BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, perkiraan angka penderita kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia adalah 250 juta, maka akan ada sekitar 1.juta kasus kanker yang ditemukan di Indonesia (Riskesdas, 2007). Hal ini seiring dengan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 1995 dan riset kesehatan dasar pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular termasuk kanker adalah meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun 2007 di mana angka ini berbanding terbalik dengan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit menular, yang menurun dari 44,2% menjadi 28,1% pada tahun yang sama (Kemenkes, 2012). Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO juga telah memperkirakan akan terjadinya peningkatan tajam dari kasus kanker baru dari 10 juta kasus pada tahun 2000 menjadi 15 juta kasus pada tahun 2020 (WHO, 2003), 70% nya di developing country termasuk indonesia. Dari jumlah tersebut, hampir dua per tiga pasien kanker mendapat terapi radiasi dalam pengobatannya di mana di Amerika sekitar 75% pasien kanker mendapat radiasi sebagai terapi utama (ASTRO, 2008). Berdasarkan data American Society Therapeutic Radiation Organization, 66% pasien kanker memerlukan radiasi selama masa sakitnya, 45% untuk 1
terapi kuratif dan 21% untuk terapi paliatif (ASTRO, 2008). Bila dibuat perhitungan dari perkiraan jumlah penderita kanker yang ada di Indonesia, maka penderita kanker baru di Indonesia yang memerlukan terapi radiasi adalah lebih kurang 151.800 orang per tahun. Rekomendasi International Atomic Energy Agency menyatakan bahwa satu pesawat radiasi dapat melayani sekitar 500 pasien per tahun (IAEA, 2007), dengan demikian memerlukan 303 pesawat linear accelerator atau cobalt. Namun di Indonesia hanya memiliki 30 pusat radiasi dan hanya 29 pusat radiasi yang aktif dengan 42 pesawat radiasi, terdiri dari 16 cobalt dan 26 linac (data perhimpunan onkologi radiasi, Agustus, 2013). Hal ini tentunya menyebabkan kapasitas pelayanan menjadi kurang memadai. Merujuk pada standar IAEA, setiap satu tenaga dokter spesialis onkologi radiasi seharusnya melayani 250 pasien kanker per tahun (IAEA, 2007), sehingga Indonesia membutuhkan sekitar 607 dokter spesialis onkologi radiasi. Akan tetapi, Indonesia memiliki jumlah dokter onkologi radiasi yang hanya 53 orang dan, dari jumlah tersebut, empat orang sudah pensiun walaupun masih bekerja di bidang radioterapi, setiap tahun jumlah dokter onkologi radiasi bertambah 10 orang. Dengan demikian, tenaga dokter spesialis onkologi radiasi di Indonesia masih sangat kurang. Hal tersebut terjadi karena pelayanan terapi radiasi memerlukan suatu alat yang padat teknologi dan biaya tinggi. Selain itu, pendidikan onkologi radiasi pada awalnya merupakan lanjutan dari spesialis radiologi, sehingga memerlukan waktu pendidikan yang relatif lama. Sejak diresmikannya pembentukan perhimpunan dan kolegium onkologi radiasi pada 2
21 Agustus 2007, pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi dapat langsung dari dokter umum, hal ini telah disahkan oleh DIKTI (direktorat perguruan tinggi Indonesia) pada tahun 2010. Hal ini dapat menjadi program percepatan penambahan tenaga dokter spesialis onkologi radiasi. Perubahan ini diharapkan dapat memecahkan persoalan tersebut. Sebelumnya sebagian besar dokter onkologi radiasi di lapangan bekerja dengan dua keahlian dan hal ini menyebabkan perhatiannya kurang fokus terhadap profesi onkologi radiasi. Pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi sebagai bagian dari pendidikan dokter spesialis dengan keterampilan khusus memerlukan ketepatan tinggi dan keterampilan dengan risiko tinggi yang memerlukan metode pembelajaran yang khusus. Jika membicarakan tentang radioterapi, hal ini mungkin dapat dikaitkan dengan data statistik tentang industri penerbangan, di mana perjalanan dengan pesawat terbang merupakan perjalanan yang paling aman. Pada tahun 2003, Dixon membuat sebuah analogi situasi penerbangan dengan praktik radioterapi. Radioterapi juga melayani sejumlah masyarakat dan ada keterkaitannya dengan keterampilan yang dapat disamakan dengan air traffic control bagi medical physicists, technical machine operation dengan dosimetrist atau radiation therapists, dan kemampuan pilot dalam membuat penilaian situasi misalnya dengan dokter onkologi radiasi dan disiplin onkologi lainnya. Peningkatan kualitas mesin dan sistem pendukung serta informasi mendorong seorang pilot untuk mampu menerbangkan pesawat, memasuki angkasa dengan baik dan memakai landasan pacu dengan aman (Dixon, 2003). Sehubungan dengan hal 3
