BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masyarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah
disebabkan perbedaan sudut pandang dan
pendekatan yang digunakan. Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip
1
otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.1 Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan
daerah
untuk
menyelengarakan
pemerintahan
yang
mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, 1
Wignosubroto, Soetandyo, dkk. Pasang Surut Otonomi Daerah. Jakarta: Institut for Local Development,2005. Hal xx
2
berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 adalah : 1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab. 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah. 5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif. 6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
3
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 32/2004 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.2 Pelaksanaan pembangunan daerah tentu saja tidak terlepas dari ketersediaan dana untuk pembiayaannya. Pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan daerah dituangkan dalam anggaran pembangunan. Selama ini anggaran pembangunan daerah terbagi atas anggaran pembangunan yang termasuk dalam APBD dan anggaran 2
Bratakusumah, Dedy Supriyadi & Solihin, Dadang. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002.Hal 3.
4
pembangunan yang dikelola oleh instansi vertikal di daerah. Anggaran pembangunan daerah pada umumnya bersumber dari bantuan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Bantuan pembangunan yang diberikan oleh pusat kepada daerah terdiri atas bantuan umum dan bantuan khusus. Bantuan umum pada prinsipnya merupakan dana yang diserahkan penggunaannya kepada daerah dalam rangka pembangunan daerah, sedangkan bantuan khusus penggunaannya ditetapkan oleh pemerintah melalui Inpres.3 Dalam pelaksanaan bantuan umum tersebut pada kenyataannya pemerintah pusat memberlakukan dua ketentuan yaitu diarahkan dan ditetapkan. Ditetapkan maksudnya penggunaan dana tersebut telah ditetapkan khusus oleh pemerintah pusat sehingga daerah hanya melaksanakan sesuai ketetapan tersebut. Sedangkan pada penggunaan yang diarahkan, pusat menetapkan ketentuan dan batasan yang harus diikuti daerah dalam penggunaan dana tersebut. Kalau kita perhatikan kondisi tersebut secara seksama sebenarnya selama ini program pembangunan daerah lebih banyak ditentukan oleh pusat daripada daerah sendiri. Perencanaan pembangunan yang disusun daerah harus berada dalam ketentuan atau batas-batas yang digariskan pusat. Batasan-batasan yang diberikan oleh pusat tersebut kadang-kadang berbenturan dengan kepentingan dan kebutuhan daerah sehingga dapat menyebabkan program pembangunan yang disusun tidak menyentuh kebutuhan daerah dan masyarakat.
3
Drs. D. J. Mamesah.Sistem Administrasi Keuangan Daerah. 1994. Hal 32.
5
Disamping hal di atas pengalokasian anggaran pembangunan sektoral di daerah yang dikelola oleh instansi vertikal sering tumpah tindih dengan program pembangunan daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu saja merupakan pemborosan anggaran pembangunan. Melalui kewenangan yang diberikan oleh UU 32/2004 kepada daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah maka berbagai kelemahan dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran pembangunan daerah diharapkan dapat disempurnakan. Dengan kewenangan yang dimilikinya daerah dapat menyusun perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan aspirasi masyarakat. Perencanaan pembangunan tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Dalam UU 32/2004 kesetaraan gender telah menjadi urusan wajib pemerintah daerah yang terdapat pada Pasal 14 yaitu masuk pada urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal ini yang kemudian membuat kebijakan menjadi bias. Dalam rangka menghindari adanya bias gender, pemerintah mewujudkan anggaran responsif gender (ARG). Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Dalam satu dasawarsa terakhir, kita menyaksikan suatu proses perubahan paradigma setelah melalui 6
