1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Keluarga
ideal
adalah
sebuah
keluarga
yang
terpenuhi
semua
kebutuhannya dan kemudian teratur komunikasinya serta saling menghargai dan memperhatikan satu sama lain. Memang benar bahwa sepasang suami isteri atau ayah dan ibu merupakan insan yang memiliki peranan besar dan utama dalam membina sebuah keluarga. Untuk menjalankan peran ini, tentunya diperlukan banyak hal dari berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan tentang kekeluargaan dan perkawinan, pengetahuan pendidikan, perkembangan anakanak dan kemantapan intelektual serta emosi kejiwaan. Semua faktor pendukung yang harus dimiliki suami isteri seperti yang sudah disebutkan di atas sudah selayaknya harus dimiliki dan diseimbangkan kadarnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mutlak dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan perselisihan keluarga. Konflik keluarga menjadi faktor pendukung penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. karena masih banyak masyarakat yang kurang memahami bahwa jika terjadi konflik dalam sebuah keluarga, yang sangat rentan menjadi korban tindak kekerasan adalah perempuan dan anak.1 Dalam hubungan suami isteri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, hal ini tidak berarti suami boleh bertindak bebas tanpa memperdulikan hak-hak isteri. Apabila hal ini terjadi maka isteri berhak untuk mengabaikannya.
1
http://www.idlo.int/docnews/239DOC1.pdf diakses tanggal 22 mei 2012
2
Selain hak dan kewajiban suami isteri, dalam suatu rumah tangga sebagaimana telah diatur dalam undang-undang perkawinan sebagai dasar dibentuknya sebuah keluarga, juga terdapat kedudukan suami isteri yang secara garis besar adalah
sama,
baik
kedudukannya
sebagai
manusia
maupun
dalam
kedudukannya dalam fungsi keluarga. Tujuan tersebut adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami isteri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan.2 Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (untuk selanjutnya disebut UU PKDRT), disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.3 Disisi lain diskriminasi terhadap perempuan dapat diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang bertujuan atau berpengaruh untuk menghalangi, meniadakan pengakuan terhadap dinikmatinya atau dilaksanakannya hak asasi manusia dan kebebasan dasar oleh kaum perempuan.4 Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang suami, seperti suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
2
3 4
Komar Andasasmita, Notaris III – Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut UndangUndangHukum Perdata (Teori dan Praktek), (Bandung : Sumur Bandung, 1992), hal. 36. Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2004 Schuler, Margaret A. & Thomas, Doroty Q (penyunting). 2001. Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan Langkah Demi Langkah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan., h. 46
3
dengan memukul atau menampar istrinya, menendang, dan memaki-maki dengan ucapan yang kotor. Kultur budaya masyarakat yang mengedepankan laki-laki dapat dipastikan posisi perempuan bersifat subordinasi terhadap lakilaki. Segala bentuk kekerasan yang terjadi bagi perempuan selalu mempunyai legitimasi kultural masyarakat, karena memang posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan atau istri dapat diartikan sebagai suatu tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga, dan melanggar hak-hak asasi perempuan. Tindak kekerasan yang dilakukan akan memberikan dampak dan resiko yang sangat besar bagi perempuan atau istri. Jadi dapat didefinisikan kekerasan terhadap perempuan atau istri adalah tindakan yang melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia, karena melukai secara fisik danpsikologis seorang perempuan atau istri. Berdasar teori-teori di atas dapatdisimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan secara verbal atau fisik yang dilakukan oleh seorang suami yang dapat berakibat kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi pada istri. Bentuk-bentuk kekerasan dapat berupa kekerasan psikis, bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensifitas emosi seseorang sangat bervariasi. Mencermati pendapat dari para ahli mengenai istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan nampaknya belum ada kesamaan istilah, ada yang memakai bentuk-bentuk, ada yang memakai jenis-jenis. Dalam kaitan tersebut penulis condong memakai bentuk-bentuk sesuai UU No.23 Tahun 2004.
4
Pencegahan
kekerasan
dilakukan
secara
terus-menerus
dengan
diberlakukannya sistem hukum yang diharapkan dapat mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap perempuan.5 Akan tetapi seorang istri yang menjadi korban kekerasan cenderung enggan untuk mengadukan hal tersebut pada instansi yang berkaitan, misalnya komnas perempuan untuk mencari solusi alternatif terbaik aatau melalui jalur litigasi yaitu melaporkan pada pihak kepolisian. Faktor yang menjadi keengganan antara lain adalah kurang pehamnya seorang istri sampai mana sebenarnya batasan kekerasan yang dilakukan suami tersebut serta takut akan tidak terpenuhinya nafkah seorang istri apabila melaporkannya atau mengadukan pada pihak yang berwenang. Tindakan kekerasan tidak akan pernah hilang dari persepsi korban yangmengalami kekerasan, sebagaimana pula tindak-tindak kejahatan lainnya. Namun, bukan berarti tindakan kekerasan tidak dapat dikurangi kualitas dan kuantitasnya. Pemecahan yang menyeluruh untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan seharusnya berfokus pada masyarakat sendiri, yakni dengan mengubah persepsi mereka tentang tindak kekerasan terhadap perempuan. oleh karena itu pandangan masyarakat yang selalu menganggap bahwa perempuan hanyalah warga negara kelas dua. Penanganan Kekerasan di dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusian. Merebaknya tindak kekerasan di Indonesia telah mendorong berbagai cara untuk mengatasinya. Dewasa ini telah lahir beragam upaya dan lembaga yang memberi perhatian kepada masalah korban kekerasan. Akan tetapi upaya tersebut kadang kurang direspon oleh korban kekerasan karena mereka berasumsi itu adalah masalah internal meraka tentunya sama saja
5
Katjasungkana, Nursyahbani. 2002. Keadilan Hukum Untuk Perempuan Korban Kekerasan, Jurnal Perempuan No. 26. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan., 2002, h. 161.
5
membuka aib sendiri kalau mengadukan kekerasan yang terjadi pada rumah tangga mereka. Beranjak dari permasalahan tersebut maka tu dalam penulisan skripsi ini penulis bermaksud membuat tulisan tentang “Tinjauan Yuridis terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga sesuai Undang-undang republik Indonesia nomor 23 tahun 2004”.
2. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pengaturan tentang Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif Indonesia? 2. Apakah Penegakan Hukum Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga sesuai Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga?
3. Penjelasan Judul Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berbagai pendapat, persepsi, dan definisi mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (untuk selanjutnya disebut KDRT) berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, di kalangan masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol di jalanan umum dan ia minta tolong,
6
maka masyarakat termasuk aparat polisi akan segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang
segan
menolong
karena
tidak
mau
mencampuri
urusan
rumahtangga orang lain.
Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya,
suami
terhadap
istrinya,
majikan
terhadap
pembantu
rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau pun cacat Telah menjadi satu trend dewasa ini, bahwa masyarakat termasuk aparat penegak hukum berpendapat bahwa diperlukan undang-undang sebagai dasar hukum untuk dapat mengambil tindakan terhadap suatu kejahatan, demikian pula untuk menangani KDRT.6
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
6
http://perimakgpm.wordpress.com/2009/03/02/pengertian-kdrt-menurut-undang-undang/
7
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang, akan tetapi korban dari kekerasan rumah
tangga
ini
seringkali
kurang
mengerti
bagaimana
upaya
pencegahan serta penanganan suatu kekerasan yang telah terjadi pada keluarga mereka. setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila
Tahun 1945.
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dalam Pasal satu butir (1) dijelaskan bahwa : Kekerasan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 undang-undang nomor 23 tahun 2004 adalah kekerasan fisik, psikis, seksual, serta penelantaran dalam rumah tangga.
Pasal 2 menjabarkan selanjutnya:
(1) Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang ini meliputi:
a.
suami, istri, dan anak
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan,
pengasuhan,
menetap dalam rumah tangga; dan/atau
dan perwalian,
yang
8
c. orang yang bekerja membantu rumah tanggadan menetap dalam rumah tangga tersebut
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan
4. Alasan Pemilihan Judul Segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Kekerasan dalam rumah tangga biasanya lebih sering terjadi pada seorang istri, kekerasan tersebut dapat memberikan dampak yang luar biasa sehingga perlu adanya perlindungan sebagaimana telah diamanahkan dalam konstitusi. Selain termaktub dalam undang-undang dasar perlindungan kekerasan sendiri juga telah diatur diberbagai regulasi, baik itu undangundang maupun peraturan lainnya. Kekerasan ada berbagai macam jenis seperti kekerasan terhadap anak, gender, kekerasan terhadap kaum yang lemam bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Namun penulis dalam penelitian kali ini
tidak
mengakomodir
semua
jenis
kekerasan
tersebut. Penulis tertarik untuk meniliti kekerasan dalam lingkup rumah tangga, karena kekerasan ini tentunya memiliki kharakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kekerasan umum lainnya.
Mengingat dari
subyek dan juga lingkup yang tergolong intern dan juga kekerasan yang didefinisikan tidak secara fisik saja akan tetapi juga kekerasan non fisik sebgaimana telah disebutkan dalam pasal 1 ayat (2) undang-undang
9
tentang Perlindungan Kekerasan Dalam rumah tangga yaitu undangundang nomor 23 tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, seksual, dan juga psikologis. Perbuatan kekerasan tersebut telah menciderai makna konstitusi dan melanggar HAM maka penulis bermaksud membuat skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SESUAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004”
5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain : 1. Tujuan Akademis yaitu guna memenuhi salah satu syarat studi tahap akhir, untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Wijaya Putra Surabaya. 2. Tujuan Praktis yaitu menjelaskan tentang faktor-faktor yang menjadi sebab kekerasan dalam rumah tangga serta penegakan hukum terhadap kekerasan rumah tangga dalam hal ini
6. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat dalam penulisan skripsi ini antara lain : 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbanganm pemikiran ilmiah
bagi
perkembangan
bidang
ilmu
Hukum
khususnya
perlindungan bagi istri terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
10
2. Bagi subjek, diharapkan jika terjadi ancaman-ancaman dalam rumah tangga segera meminta bantuan lembaga yang menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam bentuk bantuan hukum maupun proses penuntutan. 3. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran pada masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak kejahatan yang dapat merugikan bagi siapapun yang mengalaminya. Oleh sebab itu, masyarakat harus membantu korban kekerasan disekitarnya. 4. Bagi instansi terkait seperti : Kepolisian dan Pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai referensi berbagai pihak, khususnya pemerintah dan kepolisian untuk
memberikan
penanganan secara intensif menurut UUD atau aturan yang berlaku yang telah ditetapkan oleh Negara Indonesia.
7. Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan disini adalah “Penelitian Hukum Normatif” yaitu suatu penelitian yang bertumpu pada telaah yuridis normatif atas hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas Dalam penelitian Hukum Normatif sebagai penelitian doktrinal, dengan menggunakan proposisi-proposisi yang berkaitan, tidak dikenal adanya variabel bebas dan variabel terikat, hipotesa, populasi dan
11
sampling, dan dan teknik pengumpulan data, analisis data, baik dengan menggunakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif.
b. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), yaitu dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan pokok masalah yang dibahas.
c. Bahan Hukum Dalam penelitian atau penulisan skripsi ini, penulis menggunakan berbgai macam sumber yang menjadi acuan maupun rujukan sehingga penelitian hukum ini tetap berdasarkan yuridisnormatif. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum pokok yang menjadi dasar dipilihnya judul maupun isu hukum dari penelitian ini, yang mencakup ketentuan perundang-undangan, baik itu undangundang dasar 1945 yang menjadi konstitusi negara Republik Indonesia maupun undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga serta peraturanperaturan lain (hukum positif) yang relefan dan terkait dengan pokok bahasan dalam penulisan ini yaitu penrlindungan hukum terhadap kerasan dalam rumah tangga. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum penunjang dari bahan
hukum primer yang berupa buku literatur dari berbagai penerbit
12
maupun pengarang yang dipilih oleh penulis secara relevan dan merujuk dari saran dosen pembimbing dari penulis penelitian ini, jurnal hukum online, kamus hukum serta karya-karya ilmiah dibidang ilmu hukum lainnya dan tak lupa memanfaatkan kecanggihan teknologi melalui pencarian di Internet dengan sumber yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
d. Langkah-Langkah Kajian Langkah pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data
atau
inventarisasi
menggunakan
studi
bahan
hukum
kepustakaan.
yang
terkait
dengan
Kemudian
bahan
hukum
diklasifikasikan dengan cara memilah-milah bahan hukum, dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami. Untuk menganalisa bahan-bahan Hukum diawali dengan menemukan pemikiran atau ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang lebih bersifat khusus (deduksi). Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan pada hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, pasal yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan bahasan.
