BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah “...Mungkin Yang Mulia [Menteri Koloni] telah mengetahui bahwa dalam beberapa bulan terakhir manusia-manusia jahat telah mengejar-ngejar kami ... Kami jatuh dan ditangkap dalam jaring-jaring yang kuat, bila kami cedera berat kemudian dibunuh. Yang paling mudah menjadi mangsa ialah anak-anak dan istri-istri kami ... Saudara-saudara kami dimasukkan ke dalam kurungan untuk dipertontonkan kepada manusia-manusia, sampai mati, dan [sampai] terlepas dari penderitaan batin ... Penderitaan batin untuk berpisah paksa, serta menghindari kengerian penahanan dalam kurungan, yang mana kami dapat memastikan di hadapan Yang Mulia, bahwa sebagaimana umumnya manusia, kami pun memiliki kepekaan dalam perasaan!”.1
Kalimat
di
atas
merupakan
penggalan
surat
pengaduan
yang
mengatasnamakan orangutan Sumatera, sebagai bentuk protes atas kesewenangwenangan manusia dalam memperlakukan satwa, khususnya dalam perburuan dan perdagangan orangutan pada awal abad ke-20 dari Sumatera.2 Orangutan banyak diburu, dibawa dalam kurungan, kemudian diangkut dengan kapal ke tempat yang jauh di Eropa dan Amerika. Mereka banyak dijadikan sebagai peliharaan, bahan eksperimen medis dan sains, serta dijadikan sebagai penghuni kebun binatang.3
1
Kutipan itu merupakan terjemahan dari penggalan berita yang termuat dalam Nieuwe Rotterdamsche Courat yang berjudul “De orang oetan van Sumatra aan Z. Exc. den Minister van Kolonien te ‘s-Gravenhage” (Orang Utan dari Sumatera kepada Yang Mulia Menteri Jajahan di Den Haag) pada 14 Juli 1928. Kutipan diambil dari Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya, (Bandung: Granesia, 1986), hlm., 591-594. 2
Ibid., hlm., 591
1
Kemunculan surat tersebut menjadi semacam rangsangan yang menguatkan wacana perlindungan dan penegakan kesejahteraan satwa. Wacana ini pada dasarnya telah terbentuk sejak akhir abad ke-19, di tengah berkembangnya isu kepunahan beberapa spesies satwa liar.4 Orangutan menjadi satu dari sekian spesies endemik Hindia Belanda yang banyak diburu dan diperdagangkan, selain cenderawasih yang telah lebih dulu “membangunkan” para pecinta satwa dunia. 5 Selain berakar dari isu kepunahan, perhatian terhadap kesejahteraan satwa juga didasari perlakuan yang dianggap kurang “manusiawi” dalam pemanfaatan satwa - sebagai hiburan, sebagai peliharaan, sebagai konsumsi, serta sebagai bahan 3
Peter Boomgard, Oriental Nature its Friends and its Enemies: Conservation of Nature in Late Colonial Indonesia 1889-1949, (Leiden: KITLV, 1999), hlm., 259 4
Para pemerhati alam seperti kelompok Natural History serta beberapa pemburu telah menyadari keterancaman satwa liar dan kerusakan alam sejak akhir abad ke-19. Satwa-satwa seperti merpati dan bison di Amerika Utara begitu rentan akan kepunahan. Bahkan, pada pertengahan kedua abad ke-19, quagga (zebra kuno) dan blue antelope (kijang bertanduk) di selatan Afrika, serta burung Great Auk di Atlantik Utara telah punah. Tumbuhnya industri fashion di Eropa dan Amerika – dengan bahan baku berupa bulu dan bagian tubuh burung – menjadi penyebab lain yang memunculkan protes-protes dan gerakan perlindungan, seperi yang dilakukan Theodore Roosevelt di Amerika Serikat ataupun Pieter Gerbrand van Tienhoven di Belanda. Paul Jepson & Robert Whittaker, Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia), (Cambridge: The White Horse Press, 2002), hlm., 13 5
Cenderawasih bisa disebut sebagai indikator pertama yang melibatkan Hindia Belanda dalam arus opini internasional. Bulu burung indah tersebut banyak diekspor untuk dijadikan bahan baku topi dan mantel wanita di Eropa dan Amerika. Kemunculan wacana perlindungan cenderawasih diawali sejak akhir abad ke-19 melalui protes-protes yang diserukan beberapa individu dan perkumpulan, di Hindia Belanda maupun di ranah internasional. Robert Cribb, “Bird of Paradise and Environmental Politics in Colonial Indonesia, 1890 – 1911” dalam Peter Boomgard, Freek Colombijn & David Henley.Paper Landscape: Exploitations in the environmental history of Indonesia, (Leiden: KITLV Press), hlm., 385 2
percobaan ilmiah. Wacana kesejahteraan satwa telah muncul sejak abad ke-18 di beberapa negara Barat, seperti Inggris dan Amerika, yang kemudian berangsur-angsur menular ke negara-negara Barat lain, hingga kemudian menjadi wacana transnasional.6 Beberapa permasalahan kesejahteraan satwa, seperti kebiasaan mengadu satwa, perlakuan terhadap satwa penarik, penyembelihan ternak, pembedahan satwa untuk riset, penyediaan rumah penampungan dan rumah sakit hewan, serta pendidikan kesejahteraan, merupakan aspek-aspek yang disuarakan secara global.7 Pesebaran wacana kesejahteraan satwa tidak lepas dari munculnya agency berupa individu dan perkumpulan pecinta satwa di setiap negara. Terjalinnya hubungan antar agen – seperti melalui kongres internasional – menjadi wadah bagi terciptanya keseragaman dalam penyelesaian masalah kesejahteraan satwa. Bukan
6
Dalam melacak akar kesejahteraan satwa, perlu dibedakan peta penyebaran antara satwa domestik dan satwa liar (meskipun keduanya bukan batasan mutlak). Untuk satwa domestik, ada sebuah tradisi Pythagorian (berawal dari Pythagoras, 530 SM) yang memiliki kebiasaan tidak menyakiti, memakan, dan menggunakan satwa (abad ke-18 di Inggris). Tradisi ini dipelajari ulang dan iklim humanisme mengubahnya menjadi “persepsi umum” sebagai kewajiban mengasihi satwa (akhir abad ke-19). Untuk satwa liar, iklim humanisme dan romantisme di Eropa memberikan sebuah “kesadaran” terhadap rawan punahnya beberapa spesies satwa liar, serta rusaknya hutan (alam) sebagai habitatnya. Akhir abad ke-19 menandai gerakan awal di Amerika yang kemudian muncul dan menyebar di Eropa. 7
