BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Setiap bangsa di dunia ini memiliki sejarahnya sendiri, yang masing-
masing relatif berbeda antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh berbagai faktor misalnya kondisi sosial budaya, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Sejarah masa lalu ternyata telah membentuk kepribadian suatu bangsa, seperti yang direfleksikan oleh kebudayaan nasional bangsa yang bersangkutan. Proses sejarah manusia berjalan terus sebagai suatu kesinambungan hidup yang tidak mungkin dapat di potong-potong dengan mudah. Berkaitan dengan hal itu, di kalangan ahli sejarah ada yang berpendapat bahwa sejarah akan berulang kembali, tetapi akan muncul dalam nuansa yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pada suatu kurun waktu tertentu (Sutaba, 1991 : 1). Sejarah bangsa Indonesia telah membuahkan kepribadian nasional seperti yang tercermin dalam kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa mencakup kebudayaan lama sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh tanah air. Sebagian dari kebudayaan lama ini adalah sejumlah pusaka budaya yang tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara, antara lain di Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur. Adapun pusaka budaya itu, misalnya sisa-sisa keraton kerajaan Sriwijaya di Palembang, Candi Borobudur dan
1
2
Prambanan di Jawa Tengah, Keraton Majapahit di Jawa Timur, Pura Besakih, Goa Gajah, Pura Tirta Empul di Bali, sisa-sisa kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dan lain-lain. Semua itu adalah sebagian dari kekayaan budaya bangsa (national cultural property) sebagai bukti sejarah yang gemilang, yang memberikan gambaran tentang berbagai aspek kehidupan masa lalu. Pusaka budaya itu memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan yang telah dicapai, misalnya kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya Pusaka budaya yang merupakan sebagian dari kebudayaan masa lalu, juga merupakan hasil tanggapan manusia pendukungnya terhadap lingkungan alam dalam usahanya untuk memenuhi keperluan hidupnya. Bagi bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa lalu yang gemilang, tentu pusaka budaya yang telah melahirkan kepribadian bangsa akan menempati kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan yang berakar pada sejarahnya sendiri. Pusaka budaya (heritage) dewasa ini telah mendapat perhatian yang luas. Tumbuhnya kesadaran tentang perlunya penyelamatan benda budaya yang merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi pariwisata yang memanfaatkan benda budaya tersebut, melahirkan berbagai upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan untuk kepentingan peningkatan kehidupan masyarakat. Jika benda-benda tersebut dikelola secara baik dan profesional, sebagai bagian dari suatu kebudayaan, pusaka budaya bisa menjadi alat pemberdayaan bagi pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah selaku pemegang kebijakan politik, pengusaha dalam bidang ekonomi, dan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan.
3
Dalam konteks pengembangan pariwisata, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki paling banyak pusaka budaya, baik yang berasal dari masa prasejarah, Hindu Buddha, Islam, dan masa kolonial, yang tersebar di seluruh nusantara (Ardika, 2007 : 47-48). Di tingkat Asia Tenggara pemanfaatan pusaka budaya yang dikaitkan dengan industri pariwisata membuat beberapa negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations (ASEAN), menandatangani Deklarasi Borobudur yang dilampiri dengan rencana kerja Borobudur Plan of
Actions pada Agustus 2006. Penandatanganan
kesepakatan tersebut merupakan rangkaian agenda Simposium Internasional bertema ”Jejak-jejak Peradaban” (trails of civilization), yang isinya berupa komitmen untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi pusaka peradaban bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan budaya. Banyak negara di dunia yang mengembangkan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan menjadikan aspek budaya negerinya sebagai salah satu andalan daya tarik wisata. Keinginan untuk memanfaatkan pusaka budaya sebagai daya tarik wisata mulai muncul tahun 1963 ketika Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations) mengadakan konferensi tentang ”international travel and tourism” di Roma. Dalam laporan Konferensi Roma itu UNESCO menyajikan laporan bertajuk The Cultural Factors in Tourism (Aspekaspek Budaya dalam Pariwisata), yang isinya selain menekankan pentingnya pariwisata untuk mempromosikan perdamaian, persahabatan antarnegara, laporan itu juga menegaskan pentingnya negara-negara untuk melestarikan (preserve) dan mempromosikan (promote) pusaka budaya dalam pembangunan ekonominya.
4
Pengenalan pusaka budaya ditempuh untuk memperkaya pengalaman wisatawan dan pada saat yang bersamaan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari industri pariwisata dapat digunakan untuk meningkatkan program konservasi dan pembangunan budaya (Darma Putra, 2002 : 149). Pilihan mengembangkan industri pariwisata dengan memanfaatkan kekayaan pusaka budaya dan memanfaatkan hasil industri untuk melestarikan budaya juga menjadi strategi banyak negara. Negeri Cina, Mesir, dan Indonesia, dalam pengembangan pariwisata masing-masing juga memanfaatkan pusaka budaya, baik dalam pengertian fisik maupun nilai dan gaya hidup untuk memikat wisatawan. Cina yang membuka diri kepada dunia luar sejak akhir tahun 1970-an, sangat menyadari betapa besar arti pusaka budaya yang mereka miliki untuk mengembangkan industri pariwisata. Negeri berpenduduk 1,2 milyar ini terkenal memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan peninggalan budaya yang eksotik dan monumental (Tembok Cina). Dalam berbagai promosinya, Cina menonjolkan dirinya sebagai destinasi wisata yang beralam indah, memiliki tempat bersejarah/purbakala yang mengagumkan, dan kebudayaan yang beranekaragam. Fakta bahwa ribuan wisatawan yang datang ke tempat ini menjadi bukti bahwa pusaka budaya itulah yang menjadi daya tarik utama Cina. Keajaiban dunia yang lain, yakni piramida dan candi-candi kuno yang terdapat di Mesir juga dijadikan sarana bagi pemerintah negeri itu untuk menarik wisatawan. Pemerintah Mesir sangat menyadari bahwa pertumbuhan sektor pariwisata sangat tergantung pada pusaka budaya piramida dan peninggalan sejarah, serta bangunan tradisional lainnya. Meskipun Mesir mengembangkan
5
objek wisata baru, maskot promosinya tetap menonjolkan warisan budaya bersejarah sehingga wisatawan dunia mau menempatkan Mesir sebagai daftar untuk dikunjungi. Demikian juga Indonesia memiliki banyak situs arkeologi yang diakui sebagai warisan budaya dunia. Situs-situs itu antara lain ialah situs manusia purba di Sangiran, Candi Prambanan di Yogyakarta, Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah, dan lain-lain. Bali merupakan ekologi pulau kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya alam, kecil dalam jumlah penduduk, namun besar dalam potensi kebudayaan. Dalam perjalanan sejarah yang amat panjang dengan melewati masa prasejarah dan kemudian masuk ke dalam era sejarah serta peradaban modern, Bali dengan manusia dan kebudayaannya berkembang secara horizontal dan vertikal. Dalam perkembangan yang berdimensi horizontal, wilayah, manusia, dan kebudayaan Bali terbuka serta terkomunikasi secara lokal, nasional, global menembus batas-batas etnik, ras, dan nasion. Dalam perkembangan yang berdimensi vertikal, wilayah, manusia, dan kebudayaan Bali terbuka dan tumbuh mengikuti perkembangan peradaban umat manusia yang diindikasikan melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan informasi melalui revolusi telekomunikasi, transportasi, perdagangan, serta pariwisata. Dalam perkembangan selanjutnya, pada manusia dan kebudayan Bali juga berkembang fenomena global yang manifes secara simultan melalui terjadinya pola-pola kehidupan masyarakat yang merefleksikan gerak globalisasi dan Balinisasi. Gerak globalisasi diindikasikan oleh makin meluas dan
6
berkembangnya jaringan relasi yang terbuka secara internasional, sementara itu gerak Balinisasi diindikasikan oleh pencarian jatidiri manusia Bali yang tiada henti disertai dengan proses involusi ekologis, sosial, dan budaya (Geriya, 2008 : 47). Kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang bersifat Bhineka Tunggal Ika, dalam dua dekada terakhir ini memperlihatkan dinamika dan perubahan yang sangat pesat. Fenomena internal yang mendorong perubahan adalah trasformasi struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, perubahan ekologi, serta perkembangan visi orang Bali sebagai etnik melalui kemajuan pendidikan. Fenomena eksternal yang mendorong perubahan mencakup dampak telekomunikasi, transportasi, perdagangan, pariwisata, dan intensifnya sentuhan peradaban global. Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat transisi dan masyarakat yang bergerak makin heterogen mendukung sekaligus dikhotomi kebudayaan, yaitu kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Interaksi antara kebudayaan
tradisional
dengan kebudayaan
modern,
disatu
sisi
menunjukkan proses integrasi adaptif dan di sisi lain juga menunjukkan dialektik antagonistik. Berbagai benturan budaya muncul dalam beberapa kasus dengan membawa dampak negatif, seperti fenomena distorsi, degradasi, demoralisasi sampai dengan berbagai pelecehan kultural (Geriya, 2008 : 2). Bali mempunyai potensi yang besar di bidang pusaka budaya. Keindahan alam dan budaya telah menjadi image kepariwisataan daerah ini. Pemerintah
Daerah
Bali
telah
mencanangkan
bahwa
pariwisata
yang
7
dikembangkan adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu (Ardika, 2004 : 21). Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali sebagai potensi dasar, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik yang serasi, selaras, dan seimbang antara pariwisata dan kebudayaan. Terkait dengan pengembangan pariwisata budaya, Bali atau Gianyar khususnya, sesungguhnya sangat beruntung karena sejak lama telah mendapat citra yang positif. Citra itu ternyata memiliki sejarah, yaitu sebagai kreasi orangorang Barat yang pada akhirnya diambil alih oleh orang Bali sendiri. Miguel Covarrubias dalam bukunya Island of Bali menyebutkan Bali sebagai surga dunia yang terakhir (1972 : 14). Representasi Covarrubias tentang Pulau Bali adalah Bali yang eksotis, Bali dengan identitas perempuan yang “bertelanjang dada”. Pemerintah kolonial Belanda juga berhasil menciptakan citra tentang Bali sebagai sebuah pulau Hindu yang dikelilingi oleh lautan dan ribuan pulau di sekitarnya. Dengan demikian, identitas keagamaan orang Bali dibangun sebagai sesuatu yang berbeda dengan pulau-pulau sekitarnya yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Citra Bali sebagai pulau surga merupakan salah satu produk politik representasi yang populer dalam enam puluh tahun terakhir ini (Dwipayana, 2005: x-xi). Bahkan sejak tahun 1970-an ketika Bali benar-benar terintegrasi dengan sistem kapitalisme pariwisata global, citra tersebut semakin hegemonik. Gianyar adalah salah satu di antara delapan kabupaten di Provinsi Bali. Masyarakat Gianyar mempunyai sejarah masa lalu yang amat panjang, seperti terbukti dari tinggalan purbakala/arkeologi dalam jumlah dan ragam yang sangat
8
banyak, bahkan terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali. Oleh karena itu, Gianyar, khususnya Desa Pejeng dan sekitarnya sering disebut sebagai desa “museum hidup”. Tinggalan arkeologi cukup padat di Kabupaten Gianyar merupakan pusaka budaya yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat diketahui bahwa pusaka budaya tersebut ternyata memperlihatkan kemampuan masyarakat Gianyar yang signifikan, yang kemudian menjadi landasan kuat bagi perkembangan budaya hingga dewasa ini. Sampai sekarang bukti-bukti sejarah masyarakat Gianyar ditemukan tersebar di desa-desa yang terletak di antara Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu, antara lain berpusat di desa-desa Panempahan, Tampaksiring, Basangambu, Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya. Bukti-bukti sejarah tersebut secara umum dapat dikelompokkan menurut bahan-bahannya, yaitu ada yang dibuat dari kayu, tulang, batu bata, batu padas, dan dari logam (besi, kuningan, perunggu, emas). Di samping itu, dapat juga dikelompokkan sebagai benda-benda bergerak (moveable), seperti prasasti, arca-arca kuno, dan benda-benda tidak bergerak (unmoveable), seperti candi dan pura-pura kuno. Penglompokan pusaka budaya di Kabupaten Gianyar dapat juga dilakukan secara kronologis, yaitu ada yang berasal dari zaman prasejarah ketika masyarakat belum mengenal aksara dan dari zaman sejarah ketika masyarakat telah mengenal tulisan. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang sudah ditemukan dapat diketahui bahwa masyarakat Gianyar baru mulai membangun kehidupannya pada masa bercocok tanam kira-kira 4.000 tahun yang lalu seperti terbukti dari
9
temuan beberapa buah alat-alat pertanian berupa beliung persegi, belincung, di Desa Taro, Pejeng, Tatiapi, Bedulu dan Keramas (Sutaba, 1980 : 34-35). Alat-alat pertanian tersebut telah dikerjakan dengan cermat dan digosok/diupam hingga halus. Perkembangan teknologi pertanian telah mengantarkan masyarakat Gianyar memasuki masa perundagian hingga mencapai tingkat teknologi yang lebih maju, yaitu teknologi seni tuang logam (metalurgi), yang memerlukan tenaga-tenaga terampil (Soejono, 1984 : 238-239). Penguasaan teknologi logam terbukti telah memberikan peluang yang sangat besar bagi perkembangan potensi lokal yang menghasilkan kearifan lokal (local genius). Salah satu produksinya yang terpenting pada masa itu adalah ”bulan Pejeng”, sebuah nekara perunggu sekarang tersimpan di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng dan dianggap sebagai media pemujaan yang sakral (Sutaba, 2007 : 13). Sementara itu, kawasan budaya di antara Sungai Pakerisan dan Petanu berkembang semakin maju. Di kawasan ini terjadi persentuhan dengan budaya dari India yang membawa aksara dan agama Hindu-Buddha. Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu menjadi terkenal dalam sejarah Bali kuno karena telah membangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih menjadi kawasan yang sakral (sacred area) bagi masyarakat sekitarnya. Penelitian arkeologi yang dimulai pada awal abad ke-20 telah mendapatkan bukti-bukti bahwa kawasan tersebut menyimpan sejumlah pusaka budaya yang sampai sekarang masih berfungsi sakral. Salah satu diantaranya adalah Pura Tirta Empul.
10
Pura Tirta Empul memiliki ciri khas dan keunikan bila dibandingkan dengan tinggalan budaya lainnya, sehingga sangat menarik minat wisatawan, lebih-lebih didukung dengan tetap difungsikannya sebagai tempat suci, tempat persembahyangan umat Hindu (living monument). Tidak mengherankan, Pura Tirta Empul di Tampaksiring merupakan sebuah daya tarik wisata yang cukup banyak menyerap pengunjung dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, selain Gua Gajah dan Gunung Kawi. Pusaka budaya Pura Tirta Empul telah diajukan sebagai Warisan Budaya Dunia. Pura Tirta Empul dipilih sebagai obyek penelitian, selain sesuai dengan hal-hal yang telah dikemukakan, secara lebih khusus juga dilandasi pada hal-hal berikut. Pertama, tersedianya sumber data berupa prasasti, yaitu prasasti Manukaya untuk mengungkap sejarah pendirian pusaka budaya tersebut. Selain prasasti Manukaya, sejarah yang berkaitan dengan pura ini dijumpai pula dalam kitab Usana Bali. Dalam hal-hal tertentu, keadaan itu diharapkan dapat memberikan peluang atau kemungkinan untuk mengembangkan pemahaman serta uraian yang lebih jelas. Kedua, berdasarkan pengamatan terhadap Pura Tirta Empul, ternyata situs ini menunjukkan perpaduan yang harmonis antara konsep pura, bangunan tradisional, dan konsep taman. Keberadaan sejumlah tinggalan arkeologi di dalamnya serta ditunjang oleh hawa yang sejuk dan panorama yang indah di dalam pura, menjadikan situs ini menarik untuk diteliti dalam konteks pariwisata global. Dewasa ini, Gianyar telah mengalami perkembangan secara signifikan sebagai akibat dari perkembangan dan pertumbuhan sektor pariwisata.
11
Perkembangan pariwisata tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kemajuan pembangunan inprastruktur, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan
globalisasi,
termasuk globalisasi di sektor pariwisata. Secara empirik perkembangan pariwisata di Gianyar mulai terjadi pada tahun 1970-an, diawali sejak munculnya kebijakan tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali dalam tahun 1971. Dengan berpijak kepada kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan induk pariwisata maka Pemerintah Daerah Tingkat I Bali telah menetapkan Perda No.3/1974 dan kemudian diganti dengan Perda No. 3/1991 tentang Pariwisata Budaya. Melalui peraturan ini diharapkan bahwa pengembangan dan pembinaan industri pariwisata di daerah Bali pada umumnya dan Gianyar khususnya berorientasi kepada kebudayaan daerah. Penetapan peraturan daerah ini merupakan tindakan yang bijaksana, karena pemerintah daerah telah menetapkan kebudayaan daerah sebagai modal dasar pembangunan. Kecuali sektor pertanian, pemerintah daerah telah memberikan prioritas yang tinggi kepada sektor kepariwisataan yang telah memberi penghidupan kepada penduduk setempat. Dampak dari perkembangan aktivitas pariwisata yang semakin maju pada tahun 1980-an, ternyata pusaka budaya telah dimanfaatkan sebagai daya tarik pariwisata budaya di Kabupaten Gianyar (Rata, 1988 : 94-95). Sejumlah daya tarik wisata yang mengandung tinggalan arkeologi dikelola secara kemitraan antara masyarakat dan pemerintah daerah.
