BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Seiring dengan perkembangan zaman,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) juga ikut berkembang pesat, perkembangan IPTEK tersebut memiliki manfaat yang luar biasa dalam mendukung sarana dan prasarana kehidupan manusia. Perkembangan dari IPTEK tersebut melahirkan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi tidak dapat dihindarkan, karena kemajuan teknologi berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Teknologi informasi dan komunikasi (information and comuniccation Tehcnology/ICT) merupakan salah satu dampak dari perkembangan IPTEK. Teknologi informasi dan komunikasi ini selain mempunyai manfaat yang banyak juga dapat memberikan kemudahan bagi manusia untuk melakukan aktivitasnya, karena segala kegiatan dapat dilakukan dengan aman, cepat dan mudah sehingga dapat meningkatkan produktifitas kinerja manusia, contoh dari kemudahan yang didapat yaitu kemudahan dalam bertransaksi dan kemudahan dalam memperoleh informasi apa saja yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem teknologi informasi dan komunikasi ini juga berdampak pada sistem pemerintahan. Pemerintahan dalam suatu negara mempunyai wewenang terhadap semua urusan yang berada dalam lingkup hukum publik yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan, menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Dalam menjalankan tugas dan wewenang tersebut, pemerintah memerlukan semua informasi yang ada dan kemudian akan digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsinya seperti perencanaan, pembuatan kebijakan, administrasi negara, dan sebagainya. Dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi ini tentu saja dalam
pelaksanaan
1
pemerintahan untuk menjalankan fungsi-fungsinya tersebut akan berjalan lebih efisien karena koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi komunikasi dalam kepemerintahan tersebut dikenal dengan elektronik-government (e-government). E-government merupakan suatu perubahan sistem manajemen dan proses kerja dalam lingkungan pemerintahan dengan optimalisasi pemanfaatan teknologi dan informasi. Optimalisasi dari pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Bank Dunia (Word Bank) mendefinisikan e-Government yaitu: E-Government refers to the use by government agencies of information technologies (such as Wide Area Network, the internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizen, businesses, and other arms of government Pengertian dan penerapan e-Government di sebuah negara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi internal baik secara makro maupun mikro dari negara yang bersangkutan, sehingga pemahamannya teramat sangat ditentukan oleh sejarah, budaya, pendidikan, pandangan politik, serta kondisi ekonomi dari negara yang bersangkutan. Nevada,
salah
satu
negara
bagian
di
Amerika
Serikat,
mendefinisikan e-
Government sebagai: Pelayanan online menghilangkan hambatan tradisional untuk memberikan kemudahan akses kepada masyarakat dan bisnis dalam memakai layanan pemerintahan. Operasional pemerintahan untuk konstitusi internal dapat disederhanakan permintaan operasinya untuk semua agen pemerintah dan pegawainya. (http://rifaiza.wordpress.com. 5 November 2012. 19.23 wib)
Amerika dan Inggris merupakan Negara besar yang terdepan dalam mengimplementasikan konsep e-Government Melalui Al Gore dan Tony Blair, telah secara jelas dan terperinci menggambarkan manfaat dari penerapan konsep eGovernment bagi suatu Negara, antara lain:
2
Memperbaiki Kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industry) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi diberbagai bidang kehidupan bernegara; Meningkatkan transparansi, control, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah dalam rangka penerapan konsep Good Corporate Governance; Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya untuk keperluan aktivitas sehari-hari; Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan; dan Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada; serta Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan public secara merata dan demokratis. Negara-negara maju memandang bahwa implementasi e-government yang tepat akan secara signifikan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di suatu negara secara khusus, dan masyarakat dunia secara umum. Bercermin pada keberhasilan negara-negara di atas dalam penerapan egovernment, maka di Indonesia juga dituntut untuk menerapkan kebijakan
e-
government tersebut, karena selama ini pemerintah Indonesia menerapkan sistem dan proses kerja yang dilandaskan pada tatanan birokrasi yang kaku, sedangkan masyarakat menuntut agar pelayanan publik dapat memenuhi kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah negara, dapat diandalkan dan dipercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif, masyarakat juga menginginkan agar aspirasi mereka didengar dengan demikian pemerintah harus memfasilitasi partisipasi dan dialog publik di dalam perumusan kebijakan Negara. E-government di Indonesia telah diatur dalam Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional pengembangan e-government. E-government diterapkan dalam pemerintahan Indonesia agar terwujudnya pemerintahan yang demokratis, transparansi, bersih, adil, akuntabel, bertanggungjawab, 3