perdebatan panjang dalam pemikiran gerakan feminisme, yakni antara pemikiran yang lebih memusatkan perhatian kepada “masalah perempuan” berhadapan dengan pemikiran fenimisme yang lebih menitikberatkan perhatian terhadap sistem dan struktur masyarakat yang dilandaskan kepada analisis “hubungan gender”. Konsep gender dan jenis kelamin (sex) merupakan dua konsep yang berbeda namun sama-sama menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Pengertian jenis kelamin (sex) merujuk pada perbedaan atribut fisik laki-laki dan perempuan seperti perbedaan kromosom, alat kelamin, reproduksi, hamil, melahirkan, meyusui serta perbedaan karakteristik fisik sekunder seperti rambut, pertumbuhan buah dada, perubahan suara, dan seterusnya.Konsep jenis kelamin menjelaskan kodrat Tuhan yang telah member ciri fisik yang berbeda antar laki-laki dan perempuan. Kodrat fisik tersebut tidak dipertukarkan dan dimiliki sama oleh laki-laki dan perempuan di seluruh tempat, budaya, serta dimiliki sejak lahir hingga meninggal dunia. Perbedaan jenis kelamin (sex) dalam masyarakat memberikan konsekuensi makna sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan konsep gender merupakan hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah-ubah, serta dapat dialihkan dan dipertukarkan dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya menurut waktu, tempat dan budaya stempat. Konsep gender diciptakan oleh masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya, interpretasi pemuka agama, dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Perbedaan peran yang dijalankan oleh laki-laki-laki dan
7
perempuan menghasilkan perbedaan gender mempengaruhi pola relasi antara perempuan dan laki-laki.4 Perbedaan antara konsep gender dan jenis kelamin dapat dilihat dalam table berikut:5 Tabel 1.1 Perbedaan jenis kelamin dan gender Jenis Kelamin Gender Menyangkut perbedaan organ biologis Menyangkut perbedaan peran, fungsi, laki-laki dan perempuan, khususnya pada tanggungjawab laki-laki dan perempuan bagian alat-alat reproduksi. sebagai hasil kesepakatan atau hasil konstruksi (bentukan) masyarakat. Peran reproduski tidak dapat berubah, Peran sosial dapat berubah, peran sekali menjadi perempuan dan perempuan sebagai ibu rumah tangga mempunyai rahim, maka selamanya akan dapat berubah menjadi peran pencari menjadi perempuan dan sebaliknya. nafkah. Peran reproduksi tidak dapat Peran sosial dapat dipertukarkan, untuk dipertukarkan. Tidak mungkin laki-laki saat-saat tertentu, bisa saja suami tidak melahirkan dan perempuan membuahi. memiliki pekerjaan sehingga tinggal di rumah mengurus rumah tangga, sementara istri bertukar peran bekerja mencari nafkah bahkan sampai ke luar negeri. Peran reproduksi berlaku sepanjan masa. Peran sosial bergantung pada masa dan keadaan. Peran reproduksi berlaku di mana saja. Peran sosial bergantung pada budaya masyarakat tertentu. Peran repoduksi berlaku bagi semua Peran sosial berbeda natar satu kelas kelas sosial. sosial dengan kelas sosial lainnya. Peran reproduksi berasal dari Tuhan atau Peran sosial merupakan hasil buatan bersifat kodrati. manusia dan tidak bersifat kodrati.
4
Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah, hal 7
5
Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah, hal 8
8
`
Dengan melihat perbedaan tersebut maka kebutuhan antara perempuan dan
laki-laki pun berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan adanya anggaran yang berbasis adil gender yang disebut dengan Anggaran Responsif Gender (ARG). Anggaran responsif gender adalah bukanlah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan, tetapi strategi mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran, menerjemahkan komitmen untuk untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran. Adapun prinsip-prinsip dari Anggaran Responsif Gender (ARG) yaitu:6 1. ARG yang diterapkan untuk mengasilkan output kegiatan, yaitu (i) Penugasan prioritas pembangunan nasional dan daerah, (ii) Pelayanan kepada masyarakat (service delivery), (iii) Pelembagaan Pengusutamaan Gender (PUG) yang di dalamnya termasuk capacity building, advokasi gender, kajian sosialisasi, desiminasi, dan/atau pengumpulan data terpilah. 2. ARG merupakan penyusunan anggaran guna menjawab secara adil kebutuhan setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan sebagai upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. 3. ARG pada penganggaran diletakkan pada output kegiatan. Output yang akan dihasillkan harus jelas dan terukur. 4. ARG bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu untuk PUG, tetapi lebih luas lagi, bagaimana anggaran keseluruhan dapat memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan.
