BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Setiap hari manusia sebagai makhluk budaya terus menjalankan
kebudayaan.Hal tersebut berarti bahwa sebagian besar tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya amat sedikit tindakan manusia yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri berupa refleks dan hanya beberapa tindakan akibat proses fisiologis (Koentjaraningrat, 2000:180). Proses yang terus menerus dan tetap dilakukan dengan rutin niscaya akan menjadi budaya. Budaya adalah suatu produk cipta, rasa, dan karsa manusia. Salah satu hasil dari kebudayaan adalah bahasa. Bahasa merupakan alat interaksi individu dengan individu lain sehingga interaksi tersebut akhirnya membentuk suatu kelompok sosial. Manusia pada saat tersebut juga telah mengenal tentang keindahan yang ada disekelilingnya. Melalui bahasa dan keindahan tersebut melahirkan sastra sebagai produk dari suatu kebudayaan. Sastra dalam hal ini adalah salah satu bentuk seni yang dihasilkan dari proses cipta, rasa, dan karsa manusia melalui bahasa. Sastra sebagai sistem yang dinamik, dimana karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi ( Teeuw 1984:110). Sastra ada tidak lepas dari hal hal di luarnya. Menurut A.Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra mengatakan bahwa “Seni (sastra) hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri dibawah kenyataan itu sendiri
1
2
dalam hirarki. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Tetapi ini tidak berarti bahwa seni sama sekali kehilangan nilai. Sebab walaupun seni terikat pada tataran yang lebih rendah dari kenyataan yang tampak, seni sesungguhnya mencoba mengatasi kenyataan seharihari.” (Teeuw, 1984:220). Oleh karena itu, sastra mencoba menggambarkan apa yang dirasakan dan dialami manusia. Norma keindahan yang diakui oleh masyarakat tertentu, terungkap dalam karya seni kemudian dipakai sebagai tolak ukur kenyataan (Teeuw, 1984:228). Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Wacana puisi mudah dikenali karena kekhasan perwujudannya. Puisi menggunakan bahasa yang padat dan memiliki makna yang taksa. Puisi dalam tradisi Jawa memiliki istilah khas dalam aspek kebahasaannya, yakni Basa Pinathok(Saputra, 2000:2). Bahasa puisi memang padat, setiap kata memiliki makna yang luas dan taksa. Oleh karena itu, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspek. Puisi dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, jenis atau ragamnya, dan juga sudut kesejarahannya ( Pradopo, 2010: 1). Tradisi sastra Jawa memiliki berbagai macam jenis puisi. Salah satu jenis puisi Jawa adalah Geguritan. Geguritan dalam tradisi sastra Jawa masuk dalam kelompok Puisi Jawa modern. Geguritan atau “puisi bebas” merupakan bentuk terakhir dalam babakan perkembangan puisi Jawa (Saputra, 2000: 42) . Puisi tidak melulu tentang bahasa yang indah, tetapi puisi juga merangkul ajaran di dalamnya. Fungsi puisi sebagai karya sastra seperti yang dikemukakan Edgar Allan Poe dalam buku Teori Kesusastraan karya Renne Wellek dan Austin Warren , bahwa sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
3
Hal tersebut juga diperkuat oleh konsep Horace atau Horatius, seorang penyair terkenal kekaisaran Romawi1 yang mengatakan bahwa puisi memiliki dua konsep yakni dulce ‟indah‟ dan utile „berguna‟, yang berarti puisi itu indah dan berguna (Wellek & Warren , 1993 :25). Pada tahun 1998, reformasi pemerintahan terjadi di Indonesia. Reformasi yang terjadi di Indonesia terjadi karena ada beberapa aspek penting yakni rezim yang otoriter,
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), krisis moneter yang