responsive, efektif dan efisien. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi di berbagai aspek kehidupan. E-government merupakan sistem dari pemeritahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan, transparansi dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat serta meningkatkan pelayanan publik yang lebih optimal. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kebijakan E-Goverment yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi di dalamnya masih memiliki program-program yang berbasis elektronik seperti bidang pemerintah (e-KTP), pendidikan (e-education, e-learning), kesehatan (e-medicine, elaboratory) dan lainnya. Tapi, pada saat ini pemerintah di Indonesia dalam pelayanan publik baru saja menerapkan program e-KTP (elektronik kartu tanda penduduk), mengingat Indonesia merupakan negara yang berpenduduk terbesar no 4 di dunia dengan jumlah penduduk 237,641,326 jiwa (http://www.bps.go.id. 09 November. 20.45 wib). Dengan jumlah penduduk tersebut, maka Indonesia memerlukan data kependudukan yang akurat, untuk itu pemerintah membuat program yang disebut dengan e-KTP. E-KTP merupakan cara baru yang akan ditempuh oleh pemerintah dengan membangun database kependudukan secara nasional untuk memberikan identitas kepada masyarakat dengan menggunakan sistem biometrik yang ada di dalamnya, maka setiap pemilik e-KTP dapat terhubung kedalam satu database nasional, sehingga setiap pendudukan hanya memerlukan satu KTP saja . e-KTP adalah KTP Nasional yang sudah memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, peraturan presiden No 26 tahun 2009 tentang penerapan KTP berbasis Induk Kependudukan secara 4
nasional, dan peraturan presiden no 35 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 26 Tahun 2009. Kebijakan program e-KTP ini dibuat Pemerintah agar terciptanya tertib administrasi bagi masyarakat, bangsa dan Negara. E-ktp ini juga berbasis teknologi untuk mendapatkan hasil kependudukan yang lebih tepat dan akurat, maka dengan adanya e-ktp ini sangat diharapkan untuk dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mencegah dan menutup peluang adanya KTP ganda atau KTP palsu yang selama ini banyak disalah gunakan oleh masyarakat dan menyebabkan kerugian bagi Negara, dimana para pelaku kriminal termasuk teroris, TKI illegal, dan perdagangan manusia (Human Trafficking) sering menggunakan KTP ganda atau KTP palsu agar tidak teridentifikasi oleh pihak yang berwajib. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi ketika usai menyerahkan tanda penghargaan kepada Pemprov Sumsel dan kabupaten/kota se-Sumsel di Griya Agung Palembang, Senin 16 April 2012 yang mengatakan: “Kemendagri menemukan sekitar 7 juta KTP ganda, dan lebih dari 90 ribu warga Indonesia yang berusaha membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda diberbagai daerah. Melalui penerapan e-KTP, diharapkan permasalahan ini bisa diatasi karena sistem informasi data atau identitas KTP model baru ini terpusat dan tidak bisa digandakan. Ini salah satu manfaat dari e-KTP. Jadi semua identitas penduduk ada dalam satu chip, dan tidak bisa digandakan. Saat ini sudah terselesaikan proses perekaman eKTP hingga 60 juta jiwa di Indonesia, masih tersisa 7 juta jiwa lagi, dan waktu tersisa tinggal 15 hari”.(http://id.berita.yahoo.com/mendagri-7-juta-penduduk-punya-ktp-ganda144159027.html. 27 Oktober 2012. 20.37 wib) Untuk mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat, khususnya yang berkaitan dengan data penduduk wajib KTP yang identik dengan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4), sehingga DPT pemilu selama ini sering bermasalah tidak akan terjadi lagi, serta meningkatkan pelayanan publik dan keamanan negara.
5
Untuk itu sangat diharapkan kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakan e-KTP ini dengan sebaik-baiknya, mengingat e-KTP ini berlandaskan elektronik, dimana setiap pemakaiannya menggunakan system komputerisasi, sangat diharapkan pada prosesnya penggunaannya nanti lebih cepat, mudah, dan akurat agar tidak terjadi lagi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan Negara. Untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan Negara tersebut, maka pemerintah menetapkan lima tahapan agar menjamin keakuratan data diri setiap warga sehingga e-KTP tersebut tidak dapat diperbanyak atau digandakan, lima tahapannya yaitu: 1. Pembacaan bodata, warga dating berdasarkan waktu yang telah ditentukan dengan membawa surat pengantar yang telah diberikan oleh pihak RT/RW setempat; 2. Foto, warga diharuskan untu melakukan foto diri terlebih dahulu. Foto yang dilakukan sebaiknya memakai pakaian rapi, karena foto e-KTP ini hanya dilakukan satu kali saja dan tidak dapat diganti dalam jangka 5(lima) tahun kecuali kartu tersebut rusak atau hilang sebelum waktu perpanjangannya 3. Perekaman tanda tangan, warga diwajibkan melakukan tanda untuk kemudian direkam ke dalam computer dan disimpan untuk identitas warga. 4. Scan sidik jari, sidik jari ini dilakukan dengan kelima jari warga, jika warga mengalami kecacatan pada jari, maka dapt dilakukan dengan jari yang ada saja. 5. Scan retina mata, tahap ini dilakukan untuk menjamin keakuratan e-KTP, bisa saja ketika dilakukan tahan scan sidik jari, warga tersebut menggunakan jari orang lain. Untuk itu dilakukan scan retinamata tidak dapat digantikan oleh orang lain. Program e-KTP sejauh ini telah terlaksana hampir diseluruh Indonesia, Kota Bengkulu termasuk salah satu dari 197 Kabupaten/Kota yang menerapkan KTP berbasis NIK secara Nasional pada tahun 2011, ini terlihat pada Lampiran Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471.13/1515/SJ tanggal 27 April 2011 yang menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471.13/4141/SJ tanggal 13 Oktober 2010 tentang Pemutahiran Data Kependudukan, Penerbitan NIK dan Persiapan Penerapan KTP Elektronik tahun 2011. Walikota Bengkulu Ahmad Kenedi juga telah menyatakan