Salah satu bentuk penyebaran wacana ini terlihat dari adanya sebuah kongres internasional. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi pokok pembahasan dalam kongres yang diselenggarakan di Brussel pada 17 sampai 21 Oktober 1926. “International nieuws”, De Indische Dierenvriend: Orgaan van de Nederlandsch Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren, No. 3 2e Jaargang, Maart 1927 3
hanya di negara-negara Barat, wacana ini berkembang pula di negeri-negeri koloni, tidak terkecuali Hindia Belanda. “Sekitar 30 tahun yang lalu [sumber ditulis pada 1926], hidup seorang lakilaki penyayang satwa. Ia adalah anggota Raad van Indie [Dewan Hindia] yang setiap hari naik kereta kuda ... Saat perjalanan ke rumah, ia melihat sado, grobak kuda, dan kendaraan berkuda lain yang [kudanya] nampak kecil, kurus, terlalu muda, tidak memiliki [diberi] cukup makan, dirawat dengan buruk, kemudian masih sering dipukuli tanpa ampun...Meskipun ia anggota Raad van Indie, tidak ada yang bisa ia lakukan, membuat dia memutuskan untuk mendirikan perkumpulan untuk meringankan penderitaan satwa dan menentang kekejaman terhadap mereka.”8 Kisah di atas menjadi pembuka bagi lahirnya orang-orang peduli terhadap kesejahteraan satwa di Hindia Belanda. Kesadaran ini memang merujuk pada apa yang telah dilakukan para penyayang satwa di Eropa dan Amerika.9 Esensinya mengajarkan bahwa pemanfaatan satwa sudah oleh manusia seharusnya melihat sisi psikologis dari satwa itu sendiri - apakah satwa itu menderita atau tidak – sebagai pertanyaan fundamental dari konsep animal welfare.10 Penderitaan satwa dalam hal 8
“Aan alle kinderen, die dit blaadje lezen en hun vriendjes en vriendinnetjes aan wie zij het vertellen”, Voor Onze Dierenvriendjes: Bijblad voor Kinderen van “De Indische Dierenvriend”, September 1926. Seseorang yang disebutkan sebagai anggota Raad van Indie di sini ialah G.A. Scherer, seorang sosialis yang kemudian menjabat sebagai ketua dewan tersebut pada 1898-1899. 9
Ibid.
10
Francine L. Dolins, “A Look Back in The Mirror: Perspectives on Animals and Ethics” in Francine L. Dolins (ed.), Attitudes to Animals; Views in Animal Welfare, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm., 7. Konsep animal welfare dalam hal ini mengacu pada perspektif Barat. Dalam pembahasan pun penyebutan animal welfare merujuk pada kesejahteraan satwa ala Barat. Hal ini penting karena kesejahteraan satwa pada dasarnya merupakan fenomena universal. Setiap etnis memiliki subjektivitas tersendiri dalam memaknai kesejahteraan satwa, tidak terkecuali etnis-etnis masyarakat bumiputra di Hindia Belanda. Dalam 4
ini dianggap bertentangan dengan prinsip animal welfare ala Barat. Manusia dianggap tidak memiliki hak untuk membuat satwa menderita dan sudah selayaknya meningkatkan derajat kesejahteraannya dengan perlakuan yang lebih “manusiawi”.11 Konsep animal welfare menuntut manusia untuk memanfaatkan satwa secara bijaksana, dengan memperhatikan aspek-aspek psikologis dan alamiah dari satwa, seperti rasa lapar dan haus, rasa gelisah, rasa sakit, rasa takut, serta menjaga prilakunya yang normal.12 Hal-hal tersebut diatur dari penyesuaian penunjangpenunjang hidupnya, seperti makanan, kandang, tempat perlindungan dan tempat
pewacanaan animal welfare, terdapat anggapan negatif terhadap perlakuan masyarakat bumiputra terhadap satwa, meskipun perlakuannya merepresentasikan prilaku menyejahterakan menurut perspektif kulturnya. 11
John Webster, Animal Welfare A Cool Eye Towards Eden, (WilleyBlackwel, 1995), hlm., 3. Pandangan ini telah muncul sejak abad ke-18. Beberapa pemikir Inggris seperti Humphrey Primatt dalam buku The Duty of Mercy and the Sin of Cruelty to Brute Animals, menyebutkan bahwa kesakitan adalah kejahatan dan manusia tidak memiliki hak untuk memberikan kesakitan kepada sesama atau satwa. Pandangan untuk “memanusiakan satwa” kemudian berkembang pada abad ke-19, seperti yang disuarakan beberapa aliran kesehateraan satwa, yakni contactarianisme, utilitarianisme, animal right view, relational view, respect for nature view, serta hybrid view. Meskipun keenam perspektif itu memiliki cara berbeda dalam memperlakukan satwa, tetapi esensi pandangan-pandangan tersebut berada dalam satu “payung”: meningkatkan derajat satwa dengan perlakuan yang lebih “manusiawi”. Selengkapnya dijelaskan dalam kerangka konseptual. Peter Sandoe & Stine B. Christiansen, Ethics of Animal Use, (Oxford: Blackwel, 2008), hlm., 17-26; John Simon, Animal Right and The Politics of Literary Representation, (New York: Palgrave, 2002), hlm., 39-40 12
Aspek-aspek tersebut menurut John Webster dalam buku Animal Welfare A Cool Eye Towards Eden, disebut Five Freedom sebagai standar khusus dalam menetukan tingkat kesejahteraan satwa. Wacana ini dalam beberapa tahun mendominasi perbincangan kesejahteraan satwa di Eropa sejak dicetuskannya pada 1992 di Inggris. Five Freedom ini kemudian direvisi oleh UK Farm Animal Welfare Council (FAWC) tahun 1993. Ibid, hlm., 11 5
istirahat, piranti pengobatan, alat penyembelihan, dan sebagainya. Dalam konteks historisnya, konsep tersebut pada dasarnya telah hadir sejak akhir abad ke-19, melalui upaya yang dilakukan Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren (Perkumpulan Pelindung Satwa Hindia Belanda) yang dibentuk pada 1896.13 Selain itu, perhatian khusus terhadap kesejahteraan satwa liar diupayakan oleh perkumpulan bernama Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Natuurbescherming (Perkumpulan Pelestarian Alam Hindia Belanda), yang dibentuk pada 1913.14 Dua perkumpulan tersebut merupakan agency yang berperan penting dalam memunculkan wacana kesejahteraan satwa di Hindia Belanda.15 Selain perkumpulan, 13