tersebut, maka dalam pelayanan radioterapi diperlukan suatu mekanisme agar kejadian yang tidak diharapkan dapat dihindari dengan melakukan pencegahan, yaitu salah satunya dengan memberikan pendidikan melalui audit perilaku yang ditujukan bagi keamanan pasien/patient safety. Salah satu contoh audit perilaku di bidang radioterapi adalah audit eksternal yang dilakukan oleh Shakespeare (2005) di The Cancer Institute, Singapura. Pada saat itu, pusat radioterapi tersebut baru saja beroperasi dan dijalankan oleh empat dokter onkologi radiasi junior. Dari 100 kasus yang sudah disimulasi dan diambil secara acak, didapatkan beberapa kasus yang merugikan pasien. Contoh kasusnya adalah satu kasus kanker paru yang saat dilakukan radiasi, lapangan radiasi tersebut kurang 10 cm sehingga daerah radiasi menjadi lebih kecil dari seharusnya. Hal ini terjadi karena kasus tersebut tidak dilaporkan kepada dosen pembimbing. Kasus lain adalah kasus penyinaran seluruh kepala dan hal ini dilakukan dengan daerah belakang mata yang tidak ditutup dengan baik. Hal tersebut terjadi total pada empat kasus yang dilakukan radiasi. Contoh lain lagi adalah pada kasus kanker leher rahim stadium IIIb di mana dosis yang diberikan adalah hanya 54 Gy. Kasus ini seharusnya diberi brachyterapy, namun tidak diberikan walaupun alatnya tersedia. Seharusnya informasi mengenai kejadian yang tidak diharapkan dalam bidang kedokteran dapat dihindari seperti yang dilaporkan oleh Berwick dan Leape’s bahwa setengah dari insiden yang tidak diharapkan dapat dicegah (Brennan, 1991: Bates, 1995: Kun, 2005).
4
Berdasarkan kasus-kasus di atas, berbagai teknik telah dilakukan untuk dapat meningkatkan perilaku praktik dokter, antara lain melalui continuing medical education, practical guidelines, clinical pathways dan IAEA (Quatro). Efektivitas metode ini tergantung pada cara melaksanakannya dan implementasinya. Metode-metode pembelajaran klinis biasa dilakukan dengan pemberian kuliah atau hand out yang dipadukan dengan teknik lain seperti audit dengan feedback/umpanbalik, pendapat pimpinan setempat dan sistem reminder, serta penggunaan laporan kejadian sentinel dan analisis akar permasalahan dalam program pendidikan kedokteran (Trowbridge, 2008). Audit dengan umpan balik merupakan sebuah tinjauan proses perawatan yang dilakukan klinisi terhadap pasiennya (sering dibandingkan dengan standar nasional atau standar berdasarkan bukti klinis) dengan harapan akan dihasilkan kualitas perawatan yang lebih baik. Grup Cochrane melakukan evaluasi penelitian terhadap peranan audit dengan umpan balik dan menemukan 37 penelitian kontrol terrandomisasi yang membandingkan teknik ini dengan grup kontrol non intervensi Metaanalisis yang menunjukkan audit dengan disertai umpan balik merupakan sebuah metode pendidikan kedokteran berkelanjutan yang efektif. Namun keberhasilannya bervariasi antar spesialis dan sedikit bukti spesifik yang terpublikasi dari bidang onkologi radiasi (O’Brien, 2000). Salah satu penelitian audit disertai umpan balik dalam bidang onkologi radiasi adalah program pendidikan kedokteran berkelanjutan yang dilakukan terhadap dokter onkologi radiasi di National Cancer Institute Singapore terhadap 113 pasien yang dikerjakan (To) dan 118 pasien (T1) dengan hasil rata-rata 19 nilai 5