12
Beberapa tours ditawarkan kepada wisatawan oleh biro perjalanan. Pusaka budaya mulai dari masa prasejarah yang tersimpun di Museum Gedong Arca di Desa Bedulu, di pura-pura, serta tinggalan budaya dari masa klasik (Hindu, Buddha) merupakan tujuan wisata dalam setiap program tour. Dengan demikian pusaka budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pengembangan pariwisata budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Gianyar. Pariwisata budaya menawarkan potret budaya masa lalu pada masa kini di mana bentuk baru reproduksi budaya masa lalu berkorelasi dengan pola konsumsi wisatawan, yaitu terlihat secara langsung dan total dengan budaya setempat. Perpaduan antara lokal dan global dapat dilihat sebagai manifestasi posmodernisme. Dalam masyarakat posmodern, pariwisata sering dikonseptualisasikan sebagai sebuah rangkaian kompleks tentang kegiatan yang berhubungan dengan produksi. Posmodernisme ditandai oleh perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi yang menjadikan bagian-bagian dunia sangat dekat, sehingga banyak orang dapat melakukan perjalanan wisata sesuai keinginan dan kecendrungan global (Nuryanti, 1996 : 250). Namun demikian, dibalik perkembangan pesat pariwisata di Kabupaten Gianyar ternyata menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan (Bagus, 1991 : 17). Fenomena globalisasi yang bercirikan budaya modernisme seperti nilai-nilai rasionalisme, individualisme, konsumerisme, dan komersialisme di tenggarai mempunyai kekuatan dasyat yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat serta komunitas lokal. Hanna (1972 : 18-19) secara tajam
13
memaparkan tentang komersialisasi budaya yang diakibatkan oleh pariwisata. Dia melihat buktinya dalam transformasi yang terjadi dalam kesenian Bali, baik dalam bidang seni rupa yang diubah menjadi barang yang dijual dan menjadi sovenirsovenir kasar, maupun dalam bidang seni pertunjukkan yang disesuaikan dengan selera dan batasan pemahaman penonton asing. Selain itu, ia juga melihat telah terjadi komersialisasi budaya untuk kepentingan pariwisata seperti (1) warisan budaya dijadikan suatu komodite yang dijual pada pengunjung asing, (2) pemalsuan tradisi-tradisi asli yang diubah demi memenuhi harapan wisatawan, (3) pelecehan upacara agama yang dijadikan pertunjukkan-pertunjukkan komersial, dan (4) hilangnya nilai-nilai yang dapat menimbulkan anomi umum masyarakat. Sejak kedatangan para wisatawan, kebudayaan Gianyar tidak hanya milik orang Gianyar saja, karena yang mencitrakan Gianyar sebagai daerah tujuan wisata adalah perpaduan antara upacara agama, kegiatan adat, dan kreativitas seni. Berkat keterpikatan wisatawan terhadap Gianyar, kebudayaan yang merupakan modal utama harus dimanfaatkan, dipasarkan, dipromosikan di pasaran pariwisata. Keharusan ini menimbulkan suatu sikap mendua di kalangan masyarakat ketika menanggapi kebudayaannya. Bila sebelum kedatangan wisatawan kebudayaan ditanggapi sebagai “warisan” yang harus diselamatkan atau dilestarikan, sebaliknya setelah kehadiran wisatawan kebudayaan dijadikan “modal” untuk pengembangan pariwisata budaya. Berbagai permasalahan segera muncul yang dipandang sebagai sebuah tantangan. Tantangan tersebut cenderung bersifat mengancam keberadaan dan kelestarian pusaka budaya. Ancaman tersebut umpamanya bisa dalam bentuk (1)
14
perusakan/penelantaran, (2) pemanfaatan secara komersial, (3) sisi gelap pariwisata (pencurian, perdagangan) dan (4) pemugaran nonkonservatif. Walaupun pusaka budaya dan pariwisata dianggap memunculkan suatu kontradiksi, yaitu antara tradisi yang memerlukan stabilitas keberlanjutan dan pariwisata yang sifatnya dinamis dan penuh dengan perubahan, pusaka budaya harus memiliki kemampuan untuk mengikuti perubahan tersebut. Terjadi sinergi di antara keduanya, sehingga semua pihak tidak ada yang dirugikan. Pusaka budaya bisa bermanfaat dan pendapatan dari pariwisata dapat digunakan untuk pelestarian dan pengembangannya. Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata diakui penuh risiko dan potensial menimbulkan masalah, antara lain karena faktor manusia (pengunjung), dan yang paling mengkhawatirkan adalah ekspansi komersial yang dapat merusak tatanan lingkungan pura tersebut.
Pariwisata
telah
menjadi
generator penggerak dalam pembangunan ekonomi dan menjadi lokomotif dalam perubahan sosial budaya di beberapa daerah tujuan wisata. Internasional lewat pariwisata, khususnya pariwisata budaya, telah membawa masyarakat lokal terjepit di antara dua kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka wajib memelihara tradisi adat dan budayanya, di sisi lain secara sengaja membenturkan kebudayaan lokal tersebut dengan dunia modern. Ini memberi peluang besar bahwa budaya lokal akan hanyut dalam derasnya gelombang budaya global (Picard, 2006 : 117). Masyarakat setempat yang sangat religius sebagaimana manusia Bali pada umumnya, memberi perhatian yang sangat besar pada Pura Tirta Empul sebagai tempat suci. Dengan sifatnya sebagai living monument berarti masyarakat
15
sangat mensakralkan tempat suci tersebut, yang diyakini dapat memberi keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman rohani. Dengan demikian, secara tidak langsung masyarakat telah melaksanakan upaya pelestarian melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Sejak Pura Tirta Empul menjadi salah satu tujuan wisata, maka komersialisasi budaya tidak dapat terhindarkan. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam terkait dengan sosial budaya dan segala aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik lokal maupun asing sebagai konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat. Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal tersebut memunculkan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang dapat menimbulkan komodifikasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Para kapitalis menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan dan ranah kebudayaan, termasuk pusaka budaya Pura Tirta Empul. Globalisasi menyebabkan fungsi Pura Tirta Empul berkembang, tidak saja berfungsi sakral tetapi juga berfungsi ekonomi dalam kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Adanya kepentingan selera pasar telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemaknaan dan pendefinisian terhadap sakralitas Pura Tirta Empul, pergeseran nilai terhadap pemahaman Pura Tirta Empul, serta perubahan perilaku dan praktik-praktik budaya masyarakat Desa Manukaya. Tarik-menarik kepentingan dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul kini sedang dan telah terjadi. Sudah tentu hal
16
seperti itu merupakan permasalahan, dan bila tidak dicermati secara mendalam, maka akan dapat mengganggu keseimbangan manusia dalam usaha mencapai kesejahteraan lahir maupun batin. Dialektika antara pariwisata global di satu sisi dan Balinisasi atau jatidiri di sisi lain, sebagaimana yang terjadi di Pura Tirta Empul merupakan suatu fenomena yang layak, dan relevan diangkat sebagai sebuah kajian dari perspektif cultural studies. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah yang hendak
dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah proses komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global? 3. Bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global? 1.3
Tujuan Penelitian Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkap fenomena
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Permasalahan pusaka budaya sebagai jatidiri dan pengaruh budaya global melalui pariwisata
17
menjadi menarik untuk diteliti karena ada tarik-menarik kepentingan. Selain itu penelitian ini ingin mengkaji fenomena budaya lokal dalam perspektif kajian budaya dalam mengungkap faktor penyebab di balik fenomena komodifikasi Pura Tirta Empul yang berkaitan dengan kehadirannya serta upaya pemanfaatan atau pelestariannya sebagai bagian dari khasanah budaya nasional yang harus diselamatkan. 1.3.2
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian adalah (1) untuk mengetahui dan
memahami proses komodifikasi Pura Tirta Empul, (2) mengungkap faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, dan (3) menginterpretasikan dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Dengan mencermati semua data yang diperoleh di lapangan dari para informan atau data dari perpustakaan, maka akan dilakukan kajian yang mendalam, sehingga memperoleh jawaban mengenai hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang diajukan di atas. 1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan manfaat
praktis. 1.4.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu yang holistik-integratif sesuai dengan keberadaannya sebagai sebuah kajian budaya yang terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam
18
konteks pariwisata global. Salah satu sisi penting posisi teoretis-konseptual kajian budaya adalah karakteristiknya yang multidisipliner, sehingga memberi kontribusi untuk penelitian bagi berbagai disiplin ilmu dan kebijakan publik. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademis karena dapat dipakai sebagai acuan, referensi, tentang arti penting pusaka budaya dikaitkan dengan pembangunan pariwisata yang dilaksanakan oleh pemerintah dewasa ini. Tema penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain, terutama yang melakukan penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda. 1.4.2
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak,
yakni sebagai berikut. 1.
Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh pemerintah sebagai bahan pertimbangan
dalam
membuat
kebijakan
pembangunan
yang
menyangkut pemberdayaan pusaka budaya dalam era globalisasi, termasuk dalam pengembangan pariwisata modern yang berbasis budaya. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan di tingkat lokal dan nasional sebagai sumber rujukan dalam memecahkan
berbagai
persoalan
pembangunan,
khususnya
pembangunan pariwisata budaya. 3.
Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai proses transformasi, partisipasi, dan keterlibatan aktif semua pihak dalam
19
pemanfaatan pusaka budaya terkait dengan pengembangan pariwisata dengan melibatkan partisipasi masyarakat. 4.
Bagi kebudayaan
dan pengembangan
pariwisata
dalam rangka
pemberdayaan modal budaya (cultural capital) menjadi modal ekonomi (economic cultural) melalui pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
khususnya Pura Tirta Empul.
sekaligus
melestarikan
lingkungan,
20
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dimaksud di sini adalah tinjauan mengenai hasil-
hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli, baik dalam bentuk laporan penelitian, jurnal, artikel ilmiah, makalah, buku, dan sebagainya, yang ada hubungannya dengan objek penelitian ini. Hasil-hasil penelitian atau buku-buku tersebut selanjutnya dicermati untuk mengetahui apakah topik dan masalah yang akan dikaji telah diteliti oleh peneliti lain. Kajian pustaka yang dijadikan rujukan terutama adalah pustaka yang memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan dan berfungsi sebagai pelengkap informasi serta dapat menunjang penelitian ini. Kajian terhadap pustaka perlu dilakukan secara komprehensif agar diperoleh benang merah yang mampu menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu dengan penelitian sekarang ini. Upaya memahami peranan pusaka budaya dalam pembangunan nasional telah lama menjadi wacana di kalangan para ahli. Pusaka budaya memiliki fungsi yang sangat penting dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Pusaka budaya mencerminkan cipta, rasa, dan karya leluhur yang dapat memberi inspirasi dalam pembangunan bangsa. 20
21
Sehingga dengan demikian pusaka budaya harus dipelihara, dilindungi, dan dikelola secara profesional agar tetap lestari (Tjandrasasmita, 1980, 104-105). Upaya inventarisasi dan penulisan tinggalan arkeologi sebagai pusaka budaya di daerah Bali pada umumnya dan Gianyar khususnya, telah lama dimulai. Pada tahun 1929 W.F. Stutterheim berhasil membuat laporan tentang kepurbakalaan di daerah ini dalam bukunya yang berjudul ”Oudheden van Bali”. Buku yang menggunakan bahasa Belanda ini memuat uraian deskriptif tentang kepurbakalaan yang ada di Desa Pejeng, Bedulu, Tampaksiring, dan sekitarnya. Ia mengemukakan bahwa tinggalan arkeologi yang tersebar di Bali merefleksikan nilai-nilai budaya agama Hindu. Buku ini mempunyai relevansi yang sangat penting terkait dengan penelitian ini karena di dalamnya menguraikan nilai historis situs Pura Tirta Empul. Tiga puluh satu tahun setelah terbit karya WF. Stutterheim itu, Bernet Kempers menerbitkan kitab Bali Purbakala (1960). Kitab ini juga memuat petunjuk singkat tentang kepurbakalaan di daerah Bali pada umumnya atau Gianyar khususnya. Beberapa kepurbakalaan di Kabupaten Gianyar yang mendapat perhatian dan disinggung dalam kitab itu antara lain : situs Gua Gajah, relief Yeh Pulu, Pura Kebo Edan, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Pengukur-ukuran, Candi Padas Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, Pura Bukit Dharma, Candi Padas Kelebutan, Candi Padas Krobokan, dan sebagainya. Tentang Pura Tirta Empul disinggung secara sepintas Prasasti Manukaya yang bertahun 844 Saka/962 Masehi yang berkaitan erat dengan sejarah pendirian Pura Tirta Empul. Prasasti Manukaya adalah prasasti pertama yang menyebut nama
22
Tirta Empul. Kitab ini berguna bagi peneliti untuk memahami sejauh mana kajiankajian terhadap Pura Tirta Empul telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli, sehingga penulis memperoleh data umum tentang situs tersebut. Pada tahun 1970-an, secara empirik terjadi perkembangan pariwisata di daerah Bali. Tidak dapat dimungkiri bahwasanya pariwisata mempunyai andil besar dalam laju pesat pertumbuhan ekonomi Bali dan terutama dalam pembenahan fisik yang semakin berkembang di pulau ini. Dengan kata lain, pariwisata merupakan solusi terbukti dari semakin progresif dinamisnya kehidupan sosial, seni dan budaya di Bali, tetapi di pihak lain pariwisata mendatangkan banyak kerugian, kegelisahan, kekhawatiran, dan bahkan ancaman bagi kelangsungan kebudayaan Bali. Terkait dengan kekhawatiran banyak orang
tentang dampak negatif
pariwisata terhadap kebudayaan Bali, reaksi keras pertama-tama muncul dari Willard Hanna, seorang warga Amerika Serikat pemerhati Asia Tenggara. Dalam artikelnya yang berjudul “Bali in the Seventies” (1972) dipaparkan tentang kerusakan atau polusi sosial budaya yang diakibatkan pariwisata Bali. Lebih jauh ia mengatakan bahwa meskipun pariwisata dapat sukses komersial” tetapi tragedi kemerosotan kebudayaan tak dapat dihindarkan. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Millau dua tahun kemudian. Begitu pemerintah Indonesia di zaman Orde Baru dengan gigih mengembangkan pariwisata Bali, kritik tajam muncul pada sebuah majalah Pariwisata “Pitie pour Bali” (1974). Majalah tersebut memperingatkan bahwa pariwisata siap menghancurkan keajaiban sebuah kebudayaan termurni yang pernah ada di dunia.
23
Kedua artikel tersebut dapat membantu penulis dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak negatif pariwisata terhadap kebudayaan. Pada tahun 1980-an, studi-studi mengenai dampak sosial budaya pariwisata serta seminar-seminar tentang hubungan antara pariwisata dan kebudayaan semakin sering dibicarakan. Froment (1981) dalam artikel majalah Pariwisata berjudul “Ferie a Bali” kembali mengingatkan bahwa Bali telah kehilangan nyawanya. Pulau indah dengan ribuan pura serta aneka upacara adat kini sudah tercemar. Sistem sosial keagamaan Bali yang luar biasa rumitnya itu sedang berada diambang kehancuran akibat dampak pariwisata seperti halnya artikel Hanna dan Millau. Artikel ini merupakan bahan masukan penting untuk memahami bagaimana pariwisata berdampak negatif terhadap kelestarian pusaka budaya. Berkaitan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan pusaka budaya, tulisan Cleere (1990) yang berjudul International the Rationale of Archeological Heritage Management perlu juga diperhatikan. Cleere berpendapat bahwa pusaka budaya harus dimanfaatkan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas serta berorientasi ke masa depan. Pusaka budaya sebagaimana sumberdaya lainnya adalah warisan untuk seluruh masyarakat sehingga pemanfaatannya perlu diketahui oleh masyarakat. Kepentingan masyarakat luas harus diutamakan dalam pengelolaannya, di samping juga memperhatikan keberlanjutan dari pusaka budaya tersebut agar dapat diwariskan kepada masyarakat. Pustaka ini bermanfaat dalam upaya memahami cara-cara pemanfaatan dan pelestarian pusaka budaya sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas.
24
Terkait dengan manajemen sumberdaya budaya, perlu juga disimak tesis S2 Drajat (1991) yang berjudul “Exploitative Management of the Archaeological Heritage Management in Indonesia”. Penelitian ini secara khusus menyoroti manajemen sumberdaya budaya terhadap tinggalan purbakala (arkeologi) di Indonesia. Ia mencatat bahwa pengelolaan sumberdaya budaya mencakup dua strategi yang bersifat dikotomis, yaitu antara pelestarian dan pemanfaatan. Dalam penerapannya kedua konsep tersebut sering menimbulkan konflik akibat perbedaan kepentingan dari berbagai pihak. Dampak konflik kepentingan itu adalah menurunnya kualitas sumberdaya budaya. Fenomena tersebut dapat dilihat pada pemanfaatan pusaka budaya sebagai objek pariwisata. Dari tesis ini penulis memperoleh informasi tentang model pengelolaan pusaka budaya sesuai dengan prisip-prinsip yang telah disepakati, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Terkait dengan keberadaan Pura Tirta Empul di Tampaksiring, hasil penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul ”Kemitraan Lembaga Adat dengan Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Studi Kasus di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar” (1999) Karya I Ketut Jaman perlu dicermati. Dari hasil kajiannya diperoleh informasi tentang bentuk kemitraan antara desa adat Manukaya dengan pemerintah Kabupaten Gianyar terkait dengan pembagian wilayah pengelolaan dan pembagian hasil retribusi melalui pariwisata. Tesis ini berguna sebagai referensi untuk mengetahui sejauh mana pusaka budaya Pura Tirta Empul memberi kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebuah artikel yang menyoroti hubungan antara kebudayaan dan pariwisata ditulis oleh Darma Putra (2002). Pada intinya artikel tersebut
25
memaparkan bagaimana Pemda Bali memutuskan untuk menetapkan konsep pariwisata budaya sebagai ideologi, roh, rambu-rambu atau solusi pengembangan pariwisata Bali. Di satu pihak pilihan itu merupakan solusi terbukti dari semakin progresifnya kehidupan sosial, seni, dan budaya di Bali, tetapi di pihak lain pariwisata mendatangkan banyak keraguan, kegelisahan, bahkan kecaman, bahwa pariwisata budaya sebagai polusi. Dampak positif dan negatif pariwisata terhadap kebudayaan Bali menjadi pengamatan yang tidak kalah penting dalam artikel yang berjudul “Pariwisata Budaya, Antara Polusi dan Solusi : Pengalaman Bali”. Dari artikel ini penulis memperoleh informasi tentang dampak positif negatif pariwisata terhadap kebudayaan suatu daerah,
sehingga artikel ini menjadi
penting dalam upaya memahami dampak pariwisata terhadap kebudayaan. Tentang ketahanan kebudayaan Bali akibat pengaruh pariwisata, tulisan Michel Picard (2006) yang berjudul Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata perlu juga diperhatikan. Peneliti yang bekerja di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Nasional Prancis ini melihat pariwisata sebagai pengembangan dari ekonomi moneter, memasarkan pemandangan dan hasil budaya serta mengubah kawasan menjadi produk pariwisata. Menurut Picard, dibalik kegiatan pemasaran, sesungguhnya berlangsung juga proses lain, yang menyangkut jati diri bangsa, serta bagaimana memahami dampak-dampak kongkrit dalam hal budaya dari pengembangan pariwisata pada masyarakat Bali. Buku ini sangat membantu penulis karena memberi banyak informasi tentang pariwisata, kebudayaan, serta tanggapan masyarakat Bali atas posisi kebudayaanya ketika berhadapan dengan pariwisata.