6
kesanggupannya untuk menerapkan e-KTP di Kota Bengkulu pada tahun 2011 melalui Surat Pernyataan Kesangggupan pada tanggal 28 November 2010. Di Kota Bengkulu, e-KTP massal mulai dilaksanakan pada tanggal 22 September 2011 dan akan berakhir pada akhir tahun 2011. Hasil dari perekaman data kartu tanda penduduk elektronik pada akhir tahun 2011 menurut catatan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bengkulu hanya mencapai 37,16 persen dari 268.241
warga wajib KTP. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bengkulu pada hari Sabtu tanggal 31 Desember 2011: "Alhamdulillah meski hasilnya belum maksimal namun hingga 30 Desember 2011 perekaman data kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di daerah ini sudah mencapai 99.681 orang atau 37,16 persen dari sembilan kecamatan di Kota Bengkulu yang terdiri atas Kecamatan Gading Cempaka dan Singaran Pati 17.342 orang, Ratu Agung 9.397 orang, Ratu Samban 11.802 orang, Teluk Segara 12.303 orang, Selebar 17.531 orang, Muara Bangkahulu 12.592 orang, Kampung Melayu 8.181 orang serta Sungai Serut 10.533 orang”. (http://www.antarabengkulu.com/berita/555/perekamandata-e-ktp-capai-37-persen, Sabtu, 10 November 2012. 13.38 wib) Melihat belum optimalnya realisasi dari program e-KTP tersebut pada 197 Kabupaten/Kota yang termasuk kota Bengkulu. Beberapa Gubernur dan Bupati/Walikota memohon untuk perpanjangan waktu pelayanan e-KTP bagi 197 Kabupaten/Kota tersebut. Setelah melalui pertimbangan dan berdasarkan hasil koordinasi dengan Kementerian Keuangan, maka pelayanan e-KTP secara massal bagi 197 Kabupaten/Kota diperpanjang waktunya paling lambat sampai dengan tanggal 30 April 2012. Hal tersebut diperkuat dengan adanya surat edaran Menteri Dalam negeri Nomor 471.13/5079/SJ perihal Perpanjangan Waktu e-KTP Massal Untuk 197 Kabupaten/Kota. Idealnya, setiap warga Negara memiliki KTP sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional yang terdapat pada pasal 7 ayat 1
7
yang berbunyi “Setiap penduduk wajib KTP berhak memperoleh KTP berbasis NIK yang diterbitkan oleh instansi pelaksana sesuai domisili penduduk yang bersangkutan”, akan tetapi pada realisasinya tujuan tersebut belum terealisasikan dengan optimal, meski e-KTP Massal di Kota Bengkulu tersebut waktunya telah diperpanjang hingga 30 April 2012. Perkembangan Pelaksana e-KTP Tahun 2011 hingga tanggal 15 Mei 2012 dapat dilihat pada tabel ini: Tabel 1.1 No Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jumlah Jumlah Wajib Target Wajib KTP KTP
1 Selebar
62.157
41.434
32.931
Realisasi Perekaman e-KTP Jiwa % 25.415 77.17
Sisa Target
2 Gading Cempaka 3 Teluk Segara 4 Muara Bangkahulu 5 Kampung Melayu 6 Ratu Agung
98.834
69.694
55.630
37.184
66.84
18.446
33.15
28.340
20.345
16.415
13.132
80
3.283
20
44.764
30.607
24.367
19.010
78.01
5.357
21.98
39.437
24.777
20.609
16.105
78.14
4.504
21.85
59.333
41.544
33.249
27.452
82.56
5.797
17.43
7 Ratu Samban 8 Sungai Serut
30.179
21.337
17.013
13.206
77.62
3.807
22.37
27.819
18.503
14.773
11.491
77.78
3.282
22.21
390.863 268.241 214.987 162.995 75.81 Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bengkulu
51.992
24.18
Jiwa % 7.516 22.82
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kecamatan Ratu Agung merupakan kecamatan yang realisasi program e-ktp nya tertinggi dari kecamatan yang lainnya yaitu sudah 27.452 Jiwa yang melakukan perekaman e-ktp atau sama dengan 82.56 %, sisa target yang belum terealisasi 5.797 Jiwa atau sama dengan 17.43 % lagi. Pihak dari Kecamatan Ratu Agung sudah berupaya semaksimal mungkin agar realisasi program e-KTP ini dapat 100%, namun masih adanya masyarakat yang belum
8
melakukan perekaman e-ktp tersebut. Berdasarkan observasi awal yang saya dapat, masih banyak nya warga yang belum melakukan perekaman e-ktp tersebut karena untuk melakukan program tersebut warga harus rela antri berjam-jam, ditambah lagi bagi mereka yang buruh harian lebih memilih bekerja dibanding untuk melakukan perekaman, serta masyarakat yang bekerja atu bersekolah diluar kota. Berdasarkan uraian di atas, membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, ”IMPLEMENTASI E-KTP di KECAMATAN RATU AGUNG KOTA BENGKULU”. Dalam penelitian ini nantinya peneliti ingin mengetahui sejauh mana pelaksanaan dari program e-KTP ini berjalan pada kecamatan Ratu Agung dan apakah ada hambatan-hambatan dalam pelaksanaan program e-KTP ini.
1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah, maka permasalahan yang di kemukakan di sini adalah: Bagaimanakah Implementasi e-KTP di Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu?.
2.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dimana untuk mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan Pemerintah melalui Kemendagri berdasarkan UU No 23 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden No 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional.
2.3 Manfaat Penelitian
9
Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini seperti yang telah dijelaskan di atas, maka manfaat yang bisa diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Secara Teoritis Penerapan ilmu yang diperoleh, untuk mengembangkan pengetahuan khususnya bidang ilmu Administrasi Negara terutama dalam pembahasan e-goverment Sebagai bahan masukan bagi pihak yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai e-KTP
b.