6
Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah, hal 9
9
Kategori ARG dibagi menjadi 3 kategori yaitu: 1. Anggaran khusus target gender, adalah alokasi anggaran yang diperuntukan guna memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan atau kebutuhan dasar khusus laki-laki berdasarkan hasil analisis gender. 2. Anggaran kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk mengatasi masalah kesenjangan gender. Berdasarkan analisis gender dapat diketahui adanya kesenjangan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam akses terhadap sumber daya, partisipasi, dan control dalam pengambilan keputusan, serta manfaat dari semua bidang pembangunan. 3. Anggaran pelembagaan kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk penguatan kelembagaan PUG, baik dalam hal pendapatan maupun capacity building. Anggaran Responsif Gender (ARG) merupakan instrument untuk mengatasi adanya kesenjangan akses, control, partisipasi, dan manfaat pembangunan bagi lakilaki dan perempuan yang selama ini masih ada, untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan. Proses penyusunan Anggaran Responsif Gender (ARG) sejalan dengan sistem yang sudah ada, dan tidak membutuhkan penyusunan khusus untuk perempuan yang terpisah dari laki-laki. Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antar konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena
10
alasan sebagai berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami pesoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebakan karena adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender different) dan ketidakadilan gender (gender eniqualities) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih luas. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara nasional maupun kultural. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang menjadi persoalan, perbedaan gender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.7 Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di kalangan masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap 7
Dr. Mansour Fakih. Menuju Dunia yang Lebih Adil melalui Perspektif Gender. 1996.
11
dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan lelaki”, serta dikategorikan sebagai “bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalan statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Hal ini patut digaris bawahi mengingat perdebatan pemikiran seperti itu umumnya bersifat akademik, antaraktivis perempuan serta mengalienasi dan mengabaikan perempuan pedesaan. Aliran pertama, yakni pemikiran feminis yang memusatkan perhatian kepada “perempuan” mangasumsikan bahwa munculnya permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki dalam pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan upaya guna menghilangkan diskriminasi yang menghalangi usaha mendidik kaum perempuan. Ada beberapa alasan dari analisis “mengejar” ketertinggalan kaum perempuan ini, meskipun semuanya bertumpu di atas paham modernisasi. Pertama, adalah pendekatan “pengentasan kemiskinan” , di mana dasar pemikirannya adalah perempuan menjadi miskin karena mereka tidak produktif sehingga mereka perlu diciptakan “projek peningkatan pendapatan” bagi kaum perempuan. Kedua adalah “Pendekatan Efisiensi” yakni pemikiran bahwa
12
pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan. Jadi, pelibatan itu sendiri lebih demi efisiensi “pembangunan”.8 Seperti ini lebih memusatkan perhatian kepada kaum perempuan, dan kegiatannya semata-mata guna memenuhi kebutuhan praktis perempuan. Kepandaian mengendalikan negara dibarengi dengan kepandaian pengendalian keuangan akan memberikan hasil yang memuaskan sesuai yang diharapkan. Sebaliknya tanpa pengendalian keuangan yang baik, kurang mampu melihat ke depan, serta dengan penuh kebijaksanaan yang kurang tepat dapat berakibat suatu kehancuran. Hal ini juga berlaku bagi administrasi keuangan di daerah otonom, baik di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II. Dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan negara baik dalam bidang pemerintahan umum maupun dalam bidang pembangunan serta guna memelihara kehidupan dan kegiatan negara lainnya diperlukan biaya berupa uang. Demikian juga di daerah, di mana pelaksana kegitan pemerintahan umum dan pembangunan serta pemeliharaan sarana dan prasarana setiap tahun semakin meningkat. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomo 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Mengingat hal tersebut maka salah satu upaya pemerintah dalam rangka memajukan pembangunan di daerah adalah dengan membentuk suatu badan yang 8
Dr. Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1996
13
