BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan merupakan anugerah terbesar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri dan dihormati oleh setiap orang. Dihormati disini karena kehidupan tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak boleh dirampas oleh orang lain selain pencipta kehidupan itu sendiri sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945), yaitu “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hak tersebut sudah ada sejak seseorang masih di dalam kandungan sekalipun. Berbicara mengenai kehidupan, dalam hal ini kehidupan yang alami dimulai melalui kehamilan, oleh sebab itu sudah sepatutnya kehamilan menjadi suatu hal yang didambakan oleh setiap orang terutama oleh pasangan suami-istri. Namun, adakalanya kehamilan menjadi suatu malapetaka yang kehadirannya sama sekali tidak diinginkan, sehingga kehamilan menjadi suatu hal yang harus dihentikan, salah satu yang marak dilakukan adalah dengan tindakan aborsi. Aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.
1
Istilah “pengeluaran” tersebut
maksudnya adalah janin sengaja dikeluarkan dengan campur tangan manusia, baik 1
C.B. Kusmaryanto, 2002, Kontroversi Aborsi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 203.
1
melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. Berbicara aborsi, apapun yang dilahirkan sudah dalam bentuk mati, hal ini berbeda dengan pembunuhan anak yang baru lahir. Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, perbedaan pokok antara pembunuhan anak dan pengguguran kandungan adalah dalam pembunuhan anak harus ada bayi yang lahir dan hidup kemudian, sedangkan dalam menggugurkan atau mematikan kandungan, apa yang keluar dari tubuh ibu adalah suatu kandungan yang hidup tetapi belum menjadi bayi (onvoldragen vrucht), atau seorang bayi yang sudah mati (voldragen vrucht).2 Mendengar kata aborsi tersebut tentu menimbulkan keprihatinan karena janin yang sebenarnya tidak berdosa dan berhak untuk hidup pada akhirnya harus dihentikan kehidupannya. Di Indonesia sendiri, membahas mengenai aborsi bukanlah suatu hal yang tabu atau aneh untuk diperbincangkan mengingat kehidupan masyarakat yang dahulu masih menjunjung tinggi adat istiadat ketimuran sekarang mulai dipengaruhi oleh budaya barat yang lebih terbuka atau ekspresif mengenai suatu hal, tidak terkecuali menyangkut masalah aborsi. Hal ini dikarenakan, aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana serta dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, seperti aborsi yang dilakukan oleh orang dewasa karena tidak ingin aktifitasnya terganggu dengan adanya kehamilan, maupun aborsi yang dilakukan oleh remaja sebagai akibat dari pergaulan bebas, sehingga pada akhirnya menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal tersebut menyebabkan aborsi menjadi suatu fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. 2
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro I), h. 74.
2
Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, mengingat berbagai praktek aborsi banyak yang menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat luas, terutama menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa. Dari segi moral, dilakukannya tindakan aborsi menunjukkan tidak adanya pertimbangan nurani kemanusiaan karena janin yang masih dalam kandungan dan belum sempat melihat bagaimana rupa dunia tetapi sudah direnggut kehidupannya. Pada perkembangannya, masih terdapat perdebatan, baik yang pro maupun kontra mengenai aborsi itu sendiri. Di satu pihak, ada yang memandang bahwa aborsi merupakan kebutuhan yang tidak perlu dipermasalahkan, sedangkan di pihak lain, ada yang memandang bahwa aborsi sebagai suatu tindakan jahat, sehingga bagi pelakunya diancam dengan sanksi pidana. Mengenai hal tersebut, peraturan-peraturan yang mengatur tentang aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang menjadi alasan dari dilakukannya aborsi tersebut. Sejauh ini, menurut pandangan hukum pidana di Indonesia, tindakan aborsi yang dianggap sebagai tindak pidana, yaitu dalam hal aborsi yang dilakukan merupakan abortus provocatus criminalis. Sedangkan, terhadap tindakan aborsi yang bersifat spontan dan medikalis (abortus provocatus therapeuticus) bukan merupakan suatu tindak pidana. 3 Mengenai abortus provocatus therapeuticus tersebut, Dwiana Ocvyanti yang dikutip dalam artikel karangan Petti Lubis memberikan pendapat bahwa:
3
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Alumni, Bandung, h. 18.