Secara Praktis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi kalangan ilmuan, mahasiswa, instansi, dan masyarakat serta tambahan refrensi bagi mahasiswa Universitas Bengkulu Khususnya. Diharapkan dapat membuka ruang kesadaran bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pengawasan e-KTP yang saat ini masih berjalan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.3.2
Konsep E-Government e-Government di Asia Pasifik, Clay G. Wescott (Pejabat Senior Asian
Development Bank) dalam Indrajit (2006:4), mencoba mendefinisikannya E-government adalah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk mempromosikan pemerintahan yang lebih efisien dan penekanan biaya yang efektif, kemudahan fasilitas layanan pemerintah serta memberikan akses informasi terhadap masyarakat umum, dan membuat pemerintahan lebih bertanggung jawab kepada masyarakat. Sedangkan menurut UNDP (United Nation Development Programme) dalam Indrajit (2006:2) pada suatu kesempatan mendefinisikannya secara lebih sederhana, yaitu: “E-government is the application of Information and Communicat-ion Technology (ICT) by government agencies”. E-Goverment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. E-government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif,
atau
administrasi
publik,
untuk
meningkatkan
efisiensi
internal,
menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian dari e-government
yang utama yaitu Government-to-Citizen atau
Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B) serta Government-toGovernment (G2G). (http://nissaajah91.wordpress. com. 28 Oktober 2012. 09.32 wib). Keuntungan yang paling diharapkan dari kebijakan e-government ini adalah peningkatan efisiensi, peningkatan kenyamanan, perngurangan korupsi, meningkatkan transparasi, pertambahan pendapatan, dan pengurangan pengeluaran serta aksesibilitas yang lebih baik dari pelayanan publik.
11
Penerapan e-government di Indonesia yang diperkenalkan dalam
Intruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tanggal 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, media dan informatika) yang menyatakan bahwa Penerapan jaringan informasi di lingkungan pemerintah pusat dan daerah secara terpadu telah menjadi prasyarat yang penting untuk mencapai good governance dalam rangka meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan kepemerintahan guna antara lain memperbaiki pelayanan publik, meningkatkan efisiensi pelaksanaan otonomi daerah, serta mengurangi berbagai kemungkinan kebocoran anggaran. Dalam Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, e-government merupakan uapaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan public secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalisasi pemanfaatan teknologi. Pengertian secara umum electronic government (e-government) adalah: “Penyelenggaraan pemerintah berbasis elektronik (teknologi informasi dan komunikasi) untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam hubungannya dengan masyarakat, komunitas bisnis, dan kelompok terkait lainnya menuju good governance”. Janet Caldow, Direktur dari Institute for Electric Government (IBM Corporation) dari hasil kajiannya bersama Kennedy School of Government, Harvard University dalam Indrajit (2006:3), juga memberikan sebuah definisi yang menarik, yaitu “Electric government is nothing short of a fundamental transformation of government and governance at a scale we have not witnessed since the beginning of the industrial area.”
12
Sedangkan konsep yang diusung oleh EZ Gov, selaku konsultan dalam penerapan e-government, memiliki pengertian penyederhanaan praktek pemerintahan dengan mempergunakan teknologi informasi dan komunikasi, dimana dari pengertian tersebut dibagi lagi menjadi dua pembidangan, yaitu : -online sevices: adalah bagaimana pemerintah menjalankan fungsinya ke luar, baik itu masyarakat maupun kepada pelaku bisnis. Tetapi yang terpenting disini adalah pemerintah menawarkan pelayanan yang lebih sederhana dan mudah kepada pihak yang terkait, contohnya seperti pembayaran retribusi, pajak properti atau lisensi. -government operations: adalah kegiatan yang dilakukan dalam internal pemerintah, lebih khusus lagi adalah kegiatan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah seperti electronic procurement, manajemen dokumen berbasiskan web, formulir elektronik dan hal-hal lain yang dapat disederhanakan dengan penggunaan internet. (http://putrikhairanikoto.blogspot.com. 30 Oktober 2012.19.18 wib ) 2.3 Konsep Implementasi Secara umum istilah implementasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan menurut purwanto (2012:21) Implementasi adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Dalam kamus Webster yang dikutip oleh Abdul Wahab (2005:64) dirumuskan bahwa mengimplementasikan (to implement) berarti to provide the means for carrying out ; (menyediakan sarana untuk menyelenggarakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Berdasarkan pandangan ini berarti kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif,
13
atau dekrit presiden).(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2202703konsep-tentang-implementasi-kebijakan/) Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik dalam
sebuah
Negara.
Biasanya
implementasi
dilaksanakan
setelah
sebuah
kebijaksanaan dirumuskan dengan tujuan jelas, termasuk tujuan jangkla pendek, menengah dan jangka panjang (Gaffar, dkk 2005 : 295). Definisi yang sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jones (1991) dalam gaffar (2005:295), dimana implementasi diartikan sebagai
“getting
the job done”
menyelesaikan
pekerjaan) dan
”doing it”
(melakukannya). Dibalik dari kesederhanaan rumusan tersebut berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun dalam pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yaitu : adanya orang sebagai pelaksana, uang dan kemampuan organisasi, lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Sedangkan Van Meter dan Van Horn (1975), dalam bukunya Leo Agustino (2006;139), mendefinisikan implementasi sebagai: “tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.
2.2.1
Implementasi Kebijakan Publik Sebuah kebijakan tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk
positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau di implementasikan, tetapi sebuah kebijakan haruslah dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Tujuan kebijakan diharapkan 14
akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam jangka panjang hasil kebijakan tersebut akan akan mampu diwujudkan. Menurut Dunn dalam Darwis (1988:80) Implementasi kebijaksanaan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijaksanaan sampai dicapainya hasil kebijaksanaan. Implementasi kebijaksanaan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis, yang dibedakan dari formulasi kebijaksanaan, yang pada dasarnya bersifat teoritis. Sedangkan menurut Udoji dalam Wiratomo (2010:20) menyatakan bahwa: “Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikannya”. Sementara itu Grindle (1980) dalam Winarno (2012:149) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umu, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system,” di mana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kebijakan publik pernyataanpernyataan secara luas tentang tujuan, sasaran dan sarana diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan. Dengan demikian, berbagai program bias dikembangkan untuk merespon tujuan-tujuan kebijakan yang sama. Program-program, tindakan itu bias dipilah-pilah ke dalam proyek-proyek yang spesifik untuk dikelola. Maksud dari program-program tindakan dan proyek-proyek individual adalah untuk mendatangkan suatu perubahan dalam lingkungan kebijakan, suatu perubahan yang bisa diartikan sebagai dampak dari suatu program.