perilaku yang ditargetkan membaik secara bermakna yaitu dari 8,7 menjadi 9,2 dari 10 dan p = 0,0001 (Shakespeare, 2005). Audit klinis dapat digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan ketelitian dan kepatuhan standar tata laksana pasien. Audit klinis diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dokter onkologi radiasi terhadap kesesuaian dengan protokol, meningkatkan kepercayaan diri peserta didik, meningkatkan daya berpikir kritis serta mengurangi tingkat kesalahan. Salah satu aktivitas pembelajaran adalah audit dan umpan balik dari data pasien, yang memiliki beberapa faktor dalam mempengaruhi keefektifannya pada penilaian diri sendiri. Faktor yang meningkatkan keefektifan audit ini adalah adanya data yang objektif sebagai suatu ukuran penilaian diri sendiri, sedangkan faktor yang membatasi keefektifannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Esik et al. (1999) menyatakan bahwa audit eksternal dengan umpan balik meningkatkan kualitas mutu praktik dokter onkologi radiasi. Lebih jauh, audit internal dengan umpan balik secara individu juga meningkatkan profesionalisme praktik dokter onkologi radiasi (Brundage, 1999; Shakespeare, 2005). Peneliti lain, yaitu Ishihara (2008), menyatakan bahwa proses radioterapi bersifat kompleks dan mengharuskan pengertian tentang fisika medis, radiobiologi, keselamatan radiasi, dosimetri, perencanaan terapi radiasi, simulasi dan interaksi antara radiasi dengan modalitas pengobatan yang lain. Pengobatan dengan radiasi untuk kasus kanker semakin bertambah. Sementara itu, jumlah tenaga dokter spesialis onkologi radiasi yang kompeten hanya sedikit. Sejalan dengan terbentuknya perhimpunan onkologi radiasi 6
Indonesia, pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi juga baru dimulai. Oleh karena itu audit klinis dengan umpanbalik difikirkan sebagai cara pembelajaran dengan harapan dapat meningkatkan kualitas pelayanan radioterapi yang lebih baik dengan tenaga yang terbatas serta menjamin mutu pendidikan. Selanjutnya, sejalan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan Indonesia, beliau memperkenalkan sistem among pada pendidikan yang dilaksanakan sebagai ”tut wuri handayani” yang hakekatnya memberikan kebebasan pada peserta didik dalam menempuh pendidikannya, tetapi bila ada hal-hal yang menyimpang pada perilaku peserta didik, perilaku tersebut perlu dikoreksi (handayani) dengan mengedepankan rasa kasih sayang. Selain itu, konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah bahwa belajar pada dasarnya meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman yang diketahui, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajari (Saefudin, 2009: Rahardjo, 2009). Audit klinis juga harus menggunakan sistem “no blame policy” atau tidak menyalahkan tetapi pada hasil audit harus diberikan masukan sebagai cara pembelajaran kepada peserta didik. Sehubungan dengan disertasi yang dilakukan, audit klinis dalam bidang pendidikan onkologi radiasi belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di pusat pendidikan onkologi radiasi karena pada saat ini pusat tersebut merupakan satu-satunya tempat pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi di Indonesia dan sampai dengan Juli 2009 jumlah peserta didik PPDS onkologi radiasi adalah sebanyak 25 orang. Rumah Sakit Umum Pusat 7
Nasional Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit yang mempunyai sarana pelayanan radioterapi tipe tersier dan di Departemen Radioterapi RSUPNCM ini telah dilakukan suatu penjaminan mutu secara internasional. Penjaminan mutu secara comprehensive tersebut dilakukan oleh Quality Assurance Team for Radiation Oncology (QUATRO), yang merupakan badan International Atomic Energy Agency. Penilaian QUATRO ini adalah atas permintaan institusi dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan pasien dan menilai kesesuaian struktur dan proses dengan standar international terhadap institusi tersebut. Proses ini bukan bersifat mandatory dan tidak ditujukan untuk penilaian perorangan. Sementara itu, audit klinis yang dilakukan Royal Australia and New Zealand Radiology College of Radiologist (RANZCR) merupakan sebuah audit yang ditujukan terhadap dokter onkologi radiasi secara personal dan sudah merupakan suatu persyaratan resertifikasi seorang dokter onkologi radiasi. Dalam proses pembelajaran, peserta didik telah diperkenalkan metode pembelajaran menyerupai audit klinis dengan cara pembahasan kasus-kasus baru setiap minggu dan kasus-kasus yang telah ditentukan terapinya atau telah menjalani terapi satu atau dua kali penyinaran dalam suatu ronde besar yang dihadiri oleh seluruh staf pengajar, staf fisika medis serta petugas di bagian penyinaran maupun petugas pembuatan simulasi. Hal ini merupakan suatu metode audit klinis secara internal sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Penatalaksanaan terapi radiasi harus dikerjakan oleh tim yang terdiri dari ahli fisika radiasi, dosimetris, radiografer radioterapi dan dokter
