BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemajuan
teknologi
informasi
mempercepat
arus
gelombang
globalisasi yang menjadikan dunia ini seolah-olah kecil dan sempit dalam ruang aktivitas hubungan individu, kelompok, negara dan antarbangsa. Globalisasi diartikan adanya kepentingan bersama dan mengabaikan batas-batas negara dan adanya kebebasan bergerak bagi modal, barang, dan jasa (Putra,1998: 4). Piliang mengatakan bahwa globalisasi tercipta sebagai akibat hadirnya secara bersamaan di dalam suatu ruang waktu yang sama, proses terintergrasi berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam sebuah sistem tunggal berskala dunia dengan sifat yang saling bertentangan satu sama lainnya secara kontradiktif yaitu adanya globalitas/lokalitas, homogenisasi/hetrogenisasi (2006: 19). Lebih lanjut Piliang mengatakan, dalam konteks ini ada kecendrungan terbentuknya unifikasi, aliansi, dan kesalingtergantungan mengakibatkan adanya homogenisasi, standarisasi, dan generalisasi sehingga tercipta dunia tanpa batas (bordeless world), masyarakat terbuka (open society), dan pasar bebas. Di sisi lain, berkembang separatisme, otonomi, dan desentralisasi, serta terjadi penganekaragaman, pengkayaan, dan pluralitas yang mengarah berkembangnya tribalisme, kedaerahan, dan sektarianisme (2006: 273). Globalisasi merupakan suatu pergerakan, tidak saja menjadikan suatu ruang yang
mendatangkan kesejahteraan umat manusia, tetapi juga sebagai
1
2
medan yang sempit mudah untuk
melakukan aktivitas. Hal tersebut sejalan
dengan konsep Appadurai, globalisasi terkait dengan pergerakan manusia (ethnoscape),
pergerakan
media
(mediascape),
pergerakan
teknologi
(technoscape), pergerakan uang (finanscape), dan pergerakan ideologi (ideoscape) (dalam Ritzer dan Douglas, 2007: 598). Kelima pergerakan yang dimaksudkan di atas secara bersama-sama terkemas dalam dunia pariwisata di Indonesia. Pariwisata sebagai pintu masuk globalisasi mengikutsertakan berbagai bentuk etnisitas, kultur, adat budaya, lokal - asing ke pusaran yang lebih lebar dan luas, berinteraksi dengan yang lainnya, sehingga berakibat pada suatu perubahan (Picard,2006: 31). Dalam konteks di atas, Anthony Giddens melihat bentuk globalisasi yang sekarang sebagai intensifikasi, jejaringan relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang mempertautkan lokalitas-lokalitas di tempat yang jauh dengan cara demikian rupa sehingga kejadian-kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi bermil-mil jauhnya dan begitu juga sebaliknya (Burnett, dala Smier, 2009: 21). Sejalan dengan yang dikatakan oleh Colin Hines yang menggambarkan sebagai intensitas yang senantiasa makin meningkat dari integrasi perekonomian nasional ke ekonomi global melalui peraturan investasi dan perdagangan, dibantu kecanggihan-kecanggihan teknologi (Henes dalam Smiers, 2009: 21). Di Indonesia, Bali khususnya dalam pariwisata mengalami peristiwa global seperti yang dimaksudkan di atas, tampak pola-pola perkembangan yang kontradiktif mewarnai perubahan sosial dan kultural akhir-akhir ini. Hal tersebut sejalan dengan konsep Piotr Sztompka, kehidupan sosial dan kultural sehari-hari
3
masyarakat akhir-akhir ini memperlihatkan berbagai pengaruh yang amat kuat dari apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society) dan budaya global (global culture), sehingga mengakibatkan perubahan merangkum sistem sosial (2007: 3). Di era globalisasi usaha untuk memenuhi kebutuhan wisatawan (bisnis) yang dikembangkan menuju pasar bebas atau trans internasional dengan mengedepankan persyaratan yang digariskan oleh World Trade Organisation (WTO). World Trade Organisation (WTO) adalah
sebuah lembaga yang
mengatur masalah perdagangan dunia dengan segala peraturan dan persyaratan, termasuk penyertaan sertipikat HKI, yang anggotanya terdiri atas beberapa negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia (Sardjono, 2006: 3). Oleh Smiers mengatakan bahwa persyaratan yang digariskan oleh lembaga tersebut di atas lebih mencerminkan ideologi kapitalis dari bentuk sikap filosofi negaranegara maju dan sebagai kekuatan perangkat kontrol hukum bagi setiap kreasi artistik (2009: 92). Perdagangan global oleh kelompok kapitalis, sekaligus menyebarkan ideologi yang lebih mengedepankan konsep individual, kelompok, ekonomis, dengan petimbangan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Oleh Marx, hal tersebut dikatakan sebagai sistem kapitalis, yang membedakan kelas pengusaha disebutnya sebagai kaum borjuis, sebagai penguasaan sarana produksi dan kaum buruh (prolentar) tidak mempunyai hak milik, hanya sebagai tenaga kerja untuk bisa bertahan hidup (dalam Barker, 2006: 14).