26
Terkait dengan dampak pariwisata terhadap kebudayaan, artikel yang berjudul “Industri Budaya Dalam Pariwisata Bali” karya Pitana (2006) sangat layak untuk diperhatikan. Menurut pakar pariwisata ini bahwa pariwisata budaya pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri budaya, karena dalam sistem pariwisata budaya, ada proses produksi, pengemasan, distribusi, presentasi dan konsumsi. Selanjutnya dikatakan bahwa pariwisata dengan industrialisasi budayanya merupakan “musuh” dalam pelestarian budaya dan sebaliknya pariwisata juga merupakan wahana yang sangat baik dalam pelestarian kebudayaan. Artikel ini sangat penting karena telah memberi pemahaman baru tentang hubungan pariwisata dengan industri budaya. Sebuah buku yang relatif berhubungan dengan penelitian ini adalah Pusaka Budaya dan Pariwisata karya Ardika (2007). Buku tersebut menyangkut isu betapa pusaka budaya yang berbentuk tinggalan-tinggalan arkeologi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan pariwisata. Komponen budaya dijadikan sebagai produk untuk dikonsumsi oleh para wisatawan. Komponen budaya yang dimaksud antara lain (1) situs arkeologi dan museum, (2) arsitektur, (3) seni (art), patung, kerajinan, festival budaya, (4) musik dan tari, (5) drama (teater, film), (6) bahasa dan sastra, (7) upacara agama, dan (8) budaya tradisional (Richards, 1999 : 22 ; Ardika, 2004 : 23). Buku ini menjadi penting dalam kaitannya dengan penelitian ini, karena di dalamnya memaparkan betapa tinggalan arkeologi mempunyai peranan penting dalam upaya pengembangan pariwisata budaya di daerah Bali.
27
Tentang isu globalisasi, meskipun tidak secara khusus membahas secara mendalam, buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan tulisan Irwan Abdullah (2007) perlu juga disebutkan di sini. Menurut Abdullah, globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Perbedaan-perbedaan cara hidup telah melahirkan proses individualisasi yang meluas dan menjauhkan manusia dari konteks generalnya. Selanjutnya dikatakan bahwa sejalan dengan arus komunikasi yang canggih, unsur-unsur kebudayaan (baca kebudayaan Bali) bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah dapat ditemukan diberbagai tempat di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Ekspansi pasar melalui teknologi telah mempengaruhi pembentukan praktik, nilai dan ide-ide baru dalam kehidupan sosial. Buku ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam upaya memahami konsep globalisasi dalam kaitannya dengan kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini. Dari beberapa kajian pustaka tersebut di atas menunjukkan bahwa belum ada penelitian kajian budaya tentang komodifikasi Pura Tirta Empul sebagaimana penelitian ini. Penelusuran pustaka seperti yang sudah disebutkan di atas sudah jelas berbeda paradigma dengan substansi penelitian ini, baik secara ontologi, yaitu hubungan setema dengan penelitian maupun secara epistemologi, yaitu yang terkait dengan konsep, teori, model, termasuk kaitannya dengan aksiologi, yaitu
28
tujuan dan manfaat penelitian. Dengan demikian kiranya cukup jelas bahwa masalah tersebut masih menunggu penelitian yang seksama. 2.2
Konsep Konsep sebagai alat analisis merupakan konstruksi terhadap gejala
sesuatu sehingga konsep merupakan gambaran pikiran tentang sesuatu. Alwi (2002 : 588) mengartikan konsep sebagai proses atau upaya akal budi untuk memahami sesuatu objek, keadaan, atau benda. Dengan demikian konsep adalah semacam konstruksi pikiran (ide) tentang segala sesuatu. Dengan kata lain, konsep adalah suatu abstraksi yang digunakan oleh peneliti untuk membangun proposisi yang diharapkan dapat menerangkan sesuatu fenomena. Untuk itu penelitian ini akan dikemukakan tiga satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep komodifikasi,
pusaka budaya Pura Tirta Empul, dan konteks
pariwisata global. 2.2.1
Komodifikasi Komodifikasi
adalah
sebuah
proses
menjadikan
sesuatu
yang
sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi (Piliang, 2004 : 21). Dengan kata lain, komodifikasi secara umum adalah menjadikan sesuatu yang pada awalnya bukan dagangan menjadi produk yang dapat dijual-belikan. Komodifikasi diasosiasikan dengan kapitalisme yang mengubah objek dan tandatanda sehingga menjadi komoditas yang layak untuk dijual (Barker, 2005 : 517). Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang semata. Komodifikasi menyangkut
29
seluruh bidang ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairlough, 1995 : 2007). Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use value), tetapi untuk mencari nilai tukar (exchange value). Proses komodifikasi, yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar, merupakan satu bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme (Adorno, 1991 : 27). Komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumer, tetapi telah merambat pada bidang kebudayaan. Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme pada kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum komoditi kapitalisme. Masyarakat seperti itu hanya menghasilkan kebudayaan industri (culture industry), yaitu satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berorientasi pada mekanisme pasar. Komodifikasi merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan, tetapi permasalahan bagaimana barangbarang tersebut diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi
termasuk juga di
dalamnya. Dalam kaitannya dengan komodifikasi Pura Tirta Empul, pada awalnya pusaka budaya ini bukan dibuat untuk tujuan komersial, melainkan sebagai tempat suci untuk memuja kebesaran/keagungan Tuhan dengan segala manifestasinya. Pengaruh globalisasi dan westernisasi menyebabkan fungsi Pura Tirta Empul juga
30
mengarah ke fungsi lain yang bertendensi ekonomi.
Proses komodifikasi
dimainkan oleh pengusaha dan berelasi dengan pemerintah daerah dalam memproduksi dan mendistribusi Pura Tirta Empul termasuk kepentingan masyarakat pendukung budaya. Pada dewasa ini Pura Tirta Empul yang dulunya tidak dikomersialkan mengalami komodifikasi karena dikembangkan untuk tujuan tertentu, yaitu dijadikan daya tarik untuk kepentingan pariwisata. Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan komodifikasi dalam penelitian ini adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan merupakan benda komoditas, tetapi kini menjadi komoditas berupa situs Pura Tirta Empul beserta lingkungannya yang dibuat, ditata, dikembangkan, serta dimanfaatkan di samping sebagai tempat suci juga untuk kepentingan pariwisata demi meningkatnya kesejahteraan hidup masyarakat Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar. 2.2.2
Pusaka Budaya Pura Tirta Empul Pusaka budaya Pura Tirta Empul sebagai salah satu produk budaya, lahir
dari proses perjalanan sejarah. Pusaka budaya sebagai salah satu representasi identitas etnis selalu bersinggungan dengan kekuasaan, yang kemudian terkait dengan kepentingan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pusaka budaya Pura Tirta Empul yang muncul sebagai daya tarik wisata menjadi potensi besar dalam menarik kunjungan wisatawan di Tampaksiring Gianyar. Keberadaan Pura Tirta Empul dengan lokasi yang strategis ternyata membawa manfaat besar bagi masyarakat Desa Manukaya dan Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar.
31
Pusaka budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 712) diartikan dengan harta benda peninggalan leluhur yang tidak boleh dijual. Pusaka budaya merupakan khasanah bermakna bagi segala macam upaya berkaitan dengan kebudayaan, pengembangannya, perlindungannya, maupun pemanfaatannya. Pusaka budaya pada dasarnya dapat berupa karya-karya budaya yang mempunyai nilai luhur dalam suatu masyarakat (Sedyawati, 2002 : 10). Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai pusaka budaya dunia terkait dengan perlindungan pusaka budaya menjelaskan cakupan pusaka budaya sebagai (1) monumen (monuments), (2) kelompok bangunan (group of building), dan (3) situs (sites) (Nuryanti, 1996 : 251). Kecenderungan pariwisata global menunjukkan bahwa pusaka budaya menjadi salah satu daya tarik wisata. Hal ini dilandasi oleh pemikiran posmodernisme bahwa wisatawan ingin menikmati pusaka budaya dianggap asli atau autentik. Upaya untuk memahami pusaka budaya tidak hanya dilakukan dalam wilayah negara sendiri, tetapi juga secara lintas negara. Pusaka budaya sering dimanfaatkan sebagai modal dalam pengembangan pariwisata budaya (Ardika, 2006 : 160). Di antara pusaka budaya tersebut ada yang dilindungi oleh Undang-undang, oleh karena itu disebut “benda cagar budaya” (Sedyawati, 2008: 207). Sementara itu, mengenai Pura Tirta Empul dapat diuraikan sebagai berikut. Konsep pura dalam penelitian ini berarti tempat beribadah atau bersembahyang bagi umat Hindu Dharma (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 711). Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 1978 : 460)
32
pura diartikan sebagai tempat suci umat Hindu Dharma. Dalam konteks ini pura berfungsi sebagai tempat untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya (para Dewa) dan roh suci leluhur yang telah menyatu dengan-Nya. Kata tirta berarti ”air suci” dalam rangka upacara agama bagi umat Hindu, dan kata empul berarti ”sumber (mata) air yang menyembul dari dalam tanah. Pura Tirta Empul sebagaimana namanya adalah sebuah tempat suci umat Hindu yang terletak di Desa Manukaya yang mempunyai sumber mata air yang sangat jernih dan dengan debit air yang cukup tinggi. Mata air ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumber kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan, kemakmuran, dan menghilangkan berbagai penyakit karena terkena kekuatan magis. Dalam konteks penelitian ini, objek penelitian Pura Tirta Empul yang dimaksud adalah areal Pura Tirta Empul yang terdiri atas Pura Tirta Empul dengan tiga halaman (dalam, tengah, luar), pertamanan di depan pura, kios-kios yang menjual cenderamata yang berada di bagian paling selatan pura, serta tempat parkir kendaraan bagi para pengunjung. 2.2.3
Konteks Pariwisata Global Terkait dengan konsep ”konteks pariwisata global” dapat dijelaskan
sebagai berikut. Kata konteks pada hakikatnya berarti situasi yang ada hubungannya dengan sesuatu kejadian (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988 : 458). Sementara itu, tentang pariwisata berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Namun demikian definisi pariwisata belum ada yang diterima secara universal, karena hal itu sangat tergantung dari cara pandang
33
terhadap pariwisata itu sendiri. Ada tiga pengertian yang sering digunakan, yaitu (1) pariwisata sebagai industri yang ditunjukkan oleh adanya keterlibatan berbagai usaha, lembaga, dan manusia yang saling berkompetisi dalam menghasilkan barang dan jasa, (2) sebagai aktivitas, meliputi hubungan berbagai usaha yang mengakomodasi kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan perjalanan dalam skala regional, nasional, maupun internasional di luar tempat tinggalnya, dan (3) pariwisata sebagai suatu sistem yang mencakup berbagai subsistem yang saling mempengaruhi perjalanan manusia, dari mulai tempat tinggalnya, ke tempat tujuan, hingga kembali ke tempat tinggalnya (Cooper, dkk., 1996 : 2-3).Menurut Richard (1997 : 20) pariwisata adalah : ”the temporary short-term movement of people to destivation outside the place where they normaly live and work, and activities during their stay at these destination : it includes movement for all purposes, as well as day visits and excursions”. Hal itu menegaskan bahwa wisatawan bermaksud bersenang-senang mencari sesuatu yang berbeda serta tidak menetap, namun kembali lagi ke tempat asalnya. Kehadirannya para imigran ke suatu tempat dilakukan untuk sementara waktu, tidak untuk tujuan menetap dan mencari pekerjaan, tetapi semata-mata sebagai konsumen untuk menikmati dan memenuhi kebutuhannya. Pariwisata mencakup pergerakan manusia dari tempat tinggalnya ke tempat lain, perjalanan bersifat sementara, dan dilakukan untuk berbagai tujuan, kecuali menetap dan bekerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 649) disebutkan
pariwisata
berhubungan
dengan
perjalanan
untuk
rekreasi,
pelancongan, dan turisme. Pariwisata menyangkut berbagai macam kegiatan
34
wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pemerintah, dan pengusaha. Dari beberapa keterangan tersebut di atas, kiranya dapat difahami bahwa pariwisata pada hakikatnya adalah menyangkut pergerakan/perpindahan orang dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan sesuatu yang berbeda. Dengan kata lain, pariwisata menyangkut proses bepergian seseorang
atau kelompok
orang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya untuk sementara waktu dengan tujuan bersenang-senang mencari kepuasan dan tidak untuk tujuan bekerja yang mendapatkan penghasilan. Dorongan kepergiannya menurut Ardika (2007 : 105) adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, budaya, politik, agama, maupun kepentingan lain, seperti karena sekedar ingin tahu, menambah pengalaman, atau untuk belajar. Kata global memiliki makna universal yang dapat berarti sedunia, sejagat. Konsep global melahirkan konsep-konsep, seperti konsep kepentingan bersama (common interest), warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), dan kerjasama (cooperation) untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama (Putra, 1998 : 2). Dari kata global berkembang kata globalisasi yaitu sebuah istilah
yang
memiliki
hubungan
dengan
peningkatan
keterkaitan
dan
ketergantungan antarbangsa, antarmanusia, di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain, sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Globalisasi memiliki pengertian yang dapat dijabarkan berawal dari kata “global” yang maknanya ialah universal. Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali
35
sekedar definisi kerja, sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh negara di dunia semakin terikat satu sama lain dengan mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan meningkatkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang di usung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara miskin semakin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain, seperti budaya dan agama. Isu globalisasi dewasa ini semakin ramai diperbincangkan oleh para ilmuwan, khususnya ilmuwan sosial. Hal ini disebabkan karena kecenderungan historis yang sangat menonjol di era modern ini adalah perubahan menuju globalisasi. Seiring dengan akselerasi kekuatan arus globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya, maka semakin kuat pula intensitas daya pengaruhnya. Hampir tidak ada wilayah negara pada dewasa ini yang luput dari pengaruh proses tersebut. Kemajuan bidang komunikasi merupakan salah satu faktor penting bagi pencapaian percepatan, perluasan, dan pengintensifan pengaruh globalisasi yang melanda hampir semua negara di dunia (Astra, 2004
: 107). Masyarakat di
36
seluruh dunia menjadi saling bergantung di semua aspek kehidupan, terutama kehidupan politik, ekonomi, dan kultural (Sztompka, 2007 : 102). Globalisasi telah menimbulkan proses perkembangan kehidupan manusia dan menjadikan seluruh kehidupan di muka bumi ini terkesan menyatu tanpa batas-batas yang jelas. Proses globalisasi diikuti oleh adanya kemajuan dalam berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi, dan komunikasi. Kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan itu telah menimbulkan transformasi sosial dan merombak tata kehidupan masyarakat yang dilanda, termasuk di dalamnya masyarakat Bali. Globalisasi merupakan hasil interaksi antara konsep global dengan konsep-konsep
liberalisme yang berkembang bersamaan dengan liberalisasi
perdagangan dunia. Interaksi kedua konsep ini melahirkan konsep liberalisasi, nondiskriminasi, persaingan bebas, jujur dan terbuka, serta pengabaian batas-batas negara atau globalisasi. Hasil interaksi ini juga melahirkan persyaratanpersyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap orang, masyarakat, dan negara, yaitu kemampuan individual, kemampuan kerjasama, kemampuan bersaing, jujur, dan nondiskriminasi. Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia. 1.
Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan
barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya.
37
2.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda
menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional dan peningkatan pengaruh perusahaan multi nasional. 3.
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media
massa (terutama televisi, film, musik) saat ini, dan kita mendapat pengalaman baru tentang hal-hal yang melintas beraneka ragam budaya. 4.
Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang
lingkungan hidup, krisis multi nasional, inflasi regional dan lain-lain (Giddens, 2003 : 18-19). Proses globalisasi ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam (Featherstone, 1991 : 36). Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respons tepat, karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan kekayaan bagi berbagai kelompok dan masyarakat. Proses ini telah membawa “pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tata nonsosial. Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas, sekaligus mengaburkan batas-batas sosial budaya (Appadurai, 1996 : 71-78). Sementara itu, globalisasi kultur juga terjadi benturan-benturan ketika peradaban Barat merasuk ke dalam kultur pribumi di kawasan jajahan mereka.
38
Pada periode belakangan ini kultur pada skala global umumnya ditampilkan melalui media massa terutama melalui TV. Imperialisme media makin lama mengubah dunia menjadi “dusun global” yang mana lingkup pengalaman kultural dan produknya pada dasarnya adalah sama. Akhirnya, kultur tradisional muncul dalam batas komunitas, terpaku pada ruang dan waktu, sedangkan kultur modern melintasi jarak ruang dan waktu melalui teknologi komunikasi dan transportasi tanpa terikat pada ruang dan waktu (Adullah, 2007 : 55-56). Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada dalam masyarakat, termasuk di antaranya aspek budaya. Berkembangnya globalisasi kebudayaan dicirikan oleh hal-hal berikut, yaitu (1) berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, (2) penyebaran prinsip multi kebudayaan, (3) berkembangnya pariwisata, (4) berkembangnya mode yang berskala global, dan (5) bertambah banyaknya peristiwa-peristiwa berskala global. Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri. Hampir tidak ada satu masyarakat pun yang terbebas sepenuhnya dari pengaruh globalisasi yang semakin kuat sejalan dengan perbaikan transportasi dan teknologi komunikasi. Kapitalisme telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang mengarah pada pembentukan status dan kelas tertentu.