Selain terdapat dalam pasal 2 statuta perkumpulan, penerapan konsep tersebut terlihat dari upaya pelaksanaannya, seperti himbauan untuk tidak mencambuk kuda, memodifikasi kendaraan (berkuda), menyediakan tempat minum satwa penarik di kota, menghimbau penggunaan alat penyembelihan yang tidak menyakitkan, membangun tempat penampungan satwa terlantar dan rumah sakit hewan, menghimbau prilaku menyakiti satwa dalam hiburan, dan sebagainya. Upaya pewacanaan perkumpulan ini dimuat secara khusus melalui majalahnya, De Indische Dierenvriend untuk dewasa dan De Dierenvrientjes untuk anak-anak. Statuten van de Nederlandsch Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren gevestigd te Batavia opgericht ten jare 1896, (Batavia: H. Prange & Co, 1896), hlm., 3-4; De Indische Dierenvriend: Orgaan van de Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren. 14
Perkumpulan ini secara umum bergerak dalam pelestarian alam secara umum. Aspek-aspek perlindungan satwa liar tercakup di dalamnya. Perkumpulan ini mengampanyekan wacana perlindungan spesies serta pembuatan cagar alam dan suaka margasatwa. Jaarverslag van Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming 1917-1919 15
Meskipun kedua perkumpulan itu secara khusus dibentuk untuk menegakkan perlindungan satwa, keberadaannya tidak merepresentasikan sebuah negara. Tidak secara otomatis kesejahteraan satwa di Hindia Belanda hanya tertuju pada dua perkumpulan tersebut. Keberadaannya berperan sebagai pengkritik sekaligus mitra pemerintah. Beberapa upaya mandiri yang dilakukan dua 6
individu dan negara berperan pula dalam memunculkan wacana perlindungan satwa.16 Berbagai propaganda dilakukan untuk mempengaruhi dan merubah cara pandang serta prilaku masyarakat yang dianggap menyakiti satwa dalam pemanfaatannya.17 Pewacanaan animal welfare ini pada dasarnya merupakan upaya penanaman kesadaran masyarakat untuk “memanusiakan” satwa. Proses penanaman kesadaran ini kemudian berbenturan dengan pemaknaan masyarakat Hindia Belanda terhadap
perkumpulan tersebut merupakan bukti adanya pewacanaan kesejahteraan satwa di Hindia Belanda. 16
Peran individu terlihat melalui suara-suara yang muncul dalam buku, pamflet, ataupun koran dan majalah. Sementara itu, negara berperan melalui peraturan-peraturan hukum. Antara individu, perkumpulan, dan negara memiliki keterikatan dalam mewacanakan kesejahteraan satwa. 17
Kekerasan terhadap satwa di Hindia Belanda memang telah disebutkan sejak awal abad ke-19. Raffles secara khusus mengkritik prilaku orang Jawa yang sering begitu keras memperlakukan kuda untuk membuatnya (kuda) jinak. Disebutkan pula bahwa orang Jawa tidak pernah memberi kuda mereka tapal (sepatu kuda), serta kuda biasanya tidak dilindungi dalam kandang. Tontonan-tontonan yang melibatkan satwa – seperti rampokan, adu ayam, adu domba – juga menghadirkan anggapan kejam terhadap satwa. Menjelang pergantian abad, pandangan kekerasan terhadap satwa ini terus meluas. Selain maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar, kekerasan dalam beberapa kebiasaan lain seperti penyembelihan ternak, pembunuhan anjing sebagai bagian dari pemberantasan rabies, pacuan kuda, dan sebagainya, menambah kesan tidak manusiawinya perlakuan masyarakat Hindia Belanda terhadap satwa. Meskipun anggapan ini umumnya ditujukan untuk masyarakat bumiputra (orang Eropa dalam beberapa sumber menyebut demikian), dalam praktiknya, orang Eropa (termasuk juga orang Tionghoa) pun menjadi “sasaran” kampanye karena dalam beberapa hal keras pula dalam memperlakukan satwa. Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Yogyakarta: Narasi. 2014), hlm., 249; Data terkait anggapan kerasnya masyarakat Hindia Belanda dalam memperlakukan satwa, diambil dari artikel-artikel dalam majalah De Indische Dierenvriend: Orgaan van de Nederlandsch Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren. 7
satwa. Beberapa kebiasaan, seperti perlakuan kusir terhadap kudanya (sado, delman, dan sebagainya), penyembelihan ternak, perlakuan terhadap satwa yang sakit, perburuan satwa liar, kebiasaan mengadu satwa, merupakan beberapa kebiasaan yang terkena penanaman kesadaran, apalagi setelah masuknya esensi animal welfare ke ranah hukum.18 Masuk dan berkembangnya wacana animal welfare di Hindia Belanda merupakan sebuah indikator dalam melihat perubahan mentalitas masyarakat, terutama terkait pemaknaannya terhadap satwa. Penanaman kesadaran ini berusaha untuk merubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah “mapan”, untuk disesuaikan dengan kaidah kesejahteraan satwa ala Barat. Dalam hal inilah terlihat adanya benturan sosio-kultural, serta perubahan cara pandang dan prilaku masyarakat
18
Salah satu hasil dari pewacanaan yang dilakukan individu dan perkumpulan ialah dibuatnya regulasi hukum terkait kesejahteraan satwa oleh pemerintah Hindia Belanda. Untuk satwa domestik, regulasi pertama dikeluarkan pada 1897 melalui ordonansi pelarangan penggunaan kuda berusia muda (Staatsblad 1897 No. 87) dan ordonansi pelarangan penggunaan kuda yang masih muda dan sakit (Staatsblad 1903 No. 370), yang disempurnakan pada 1906 (Staatsblad 1906 No. 5). Sementara itu, untuk satwa liar, ordonansi pertama muncul pada 1909 tentang perlindungan mamalia dan burung liar (Staatsblad 1909 No. 497). Kemudian muncul ordonansi monumen alam 1916 (Staatsblad 1916 No. 276), ordonansi perburuan 1924 (Staatsblad 1924 No. 234), ordonansi perlindungan satwa liar 1931 (Staatsblad 1931 No. 134), ordonansi monumen alam dan suaka margasatwa 1932 (Staatsblad 1932 No. 17). Verslag van Nederlandsch-Indische Vereeniging Bescherming van Dieren 1898, (Batavia: H. M. van Dorp & Co, 1899), hlm., 75-76; Verslag van NederlandschIndische Vereeniging tot Bescherming van Dieren 1904, (Batavia: Landsdrukkerij, 1905), hlm., 64; Staatsblad van Nederlandsch-Indie (1909 No. 49), (1916 No. 276), 1924 No. 497), (1931 No. 134), (1932 No. 17).