4
Industri pariwisata sebagai salah satu ruang yang membuka celah jaringan global melalui sistem perdagangan dengan mengenakan kewajiban menyertakan persyaratan hak kekayaan intelektual (HKI) yang masuk dalam pasar global (Saidin,2004: 18). Hak kekayaan intelektual (HKI) adalah salah satu bentuk budaya global yang mengakui dan memberi perlindungan hukum pada setiap hasil karya intelektual manusia yang diciptakan atas dasar rasio dan nalar, yang memiliki nilai original/ kebaharuan (Saidin 2004: 9). Pada pokoknya, hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan hak untuk menikmati hasil kreativitas intelektual manusia secara ekonomis, dan objek yang diatur adalah karya yang timbul dari kemampuan intelektual manusia (Sudaryat Dkk, 2010:15). Beberapa bentuk hak kekayaan intelektual (HKI) meliputi: hak cipta, dan hak kekayaan industri termasuk, merk, paten, desain tata letak, desain industri, rahasia dagang dan perlindungan varietas tanaman (Massudilawe & Partners, 2008: 3). Penyertaan HKI dalam pasar global telah diundangkan oleh setiap negara anggota WTO, termasuk Indonesia meratifikasi, UU N0.7 Tahun 1994, dengan konsekuensinya harus menyepakati, dan melaksanakan. Hak cipta diatur dalam UU HKI, Nomor 19 Tahun 2002, dan sebagai hasil revisi/harmonisasi dari tahun 1997, 1987, dan 1982. (Masusudilawe, 2008: 1). Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra (Sudaryat Dkk,2010: 21). Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya (Undang-Undang HAKI, 2008: 2).
5
Pelaksanaan undang-undang hak cipta di Indonesia menjadi sebuah dilema oleh
karena
konsep
kehidupan
masyarakatnya
lebih
mengedepankan
kebersamaan, kolektif, dan berideologi sosial religius. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, masyarakatnya ada kecendrungan merasa bangga hasil ciptaanya ditiru oleh orang lain. Hal tersebut kontraproduktif sekaligus menjadi tantangan dalam pelaksanaa hak cipta di masyarakat. Secara normatif hak kekayaan intelektual (HKI) bidang hak cipta, memberikan kebaikan, hasil cipta terlindungi, mensejahterakan kehidupan pengusaha dan menumbuhkan kreativitas berkarya. Di sisi lain, budaya HKI dalam bidang hak cipta sulit diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat pengrajin, pengusaha di Bali, khususnya pengusaha perak. Hal tersebut dikarenakan konsep penciptaan dan filosofi kehidupan masyarakat pengusaha Bali, yang lebih mengedepankan kebersamaan, kolektivitas, dan sosial religius. Di samping itu pula adanya sikap penghormatan kepada para leluhur yang telah mewariskan nilai budaya yang bisa mereka jadikan objek kreasi kreatif. Hal lain juga menunjukan sikap bakti kepada yang Maha Pencipta yang telah menciptakan alam semesta, beserta isinya dengan cara berkerja, berkreasi kreatif untuk menjaga kelestarian nilai budaya. Oleh masyarakat di Bali diartikan sebagai yadnya. Sejalan dengan pa yang dikatakan oleh O’Dea, sebagai masyarakat yang menganut konsep ritual (dalam Sumandiyo, 2006: 31). Fenomena di atas tampaknya pengusaha perak di Desa Celuk Sukawati, Gianyar, Bali, tidakpeduli (enggan) dengan adanya HKI, bidang hak cipta. Ketidakpedulian (enggan) sebagai aktualisasi bentuk ristensi pengusaha perak di
6