3
“Alasan untuk menggugurkan kandungan harus kuat. Aborsi,yang legal umumnya, dilakukan karena terjadi kehamilan yang tak diinginkan atau kehamilan yang tak diizinkan. Aborsi karena kehamilan tak diizinkan biasanya berhubungan dengan alasan medis. Seperti bila kehamilan dilanjutkan maka akan berisiko pada keselamatan ibu, atau bila dilahirkan bayi akan cacat. Risiko tinggi kehamilan ini biasanya juga dipengaruhi oleh faktor usia ibu hamil, yaitu bila ia sudah terlalu tua (di atas 35 tahun) atau terlalu muda (di bawah 20 tahun). Sedangkan, aborsi akibat kehamilan tidak diinginkan biasanya terjadi karena beberapa masalah, misalnya karena si wanita hamil akibat tindakan kekerasan seperti perkosaan, incest, dan sejenisnya. Aborsi hanya akan aman dilakukan bila lima syarat di bawah ini mutlak terpenuhi sekaligus. a. Tindakan pengakhiran kehamilan dilakukan apabila usia kehamilan di bawah 12 minggu. Karena, pada usia itu, kemungkinan rasa sakit, atau kematian sangat kecil. Sedangkan bila usia kehamilan di atas 12 minggu, prosedur pemeriksaan dan tindakan menjadi kompleks dan sulit. b. Harus dilakukan oleh dokter dan sudah terlatih. Jadi, meski aborsi dilakukan oleh dokter, bila ia tidak memiliki keahlian, aborsi tetap berisiko. c. Sebelum dan sesudah aborsi, harus disertai konseling terhadap pasien. d. Keputusan melakukan aborsi yang diambil wanita harus bukan merupakan keputusan yang dipaksakan (harus diambil oleh wanita itu sendiri). e. Setelah aborsi, harus disertai asuhan pasca-keguguran. Di antaranya adalah diberikannya informasi tentang pemakaian alat KB agar tidak terjadi aborsi berulang.”4
Terlepas dari dilakukannya aborsi atas dasar pertimbangan medis seperti keselamatan ibu/janin maupun karena alasan-alasan lain yang apabila dicermati, sama sekali tidak masuk akal untuk dijadikan alasan melegalisasi tindakan aborsi, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki (hamil diluar kawin) atau melakukan aborsi karena pertimbangan ekonomi yang tidak akan mencukupi bila anak lahir kelak, tetap saja aborsi merupakan tindakan yang tidak diinginkan karena apapun yang namanya pengguguran kandungan, sama saja dengan menghentikan kehidupan dan pada akhirnya akan meningkatkan angka kematian pula.
Petti Lubis, 2009, “Aborsi Perlu Alasan Medis”, available from : URL : http://analisis.news.viva.co.id/news/read/35687-aborsi__perlu_alasan_medis, (cited 21 Oktober 2012). 4
4
Menurut laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terdapat sekitar dua jutaan aborsi tiap tahun.5 Disamping itu, menurut hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa sebanyak 21 % remaja atau satu di antara lima remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi. Data diperoleh dengan cara mengumpulkan 14.726 sampel anak SMP dan SMA di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, Lampung, Palembang, Kepulauan Riau dan kota-kota di Sumatera Barat dalam Forum Diskusi Anak Remaja pada 2011. 6 Berbicara jumlah tindakan aborsi yang cukup besar tiap tahunnya serta turut melibatkan remaja, memperlihatkan bahwa fenomena aborsi sangat dipengaruhi oleh gaya hidup bebas, yang tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya hubungan seks di luar perkawinan, tanpa mengetahui dampak yang akan ditimbulkan dari hubungan tersebut. Pengaruh gaya hidup bebas dapat mempengaruhi kualitas berpikir seseorang, sehingga segalanya dilakukan dengan sebebas-bebasnya tanpa memandang garis batas moral dan agama yang ada di masyarakat. Pada hakekatnya, hubungan seks baru boleh untuk dilakukan, bilamana menurut agama yang diyakininya sudah sah sebagai pasangan suami istri, namun kini status sah sebagai suami istri tidak diperdulikan untuk melakukan hubungan seks, asalkan ada tempat dan pasangan, hubungan seks tersebut dapat dilakukan. Ironisnya, hubungan seks di luar kawin tersebut tidak selalu melibatkan
Trianto, 2012, “Menkes Klarifikasi Soal Isu Bagi-bagikan Kondom”, available from : URL : http://www.bkkbn.go.id/Lists/Berita/DispForm.aspx?ID=483, (cited 20 Juni 2012). 5
Deden Gunawan, 2012, “Ngeri... 1 Dari 5 Remaja Melakukan Aborsi”, available from : URL : http://news.detik.com/read/2012/06/25/092738/1949756/159/ngeri-1-dari-5-remajamelakukan-aborsi, (cited 25 Juni 2012). 6
5
laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi, pada kasus-kasus tertentu hubungan seks di luar kawin tersebut dilakukan pula oleh mereka yang mempunyai hubungan sedarah (incest), baik dekat maupun jauh. Hubungan sedarah tersebut tidak selalu didasari atas perasaan suka sama suka, namun ada yang dilakukan dengan kekerasan, sehingga terjadilah perkosaan dalam hubungan sedarah (perkosaan incest). Hubungan seks di luar kawin tersebut sama-sama dapat menimbulkan resiko kehamilan bagi si perempuan. Apabila kehamilan tersebut memang diinginkan oleh pasangan tersebut tentu tidak menjadi masalah lagi, hanya pertanggungjawaban secara moral saja dari pelaku hubungan seks pra kawin tersebut yang perlu dipersoalkan. Namun, apabila kehamilan tersebut terjadi akibat perkosaan incest, tentu akan memberikan trauma psikis bagi perempuan itu sendiri, baik itu rasa malu terhadap keluarga maupun masyarakat di sekitarnya, karena hubungan incest itu sendiri masih dipandang sebagai hal terlarang di Indonesia, sehingga dengan adanya beban moral tersebut ditambah ketidaksiapan untuk hamil, pada akhirnya akan menimbulkan kecenderungan baginya untuk melakukan aborsi. Di Indonesia kasus-kasus aborsi yang dilakukan karena kehamilan incest memang tidak sebanyak kasus aborsi pada umumnya, akan tetapi bukannya tidak ada, namun hanya sedikit yang terekspos. Kasus aborsi akibat hubungan incest yang pernah terjadi, misalnya di Cianjur, dimana Warga Kampung Cangkuang RT 15/04 Desa Sukajadi Kecamatan Cibinong Cianjur selatan, dihebohkan dengan kasus aborsi yang diduga dilakukan Su (50) terhadap anak kandungnya sendiri. Akan tetapi, kasus yang sudah masuk ranah hukum dan diproses di Mapolsek
6
Cibinong ini dimanfaatkan Su untuk kabur. Padahal, kasusnya sudah hampir rampung dan pelimpahan ke Polres Cianjur. Heru (37), salah seorang warga setempat mengatakan, bahwa Su diduga telah menyetubuhi anak kandungnya sendiri berinisial Bunga (17). Bahkan, setelah hamil Bunga dipaksa ke dukun beranak di daerah Kampung Kalapa Nunggal Cibinong untuk digugurkan. 7 Begitu pula kasus di Bangkalan, Madura dimana Lias (50 tahun), warga asal Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, diduga telah menghamili anak kandungnya sendiri. Karena malu, Lias pun memaksa korban untuk menggugurkan kandungannya. Korban, IS (30), ditemukan warga sekitar dalam kondisi bersimbah darah di salah satu kamar rumahnya. Korban mengaku telah mengkonsumsi pil yang disinyalir bisa menggugurkan janin yang ada di dalam kandungannya. Menurut Madeni, warga yang penasaran kemudian bertanya tentang siapa ayah si jabang bayi yang dikandung IS. Kepada warga korban mengaku bahwa dia diperkosa beberapa kali oleh ayah kandungnya hingga hamil. Warga pun melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. 8 Berdasarkan hukum positif di Indonesia, Aborsi diatur dalam dua Undangundang yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009). Dalam KUHP, aborsi diatur dalam Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 dan Pasal 349, sedangkan dalam UU Kesehatan
Radar Sukabumi, 2012, “Dihamili Ayah Kandung, Bunga Dipaksa Aborsi”, available from : URL : http://radarsukabumi.com/?p=12493 (cited 18 Oktober 2012). 7
Subairi, 2011, “Perkosa Anak Kandung, Ayah Paksa Lakukan Aborsi”, available from : URL : http://news.okezone.com/read/2011/04/26/340/450301/perkosa-anak-kandung-ayah-paksalakukan-aborsi (cited 18 Oktober 2012). 8
7
No. 36 tahun 2009 aborsi diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77. Apabila dicermati antara kedua Undang-undang tersebut, terdapat perbedaan pandangan mengenai masalah aborsi. Bila dalam KUHP secara tegas melarang tindakan aborsi dengan alasan apapun, sedangkan dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 walaupun juga melarang tindakan aborsi, namun terdapat ketentuan yang masih memungkinkan aborsi untuk dilakukan, yaitu apabila berdasarkan indikasi kedaruratan medis ataupun karena adanya perkosaan. Ketentuan yang terdapat dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tetap mencantumkan batas-batas aborsi untuk dapat dilakukan seperti tercantum dalam Pasal 76, yaitu kondisi kehamilan maksimal 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu, aborsi sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dengan persetujuan ibu hamil dan izin suami (kecuali korban perkosaan), maupun dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan lainnya sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Hal tersebut menunjukkan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum dan segala perbuatan yang di lakukan oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan. Berbeda dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis, aborsi tersebut dikatakan illegal serta tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tindakan aborsi ini dipandang sebagai tindak pidana atau tindak kejahatan karena KUHP mengkualifikasikan perbuatan aborsi tersebut sebagai kejahatan tehadap nyawa.