8
Hindia Belanda akibat kampanye animal welfare.19 Selain melihat aspek manusia, hal menarik lain untuk dilihat ialah kondisi satwa itu sendiri secara kuantitas dan kualitas. Dalam kajian ini, setidaknya ada ruang bagi makhluk-makhluk yang selama ini (benar-benar) termarginalkan dalam historiografi Indonesia, yakni satwa.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Dalam melihat internalisasi sebuah perspektif, perlu dijabarkan berbagai aspek yang terkait dengannya, mulai dari sebab dan pengaruh kedatangannya, pewacanaan dan implementasinya, hingga keselarasan dan benturan-benturannya dengan kebiasaan yang telah ada. Tidak berbeda halnya dengan praktik cultuurstelsel menjelang pertengahan abad ke-19, ataupun politik etis yang dijalankan sejak awal abad ke-20. Merujuk pada hal di atas, terdapat beberapa pertanyaan, yakni bagaimana animal welfare diwacanakan di Hindia Belanda? Mengapa Hindia Belanda terpengaruh wacana animal welfare? Bagaimana proses masuknya wacana tersebut? Apa saja kebiasaan yang terkena wacana animal welfare? serta bagaimana dampak dari pewacanaan tersebut? Wilayah Hindia Belanda menjadi spasial pembahasan. Hal ini karena wacana animal welfare berkembang dalam lingkup “nasional”, bahkan pewacanaannya 19
Terkait hal ini, sulit untuk menentukan tingkat kesadaran masyarakat akibat pewacanaan animal welfare - karena tidak ada ukuran khusus untuk menentukan makna “sadar-tidaknya” suatu masyarakat. Perubahan dalam hal ini merujuk pada “respon” masyarakat terhadap wacana yang disuarakan para pecinta satwa, serta beberapa tindakan “pengadopsian” dari wacana yang berkembang. 9
berkembang secara transnasional. Secara substansi, satwa yang menjadi fokus kajian ialah satwa domestikasi dan satwa liar. Satwa domestik merujuk pada satwa peliharaan, satwa pengangkut, dan ternak, sedangkan satwa liar mengacu pada satwa yang hidup di alam. Setiap golongan satwa tersebut memiliki permasalahan tersendiri terkait kesejahteraannya. Dalam pembahasan, dipakai kata “satwa”. Pemakaian kata “satwa20” didasarkan atas analisis makna dalam bahasa Indonesia, dimana maknanya bersinonim dengan “binatang” 21 dan “hewan22.” Kajian ini dimulai dari tahun 1896 hingga 1942. Tahun 1896 dipilih sebagai batasan awal karena pada tahun itu didirikan perkumpulan perlindungan satwa bernama
Nederlandsch-Indische
Vereeniging
tot
Bercherming
van
Dieren
(Perkumpulan Pelestarian Satwa Hindia Belanda). Pendirian perkumpulan ini
20
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, satwa adalah binatang. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, (Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka), hlm., 1003 21
Binatang adalah makhluk bernyawa yang mampu bergerak (berpindah tempat) dan mampu bereaksi terhadap rangsangan, tetapi tidak berakal budi. Binatang berarti pula hewan. Binatang dibedakan menjadi binatang buas, binatang peliharaan, dan binatang ternak. Ibid., hlm., 153 22
Hewan adalah binatang. Hewan dibedakan menjadi hewan lumut, hewan mentari, dan hewan potong. Ibid., hlm., 432. Dalam penyebutannya, satwa liar dan satwa domestik serupa dengan binatang liar dan binatang domestik. Namun, ada beberapa pengecualian penyebutan istilah dalam tulisan ini, yang didasarkan atas kelaziman penyebutan dalam bahasa Indonesia, seperti penyebutan dokter hewan, tempat pemotongan hewan, dan rumah sakit hewan.
10
menjadi indikator awal mulai disuarakannya wacana kesejahteraan satwa. Sementara itu, tahun 1942 dipilih sebagai masa akhir pemerintahan Hindia Belanda.23
C. Tujuan Penelitian Kajian ini secara khusus menjelaskan beberapa hal. Pertama, menjelaskan alasan mengapa wacana animal welfare muncul dan berkembang di Hindia Belanda. Hal ini menarik untuk dilihat bagaimana Hindia Belanda diposisikan dalam ranah “kepentingan” internasional. Menarik pula melihat sejauh mana wacana animal welfare – sebagai sebuah isu transnasional - berkembang di sebuah negeri koloni seperti Hindia Belanda. Kedua, menjelaskan bagaimana proses masuknya wacana animal welfare ke Hindia Belanda. Dalam hal ini konteks historis menjadi dasar untuk melihat ketersampaian wacana animal welfare dari Barat hingga ke Hindia Belanda. Isu-isu terkait liberalisme, humanisme, modernitas, menjadi aspek penting yang menentukan “kondisi yang memungkinkan” diwacanakannya perspektif animal welfare. Ketiga, melihat bagaimana perspektif animal welfare diwacanakan di Hindia Belanda.
Menarik
untuk
melihat
bagaimana
perspektif
animal
welfare
mengkategorisasikan beberapa kebiasaan masyarakat yang dianggap “kejam” dalam
23
Batasan ini didasarkan pada alasan tidak ditemukannya data setelah masa Hindia Belanda. Ketidakstabilan kondisi (perang) pada masa pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia menjadi asumsi keterputusan pewacanaan. Selain itu, perbedaan kultur pun menjadi alasan lain kurang diperhatikannya kesejahteraan satwa. Perhatian terhadap satwa mulai terlihat lagi sejak masa Orde Baru melalui beberapa regulasi hukum. Diasumsikan bahwa pewacanaan ini memiliki pola berbeda dan bukan kesinambungan dari masa Hindia Belanda. 11
memperlakukan satwa. Dalam hal inilah terlihat adanya subjektivitas dan heterogenitas pemaknaan terhadap satwa. Kajian ini secara umum bisa menjadi semacam puzzle pengisi ruang kosong dalam khasanah historiografi Indonesia, dimana kajian tentang satwa begitu kalah meanstream dengan tema-tema lain. Secara praktis, historiografi ini diharapkan bisa memberi gambaran terkait penyelesaian maraknya kasus kekerasan terhadap satwa. Setidaknya sekedar pengetahuan bahwa wacana penegakan hak asasi satwa bukan hal yang baru, tetapi jejaknya telah terpatri secara historis.