15
Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:150) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individuindividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan. Tindakantindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dari penjelasan Van Meter dan Van Horn tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atu diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi dapat terjadi setelah undang-undang ditetapkan dan anggaran untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut telah disediakan.
2.2.21 Pendekatan Implementasi Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down ini digunakan untuk mengklasifikasikan para peneliti yang menggunakan logika berfikir dari ‘atas’ kemudian melakukan pemetaan ‘ke bawah’ untuk melihat keberhasilan atau kegagalan dari implementasi suatu kebijakan. Menggunakan bahasa Sabaster (1986) (dalam buku Purwanto, 2012:37), pendekatan topdown dilakukan oleh para peneliti dengan langkah sebagai berikut: “they started with policy decision (usually statue) and examined the extent to which its legally-mandate objectives were achieved over time and why”.
16
Menurut Hogwood and Gun (1984) dalam Purwanto (2012:37) Pendekatan ini sering kali juga disebut ‘policy-centered’ karena focus perhatian peneliti hanya tertuju pada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh fakta-fakta apakah kebijakan tersebut ketika diimplementasikan mampu mencapai tujuannya atau tidak. Beberapa ahli yang dapat digolongkan sebagai penganut pendekatan top-down adalah: Nakamura dan Smallwood (1980), Edwar III (1980) dan Grindle (1980). Mereka diklasifikasikan sebagai pengguna pendekatan top-down karena cara kerja mereka dimulai dengan memahami kebijakan dan melihat efektivitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut dilapangan. Cara Pendekatan yang demikian ini juga sering disebut sebagai pendekatan command and control yang secara harfiah diartikan sebagai memberikan komando dan pengawasan pelaksanaannya (P. deLeon and L. deLeon, 2002 dalam buku Purwanto, 2012:39) Sedangkan pendekatan bottom-up merupakan pengembangan dari pendekatan top-down, karena pendekatan top-down dianggap terlalu menyederhanakan masalah dan cenderung instrumentalis hanya karena menaruh perhatian terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Pendekatan bottom-up ini dipelopori oleh Elmore (1978,1979), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978). Para pengikut bottom-up menekankan pentingnya memperhatikan dua aspek penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu: birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran sasaran kebijakan (target group). Argumen yang menjadi dasar tentang pentingnya memperhatikan peran street level bureaucrat sangat terkait dengan posisinya dalam melakukan kegiatan merealisasikan keluaran kebijakan (apabila keluaran kebijakan berupa pelayanan) atau menyampaikan keluaran kebijakan tersebut kepada kelompok sasaran (apabila keluaran kebijakan berupa hibah, bantuan, subsidi dan lain-lain). Tujuan penelitian implementasi dengan pendekatan bottom-up ini adalah
17
untuk mengetahui jaringan implementasi yang melibatkan para actor dari berbagai level tersebut dan memetakan motif ekonomi –politik para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Tentang hal iniSchofield (2004: mengatakan: “…’bottom-up approaches tend to focus more closely on policy network, often in
multi-agency
setting”. Pemetaan jaringan implementasi dan motif ekonomi-politik ini akan menjadi factor penting untuk menjelaskan sebab-musabab kegagalan dan keberhasilan implementasi suatu kebijakan.
2.2.3
Model-model Implementasi Kebijakan
1. Model Edward III Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Edward III disebut dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Menurut model yang dikembangkan oleh Edward III, ada empat factor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi menurut Agustino (dalam Hasanawati, 2012:50) 1. Faktor Sumber Daya Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan aturan-aturan suatu kebijakan, jika para personil yang bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif, Indikatorindikator yang dipergunakan untuk melihat sejauhmana sumber daya berjalan dengan rapid an baik adalah: a. Staf, sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf/pegawai, atau lebih tepatnya streer-level bureaucrats. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf/pegawayang tidak memadai, mencakupi ataupun tidak kompeten dibidangnya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan staf pelaksana kebijakan. b. Informasi, dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi yang berhubungan denga cara melaksanakan kegiatan, implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang 18
telah ditetapkan, implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan tersebut patuh terhadap hukum. c. Wewenang, dalam implementasi kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi karena dipandang oleh public implementor tersebut tidak terlegitimasi. Tetapi dalam konteks yang lain, efektivitas kewenangan dapat menyurut manakala diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri maupun demi kepentingan kelompoknya. d. Fasilitas, fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya dan memiliki wewenang, akan tetapi tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, maka implementasi kebijakan tidak akan berhasil. 2. Faktor Komunikasi Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya, harapa atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai factor yang amat penting, karena dalam setiap proses kegiatan yang melibatkan unsure manusia dan sumber daya akan selalu berurusan dengan permasalaha “Bagaiman hubungan yang dilakukan”. Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat kebijakan dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik, yang juga dari komunikasi tersebut membentuk kualitas partisipatif masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variable komunikasi, yaitu: a. Transmisi, penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali komunikasi yang telah melalui beberapa tingkatan birokrasi menyebabkan terjadinya salah pengertian (miskomunikasi) b. Kejelasan, komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas, akurat dan tidak bersifat ambigu, sehingga dapat dihindari terjadinya perbedaan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan seperti yang hendak dicapai oleh kebijakan seperti yang telah ditetapkan (ridak tepat sasaran) c. Konsistensi, perintah yang diberikan kepada implementor haruslah konsisten dan jelas. Karena apabila perintah sering berubah-ubah akan membingungkan pelaksana kebijakan, sehingga tujuan dari kebijakan tidak akan dapat tercapai. 3. Faktor Disposisi (sikap) Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada variable disposisi menurut Edward III antara lain:
19
a.