39
Dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan konteks pariwisata global dalam penelitian ini adalah situasi yang ada hubungannya dengan mendunianya pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain untuk bersenang-senang, mencari suatu yang baru, sehingga terjadi proses penyatuan, kesalingberkaitan, dan kesalingterhubungkan antarmanusia di seluruh dunia. 2.3
Landasan Teori Kebudayaan Bali dalam dua dekade ini telah memperlihatkan suatu
dinamika dan perubahan yang sangat pesat. Pendorong utama dari perubahan ini adalah fenomena internal dan eksternal yang sangat berpengaruh dalam menstraformasi struktur masyarakat yang semula bersifat agraris kini beralih menuju masyarakat industri dan jasa. Adanya berbagai pengaruh, baik secara intern maupun secara ekstern Pura Tirta Empul sebagai produk budaya tradisi sudah terkomodifikasi bentuk, fungsi, dan maknanya. Berdasarkan asumsi dan rumusan masalah, akan dirujuk beberapa teori yang diharapkan mampu membangun berangka analisis atas data yang dikumpulkan sesuai dengan karakteristik kajian budaya. Untuk memahami permasalahan yang diteliti, penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kajian budaya (culture studies). Kajian budaya merupakan bidang penelitian interdisipliner yang mempelajari produksi dan petapeta makna, serta menaruh perhatian pada isu-isu kekuasaan dalam praktik pemaknaan formasi-formasi kehidupan manusia (Barker, 2005 : 515). Fokus kajian budaya sesungguhnya terletak pada persoalan bagaimana budaya
40
dipraktikkan atau bagaimana praktik budaya memungkinkan berbagai budaya dan kelas berjuang melawan dominasi kebudayaan. Cultural studies secara konsisten menaruh perhatian pada masalah isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan akan perubahan sosial. Kebudayaan yang menjadi ontologi kajian budaya mempunyai pengertian yang berbeda dengan pemahaman umum. Kebudayaan dalam kajian budaya adalah kebudayaan dalam arti luas yang terkait dengan isu-isu politik, sosial, dan ideologis. Kebudayaan dalam kajian budaya merupakan suatu ajang pertikaian ideologi. Dengan kata lain,
kebudayaan dalam kajian budaya
didefinisikan secara politis daripada secara estetis. Obyek penelitian kajian budaya bukanlah kebudayaan dalam pengertian sempit, tetapi kebudayaan sebagai teks-teks dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari (Storey, 1996 : 2-3). Untuk mendapatkan hasil penelitian sesuai dengan yang diharapkan, penelitian ini menggunakan teori-teori kritis yang tergolong posmodern. Teoriteori
sebelumnya
(tradisional
dan
modern)
dianggap
gagal
mencapai
emansipatoris dalam rangka menjelaskan perkembangan masyarakat kontemporer, dianggap bersifat tertutup, tidak kritis, dan terlalu berputar-putar pada prinsipprinsip umum. Teori-teori kritis menawarkan suatu ciri dan karakter yang berbeda, yakni (1) curiga dan kritis terhadap masyarakat, (2) berpikir secara historis, dan (3) menelaah kontradiksi-kontradiksi secara totalitas (Sindhunata, 1983 : 80-84). Teori kritis berlawanan dengan pandangan positivisme yang menyatakan bahwa sains harus menjelaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori kritis
41
percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historis, yaitu terus mengalami perubahan. Peran teori kritis bersifat politis karena berpartisipasi dalam mendorong perubahan sosial. Selanjutnya, teori kritis
berpandangan bahwa
dominasi bersifat struktural, yakni kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial seperti politik, ekonomi, budaya, diskursus, gender, dan ras. Teori ini mengungkap struktur untuk membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. Pada level ini, teori kritis berkeyakinan bahwa struktur dominasi direproduksi melalui kesadaran palsu manusia,dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida) (Agger, 2007 : 7-9). Teori kritis mencoba mengungkap kesadaran palsu tersebut dan meyakini adanya kemampuan untuk mengubahnya. Perubahan itu dapat dilakukan dari diri sendiri, keluarga, dan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang struktur dapat dijadikan dasar untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil. Manusia bertanggung jawab atas kebebasannya dan berkewajiban untuk mencegah agar tidak terjadi penindasan antarsesama. Teori kritis menolak pragmatisme revolusioner
karena kebebasan dan keadilan tidak boleh diraih
dengan mengorbankan kebebasan (Lubis, 2006 : 63). Teori Mazhab Frankfurt merupakan salah satu teori yang memberikan pengaruh sangat luas terhadap kajian budaya kontemporer. Ide-ide teori kritis berpengaruh pada praksis yang bertujuan melawan kemiskinan dunia, kehidupan yang ditimbulkan oleh rasionalitas sistem dunia, dan kehidupan sebagai akibat
42
dominasi rasionalitas instrumental. Ada empat teori yang dipakai untuk membedah permasalahan dalam penelitian ini, yaitu teori komodifikasi, hegemoni, dekonstruksi, dan teori semiotika. 2.3.1
Teori Komodifikasi Arus globalisasi telah melanda kehidupan manusia di seluruh penjuru
dunia, baik di bidang politik,
ekonomi, dan budaya. Globalisasi politik dan
ekonomi tampak dari fenomena semakin meluasnya pengaruh penetrasi sistem organisasi modern yang menembus sekat-sekat negara, sedangkan globalisasi pada level budaya mengacu pada persebaran prinsip-prinsip hidup modern, seperti rasionalisasi, komersialisasi, dan konsumerisme (Triono, 1996 : 136). Globalisasi budaya sangat sulit dikontrol lebih-lebih adanya kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang memudahkan kontak antarmanusia secara intensif. Sebagai akibat dari kecendrungan itu maka terjadi apa yang disebut sebagai “universalisme budaya”, di mana wajah budaya dunia dipandang menuju ke satu arah, yaitu homogenisasi budaya modernitas dan memudarnya magis serta tradisi lokal. Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalis atau membela kepentingan modal dapat menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar (Barker, 2005 : 517). Komoditas dipahami sebagai suatu hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata lain, komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Akibat ekonomi uang yang
43
berdasarkan
atas
spirit
menciptakan
keuntungan
sebanyak-banyaknya
mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor kehidupan. Orientasi pencarian keuntungan pada masyarakat kapitalis menyebabkan terciptanya produk-produk beragam dan luas. Akhirnya pada masyarakat pascamodern komoditi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan dan ranah kebudayaan (Lury, 1998 : 64). Gejala ini oleh penganut postrukturalis disebut sebagai “merkantilisme”, yaitu berubahnya status segala wacana, termasuk pengetahuan, pendidikan, dan informasi menjadi komoditi (Piliang, 2006 : 296). Fenomena demikian menjadikan komoditas tidak semata-mata terhenti pada nilai tukar (exchange value) dan nilai guna (use value), namun sudah sampai ke nilai tanda (sign value) (Baudrillard, 1981 : 18). Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas tentang barang yang diperjualbelikan. Permasalahan bagaimana barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi juga termasuk di dalamnya. Komodifikasi bukan merupakan suatu proses baru, tetapi saat ini telah memperoleh kekuatan sebagai suatu aspek kebudayaan perusahaan. Komodifikasi di berbagai dimensi kehidupan ini telah melahirkan masyarakat komoditas (commodity society). Dalam hubungan ini Ibrahim (1997 : 24-25) memerinci masyarakat komoditas sebagai berikut. Masyarakat komoditas memiliki empat ciri, yaitu (1) suatu masyarakat komoditas adalah masyarakat yang menampakkan produksi barang-barang bukan demi kebutuhan semata, tetapi kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental ; (2) dalam masyarakat komoditas muncul kecenderungan ke arah konsentrasi kapital luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa ; (3) masyarakat komoditas sarat dengan antagonisme sebagai akibat hubungan produksi yang terus membelenggu kekuatan produksi yang ada, dan (4) meningkatnya
44
tuntutan terus menerus sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat melalui sarana yang tersedia. Komodifikasi sudah merambah ke seluruh sektor pariwisata dan sistem kapitalis. Dalam dunia pariwisata, komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah menyentuh langsung pada makna-makna kebudayaan, lebih-lebih ketika melibatkan atau memanfaatkan simbol-simbol, ikon-ikon seni, budaya, dan agama. Dengan penggunaan teknologi media, komodifikasi sudah menjadi suatu ritual usaha ekonomi. Fenomena merebaknya industri kebudayaan untuk publik seperti menjamurnya majalah populer, televisi swasta, kawasan wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern menempatkan Bali sebagai masyarakat komoditas (Darmadi, 2006 : 67 – 68). Dalam pengembangan pariwisata yang memanfaatkan pusaka budaya atau tinggalan arkeologi (artefak, fitur, situs) harus digarisbawahi bahwa pariwisata pusaka budaya merupakan manifestasi dari komodifikasi kebudayaan (comodification of culture). Hancurnya atau hilangnya batas-batas antara kebudayaan dan ekonomi adalah sebagai sebuah penanda penting posmodernitas (Richards, 1996 : 262 – 263). Perlu dikemukakan bahwa komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh para pelaku ekonomi, seperti pemodal pariwisata, masyarakat lokal pun berpotensi dan bahkan sering melakukannya. Dewasa ini sebagian masyarakat telah mengalami gejala touristifikasi dan menjadi “touristic society”. Proses touristifikasi mempunyai dampak yang sangat
tinggi
terhadap
eksistensi
kebudayaan
lokal
dan
mampu
mentransformasikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Banyak kalangan khawatir dengan touristifikasi ini, karena akan dapat mengubah inti kebudayaan,
45
terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, serta hilangnya bentukbentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat (Pitana, 2006 : 260). Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah mengalami erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan, tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri, terjadinya komodifikasi terhadap kebudayaan, terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian, dan profanisasi kegiatan ritual atau tempat suci. Beberapa studi kasus telah dilakukan oleh sejumlah peneliti mengenai proses komodifikasi terhadap komponen budaya dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata. Menurut Ardika (2008 : 4-5) komodifikasi pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan keinginan masyarakat, seniman, perajin, dan faktor eksternal karena permintaan konsumen, selera pasar, pariwisata, dan kondisi ekonomi. Berbagai barang kerajinan dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi selera pasar atau wisatawan. Namun, tanpa disadari bahwa budaya, khususnya barang-barang kerajinan dan benda-benda seni, dibuat sesuai dengan pesanan wisatawan tanpa memperhatikan jatidiri budaya setempat. Kenyataan ini perlu diantisipasi agar budaya tidak kehilangan jatidirinya yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual agama Hindu. Globalisasi telah menjadi kekuatan besar pada dewasa ini. Pasar dalam hal ini muncul sebagai kekuatan dalam membangun dunia kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pasar menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan
46
tatanan sosial. Pasar telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas batasbatas sosial budaya. Pasar sekaligus menguburkan batas-batas itu akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat (Appadurai, 1994 : 49). Teori komodifikasi dikaitkan dengan industri pariwisata, relasinya dengan kebutuhan untuk mengonsumsi suatu produk kebudayaan adalah sebagai trend global yang sedang berkembang dewasa ini. Hal semacam ini tidak bisa ditolak dan tentu saja mengarah pada komodifikasi kebudayaan sejalan dengan pelayanan jasa yang ditawarkan oleh industri pariwisata dengan menjual produk kebudayaan tersebut. Oleh Picard (2006 : 164) disebut turistifikasi, yaitu suatu budaya dan masyarakat dijadikan sebagai produk pariwisata. Dalam penelitian ini teori komodifikasi diposisikan sebagai teori payung dan digunakan sebagai landasan kajian untuk membedah rumusan masalah yang telah ditetapkan. 2.3.2
Teori Hegemoni Teori hegemoni (hegemony) dari Antonio Gramsci (1891 – 1937)
menduduki posisi sentral dan sangat penting dalam kaitannya dengan kajian budaya. Konsep hegemoni dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis Ortodok. Hegemoni mencakup sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya kelompok-kelompok penguasa menjalankan atau melestarikan kekuasaannya atas masyarakat melalui konsensus terhadap pihakpihak yang didominasi. Gramsci (1971) menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu pada cara kelompok dominan dalam masyarakat mendapat dukungan dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral.
47
Gramsci menyoroti persoalan baru yang sebelumnya tidak dipikirkan oleh pemikir Marxisme. Integritas intelektual kaum filsuf adalah persoalan yang muncul secara orisinal dalam pengalaman politik di Italia di bawah rezim fasis Mussolini. Dalam hubungan ini Simon (2004 : xv-xvi) menulis sebagai berikut. ”Dalam realitas sosial yang dianalisis Gramsci menunjukkan bahwa formasi sosial kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan politik rezim fasisme Mussolini ternyata tidak secara otomatis melahirkan revolusi sosial, malah muncul gejala menguatnya “deproletarisasi”, di mana para buruh rela dan “concern” menerima penderitaan, bahkan mendukung keberadaan rezim Mussolini. Pengalaman penyerahan ideologi dan budaya kaum tertindas terhadap golongan yang menindas ini menarik perhatian Gramsci, dan reaksi intelektual atas kejadian itu, Gramsci mencetuskan teorinya tentang hegemoni. Teori ini pada dasarnya menjadi antitesa terhadap model perubahan sosial yang sangat positivistik dalam teori Marxisme saat itu”. Hal-hal yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemikiran Gramsci berpengaruh besar terhadap penyadaran kritis. Beberapa pemikirannya mengenai civil society, counter hegemony dan terutama konsepnya mengenai war of position telah mendorong munculnya gerakan tandingan terhadap hegemoni dominan. Dalam karya terpentingnya, Prison Notebooks (1929-1933), Gramsci mematahkan tesis utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan tidak selamanya berakhir pada kepentingan ekonomis belaka, melainkan juga karena akar-akar kebudayaan dan politis. Ideologi memegang peranan penting dalam teori hegemoni. Sebagaimana postrukturalisme yang bermaksud menanggulangi kelemahan strukturalisme, teori hegemoni bertujuan merevisi kelemahan konsepkonsep marxisme, seperti perkembangan politik dianggap sebagai akibat langsung perkembangan ekonomi. Meskipun demikian, sesuai dengan paradigmanya, cultural studies melangkah lebih jauh, di satu pihak dengan menempatkan
48
kebudayaan sebagai titik pusat pembicaraan dalam memperjuangkan kepentingan kelompok, di pihak lain bagaimana kebudayaan memberikan bentuk historis pada struktur sosial. Sebagaimana ciri-ciri aliran Marxis pada umumnya, hegemoni Gramsci sesungguhnya mengandung ide-ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan sosial secara radikal dan revolusioner (Ratna, 2005 : 185). Pluralisme multikultural dan budaya marginal yang menjadi isu pokok dalam cultural studies, pada dasarnya telah terkandung dalam gagasan Gramsci. Teori hegemoni Gramsci secara tidak langsung menolak reduksi manusia, termasuk narasi kecil, menolak konsep-konsep yang menjunjung tinggi kebenaran mutlak, baik yang terkandung dalam aliran Marxisme maupun nonmarxisme. Hegemoni menurut Gramsci tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi antarkelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas. Konsep hegemoni tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan, akan tetapi yang lebih penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral. Menurut Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik, yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas. Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip hegemoni. Makna (meaning) dan nilai-nilai (value) dominan yang dihasilkan lewat berbagai media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial itu sendiri (Piliang, 2009 : 136).
49
Dengan mengacu para pakar yang membahas gagasan Gramsci, misalnya, Simon (2004 : 21-22), Fakih (2002 : 64) bahwa kelas berkuasa selalu berkeinginan memertahankan kekuasaannya dengan cara dominasi maupun hegemoni. Dominasi adalah kontrol sosial eksternal dengan menggunakan hukuman dan ganjaran, bahkan bisa juga kekerasan, sedangkan hegemoni merupakan kontrol sosial internal dengan membentuk keyakinan pada norma yang berlaku. Pemertahanan kekuasaan acap kali tidak bisa hanya mengandalkan pada dominasi, melainkan harus disertai dengan hegemoni. Jika hegemoni berhasil, maka peluang bagi pemertahanan kekuasaan menjadi lebih mudah. Dengan mengikuti gagasan Gramsci (dalam Sugiono, 1999 : 17) dalam hubungan yang hegemonik, kelompok berkuasa mendapatkan persetujuan kelompok subordinat atas subordinasinya. Kelompok berkuasa yakin dalam hal ini Pemda Gianyar beserta jajarannya tidak ditentang oleh kelompok yang dikuasai, yakni masyarakat Desa Adat Manukaya, karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat, maka ideologi, kultur, nilai norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi. ”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya politis, kultural, dan inetelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti bahwa kelompok penguasa harus ”menguniversalkan” pandangan dan kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan kepentingan itu tidak hanya bisa, tetapi juga harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok subordinat” (Sugiono, 1999 : 41).
50
Pencapaian sasaran ini memerlukan berbagai cara, misalnya melalui lembaga-lembaga masyarakat yang menentukan secara langsung maupun tidak langsung struktur-struktur kognitif dan efektif masyarakat. Hegemoni
sebagai
kekuasaan
berdasarkan
konsensus
telah
mempengaruhi struktur-struktur kognitif yang dikuasai. Pihak-pihak yang di hegemoni menerima gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok penghegemoni tidak karena dipaksa atau dibujuk, tetapi karena mereka sendiri memiliki alasan-alasan tertentu untuk menerimanya. Dengan kata lain, proses hegemoni terjadi jika cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran masyarakat kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup kelompok elite yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Dalam hegemoni, konsensus dibuat oleh para penghegemoni tetapi konsensus tersebut dibuat
berdasarkan
kepentingan-kepentingan
yang
terhegemoni.