menyababkan tingginya harga kebutuhan bahan pokok, dan kesenjangan kelas sosial. Masa Reformasi tersebut membuat huru hara terjadi dimana-mana, kekerasan merajalela dimana-mana. Pers dan Media yang nekat mengkritik pemerintahan Orde Baru akan dibredel. Reformasi memengaruhi karya sastra pada masa itu. Puisi-puisi berkembang dimana-mana dalam tujuan mengkritik pemerintahan. Geguritan yang menyuarakan kritik terhadap Orde Baru pun mulai bermunculan dimana-mana. Kemunculan geguritan yang bertemakan reformasi dimuat dalam majalah-majalah berbahasa Jawa seperti Djaka Lodang, Panjebar Semangat, Jayabaya, dan lain lain. Majalah-majalah tersebut lebih melantangkan suara dari penyair geguritan pada masyarakat luas. Kemunculan trend puisi bertemakan kritik sosial dalam majalah-majalah berbahasa Jawa seperti Djaka Lodang, merupakan fenomena tersendiri dalam puisi Jawa.Geguritan jarang sekali mengkritik sebuah kekuasaan.Pada saat orde 1
Quintus Horatius Flaccus (8 Desember 65 SM - 27 November 8 SM), atau lebih dikenal sebagai Horatius adalah seorang penyair terkenal di Kekaisaran Romawi. http://id.wikipedia.org/wiki/Horatius . Diakses pada 7 April 2015. Pada pukul 22.32 WIB.
4
baru kritik sangat dihindari oleh masyarakat, tapi kritik terhadap yang dilakukan oleh puisi Jawa memang sangat jarang ditemui. Adat sopan santun Jawa menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri (Koentjaraningrat, 1994:24). Bahasa Jawa yang memiliki tingkat tutur yang sangat terstruktur tersebut, membuat para penyair sangat berhati-hati menggunakan bahasa dalam karyanya. Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya ,bagian III Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris mengungkapkan bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki susunan hierarki yang sangat kuat. Hal tersebut memengaruhi penggunaan bahasa dalam karya sastranya. (Lombard, 2005:58). Para Pujangga Jawa pada masa lalu mencoba menutupi keadaan sosial yang sebenarnya dengan menggunakan katakata Sansekerta, tetapi hal itu tidak mengubah kenyataan pokok yaitu bahwa struktur masyarakat dilihat sebagai berlapis-lapis dengan golongan-golongan yang dipisahkan dengan jelas satu sama lain (Lombard, 2005:58-59) Djaka Lodang (yang selanjutnya penulis singkat dengan DL) merupakan salah satu majalah yang memuat puisi tentang kritik sosial. Djaka Lodang merupakan majalah berbahasa Jawa yang berdiri pada 1 Juni 1971 di Yogyakarta. Majalah ini memiliki banyak rubrik yakni, cerkak, cerbung, geguritan, dan lain lain. Majalah DL terbit mingguan dan penyebarannya ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
5
DL edisi tahun 1998 merekam gejolak masyarakat terhadap kondisi sosial pada saat itu yang salah satunya terekam dalam rubrik geguritan. Tema dalam geguritan yang ditulis dalam rubrik tersebut sangatlah beragam, salah satunya tema kritik sosial. Geguritan bertemakan kritik sosial dalam DL edisi 1998 kurang lebih ada 12 buah geguritan.Beberapa pengarang geguritan di majalah DL edisi tahun 1998 yang menulis geguritan bertemakan kritik sosial, antara lain Husen Kertanegara, Suharyanta BP, Sri Sukamtiningsih, Mohammad Yamin, Djaimin K, dan Prapti Suryani. Kritik sosial yang diangkat oleh pengarang dalam rubrik geguritan tersebut pun beragam topik , mulai dari kesenjangan kelas sosial, krisis moneter, korupsi, rezim yang otoriter, dan lain-lain. Tema kesenjangan kelas sosial, krisis moneter, korupsi, dan rezim yang otoriterlah yang paling menonjol, karena empat hal tersebutlah yang menjadi faktor pendorong terjadinya peristiwa reformasi di Indonesia. Penulis memilih empat geguritan, yaitu Padha Ning Beda, Moneter, Parcel, dan Protese Anak-Anak Buta karena empat geguritan tersebut masing masing memiliki tema kesenjangan sosial, krisis moneter , korupsi, dan rezim yang otoriter. Geguritan Padha Ning Beda karya Suharyanta BP yang dimuat di rubrik geguritan DL pada edisi tanggal 31 Januari 1998 berbicara tentang kesenjangan sosial. Geguritan Moneter karya Prapti Suryani yang dimuat di rubrik geguritan DL pada edisi tanggal 15 Agustus 1998 berbicara tentang krisis moneter. Geguritan Parcel karya Sri Sukamtiningsih yang dimuat di rubrik geguritan DL pada edisi tanggal 19 September 1998 berbicara tentang korupsi. Geguritan