bertugas khusus dalam perencanaan pembangunan yaitu melalui keputusan Presiden No.27 tahun 1980, tentang pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang disingkat BAPPEDA pada daerah tingkat I dan daerah tingkat II di seluruh tanah air.Arah pembangunan yang terencana dengan baik dan dinamis sangat dipengaruhi adanya peran serta masyarakat maupun unsur-unsur dalam masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. BAPPEDA selaku Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sangat mempunyai peran penting dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), dimana TAPD adalah tim yang dibentuk dengan keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang mempunyai tugas untuk menyiapkan serta melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam rangka penyusunan APBD. Tim ini jugalah yang mempunyai wewenang dalam pengalokasian Anggaran Responsif Gender (ARG). Untuk di Kota Madiun belum ada Peraturan Walikota (Perwal) yang menginstruksikan tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan tetapi Kota Madiun sudah mempunyai peraturan tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (POKJA PUG) Kota Madiun yang diatur dalam Keputusan Walikota Madiun Nomor 400-401-204/241/2009 dengan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun sebagai ketuanya. Selama ini pemerintah kota Madiun menjalankan pengarusutamaan gender berlandaskan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan. Kurangnya pengetahuan para 14
birokrat tentang gender menyebabkan sosialisasi tidak sampai ke lapisan masyarakat, melainkan hanya sebatas pada SKPD saja. Namun pada kenyataannya tidak semua SKPD memasukkan ARG ke dalam RKA-SKPD, selama ini hanya Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) sajalah yang melaksanakan hal tersebut. Hal ini tentu saja bertolak belakang pada peraturan yang ada, yaitu Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah. Pengarusutamaan Gender merupakan suatu proses yang perlu dilaksanakan oleh para perencana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), sebagai wujud adanya komitmen para pengambil keputusan, dengan harapan kegiatan yang dilaksanakan dapat bermanfaat bagi masyarakat yang terdiri dari laki-laki-laki dan perempuan.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian diatas yang telah disebutkan maka penulis
merumuskan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan Anggaran Responsif Gender pada tahun 2010-2011? 2. Faktor-faktor
apa
saja
yang
menjadi
kendala
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan Anggaran Responsif Gender pada tahun 2010-2011? 3. Upaya apa saja yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam menghadapi kendala mengalokasikan Anggaran Responsif Gender pada tahun 2010-2011? 15
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Gambaran permasalahan dalam penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : a. Untuk
mengetahui
bagaimana
Peran
Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah dalam Mengalokasikan Anggaran Responsif Gender di Kota Madiun tahun 2010-2011. b. Ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Mengalokasikan Anggaran Responsif Gender di kota Madiun. c. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam menghadapi kendala dalam pengalokasian Anggaran Responsif Gender di Kota Madiun. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan dicapai penulis dari penelitian ini adalah : a. Menambah pengetahuan bagi penulis baik yang bersifat teoritis maupun praktis bagaimana peran badan perencanaan pembangunan daerah dalam mengalokasikan anggaran responsif gender. b. Sebagai sumbangsi bahan kajian dan referensi bagi masyarakat tentang peran badan perencanaan pembangunan daerah dalam mengalokasikan anggaran responsif gender serta sumbangsi ilmu pengetahuan dalam fokus kajian yang ada dalam penelitian ini. 16
c. Penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan yang berguna bagi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah kota Madiun dalam rangka mengalokasikan dana sehingga terwujudnya anggaran yang berbasis adil gender, sehingga tidak ada kesenjangan antara laki-laki dengan perempuan dalan kehidupan masyarakat.
D.
Kerangka Dasar Teori Untuk menjelaskan permasalahan yang ada, maka penulis menggunakan
beberapa teori untuk mendukung dasar pemikiran untuk mengupas permasalahan yang ada. 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pembentukan Bappeda Republik Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 27 Tahun 1980 tentang Pembentukan Bappeda RI yang mana Bappeda mempunyai dua tingkat kedudukan. Yang pertama, Bappeda tingkat I (sekarang Pemerintahan Provinsi) dan Bappeda tingkat II (sekarang Pemerintahan Kabupaten/Kota). Bappeda merupakan singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang mana badab ini menurut aturan KEPRES N0 27 Tahun 1980, badan ini adalah badan staf yang berada langsung dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Dimana Bappeda berperan sebagai
17
pembantu Kepala Daerah dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan daerah.9 Sesuai dengan Peraturan Walikota Madiun Nomor 05 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dan Lembaga Teknis Daerah Kota Madiun, tugas pokok dan fungsi Bappeda Kota Madiun adalah sebagai berikut: a. Tugas, Bappeda Kota Madiun mempunyai tugas: melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. b. Fungsi, Bappeda Kota Madiun mempunyai fungsi: perumusan kebijakan teknis
di
bidang
perencanaan
pembangunan,
pengkoordinasian
penyusunan perencanaan pembangunan, pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah, serta pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dengan demikian Bappeda adalah Badan Penyusun Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di daerah baik dalam jangka panjang, jangka menengah maupun rencana tahunan.