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
pokok
13
8. Pertanggung Jawaban Sistematika Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan dibagi menjadi 4 (empat) Bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN Bagian ini merupakan pendahuluan dari konsep materi yang akan dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, penjelasan judul serta alasan pemilihan judul. Dalam bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan,
metode penulisan, dan
sistematika pertanggung jawaban.
BAB II
PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004 Dalam Bab ini akan dijelaskan mengenai devinisi kekerasan dalam rumah tangga, bentuk-bentuk dan kharekteristik kekerasan dalam rumah tangga serta pengaturan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
BAB III PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap korban dari kekerasan rumah tangga dalam hal ini adalah istri, yaitu bagaimana upaya awal hingga perlindungan hukum. BAB IV PENUTUP
14
Merupakan bagian akhir dari penulisan yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban singkat atas rumusan masalah serta bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah ilmu hukum.
15
BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004
1. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam Rumah Tangga (untuk selanjutnya disebut KdRT) dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.7 Sebagai perbandingan mengenai definisi KdRT, dalam kebijakannya mengenai kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), United Kingdom menggunakan definisi kekerasan dalam rumah tangga yang merujuk pada tindakan-tindakan yang mengandung kekerasan dan kejahatan yang di definisikan sebagai pola dari tindakan yang dicirikan oleh penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol oleh seseorang pada orang lain yang merupakan atau telah menjadi pasangan intim. Kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, seksual, emosional, dan atau psikologis, dan kekerasan tersebut berwujud tekanan, pelecehan, pengrusakan harta benda, ancaman dan kekerasan finansial.8
7 8
Pasal 1 ayat (1) uu No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga www.wikipedia.com diakses tanggal 11 juni 2012
16
Kekerasa dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita. Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap istri sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik.9 Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
percaya, atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Sebuah koalisi di negara bagian New York mendefinisikan domestic violence sebgai tindakan kekerasan, baik bersifat emosional, psikologis, fisik maupun seksual, yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
9
Mansour fakih, www.goodreads.com/.../1795695.Analisis_Gender_dan_Transformas. diakses tanggal 23 Juni 2012
17
mengontrol orang lain dalam relasi yang intim dengan dirinya. Banyak bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu termasuk tindakan-tindakan seperti ancaman, nama panggilan, mencegah untuk berhubungan dengan keluarga atau teman, menahan uanag (tidak memberikan uang), ancaman atau perlakuan yang membahayakan secara fisik, dan penghinaan.10
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan (pasal 5) yang tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga mencakup kekerasan psikis, seksual dan ekonomi sebagai bentuk-bentuk kekerasan yang masuk dalam tindak pidana. Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku KdRT meliputi penjara atau denda. Sanksi pidana ditujukan untuk memberi efek jerah bagi pelaku namun tetap dapat menjaga keutuhan rumah tangga karena pelaku tidak harus dipenjara. Selain itu juga korban dapat mengajukan tuntutan agar kasus KdRT tidak harus disertai dengan perceraian. Sebagai alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwah bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti lainnya (pasal 55).
a. Kekerasan Fisik Pasal 6 mendefinisikan kekerasan fisik sebagai suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pelaku kekerasan fisik diancam dengan ancaman kurungan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau 10
Dewita Hayu Shinta & Oetari Cintya Bramanti, Redukisi Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam RUU KUHP, LBH Apik & Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 2007
18
denda paling banyak 15 (lima belas) juta rupiah. Ancaman pidana untuk pelaku kekerasan fisik adalah sebagai berikut : Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) belum mengenal pidana minimum. Delik yang berlaku untuk kekerasan fisik adalah delik pidana murni kecuali ayat (4), artinya bahwa setiap orang dapat melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada polisi dan pencabutan perkara tidak diperbolehkan. Delik pidan murni ini juga memeberikan peluang bagi polisi untk segera bertindak tanpa harus menunggu laporan terlebih dahulu. Dalam UU PKdRT tidak menjelaskan bagaimana kekerasan itu dilakukan, akan tetapi lebih fokus pada dampak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut.
b. Kekerasan Psikis Pasal 7 UU PKdRT mendefinisikan kekerasan Psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/penderitaan psikis berat pada seseorang. Dengan didefinisikannya kekerasan psikis maka kasus kekerasan psikis yang kerap diabaikan dan tidak dianggap serius kemudian mendapatkan pengakuan sebgai salah satu bentuk kejahatan dan karena itu pelakunya dapat dijatuhi pidana. Delik kekerasan psikis lebih menekankan pada dampak yang ditimbulkan daripada perbuatannya. Oleh karena itu, apa dan bagaimanapun perbuatan yang dilakukan sepanjang menimbulkan dampak-dampak yang disebutkan dalam pasal itu makaperbuatan tersebut dapat dimasukan dalam kategori kekerasan psikis. Dari penjesan tersebut kekerasan psikis sepertinya sulit
19
diproses sampai kepengadilan karena pembuktian terhadap dampak-dampak kekerasan psikis tersebut sulit dilakukan. Pelaku kekerasan psikis diancam dengan pidan sebgai berikut : 1. Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipenjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 9 (sembilan) juta rupiah. 2. Jika terjadi antara suami istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipenjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda 3 (tiga) juta rupiah. Delik yang digunakan pada kekerasan psikis adalah delik pidana murni kecuali ayat (2). Oleh karena itu, pelapor kasus kekerasan psikis tidak harus korban itu sendiri, tetapi masyarakat juga bisa berpartisipasi melaporkan kasus kekerasan psikis ke polisi. Polisi juga bisa lebih proaktif dengan langsung bertindak bila menemukan kekerasan psikis. Pencabutan perkara juga tidak diperbolehkan dalam kasus kekerasan psikis ini.
c. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual atau marital rape dalam rumah tangga sering kali terjadi tetapi dianggap tidak mungkin sehingga selalu diabaikan. Namun UU KdRT memungkinkan kekerasan seksual dalam rumah tangga akhirnya diyakini sebagai suatu kejahatan. Bahkan kekerasan seksual (pasal 8) tidak hanya terbatas pada pemaksaan hubungan seksual tetapi juga pemaksaan cara-cara berhubungan seksual dan pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain. Artinya setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau
20
tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.11 Berdasarkan pada beberapa pengertian
marital rape di atas, dapat
dirumuskan bentuk-bentuk marital rape sebagai berikut : 1. Hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidak siapan istri dalam bentuk fisik dan psikis. 2. Hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri misalnya dengan oral atau anal. 3. Hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat.12 Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga telah memasukan sanksi minimum untuk kejahatan kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual dengan orang tujuan komersial dan kekerasan seksual yang mengakibatkan kondisi tertentu, ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual dapat diancam pidana.
d. Kekerasan Ekonomi Yang
dimaksud
kekerasan
ekonomi
ialah
apabila
suami
tidak
memberikan nafkah, perawatan atau pemeliharaan sesuai dengan hukum yang berlaku atau perjanjian antara suami dan istri tersebut. Selain itu juga yang termasuk dalam kategori penelantaran ekonomi adalah membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.
11
Penjelasan Pasal 8 undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga 12 Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, PT, LKiS Pelangi Aksara, Yogjakarta, Cet. 1, 2007. hlm. 11
21
Kekerasan ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 9 mencakup Penelantaran dalam rumah tangga dan juga mengakomodasi pelarangan
bekerja
yang
menyebabkan
ketergantungan
ekonomi.
Kekerasan ekonomi dapat dikelompokan sebgai berikut : 1. Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut huku yang berlaku atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Perbuatan yan mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara : melarang bekerja didalam atau luar rumah sehingga korban ada dibawah kendali orang tersebut. Pengaturan mengenai kekerasan ekonomi dapat menjadi satu cara untuk memutuskan siklus kekerasan terhadap perempuan sebab kekerasan ekonomi menciptakan ketergantugan ekonomi yang selam ini menjadi faktor langgengnya kekerasan dalam rumah tangga. Semua bentuk kekerasan ekonomi ini delik murni.
3. Pemicu Kekerasan dalm Rumah tangga Kekerasan dalam rumah tangga dapat dipicu oleh banyak faktor. Diantaranya ada faktorekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu dan bisa juga disebabkan adanya salah satu orang tua dari kedua belah pihak, yang ikut ambil andil dalam sebuah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan faktor ekonomi, bisa digambarkan misalnya minimnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga. Terkadang ada seorang istri yang terlalu banyak menuntut dalam hal untuk memenuhi
22
kebutuhan rumah tangga, baik dari kebutuhan sandang pangan maupun kebutuhan pendidikan. Dari situlah timbul pertengkaran antara suami dan istri yang akhirnya menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua belah pihak tidak lagi bisa mengontrol emosi masing-masing. Seharusnya seorang istri harus bisa memahami keuangan keluarga. Naik turunnya penghasilan suami sangat mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran yang dikeluarkan untuk keluarga. Disamping pendapatan yang kecil sementara pengeluaran yang besar seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim. Cara itu bisa menghindari pertengkaran dan timbulnya KDRT di dalam sebuah keluarga.13 Dari faktor pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal yang telah diperoleh oleh suami maupun istri sebelum melaksanakan pernikahan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal ini umumnya didirikan pemerintah dan juga swasta. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang akan berpengaruh pada pribadi dan kharakter yang semakin baik.14 Selain pendidikan formal juga dikenal pendidikan non formal, pendidikan non formal juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pengetahuan seseorang. Pendidikan non formal ini bisa datang dari keluarga maupun lingkungan sekitar. Sehingga berpetonse dalam pembentukan kharakter seseorang. Sifat arogan dan sering menggunakan
13
http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/24/pemicu-kekerasan-dalam-rumah-tangga/ diakses tanggal 12 juni 2012 14
http://lukmancoroners.blogspot.com/2010/02/pendidikan-formal-vs-pendidikan.html diakses tanggal 28 Agustus 2012
23
kekerasan bisa disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan dari kedua belah pihak bagaimana cara mengimbangi dan mengatasi sifat-sifat yang tidak cocok diantara keduanya. Faktor pendidikan yang diamksud adalah Mungkin di dalam sebuah rumah tangga ada suami yang memiliki sifat arogan dan cenderung menang sendiri, karena tidak adanya pengetahuan. Maka sang istri tidak tahu bagaimana cara mengatasi sifat suami yang arogan itu sendiri. Sehingga, sulit untuk menyatukan hal yang berbeda. Akhirnya tentulah kekerasan dalam rumah tangga. Kalau di dalam rumah tangga terjadi KDRT, maka perempuan akan menjadi korban yang utama. Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.15 Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.16 Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan 15
16
http://www.gadis.co.id/Gaul/aksi/kekerasan.fisik.tindak.kriminal/001/006/9 diakses tanggal 02 Juli 2012 ibid hal 14
24
rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.17 Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa disebabkan tidak adanya rasa cinta pada diri seorang suami kepada istrinya, karena mungkin perkawinan mereka terjadi dengan adanya perjodohan diantara mereka tanpa didasari dengan rasa cinta terlebih dahulu. Itu bisa membuat seorang suami menyeleweng dari garis-garis menjadi seorang suami yang baik dan lebih bertanggung-jawab. Suami sering bersikap kasar dan ringan tangan. Untuk menghadapi situasi yang seperti ini, istri butuh kesabaran yang sangat amat besar. Berusaha berbuat semanis mungkin agar suami bisa berubah dan bersikap manis kepada istri.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah 17
Hawari, Dadang.Penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga, BP, FKUI, Jakarta 2009, Hal 13
25
tangga, bisa suami maupun istri. Akan tetapi juga bisa disebabkan karena faktor eksternal maupun internal terkait rumah tangga itu sendiri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing. Hal ini merupakan titik awal dari munculnya sebuah konflik hingga lama kelamaan dibiarkan akan menjadi sebuah masalah yang mengarah pada suatu kekerasan dalam sebuah rumah tangga.