6
Protese Anak-Anak Buta karya Husen Kertanegara yang dimuat di rubrik geguritan DL pada tanggal 11 April 1998 berbicara tentang rezim yang berkuasa.Keempat geguritan di atas bercerita tentang faktor terjadinya reformasi di Indonesia. Hal seperti kesenjangan sosial, krisis moneter, korupsi, dan rezim yang otoriter tersebutlah yang membuat rakyat kesusahan sehingga menimbulkan gejolak sosial politik.
Oleh karena itu, penulis akan mengambil keempat
geguritan yang memiliki tema kesenjangan sosial, krisis moneter, korupsi, dan rezim yang otoriter dalam penelitian ini. Keempat hal tersebutlah yang merepresentasikan adanya kritik sosial dalam geguritan DL edisi 1998.
1.2
Rumusan Masalah Menilik apa yang telah diuraikan dalam latar belakang, setidaknya ada dua
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana makna dalam geguritan Padha Ning Beda, Moneter, Parcel, dan Protese Anak-Anak Buta di majalah mingguan DL tahun 1998? 2. Apa yang menunjukkan adanya kritik sosial dalam geguritan Padha Ning Beda, Moneter, Parcel, dan Protese Anak-Anak Buta di majalah mingguan DL tahun 1998?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian terhadap geguritan kritik sosial DL pada tahun 1998 memiliki dua tujuan yakni tujuan teoritis dan tujuan praktis.
7
1. Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk mengetahui makna yang terdapat dalam kumpulan geguritan DL pada tahun 1998 dengan menerapkan teori semiotika Riffaterre. Hal-hal yang dideskripsikan antara lain ketidaklangsungan ekspresi puisi, pembacaan heuristik dan hermeneutik, penentuan matriks, model, dan varian, serta hipogram dalam geguritan DL tahun 1998. 2. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah membantu pembaca dalam mengapresiasi geguritan-geguritan yang terdapat dalam Majalah Mingguan DL. Oleh karena itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peningkatan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, khususnya karya sastra Jawa.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Agar lebih mendalam, objek penelitian ini dibatasi pada geguritan yang
bertemakan kesenjangan sosial, krisis moneter, korupsi, dan rezim yang otoriter, yang tergambarkan dalam Geguritan Padha Ning Beda karya Suharyanta BP yang dimuat di rubrik geguritan DL pada edisi tanggal 31 Januari 1998 berbicara tentang kesenjangan sosial. Geguritan Moneter karya Prapti Suryani yang dimuat di rubrik geguritan DL pada edisi tanggal 15 Agustus 1998 berbicara tentang krisis moneter. Geguritan Parcel karya Sri Sukamtiningsih yang dimuat di rubrik geguritan DL pada edisi tanggal 19 September 1998 berbicara tentang korupsi. Geguritan Protese Anak-Anak Buta karya Husen Kertanegara yang dimuat di
8
rubrik geguritan DL pada tanggal 11 April 1998 berbicara tentang rezim yang otoriter. Keempat geguritan tersebut dipilih karena memiliki tema yang juga menjadi faktor pendorong terjadinya reformasi pada tahun 1998. Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling untuk memfokuskan penelitian (Indriani, 2001:42). Yang dimaksud sampel purposive adalah sampel yang ditetapkan dengan cara mengambil secara sengaja anggota populasi yang mempunyai cirri spesifik dan menyesuaikan dengan tujuan penelitian (Semi, 1993: 44). Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori Semiotika Riffatere.
1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian
tentang puisi
sudah
banyak
dilakukan.
Hal
tersebut
menggambarkan bahwa puisi sebagai salah satu produk sastra dapat diterima dan memiliki nilai-nilai yang kompleks didalamnya. Penelitian tentang puisi Jawa atau geguritan belum berkembang banyak .Pada skripsi karya Irmina Raninditya Noorsiwi yang berjudul “Gaya Bahasa Dalam Antologi Geguritan Kidung Awang Uwung” (2012) menjelaskan tentang gaya bahasa yang dipakai oleh para penyair yang ada dalam antologi geguritan tersebut. Sehingga pemaknaan dalam antologi geguritan tersebut hanya dilakukan dengan penelitian gaya bahasa. Kajian Semiotik Riffatere mulai banyak dipakai dalam penulisan penelitian yang mengambil objek puisi. Skripsi berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang
9
Indonesia Karya Taufiq Ismail : Pemaknaan Semiotik Rifattere” (2005) yang ditulis oleh Ida Fitriyah mengungkapkan tentang pemaknaan puisi berdasarkan Semiotik Riffatere dalam kumpulan puisi Taufiq Ismail. Selain itu Skripsi “Makna “Kentut” dalam Antologi Puisi Mitos Kentut Semar Karya Rachmat Djoko Pradopo: Analisis Semiotika Riffaterre”(2014) yang ditulis oleh Susi Nuryanti mengungkapkan tentang pemaknaan “kentut” dalam antologi puisi Mitos Kentut Semar karya Rachmat Djoko Pradopo. Penelitian tentang geguritan dengan menggunakan teori Semiotik Riffatere belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulis akan menelaah dan menganalisis puisi Jawa atau geguritan dengan menggunakan teori Semiotik Riffatere
1.5
Landasan Teori Pemberian tanda dalam karya sastra sudah menjadi hal yang pasti,
khususnya dalam puisi. Jika tanda tersebut tidak tersampaikan, maka makna dari puisi tersebut juga tidak dapat tersampaikan. Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda atau lambang-lambang serta sistem-sistem dan proses perlambangan (Luxemburg dkk, 1989:42). Sedangkan menurut Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya Pengkajian Puisi mengatakan bahwa: “Puisi secara semiotik seperti telah dikemukakan merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap makna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata-mata hanya arti bahasa , melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan. Oleh karena itu pengkajian dengan menggunakan teori
10
struktural dan semiotik sangat perlu karena puisi merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna” (Pradopo, 2010 : 123) Karya sastra pada umumnya dan puisi pada khususnya adalah semacam penggunaan bahasa (Teeuw, 1983: 1). Bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama . Dalam ilmu semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Sastra merupakan arti dari arti (meaning of meaning) dan untuk membedakannya dari arti bahasa, arti dari sastra disebut makna (significance) Penelitian
ini
menggunakan
teori
semiotik
Riffatere.
Riffatere
mengungkapkan dalam bukunya Semiotics of Poetry bahwa “poetry expresses concepts and things by indirection. To put it simply, a poem says one thing and means another” (1978:1). Puisi mengekspresikan ide dan gagasan secara tidak langsung. Untuk mempermudah puisi mengatakan sesuatu untuk menjelaskan yang lain. Michael Riffaterre mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffaterre:1978) Puisi merupakan sebuah ekspresi dapat diungkapkan secara tidak langsung atau dimaksudkan untuk hal lain, maka untuk memaknai puisi, Riffaterre (1978:2) mengemukakan
hal
pertama
yang
harus
diperhatikan
adalah
aspek
11
ketidaklangsungan ekspresi. Aspek ketidaklangsungan puisi dihasilkan melalui penggantian, penyimpangan, dan penciptaan arti. Penggantian arti (displacing of meaning) terjadi karena adanya metafora, metonimi dan bahasa kiasan lainnya. Metafora merupakan salah satu jenis bahasa perbandingan. Perbandingan dalam metafora bersifat implisit atau tersembunyi dibalik ungkapan harfiahnya (Sayuti, 2002:196). Sedangkan metonimi merupakan gaya bahasa yang menggunakan satu kata untuk menyatakan hal lain yang hubungannya dekat (Keraf, 2010:142). Penyimpangan arti (distorting of meaning) terjadi oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Kata-kata, frasa, dan kalimat sering bermakna ganda dalam puisi, hal tersebut menimbulkan ambiguitas. Ambiguitas dalam puisi memberikan kesempatan pada pembaca untuk memberikan arti sesuai asosiasinya. Maka akan ada arti baru setiap kali puisi dibaca. Kontradiksi digunakan untuk menyampaikan maksud yang berlawanan atau berkebalikan, seperti halnya ironi. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi akan membuat pembaca berpikir, atau membuat mereka berbelas kasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan nonsense merupakan kata-kata yang secara linguistis tidak mempunyai arti, sebab tidak ada dalam kosakata. Penciptaan arti (creating of meaning) terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan, yang secara linguistis tidak ada artinya. Penciptaan arti terjadi melalui adanya enjabement, homologue, dan tipografii bentuk. Enjabement adalah pemisahan kesatuan sintaksis yang terdapat pada baris tertentu ke dalam baris
12
berikutnya (Sayuti, 2002:333). Homologue merupakan persamaan posisi dalam bait (Pradopo, 2007:220). Tipografi bentuk merupakan tipe baris dalam bait. Riffatere (1978:5), dalam usahanya memberikan makna kepada puisi, memberikan dua tahap pembacaan, yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik mengutamakan peranan pembaca untuk mengartikan setiap satuan linguistik yang digunakan seperti kata, frasa, maupun kalimat yang semuanya itu sesuai dengan konvensi bahasa yang berlaku. Tahap heuristik ini merupakan tahap pertama yang bergerak dari awal teks hingga akhir. Pembacaan heuristik sebagai sistem semiotik tingkat pertama terbatas pada arti bahasa. Oleh karena itu, tindak lanjut dari pembacaan heuristik adalah pembacaan hermeneutik. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra melalui interpretasi karya sastra atau ungkapan berdasarkan konvensi sastra. Pada tahap ini dilakukan suatu pembacaan dan penguraian (decoding) structural. Proses perbandingan pernyataan-pernyataan yang berurutan dan berbeda, yang pada mulanya diperhatikan hanya ketidakgramatikalannya, dalam tahap ini dianggap ekuivalen. Proses perubahan cara pandang ini terjadi karena ketidakgramatikalan tersebut terlihat seperti varian-varian dari matriks struktural yang sama. Efek maksimal pembacaan hermeneutik yang fungsinya adalah sebagai pembangkit makna, biasanya terjadi pada akhir sajak setelah teks selesai dibaca secara menyeluruh (Riffatere, 1978:5-6). Tahap lain setelah hermeneutik adalah pencarian matriks, model dan varian. Menurut Riffatere, puisi dihasilkan dari transformasi matriks (1978:19). Matriks adalah suatu konsep abstraks yang tidak pernah teraktualisasi dengan
13
