengah
telah
kepada ibu yang
- Dasar
diselesaikan
memiliki
ibu
usia 2-4 tahun
Kesiapan
Adanya rasa
Membagikan
psikologis Anak
ingin tahu
kuesioner
≥4
anak dan rasa
kepada ibu yang
- Tidak Ada
nyaman dalam
memiliki
bila x < 4
mengontrol
usia 2-4 tahun
Kuesioner
Kuesioner
anak
Tabel 3.1 Definisi Operasional Hipotesa Penelitian
- Tinggi
Ordinal
anak
BAB & BAK
J.
Ordinal
- Rendah bila
pada anak Pendidikan Ibu
- Tinggi bila
- Ada bila x
Ordinal
41
1. Ha : Ada pengaruh antara pengetahuan ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar. 2. Ha : Ada pengaruh antara pendidikan ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar. 3. Ha
:
Ada
pengaruh
antara
kesiapan
psikologis
anak
dalam
mengaplikasikan kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.
42
BAB IV METODE PENELITIAN
K. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yang bersifat analitik yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama mencari faktor-faktor pengaruh dengan pendekatan cross sectional (Notoatmodjo, 2005). Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui fakfor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk kec. Krueng barona jaya, kab. Aceh besar. L.
Populasi Dan Sampel a. Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto. 2010). Berdasarkan pendapat di atas maka yang akan menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak dengan usia 2-4 tahun yang berada atau tinggal di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah sebanyak 37 orang.
43
b. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil dari polpulasi yang diteliti (Arikunto. 2010). Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental sampling, dimana semua ibu yang memiliki anak dengan usia 2-4 tahun yang berada atau tinggal di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah sebanyak 37 orang pada saat penelitian dilakukan. M. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian akan dilaksanakan di desa Miruk, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar tahun 2013. b. Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 20-29 Juli 2013. N. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian: 1. Bagian 1 terdiri dari data identitas umum dari responden 2. Bagian 2 terdiri dari 1 pertanyaan tentang pelaksanaan (aplikasi) toilet training 3. Bagian 3 terdiri dari 16 pertanyaan mengenai pengetahuan ibu tentang toilet training. 4. Bagian 4 terdiri dari 1 pertanyaan tentang pendidikan yang telah ditempuh ibu secara formal.
44
5. Bagian 5 terdiri dari pertanyaan mengenai kesiapan psikologis anak dalam aplikasi toilet training. O. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu dengan membagikan kuesioner kepada ibu yang mempunyai anak usia 2-4 tahun. Untuk menghindari kesalahan teknis dalam memberikan jawaban, peneliti memberi penjelasan tentang petunjuk dalam pengisian kuesioner. Data sekunder di dapat dari Bidan Desa setempat.
P. Instrumen Penelitian Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner atau angket merupakan pertanyaan tertulis yang diajukan kepada responden. Kemudian jawaban diisi oleh responden sesuai dengan daftar isian yang diterima (Eko Budiarto. 2001). Instrumen penelitian dengan menggunakan penyebaran kuesioner yang di dalamnya berisi 25 pertanyaan yang terdiri dari, ada tidaknya aplikasi toilet training pada anak sebanyak 1 pertanyaan, pengetahuan ibu sebanyak 16 pertanyaan, pendidikan ibu sebanyak 1 pertanyaan, kesiapan psikologis anak sebanyak 7 pertanyaan. Q. Metode Pengolahan data dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan baik dan benar (Eko Budiarto. 2001).