Desa Celuk tersebut dan merupakan tantangan dalam pelaksanaan HKI bidang hak cipta. Kerajinan perak di Desa Celuk Sukawati, dikenal sebagai salah satu sentral industri kerajinan perak terbesar di Bali dan telah menyasar pasar global. Dalam
pasar
global produk-produk
kerajinan
perak
diwajibkan untuk
menyertakan sertifikat HKI, bidang hak cipta. Adapun produk kerajinan perak Desa Celuk tersebut di atas, elemen desainnya bersumberkan budaya lokal dan diakui sebagai milik masyarakat Bali. Seperti yang diungkapkan di atas, produk-produk kerajinan perak Desa Celuk sudah masuk dalam pasar global. Akan tetapi, pengusaha perak di Desa Celuk Sukawati, tidak melakukan proteksi pada karya-karya desain perak mereka dengan perlindungan HKI, bidang hak cipta, sebagaimana telah diatur dalam kesepahaman dan kesepakatan yang dirativikasi oleh Indonesia. Sikap ketidakpedulian (enggan) pengusaha perak di Desa Celuk Sukawati untuk memproteksi karya mereka merupakan bentuk ristensi atau perlawanan terhadap pelaksanaan HKI, bidang hak cipta. Hal tersebut tampak dalam penjabaran Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Data Pengerajin dan Pengusaha Perak di Desa Celuk Sukawati Gianyar Bali, satupun tidak ada HKI, Bidang Hak Cipta Tahun 2008-2010. No
Unit usaha
Jumlah
Lokasi
1
Pengerajin perak
760
Di Desa Celuk
2
Keterangan
Tidak ada Hak Cipta Pengusaha perak 208 Di Desa Celuk Tidak ada Hak Cipta Jumlah 968 Di Desa Celuk Sumber: diolah dari data potensi pengrajin dan pengusaha perak Desa Celuk Tahun 2008-2010
7
Tabel 1.1 menggambarkan bahwa pengerajin dan pengusaha perak Desa Celuk Sukawati tidak ada memiliki hak cipta. Nama-nama pengusaha perak lokal yang teruraikan di halaman lampiran di bawah. Di sisi yang lain, pengusaha perak asing di Bali, melakukan proteksi pada karya desain kerajinan perak mereka dengan perlindungan HKI, bidang hak cipta. Adapun konsep kreasi kreatif antara pengusaha lokal dengan pengusaha asing sama-sama mengadopsi elemen-elemen estetika budaya Bali. Tampak desain kerajinan perak pengusaha asing telah terlindungi dan memiliki hak cipta, seperti tertera dalam Tabel 1.2 di bawah ini. Tabel 1.2 Data Beberapa Pengetahuan Tradisional Bali Terindikasi Telah Dihakciptakan oleh Pengusaha Asing No 1
Bentuk Motif, Ragam Hias, Ornament Patra Samblung
Tahun Publikasi Hak Cipta 8 Agustus 2006
Keterangan
2
Patra Punggel
Idem
3
Mute-Mutean
WebRev.Area 2002 Dotsil
4
Anyaman Kelabang
3 Febroari 2004
5
Batun Timun
Tahun 1996
Menjadi Pola Sanur qutol. Plong Big Kick Culf
Di Klaim sendiri Kawung
ciptaan
Sumber Data: diolah dari data internet dan Radar Bali, 8/8/2006 Tabel 1.2 tersebut di atas menunjukkan elemen-elemen estetika Bali, seperti beberapa bentuk, motif, ragam hias dan nilai-nilai tradisional diterapkan dalam produk kerajinan perak dan telah terhakciptakan dengan cara mengganti nama motifnya saja. Beberapa contoh motif, ornamen dan ragam hias yang telah
8
terlindungi hak cipta sebagai milik individu pengusaha asing, seperti yang teruraikan dalam halaman lampiran di bawah. Fenomena tersebut di atas menunjukkan kesenjangan yang berimpilkasi pada keterpinggiran pengusaha lokal dalam persaingan pasar global. Dalam hal ini globalisasi tidak saja menjadikan defisit, deversivikasi, sekulerisasi, bahkan sudah terjadi penggeseran, dan perubahan tatanan nilai-nilai budaya masyarakat Bali. Menurut Robertson (Barker, 2007:117) globalisasi