8
Selain itu, dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 juga memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan seperti tercantum dalam Pasal 77 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, yaitu pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan
dari
aborsi
yang
tidak
bermutu,
tidak
aman,
dan
tidak
bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan Peraturan Perundang-undangan. Namun, apabila berbicara aborsi kehamilan akibat perkosaan incest tidak serta merta dapat dijadikan alasan untuk dilakukannya aborsi, walaupun perkosaan incest itu sendiri menyebabkan traumatik pada diri korban, adakalanya aborsi dilakukan oleh perempuan segera setelah terjadi kehamilan akibat perkosaan incest dengan menggunakan obat-obatan tradisional. Sehingga, walaupun aborsi tersebut terjadi akibat kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi bila dilakukan dengan cara dan prosedur yang tidak sesuai sebagaimana ditentukan oleh Undangundang, tindakan aborsi tersebut akan menjadi suatu kejahatan. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut yang disesuaikan dengan Peraturan Perundang-undangan terkait mengenai pertangungjawaban pidana terhadap pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest, sehingga akan diketahui dapat atau tidaknya pelaku aborsi dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Fenomena aborsi karena kehamilan akibat hubungan incest dalam perkembangannya, turut menyeret perempuan tidak hanya sebagai pelaku tetapi juga sebagai korban. Hal ini tampak pada saat hubungan seks tersebut dilakukan atas dasar kekerasan atau paksaan sehingga disebut perkosaan, ditambah dengan hubungan tersebut dilakukan oleh keluarga sendiri, sehingga terjadilah perkosaan
9
incest yang mengakibatkan kehamilan bagi si perempuan. Incest itu sendiri sudah merupakan masalah serius, terutama terhadap perempuan dalam sebuah relasi darah (keluarga), sehingga mengakibatkan ia berhubungan seks dengan keluarganya sendiri. Terkadang untuk menutupi aib keluarga dan perasaan malu pada diri sendiri, keluarga serta pandangan buruk dari masyarakat, perkosaan incest tidak dilaporkan, karena adanya ketakutan dari korban atas ancaman- ancaman yang biasanya diberikan oleh pelakunya untuk tidak melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib. Sehingga, besar kemungkinan akan terjadi trauma yang mendalam bagi korban incest, apalagi akibat incest tersebut korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Anak yang lahir dari incest tersebut kemungkinan akan jauh dari keadaan normal yang sempurna. Hal ini karena beberapa generasi dari hasil incest berkemungkinan lahir dengan cacat genetik yang lebih besar. Oleh masyarakat, mendukung atau membiarkan reproduksi dari incest adalah buruk. Dengan berbagai pertimbangan, besar kemungkinan korban akan lebih memilih untuk melakukan aborsi terhadap kehamilan yang tidak diinginkanya tersebut. Berdasarkan persoalan tersebut, aborsi penting untuk dibahas karena fenomena ini berkaitan erat dengan persoalan kesehatan reproduksi perempuan. Di Indonesia, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu, yaitu selain karena persoalan pelayanan kesehatan yang tidak memadai juga dapat dikarenakan praktek aborsi dilakukan oleh ibu yang masih berusia belia. Dengan demikian, pihak perempuan yang melakukan aborsi tentu menjadi pihak yang sangat
10
terbebani karena selain menanggung beban moral dan keselamatan nyawa, ia juga harus bertanggung jawab akibat perbuatan aborsi yang dilakukannya, sehingga dapat dikatakan perempuan merupakan korban sekaligus pelaku kejahatan. Disinilah perlu ditinjau mengenai perlindungan hukum apabila ia melakukan aborsi, sehingga dalam sistem peradilan pidana lebih berpihak kepada korban, yang memang selama ini ada kesan bahwa proses hukum yang adil atau layak hanyalah berlaku bagi tersangka atau pelaku tindak pidana saja. Melihat berbagai permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul dalam skripsi ini, yaitu “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN DALAM HUBUNGAN SEDARAH (INCEST).” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat ditarik permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan? b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest agar memperoleh keadilan hukum? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Baik KUHP maupun UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 merupakan instrument dalam menyelesaikan masalah aborsi karena di dalamnya turut
11
mengatur ketentuan-ketentuan prihal tindakan aborsi. Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna mencegah supaya pembahasan tidak melebar dari rumusan masalah yang telah ditetapkan dan untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam serta terjadi keterkaitan diantara pokok bahasan, maka diperlukan batasan-batasan terhadap pembahasan yang diberikan. Dalam penulisan ini, ruang lingkup dalam permasalahan pertama akan dibatasi pada pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest menurut KUHP dan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Sedangkan, dalam permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest agar memperoleh keadilan hukum. 1.4. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui perumusan dan pengaturan hukum pidana mengenai tindak pidana aborsi. b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest menurut KUHP dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. 2) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap perempuan pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest.
12
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktik dilapangan. a. Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
memberi
kontribusi teoristik
dan
pengembangan konsep dasar dan teori hukum pidana bagi mahasiswa, khususnya mengenai aborsi serta dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia. b. Manfaat Praktis 1) Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah bagaimana pandangan masyarakat tentang aborsi untuk memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang sedang dihadapi. 2) Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama di bidang hukum pidana. 3) Sebagai informasi bagi masyarakat prihal pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku aborsi kehamilan akibat perkosaan incest serta perlindungan hukum terhadap perempuan pelaku aborsi akibat perkosaan incest tersebut. 1.6. Landasan Teoritis Delik dalam hukum positif sama pengertiannya dengan tindak pidana atau perbuatan pidana, yang menurut rumusan para ahli hukum terbentuk dari
13
terjemahan strafbaarfeit. Menurut Moeljatno yang dikutip dalam buku karangan Tolib Setiady, “Strafbaar feit atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.”9 Bahwa, untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu sebab akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan harus adanya hubungan sebab-akibat (causaal vervand) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu. Hubungan sebab akibat tersebut mempunyai teori yang masing-masing mempunyai penganutnya sendiri, teori tersebut adalah: a. Dari Von Buri (tahun 1869) yang disebut teori conditio sine qua non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. b. Dari Von Bar (1870) diteruskan kemudian oleh Van Kriese yang disebut teori adequate veroorzaking (penyebaban yang bersifat dapat dikirakirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikirakirakan bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu.10 Berbicara perbuatan pidana, dikenal asas “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali”. Artinya, tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan, sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Asas nullum delictum ini memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang
9
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h.
9. 10
Wirjono Prodjodikoro, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro II), h. 62.
14
dilakukan tanpa ada Undang-undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dapat dipidana. 11 Aborsi dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam bentuk kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, karena dalam aborsi terdapat penghentian kehidupan yaitu kehidupan janin di dalam kandungan sebelum waktunya untuk dilahirkan. Menurut Soekidjo Notoadmodjo, yang dimaksud dengan aborsi adalah : “keluarnya atau dikeluarkannya hasil konsepsi dari kandungan seorang ibu sebelum waktunya. Aborsi atau abortus dapat terjadi secara spontan dan aborsi buatan. Aborsi secara spontan merupakan mekanisme alamiah keluarnya hasil konsepsi yang abnormal (keguguran). Sedangkan abortus buatan atau juga disebut terminasi kehamilan, yang mempunyai dua macam yakni: 1. Bersifat legal Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten, berdasarkan indikasi medis, dan dengan persetujuan ibu yang hamil atau suami. 2. Bersifat illegal Aborsi illegal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak kompeten, melalui cara-cara di luar medis dengan atau tanpa persetujuan ibu hamil dan atau suaminya. Aborsi illegal sering juga dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi medis.” 12
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, dikenal Teori Dualistis, yaitu teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana. Teori ini berpangkal tolak dari pandangan bahwa unsur pembentuk tindak pidana hanyalah perbuatan, sehingga hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi
11
R. Abdoel Djamali, 2009, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 179.
12
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.
135.
15
suatu tindak pidana. Sedangkan, sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari pertanggungjawaban pidana. 13 Pertanggungjawaban pidana hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban
pidana
mengandung
di
dalamnya
pencelaan/
pertanggungjawaban objektif. Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana menurut hukum yang berlaku (asas legalitas) dan secara subjektif si pembuat patut dicela atau
dipersalahkan/dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana yang dilakukannya itu (asas culpabilitas/kesalahan) sehingga patut dipidana.14 a) Kemampuan Bertanggung Jawab Menurut Utrech yang dikutip dalam buku karangan Adami Chazawi, “kemampuan bertanggung jawab itu merupakan unsur diam-diam dari setiap tindak pidana, seperti juga dengan unsur melawan hukum. Oleh sebab itu, apabila ada keraguan tentang ada tidaknya kemampuan bertanggung jawab bagi seseorang, maka hakim wajib menyelidikinya”. 15 Sedangkan, menurut Simons yang dikutip dalam buku karangan Muladi dan Dwidja Priyatno, kemampuan bertanggung jawab diartikan sebagai suatu
Chairul Huda, 2011, ‘Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana, Jakarta, h. 15. 13
14
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.137. 15
Adami Chazawi, 1995, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), h.148.
16
keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. 16 Syarat-syarat seseorang dapat dipertanggungjawabkan menurut Roeslan Saleh adalah: 1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya daripada perbuatannya. 2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat. 3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. 17
b) Kesengajaan dan Kealpaan: Terdapat dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Kesengajaan adalah kesediaan yang disadari untuk memperkosa suatu objek yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kealpaan adalah kekurangan pengertian terhadap obyek itu dengan tidak disadari. 18 Berbicara kesengajaan, terdapat dua teori mengenai hal ini, yaitu Teori Kehendak dan Teori Pengetahuan. Menurut Teori Kehendak, yang dapat diliputi oleh kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuatnya. Sedangkan, menurut Teori pengetahuan yang penting adalah apa yang dibayangkan atau diketahui oleh pembuatnya ketika melakukan perbuatan itu. 19 Terdapat tiga corak kesengajaan yang dikenal dalam kepustakaan, yaitu:
16
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta, h. 74. 17
Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Djawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta, h. 61. 18
Ibid, h. 92.
19
Ibid, h. 75.