4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Korban kekerasan bisa
mengenali fakta
kekerasan psikis
sementara waktu, sebagai pengenalan awal untuk menyadari seseorang diketahui menjadi korban atau sedang menderita gangguan psikologis sebagai variasi dan tanda-tanda terganggunya kondisi psikologis.18 a) Ketakutan (fear) Diantara gejala yang muncul seperti jika seseorangberada dalam keadaan kecemasan berkelanjutan karena relasi dirasatidak berimbang. Seseorang merasa sama sekali tidak bisa mengambilkeputusan terutama dalam situasi
mendesak.
Selalu
khawatir
bersikapkarena
ketergantungan
permanen. b) Rasa tidak Percaya Diri (PD) Rasa tidak PD dapat berarti orang tidakbisa membuat konsep diri positif orang kemudian terjangkiti dan didominasi oleh konsep diri negatif hingga tidak menemukan cara menghargai dirinya. Gejala ini ditandai dengan oleh 18
Muhammad bin Umar An-Nawawi, Syarah Uqudullujain Etika Rumah Tangga, Pustaka Amani, Jakarta, Cet II, 2000. hlm. 22.
26
sikap merendah terus menerus atau minder (inferior), selalu menyerahkan urusan kepada orang lain, dan merosotnya eksistensi diri hingga tidak lagi memiliki harapan untuk membuat nilai positif dalam hidupnya. c) Hilangnya kemampuan untuk bertindak Orang dengan situasi trauma atau mengalami kejenuhan permanen akibat harga dirinya lemah akan jatuh pada situasi pesimis dalam memandang hidup dan hingga enggan melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang
diharapkanya.
Efek
kekerasan
psikis
menimbulkan
trauma
degenetatif (mematahkan semangat berkembang generasi). Hal ini tentunya tidak baik terhadap keharmonisan keluarga. d) Adanya situasi tidak berdaya (helplessness) situasi ini juga merupakan gangguan pribadi dan dikatakan orang sakit secara psikologis. Ciri-ciri helplessness antara lain putus asa, menyerah sebelum berbuat, fatalistic, dan selalu menggantung diri, pada otoritas. Orang yang tidak berdaya akan sulit melakukan komunikasi.
27
BAB III PENEGAKAN HUKUM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
1. Penegakan Hukum KDRT menurut Peraturan Internasional Selain diatur dalam perundang-undangan nasional, kekerasan terhadap gender dalam hal lingkup rumah tangga ini telah menjadi issue global hingga saat ini telah diatur dalam beberapa peraturan internasional. Sebagai komparasi berikut ini akan dipaparkan beberapa peraturan internasional yang mengatur tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan atau istri. a. Konvensi
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi
terhadap
Perempuan Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Eliminition of all forms of Discrimination Againts Woment/CEDAW)19 telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang no.7 tahun 1984. Konvensi ini mendifinisikan20 diskriminasi terhadap perempuan sebagai setiap pembeda, pengucilan dan pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. CEDAW
19 20
Dewita Hayu, Op.Cit hal 31 Pasal 1 UU No.7 tahun 1984
28
memandatkan semua negara yang meratifikasi untuk mengambil langkah kebijakan untuk menghapus diskriminasi dengan cara:21 1) Mencantumkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam Undang-Undang Dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya jika belum termasuk didalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat; 2) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturanperaturan lainnya termasuk sanksi-sanksi dan melarang semua diskriminasi terhadap perempuan; 3) Menegakan perlindungan hukum terhadap perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintahan lainnya; 4) Tidak melakukan tindakan diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut; 5) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi dan perusahaan; 6)
Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan,
kebiasaan-kebiasaan
diskriminatif terhadap perempuan;
21
Pasal 2 UU No.7 tahun 1984
dan
praktik
yang
29
7) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan. Melalui konvensi ini pemerintah Indonesia mulai membuat peraturan perundang-undangan yang selaras dengan kesepakatan internasional khusunya dalam hal kekerasan gender yang kemudian berkembang dalam kekerasan dalam rumah tangga. Begitu pentingnya penegakan terhadap kejahatan kekerasan dalam rumah tangga sehingga diperlukan instrumen yang tegas dan tepat gna melindungi korban dalam tindak pidana ini. b. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Pasal
1
Deklarasi
ini
mendifinisikan
kekerasan
terhadap
perempuan sebagai setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan hak secara sewenang-wenang, baik yang terjadi didepan umum maupun dalam kehidupan pribadi.22 Konvensi ini melingkupi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam keluarga, masyarakat dan juga negara. Kekerasan yang terjadi dalam keluarga, termasuk tetapi tidak terbatas pada pemukulan, tetapi juga meliputi panyalahgunaan seksual atas anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktikpraktik kekejaman tradisional.
22
Dewi Hayu Shinta, Op.Cit, hal 33
30
2. Penegakan KDRT dalam Hukum Positif Indonesia Dalam era global seperti dewasa ini, suatu aturan hukum nasional telah
mulai diseragamkan
dengan
peraturan-peraturan
internasional,
termasuk menganai penghapusan tindak pidana dalam kekerasan dalam rumah
tangga.
Instrumen
hukum
terus
berkembang
mengikuti
perkembangan dinamika masyarakat yang berkembang dinamis. Pentingnya pengaturan dan perlindungan terhadapa kekerasan rumah tangga telah menjadi isu hukum yang slalu menjadi sorotan diberbagai negara. Kontrol terhadap kekerasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga mulai bermunculan aliansi-aliansi yang diprakarsai masyarakat seperti Lembaga swadaya masayarakat (LSM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maupun yang lainnya.