D. Metode Penelitian Empat tahapan dalam metode sejarah menjadi suatu landasan pokok penelitian.24 Proses menggali sumber, yakni heuristik, merupakan langkah awal yang dilakukan. Sumber yang dipakai untuk melihat pewacanaan dalam ranah formal (pemerintah kolonial) ialah arsip-arsip, seperti Staatsblad van Nederlandsch Indie, Wetboek van Strafrecht van Nederlandsch Indie. Pewacanaan formal juga terdapat dalam laporan-laporan perkumpulan pecinta satwa, seperti Jaarverslag Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, Verslag over Nederlandsch Indische Vereeniging tot Bescherming van Dieren. Sementara itu, foto-foto sezaman digunakan untuk memperjelas secara visual hal-hal yang terkait dengan penerapan animal welfare, juga aktivitas-aktivitas lainnya 24
Tahapan penelitian ini terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm., 69 12
yang berkaitan dengan kebiasaan memperlakukan satwa. Koran-koran seperti, Algemeen Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, Berita Priangan, De Indische Courant, De Locomotief: Semarangsche Handels en Advertentie-Blad, De Sumatra Post, De Telegraaf, Het Niews van den Dag voor Nederlandsch-Indie, Leeuwarder Nieuwsblad: goedkoop advertentieblad, Nieuwe Rotterdamsche Courant, dan Soerabaiasch Handelsblad, menjadi sumber pewacanaan bagi publik, sekaligus menjadi bahan koroborasi (perbandingan) antar sumber. Sumber-sumber koran umumnya didapat secara online dari website delpher.nl, yang menyediakan data-data yang berhubungan dengan perlakuan masyarakat terhadap satwa. Perpustakaan Republik Indonesia juga menyediakan banyak koran serta majalah, terutama majalah De Indische Dierenvriend, yang khusus membahas kesejahteraan satwa. Buku sezaman - yang ditulis berdasarkan tema - banyak pula ditemukan, diantaranya buku berjudul Sajangilah Binatang yang ditulis G.F.J. Biegman, dan buku tentang penyakit rabies berjudul Peratoeran boewat Institut Pasteur di Weltevreden yang ditulis F. Wiggers. Selain itu, beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan FIB UGM, Perpustakaan St. Ignatius, Perputakaan Sonobudoyo, Perpustakaan
Daerah
Provinsi
DIY,
Perpustakaan
Sri
Baduga
Maharaja,
Perpustakaan Batoe Api, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, turut menjadi “penyuplai” sumber-sumber yang dibutuhkan. Digunakan sumber-sumber elektronik, seperti film, roman atau novel, serta beberapa data dari website (termasuk Youtube). Data-data internet yang digunakan telah 13
mengalami kritik terkait kredibilitasnya. Pada dasarnya, data internet digunakan untuk mengisi ruang kosong dari tidak ditemukannya data-data dalam buku atau jurnal. Kekosongan ini dalam beberapa hal terletak pada pembahasan animal welfare dalam ranah internasional. Meskipun demikian, website yang digunakan ialah sumber resmi yang telah diakui validitasnya. Misalnya, terkait data perkumpulan Royal Society for Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA), digunakan data dari web resminya, yakni www.rspca.org.uk. Sumber-sumber yang didapat kemudian melalui tahapan kritik, sebagai tahapan dalam menguji kelayakan sumber dari segi otentisitas dan kredibilitas. Interpretasi sebagai tahap ketiga pun dilakukan sebagai tahapan dalam merangkai fakta-fakta yang ditemukan, hingga akhirnya dituliskan pada tahap terakhir, yakni historiografi.
E. Tinjauan Pustaka Karya sejarah yang berkaitan dengan satwa, secara kuantitas masih kurang dibandingkan dengan tema-tema sejarah lain, seperti sejarah kota, sejarah agraria, sejarah sosial-ekonomi, sejarah politik, dan sebagainya. Karya historis tentang kesejahteraan satwa belum ada yang membahas, sehingga menjadi ruang tersendiri untuk dituliskan.25 25
Penelitian ini pada dasarnya ialah pengembangan studi terdahulu terkait konservasi satwa liar di Hindia Belanda. Kajian ini hanya memfokuskan pada aspekaspek regulasi perlindungan satwa liar, dengan menjadikan perburuan sebagai indikator bagi perubahan dan efektivitas regulasi tersebut. Dari penelitian ini, masih diperlukan penelusuran lebih lanjut, khususnya tentang kesejahteraan satwa, juga 14
Kajian-kajian tentang satwa ditulis beberapa oleh pakar sejarah lingkungan, yakni Peter Boomgaard.26 Dalam tulisan pertama, Peter Boomgaard mengkaji perburuan satwa liar di Indonesia. Boomgaard membahas kebiasaan berburu dalam konteks waktu yang panjang, untuk melihat perubahan pola berburu. Dalam kajian ini, aspek kesejahteraan satwa tidak dibahas. Ia lebih memfokuskan pada pemaparan kriteria-kriteria dan kategori-kategori perburuan, seperti perburuan yang dilakukan elite lokal, perburuan untuk subsistensi, perburuan untuk permintaan pasar dan sebagainya. Namun demikian, salah satu tujuan perburuan, yakni perburuan untuk permintaan pasar, menjadi dasar bagi melihat adanya unsur eksploitasi terhadap satwa liar. Dalam tulisan kedua, Peter Boomgaard - seperti halnya tulisan pertama memfokuskan pada eksistensi satwa liar di alam. Kajian kedua ini menyinggung salah satu aspek kesejahteraan satwa liar, yaitu pengaturan perburuan melalui regulasi, seperti Ordonansi Perburuan tahun 1924 dan 1931. Ordonansi ini mengatur perburuan dengan mempertimbangkan kesejahteraan satwa, dengan dikeluarkannya lisensi berburu, daftar satwa yang boleh diburu, musim berburu, serta peraturan-peraturan perluasan pembahasannya hingga ke ranah satwa domestik. Budi Gustaman, “Konservasi Satwa Liar di Hindia Belanda: Upaya-Upaya Perlindungan Satwa Liar dari Perburuan 1909-1942”, Skripsi, (Bandung: Program Sarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran) 26
Peter Boomgaard menulis beberapa karya terkait satwa, seperti (1)“Hunting and Trapping in Indonesia Archipelago, 1500-1950” dalam Paper Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press). (2) Oriental Nature its Friends and its Enemies: Conservation of Nature in Late Colonial Indonesia 1889-1949 (Leiden: KITLV Press). (3) Frontiers of Fear; Tiger and People in Malay World, 1600-1950 (New Heaven & London: Yale University Press) 15
lainnya. Perburuan yang diatur pelestariannya merupakan upaya penyejahteraan dalam konteks spesies. Adanya pengaturan perburuan tersebut bisa dijadikan referensi untuk melihat sejauh mana regulasi dijalankan. Namun demikian, aspek khusus kesejahteraan satwa liar sebagai individu, yakni penggunaan senjata tidak dibahas dalam kajian ini. Karya ketiga Boomgaard secara khusus mengkaji tentang harimau. Ia menempatkan harimau sebagai indikator untuk melihat perubahan pandangan dan kebiasaan masyarakat. Dalam studinya ini, Boomgaard menampilkan perubahan pandangan dari ekspoitasi ke konservasi. Hal ini merupakan jalan bagi diterapkannya kesejahteraan spesies. Selain itu, karya ini memberi gambaran terkait persepsi pribumi tentang harimau yang dianggap keramat. Menarik untuk dilihat bagaimana perubahan yang terjadi jika persepsi ini disandarkan pada perspektif animal welfare. Melengkapi karya-karya di atas, Robert Cribb27 menjelaskan terkait perburuan cenderawasih di Papua. Seperti Peter Boomgaard, Robert Cribb melihat pola perubahan dari perburuan dan perdagangan cenderawasih, menuju upaya konservasi spesies. Kajian ini menjadi acuan dalam melihat perubahan yang terjadi karena perdagangan burung menjadi isu penting pada akhir abad ke-19. Terkait satwa domestik, tidak ada karya yang secara khusus membahas masalah kesejahteraan. Namun demikian, ada dua tulisan yang setidaknya menyinggung permasalahan terkait. Pertama, buku yang ditulis Sofyan Sudrajat dan 27
Robert, Cribb, “Bird of Paradise and Environmental Politics in Colonial Indonesia, 1890-1911 in Paper Landscape: Exploitations in the environmental history of Indonesia, (Leiden: KITLV Press) 16
Rachmat Pambudy.28 Buku ini membahas secara umum terkait aspek-aspek peternakan, mulai dari sejarah peraturan dan perundang-undangan, distribusi ternak, populasi, produksi dan perdagangan, hingga teknologi peternakan. Dalam setiap pembahasannya, buku dituturkan secara kronologis sehingga memberikan gambaran secara umum tentang sejarah peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia. Terkait kesesuaian dengan kesejahteraan satwa, buku ini menyebutkan beberapa regulasi terkait kesejahteraan ternak pada masa Hindia Belanda, tetapi tidak menjelaskannya secara rinci. Sumber sekunder setidaknya ini menjadi rujukan terkait pencarian sumber. Kedua, buku yang ditulis para dokter hewan (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia).29 Seperti judulnya, buku ini menjelaskan segala hal tentang kedokteran hewan, mulai dari sejarah, ruang lingkup profesi dokter hewan, hingga rancangan kondisi dan strategi kedokteran hewan di masa depan. Meskipun tidak menjelaskan secara langsung terkait kesejahteraan satwa, buku ini memberi gambaran terkait munculnya kepedulian terhadap kesehatan hewan pada masa kolonial. Karya-karya di atas memberikan suatu gambaran awal terkait narasi yang akan dipaparkan dalam penelitian ini. Karya-karya itu pun menjadi suatu uji kelayakan perlu dilakukannya penelitian terkait kesejahteraan satwa. 28
Sofyan Sudrajat & Rachmat Pambudy, Menjelang Dua Abad Sejarah Peternakan dan Kesehatan Hewan di Indonesia; Peduli Ternak Rakyat, (Jakarta: Yayasan Agrindo Mandiri, 2003) 29
Soedjasmiran Prodjodihardjo dkk, 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia: Sejarah, Kiprah dan Tantangan, (Jakarta: Yayasan Hemerazoa, 2010) 17
E. Kerangka Konseptual Kesejahteraan satwa (animal welfare) merupakan sebuah ide atau gagasan yang mengalami suatu praktik diskursif (pewacanaan). Michel Foucault menyebutkan bahwa praktik diskursif tidak bisa disamakan dengan kerja ekspresif oleh seorang individu yang memformulasikan sebuah ide, hasrat, dan khayalan. Bukan juga merupakan upaya para ahli dalam membuat suatu kesimpulan, ataupun seorang pembicara yang mengkonstruksi kalimat-kalimat gramatikal. Praktik diskursif ini ialah bangunan aturan-aturan yang anonim dan historis, yang selalu terkait erat dengan waktu dan tempat tertentu dalam satu periode, dan dalam satu area sosial, ekonomi, geografi atau linguistik yang given, yang menjadi syarat operasi bagi fungsi-fungsi penyampaian.30 Hal di atas mengandung pengertian bahwa wacana atau diskursus tidak lepas dari konteks historis (waktu dan tempat) yang memungkinkan sebuah ide disuarakan. Terkait dengan pewacanaan animal welfare, setidaknya ada dua wujud implementasi dari konsep di atas. Pertama, konteks waktu dan tempat - dalam hal ini Eropa dan Amerika (Barat) – telah menelurkan landasan-landasan pemikiran serta perspektif dalam melihat dunia. Humanisme, romantisme, liberalisme, merupakan perspektif yang telah menumbuhkan rasa “menyayangi” terhadap satwa dan alam secara umum. Ketiganya merupakan payung yang menjadi dasar terbentuknya pola pikir “kemanusiaan”, “pelestarian”, dan sebagainya, hingga kemudian bermuara pada cara 30
Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012),
hlm., 214 18
pandang “menyejahterakan satwa”. Kedua, iklim-iklim pemikiran tersebut terkait dengan realitas sosial-kultural dalam suatu periode tertentu sebagai sebab-sebab khusus yang menjadi pencetus bagi lahirnya wacana kesejahteraan satwa. Hal ini merujuk pada kekerasan-kekerasan terhadap satwa, baik satwa liar maupun satwa domestik – salah satunya akibat pertumbuhan kapitalisme. Lebih jauh Foucault menyebutkan bahwa wacana bersifat historis, dari awal sampai akhir, satu babakan sejarah, sebuah kesatuan dan diskontinuitas dalam sejarah itu sendiri, menimbulkan masalah sesuai dengan batasan-batasannya, pembagiannya, transformasinya, dan pola-pola temporalitasnya.31 Hal tersebut bisa dipahami bahwa meskipun satu wacana terikat pada satu konteks waktu, perkembangannya bersifat diakronis dengan karakteristik yang khas pada setiap periodenya. Pengertian tersebut terkait pula dengan metode arkeologi dan genealogi pengetahuan yang dikemukakannya (Foucault). Arkeologi menganalisis derajat dan bentuk peresapan suatu wacana dengan mendeskripsikan aturan-aturan formasi dari kelompok pernyataan. Selain itu, arkeologi pun mendefinisikan operator yang menentukan perekaman peristiwa-peristiwa dalam pernyataan.32 Dalam hal ini, ada dua aspek yang dilihat. Pertama, cara atau proses atau formasi bagaimana suatu wacana disuarakan. Kedua, terkait agency-agency yang berperan dalam proses pewacanaan tersebut. Kedua hal tersebut memperlihatkan suatu implementasi bahwa 31
Michel Foucault, ibid., hlm., 214
32
Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya penting Michel Foucault, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), hlm., 8 19