Pengangkatan birokrat, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orangorang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah diterapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga. Disposisi atau sikap para implementor yang tidak mau melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan akan menimbulkan hambatan-hambatan bagi tercapainya tujuan dari pengimplementasian kebijakan. c. Insentif, Edward III menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi kecendrungan sikap para pelaksana kebijakan adalah dengan memanipulasi insentif. Pada umumnya, orang bertindak berdasarkan kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh pembuat kebijakan dapat mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin dapat memotivasi para pelaksan kebijakan untuk dapat melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan dalam upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi 4. Faktor Struktur Birokrasi Meskipun sumber-sumber, untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementor mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidak efisienan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan yang begitu kompleks menurut adanya kerjasama banyak orang. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik. Menurut Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi kea rah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan fragmentasi. a. Standard Operating Prosedures (SOPs) adalah suatu kegiatan rutin yang memungkin- kan para pegawai atau pelaksana kebijakan utuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standard yang telah ditetapkan. b. Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai beberapa unit. 2. Model van Meter dan van Horn Model yang ditawarkan oleh van Meter dan van Horn ini mempunyai enam variabel yang membentuk kaitan (linkage) antara kebijakan dan kinerja (performance). Dalam pandangan van Meter dan van Horn, kita mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan
kebijakan
dilaksanakan
dibangkan
hanya
sekedar
menghubungkan variable bebas dan variable terikat dalam suatu cara yang semena20
mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh van Meter dan van Horn dalam Winarno (2012:159) sebagai berikut: 1. Ukuran-Ukuran Dasar dan Tujuan-Tujuan Kebijakan Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap factor-faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut van Meter dan van Horn, identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap yang krusal dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuantujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. 2. Sumber-Sumber Kebijakan Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Dalam praktek implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para pejabat maupun pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai program-program yang telah direncanakan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus besar kecilnya dana akan menjadi faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan 3. Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Dengan begitu, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpangkannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interprestasi-interprestasi yang bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan. Oleh karena itu, menurut van Meter dan van Horn, prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan tersebut. Menurut van Meter dan van Horn, implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi pejabat-pejabat tinggi (atasan) untuk mendorong pelaksana (pejabat-pejabat bawahan) bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. 21
4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana Struktu birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, normanorma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari cirri-ciri struktur formal dari personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pameranpameran serta dalam system penyampaian kebijakan. van Meter dan van Horn mengetengahkan beberapa unsure yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: 1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan; 2. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub-unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana; 3. Sumber-sumber politik suatu organisasi; 4. Vitalitas suatu organisasi; 5. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertical secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi; 6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan” 5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik Kondisi-kondisi ekonomi, social dan politik merupakan variable selanjutnya yang diidentifikasikan oleh van Meter dan van Horn. Dampak kondisi-kondisi ekonomi, social, dan politik pada kebijakan public merupakan pusat perhatian yang besar selama dawarsa yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasaikan pengaruh variable-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusan-keputusan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut van Meter dan van Horn, factor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. 6. Kecendrunga Pelaksana (Implementors) Van Meter dan van Horn berpendapat bahwa setiap komponen dari model yang dibicarakan sebelumnya harus disaring melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yurisdiksi dimana kebijakan tersebut dihasilkan. Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Kecendrungan-kecendrungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Para pelaksana mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Dan begitu sebaliknya, penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang 22
diterima secara luas oleh para pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil. Menurut van Meter dan van Horn, ada beberapa alasan mengapa tujuantujuan suatu kebijakan ditolak oleh orang-orang yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan tersebut, yakni : tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya mungkin bertentangan dengan sistem nilai pribadi para pelaksana, kesetiaan-kesetiaan ekstra organisasi, perasaan akan kepentingan diri sendiri, atau karena hubungan-hubungan yang ada dan yang lebih disenangi. 2.3 Program E-KTP KTP elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan /pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis
pada database kependudukan
nasional
(http://www.wikipedia.com.
08
November 2012. 06.23 wib). KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara Nasional yang selanjutnya disebut KTP Elektronik adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP Nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas resmi yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota. Penerbitan KTP Elektronik adalah pengeluaran KTP baru, atau penggantian KTP karena habis masa berlakunya, pindah, datang, rusak atau hilang (Sumber: Penerapan NIK dan E-KTP di Indonesia). Penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum NIK, NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup yang diberikan oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata. NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya (Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). (http://www.wikipedia.com. 08 November 2012. 06.55 wib).