Dengan
demikian, hegemoni kelihatan mengekspresikan apa-apa yang menjadi keinginan yang terhegemoni tersebut. Hegemoni bukanlah dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan pendekatan kepemimpinan politik dan ideologi (Simon, 2004 : 38). Terkait teori hegemoni, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu bahasa, pendapat umum, dan folklor. Bahasa merupakan sarana yang sangat penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyebaran konsep-konsep ideologi tertentu. Makin luas dan makin banyak penguasaan bahasa, maka makin mudah penyebaran ideologi yang dapat dilakukan. Sementara itu, pendapat umum meskipun tidak sistematis dan bersifat kolektif, tetapi memiliki sifat pervasif yang
51
cukup kuat. Pendapat umum telah menjadi arena penting dalam pertarungan ideologi serta berfungsi untuk melawan ideologi. Sedangkan folklor yang pada umumnya terkait dengan sistem kepercayaan, opini, dan takyul juga berperanan dalam menopang hegemoni, karena dalam folklor tersembunyi kekuatan yang berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan (Ratna, 2005 : 188). Lebihlebih hegemoni didukung oleh kaum intelektual yang secara terus menerus menyokong, mengembangkan, dan menyebarkan ideologi hegemoni penguasa. Dalam setiap masyarakat kelompok intelektual memegang peranan penting. Berbeda dengan pendapat umum yang biasanya memberikan ciri kepada kemampuan rasio, Gramsci lebih banyak melihatnya melalui posisinya dalam kelas sosial. Dengan demikian, pada dasarnya hegemoni tidak dipaksakan dari atas, tidak berkembang secara bebas, tidak disengaja, tetapi hegemoni diperoleh melalui negosiasi dan kesepakatan. Hegemoni sebagai sarana maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat melestarikan dominasinya melalui persetujuan sepontan
kelompok-kelompok
subordinat.
Melalui
penciptaan
negosiasi
konsensus politik maupun ideologis kemudian menyusup ke dalam kelompokkelompok dominan maupun yang didominasi. Konsep hegemoni mengandung pengertian bahwa kelas politik tersebut telah berhasil membujuk kelas-kelas lain dalam masyarakat untuk menerima nilai-nilai moral, politik, maupun kulturalnya. Kelompok-kelompok
subordinat
menerima
gagasan,
nilai-nilai,
maupun
kepemimpinan kelompok dominan tersebut bukan disebabkan secara fisik atau mental diindoktrinasi secara ideologis, melainkan karena mereka punya alasan-
52
alasan tersendiri. Kebudayaan yang dibangun dengan hegemoni ini akan mengekspresikan
kepentingan-kepentingan
kelompok-kelompok
subordinat
tersebut. Hegemoni bukanlah suatu perintah fungsional kapitalisme, melainkan merupakan sekumpulan gagasan konsensus yang membentuk kelas maupun konflik-konflik sosial lainnya. Dengan menggunakan kerangka hegemoni tersebut, semakin setuju pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin berhasil hegemoni yang terjadi. Dalam hal ini ide-ide yang dijalankan dalam kekuasaan tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari yang dikuasai dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan segi-segi politik. Teori hegemoni relevan digunakan untuk menganalisis bentuk hegemoni pemerintah (Kabupaten Gianyar) dalam aktivitas komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata budaya. Melalui lembaga Diparda Kabupaten, Kecamatan, sampai ke tingkat desa, pemerintah mengeluarkan instruksi, kebijakan, dan peraturan untuk
mempengaruhi, mengarahkan, dan
membentuk pola pikir masyarakat. Berdasarkan prinsip teori hegemoni tersebut, maka penelitian ini diarahkan pada pencermatan komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta Empul yang bersinggungan dengan ideologi kekuasaan atau pihak yang berkepentingan. Teori hegemoni digunakan sebagai landasan kajian untuk mengungkap faktor-faktor apakah yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul. 2.3.3
Teori Dekonstruksi
53
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Dalam teori kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, penolakan, penghancuran, dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula (Ratna, 2005 : 250-251). Istilah dekonstruksi yang digunakan oleh Jacques Derrida, sebenarnya sudah digunakan oleh ahli tata bahasa Prancis dalam mengungkap kaidah-kaidah konstruksi kalimat, khususnya tentang keberlakuan kalimat dalam keadaan yang berbeda-beda (difference). Menurut Stuart Sim, ada tiga asumsi dasar dekonstruksi yaitu pertama, menyangkut ketidakstabilan makna bahasa, kedua, tidak ada metode analisis yang memiliki klaim istimewa atas otoritas tafsir tekstual, dan ketiga, tafsir lebih merupakan kegiatan yang tak terbatas dan lebih mirip dengan permainan daripada analisis (Sim, 2002 : 28). Bertolak dari asumsi tersebut, tampak jelas bahwa dekonstruksi mementingkan pencarian makna baru. Untuk mencapai tujuan itu, maka dekonstruksi menangguhkan semua yang sebelumnya sudah mapan. Bagi Derrida, relasi signifier (penanda) dengan signified (petanda) tidak statis. Pemaknaan tanda merupakan proses pembongkaran tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Derrida menunjukkan bahwa dalam proses pemahaman makna tanda bukan sekedar karena ada proses oposisi atau differensiasi, tetapi karena ada proses ”penundaan” hubungan antara penanda (bentuk tanda) dan
54
petanda (makna) untuk menemukan makna lain atau makna baru (Norris, 2008 : 69). Proses dalam hubungan yang baru ini disebut Derrida dengan differance. Differance menunjukkan sebuah perbedaan pasif sebagai kondisi dari penandaan serta sebuah tindakan membedakan atau menunda yang menghasilkan perbedaan. Dengan demikian, inti teori dekonstruksi Derrida adalah perbedaan (differance) sekaligus penundaan untuk mendekonstruksi legitimasi oposisi biner. Derrida tampil sebagai seorang ahli membuat makna ganda dan makna tersembunyi. Ia mengajak menuju cara baru dalam membaca dan menulis dan beranggapan bahwa semua yang ada merupakan ”teks”. Bahan pokok semua teks, masyarakat, dan apa pun adalah makna-makna yang perlu diurai atau didekonstruksi. Guna mencapai makna-makna itu, menurut Derrida, harus dilakukan tafsir atau hermeneutika. Dalam kaitan dengan hakikat bahasa, Derrida mencoba menemukan bagaimana bahasa mempunyai arti. Derrida mengkritik filsuf-filsuf Barat karena meletakkan ”arti” dalam kekuatan rasio dan kalimat manusia dipakai untuk menggambarkan realitas yang sebenarnya. Untuk itu, Derrida menggunakan konsep perbedaan (difference) yang dicetuskan pertama kali oleh Ferdinand de Sousssure. Namun demikian, ia tidak memakainya begitu saja, melainkan membuat perubahan dan mengubah maknanya. Dengan sentuhan artistiknya, Derrida mengubah ”difference” menjadi ”differance” yang berarti berbeda atau menuda. Lewat kata ”differance”, Derrida mengkritik tradisi Barat yang mengatakan bahwa tulisan hanyalah gambaran dari ucapan manusia, karena ucapan lebih langsung sifatnya dibandingan dengan tulisan.
55
Dekonstruksi adalah segala sesuatu yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam konsep logo sentrisme. Ia mencegah agar tidak terlalu cepat menyingkap arti dalam sebuah teks. Derrida menunjukkan berbagai kesulitan yang ada dalam teori-teori yang memaksakan diri mencari kebenaran arti tunggal. Sebuah teks senantiasa berkorelasi dan mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti-arti yang lain (Sutrisno, dkk., 2005 : 171). Derrida merupakan pemikir yang sangat konsisten dengan sikap kritisnya. Ia terus berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan tradisi pemikiran lama, yaitu tradisi pemikiran yang baginya tidak memberi ruang pada sesuatu yang berbeda. Di sini dapat dilihat bahwa Derrida memang sosok yang tidak terlalu simpatik pada konsep pemikiran yang hanya berkutat pada satu tujuan, yaitu pencapaian kebenaran atau makna tunggal yang obyektif dan berlaku universal. Dengan konsep dekonstruksi, Derrida berusaha mengadakan perubahan dengan sesuatu yang dapat dihasilkannya sendiri, sesuatu yang tidak sekedar mengambil dari apa yang sudah tersedia dalam pemikiran yang hendak dikritiknya. Untuk melawan kesewenang-wenangan cara berpikir yang selalu berusaha menemukan makna tunggal sebuah teks, Derrida berpendapat bahwa konsep pemikiran masa modern mesti di ubah, dihancurkan, atau didekonstruksi. Dasar pemikiran Barat modern harus terlebih dahulu di hancurkan agar dapat dibangun kembali suatu cara berpikir baru yang terbuka, yang mau menerima model pendekatan apa saja terhadap realitas sebagai teks. Derrida sangat
56
menekankan keanekaragaman cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang ada. Ia memproklamasikan kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keberagaman makna (Lubis, 2006: 120). Sebuah teks atau realitas yang sama dapat dibaca secara berbeda oleh orang lain. Dengan kata lain, dengan adanya kesadaran bahwa makna dari realitas itu beragam, maka setiap orang diharapkan akan lebih siap untuk merayakan keberagaman itu. Dalam penelitian ini teori dekonstruksi digunakan untuk mengkritisi, membongkar, tanda-tanda konvensi kultural yang tersembunyi dari ideologi dominan. Teori dekonstruksi dijadikan sebagai salah satu strategi budaya dalam mengkritisi
ideologi
dibalik
komodifikasi
Pura
Tirta
Empul.
Selain
mendekontrduksi ideologi intelektual yang selama ini dianggap memiliki kompetensi yang relatif tetap dan permanen dalam memperkuat struktur kekuasaan. Pada tataran makna, teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar dampak dan makna komodifikasi pusaka budaya dalam konteks pariwisata global, khususnya pada makna-makna yang terlahir sebagai akibat konvensi budaya yang tersembunyi dari ideologi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil. Tujuannya adalah untuk mendapatkan makna-makna baru, bukan dalam tataran makna yang monolitik, tetapi makna pluralistik. Dalam penelitian ini, teori dekonstruksi digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga, yaitu faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, serta dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. 2.3.4
Teori Semiotika
57
Dalam upaya memahami makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global digunakan pula teori semiotika. Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ”tanda” sehingga semiotika berarti ”ilmu tanda”. Tanda dianggap mewakili suatu objek secara representatif. Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dengan kata lain semiotika maupun semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu populer. Di antara banyak ahli yang membicarakan tentang tanda, terdapat dua tokoh yang hasil penelaahannya hingga kini tetap menjadi dasar kajian serta terus dipelajari oleh para ahli. Kedua tokoh tersebut berasal dari negara yang berbeda yaitu Charles Sanders Peirce (1834-1914) dari Amerika Serikat dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) dari Swiss. Peirce adalah seorang ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure adalah ahli bahasa bahkan dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern (Van Zoest, 1992 : 1-2 ; Ratna, 2006 : 98). Menurut Peirce yang harus dipelajari dalam logika adalah bagaimana cara orang bernalar. Penalaran itu menurut Pierce dilakukan melalui tanda-tanda yang memungkinkan untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kajian tentang tanda tersebut oleh Peirce dinamakan dengan semiotika yang sebenarnya sinonim dengan logika. Sementara itu, Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Menurutnya, bahasa sebagai suatu gejala budaya dapat dijadikan objek studi, kekhasan teorinya adalah menganggap bahasa sebagai sistem tanda.
58
Teori tentang tanda linguistik perlu ditempatkan dalam suatu teori yang lebih umum, untuk hal itu diusulkanlah nama semiologi. Kajian ini selanjutnya didasarkan pada pendapat Peirce, sebab menurut Peirce terdapat kemungkinan luas dalam keanekaragaman tanda. Menurut Peirce (dalam Endraswara, 2003 : 65) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk, (2) indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan, dan (3) simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Dengan pengertian itu Peirce berpendapat bahwa teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu termasuk ilmu budaya. Dalam analisis semiotika, Pierce menawarkan sistem tanda yang harus diungkap. Menurut dia, ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai ada kaitan representasi (menghadirkan). Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi di benak penerima. Hasil interpretasi itu merupakan tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan. Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika pasca Saussure dan Peirce dikembangkan oleh beberapa ilmuwan, salah satu di antaranya adalah Umberto Eco. Ia adalah tokoh semiotika asal Italia yang bertolak dari pandangan Peirce dan mendorong penelitian berbagai bidang ilmu dengan menggunakan teori semiotika. Dalam kaitannya dengan penelitian sastra sebagai bagian dari kebudayaan,
59
Umberto Eco mengemukakan bahwa pengarang haruslah berusaha agar perangkat sandi yang diyakini dapat ditangkap pembaca. Pengarang harus dapat memahami pembacanya. Menurutnya, sandi dan konvensi gaya yang dipakai dalam teks bukan hanya memikat pembaca, namun juga mengonstruksinya dengan cara memberi petunjuk untuk memahami teks tersebut. Penggunaan semiotika sebagai teori di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh kaerna ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (Piliang, 2003 : 257). Dalam kaitan dengan penelitian ini, kajian struktural semiotik akan mengungkap produk budaya sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana komunikasi yang bersifat estetis, karena setiap tanda membutuhkan pemaknaan. Teori semiotika relevan digunakan secara ekletik untuk membedah permasalahan yang terkait dengan makna komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai produk budaya masyarakat Desa Manukaya. 2.4
Model Penelitian Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
global ini dapat digambarkan dalam model berikut :
60
Budaya Lokal
Faktor Internal Perubahan Pola Pikir Kreativitas masyarakat Motivasi Kesejahteraan
Proses Komodifikasi Pura Tirta Empul
Budaya Global
Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam Konteks Pariwisata Global
Faktor-faktor yang mendorong Komodifikasi Pura Tirta Empul
Konstruksi Identitas Kebalian
Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan : Hubungan langsung dua arah Hubungan langsung satu arah Penjelasan Model
Faktor Eksternal Pariwisata Industri Budaya Media Massa Hegemoni Pemerintah
Dampak dan Makna Komodifikasi Pura Tirta Empul
61
Model penelitian ini (Gambar 2.1) dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam penelitian ini ada dua unsur besar yang mempengaruhi masyarakat Manukaya, Tampaksiring, terkait komodifikasi Pura Tirta Empul. Dua unsur tersebut adalah budaya global dan budaya lokal. Budaya global dengan indikator masuknya dimensi orang/pariwisata, industri budaya, media massa, dan hegemoni pemerintah. Sedangkan unsur budaya lokal dengan indikator perubahan pola pikir masyarakat, kreativitas masyarakat, dan motivasi peningkatan kesejahteraan. Di satu sisi budaya lokal termasuk di dalamnya Pura Tirta Empul berusaha mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh budaya global yang sulit dibendung kekuatannya, tetapi di sisi lain budaya global yang wujudnya kapitalisme memainkan peran penting dalam perubahan. Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru, tidak bisa dibendung dan itu berarti banyak aspek dalam kehidupan sosial budaya masyarakat mengalami perubahan. Fenomena yang berkembang memunculkan beberapa masalah yang terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Terkait dengan masalah-masalah tersebut, ada tiga masalah yang hendak dianalisis secara mendalam, yakni (1) proses komodifikasi Pura Tirta Empul (2) faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, dan (3) dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul. Dengan metodologis yang telah ditentukan, data dianalisis dengan menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori komodifikasi, teori hegemoni, teori dekonstruksi, dan teori semiotika. Dengan demikian, dalam
62
analisis tahap akhir diharapkan dapat menemukan suatu hal yang baru tentang komodifikasi Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Gianyar, dalam konteks pariwisata global.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
global merupakan penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan kajian budaya (cultural studies). Kajian budaya (Lubis, 2006 : 145-152) menaruh perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan, ideologi, dan hegemoni yang muncul dari informasi media massa. Selain itu, cultural studies juga mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Dengan demikian, cultural studies adalah kajian yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Lubis (2006, 145-146) menguraikan beberapa karakteristik cultural studies yaitu (1) cultural studies bertujuan mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya yang berkaitan dengan kekuasaan, (2) cultural studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik, akan tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik, (3) dalam cultural studies budaya dikaji dari aspek objek dalam tradisi kritis, (4) cultural studies berupaya
62
63
mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional, serta berupaya mendamaikan pengetahuan yang obyektif, dan (5) cultural studies melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern serta tindakan politik dan konstruksi sosial. Dengan demikian, cultural studies tidak hanya bertujuan memahami realitas masyarakat atau budaya, tetapi merubah struktur dominasi, struktur sosial budaya yang menindas, khususnya dalam masyarakat kapitalis industrial (Sardar & Van Loon, 1997 : 9). Cultural studies mencoba mendekonstruksi pandangan lama dan mengangkat budaya yang terpinggirkan itu pada tingkat yang wajar. Bertitik tolak dari penjelasan tersebut dan mengingat budaya populer merupakan narasi kajian budaya,
maka teori
komodifikasi, teori hegemoni, dan teori dekonstruksi digunakan untuk menganalisis data. Penggunaan teori tersebut dipandang relevan untuk memahami komodifikasi Pura Tirta Empul dengan fenomena yang sangat kompleks. Oleh karena penelitian ini merupakan sebuah penelitian kajian budaya (cultural studies), maka penelitian ini mengintegrasikan disiplin-disiplin lain. Hal ini sesuai dengan prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya, seperti semangat tiadanya batas dalam ilmu sosial. Di samping itu, kajian ini bersifat multidisiplinner dengan adanya berbagai fenomena menarik di dalamnya, seperti pariwisata, politik historis, sosial budaya, lingkungan, arkeologi, dan sebagainya. Sebagai kajian budaya, penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ciri
64
dominan penelitian kualitatif menurut Bungin (2007 : 62-64) adalah (1) sumber datanya langsung berupa data situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci, (2) bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan pada makna proses daripada hasil, (4) analisis datanya bersifat induktif, dan (5) makna merupakan perhatian utama dalam pendekatan penelitian. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial, dan lain-lain. Kajian budaya menggunakan metode yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah sosial dan kehidupan sehari-hari. Ciri kualitatif sesungguhnya sudah terlihat dalam setiap penelitian kajian budaya, karena penelitian kualitatif merupakan paradigma penelitian yang berkepentingan dengan makna dan penafsiran. 3.2
Lokasi Penelitian Areal Pura Tirta Empul sebagai obyek penelitian berlokasi di Desa
Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini berada pada sebuah lembah di antara Istana Kepresidenan Tampaksiring dan Candi Pegulingan. Sesuai dengan namanya, pura ini berlokasi pada suatu sumber mata air (tirta) yang mengalir ke Sungai Pakerisan. Kawasan ini sekarang telah berkembang menjadi kawasan wisata yang ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan lokal, domestik, maupun wisatawan mancanegara. Keaslian dari situs Pura Tirta Empul masih terlihat pada beberapa bangunan kuno serta temuan arca-arca kuno dan lingga yoni yang berada di halaman jeroan pura ini. Temuan lingga yoni merupakan bukti bahwa terdapat aliran siwaistis yang berkembang pada abad X di daerah itu. Sementara itu,
65
bangunan pura secara menyeluruh merupakan bangunan yang dibuat belakangan sebagai konskuensi adanya perubahan konsep pemujaan ketika pengaruh Majapahit datang dari Jawa Timur. Seiring dengan perjalanan waktu, dewasa ini Pura Tirta Empul juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Sebagai daya tarik wisata, Pura Tirta Empul banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Di era global, tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global yang meresap ke sendi-sendi kehidupan manusia tidak bisa ditolak. Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme, seperti munculnya industri budaya yang mengacu pada komodifikasi bentuk-bentuk budaya. Pura Tirta Empul tidak hanya menjadi perangkat budaya yang magis religius, melainkan juga menjadi hiburan yang lebih mengarah ke komersial. Proses komodifikasi
Pura Tirta
Empul
didasarkan
atas
suatu
kecenderungan untuk menjadikannya sebagai komoditas yang dapat dijual untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pura Tirta Empul disajikan dalam konteks selera konsumen. Hal seperti itu terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhi komodifikasi Pura Tirta Empul menjadi barang komoditas. 3.3
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif
dan data kuantitatif (yang sifatnya menunjang data kualitatif). Data kualitatif adalah data dalam bentuk uraian kata-kata, kalimat atau narasi, dan ungkapan yang berkaitan dengan keberadaan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
66
pariwisata global di Desa Manukaya Gianyar. Data kuantitatif
sebagai data
penunjang terutama yang terkait dengan jumlah dan informasi yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka, seperti jumlah penduduk, jumlah kunjungan wisata, dan lain-lain. Data kualitatif penulis peroleh dari hasil observasi lapangan, dan rekaman hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam dan terbuka. Sementara data kuantitatif diperoleh melalui dokumen-dokumen, buku, majalah, jurnal, dan transkrip lainnya. Sementara itu, sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah obyek yang diobservasi langsung di lapangan dan para informan yang diwawancarai. Dengan kata lain, data primer adalah data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian, melalui proses wawancara dengan para informan, seperti tokoh adat dan agama, aparat pemerintah, pemuka masyarakat, masyarakat pemanfaat pura, pedagang, perajin, pelaku pariwisata, pecalang, dan lain-lain. Data ini juga dilengkapi dengan data foto, gambar, dan peta untuk melengkapi data primer. Sumber data sekunder adalah berupa dokumen atau sumber-sumber tertulis pada umumnya, seperti monografi desa, statistik penduduk, brosur/iklan. Data sekunder diperoleh dari sejumlah tempat, kantor dan lembaga. Data sekunder ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih mendalam tentang permasalahan yang dijadikan obyek penelitian. 3.4
Instrumen Penelitian Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan
sebagai instrumen utama dalam penelitian. Hal ini terkait dengan penggunaan cara
67
pengamatan dan pengamatan terlibat dalam penelitian. Sementara itu, untuk teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi pertanyaan terbuka yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan berkembang ke arah yang lebih spesifik. Demikian pula untuk melakukan perekaman dengan mencatat segala kejadian yang ada sekaligus, baik melalui alat perekam maupun catatan-catatan singkat. Instrumen ini disiapkan untuk kepentingan menggali informasi dari informan. Posisi peneliti, menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan peristiwa, dan berusaha menjalani hubungan yang wajar, penuh keakraban dengan informan. 3.5
Penentuan Informan Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang data yang
diperlukan. Dalam penentuan informan teknik yang digunakan adalah purposif, yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti (Endraswara, 2006 : 115). Selanjutnya untuk menjaring data, diawali dengan penentuan informan kunci. Apabila informan ini memahami benar masalah yang akan dikaji dan dapat memberikan informasi data yang dibutuhkan, maka dapat saja peneliti menetapkannya sebagai informan kunci. Seorang informan yang baik adalah informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan peneliti. Ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti (Sudikan, 2001 : 91).