a. Penegakan Hukum KDRT menurut KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) merupakan instrumen hukum yang dapat digunakan dalam penangan kekerasan dalam rumah tangga sebelum adanya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004. Namun sayangnya KUHP dan KUHAP memiliki berbagai kelemahan sehingga tidak dapat menyentuh akar persoalan KdRT dan tidak mampu mengakomodasi karakteristik KdRT. Kelemahan tersebut antara lain : 23 1. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga dan tidak memberikan definisi tentang rumah tangga. Ini menyebabkan kasus-kasus KdRT dijerat dengan pasal-pasal yang dianggap cukup 23
lihat www.djpp.depkumham.go.id diakses tanggal 12 Juli 2012
31
relevan. Namun pasal-pasal yang biasanya digunakan (yang dianggap relevan itu) belum sepenuhnya sesuai dengan kekerasan yang terjadi dan situasi seperti ini menciptakan peluang-peluang untuk tawar menawar pasal yang akan digunakan. 2. KUHP (pasal 351) hanya mengatur mengenai penganiayaan, dimana orang yang melakukan penganiayaan terhadap anggota keluarganya mendapat tambahan hukuman 1/3 dari pidana pokoknya. Sementara itu, ruang lingkup penganiayan hanya pada penganiayaan fisik saja sedangkan
bentuk-bentuk
KdRT
tidak
hanya
terbatas
pada
kekerasan fisik saja melainkan juga kekerasan mental. Dengan demikian, pasal 365 KUHP tersebut tidak dapat mengakomodasi seluruh bentuk kekerasan dalam rumah tangga. 3. KUHP tidak mengenal kekerasan seksual terhadap istri. KUHP hanya terbatas pada konsep persetubuhan. Kekerasan seksual dalam kUHP terdapat
dalam Bab
Kesusilaan
dengan
menggunakan
delik
percobaan dan pencabulan yaitu pasal 285 – 296 yang mengatur pemerkosaan dan perbuatan cabul. Ketentuan ketentuan tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Perkosaan terdapat pada pasal 285-287 KUHP yang menyebutkan perkosaan pada perempuan yang bukan istrinya. Ini berarti bahwa pasal tersebut tidak dapat digunakan untuk menjerat suami
sebagai
pelaku
kekerasan
seksual
terhadap
istrinya.
Disamping itu, juga belum mengakomodasi bentuk-bentuk lain diluar persetubuhan atau penetrasi penis, seperti menggunakan benda atau alat atau dengan bagian-bagian tubuh tertentu diluar penis, atau
32
dengan cara menggesek-geseka penis ke bibir kelamin perempuan diluar kehendak perempuan , sebgai bentuk perkosaa. Demikian juga dengan pencabulan yang tidak mengakomodasi bentuk-bentuk pelecehan seksual. Pada umumnya yang diatur pada bab kesusilaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama, atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan merupakan pelanggaran pada integritas tubuh. 4. Pasal 442 KUHP memidana barang siapa yang menelantarkan orang-orang yang menurut hukum wajib ia beri nafkah, dirawat dan dipelihara. Sekalipun demikian, pasal ini barulah mengatur satu aspek saja dari definisi kekerasan ekonomi, diman kekerasan ekionomi yang menyebabkan ketergantungan ekonomi tidak diatur. 5. Pasal 465 tentang penyanderaan dan pasal 470 tentang perampasan kemerdekaan seseorang, tidak dapat disamakan dengan kekerasan psikis karena psikis memiliki definisi yang lebih luas dan mengatur pula akibat yang ditimbulkan dari kekerasan psikis tersebut dengan berbagai macam bentuk perbuatan. 6. KUHP
tidak
mengatur
alternatif
pidana
kecali
menyebabkan dilema bagi orban, di sisi yang
penjara.
Ini
lain pelaku harus
dipenjara atas kesalahannya, sementara disisi lain korban (istri) tidak mau pelaku (suami) dipenjara, baik karena alasan ekonomi maupun untuk mempertahankan citranya sebagai istri yang baik. 7. Sistem pembuktian pada KUHAP tidak sesuai dengan realitas kekerasan dalam rumah tangga. Dalam KUHAP dikenal istilah satu saksi bukan saksi. Saksi adalah orang yang mengalami, melihat atau
33
mendengar sendiri. Padahal dalam banyak kasus dalam kekerasan rumah tangga sering kali tidak ada saksi, yang disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan ditempat yang tertutup/privat maupun faktor budaya yang membuat ornag tidak mau bersaksi. 8. Keluarga/masyarakat/aparat melihat kekerasan dalam rumah tangga sebagai aib (masalah privat) sehingga banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diselesaikan dengan damai, dimana korban dinasihati untuk kembali kerumah dan berdamai dengan suami. Tidak jarang korban dipermasalahkan karena tidak patuh pada suami. 9. Hak-hak korban, layanan darurat serta kompensasi bagi korban tidak diatur karena KUHAP tidak mengatur mengenai perlindungan bagi korban.
Dengan berbagai kelemahan yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP tersebut terutama dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan karakteristik kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terakomodasi dalm hukum yang berlaku di Indonesia. Karena kenyataan itu pula lah yang mendorong kelompokkelompok
perempuan
untuk
mengusulkan
undang-undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ( UU PdKRT) yang disahkan pada tahun 2004. UU tersebut bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban,
34
menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang humanis dan sejahtera.24
b. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU PdKRT lahir atas inisiatif kelompok perempuan untuk menjawab kelemahan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) dalam menangani KdRT. UU PKdRT merupakan satu upaya yang dilakukan untuk menjawab kekosongan hukum dalam kasus KdRt sebab instrumen hukum yang ada dianggap tidak mampu menyelesaikan kasus KdRT secara komprehensif. Undang-undang Perlindungan kekerasan dalm rumah tangga merupakan terobosan hukum sebgai upaya menjawab kekosongan hukum dalam penanganan kasus kekerasn dalam rumah tangga. Salah satu bukti bahwa UU tersebut merupakan terobosan adalah dengan dikualifikasikan istilah kekerasa daam rumah tangga sebgai istilah hukum yang membawah konsekwensi pada diakuinya kekerasan dalam rumah tangga sebgai slah satu bentuk kejahatan yang harus dihukum. Undang-undang ini membewah perubahan yang cukup besar dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Terobosan lainnya adalah bahwa definisi kekerasan dalam rumah tangga memperluas ruang lingkup rumah tangga. Dalam pasal 1 undang-undang PKdRT didefinisikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
24
Dewita Op Cit hal 8
adalah
setiap
perbuatan
terhadap
seseorang
terutama
35
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Undang –undang PKdRT juga mengakomodasi kekerasan (pasal 5) yang tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga mencakup kekerasan psikis, seksual dan ekonomi sebagai bentuk-bentuk kekerasan yang masuk dalam tindak pidana. Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku keerasan dalam rumah tangga meliputi penjara atai denda. Sanksi pidan ini ditujukan untuk memberi efek jera bagi pelaku namun tetap dapt menjaga keutuhan rumah tangga karena pelaku tidak harus dipenjara. Selain itu juga korban dapat mengajukan tuntutan agar kasus kekrasan dalam rumah tangga tidak harus disertai dengan perceraian. Ketentuan mengenai Sanksi Pidana telah diatur dalam UU PKdRT tidak terdapat sanksi pidana minimum, kecuali kekerasan seksual untuk tujuan komersiil dan pemberentasan dari kekerasan seksual. a. Saksi Pidan dalam Kekerasan Fisik Ancaman pidana untuk pelaku kekerasan fisik adalah sebgai berikut : 1. Melakukan kekerasan fisik: dipenajara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak 15 (lima belas) juta rupiah. 2. Mengakibatkan jatuhnya sakit atau luka berat, dipenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak 30 (tiga puluh) juta rupiah.