45
Setelah data terkumpul melalui angket atau kuisioner maka dapat dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a. Seleksi Data (Editing) Dimana peneliti akan melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam penelitian. b. Pemberian Kode (Coding) Peneliti memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data. c. Pengelompokan Data (Tabulating) Pada
tahap
ini
jawaban-jawaban
responden
yang
sama
dikelompokan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel. 2. Analisa Data a. Analisa Univariat Analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik sederhana dalam bentuk bivariat, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun. berikut:
Penilaian hasil ukur yang digunakan adalah sebagai
46
Menurut Budiarto, 2001 untuk menentukan nilai mean ( x ) dengan menggunakan rumus: Mean x n
x
Keterangan:
x
n
= rata-rata (mean) x = Jumlah data = Jumlah responden
Sehingga untuk pengetahuan dapat di kategorikan (Notoatmodjo, 2003): Tinggi bila
:×≥ ̅
Rendah bila
: ×< ̅
Sedangkan analisa data dalam penelitian ini akan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dengan rumus (Budiarto, 2001): P =f/n x 100 % Keterangan : P = Persentase f = Frekuensi jawaban sampel N= Jumlah responden
b. Analisa Bivariat
47
Analisa Bivariat merupakan analisa hasil dari variabel bebas diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat. Analisa yang digunakan adalah hasil tabulasi silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa statistic dengan uji Chi - Square Tes (x) pada tingkat kemaknaan 95% (p. Value < 0,05). Sehingga dapat diketahui perbedaan tidaknya yang bermakna secara statistic, dengan menggunakan program khusus SPSS for windows. Melalui perhitungan Chis – Square selanjutnya ditarik suatu kesimpulan, bila nilai P lebih kecil dari nilai
(0,05), maka Ho ditolak
dan Ha diterima, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara variabel terikat dengan variabel bebas. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial, dengan dibantu program SPSS versi 1, 0 (Statistical Product And Service) dengan ketentuan Chi Square sebagai berikut: a. Bila tabel 2x2, dan tidak ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka uji yang dipakai sebaiknya “Continuity Correction (a)”. b. Bila tabel 2x2, dan ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka uji yang dipakai adalah “Fisher’s Exact Test”. c. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3 dan lain-lain, maka digunakan uji “Pearson Chi square” d. Sedangkan “Uji Likehood Ratio”, biasanya digunakan lebih spesifik, misalnya analisis statifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk mengetahui hubungan linear dua variabel kategori, sehingga kedua jenis ini jarang dipakai.
48
Kemudian untuk mengetahui ada tidaknya nilai E kurang dari 5 (untuk melihat ada tidaknya hubungan tiga variabel) , maka dilihat pada footnote a di bawah kotak Chi Square (Riyanto. 2010). .
49
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Miruk merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan luas wilayah ±67 hektar, yang terletak disebelah Timur Kota Banda Aceh dengan jarak ke pusat kota Provinsi NAD ±4 KM, dan jarak tempuh ke Pusekesmas ± 1 KM. Desa Miruk terbagi atas empat dusun yaitu dusun Lampoh ladeh, dusun Ujoeng krueng, dusun Ujoeng blang, dan dusun Ujoeng mesjid, dengan batasbatas wilayah : 1. Sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Lampermai dan desa Gla menasah baro 2. Sebelah selatan berbatasan dengan sungai Krueng aceh 3.
Sebelah Barat Berbatasan dengan Desa Pango
4. Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Ceurih Distribusi penduduk desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar berdasarkan jumlah penduduk adalah +1234 jiwa dan KK berjumlah 270.
50
B. Hasil Penelitan Berdasarkan pengumpulan data yang peneliti lakukan mulai dari tanggal 20 Juli sampai dengan Tanggal 29 Juli 2013 pada Ibu yang memiliki anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar tahun 2013 dengan jumlah sampel 37 orang diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Analisa Univariat a. Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan Toilet Training Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 No
Kesiapan Ibu
Frekuensi
%
1
Ada
16
43.2
2
Tidak ada
21
56.8
37
100
Total Sumber : Data primer diolah tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.1 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas berada pada kategori ibu yang tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training yaitu sebanyak 21 responden (56.8%).
51
b. Pengetahuan Ibu Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 No.
Pengetahuan
Frekuensi
%
1
Tinggi
13
35.1
2
Sedang
12
32.4
3
Rendah
12
32.4
37
100
Total
Sumber : Data primer diolah tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.2 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas berada pada kategori pengetahuan ibu tinggi dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training yaitu sebanyak 13 responden (35.1%). c. Pendidikan Ibu Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Yang Memiliki Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 No.
Pendidikan
Frekuensi
%
1
Tinggi
12
32.4
2
Menengah
14
37.8
3
Dasar
11
29.7
37
100
Total
Sumber : data primer diolah tahun 2013
52
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas berada pada kategori pendidikan menengah dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training yaitu sebanyak 14 responden (37.8%). d. Kesiapan Psikologis Anak Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kesiapan Psikologis anak terhadap Toilet Training Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 No
Kesiapan Psikologis Anak
Frekuensi
%
1
Ada
16
43.2
2
Tidak ada
21
56.8
Total
37
100
Sumber :data Primer diolah tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.4 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas berada pada kategori anak yang tidak ada kesiapan psikologis yaitu sebanyak 21 responden (56.8%).