23
Pada e-KTP, yang digunakan adalah sidik jari yang merupakan Autentikasi Kartu Identitas (e-ID) biasanya menggunakan biometrik yaitu verifikasi dan validasi sistem melalui pengenalan karakteristik fisik atau tingkah laku manusia. Ada banyak jenis pengamanan dengan cara ini selain sidik jari (fingerprint) yaitu retina mata, DNA, bentuk wajah, dan bentuk gigi. Penggunaan sidik jari e-KTP lebih canggih dari yang selama ini telah diterapkan untuk SIM (Surat Izin Mengemudi). Sidik jari tidak sekedar dicetak dalam bentuk gambar (format jpeg) seperti di SIM, tetapi juga dapat dikenali melalui chip yang terpasang di kartu. Data yang disimpan di kartu tersebut telah dienkripsi dengan algoritma kriptografi tertentu. Proses pengambilan sidik jari dari penduduk sampai dapat dikenali dari chip kartu adalah sidik jari yang direkam dari setiap wajib KTP adalah seluruh jari (berjumlah sepuluh), tetapi yang dimasukkan datanya dalam chip hanya dua jari, yaitu jempol dan telunjuk kanan. Sidik jari dipilih sebagai autentikasi untuk e-KTP karena alasan berikut: 1. Biaya paling murah, lebih ekonomis daripada biometrik yang lain. 2. Bentuk dapat dijaga tidak berubah karena gurat-gurat sidik jari akan kembali ke bentuk semula walaupun kulit tergores. 3. Unik, tidak ada kemungkinan sama walaupun orang kembar Struktur e-KTP terdiri dari sembilan layer yang akan meningkatkan pengamanan dari KTP konvensional. Chip ditanam di antara plastik putih dan transparan pada dua layer teratas (dilihat dari depan). Chip ini memiliki antena didalamnya yang akan mengeluarkan gelombang jika digesek. Gelombang inilah yang akan dikenali oleh alat pendeteksi e-KTP sehingga dapat diketahui apakah KTP tersebut berada di tangan orang yang benar atau tidak. Untuk menciptakan e-KTP dengan sembilan layer, tahap pembuatannya cukup banyak, diantaranya:
24
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hole punching, yaitu melubangi kartu sebagai tempat meletakkan chip Pick and pressure, yaitu menempatkan chip di kartu Implanter, yaitu pemasangan antenna (pola melingkar berulang menyerupai spiral) Printing,yaitu pencetakan kartu Spot welding, yaitu pengepresan kartu dengan aliran listrik Laminating, yaitu penutupan kartu dengan plastik pengaman e-KTP dilindungi dengan keamanan pencetakan seperti relief text, microtext,
filter image, invisible ink dan warna yang berpendar di bawah sinar ultra violet serta anti copy design. Penyimpanan data di dalam chip sesuai dengan standar internasional NISTIR 7123 dan Machine Readable Travel Documents ICAO 9303 serta EU Passport Specification 2006. Bentuk KTP elektronik sesuai dengan ISO 7810 dengan form factor ukuran kartu kredit yaitu 53,98 mm x 85,60 mm. Proyek e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya. Beberapa diantaranya digunakan untuk hal-hal berikut: 1. 2. 3. 4.
Menghindari pajak Memudahkan pembuatan paspor yang tidak dapat dibuat di seluruh kota Mengamankan korupsi Menyembunyikan identitas (misalnya oleh para teroris) (http://www.e-ktp.com/2011/06/hello-world/. 12 Novermber 2012. 03.20 wib)
2.3.11 Manfaat Program e-KTP Adapun manfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara dari penerapan program e-KTP tersebut, yaitu: 1. Untuk mencegah dan menutup peluang adanya KTP ganda dan KTP palsu, sehingga memberikan rasa aman dan kepastian hokum bagi penduduk. 2. Untuk mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat, sehingga Data Pemilih dalam Pemilu dan Pemilukada yang selama ini sering bermasalah 25
tidak akan terjadi lagi, dan semua Wargs Negara Indonesia yang berhak memilih terjamin hak pilihnya. 3. Dapat mendukung peningkatan keamanan Negara sebagai dampak positif dari tertutupnya peluang KTP ganda dan KTP palsu, dimana selama ini para pelaku criminal termasuk teroris, TKI Ilegal, dan perdagangan orang umumnya menggunakan KTP ganda dan KTP palsu. 4. Bahwa KTP Elektronik merupakan KTP Nasional yang sudah memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis NIK Secara Nasional, Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 yaitu Penerapan KTP Elektronik paling lambat akhir 2012. Dengan demikian mempermudah penduduk untuk mendapatkan pelayanan dari Lembaga Pemerintah dan Swasta, karena tidak lagi memerlukan KTP setempat.
2.3.2 Proses Penerapan e-KTP 1. Inventarisasi Kab/Kota yang sudah siap dan memenuhi persyaratan untuk Penerapan e-KTP : a.
Nomenklatur
Instansi
Pelaksana yang menangani kependudukan dan pencatatan sipil wajib disesuaikan menjadi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; b.
Mempunyai Daerah tentang Administrasi Kependudukan yang
Peraturan
mengacu pada regulasi
nasional di bidang administrasi kependudukan;
26
c.
Melaksanakan
Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dalam pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; d.
Sudah
memiliki
database
kependudukan yang mutakhir dan dapat dipertanggungjawabkan; e.
Mempersiapkan
dan
menyediakan tenaga tekhnis pelayanan penerbitan e-KTP; f.
Sanggup
menyediakan
Genset di tempat pelayanan e-KTP bagi kecamatan yang belum memiliki Lisrik, yang dituangkan dengan surat pernyataan Bupati/Walikota yang bersangkutan; g.
Siap dan bertanggung jawab untuk melaksanakan mobilisasi penduduk wajib KTP dan pelayanan penerbitan eKTP, baik pada saat pendampingan maupun setelah selesainya masa pendampingan dari TimPusat dan Provinsi dengan segala konsekuensinya, yang dituangkan dalam surat pernyataan Bupati/Walikota.