pewacanaan kesejahteraan satwa memiliki pola khusus tergantung pada konteksnya. Pola pewacanaan di Hindia Belanda berawal dari adanya segelintir orang yang resah dengan perlakuan-perlakuan keras terhadap satwa (seperti kuda). Para penyeru tersebut dipengaruhi faktor eksternal berupa wacana kesejahteraan satwa yang telah disuarakan oleh agency-agency kesejahteraan satwa, seperti Inggris, Amerika, dan Belanda. Pada tahun 1896, berdirilah Nederlandsch Indische Vereeniging Bescherming van Dieren di Batavia. Pewacanaannya dilakukan melalui majalah khusus bernama De Indischevriend (untuk dewasa) dan De Dierenvrientjes (untuk anak-anak). Dalam majalah De Indischevriend selalu dibahas setiap aspek permasalahan, dengan membandingkan dengan apa yang telah dilakukan di negara lain. Selain itu, beredar pula buku-buku tentang hakikat menyayangi satwa dalam bahasa Melayu. Berita harian di koran. Kampenye dilakukan pula secara langsung melalui acara-acara tahunan besar seperti Jaarbeurs di Bandung, Jaarmarkt di Surabaya, dan Pasar Gambir di Batavia. Secara umum, substansi yang dikampanyekan mengikuti arus wacana global, dimana perkumpulan tersebut memiliki link dengan perkumpulan pecinta satwa internasional. Sementara itu, aspek genealogis yang dikemukakan Foucault menekankan bahwa tiap bentuk kebenaran bisa dilacak secara historis pada institusi dan wacana yang dominan yang melahirkannya. Prinsip-prinsip genealogis dipakai Foucault untuk mengobrak-abrik kategori-kategori yang oleh masyarakat dimutlakkan.33 Hal 33
Marrianne W. Jorgensen & Louis J. Phillips, Analisis Wacana: Teori dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) 20
yang penting dari genealogis ini ialah adanya benang kesinambungan (tidak terputusnya)
perkembangan
wacana,
dari
akar,
perubahannya,
hingga
ketersampaiannya di Hindia Belanda. Atas dasar ini, suatu pemetaan secara konseptual diperlukan sebagai landasan untuk melihat bagaimana perspektif itu muncul, dibawakan, hingga diterapkan di Hindia Belanda. Aspek pertama yang harus dilihat ialah kondisi yang memungkinkan dibawakannya perspektif tersebut ke Hindia Belanda. Liberalisme yang tumbuh di Eropa telah menelurkan humanisme, yang salah satu bagiannya bertumpu pada moralitas. Dalam perspektif moralitas inilah tumbuh lima pandangan yang khusus melihat kesejahteraan satwa, yakni contractarianisme, utilitarianisme, pandangan animal right, pandangan relational, pandangan respect for nature, serta pandangan hybrid.34 Pertama, contractarianisme. Pandangan ini memperhatikan aspek moral berdasarkan adanya kontrak kepentingan. Satwa dianggap memiliki kontrak dengan manusia, seperti sebagai makanan, pengangkut, peliharaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, manusia diperbolehkan untuk menggunakan satwa jika tindakan itu bermanfaat bagi manusia, asalkan tidak membuat satwa menderita. Pandangan ini tidak memperlihatkan batasan dalam pemanfaatan satwa.35
34
Peter Sandoe & Stine B. Christiansen, Ethics of Animal Use, (Oxford: Blackwel, 2008), hlm., 17-26 35
Ibid., hlm., 18 21
Kedua, utilitarianisme, yang menentang contractarianisme dengan alasan bahwa sudah menjadi kepantasan bagi satwa untuk mendapatkan pertimbangan kesamaan derajat tanpa adanya kontrak kepentingan. Hal ini karena setiap individu memiliki kemampuan yang sama dalam melihat, mendengar, dan merasa, termasuk satwa. Peter Singer selaku penggerak golongan ini menyatakan bahwa disembelihnya ternak diperbolehkan asal mereka memiliki hidup yang layak disertai eksekusi tanpa rasa sakit. Misalnya, jika peternakan menghasilkan keuntungan yang besar, maka sudah seharusnya kondisi kandang, makanan, dan perawatan lebih ditingkatkan. 36 Ketiga, pandangan animal right, merupakan pengembangan dari konsep etika Immanuel Kant tentang hakikat manfaat dan prinsip martabat yang melekat pada suatu kesejahteraan. Tom Regan kemudian menerapkannya pada satwa yang dianggap juga memiliki hak dan martabat. Pandangan ini muncul dari perbedaan pendapat dengan para utilitarian, yang dianggap mengorbankan kesejahteraan suatu individu dan kemudian menerima dari keuntungan kesejahteraan tersebut. Kebenaran menurut pandangan ini ialah tidak ada keuntungan yang didapat dari pelanggaran hak individu, manusia maupun satwa, apapun alasannya. Keempat, pandangan relational menekankan pada adanya hakikat hubungan antara satwa dan manusia, dengan memfokuskan pada kekuatan pertalian antara keduanya. Pandangan ini sebagai bentuk counter atas “radikal”-nya pandangan animal right yang tidak mengizinkan satwa untuk dibunuh, tanpa alasan apapun. Anjing dan lembu tidak diperbolehkan dibunuh oleh pandangan animal right, namun 36
Peter Sandoe & Stine B. Christiansen, ibid., hlm., 20 22
pandangan relational melihat adanya hubungan pertalian antara manusia dengan keduanya: manusia-anjing merupakan hubungan perkawanan sehingga tidak dibenarkan manusia untuk membunuh anjing (dibiarkan mati dan tidak masuk pada pejagalan), sedangkan manusia-lembu merupakan hubungan pemanfaatan sehingga dibenarkan untuk dilakukannya penyembelihan.37 Kelima,
pandangan
respect
for
nature
menekankan
bukan
hanya
kesejahteraan satwa sebagai individu semata, tetapi perlindungan spesies dari kepunahan, integritas genetik, dan kelangsungan satu kesatuan spesies. Kepunahan dianggap bukan lagi persoalan kesejahteraan, tetapi sangat jelas merupakan sesuatu yang buruk. Dalam hal ini, eksistensi spesies merupakan sebuah nilai moral.38 Keenam, pandangan hybrid merupakan gabungan dari beberapa esensi dari pertentangan-pertentangan pandangan di atas, yakni menggabungkan pandangan welfare dan respect for nature, serta mengombinasikan elemen penting dalam pandangan utilitarian dan animal right, seperti memperbolehkan menyembelih satwa dengan syarat tidak membuat stres dan kesakitan, serta menumbuhkan sikap untuk tidak membunuh satwa tanpa alasan.39
37
Peter Sandoe & Stine B. Christiansen, ibid., hlm., 23
38
Ibid., hlm., 27
39
Ibid., hlm., 29-30
23
Unsur-unsur pokok kelima pandangan tersebut terbawa ke Hindia Belanda melalui kolonialisasi40, yang dalam hal ini memang menjadi gerbang dalam masuknya modernitas. Terkait hal ini, Eisenstadt mengemukakan bahwa secara historis, modernisasi adalah proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah maju di Eropa Barat dan Amerika Utara dan abad ke-17 hingga 19, dan kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan dari abad ke-19 dan 20 ke negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika.41 Sementara itu, dikaitkan dengan perspektif animal welfare, Tiryakian menyebutkan bahwa dilihat dari perspektif proses historis dunia, modernitas berkaitan dengan keunggulan inovasi atau terobosan kesadaran moral, etika, teknologi, dan tatanan sosial yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Serupa dengan Tiryakin, Chodak menyebutkan bahwa modernisasi adalah contoh khusus dan penting dari kemajuan masyarakat, contoh usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai standar kehidupan yang lebih tinggi. 42 Bisa disebutkan bahwa masuknya perspektif animal welfare sebagai sebuah kesadaran, merupakan bagian dari modernitas. Lebih jauh lagi, diterapkannya perspektif animal welfare di Hindia 40