68
Berdasarkan uraian di atas, informan kunci yang dipilih peneliti adalah Bendesa Adat Manukaya I Made Mawi Arnata. Selanjutnya, dari keterangan yang diberikan informan, peneliti kemudian menginventarisasi informan-informan lain yang dapat memberikan keterangan terhadap masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Bilamana data yang telah diperoleh sudah dianggap cukup dan telah memenuhi tujuan yang diinginkan, maka pengumpulan data dihentikan. Dengan kata lain, pencarian informan akan dihentikan ketika data yang diperlukan dianggap telah cukup sesuai dengan kebutuhan. 3.6
Teknik Pengumpulan Data Data penelitian ini dikumpulkan melalui tiga cara, yaitu observasi,
wawancara, dan studi dokumen. 3.6.1
Observasi Observasi adalah cara memperoleh data melalui pengamatan langsung
ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah. Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatanpencatatan rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam observasi adalah membuat dokumentasi berupa foto. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya dalam rangka melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan maupun wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan
69
pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang dapat dijadikan data penelitian ini. 3.6.2
Wawancara Wawancara adalah sebuah percakapan dengan tujuan-tujuan tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Adapun maksud mengadakan wawancara adalah
mengkonstruksi
mengenai
orang,
kejadian,
organisasi,
motivasi,
kepedulian, memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti (Moleong, 1999 : 86). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan penelitian lapangan, wawancara mutlak dilakukan untuk menjaring data melalui para informan. Adapun jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu teknik wawancara berdasarkan daftar pertanyaan berupa pedoman wawancara yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya (Koentjaraningrat, 1983 : 174-175). Kepada para informan yang diwawancarai diajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan. Informan diberikan keleluasaan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan tujuan agar peneliti secara langsung dapat mengetahui situasi dan kondisi hal-hal yang diteliti, sehingga lebih mudah melakukan analisis dan menyimpulkannya. Untuk memperoleh data yang memadai digunakan teknik wawancara pembicaraan informal, yaitu hubungan antara peneliti dan para informan
70
disituasikan sedapat mungkin berada dalam suasana santai, bersahabat, akrab, seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Catatan-catatan dan pertanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman wawancara sesuai dengan situasi selama melakukan wawancara menuju pada kedalaman percakapan. Titik berat perhatian diusahakan pada pandangan emik, yaitu peneliti menaruh perhatian penuh pada masalah penelitian melalui keterangan data yang diberikan informan sebagai pemilik budaya, sebaliknya tidak berdasarkan pandangan etik, yaitu dari pandangan dan pemahaman peneliti. 3.6.3
Studi Dokumen Di samping wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan
studi dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang sukar ditangkap dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan komodifikasi Pura Tirta Empul. Dokumen yang digunakan adalah buku-buku, laporan penelitian, foto, klip media massa, majalah, dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua dokumen yang telah dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga diperoleh data sekunder yang relevan dengan permasalahan penelitian. 3.7
Teknik Analisis Data Sebelum dilakukan analisis, semua data yang telah terkumpul, baik data
primer maupun data sekunder
diidentifikasi dan diklasifikasi sesuai dengan
permasalahan yang diajukan. Selanjutnya data diklasifikasi, dianalisis dengan
71
mengaplikasikan teori-teori yang telah ditetapkan. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. Analisis seperti ini merupakan bagian dari prosedur penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada upaya memahami makna atau menafsirkan realitas empirik dari obyek penelitian (Singarimbun, 1995 : 143)
Proses analisis kualitatif meliputi tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah merangkai dan menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penyederhanaan informasi yang kompleks, selektif, dan mudah difahami. Penyajian data menggunakan bentuk teks naratif yang dilengkapi dengan jaringan kerja, sehingga semua informasi yang disusun mudah dilihat dan dimengerti. Menarik simpulan adalah suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang terhadap catatan-catatan di lapangan, yakni dengan maksud menguji kebenaran, kecocokan, dan validitas makna-makna yang muncul di lokasi penelitian (Sudikan, 2001 : 99). 3.8
Teknik Penyajian Hasil Penelitian Tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil penelitian dalam
wujud tulisan secara urut dan integral. Dalam konteks ini penyajian hasil penelitian dilakukan secara informal, yaitu penyajian hasil penelitian dilakukan menggunakan deskripsi kata-kata dengan bahasa ragam ilmiah ditunjang dengan
72
teknik penyajian formal berupa tabel, bagan, dan gambar atau foto. Penyajian dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan keberadaan fenomena real budaya masyarakat yang diteliti.
73
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PURA TIRTA EMPUL
4.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pada subbab ini diuraikan gambaran umum Desa Manukaya dengan
penjelasan menurut metode etnografis. Seperti diketahui bahwa Pura Tirta Empul yang menjadi objek penelitian ini terletak di desa tersebut. Adapun tujuan uraian etnografis adalah untuk mendeskripsikan struktur sosial dan budaya suatu masyarakat dengan melakukan observasi ke lapangan. Pola penulisan gambaran umum ini termasuk ke dalam perpaduan deskripsi etnografi klasifikasi dan etnografi analitis. Unsur-unsur universal yang dibahas disusun secara sistematis disesuaikan dengan konteks relevansi kajian. 4.1.1
Letak dan Kondisi Geografis Pura Tirta Empul sebagai objek penelitian berlokasi di Desa Manukaya,
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali (lihat Gambar 4.1). Desa ini mempunyai lingkungan alam yang menghijau menggambarkan kesuburan dengan hamparan tanah pertanian yang produktif. Di desa ini terdapat beberapa buah sungai, antara lain yang terpenting ialah Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu, merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya. Kedua sungai tersebut mendapatkan air dari sumbernya di kaki pegunungan Kintamani, sehingga hampir tidak pernah kekurangan cadangan air. 72
74
Air dari sungai-sungai itu selanjutnya dialirkan ke sawah-sawah pertanian dengan harapan agar mendapatkan hasil pertanian yang melimpah. Kecuali kedua sungai tersebut di atas, Desa Manukaya juga mempunyai sejumlah mata air yang cukup besar, terdapat di antara Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu, yaitu petirtaan Pura Tirta Empul dan petirtaan Pura Mangening yang dianggap suci dan mendapat resapan air yang tidak pernah kering dari kaki pegunungan Kintamani (Sutaba, 2007 : 5). Hutan di bagian perbukitan atau di daerah dataran tinggi Desa Manukaya dengan berbagai pepohonan antara lain, ialah ada yang menghasilkan buahbuahan seperti durian, mangga, pisang, telah menciptakan suasana yang memberikan kesan tersendiri. Di tengah-tengah hutan yang serba hijau, terdapat sejumlah fauna sebagai penghuninya, ternyata telah melengkapi ekosistem desa tersebut. Dari bagian dataran tinggi menurun ke arah selatan, terdapat dataran rendah yang dimanfaatkan sebagai permukiman penduduk dengan membangun desa untuk tempat hunian. Sebagian dari dataran ini adalah tanah sawah pertanian yang subur karena mengandung endapan material vulkanik dari Gunung Batur yang meletus berkali-kali. Tanah sawah penduduk yang berteras-teras adalah ekosistem kehidupan alami yang sangat menarik dan menawarkan keharmonisan, keseimbangan hidup, kepada masyarakat pemukimnya. Bentang alam dan lingkungan hidup seperti di atas, memperlihatkan wajah yang sarat dengan tinggalan sejarah masa lalu, yang sudah lama menarik perhatian para ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan. Dua di antara sungaisungai tersebut di atas, yakni Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu menjadi
75
terkenal dalam sejarah Bali Kuno. Di sepanjang aliran kedua sungai ini telah dibangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih menjadi kawasan sakral (sacred area) bagi masyarakat (Sutaba, 2007 : 6). Penelitian arkeologi yang dimulai pada awal abad XX telah mendapatkan bukti-bukti bahwa kawasan ini memang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi yang sampai sekarang masih berfungsi sakral (sacred living monuments), tersebar di Desa Panempahan, Desa Manukaya, dan Tampaksiring. Padatnya populasi pusaka budaya di kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu indikasi mengenai pemukiman masyarakat dan padatnya hunian atau tingginya mobilitas sosial yang terjadi di masa lalu. Konsentrasi pusaka budaya di desa ini dapat pula dianggap bahwa peradaban Bali Kuno lahir di kawasan budaya ini. Pusaka budaya yang tersebar di kawasan ini salah satu diantaranya adalah Pura Tirta Empul. Seperti telah disebutkan di atas bahwa Desa Manukaya adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Tampaksiring. Desa ini berjarak 18 km dari ibukota Kabupaten Gianyar dan 38 km dari Kota Denpasar. Desa Manukaya relatif datar, dengan beberapa buah sungai kecil membelah desa dan mengalir ke sawah-sawah yang ada di wilayah desa tersebut. Pertanian basah yang relatif subur telah menghasilkan padi yang berlimpah, sementara pertanian kering yang cukup luas dapat menghasilkan berbagai komoditi, seperti kacang tanah, jagung, ketela pohon, dan ketela lambat. Lahan perkebunan yang ada di wilayah Desa Manukaya menghasilkan cengkeh, kopi, panili, dan kelapa.
76
Gambar 4.1.
Peta Keletakan Pura Tirta Empul di Kabupaten Gianyar (Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT, 2009)
77
Secara geografis Desa Manukaya memiliki posisi yang strategis, karena berada di jalur pariwisata yang berhubungan dengan jalur wisata Kintamani dan Besakih. Secara topografis bentuk lahan di wilayah ini adalah berupa dataran yang cukup subur dan terletak pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut. Curah hujan dalam setiap tahunnya mencapai 1488 mm, dengan suhu udara yang cukup sejuk sekitar 27 OC ( Balai Penyuluh Pertanian Tampaksiring, 2007). Secara administratif wilayah Desa Manukaya terdiri atas sembilan desa adat dan 13 banjar/dusun. Kesembilan desa adat tersebut ialah Desa Adat Manukaya Let, Manukaya Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan, Basangambu, Maniktawang, dan Mancingan. Sedangkan ke-13 banjar yang ada di wilayah Desa Manukaya adalah Banjar Manukaya Let, Tatag, Bantas, Manukaya Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan, Basangambu, Belahan, Maniktawang, dan Panedengan (Lihat Tabel 4.2). Adapun batas teritorial Desa Manukaya (Gambar 4.2) adalah sebagai berikut. (1) Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengelumbaran (Bangli). (2) Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Susut Bangli. (3) Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tampaksiring (Gianyar), dan (4) Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Pupuan Tegallalang (Gianyar).
78
Gambar 4.2 Peta Desa Manukaya (Sumber : Monografi Desa Manukaya, 2007)
79
4.1.2
Kependudukan Berdasarkan hasil registrasi kepadatan penduduk pada akhir tahun 2008,
Desa Manukaya memiliki jumlah penduduk 9630 jiwa (2.449 KK), terdiri atas penduduk laki-laki 4918 jiwa dan penduduk perempuan
4712 jiwa, dengan
kepadatan penduduk 687 orang per km2. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat umur dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Desa Manukaya Berdasarkan Tingkat Umur Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 1. 0 – 4 th 478 412 2. 5 – 9 th 443 400 3. 10 – 14 th 580 540 4. 15 – 24 th 944 907 5. 25 – 45 th 1499 1554 6. 50 th ke atas 974 899 Jumlah 4918 4712 Sumber : Kantor Kepala Desa Manukaya Tahun 2009 No
Umur
Jumlah 890 843 1120 1851 3053 1873 9630
Berdasarkan jumlah penduduk pada Tabel 4.1, ternyata penduduk dengan tingkat umur 25-45 tahun jumlah yang paling banyak, disusul oleh penduduk dengan tingkat umur 50 tahun ke atas, dan umur 15-24 tahun. Sementara itu, tingkat umur antra 5-9 tahun menduduki tingkat terendah. Keseluruhan jumlah data kependudukan di atas, sudah termasuk dengan para pendatang lainnya, sebagai penduduk di Desa Manukaya. Umumnya, mata pencaharian penduduk adalah sebagai PNS/ABRI, petani, tukang, pedagang, dan perajin. 4.1.3
Sistem Kemasyarakatan
80
Dalam hidupnya manusia cendrung mengadakan hubungan antara sesamanya yang akhirnya membentuk suatu masyarakat. Pola hubungan antara sesama manusia menjadi dasar dari suatu interaksi sosial di antara kelompok serta terciptanya kelompok-kelompok sosial. Selain itu, hubungan juga berkembang dengan lingkungannya sebagai usaha untuk menanggapi secara aktif lingkungan alam tersebut. Beberapa bentuk atau pola hubungan yang berkembang serta pola tanggapan manusia terhadap lingkungannya memunculkan bentuk atau pola-pola kehidupan yang khas disebut sebagai pola-pola kebudayaan manusia (Astika, 1986 : 11). Masyarakat Hindu di Desa Manukaya menganut sistem sosial yang mengikat terdiri atas beberapa sistem sosial. Sesuai dengan sistem pemerintahan, bahwa di desa tersebut sekarang terdapat dua jenis desa, yakni desa dinas dan desa adat. Desa dinas adalah merupakan kesatuan wilayah administrasi terkecil dalam suatu susunan wilayah pemerintahan. Kepala desa dinas disebut perbekel atau lurah berkedudukan sebagai aparat pemerintah di desa yang berfungsi melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Para warga desa terikat oleh kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai bagian dari struktur vertikal pemerintahan resmi sebagai kesatuan administratif. Kesatuan ini dibatasi oleh adanya wilayah desa yang jelas batas-batasnya, penduduk atau warga desa yang bertempat tinggal di wilayah desa tersebut, dan sistem aturan pemerintahan desa. Warga desa dinas mempunyai fungsi memelihara dan mengaktifkan kegiatan dalam desa serta tunduk pada sistem aturan yang berlaku.