53
2. Analisa Bivariat a. Hubungan Pengetahuan ibu dengan Kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Tabel 5.5 Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013
1
Tinggi
Kesiapan Ibu Ada Tidak ada 9 (69.2%) 4 (30.8%)
2
Sedang
5 (41.7%)
7 (58.3%)
12 (100%)
3
Rendah
2 (16.7%)
10 (83.3%)
12(100%)
Total
16 (43.2%)
21 (56.8%)
37 (100%)
No
Pengetahuan
Total 13 (100%)
Uji Statistik α P value
0.05
0.030
Sumber : data diolah tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.5 menunjukan bahwa dari 13 responden yang memiliki pengetahuan tinggi ternyata 9 responden (69.2%) memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dari 12 responden yang memiliki pengetahuan sedang ternyata 7 responden (58.3%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 12 responden yang memiliki pengetahuan rendah ternyata 10 responden (83.3%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training.
54
Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square test diperoleh nilai p value = 0.030 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan ada pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima). b. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan Toilet Training Tabel 5.6 Hubungan Pendidikan Ibu Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013
1
Tinggi
Kesiapan Ibu Ada Tidak ada 10 (83.3%) 2 (16.7%)
2
Menengah
5 (35.7%)
9 (64.3%)
14 (100%)
3
Dasar
1 (9.1%)
10 (90.9%)
11 (100%)
Total
16 (43.2%)
21 (56.8%)
37 (100%)
No
Pendidikan
Total 12 (100%)
Uji Statistik α P value
0.05
0.001
Sumber : data diolah tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.6 menunjukan bahwa dari 12 responden yang berpendidikan tinggi ternyata 10 responden (83.3%) memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dari 14 responden yang berpendidikan menengah ternyata 9 responden (64.3%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 11 responden yang berpendidikan rendah ternyata 10
55
responden (90.9%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training. Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square Test diperoleh nilai p value = 0.001 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan ada pengaruh antara pendidikan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima). c. Hubungan Kesiapan Psikologis Anak dengan Kesiapan Ibu Tabel 5.7 Hubungan Kesiapan Psikologis Anak Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013
1
Kesiapan psikologis anak Ada
Kesiapan Ibu Ada Tidak ada 11 (68.8%) 5 (31.3%)
16 (100%)
2
Tidak ada
5 (23.8%)
16 (76.2%)
21 (100%)
Total
16 (43.2%)
21 (56.8%)
37 (100%)
No
Total
Uji Statistik α P value 0.05
0.016
Sumber : data diolah tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.7 menunjukan bahwa dari 16 responden yang anaknya memiliki kesiapan psikologis ternyata 11 responden (68.8%), memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 21 responden yang anaknya tidak memiliki kesiapan psikologis ternyata 16 responden (76.2%), tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training.
56
Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square Test diperoleh nilai p value = 0.016 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan ada pengaruh antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima). C. Pembahasan 1. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 13 responden yang memiliki pengetahuan tinggi ternyata 9 responden memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dari 12 responden yang memiliki pengetahuan sedang ternyata 7 responden tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 12 responden yang memiliki pengetahuan rendah ternyata 10 responden tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa semakin kurang baik pengetahuan responden maka cenderung semakin kurang baik pula kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anaknya. Penelitian diatas sesuai dengan teori Bloom (1908) yang menyatakan bahwa, untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan manusia dalam tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik atau tindakan (practice). Mulai dari pengetahuan ibu tentang apa
57
itu toilet training, bagaimana cara toilet training serta apa saja yang dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu mengetahui tentang toilet training, ibu harus mempersiapkan diri serta balita untuk latihan toilet training, diharapkan setelah ibu memahami dan mempersiapkan diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan apa yang telah diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Notoatmodjo. 2010). Menurut sarwono (2003) bahwa, Karena manusia pertama-tama tergantung sekali pada orang lain, maka penting sekali peranan orang tersebut misalkan ibu, terhadap perkembangan kepribadian anak. Maka dalam hal ini pengetahuan ibu yang baik sangat berguna terhadap kebiasaan anak sehari-hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanty (2011) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training kepada anaknya. Peneliti berasumsi bahwa dalam mengaplikasikan Toilet training pada anak usia 2-4 tahun, pengetahuan orang tua terutama ibu sangat dibutuhkan, karena dengan pengetahuan ibu yang baik, ibu dapat mempersiapkan diri dengan baik dan tepat bagi anak tersebut sehingga menghasilkan perkembangan anak yang sesuai dengan umurnya terutama dalam hal buang air besar dan kecil.