36
3. Mengakibatkan kematian dipenjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak 45 (empat puluh lima) juta rupiah. 4. Jika terjadi antara suami istri, yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipenjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak 5 (lima) juta rupiah. Dari ancaman pidana tersebut diatas terlihat bahwa tidak ada ketentuan pidana minimum yang akan dikenakan kepada pelaku. Hal ini dikarenakan dalam KUHP belum mengenal pidana minimum. Delik yang berlaku untuk kekerasan fisik adalah delik pidana murni kecuali ayat (4), artinya bahwa setiap orang dapat melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada polisi dan pencabutan perkara tidak diperbolehkan. Delik pidan murni ini juga memeberikan peluang bagi polisi untk segera bertindak tanpa harus menunggu laporan terlebih dahulu.25 Dalam UU PKdRT tidak menjelaskan bagaimana kekerasan itu dilakukan, akan tetapi lebih fokus pada dampak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut. b. Sanksi Pidana dalam Kekerasan Psikis Pelaku kekerasan psikis diancam dengan pidan sebgai berikut : 1. Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipenjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak 9 (sembilan) juta rupiah. 2. Jika terjadi antara suami istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
25
ibid hal 49
37
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipenjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda 3 (tiga) juta rupiah. Delik yang digunakan pada kekerasan psikis adalah delik pidana murni kecuali ayat (2). Oleh karena itu, pelapor kasus kekerasan psikis tidak harus korban itu sendiri, tetapi masyarakat juga bisa berpartisipasi melaporkan kasus kekerasan psikis ke polisi. Polisi juga bisa lebih proaktif dengan langsung bertindak bila
menemukan kekerasan psikis.
Pencabutan perkara juga tidak diperbolehkan dalam kasus kekerasan psikis ini. a. Sanksi Pidana dalam Kekerasan Seksual Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga telah memasukan sanksi minimum untuk kejahatan kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual dengan orang tujuan komersial dan kekerasan seksual yang mengakibatkan kondisi tertentu, ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual adalah sebgai berikut. 1. Pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga, dipenjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak 36 (tiga puluh enam) juta rupiah. 2. Untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu dipenjara paling singkat 4 tahun paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit 12 (dua belas) juta rupiah paling banyak 300 (tiga ratus) juta rupiah. 3. Pemberatan kekerasan seksual yang mengakibatkan : Luka yang tidak bisa disembuhkan,
38
Gangguan daya pikir/kejiwaan selama 4 minggu terus menerus atau satu tahun tidak terus menerus, Matinya janin dalam kandungan, Mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipenjara: minimal 5 tahun maksimal 20 tahun atau denda minimal 25 (dua puluh lima) juta rupiah dan maksimal 500 (lima ratus) juta rupiah. Penggunaan ancaman pidana minimum kepada pelaku kekerasan seksual untuk tujuan komersil disebabkan karena kejahatan ini diindikasikan sebgai salah satu bentuk trafficking. Oleh karena itu, rumusan ancaman pidananya pun disesuaikan dengan perjanjian internasional tentang trafficking yaitu minimum 4 tahun. Kekerasan seksual dianggap sebagai kejahatan yang serius sehingga untuk melindungi masyarakat (korban) maka rumusan ancaman pidana terhadap kejahatan ini perlu ditetapkan secara minimum. Berbeda dengan rumusan delik yang lain, kekerasan seksual
yang
diatur
pada
ayat
(1)
dirumuskan
dengan
menggunakan delik aduan yaitu mengenai kekerasan seksual yang dilakukan terhadap istri atau sebaliknya.pada kekerasan seksual selain yang dirumuskan dalam ayat (1) tersebut, pencabutan perkara tidak diperbolehkan. Masyarakat pun bahkan dapat melaporkan kekerasan seksual yang terjadi baik dilingkungan rumah tangganya sendiri maupun sekitarnya kepada polisi jika kekerasan seksual yang terjadi itu bertujuan komersial atau mengakibatkan kondisi-kondisi yang telah disebutkan diatas. Polisi
39
juga
dapat
lebih
proaktif
dengan
langsung
bertindak
bila
menemukan kasus dan tidak perlu menunggu laporan terlebih dahulu. b. Sanksi Pidana dalam Kekerasan Ekonomi Ancaman pidana bagi pelaku kekerasan ekonomi ini adalah sebgai berikut : 1. Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut, dipenjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak 15 (lima belas) juta rupiah. 2. Perbuatan yan mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara : melarang bekerja didalam atu luar rumah sehingga korban ada dibawah kendali orang tersebut, dipenjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 15 (lima belas) juta rupiah.
Pengaturan mengenai kekerasan ekonomi dapat menjadi satu cara untuk memutuskan siklus kekerasan terhadap perempuan sebab kekerasan ekonomi menciptakan ketergantugan ekonomi yang selam ini menjadi faktor langgengnya kekerasan dalam rumah tangga. Semua bentuk kekerasan ekonomi ini delik murni.