17
1) kesengajaan sebagai maksud, artinya perbuatan itu disengaja karena memang dengan maksud; 2) kesengajaan sebagai keharusan, artinya apabila perbuatan yang dilakukan itu bukanlah yang dimaksud, tetapi untuk mencapai yang dimaksud itu harus melakukan perbuatan itu pula. 3) Kesengajaan sebagai kemungkinan, artinya perbuatan itu tidaklah terpaksa dilakukan, tetapi hanya suatu kemungkinan saja. 20
Sedangkan, syarat-syarat yang merupakan kekhususan daripada kealpaan, yaitu: tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak berhatihati sebagaimana diharuskan oleh hukum. 21 c) Alasan Penghapusan Kesalahan Dalam alasan penghapus pidana mengandung dua alasan, yaitu: 1) apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan pembenar. 2) apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai alasan pemaaf. 22
Kejahatan mengenai aborsi dapat dilihat dalam KUHP yang hanya mengatur mengenai abortus provocatus criminalis, yaitu pada Buku II Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan yaitu Pasal 299 KUHP, serta dalam Bab XIX tentang Kejahatan terhadap Nyawa yaitu Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349 KUHP.
20
Ibid, h. 88.
21
Ibid, h. 93.
22
Ibid, h. 97.
18
Pasal 299 KUHP menyatakan: (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah. (2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346 KUHP menyatakan: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Pasal 347 KUHP menyatakan: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 KUHP menyatakan: (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP menyatakan: “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan Pasal 348, maka pidana yang
19
ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan”.
Pengguguran Kandungan yang diatur dalam KUHP tersebut, jika diamati maka akan diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguran kandungan, yakni : a. Janin b. Ibu yang mengandung c. Orang ketiga yaitu yang terlibat pada pengguran tersebut.23 Pengaturan mengenai aborsi juga dirumuskan dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yaitu Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Undang-undang ini melarang dilakukannya aborsi, namun terdapat pengecualian seperti yang tercantum dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. 1.7. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.24 Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam Peraturan Perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai norma yang merupakan
23 Leden Marpaung, 2000, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Leden Marpaung I), h. 46. 24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h. 13.
20
patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 25 Penelitian hukum normatif digunakan karena adanya konflik norma mengenai pengaturan aborsi dalam hukum positif di Indonesia, bila dalam KUHP, aborsi sama sekali dilarang untuk dilakukan, berbeda dengan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, terdapat ketentuan yang masih memungkinkan dilakukannya aborsi. b. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan Perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan Perundang-undangan dilakukan untuk menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan Perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara satu Undang-undang dengan Undang-undang yang lain, terutama yang berkaitan dengan persoalan aborsi kehamilan akibat perkosaan incest. 26 Sedangkan, pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.27
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Amiruddin dan Zainal Asikin I), h.118. 26
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93.
27
Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 306.
21
c. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif) yang terdiri atas Peraturan Perundang-undangan yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan masalah aborsi kehamilan akibat perkosaan incest.
28
Bahan hukum primer yang
dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian berupa skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum. 29 Bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum dapat memberi inspirasi bagi peneliti untuk menjadi titik anjak dalam memulai penelitian. 30
28
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47.
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc.cit.
30
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h. 155.
22
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia.31 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Studi Dokumentasi, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan penelusuran kepustakaan yang bersumber dari Peraturan Perundangundangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian untuk selanjutnya dibaca, dipahami lalu dicatat dalam kartu-kartu kecil yang telah disiapkan.32 e. Teknis Analisis Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik deskripsi, sistematisasi, dan argumentasi. Teknik deskripsi, yaitu dengan menguraikan mengenai isi dan struktur hukum positif guna menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.33 Teknik sistematisasi, yaitu dengan mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan
31
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Amiruddin dan Zainal Asikin II), h. 119. 32
Zainuddin Ali, Op.cit, h. 176.
33
Zainuddin Ali, Op.cit, h. 177.
23
hukum, dan obyek hukum. 34 Melalui teknik ini, dapat dicari kaitan rumusan konsep hukum atau proposisi hukum antara Peraturan Perundang-undangan yang sederajat yang mengatur mengenai aborsi kehamilan akibat perkosaan incest menurut KUHP dan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Sedangkan, dengan teknik argumentasi, yaitu penilaian harus didasarkan atas suatu alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Digunakan apabila Peraturan Perundang-undangan belum lengkap, sehingga untuk melengkapinya digunakan argumentasi. 35 Semakin banyak argumen dalam pembahasan permasalahan hukum, semakin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
34
Zainuddin Ali, Op.cit, h. 26.
35
Zainuddin Ali, Op.cit, h. 152.
24