2. Sosialisasi dan koordinasi 3. Bintek dan damtek, sesuai dengan jadwal yang disepakati pada Rakornas. 4. Pengadaan perangkat pendukung operasional di data center kependudukan dan daerah. 5. Penyediaan jasa jaringan komunikasi data di kecamatan, Kabupaten/Kota, Pusat dan Provinsi untuk sinkronisasi database kependudukan kabupaten/kota dengan pusat. 6. Pelayanan penerbitan e-KTP di Kecamatan yang didukung oleh Mobilisasi Penduduk Wajib KTP, dengan tahapan : a. Tahap
Awal,
akan
dilakukan
pendampingan
oleh
Tim
Pusat
(Adminduk,BPPT,ITB,LSN,POLRI dan APTIKOM) 27
b. Setelah Pendampingan Selesai, Tenaga Tekhnis Daerah melanjutkan pelayanan Penerbitan secara mandiri di bawah koordinasi Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota, dan Bupati/Walikota selaku Penanggung Jawab.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian Metode penelitian merupakan cara yang utama untuk digunakan dalam penelitian guna mencapai suatu tujuan penelitian, yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisa dan untuk memperoleh data tertentu yang diperlakukan dalam penelitian. Data-data tersebut dapat diperoleh dengan melakukan penelitian pada suatu wilayah yang dijadikan obyek penelitian oleh peneliti Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah (lapangan) (Sugiyono, 2011:8). Sedangkan jenis penelitian deskriptif adlah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variable atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel lain (Sugiyono, 2011:11). Jadi, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif yang menggunakan variabel mandiri sebagai jawaban atas rumusan masalah dengan menginterprestasikan data hasil temuan
lapangan. Dalam hal ini, peneliti akan
menjelaskan tentang Implementasi e-KTP di Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu.
3.2
Definisi Konseptual 28
Implementasi atau penerapan dari NIK khususnya pada e-KTP di Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu berdasarkan UU No. Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis NIK Secara Nasional serta Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2009 tentang perubahan Peraturan Presiden No 26 tahun 2009 tersebut. 3.3 Definisi Operasionl Adapun Indikator-indikator yang digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai implementasi e-KTP di Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu adalah sebagai berikut: 1. Aspek Sumber Daya: staf, informasi, wewenang, dan fasilitas dalam pelaksanaan e2. 3. 4.
KTP di Kecamatan Ratu agung Aspek Komunikasi dalam pelaksanaan e-KTP di Kecamatan Ratu Agung Aspek Disposisi dalam pelaksanaan e-KTP di Kecamatan Ratu Agung Aspek Struktur Organisasi dalam pelaksanaan e-KTP di Kecamatan Ratu Agung
3.7 Sumber Data Data merupakan suatu bagian yang terpenting dalam penyusunan laporan penelitian. Dalam penelitian ini data akan diperoleh melalui beberapa cara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 3.4.1 Data Primer Data primer diperoleh dengan cara dimana peneliti terjun langsung kelapangan penelitian. Penelitian di lapangan dilakukan untuk mendapatkan data dan fakta di dalam menunjang teori-teori yang telah disajikan sehubungan dengan pembahasan masalah. Termasuk kata-kata/ucapan dan tindakan yang berasal dari nara sumber atau informan yang diwawancarai. 3.4.2 Data Sekunder Data sekunder merupakan data pendukung penelitian. Data ini diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan (library research) melalui buku-buku, jurnaljurnal, laporan-laporan hasil kerja, dokumen dan catatan yang diperoleh dari instansiinstansi yang terkai, sehingga dari data yang diperoleh tersebut nantinya akan peneliti
29
analisis melalui data sekunder yang digunakan untuk mendapatkan kesimpulan dari apa yang diteliti. 3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Interview / Wawancara Interview / wawancara yang digunakan disini adalah wawancara yang bersifat terbuka, yaitu daftar pertanyaan yang digunakan itu bersifat terbuka dan dikembangkan saat melakukan wawancara. Sehingga memperoleh data sebanyak-banyaknya yang diperlukan dalam mendukung penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengajukan pertanyaan langsung kepada Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Informasi Andimistrasi Kota Bengkulu, Camat Ratu Agung, Sekretaris Camat Ratu Agung, Operator yang menangani program e-KTP di Kecamatan Ratu Agung, dan Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Ratu Agung.
3.5.2
Dokumentasi Dokumentasi adalah pengumpulan data melalui dokumen-dokumen atau
catatan-catatan yang tersedia yang menjadi obyek penelitian. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini. 3.5.3
Observasi Merupakan cara pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan
dengan sistematis secara langsung ke lokasi penelitian di Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu. 3.6 3.6.11
Populasi dan Sampel Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011:90). Populasi dalam penelitian ini adalah Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Informasi Andimistrasi Kota Bengkulu, pegawai Kecamatan Ratu Agung Kota khususnya 30
camat, sekretaris camat dan operator yan menangani pelayanan e-KTP, serta masyarakat yang tinggal di Kecamatan Ratu Agung 3.6.21
Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul mewakili (Sugiyono, 2011:91). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sampel acak yang tinggal pada Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu. Adapun sampel yang ingin diteliti yaitu Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Informasi Andimistrasi Kota Bengkulu, Pegawai Kecamatan yang terdiri dari Camat, Sekretaris Camat, Operator, ketua operator, dan masyarakat kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu,.
3.7 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis deskriptif. Dengan teknik ini maka setelah data terkumpul, proses selanjutnya adalah menyederhanakan data yang diperoleh dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami dimana hal itu dilakukan dalam upaya mencari jawaban atas permasalahan yang ada. Untuk dapat menyajikan hasil dari penelitian adalah pertama kali yaitu dengan membuat dan menganalisis atau menggambarkan fenomena mengenai situasi atau kejadian dari obyek penelitian. Data dari observasi, wawancara atau pengumpulan data dari lokasi sasaran yang berbentuk dokumen, catatan lapangan, foto dan sebagainya dikumpulkan. Kemudian diberikan gambaran-gambaran dan menerangkannya dalam bentuk yang praktis dan jelas serta dapat dengan mudah dipahami. Dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, maka dapat ditarik beberapa prediksi dan dugaan yang akan diuji. Sehingga 31
dapat memberikan makna, gambaran dan implikasi dari masalah yang ingin dilihat dan dipecahkan. Langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan akhir dan dituangkan kedalam bentuk teks atau tulisan yang bersifat uraian (narrative)
32