58
Selain itu, peneliti berasumsi bahwa banyak orangtua terutama ibu tidak mengerti tentang toilet training dan manfaat toilet training, dikarenakan kurangnya informasi yang didapatkan, dan mereka juga mengatakan pernah mendengar kata toilet training tapi tidak tahu bagaimana melakukannya dengan tepat. Karena itulah mereka jarang mengaplikasikan toilet training, jikalaupun ada melakukan toilet training tetapi tidak sesuai dengan prinsip, tata cara dan usia anak. 2. Hubungan
Pendidikan
Ibu
Dengan
kesiapan
ibu
dalam
Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 12 responden yang berpendidikan tinggi ternyata 10 responden memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dari 14 responden yang berpendidikan menengah ternyata 9 responden tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 11 responden yang berpendidikan rendah
ternyata
10
responden
tidak
memiliki
kesiapan
dalam
mengaplikasikan toilet training. Penelitian ini sesuai dengan teori Soekanto (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.
59
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training kepada anaknya. Peneliti berasumsi bahwa tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang agar lebih tanggap adanya masalah perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya. Peneliti juga berasumsi bahwa Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada saat melatih secara dini penerapan toilet training. 3.
Hubungan Kesiapan Psikologis Anak Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa dari 16 responden yang anaknya memiliki kesiapan psikologis ternyata 11 responden memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 21 responden yang anaknya tidak memiliki kesiapan psikologis ternyata 16 responden tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training.
60
Hasil penelitian sesuai dengan pendapat psikolog Ivonne Edr SPsi, kepala divisi TPA Ubaya yaitu, saat yang tepat untuk memulai toilet training adalah ketika anak dan orang tua sama-sama siap. Ibu juga sedang tidak terikat dengan komitmen lain sehingga bisa fokus (Jawa pos. 2012) Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori Hidayat (2006) yang menyatakan bahwa suksesnya toilet training tergantung pada diri anak dan keluarga, seperti: kesiapan fisik, psikologis dan intelektual anak. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fina Amalia (2010), dimana hasil penelitiannya menyatakan terdapat pengaruh antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anaknya. Peneliti berasumsi bahwa kesiapan psikologis anak juga turut berperan dalam penerapan toilet training, apabila psikologis anak siap maka itu akan sangat membantu ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anaknya. Peneliti juga berasumsi bahwa dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun, anak tidak hanya harus memiliki kesiapan psikologis yang baik, karena tidak selamanya anak yang memiliki kesiapan psikologis yang baik berhasil dalam hal penerapan toilet training, karena tingkat kesiapan anak tidak hanya diperoleh dari kesiapan psikologis semata, tapi juga harus dari kesiapan fisik anak, intelektual anak, pengetahuan dan pendidikan ibu. Namun, kesiapan psikologis anak yang baik juga sangat menentukan ibu dalam menerapkan toilet training.
61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari tanggal 20 Juli s/d 30 Juli 2013 di desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar tahun 2013, dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut : 1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p value = 0.030. 2. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p value = 0.001. 3. Ada hubungan antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p = 0.016.
62
B. Saran 1. Bagi Peneliti Lain Diharapkan kepada peneliti lain agar dapat melakukan penelitian yang lebih luas lagi mengenai kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak sehingga dapat menemukan berbagai permasalahan yang dapat menghambat proses toilet training pada anak. 2. Bagi Instansi Pendidikan Diharapkan KTI ini dapat menjadi informasi tambahan bagi pembaca, dan instansi sebaiknya dapat menyediakan buku bacaan yang berhubungan dengan penerapan toilet training yang lebih lengkap lagi. 3. Bagi Tenaga Kesehatan Diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lebih luas kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan toilet training yang baik pada anak dan mengajarkan kepada masyarakat bagaimana menerapkan toilet training yang tepat dan sesuai dengan prinsip, tata cara, usia anak, sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya.