BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Manusia merupakan produk dari sebuah budaya, yang tidak pernah lepas
dari aktivitas komunikasi. Melalui interaksi secara terus menerus seorang manusia juga dapat menghasilkan nilai-nilai yang dianggap sebagai makna budaya jika terjadi kesepahaman terhadap nilai itu sendiri. Budaya tidak terbatas pada sesuatu yang abstrak, karena itu secara sederhana budaya diartikan sebagai segala nilai, pemikiran, simbol yang mempengaruhi perilaku, sikap, kepercayaan dan kebiasaan seseorang dan masyarakat (Suwarman, 2004: 170). Budaya mempunyai begitu banyak pengertian, karena kata budaya lekat dengan keseharian setiap manusia. Kebudayaan secara sederhana dapat dilihat sebagai konsep sistem nilai yang juga menjelaskan seluruh arti dan makna dari simbol (Liliweri, 2001: 4). Budaya juga dapat dimaknai sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan merupakan warisan dari generasi ke generasi (Tubbs and Moss, 1996: 237). Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena budaya tidak hanya menentukan siapa yang bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Artinya, perbendaharaan perilaku seseorang bergantung pada faktor lingkungannya (Lubis, 2012: 11). Pengertian kebudayaan yang lebih menggambarkan hubungannya dengan komunikasi seperti yang disebutkan Triandis:
Universitas Sumatera Utara
1 Universitas Sumatera Utara
Kebudayaan adalah elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang di masa lalu meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan pelaku dalam ceruk ekologis, dan demikian tersebar di antara mereka yang dapat berkomunikasi satu sama lainnya, karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan mereka hidup dalam waktu dan tempat yang sama (Samovar et. al., 2010: 27). Setiap individu melakukan aktivitas komunikasi dengan latar belakang budaya berbeda sehingga dengan sendirinya harus mempunyai kemampuan untuk memahami budaya dari orang lain yang berinteraksi dengannya. Gudykunst (2003) mengasumsikan setidaknya satu orang dalam pertemuan antarbudaya adalah orang asing yang harus melalui masa krisis pada level tertentu seperti ketidakpastian, kecemasan atau bahkan tidak yakin bagaimana berperilaku. Meskipun orang asing dan anggota in-group mengalami beberapa tingkat kecemasan dan ketidakpastian dalam situasi interpersonal yang baru, mereka beranggapan efek identitas budaya pada perilaku orang di masyarakat asing terlalu tinggi, sementara perbedaan individu menjadi kabur (Griffin, 2006: 427). Globalisasi telah membuka celah dalam pengenalan sebuah kebudayaan kepada masyarakat di luar kebudayaan tersebut. Melalui teknologi informasi yang menjadi salah satu produk globalisasi, jarak dan waktu tidak menjadi sebuah persoalan dalam proses pengenalan sebuah kebudayaan. Hal ini seakan menjadi sebuah bukti bahwa perkembangan dunia saat ini menuju apa yang disebut sebagai “global village”. Konsep global village diajukan oleh Marshall McLuhan yang sudah memprediksi satu keadaan dimana semua orang dapat mengakses informasi dengan mudah tanpa adanya batas tempat dan waktu. McLuhan membuat analogi dunia sebagai sebuah desa yang sangat besar (Baran, et. al., 2010: 272-273). Universitas Sumatera Utara
2 Universitas Sumatera Utara
Perkembangan ini menyadarkan masyarakat bahwa setiap individu dituntut untuk mampu memahami kebudayaan di luar kebudayaannya sendiri, yaitu dengan mempelajarinya melalui komunikasi antarbudaya. Setiap individu dari kebudayaan yang sama juga akan mengalami sebuah benturan saat berinteraksi, sehingga kemungkinan ini juga akan muncul ketika individu yang berbeda ideologi, orientasi, bahasa ataupun gaya hidup bertemu dan melakukan interaksi. Saat ini tidak sulit bagi kita untuk menemukan pekerja asing di Indonesia karena hal ini sejalan dengan arus globalisasi itu sendiri. Era globalisasi menjadi titik tolak semakin banyak pekerja asing di Indonesia. Sebaliknya, warga negara Indonesia juga dapat dengan mudah bekerja di negara lain yang sudah memberlakukan ketentuan perdagangan bebas, karena setiap orang mendapatkan peluang yang sama untuk bekerja lintas negara. Jepang merupakan negara yang memiliki hubungan kerjasama dengan banyak negara termasuk dengan Indonesia. Kerjasama inilah yang menjadi salah satu alasan banyak orang Jepang yang datang ke Indonesia. Orang Jepang datang ke Indonesia dengan berbagai macam tujuan, ada yang bekerja di perusahaan Jepang yang memiliki cabang di Indonesia, bekerja di perusahaan swasta lain, bekerja sebagai penerjemah, guru, berwisata atau sebagai staf kantor perwakilan Konsulat Jepang di beberapa wilayah Indonesia. Terlepas dari masa lalu bangsa Jepang di Indonesia, kita tidak dapat menutup mata bahwa Indonesia menjadi salah satu wilayah penting dalam peta ekspansi bisnis perusahaan asing di dunia. Hal ini menjadi salah satu bentuk nyata bahwa ini merupakan dampak dari globalisasi yang sulit dibendung. Duta Besar Jepang
untuk
Indonesia,
Yoshinori
Katori
dalam
kuliah
umum
saat
Universitas Sumatera Utara
3 Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan the 1st Indonesia-Japan Business Forum oleh Nikkei BP dan Kompas Gramedia pada bulan Mei 2013 di Jakarta menyebutkan Jepang dan Indonesia telah membangun hubungan yang sangat erat. Terjalin melalui persahabatan yang kuat dan rasa hormat yang telah melalui waktu panjang. Indonesia saat ini merupakan sahabat sekaligus mitra yang tidak tergantikan bagi Jepang. Menurut beliau, nilai investasi langsung dari Jepang ke Indonesia meningkat dari tahun ke tahun sepanjang beliau menjabat sebagai duta besar. Selain itu, jumlah perusahaan Jepang di Indonesia juga bertambah mencapai 250 perusahaan sampai tahun 2012 yang menjadi pertanda bahwa kerjasama antara Indonesia
dan
Jepang
akan
mengalami
peningkatan
setiap
tahunnya
(http://www.id.emb-japan.go.jp). Sebuah penelitian studi kasus pernah dilakukan pada salah satu perusahaan di Kota Surabaya yang mempekerjakan beberapa warga Jepang. Penelitian ini menemukan bahwa culture shock yang dialami oleh pekerja Jepang di instansi pemerintah di Surabaya adalah stres yang mereka rasakan yang membuat mereka tidak bisa tidur di malam hari, marah yang membuat mereka ingin pulang ke Jepang, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan di tempat kerja. Penyebab culture shock yang dialami adalah kurangnya rasa kesadaran waktu dan etos kerja dari rekan kerja mereka. Strategi adaptasi dilakukan orang Jepang adalah melakukan beberapa persiapan sebelum pergi ke Indonesia, melakukan hobi mereka, berpikiran terbuka kepada orang-orang dalam pekerjaan dan teman, dan bergabung bersama budaya Indonesia (http://journal.unair.ac.id). Culture Shock dirasakan seseorang meliputi ketidaknyamanan psikologis dan fisik atau keadaan mental yang muncul ketika terjadi proses transisi saat
Universitas Sumatera Utara
4 Universitas Sumatera Utara
seseorang pergi dari lingkungan yang dikenalnya ke lingkungan baru yang tidak dikenal. Pada awalnya mereka merasa kaget dengan budaya baru tersebut. Kemudian mereka akan melakukan suatu tindakan untuk menghadapi gegar budaya yang mereka alami dan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka (Samovar et. al., 2010: 476). Jepang merupakan sebuah negara dengan perpaduan kehidupan modern dan tradisional yang menjadi daya tarik bagi pihak luar dimana saat ini gaya hidup orang Jepang mencampur budaya tradisional Asia dan budaya modern Barat. Jepang juga menjadi negara Asia yang mendapat sorotan dunia karena memberikan perubahan besar di bidang teknologi. Indonesia telah menjadi persinggahan bagi bangsa asing sebelum meraih kemerdekaan karena kekayaan alamnya. Salah satu bangsa asing yang tercatat menetap di Indonesia adalah bangsa Jepang yang menduduki beberapa wilayah di Indonesia selama tiga setengah tahun. Seorang warga Jepang bernama Masatoshi Ito dari Graduate School of Nihon University Japan melakukan penelitian mengenai keturunan dan kebudayaan Jepang di Kota Medan. Ito (2011) menyebutkan di Indonesia sendiri generasi pertama orang Jepang hanya sekitar 324 orang yang dulunya bertugas sebagai tentara. Pada masa kependudukan Jepang antara Maret 1942 sampai Agustus 1945, Aceh sebagai pintu utama masuknya tentara Jepang yang ingin menduduki Indonesia kembali menjadi titik konsentrasi wilayah yang harus dijaga ketat tentara kaisar Jepang (Konoeshidan). Artikel berikut tulisan Ito yang dikutip dari harian Sumut Pos untuk menunjukkan hubungan erat antara orang Jepang dengan Indonesia:
Universitas Sumatera Utara
5 Universitas Sumatera Utara
Generasi pertama, pada 1951 yang tak dapat kembali ke negaranya di Jepang berkumpul di Medan dengan alasan pemerintah pusat Indonesia khawatir orang Jepang akan membantu memerdekakan Aceh dari Indonesia. Jumlah mereka pada saat itu sekitar 80 orang, baik yang sudah atau belum berkeluarga. Berdasarkan responden penelitiannya, diketahui dari data 113 responden penelitiannya di Indonesia terdapat sekitar 57 orang generasi kedua dan ketiga yang tinggal di Kota Medan. Sementara itu, 113 respondennya tersebut berasal dari generasi kedua sebanyak 55 orang dan 58 orang generasi ketiga. Di Sumatera Utara, orang Jepang bermukim di daerah Binjai, Tebing Tinggi, Stabat, Limapuluh, Pangkalan Susu, Pematang Siantar dan Medan. Sebelum berdirinya Yayasan Warga Persahabatan pada 1979, terdapat perkumpulan orang Jepang di Sumut seperti Perkumpulan Keturunan Jepang Medan (1950), Perkumpulan Keturunan Jepang Pematang Siantar (19560) dan Perkumpulan Keturunan Jepang Sungai Tapanuli (1952). Adapun aktivitas yayasan ini adalah seperti arisan, pemeriksaan kesehatan, Upacara Ziarah Musim Semi, Upacara Ziarah Musim Gugur, pembersihan Makam maupun halal bi halal (Ito, 2011). Peneliti melakukan observasi sederhana pada kegiatan Bunkasai Fakultas Ilmu Budaya USU pada bulan Maret 2013. Dari hasil observasi, peneliti menemukan bahwa orang Jepang yang tinggal di Medan sangat menghargai kegiatan kebudayaan Jepang yang diadakan oleh mahasiswa Departemen Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya USU. Hal ini ditandai dengan lebih dari 20 orang Jepang bersama-sama melakukan tarian Bon Odori saat penutupan kegiatan Bunkasai tersebut. Selain itu, dari observasi ditemukan bahwa orang Jepang berusaha berbaur dengan orang Indonesia di kegiatan tersebut dan tidak sungkan untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, meskipun kemampuan berbahasa Indonesia yang mereka miliki tidak cukup memadai. Salah seorang warga Jepang yang sempat diwawancari oleh peneliti menyebutkan bahwa kunci sukses bagi
Universitas Sumatera Utara
6 Universitas Sumatera Utara
dirinya dapat berinteraksi dengan baik adalah dengan mempelajari bahasa Indonesia. Komunikasi sudah sangat mudah dilakukan oleh orang yang berasal dari berbagai budaya berbeda tanpa rasa takut terjadinya kesalahpahaman dalam penerimaan pesan sekalipun dengan menggunakan bahasa tertentu ketidakpastian dalam sebuah hubungan tidak dapat dihindari begitu saja. Saat ini kita dengan mudah menemukan pasangan dari budaya yang berbeda membina rumah tangga, dimana mempunyai tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi pada awal komitmen kedua individu yang terlibat dalam pernikahan tersebut. Ada banyak hal yang berbeda dapat ditemukan pada budaya Jepang dan Indonesia,
baik
dalam
konteks
keluarga,
pekerjaan
ataupun
aktivitas
kesehariannya. Misalnya, jika sepasang kekasih pergi makan bersama adalah wajar bagi orang Jepang untuk membayar sesuai pesanan masing-masing. Di Jepang hal seperti ini adalah biasa, tetapi di Indonesia bisa memunculkan kesan bahwa orang tersebut perhitungan dalam hubungan yang sedang dijalani. Contoh lain yang dapat menunjukkan perbedaan budaya orang Jepang dan Indonesia adalah orang Jepang sangat menghargai ketepatan waktu. Orang Jepang melihat waktu sebagai kesempatan berharga yang tidak layak untuk disia-siakan. Waktu adalah uang merupakan peribahasa yang sesuai dengan budaya orang Jepang, yang bila diklasifikasikan menurut pendekatan waktu dari Edward T. Hall sebagai kelompok budaya Monochronic (M-Time). Fenomena ini membawa kita lebih jauh melihat bahwa ketika interaksi terjadi antara individu berbeda budaya, ada pertukaran makna dari masing-masing budaya yang dimiliki.
Universitas Sumatera Utara
7 Universitas Sumatera Utara
Melihat bagaimana sebuah konteks budaya tertentu, kita juga dapat melihat bagaimana proses interaksi yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang berasal dari konteks budaya tinggi akan mengutamakan pesan non-verbal sebagai sumber informasi tentang lawan interaksinya. Sedangkan mereka yang berbudaya konteks rendah, lebih suka mencari tahu informasi tentang lawan interaksinya dengan bertanya langsung. Artinya, terdapat variabel-variabel tertentu yang memengaruhi seseorang dari sebuah konteks kebudayaan dalam usahanya untuk menciptakan interaksi yang efektif (Littlejohn and Foss, 2009: 220-221). Pelaku interaksi memulai pertukaran makna dari bahasa yang tersusun dari rangkaian simbol-simbol yang telah disepakati maknanya. Perbedaan bahasa, ekspresi wajah, cara makan ataupun cara bergaul menjadi hal yang harus dikompromikan agar tercipta keselarasan dalam interaksi. Nilai yang melekat pada budaya pelaku interaksi harus dikonstruksi ulang untuk mendapatkan keselarasan makna dalam rangka menciptakan mutual understanding. Setiap interaksi yang dilakukan tentu memuat ketidakpastian yang berbeda-beda, sehingga setiap individu dituntut untuk berperan aktif melakukan pertukaran informasi mengenai budayanya dengan tujuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian tersebut. Ketidakpastian bersumber dari ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi orang lain. Salah satu kendala yang menyebabkan situasi ini terjadi dan tidak dapat dihindari adalah perbedaan bahasa. Pertukaran budaya yang dilakukan saat berinteraksi tidak terbatas pada bahasa ibu yang dikuasai sejak kecil, tapi juga mencakup hal-hal yang dipelajari dalam keluarga. Kebiasaan seseorang ketika berinteraksi dalam keluarga memengaruhinya ketika berinteraksi dengan orang lain. Konflik dalam interaksi
Universitas Sumatera Utara
8 Universitas Sumatera Utara
antarbudaya dapat diminimalkan dengan mengenal budaya kedua belah pihak agar komunikasi efektif dapat tercapai.
1.2
Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penelitian ini perlu
diberi batasan agar kajian tidak meluas sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun pembatasan masalah yang dapat dijabarkan pada penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini untuk melihat hubungan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya. 2. Objek penelitian ini adalah warga Jepang yang tinggal di Indonesia, atau warga Jepang yang pernah tinggal di Indonesia. 3. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei – Desember 2013.
1.3
Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat diajukan untuk penelitian ini berdasarkan
latar belakang serta pembatasan masalah di atas adalah: “Bagaimanakah hubungan kecemasan dan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia?”
Universitas Sumatera Utara
9 Universitas Sumatera Utara
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian menjadi dasar untuk mengungkapkan sasaran yang ingin
dicapai dalam sebuah penelitian. Penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang diajukan maka tujuannya adalah: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecemasan terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketidakpastian terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya warga Jepang di Indonesia.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan kontribusi positif terhadap kajian komunikasi antarbudaya, khususnya di tempat peneliti menuntut ilmu. 2. Menjadi salah satu referensi untuk mengurangi bentuk kecemasan dan ketidakpastian saat berkomunikasi bagi pelaku komunikasi, khususnya yang berbeda budaya.
Universitas Sumatera Utara
10 Universitas Sumatera Utara