81
Desa adat adalah merupakan suatu kesatuan atau persekutuan wilayah berdasarkan atas kesatuan tradisi dari tatakrama pergaulan hidup yang di warisi secara turun-temurun serta diikat oleh suatu kahyangan tiga, yaitu Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem (Ardana dkk., 1983 : 10). Dengan kata lain, desa adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan agama Hindu, serta merupakan satu kesatuan wilayah di mana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang ditata oleh suatu sistem budaya (Pitana, 1994 : 139). Meskipun pada mulanya desa adat menangani segala urusan sosial kemasyarakatan atau segala urusan yang berhubungan dengan kehidupan bersama masyarakat manusia, namun dewasa ini kegiatannya cenderung hanya terbatas kepada kegiatankegiatan yang menyangkut adat-istiadat atau sosial religius dari masyarakat, karena fungsi-fungsi lainnya telah diambil alih oleh desa dinas. Namun demikian, rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh adanya karang desa (pekarangan, wilayah atau tempat bangunan desa) dan awig-awig desa (sistem aturan desa yang dibuat dan diberlakukan kepada segenap warga desa). Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan desa-desa adat di dataran. Desa-desa adat di pegunungan biasanya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang-orang asli yang lahir di desa itu. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama desa) dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari tertentu. Desa-desa adat di tanah datar biasanya lebih besar dan meliputi daerah yang relatif luas, demikian pula keanggotaannya.
82
Kekuasaan tertinggi pada desa adat terdapat pada rapat anggota atau sangkep, sedangkan bendesa adat hanya berfungsi sebagai pemegang mandat dari krama desa adat dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan eksistensi desa adat. Desa adat juga mempunyai harta kekayaan, baik berupa material maupun immaterial. Salah satu kekayaan desa adat adalah purapura dengan tanah pelabanya, karena keberadaan desa adat terkait langsung dengan kepemilikan kahyangan tiga. Desa adat juga mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam. Otonomi ke luar diartikan sebagai kebebasan untuk mengadakan kontak langsung dengan institusi di luar desa adat, sedangkan otonomi ke dalam berarti kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam hubungan ini, Griadhi (1991 : 58-59) menulis sebagai berikut. ”Sesungguhnya otonomi tersebut merupakan otonomi yang bersifat asli, yang muncul dari kelahiran desa adat itu sendiri yang merupakan kekuasaan untuk mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat dipertemukan. Otonomi desa adat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) otonomi dalam bidang keorganisasian, yang merupakan kekuasaan desa adat untuk mengatur kehidupan sebagai suatu organisasi, (2) otonomi dalam bidang sosial ekonomi, yang merupakan kekuasaan untuk mengatur hubungan antar anggota dengan kelompok masyarakat serta mengelola berbagai kekayaan desa adat, dan (3) otonomi di bidang religius, yang menyangkut kepemilikan atas berbagai sarana dan prasarana upacara serta pengaturan terhadap hak dan kewajiban warga desa terhadap berbagai tempat pemujaan yang ada di desa. Dalam perkembangannya, desa adat senantiasa mengalami perubahanperubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungannya. Demikian pula Desa Adat Manukaya Let. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat dipandang sebagai suatu progress dari masyarakat tradisional menuju masyarakat yang lebih kompleks atau modern. Berbagai perubahan tersebut seiring dengan
83
usaha desa adat di dalam mengadakan berbagai penyesuaian terhadap situasi lingkungan luar, yang meliputi lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, politik, dan teknologi. Intensitas kontak kebudayaan Bali dengan kebudayaan luar meningkat, terkait erat dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat di bidang komunikasi dan transportasi, serta keberhasilan Bali menjadi daerah tujuan wisata. Adanya perkembangan kepariwisataan dengan berbagai implikasinya, menyebabkan terjadinya banyak perubahan pada masyarakat Bali, termasuk pula lembaga tradisional desa adat. Desa adat telah mengalami transformasi. Transformasi pada lembaga ini umumnya menuju kepada usaha peningkatan efisiensi kerja dan nilai praktis pelaksanaan berbagai kegiatan (Pitana, 1994 : 159). Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa desa adat bergerak dalam bidang adat-istiadat dan agama, namun dewasa ini banyak desa adat secara aktif bergerak di bidang ekonomi, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan pembangunan. Di beberapa desa adat, termasuk Desa Adat Manukaya Let, telah terjadi pemanfaatan azet desa adat untuk mendatangkan pendapatan ekonomis, termasuk pengontrakan tanah desa kepada masyarakat untuk pembangunan prasarana kepariwisataan. Pendapatan yang diperoleh dari berbagai kegiatan tersebut digunakan untuk membiayai pelestarian dan pengembangan obyek wisata, rehabilitasi tempat suci, pelaksanaan upacara, dan sebagainya. Dengan dua pengertian seperti itu, jelas dapat dibedakan pengertian desa adat sebagai suatu kesatuan masyarakat dalam satu wilayah desa yang secara
84
bersama-sama mengaktifkan suatu sistem upacara yang berhubungan dengan kesucian desa. Sedangkan desa dinas adalah suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah pemerintahan desa yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan administratif bagi kelancaran sistem pemerintahan dan pengaturan warga desa. Banjar adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa dan menjadi bagian dari desa adat serta merupakan persekutuan hidup sosial. Sebagai bentuk komunitas kecil, banjar mempunyai peranan penting dalam membentuk kehidupan masyarakatnya. Banjar juga menjadi pusat orientasi para anggota masyarakat untuk suatu kegiatan tertentu serta pilihan untuk pengadaan tenaga dalam upacara. Sebagai bagian dari desa, banjar juga mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai kesatuan kelompok sosial (Astika, 1986 : 2). Banjar sebagai organisasi sosial dapat dibedakan menjadi dua, yakni banjar adat dan banjar dinas atau banjar patus. Banjar adat mempunyai tugas dan kewajiban khusus dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu atau banjar suka-duka, sedangkan banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari organisasi pemerintahan negara di bawah desa dinas. Banjar adat merupakan organisasi di bawah pemerintahan desa adat yang kini berdasarkan Peraturan Daerah Bali No. 3 Tahun 2001 disebut dengan nama desa pakraman. Desa pakraman pada hakikatnya adalah kesatuan masyarakat adat yang anggotanya adalah mereka yang beragama Hindu dan terkait dengan kahyangan tiga secara turun temurun. Sementara itu, azas yang melandasi persekutuan hidup sosial dalam sistem banjar adalah azas kebersamaan dan kekeluargaan. Azas kebersamaan dan
85
kekeluargaan itu mendorong munculnya jiwa dan semangat gotong-royong di kalangan warga banjar itu sendiri. Dengan demikian maka dapat difahami bahwa fungsi pokok organisasi banjar adalah mewujudkan gotong royong dalam persekutuan hidup bersama di kalangan warga banjar, baik dalam keadaan suka maupun duka. Desa Manukaya sebagai desa administrasi terdiri atas sembilan desa adat dan 13 banjar/dusun. Untuk lebih
lengkapnya keberadaan lembaga-lembaga
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4.2
Desa Adat dan Banjar Dinas di Desa Manukaya
No 1.
Nama Desa Adat Desa Adat Manukaya Let
Jumlah 3
2.
Desa Adat Manukaya Anyar
1
Banjar Manukaya Anyar
3.
Desa Adat Panempahan
1
Banjar Panempahan
4.
Desa Adat Malet
1
Banjar Malet
5.
Desa Adat Temen
1
Banjar Temen
6.
Desa Adat Keranjangan
1
Banjar Keranjangan
7.
Desa Adat Basangambu
2
Banjar Basangambu Banjar Belahan
8.
Desa Adat Maniktawang
2
Banjar Maniktawang Banjar Panedengan
9. Desa Adat Mancingan 1 Sumber : Kantor Kepala Desa Manukaya, 2009.
Nama Banjar Banjar Manukaya Let Banjar Tatag Banjar Bantas
Banjar Mancingan
Setiap desa adat telah memiliki awig-awig tertulis yang disusun berdasarkan paruman desa adat. Desa adat dipimpin oleh bendesa adat dan dibantu penyarikan (sekretaris). Desa adat sangat berperan dalam melestarikan tradisi dan budaya, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
86
Selain banjar, di Desa Manukaya ada juga penglompokkan sosial lain dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam lingkup kepentingannya, cakupan wilayah, maupun jumlah anggotanya, yang disebut seka. Kadang-kadang seka ini merupakan bagian dari organisasi banjar, tetapi sering pula seka-seka tersebut lepas dari ikatan banjar. Pada beberapa kasus bahkan anggota seka bisa terdiri atas anggota banjar, sehingga merupakan suatu bentuk organisasi sosial yang khas (Astika, 1994 : 111). Seka adalah lembaga atau kelompok sosial dari beberapa orang anggota banjar yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama. Setiap seka mempunyai jenis kegiatan yang berbeda, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Namun satu hal yang menonjol dari keberadaan seka adalah walaupun berbeda dalam kegiatannya, tetapi tetap berorientasi pada kehidupan masyarakat dan tidak terlepas dari banjar. Kegiatan seka, di samping aktivitas yang menyangkut kepentingan anggotanya, juga banyak membantu kegiatan banjar. Seperti halnya banjar, seka mempunyai anggota, struktur pimpinan, aturan atau awig-awig dan fungsi tertentu dalam kaitannya dengan kelompok sosial di lingkungan banjar. Seka-seka yang populer misalnya seka manyi untuk menanam padi, seka numbeg untuk mengolah tanah sawah, seka memula untuk menanam padi, seka gong untuk menabuh gamelan, seka kecak kelompok penari kecak, seka baris perkumpulan tari baris, seka arja perkumpulan tari arja, dan masih banyak lagi seka-seka yang lain. Keberadaan sebuah seka dalam struktur organisasi banjar atau desa kadang-kadang lebih bersifat struktural, artinya suatu jenis seka memang harus
87
ada, seperti misalnya seka teruna, seka gong, seka kidung. Sementara itu, ada juga seka di lingkungan banjar terus aktif dan berfungsi dalam menunjang kegiatan banjar seperti seka subak, yang bergerak di bidang irigasi untuk kepentingan pertanian. Hampir seluruh petani terikat dengan seka atau organisasi ini. Organisasi subak adalah para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari bendungan-bendungan yang diurus oleh subak (Bagus, 1979 : 291). Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggotaanggotanya, dan organisasi ini sangat terkenal di seluruh dunia. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian atau awig-awig, baik tertulis maupun tidak tertulis. Sebagaimana
halnya
organisasi
tradisional,
organisasi
subak
menggunakan dasar filosofi tri hita karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan dapat dicapai jika manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga faktor dari filosofis tersebut, yaitu parhyangan (unsur ketuhanan) pawongan (manusia) dan palemahan (unsur alam). Seperti desa-desa lainya di Bali, di Desa Manukaya eksistensi seka meliputi beberapa aspek kehidupan masyarakat di antaranya menyangkut aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam aspek sosial beberapa seka yang eksis adalah seka-teruna-teruni (perkumpulan muda-mudi) dari seluruh anggota banjar. Fungsinya adalah membantu para anggotanya dalam kegiatan suka-duka, melaksanakan kegiatan-kegiatan kepemudaan (olah raga, kesenian), dan membantu kegiatan-kegiatan yang ada di banjar.
88
Dalam aspek budaya, seka yang ada di Desa Manukaya adalah seka gong (perkumpulan penabuh) dan seka pesantian (perkumpulan nyanyian keagamaan). Seni tabuh gong sudah berkembang sejak lama, sedangkan seka pesantian telah ada sejak tahun 1990-an. Selain itu, masing-masing banjar adat memiliki perangkat gong lengkap dengan seka gongnya, serta beberapa jenis seni pertunjukkan, seperti tari rejang, tari baris, tari topeng, wayang kulit, tari lepas, dan lain-lain. Dalam aspek ekonomi, seka yang pernah eksis di Desa Manukaya adalah seka memula (kelompok menanam padi), seka manyi (kelompok menanam padi), dan seka numbeg (kelompok mencangkul). Seka-seka tersebut awalnya dibentuk untuk mempererat hubungan kerjasama dalam kegiatan-kegiatan pertanian. Munculnya teknologi modern di bidang pertanian menyebabkan penduduk beralih ke teknologi yang lebih maju, sehingga berpengaruh terhadap eksistensi seka-seka tersebut. Demikian juga perkembangan pariwisata di Desa Manukaya dan sekitarnya juga berpengaruh terhadap eksistensi seka-seka yang ada, karena mata pencaharian penduduk sebagian beralih ke sektor pariwisata. 4.1.4
Perekonomian Perekonomian suatu masyarakat erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan di mana mereka bertempat tinggal. Selain itu, perekonomian juga ditentukan oleh kemampuan manusia dalam beradaptasi dan memanfaatkan potensi lingkungan hidup itu sendiri. Dalam hal ini, daya kreatif sangat diperlukan, sehingga peluang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari.
89
Penampilan kehidupan ekonomi di daerah pedesaan, khususnya di Desa Manukaya, dimaksudkan untuk memberi gambaran ringkas mengenai kondisi sosial ekonoi masyarakat desa tersebut. Secara geografis, Desa Manukaya sesungguhnya mempunyai bentang alam yang menghijau dengan hamparan tanah pertanian yang subur. Dengan demikian, Desa Manukaya merupakan daerah agraris dengan lahan pertanian berupa persawahan dan tegalan untuk perkebunan, peternakan, dan tanaman pangan. Walaupun sebagian penduduk menekuni kerajinan, tetapi pertanian tetap merupakan pencaharian pokoknya. Selain menghasilkan padi dari pertanian sawah, di Desa Manukaya menghasilkan tanaman perkebunan, terutama cengkeh, kopi, panili, kelapa, pisang, dan jagung. Peternakan sapi diusahakan terutama di dusun-dusun yang memiliki tanah tegalan yang cukup luas, seperti dusun Malet, Panempahan, Basangambu, dan Mancingan. Selain sapi, penduduk juga memelihara babi dan ayam. Binatang piaraan itu tentu sangat membantu dalam menunjang perekonomian masyarakat. Penduduk Desa Manukaya juga merespon kegiatan pemerintah dengan membuka kios cenderamata dan toko seni (artshop) di daerah daya tarik wisata Pura Tirta Empul dan sepanjang jalan protokol jurusan Denpasar – Kintamani. Jumlah kios dan toko seni di wilayah Desa Manukaya tahun 2008 sebanyak 116 buah (Sumber : Profil Desa Manukaya, 2009). Perkembangan pariwisata di daerah Tampaksiring dan sekitarnya telah mempengaruhi lahan pertanian yang digarap sebagai mata pencaharian utama. Meskipun kena pengaruh pariwisata, lahan pertanian masih tetap dipertahankan mendominasi menjadi spasial lahan agraris di
90
wilayah desa tersebut. Pertanian tampaknya masih menjadi pilar pendukung bagi perekonomian masyarakat. Dari luas keseluruhan wilayah Desa Manukaya, tanah pertanian masih merupakan bagian terbesar. Hal itu dapat dilihat dalam Tabel 4.3 dibawah ini. Tabel 4.3 Data Penggunaan Lahan di Desa Manukaya Tahun 2007. No 1.
Jenis Penggunaan Lahan Tanah sawah
Luas (Ha) 141
2.
Tanah pekarangan
76,97
3.
Tanah tegalan/kebun
891,97
4.
Hutan
25
5. Kolam 0,90 Sumber : Diolah dari Monografi Desa Manukaya Tahun 2009. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa lahan perkebunan merupakan spasial terbesar (891,97 ha) dari keseluruhan luas tanah yang mencapai 1.496 ha. Walaupun demikian, tampak juga kenyataan bahwa bidang pertanian atau perkebunan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh penduduk akibat beralih ke profesi lain. Manukaya dengan daya dukung keindahan alam yang dimilikinya, baik sumberdaya budaya (cultural resource) maupun sumberdaya alam (natural resource), telah membuat kawasan ini menampilkan diri sebagai wilayah wisata yang memiliki ciri khas, yaitu wisata pusaka budaya. Wisata pusaka budaya menawarkan potret masa lalu yang menjadi identitas pengembangan pariwisata di daerah Tampaksiring dan sekitarnya. Beberapa daerah yang memiliki potensi keindahan alam dan pusaka budaya ditumbuhi berbagai spasial kawasan dalam bentuk kios-kios untuk menjual sovenir.