memberikan imbas pada
perubahan yang membuat masyarakat bersikap individualistik, materialistik, apriori terhadap lingkungan, memecah lapisan komunal religius menjadi sekulerisasi, dan tidak tertutup kemungkinan mengarah pada konflik internal dan konflik ekternal. Sebagai dampak
globalisasi di Desa Celuk terjadi konflik
internal, dan eksternal antara masyarakat pelaku budaya dengan pengusaha lokal, asing, lembaga pemerintah, dan lembaga terkait di Bali seperti dalam kasus-kasus berikut. Pada tahun 1986 konsep desain “kelabang” “kelakat” yang dibuat dalam kerajinan perak oleh Desak Nyoman Suarti dari Desa Pengosekan Ubud, Gianyar Bali digugat oleh Rois Hill, pengusaha asing, di pengadilan negeri Amerika. Pada saat itu Pemerintah Indonesia, khususnya Bali tidak banyak tahu tentang Hak Cipta. Dalam kasus indikasi pelanggaran hak cipta di Pengadilan Negeri Denpasar antara I Kt Deni Ariyasa desainer lokal (Bali) dengan PT Karya Tangan Indah (KTI) berkedudukan di Badung. I Kt Dani Ariyasa
yang dituduh menjiplak
karya desain dengan motif kulit “Crocodile, dan motif “pepatran”, desain motif batu kali (Fajar Bali, 29/4/2008). Di samping itu juga ada sejumlah motif, bentuk
9
ragam hias, ornamen telah dihakciptakan oleh pengusaha asing Ancient Modern Art .LLC, dan dipublikasi melalui kuasa hukum Putu Kesuma & Rekan (Radar Bali, 8/8/2006). Hasil studi dokumen berupa sertifikat hak cipta, yang dimiliki oleh beberapa pengusaha asing di Bali tersebut di atas, tampak bentuk, motif, ornamen, dan ragam hias yang dipergunakan sebagai objek termasuk pengetahuan tradisional Bali yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta, No.19/2002, Pasal 10 Ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut. “Ayat (1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda nasional lainnya, ayat (2) Negara memegang hak cipta atas foklor dan hasil kerajinan rakyat menjadi milik bersama termasuk karya seni kerajinan (Sinar Grafika, 2008: 6). Pengetahuan tradisional yang dimaksudkan di atas lazim diterapkan pada bangunan suci seperti di candi bentar, “kori”pura,”pretima”,”arca’ dan perangkat media ritual agama Hindu. Hal tersebut oleh Raymond Wiliams disebut sebagai sifat kulturalisme (Barker, 2008: 16). Motif, ragam hias, dan ornamen yang dilindungi hak cipta oleh pengusaha asing, tidak berbeda dengan desain kerajinan perak yang di pajangkan di art shop di sekitar daerah Celuk, Sukawati, Gianyar. Problimatiknya, di satu pihak karya yang boleh masuk dalam pasar global adalah karya memiliki sertifikat hak cipta, seperti yang dilakukan oleh pengusaha perak asing. Pada setiap hasil karya mereka, didaftarkan dan dilindungi dengan hak cipta. Di lain pihak, pengusaha perak lokal bersikap tidakpeduli untuk mendaftarkan dan melindungi dengan hak cipta. Hal ini dimanfaatkan oleh pengusaha perak asing yang tinggal di Bali untuk mengklaimnya dengan perlindungan hak cipta. Sikap pengusaha lokal ini menjadi tantangan dalam
10
pelaksanaan Undang-Undang HKI, Bidang Hak Cipta.