9
KEPRES No 27 Tahun 1980 tentang Pembentukan Bappeda Republik Indonesia
18
2. Politik Anggaran Keuangan Daerah Dianutnya konsep desentralisasi, khususnya otonomi dengan segala variannya telah membawa dalam suasana yang memungkinkan daerah untuk mengatur, dan mengurus kepentingan daerahnya, sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Konsep desentralisasi atau otonomi tidak dapat dipisahkan dari persoalan yang berhubungan dengan keuangan, atau finansial. Otonomi yang dalam perspektif UU No. 33 Tahun 2004 diklasifikasikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, mengandung makna hak, wewenang dan kewajiban tersebut, untuk membiayai atau membelanjai diri sendiri.10 Dalam rangka membiayai penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya, daerah harus mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri, baik karena adanya penyerahan urusan wewenang oleh Pemerintah Pusat kepada daerah, seperti pajak dan retribusi daerah, maupun sumber-sumber pendapatan yang sebelumnya memang telah dikelola dan diurus oleh daerah. Berlakunya UU No. 33 Tahun 2004 dalam praktik mengakibatkan tingkat ketergantungan Daerah pada Pemerintah Pusat tetap sangat tinggi, hal ini disebabkan manajemen pembangunan daerah yang berjalan menunjukkan kecenderungan kurang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah, untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah daerah harus mempunyai politik anggaran sendiri guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya. 10
Lihat, Politik Anggaran Dalam Otonomi Daerah, Diakses pada 07 Februari 2013
19
Politik anggaran adalah adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan disdistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk meningkatkan pelayanan publik.11 Dengan demikian Pemerintah Daerah harus mempunyai kemampuan untuk menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan (fiscal need) yang diperlukan untuk membiayai penyelenggaraan dan menyediakan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah. Artinya, Pemerintah Daerah harus dapat melakukan perhitunganperhitungan yang matang dan rasional mengenai rencana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan sehubungan dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah. Berdasarkan rencana kegiatan tersebut, Pemerintah Daerah harus dapat menentukan secara tepat dan objektif rencana pembiayaan masing-masing kegiatan, sehingga akan diketahui kebutuhan keuangan yang diperlukan dalam satu tahun anggaran.
3. Anggaran Responsif Gender Di Indonesia Anggaran Responsif Gender (ARG) mulai dikenal setelah keluarnya KEPMENDAGRI No 132 Tahun 2003 yaitu minimal 5% untuk anggaran Pengarusutamaan Gender (PUG).Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan 11
Lihat, Teori Politik Keuangan Publik dan Kebijakan Anggaran, Diakses pada 07 Februari 2013
20
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat, dan Negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kemudian direvisi dengan PERMENDAGRI No 15 Tahun 2008 , yaitu anggaran secara umum harus didasarkan pada pertimbangan dampak gender, dan bukan hanya presentase tertentu Anggaran Responsif Gender (ARG) bukan lah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan, tetapi strategi mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran, menerjemahkan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran. Sedangkan menurut PERMENDAGRI No 15 Tahun 2008 Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah pemanfaatan penganggaran yang berasal dari berbagai sumber pendapatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Menurut PERMENDAGRI No 15 Tahun 2008 kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.
21
Anggaran Responsif Gender (ARG) lebih menekankan pada masalah kesetaraan dalam penganggaran. Kesetaraan tersebut berupa proses maupun dampak alokasi anggaran dalam program/kegiatan yang bertujuan menurunkan tingkat kesenjangan gender. Anggaran Responsif Gender (ARG) bekerja dengan cara menelaah dampak dari belanja suatu kegiatan terhadap perempuan dan laki-laki, dan kemudian menganalisa apakah alokasi anggaran tersebut telah menjawab kebutuhan perempuan serta kebutuhan lelaki secara memadai.