8
onkologi radiasi. Hal ini mengharuskan dokter onkologi radiasi maupun peserta didik PPDS onkologi radiasi untuk membuat rekam medis dengan baik dan teliti. Dari latar belakang tersebut diatas dapat dilihat bahwa Indonesia hanya memiliki satu pusat radioterapi yang telah melaksanakan audit secara international dan beberapa pusat radioterapi yang telah dilakukan audit secara nasional. Baik audit secara international maupun nasional tidak ditujukan terhadap perseorangan tetapi terhadap institusi untuk menilai kesesuaian antara struktur dan proses yang dilakukan terhadap standar IAEA. Penelitian ini ditujukan terhadap peserta didik pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi yang pesertanya adalah dokter umum dan bukan dokter spesialis radiologi seperti yang terjadi pada waktu lalu atau merupakan strata dua. Penelitian ini dilakukan sebagai suatu pilot study (penelitian percontohan) dalam bidang pendidikan onkologi radiasi sehingga hasilnya dapat dijadikan untuk mengembangkan pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi. Selain itu setelah lulus pada saat peserta didik terjun ke dunia kerja yang sesungguhnya nanti mereka diharapkan dapat mengaplikasikan sistem audit klinis ini di instansi tempat mereka bekerja yang tersebar di seluruh Indonesia. Di masa yang akan datang seluruh pusat radioterapi diharapkan mempunyai kompetensi perseorangan yang merata di seluruh Indonesia.
B. Rumusan Masalah 1. Di Indonesia, fasilitas pelayanan radioterapi masih terbatas tetapi jumlah pasien yang memerlukan pelayanan melebihi kapasitas pelayanan yang ada
9
dan dari tahun ke tahun jumlah pasien cenderung meningkat. Dengan demikian, diperlukan perbaikan dan peningkatan pelayanan kesehatan. 2. Peningkatan pelayanan kesehatan tidak hanya terkait dengan penambahan fasilitas berupa peralatan medis saja, namun juga disertai dengan peningkatan kemampuan tenaga medis yang memadai. Dengan terbentuknya pendidikan onkologi radiasi yang langsung dari dokter umum sebagai program percepatan penambahan tenaga dokter diperlukan suatu cara pembelajaran yang dapat menjamin kualitas pendidikan yang baik sekaligus tidak mengganggu kualitas pelayanan kesehatan. 3. Sebagai salah satu bidang baru dalam kategori spesialisasi kedokteran, metode pembelajaran yang menggunakan audit yang meninjau perilaku profesional peserta didik PPDS onkologi radiasi di Indonesia secara perseorangan belum pernah dilakukan. Agar mendapatkan hasil yang memuaskan dan demi perbaikan program pendidikan, perlu dilakukan telaah dan penelitian secara langsung kepada para peserta didik yang mengikuti program pendidikan dokter spesialis onkologi radiasi, sebagai cara pengevaluasian program yang diterapkan. 4. Proses pelaksanaan terapi radiasi adalah bersifat unik, karena harus dilakukan oleh satu tim kerja dengan keterampilan tertentu dan setiap tahapan penatalaksanaannya harus dapat
diukur dan didokumentasikan
dengan baik dan teliti, sehingga dapat mencegah kesalahan dalam penatalaksanaan terapi pasien.
10
C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbaikan perilaku peserta didik PPDS dalam tatalaksana pasien setelah diberikan intervensi pembelajaran dengan audit klinis yang disertai dengan laporan audit? D. Tujuan Penelitian D.1. Tujuan Umum Mengembangkan metode pembelajaran menggunakan audit klinis dengan umpan balik secara perseorangan dalam bidang pendidikan onkologi radiasi. D.2. Tujuan Khusus D.2.1. Merancang instrumen audit klinis dengan tinjauan khusus pada perilaku perorangan. D.2.2. Mengujicobakan dan mengkaji memakai audit
kefektifan model
klinis disertai umpanbalik
pendidikan
dalam bidang
pelayanan radioterapi pada peserta didik onkologi radiasi. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan: a. Audit klinis akan mengurangi kesalahan dalam proses pembelajaran peserta didik PPDS onkologi radiasi. b. Audit klinis akan meningkatkan kepercayaan peserta didik dalam proses pembelajaran dan penatalaksanaan pasien.