Kolonialisasi dalam hal ini mengacu pada sistem liberal yang masuk ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Sistem yang bercorak liberal telah ini membawa kebebasan, salah satunya kapitalisme perkebunan melalui UU Agraria 1870. Juga, melalui sistem liberal inilah unsur-unsur moralitas masuk, seperti yang tergambar dalam Politik Etis, serta tentunya perspektif animal welfare. 41
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008),
hlm., 152 42
Ibid., hlm., 153 24
Belanda merupakan bentuk modernisasi – sebagaimana arti modernisasi itu sendiri sebagai proses perubahan yang bukan hanya menampilkan perubahan institusional, tetapi juga perubahan kesadaran.43 Aspek selanjutnya yang perlu dilihat ialah penerapan praktis dari perspektif animal welfare. Menurut John Webster, kesejahteraan satwa (animal welfare) ditentukan oleh kemampuannya untuk menghindari penderitaan dan memelihara kemampuannya (untuk hidup).44 Sementara itu, Donald M. Broom menyebutkan bahwa kata “welfare” terkait dengan konsep-konsep seperti kebutuhan, kebebasan, kesenangan, penanganan, kontrol, kepastian, perasaan, penderitaan, kesakitan, kegelisahan, ketakutan, kebosanan, stres, dan kesehatan. “Welfare” dalam penerapannya mencakup satwa yang hidup di alam liar, satwa di kandang, satwa di kebun binatang, satwa di laboratorium, dan satwa di rumah.45 Secara praktis, Farm Animal Welfare Council (FAWC)46 menjelaskan bahwa animal welfare memiliki lima konsep yang dinamakan five freedom, yakni: 43
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm., 75 44
John Webster, op. cit., hlm., 11
45
Donald M. Broom, “Animal Welfare: The Concept of The Issues”, dalam Francine L. Dolins, Attitude to Animals, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm., 129-130 46
Organisasi ini didirikan pada 1979 di Inggris. Kegiatannya tertuju pada perhatian terhadap kesejahteraan ternak di lahan pertanian, di perjalanan, dan di tempat pejagalan. Anonim. Farm Animal Welfare in Great Britain: Past, Present and Future, (London: Farm Animal Welfare Council, October 2009), hlm., 1 25
1) Kebebasan dari rasa haus dan lapar – dengan akses siap untuk air segar dan makanan untuk menjaga kesehatan dan kekuatan sepenuhnya 2) Kebebasan dari ketidaknyamanan – dengan menyediakan lingkungan yang sesuai termasuk tempat tinggal dan tempat istirahat yang nyaman 3) Kebebasan dari rasa sakit, cedera, dan penyakit – dengan pencegahan atau diagnosis cepat dan perawatan 4) Kebebasan untuk mengekspresikan prilaku paling normal – dengan menyediakan ruang, fasilitas yang tepat yang memadai dan teman sejenis satwa itu sendiri 5) Kebebasan dari rasa takut dan tertekan – dengan memastikan kondisi dan perlakuan yang menghindari penderitaan mental.47 Dalam realitas historisnya, kelima asas tersebut diterapkan misalnya dengan penyediaan bak minum untuk kuda di kota untuk penerapan asas pertama. Untuk asas kedua terlihat dengan penyediaan kandang yang nyaman untuk ternak. Asas ketiga misalnya diterapkan dalam penanganan penyakit rabies serta kecelakaan kuda. Selain itu, kebebasan dari kesakitan bisa diterapkan pula pada larangan mencambuk kuda di jalanan ataupun pengekangan pada ternak (kambing, sapi, ayam) dalam transportasi. Asas keempat misalnya diterapkan dengan menciptakan lingkungan sekitar yang nyaman seperti cagar alam dan suaka margasatwa bagi satwa liar, serta asas kelima penerapannya dilakukan misalnya dengan penggunaan alat penyembelihan yang tajam serta senapan dan peluru yang sesuai ketika berburu. 47
John Webster, op. cit, hlm., 11 26
F. Sistematika Penulisan Secara sistematis, kajian ini dikemas dalam lima bab pembahasan. Bab pertama berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, serta sistematika penulisan. Bab dua menguraikan pemaknaan satwa oleh masyarakat Hindia Belanda. Bab ini menjadi latar belakang bagi diwacanakannya perspektif animal welfare di Hindia Belanda. Pembahasannya terfokus pada pemaknaan satwa liar sebagai ancaman dan adanya legalitas untuk membunuh pada sub bab pertama. Kemudian munculnya corak baru perburuan satwa liar menjadi pembahasan dalam sub bab kedua. Sub bab ketiga membahas gaya hidup kelas atas yang berhubungan dengan satwa, yakni pemeliharaan anjing dan pacuan kuda. Bab ketiga membahas tentang akar dan perkembangan kemunculan wacana. Pembahasannya menekankan bagaimana “kesejahteraan satwa” diwacanakan di setiap masa dan tempat di Barat, hingga kemudian pengaruhnya muncul dan berkembang di Hindia Belanda. Konten yang dibahas dalam bab ini ialah akar kesejahteraan satwa sebagai individu yang bertumpu pada tradisi Pyhitagorian, humanisme, dan prilaku-prilaku animal cruelty yang salah satunya merupakan dampak dari pertumbuhan kapitalisme. Selain itu, dibahas pula akar kesejahteraan satwa sebagai spesies (satwa liar), yang menekankan pada isu-isu kepunahan satwa. Bab keempat membahas secara khusus terkait wacana kesejahteraan satwa di Hindia Belanda (berikut permasalahannya), khususnya kesejahteraan satwa domestik. 27
Pembahasannya difokuskan pada satwa domestik, seperti perlakuan kuda di jalanan, penanggulangan rabies yang berprikebinatangan, kesejahteraan dalam perawatan satwa sakit, penerapan kesejahteraan di pejagalan, permasalahan terkait hiburan masyarakat yang menyiksa satwa, serta kampanye-kampanye pelestarian. Bab kelima dikhususkan membahas wacana kesejahteraan satwa liar di Hindia Belanda, mulai dari pembahasan hukum perburuan sebagai alat untuk menghentikan eksploitasi satwa liar (menghentikan resiko kepunahan), pembahasan tata cara berburu yang bersifat melestarikan dan tidak menyiksa, serta pembahasan pembuatan ruang-ruang bagi satwa liar dalam monumen alam (cagar alam) dan suaka margasatwa. Sementara itu, bab keenam ialah penutup yang berisi kesimpulan penelitian penulisan kajian ini.
28