E. Definisi Konsepsional Definisi Konsepsional adalah usaha untuk memperjelas pembatasan pengertian antar konsep yang satu dengan konsep yang lain agar tidak terjadi over laping atau kesalahan memahami konsep yang akan dikemukakan. Definisi konsepsional yang digunakan yaitu: 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah: Badan Penyusun Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di daerah baik dalam jangka panjang, jangka menengah maupun rencana tahunan. 2. Politik Anggaran Keuangan Daerah: penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan disdistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk meningkatkan pelayanan publik. 22
3. Anggaran Responsif Gender: penggunaan atau pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
F. Definisi Operasional Yang dimaksud dengan definisi operasional penelitian ini adalah unsur-unsur penelitian yang memberikan batasan-batasan tertentu untuk memberikan pengukuran suatu variabel guna mencapai tujuan penelitian. Untuk penilaian Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan anggaran berbasis adil gender Tahun 2010-2011 dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut: 1. Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam memasukkan PUG dalam perencanaan pembangunan. Dilihat dari indikator: a. Perencanaan ARG dalam APBD b. Mengawal SKPD agar melaksanakan ARG 2. Pelaksanaan ARG dalam APBD a. Adanya anggaran yang dialokasikan untuk PUG b. Adanya program yang mengutamakan PUG c. Adanya prosentase untuk PUG dalam APBD d. Adanya program dan kegiatan yang mengutamakan PUG dalam setiap SKPD
23
3. Faktor-faktor serta upaya yang mempengaruhi peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan anggaran berbasis adil gender Tahun 2010-2011. Yang meliputi: a. Faktor pendukung b. Faktor penghambat c. Upaya-upaya
G. Metode Penelitian Menurut H. Nawawi dalam melakukan suatu penelitian perlu diketahui tentang metode yang digunakan untuk mendapatkan data dalam rangka analisis dan interprestasi data yang ada. Metodologi adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan.12 Dalam skripsi ini peneliti akan mengupas secara mendalam mengenai kinerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun Tahun 2010-2011. 1. Jenis Penelitian Pada penelitian ini penyususn menggunakan penelitian deskripstif kualitatif.Dimana penelitian kualitatif ini didefinisikan sebagai istilah yang umum dan mencakup beberapa teknik deskripstif, diantaranya penelitian
yang
mengklasifikasikan
dan
menganalisa
data
serta
menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan menggunakan metode instrument, dokumentasi dan studi pustaka. 12
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Penerbit UGM Pers, Yogyakarta,1985.
24
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun. Pemilihan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai lokasi penelitian ini didasarkan atas keinginan untuk mengetehaui bagaimana peran yang dimiliki oleh aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam proses pengalokasian dana anggaran responsif gender tahun 2010-2011. 3. Unit Analisa Data Unit analisa data adalah satuan terkecil yang merupakan objek nyata yang akan diteliti sesuai dengan permasalahan yang ada dan pokok pembahasan masalah dalam penelitian. Unit analisa data berisi penegasan tentang unit atau kesatuan yang menjadi subjek dan objek penelitian. Berdasarkan substansi tersebut Badan Perencanaan Pembangunan Kota Madiun akan diminta informasinya sebagai basis data. 4. Jenis Data Jenis Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, yaitu:13 a. Data Primer Data Primer adalah segala informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan konsep penelitian yang kita peroleh secara langsung dari unit analisa yang dijadikan sebagai objek penelitian atau data yang 13
Rahmawati Eka Dian. Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta.Fisipol UMY, 2010.
25
diperoleh langsung dari sumbernya atau lapangan tempat penelitian, yang mana pertanyaan-pertanyaan akan diajukan kepada aparat Badan Perencanaan Pembangunan Kota Madiun dalam bentuk interview guna memperoleh data yang dibutuhkan. Data Primer Peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam memasukkan PUG dalam perencanaan pembangunan. Dilihat dari indikator: a. Perencanaan ARG dalam APBD b. Mengawal SKPD agar melaksanakan ARG Pelaksanaan ARG dalam APBD a. Adanya anggaran yang dialokasikan untuk PUG b. Adanya program yang mengutamakan PUG c. Adanyan prosentase PUG dalam APBD d. Adanya program dan kegiatan yang Mengutamakan PUG dalam setiap APBD Faktor-faktor serta upaya yang mempengaruhi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun dalam mengalokasikan ARG tahun 2010-2011. yang meliputi: a. Faktor pendukung b. Faktor penghambat c. Upaya-upaya
Sumber Observasi dan Hasil wawancara dengan staff Bidang Perencanaan Ekonomi, Sosial dan Budaya Bappeda Kota Madiun.