11
c. Instrumen audit klinis yang dihasilkan dapat digunakan sebagai model pembelajaran khususnya di bidang radioterapi bagi peserta didik PPDS onkologi radiasi dalam rangka penilaian formatif. d. Setelah selesai pendidikan, peserta didik akan membawa dan mengaplikasikan pengetahuan mengenai audit klinis ini pada tempat kerja mereka nanti yang tersebar di seluruh Indonesia. 2. Bagi masyarakat: dengan keberhasilan audit klinis ini kualitas pelayanan akan meningkat dan diharapkan pasien akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan sesuai dengan (patient safety)/keselamatan pasien. F. Keaslian Penelitian 1. Peneliti pertama yang melakukan audit terhadap perencanaan terapi radiasi adalah Brundage pada tahun 1989 sampai dengan 1996, di Rumah Sakit Umum Kingston, Ontario, Canada. Penelitian tersebut dilakukan selama delapan tahun dalam praktik sehari-hari dengan meneliti 3052 kartu radiasi untuk mengevaluasi mutu pelayanan. Hasilnya menunjukkan ketidaksesuaian terapi yang diberikan dengan rincian sebanyak 124 (4,1%) karena perencanaan yang salah, 79% berhubungan dengan kesalahan yang diperbaiki sebelum dilaksanakan radiasi, dan 110 (3,6%) tidak disetujui karena tidak sesuai dengan kebijaksanaan pengobatan radiasi. Partisipannya adalah dokter yang bekerja di Rumah Sakit Kingston tersebut. 2. Selanjutnya Shakespeare melakukan audit klinis terhadap 100 kartu radiasi pasien yang dilakukan simulasi dalam persiapan radiasi. Sementara itu audit eksternal dari RANZCR juga dilakukan dalam upaya penjaminan 12
mutu pelayanan dari dokter onkologi radiasi junior yang magang di The Cancer Institute Singapura (Shakespeare 2006). 3. Leong (2006) juga melakukan audit klinis terhadap 75 kartu radiasi dan 178 data pasien yang telah selesai simulasi. Setiap dua minggu audit dilakukan terhadap satu kartu radiasi untuk setiap dokter sebagai Program Pendidik Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) dan intervensi dengan memaparkan nilai audit klinis dalam setiap rapat audit. Partisipannya adalah dokter yang bekerja di Rumah Sakit National Cancer Center Singapura. 4. Peneliti lain adalah Toohey (2008) yang memaparkan perubahan item RANZCR 2003, RANZCR 2006 dan IAEA yang menggunakan audit klinis sebagai suatu CPD wajib bagi semua dokter onkologi radiasi di Australia, dengan partisipannya seluruh dokter onkologi radiasi sebagai resertifikasi. 5. Zissiadis pada Maret sampai dengan Oktober 2003 membuat instrumen audit untuk pusat radioterapi di Rumah Sakit Peter Mc Callum Cancer Institute, Perth, Australia Barat, yang terdiri dari 11 item yang hanya terdiri dari penilaian kinerja. Penilaian tersebut dapat dilakukan baik oleh dokter maupun tenaga non dokter karena hanya menilai kinerja di rumah sakit tersebut. Penilaian hanya terhadap kinerja yang terdiri dari 11 item (Zissiadis, 2006). Bila diambil kesimpulan dan sintesis dari data di atas, maka penelitianpenelitian tersebut dilakukan terhadap dokter yang bekerja di departemen radioterapi dan hanya satu penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit National Cancer Center di Singapura terhadap dokter yang sedang magang di rumah 13
sakit tersebut. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan terhadap prosedur yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan penatalaksanaan pasien karena bidang onkologi radiasi tidak dapat mentolerir adanya kesalahan karena radiasi yang telah diberikan pada pasien tidak dapat ditarik kembali. Sementara itu, satu-satunya penelitian audit klinis yang ditujukan pada perilaku dan kinerja dokter secara perseorangan adalah
penelitian
Shakespeare dengan instrumen RANZR. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini merupakan satu-satunya penelitian yang menggunakan audit klinis perseorangan dengan tujuan untuk memberikan pembelajaran kepada peserta didik PPDS onkologi radiasi dengan umpan balik melalui email secara perseorangan dan merupakan yang pertama kali dilakukan dalam bidang pendidikan onkologi radiasi di Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian–penelitian tersebut di atas peneliti uraikan pada Tabel 1 di bawah ini.
14
15
16
17