3. Perlindungan dan Hak bagi Korban Sebagai UU khusus, UU PdKRT mengatur tentang penghapusan KdRT secara lebih lomprehensif dari pada KUHP dan KUHAP karena diatur juga tentang mekanisme perintah perlindungan yang antara lain dapat
40
membatasi gerak pelaku mendekati korban dan adanya rumah tangga aman bagi korban. Secara renci UU PdKRT memberikan serangkaian hak korban yang terdiri dari: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian , kejaksaan, pengadilan, advokad, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadialan. b. Pelayanan kesehatan sesuai degan kebutuhan medis, yaitu terhadap korbankekerasan
fisik
untuk
mendapatkan
perawatan
dan
perlindungan secara baik. c. Penanganan khusus terkait dengan kerahasiaan korban, hal ini sangat diperlukan karena kekerasan dalam rumah tangga adalah aib dalam keluarga, hendaknya dalam penanganannya juga harus memberikan jaminan kerahasiaan mulai dari pelaporan hingga penyelesaian. d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusunya bagi korban yang kurang mampu artinya tidak bisa membayar pengacara sebgai kuasa hukum, maka yang demikian perlu bantuan hukum dan penerangan sebaga bentuk pengarahan dan terciptanya kesadaran hukum. e. Pelayann bimbingan rohani sesuai dengan kepercayaan dan agam yang dianut, langkah ini dibangun guna membangun kembali spirit dan rasa kepercayaan diri. f.
Melaporkan secara langsung KdRT kepeda kepolisian baik di tempat korba maupun berada ditempat kejadian perkara.
41
g. Memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan KdRT kepada pihak kepolisian baik secara langsung maupun berada ditempat lain, artinya tidak hanya pihak suami atau istri saja yang dapat memberikan kuasa, keluarga dari korban pun dapat memperoleh kuasa demi menghapuskan kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Agar perlindungan terhadap korban KdRT bisa tercapai secara maksimal,
maka
diperlukan
peran-peran
dari
berbagai
macam
stakeholders. Peran tersbut harus disinergikan agar tidak terjadi kerancuan dalam memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan pada korban kekerasan dalam rumah tangga.26 1. Polisi, Advokad, Pekerja Sosial, Tenaga kesehatan, dan Relawan Pendamping terhadap korban. Memberikan perlindungan sejak menerimah atau mengetahui laporan KdRT dan memintakan surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Ketua pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dalam tenggang waktu 7 hari. Kepolisian wajib memberikan keterangan hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. Polisi juga dapat menangkap tanpa surat penangkapan terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, dimana pun pelaku berada. Kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping , dan pembimbing rohani untuk pendampingan korban. 2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
26
diambil dari berbagai sumber media kampanyeLBH Apik Jakarta
42
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, perlindungan dan pelayanan terhadap korban. Pemerintah wajib memberikan atau menyediakan ruang pelayanan khusu dikantor kepolisian, aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani.
Pemerintah
juga
diharapkan
membuat
sistem
serta
mekanisme kerjasam program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. 3. Masyarakat Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalm rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, pertolongan darurat serta
membantu
perlindungan.
proses
pengajuan
permohonan
penetapan
43
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Kekerasan dalam rumah tangga pada prinsipnya adalah bukan hanya permasalahan internal keluarga. Akan tetapi permasalahan tersebut telah masuk kedalam rana kejahatan atau tindak pidana publik. Artinya dalam menangani dan mengatasi masalah tersebut bukan hanya berpangkal pada orang-orang yang ada dalam rumah tangga saja akan tetapi masyarakat secara umum juga dapat ikut campur atau turut serta dalam mencegah dan melaporkan kejahatan atau tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perkembangannya KDRT yang mulanya hanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, kini juga diatur
dalam
undang-undang
nomor
23
tahun
2004
tentang
pengahapusakan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut tidak hanya kekerasan fisik saja, melainkan juga kekerasan lain seperti psikis, seksual, adn ekonomi. 2. Selain
menjadi
perhatian
pemerintah
melalui
pengaturan
dalam
perundang-undangan, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi perhatian masyarakat internasional. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa konvensi internasional. Diberbagai macam peraturan tersebut baik bersifat nasional maupun internasional, telah diatur mengenai sanksi pidana secara tegas seperti dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004, akan tetapi kekerasan dalam rumah tangga kerap menjadi masalah yang sangat sulit diuraikan. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa pandangan oleh korban terutama istri yang cenderung menutup-nutupi
44
apabila ada kekerasan dalam keluarga mereka. Persepsi istri masih menganggap bahwa dengan melaporkan hal tersebut pada pihak kepolisian sama halnya mengungkap aib keluarga mereka. Disisi lain istri juga takut apabila melaporkan hal tersebut kemudian suaminya diproses secara hukum, otomatis dia tidak bisa mendapatkan nafkah lagi dari istrinya, dan yang lebih ditakutkan adalah berakhir pada perceraian.
3. Saran 1. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pemerintah melalui undang-undang nomor 23 tahun 2004 hendaknya juga dibarengi dengan langkah-langkah pencegahan secara komprehensif yang dilakukan pemerintah melalui penegak hukum, perlu adanya langkah lain secara berkelanjutan dari pemerintah misalnya penyuluhan terhadap masyarakat secara langsung ataupun bekerjasama dengan instansi atau lembaga-lembaga swadaya masayarakat (LSM). Hal tersebut penting dilakukan guna memberikan pencerahan kepada masyarakat terkait dengan penangan kekerasan dalam rumah tangga secara benar dan mengutamakan keutuhan dan keselamatan keluarga. 2. Peran serta masyarakat dan juga penegak hukum sangat diperlukan dalam menanggulangi dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga, selain langkah secara hukum perlu juga langkah langkah kekeluargaan. Dan yang terpenting adalah membangun kesadaran individu masingmasing
melalui
pemahaman
dan
membangun sebuah rumah tangga.
kematangan
dalam
memulai
45
DAFTAR BACAAN
Dwita, Hayu Shinta & Oetari Cintya Bramanti, Reduksi Bentuk-Bentuk Kekerasan dalm Rumah Tangga dalm RUU KUHP, Penerbit LBH Apik & Aliansi Reformasi KUHP, Jakarta 2007. Hawari, Dadang, Penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga, Penerbit BP FK UI, Jakarta, 2009. Milda, Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, Penerbit PT Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2007 Moelyatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Bina Aksara,Jakarta, 1997 Muhammad bin umar, An-Nawawi, Syarah Uqudullujain Etika Rumah Tangga, Pustaka Amani, Jakarta, 2000. www.djpp.depkumham.go.id www.sosbud.kompasiana.com www.wikipedia.com