sendirinya (Riffatere, 1978:13). Matriks dapat diringkas dalam satu kata tunggal yang tidak terdapat dalam teks. Matriks ini selalu teraktualisasi dalam varian yang berurutan. Bentuk varian ini selalu ditentukan oleh aktualisasi pertama, yaitu model (Riffatere, 1978: 19). Model adalah tanda yang berupa kata atau kalimat yang bersifat puitis. Kata atau frasa dianggap puitis apabila ada hubungannya dengan pemaknaan sajak. Kepuitisan dikenali pembaca apapun konteksnya. Artinya kata atau frasa dianggap puitis apabila pemilihan penanda-penanda kepuitisan diatur oleh konvensi-konvensi estetik di luar ciri-ciri individual intrinsic suatu kata atau frasa (Riffatere, 1978: 23). Hubungan antara model dengan pemaknaan sajak bersifat hipogramatik. Model tersebut menunjuk pada hipogram , yaitu suatu kelompok kata yang ada sebelumnya , dan jika model tersebut berupa frase, ia mempolakan dirinya sendiri. Hipogram adalah suatu sistem tanda-tanda yang paling tidak terdiri atas suatu predikasi, dan ini bisa jadi sama besarnya dengan suatu teks (Riffatere, 1978:23). Hipogram dibedakan menjadi dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial dapat diamati dalam bahasa (Riffatere, 1978: 23). Hipogram potensial dapat diamati dalam sajak. Hipogram ini terbentuk dari semeseme
suatu
kata
dan
atau
presuposisi-presuposisinya
yang
sebagian
diaktualisasikan oleh model. Namun, kata inti hipogram bisa teraktualisasikan dalam teks dan bisa juga tidak (Riffatere, 1978: 25). Sedangkan hipogram aktual dapat berupa klise-klise dan sistem dekriptif (Riffatere, 1978: 39). Hipogram ini menurut Riffatere, telah teraktualisasi dalam bentuk-bentuk tertentu dalam pikiran
14
pembaca. Hipogram aktual dapat diamati dari teks-teks sebelumnya (Riffatere, 1978:23). Perbandingan antara teks yang dianggap sebagai hipogram dengan puisi yang sedang dibaca dilakukan agar ketidakgramatikalan yang ditemukan dalam prose pembacaan dapat teratasi (Riffatere, 1978:42). Melalui langkah-langkah pencarian makna tersebut, karya sastra dapat dicari maknanya dengan tepat dan cermat.
1.6
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif disini menggunakan teori Semiotik Riffatere sebagai sarana pembedah masalahnya. Teori sastra tertentu mengandung implikasi metodologis tertentu yang berbeda dari yang terimplikasikan oleh teori sastra yang lain. Teori Semiotik mencoba memahami kekhasan bangunan makna yang dibangun oleh ataupun melalui karya sastra (Faruk,1999: 1). Penelitian ini menggunakan tahapan seperti yang telah terurai dalam landasan teori di atas. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut: a) Pencarian geguritan kritik sosial dalamDL tahun 1998. Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling untuk memfokuskan penelitian (Indriani, 2001:42). Sampel purposive adalah sampel yang ditetapkan dengan cara mengambil secara sengaja anggota populasi yang mempunyai ciri spesifik dan menyesuaikan dengan tujuan penelitian (Semi, 1993: 44).
15
b) Pencarian ketidaklangsungan ekspresi geguritan c) Pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap geguritan kritik sosial dalam majalah DL tahun 1998. d) Pencarian matriks, model, dan varian e) Menemukan hipogram untuk mendapat makna secara penuh. Berdasarkan tahapan di atas diharapkan penelitian ini dapat mengurai tema kritik sosial yang terdapat pada geguritanyang ada dalam majalah mingguan DL tahun 1998.
1.7
Sistematika Penyajian Pada Bab I Pendahuluan dijelaskan Latar belakang masalah, Rumusan
masalah, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Pada Bab II dipaparkan populasi, data, dan sampel objek yang akan dikaji. Pada Bab III dilakukan pemaknaan geguritan Padha Ning Beda, Moneter, Parcel, dan Protese Anak-Anak Buta dalam DL tahun 1998 berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik, pencarian matriks model dan varian dari puisi-puisi Djoko Lodang tahun 1998 dan pencarian hipogram berdasarkan matriks, model, varian yang ditemukan Pada Bab IV disajikan kesimpulan atas analisis yang sudah dikerjakan pada bab sebelumnya.