Adanya perbedaan
pemahaman antara pengusaha perak lokal dengan pengusaha perak asing, dalam mengimplimentasikan Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Bidang Hak Cipta, memunculkan persoalan yang memicu konflik. Kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein) dalam mempertahankan nilai-nilai pengetahuan tradisional Bali. Ketidakpedulian pengusaha perak untuk melindungi kekayaan intelektual (KI) mereka, merupakan bentuk ristensi dan tantangan dalam pelaksanaan Undang-Undang HKI, Bidang Hak Cipta. Persoalan tersebut menarik untuk dikaji dengan tema “Pengusaha Perak dan Tantangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Bidang Hak Cipta di Desa Celuk Sukawati Gianyar” dari persepektif ilmu kajian budaya (culltural studies).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang perlu dikaji melalui penelitian lapangan. Adapun pokok permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini. 1 Bagaimanakah pengusaha perak dan tantangan HKI bidang hak cipta di Desa Celuk Sukawati Gianyar? 2 Mengapakah pengusaha perak menjadi tantangan HKI bidang hak cipta di Desa Celuk Sukawati Gianyar? 3 Apa sajakah dampak dan makna pengusaha perak dan tantangan HKI dalam bidang hak cipta di Desa Celuk Sukawati Gianyar?
11
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Penjelasannya disajikan di dalam dua subbab berikut ini. 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memahami ketidakpedulian pengusaha perak dan tantangan HKI bidang hak cipta, di Desa Celuk Sukawati Gianyar, Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di depan. Jadi secara khusus penelitian bertujuan : 1 untuk mengetahui bentuk ketidakpedulian pengusaha perak dan tantangan hak kekayaan intelektual (HKI) bidang hak cipta desain kerajinan perak di Desa Celuk Sukawati Gianyar; 2 untuk memahami faktor-faktor penyebab ketidakpedulian pengusaha perak dan tantangan HKI bidang hak cipta, di Desa Celuk Sukawati Gianyar; dan 3 untuk menginterpretasi dampak dan makna ketidakpedulian pengusaha perak dan tantangan hak kekayaan intelektual (HKI) bidang hak cipta, di Desa Celuk Sukawati Gianyar.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang berjudul “Pengusaha Perak dan Tantangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Bidang Hak Cipta di Desa Celuk” bermanfaat secara teoretis dan secara praktis. Penjelasan diberikan di bawah ini.
12
1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian tentang pengusaha perak dan tantangan hak kekayaan intelektual (HKI) dalam bidang hak cipta desain kerajinan perak di Desa Celuk, Sukawati, Gianyar Bali, memberikan manfaat secara teoretis seperti di bawah ini. 1. Hasil penelitian dapat menambah khazanah pengetahuan tentang pengusaha perak dan tantangan hak kekayaan intelektual, (HKI) bidang hak cipta. 2. Hasil penelitian dapat dipakai sebagai referensi calon peneliti lain dalam penelitian yang sejenis dengan topik dan permasalahan berbeda. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat secara praktis, seperti berikut. 1) Hasil penelitian dapat dipakai sebagai sumbangan pemikiran kepada pengusaha perak untuk mendapatkan hak cipta, royalti serta perlindungan terhadap setiap hasil kreasi kreatifnya. 2) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan yang berkaitan dengan hak cipta desain kerajinan perak. 3) Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembinaan dan pengembangan kerajinan perak oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kanwil Hukum dan HAM, Dinas Pariwisata, dan Dinas Kebudayaan. 4) Hasil penelitian dapat dipakai oleh pengusaha perak untuk memahami betapa besar manfaat hak kekayaan intelektual (HKI) khususnya dalam bidang hak cipta desain kerajinan perak pada era globalisasi ini.