Observasi dan Hasil wawancara dengan staff Bidang Perencanaan Ekonomi, Sosial dan Budaya Bappeda Kota Madiun.
Observasi dan Hasil wawancara dengan staff Bidang Perencanaan Ekonomi, Sosial dan Budaya Bappeda Kota Madiun.
26
b. Data Sekunder Semua informasi yang kita peroleh tidak secara langsung, melalui dokumen-dokumen yang mencatat keadaan konsep penelitian (ataupun yang terkait dengannya) di dalam unit analisanya yang dijadikan sebagai obyek penelitian. Data Sekunder
Sumber
Peraturan tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional
Dokumentasi, Instruksi Presiden Nomor 09 Tahun 2000
Peraturan tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Gender Di Daerah
Dokumentasi, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008
Peraturan tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (POKJA PUG) Kota Madiun Peraturan tentang Rincian Tugas Dan Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Madiun Peraturan tentang Pembentukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kota Madiun
Dokumentasi, Peraturan Walikota Madiun Nomor: 400401.204/241/2009
Dokumentasi, Peraturan Walikota Madiun Nomor 47 Tahun 2008
Dokumentasi, Keputusan Walikota Madiun Nomor: 910.05401.023/175/2009
APBD Kota Madiun Tahun Anggaran 2010
Dokumentasi, Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 17 Tahun 2009
APBD Kota Madiun Tahun Anggaran 2011
Dokumentasi, Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 09 Tahun 2010
27
5. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Melakukan pengamatan dan pencatatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian guna memperoleh data-data yang berhubungan dengan penelitian.14 b. Interview Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep penelitian (atau yang terkait dengannya) terhadap individu manusia yang menjadi unit analisa penelitian ataupun terhadap individu manusia yang dianggap memiliki data mengenai unit analisa penelitian.15 Dalam penelitian ini responden yang akan diwawancarai adalah: a. Kepala Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Madiun. b. Pegawai kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Madiun. c. Dokumentasi Dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan menggunakan berbagai dokumen atau catatan yang mencatat keadaan konsep penelitian (ataupun yang terkait dengannya) di dalam unit analisa yang 14 15
Rahmawati Eka Dian. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Fisipol UMY 2010. Rahmawati Eka Dian .Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Fisipol UMY, 2010 .
28
dijadikan sebagai obyek penelitian. Sumber data: dokumen resmi, arsip, media massa etak, jurnal, biografi, dsb. 6. Teknik Analisa Data Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengkoordinasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar, yaitu: 1. Mengidentifikasi data tentang bagaimana peran Bappeda Kota Madiun dalam memasukkan PUG ke dalam perencanaan pembangunan tahun 2010-2011. 2. Mengelompokkan data tentang data primer dan data sekunder. 3. Menjabarkan data yang telah didapatkan di lokasi penelitian. 4. Melakukan justifikasi terhadap data tentang pengalokasian ARG dalam APBD. 5. Melakukan analisis tentang peran Bappeda selaku TAPD dalam mengalokasikan ARG dalam APBD. 6. Mengambil kesimpulan tentang apakah ARG di Kota Madiun telah berjalan dengan baik atau belum. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, sehingga analisa tersebut berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta dengan data informasi yang diperoleh. Namun dalam uraian selanjutnya tidak menutup kemungkinan jika data yang ditampilkan bersifat kuantitatif sebagai penunjang pengelolaan data kualitatif. 29
Metode kualitatif adalah prosedur prnrlitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-rang dan pelaku yang
diamati.
kualitatif.Yang
Teknik
analisa
dimaksud
yang
dengan
digunakan analisa
adalah
kualitatif
analisa menurut
Koentjaraningrat adalah “data yang dikumpulkan itu berpa studi kasus yang bersifat monografis, mudah diklarifikasikan, digambarkan dengan kalimat,
dipisahkan
menurut
kategori
untuk
memperoleh
kesimpulan.Selanjutnya menganalisa sesuai dengan obyek yang diteliti dan menginterpretasikan data atau dasar teori yang ada serta untuk menilai makna yang bersifat menyeluruh.Data tersebut diperoleh dari naskah wawancara, catatan laporan, dokumen pribadi, dokumen resmi dan sumber-sumber lainnya guna menunjang keabsahan dalam penelitian.
30