91
Bagi penduduk Desa Manukaya, pariwisata mempunyai arti yang sangat penting,
misalnya
dapat
menambah
kesempatan
kerja,
meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat, mengurangi urbanisasi, dan lain-lain. Seperti halnya desa-desa lain di Kabupaten Gianyar, Desa Manukaya memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk merespon perkembangan kepariwisataan, dengan mewujudkan bentuk-bentuk barang kerajinan dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan serta memberi corak yang khas terhadap kebudayaan Bali. Letak geografis Desa Manukaya yang berada di jalur utama Jurusan Denpasar – Kintamani dan letaknya relatif dekat dengan desa-desa yang merupakan daerah tujuan wisata seperti Tampaksiring, Sebatu, Bedulu, serta Kintamani memberi peluang kepada masyarakat untuk membuka kios-kios kesenian sekaligus sebagai tempat pemasaran industri kerajinan masyarakat. Masyarakat Desa Manukaya sangat bersyukur dengan adanya Pura Tirta Empul dan Istana Presiden RI Tampaksiring. Keberadaan Pura Tirta Empul dan Istana Presiden tersebut telah membawa dampak positif bagi perkembangan industri kerajinan. Kedua pusaka budaya itu merupakan potensi yang besar bagi pengembangan kepariwisataan di Desa Manukaya. Sementara itu, pembangunan sektor perindustrian berlangsung cukup pesat di Desa Manukaya, karena didukung oleh sarana perhubungan yang cukup lancar. Adanya konsumen asing dan domestik serta adanya tempat pemasaran, terutama toko-toko seni dan kios-kios cenderamata di daerah Kuta, Ubud, dan Tampaksiring. Jenis kerajinan yang banyak diproduksi oleh masyarakat Desa Manukaya antara lain patung, ukiran, dan asesoris. Dengan adanya perkembangan
92
industria kecil maka 46,15% penduduk angkatan kerja menekuni kerajinan sebagai mata pencaharian pokok. Petani yang jumlahnya 37,01% dari jumlah penduduk juga menggunakan waktu luangnya terutama pada malam hari dengan kegiatan kerajinan sebagai upaya menambah pendapatan (Informasi Kepala Desa Manukaya, 24 Mei 2010). Di sektor perdagangan terjadi peningkatan jumlah fasilitas, seperti pengembangan pasar tradisional untuk kepentingan pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan. Suasana pedesaan dari aktivitas pasar tradisional tercermin dari komoditas yang dijual, yang pada umumnya berupa kebutuhan pokok seharihari. Perdagangan
memegang
peranan
penting
dalam
menunjang
perekonomian masyarakat Desa Manukaya. Hasil-hasil bumi dan barang-barang kerajinan merupakan komoditi penting dalam perdagangan. Barang-barang kerajinan yang merupakan ciri khas produk Tampaksiring banyak digemari oleh para wisatawan yang berkunjung, baik wisata domestik maupun wisatawan manca negara. 4.1.5
Agama dan Kepercayaan Seperti diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Manukaya memeluk
agama Hindu. Agama Hindu, seperti diketahui, berasal dari daratan India. Sebagai negara besar di kawasan Asia Selatan, sejak lama India telah memainkan peranan penting bahkan pengaruhnya, terutama pengaruh budaya sampai ke daratan Asia Tenggara. Kenyataan itu telah memperkuat pendapat betapa luasnya pengaruh
93
kebudayaan India baik dalam bentuk Hinduisme maupun Buddhisme (Yadav, 1998 : 5). Desa Manukaya, proses kehidupan sejarah masyarakat dimulai sejak munculnya pengaruh agama Hindu pada sekitar pertengahan abad IX. Keberadaan agama Hindu dapat diketahui berdasarkan temuan fragmen prasasti berbahasa Sanskerta yang ditemukan di Desa Pejeng, Blahbatuh, dan Tatiapi. Di antara bagian-bagian yang masih terbaca antara lain berbunyi .... siwas .... ddha.... yang diperkirakan selengkapnya berbunyi siwasiddhanta (Astra, 1997 : 52). Hal itu memberi petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan, dalam hal ini agama Hindu sekte Siwa (Stutterheim, 1929 : 62). Desa Manukaya sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Beberapa tinggalan arkeologi yang ada di wilayah desa ini memperlihatkan adanya aktivitas kehidupan masa lalu, yang sudah lama menarik perhatian para ahli khususnya ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan. Bukti-bukti sejarah dan arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat Manukaya sejak lama telah menganut agama dan kepercayaan dengan berbagai alirannya. Agama adalah kunci sejarah. Kita tidak dapat memahami hasil-hasil budaya masyarakat tanpa mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar belakangnya. Dalam semua zaman, hasil utama budaya didasarkan pada gagasangagasan keagamaan dan diabadikan untuk tujuan keagamaan (Zoetmulder, 1965 : 327). Pernyataan Dawson yang dikutip oleh Zoetmulder itu berlaku pada situasi dan kondisi Desa Manukaya, sebab tampak bahwa sejumlah hasil budaya
94
materi dari masa lalu menunjukkan latar belakang dan semangat keagamaan. Pura Tirta Empul beserta sejumlah tinggalan arkeologi di dalamnya jelas menunjukkan fungsinya sebagai benda yang dibuat untuk kepentingan agama, khususnya Agama Hindu. Oleh karena mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, pola pikir dan perilaku masyarakat sampai saat ini masih kental mencerminkan budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Budaya Bali mempengaruhi baik karakter maupun orientasi hidup sebagian besar masyarakat Manukaya. Budaya Bali dan Agama Hindu saling berinteraksi, berintegrasi, sekaligus merupakan landasan bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Agama merupakan hak dasar manusia yang paling hakiki dan sekaligus merupakan ciri yang universal bagi kehidupan sosial manusia. Masyarakat Manukaya melaksanakan ajaran agama dilandasi oleh tiga kerangka dasar Agama Hindu, yakni tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Penerapan falsafah Tri Hita Karana merupakan pengejawantahan dari hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta makhluk lainnya, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya di mana ia berada. Hal ini merupakan proyeksi dari keyakinan Agama Hindu yang disebut panca sradha, yaitu lima dasar keyakinan Agama Hindu yakni percaya adanya Tuhan, Atman, punarbhawa, karmaphala, dan moksa, ke dalam tata kehidupan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif. Pada akhirnya, tujuan akhir agama Hindu adalah moksartham jagadhitaya ca iti dharmah yang berarti tujuan beragama (dharma) ialah untuk mencapai kelepasan, kebebasan atau kesempurnaan roh
95
(moksa), kesejahteraan umat manusia, kedamaian, dan kelestarian dunia (jagadhita). 4.2
Gambaran Umum Pura Tirta Empul
4.2.1
Keadaan Pura dan Lingkungannya Pura Tirta Empul (lihat Gambar 4.3) dapat dicapai dengan mudah,
karena telah dihubungkan oleh jalan raya yang sangat baik. Dari Kota Denpasar, perjalanan akan menempuh jarak lebih kurang 32 km melalui jurusan Desa Bedulu – Pejeng – Tampaksiring. Untuk sampai di lokasi, pada pertigaan jalan sebelum memasuki area Istana Presiden Tampaksiring terdapat jalan membelok ke kanan. Setelah menempuh jarak sekitar 600 meter maka tibalah di Pura Tirta Empul.
Gambar 4.3 Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
96
Secara astronomis, posisi Pura Tirta Empul terletak pada koordinat 115018’43’ Bujur Timur
dan 8010’30’ Lintang Selatan serta berada pada
ketinggian 479 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata pada situs ini adalah 23 oC dan curah hujan pertahun mencapai 1618 mm, dengan kelembaban udara 76%. Kondisi klimatologis seperti itu menyebabkan suhu yang sejuk di dalam pura. Lingkungan mikro yang cukup lembab ini mungkin disebabkan oleh karena letak Pura Tirta Empul boleh dikatakan paling rendah jika dibandingkan dengan tempat sekitarnya yang merupakan perbukitan kecil. Tempat yang rendah ini tampaknya disebabkan karena pusaka budaya ini berorientasi pada mata air yang pada umumnya terdapat pada bagian yang paling rendah. Memasuki areal Pura Tirta Empul, tampak panorama yang cukup indah. Tidak jauh dari pura, tepatnya di sebelah timur sungai kecil terdapat puluhan kios yang menjual barang cendramata. Selain itu, terdapat pula halaman parkir yang cukup luas untuk menampung kendaraan pengunjung. Fasilitas ini tersedia karena Pura Tirta Empul merupakan salah satu daya tarik wisata dan mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak. Sebagaimana namanya, situs Pura Tirta Empul mempunyai sumber mata air yang sangat jernih. Mata air yang dianggap suci ini terletak di bagian halaman tengah pura, lalu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar melalui lubang pancuran (Gambar 4.4) dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang berada di sisi timur pura. Mata air ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumber kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan dan kemakmuran serta menyucikan diri.
97
Gambar 4.4
Kolam Permandian Beserta Pancurannya (Dok. Setiawan, 2010)
Keadaan pura saat ini secara keseluruhan terawat dengan baik, karena merupakan daya tarik wisata yang secara langsung mendapat pengawasan dari pemerintah maupun desa adat setempat. Sebagai daya tarik wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan, kawasan ini telah ditatat sesuai dengan konsep pelestarian yang diamanatkan oleh Undang-undang Benda Cagar Budaya. Selain itu, diupayakan pula untuk membedakan kawasan yang bersifat profan dan sakral. Kawasan sakral sama sekali tidak boleh ada bangunan lain kecuali terkait dengan kegiatan upacara keagamaan. Sedangkan kawasan profan diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti toilet, artshop, lahan parkir, tiketing, warung makan, dan sebagainya.
98
4.2.2
Sejarah Pura Pura Tirta Empul merupakan representasi dari pura taman air yang
dikembangkan oleh para penguasa di masa lalu. Pemilihan mata air sebagai lokasi tempat suci tampaknya sangat sesuai dengan konsep India Kuno yang mensyaratkan bahwa lokasi sebuah kuil sedapat mungkin harus berdekatan dengan sumber air (Acharya, 1933 : 13-14). Karena itu, tidaklah mengherankan jika di sepanjang daerah aliran Sungai Pakerisan ditemukan cukup banyak bangunan bersejarah berbentuk candi atau pura, seperti Candi Gunung Kawi, Candi Mangening, Pura Pengukur-ukuran, Candi Tegallinggah, dan Tirta Empul itu sendiri. Untuk dapat mengungkap sejarah pendirian Pura Tirta Empul, ada beberapa sumber tertulis yang dapat digunakan, antara lain Prasasti Manukaya dan pustaka lontar Usana Bali. Prasasta Manukaya adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu, sekarang prasasti tersebut tersimpan pada sebuah palinggih (bangunan suci) di Pura Puseh Desa Manukaya. Sejak tahun 1924 Prasasti Manukaya telah menarik perhatian di kalangan para ahli purbakala, khususnya ahli purbakala dari Belanda. Diantara mereka yang menaruh minat besar terhadap prasasti ini adalah W.F. Stutterheim. Stutterheim adalah orang pertama yang berhasil membaca Prasasti Manukaya dan kemudian diterbitkan dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Bali (Stutterheim, 1929 : 68-69). Selanjutnya prasasti ini dibaca ulang oleh R. Goris dan diterbitkannya dalam bukunya yang berjudul Prasasti Bali I (Goris, 1954 : 75-76).
99
Prasasti Manukaya yang sangat disucikan oleh masyarakat setempat dipahatkan pada sebuah batu kedua sisi, namun huruf-huruf yang terpahat sudah demikian ausnya, sehingga tidak semua isi prasasti dapat dibaca. Sisi pertama (A) terdiri atas 15 baris tulisan, sedangkan sisi kedua (B) terdiri atas 8 baris tulisan. Prasasti Manukaya menggunakan bahasa dan huruf Bali Kuno. Sisi A yang masih dapat dibaca antara lain menyebut tahun dikeluarkan prasasti yaitu 882 Saka /960 Masehi, serta menyebut nama raja Jayasingha Warmadewa. Selain itu, prasasti ini juga memuat perintah raja untuk memugar atau memperbaiki telaga atau tirtha di air Mpul (sekarang Tirta Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air. Telaga itu sampai saat ini masih dianggap suci oleh masyarakat terutama sekaa barong di daerah Gianyar. Setiap tahun sekali diadakan odalan, dan prasasti batu tersebut diarak ke Pura Tirta Empul untuk disucikan. Dengan demikian, jika angka tahun prasasti tersebut di atas dianggap sebagai tahun berdirinya tempat suci ini, maka dapat dipastikan bahwa umur Pura Tirta Empul saat ini sudah mencapai 1050 tahun. Selain keterangan prasasti tersebut di atas, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat yang berkembang hingga saat ini yang bersumber dari Kekawin Usana Bali. Isi lontar itu terutama mengisahkan bahwa pada zaman dahulu pasukan apsara dari surga yang dipimpin oleh Dewa Indra berangkat dari Kahyangan ke Bali. Dewa Indra dengan pasukannya turun di Kahyangan Basukih, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan ke barat untuk menyerang Raja Mayadanawa di Bedahulu. Raja Mayadanawa adalah raja yang
100
sangat sombong, angkuh dan melarang rakyat mengadakan persembahan kepada Dewa. Sikap Mayadanawa yang demikian menyebabkan para Dewa menjadi marah. Dewa Indra dengan Patih Citranggada, Citrasena dan Jayanta beserta pasukankannya membagi tugas mengatur siasat perang untuk melawan Mayadanawa. Suara kendang berdentuman alunan gong bergemuruh, bendera berkibar, bala tentara berjalan menjejal menuju Desa Bedahulu. Mayadanawa menghina dan mencela tiada henti-hentinya dengan sombong, congkak, dan kasar, diikuti oleh raksasa yang lain. Mengetahui akan musuhnya datang, pasukan Mayadanawa segera menghadang. Maka terjadilah pertempuran yang sangat dasyat antara pasukan Dewa Indra melawan pasukan Mayadanawa. Beribu-ribu pasukan bertempur bergemuruh hingga banyak korban bergelimpangan. Entah beberapa lama perang berlangsung, akhirnya pasukan Dewa Indra berhasil mendesak mundur pasukan Mayadanawa. Dari keretanya Mayadanawa melihat kekalahan pasukannya, sehingga ia turun ke medan perang. Pertempuran dasyat kembali terjadi. Mayadanawa sangat marah gemertak giginya dan bersuara menggelegar. Mayadanawa menantang berperang berhadap-hadapan (perang tanding), sementara Dewa Indra dengan tenang terus mendesak raksasa itu dengan melepaskan beberapa anak panah. Karena terdesak, Mayadanawa akhirnya melarikan diri ke arah utara dan terus dikejar oleh pasukan Dewa Indra. Sampai di Desa Manukaya, raja Mayadanawa berubah wujud menjadi manuk (ayam jantan). Akhirnya manuk ini dipanah oleh Dewa Indra, maka matilah raksasa itu. Konon darah Mayadanawa
101
dari mulutnya menyembul pusaran air, aliran air Petanu namanya. Air sungai itu tidak boleh diminum, tidak boleh digunakan untuk mandi atau cuci muka karena air itu dipercaya bersumber dari darah raksasa (Pupuh xv : 1). Sementara itu, di sebelah selatan desa Manukaya terdapat suatu tempat yang bernama Alas Pagulingan. Di tempat inilah Patih Kalawong (Patih Mayadanawa) membuat tirta mala yang menyebabkan kematian pasukan apsara. Melihat keadaan seperti itu, lalu Dewa Indra menciptakan air suci. Air ini lalu diperciki kepada para pasukan apsara yang telah mati, sehingga berhasil hidup kembali. Air suci ini kemudian bernama Tirta Empul. Jika kaum Brahmana dan ksatria mandi dan cuci muka di sini, wajah dan tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka. Jika kaum Wesya dan Sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang berbudi luhur akan mendapat keberuntungan. Mereka yang datang diharapkan menghaturkan sesaji diiringi puja mantra memuja Dewa Siwa. Untuk jelasnya berikut dikutipkan Kakawin Usana Bali Pupuh xiv 1-4 (Kusuma : 2005, 74-75) sebagai berikut. Pupuh xiv 1. Byaktitan patining mahasura Maya radin atisaya tustaning sabhuwana, hyang sakra ndan asighra mantuk umareng nguwu saha balakusa wahana kabeh, ndararyan tepining nadi parama nirmala siratelas adyu sahyas asalin, ngka muja ribhatara suksma siwa tarppana ginawayarat kasugatin. 2. Airampul pengaranya dengku lingiramarapati kateka tekeng helem ike, atyanteki pawitraning parama tirtha saphala gumawe suka parimita, monsang brahmana yan ksimatriya kuneng mahasa-hasa lanadyusa sring arahup, mukta klesa sarira punyaguna labda tinemu nira papa pataka hilang. 3. Towi praptanira agawe widhi-whidana gelaring anustanakya tinata, mudhra mantra tkeng pranayana jiwas marana sahaja kuta mantra ri tengah, sang weruh mangkana bhagya yadjapi tatar weruh irika
102
manganugraha nemu phala, ngkana jadma nijadma sidha bayu manggihing ika sang atirthayatra ri helem. 4. Yadyastun hana waisya sudra tuwisawakan ika jadi tuccha jati datenga, byakta mangguha sasinadhyan ika yan duga-duga ring ulahnya labha katemu, nahan pajarira Hyang Indra ri sedengnira lumekasaken siwaccana widhi, matrongkara sakeng langit kusuma warssa jaya-jaya susiddi rasthu. Artinya : 1. Setelah kematian Mayadanawa dunia menjadi tentram, Dewa Indra kembali ke pesanggrahannya diikuti oleh seluruh pasukannya, beristirahat di tepi sumber air ciptaannya itu lalu mandi dan mengganti busana, selanjutnya memuja kehadapan Dewa Siwa agar dianugrahi kebahagiaan. 2. Kata Dewa Indra ”ini ku namai air empul” sampai kelak, siapa yang diperciki air ini akan mendapat keberhasilan dan keselamatan, jika kaum Brahmana dan Kesatrya mandi dan cuci muka di sini, wajah dan tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka. 3. Mereka yang datang diharapkan menghaturkan sesaji walaupun sangat sederhana, diiringi puja mantra sambil memuja kehadapan Dewa Siwa yang di tengah, bagi yang mengetahui akan berbahagia dan bagi yang belum mengetahui akan dianugrahi kesuksesan, mereka yang melakukan tirtayatra di sana akan mendapat keselamatan di kemudian hari. 4. Jika kaum wesya dan sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang berbudi luhur mendapat keberuntungan. Begitulah permohonan Dewa Indra saat memuja Dewa Siwa, terdengar sabda dari angkasa kemenangan yang mengharumkan. 4.2.3
Struktur Pura Secara horizontal Pura Tirta Empul (lihat Gambar 4.5) terbagi atas tiga
bagian, yaitu jaba pura (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Pembagian atas tiga halaman seperti itu tampaknya mempunyai dasar pemikiran filosofis, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Jaba pura melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat
103
kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan jeroan melambangkan swarloka yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa. Adapun struktur tiga bagian Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut. 1.
Jaba pura, adalah halaman paling luar. Di hadalam ini terdapat balai
wantilan dan sebuah kolam. Balai wantilan adalah bangunan terbuka berfungsi sebagai tempat keramaian pada waktu upacara piodalan, sebagai tempat mengadakan sabungan ayam yang berfungsi tabuh rah (korban darah), tempat pertemuan, dan tempat untuk kepentingan upacara lainnya. Sedangkan kolam yang berada di sebelah barat balai wantilan berfungsi untuk memperindah areal pura, dengan sejumlah ikan hias di dalamnya. Pada bagian barat kolam berdiri beberapa buah bangunan sebagai tempat untuk memajang barangbarang kerajinan/souvenir yang diperjualbelikan kepada para pengunjung. Barang-barang souvenir di tempat ini dikelola oleh sebuah koperasi dibawah koordinasi Bendesa Adat Manukaya Let. Kompleks kolam ini dibatasi oleh tembok penyengker berbentuk persegi empat dengan arsitektur tradisional Bali. Di bagian utara halaman luar juga terdapat dua buah pelinggih apit lawang yang mengapit pintu masuk menuju kolam di mana orang melakukan prosesi melukat (menyucikan diri). 2.
Jaba tengah, adalah halaman tengah dari Pura Tirta Empul. Di
halaman ini terdapat taman suci, yaitu berupa kolam dengan ukuran panjang 20 meter dan lebar 10 meter. Kolam yang berbentuk persegi empat panjang ini pada bagian tengahnya terdapat mata air yang muncul dari dalam tanah (tirta empul). Tirta berarti ”air suci” dan empul artinya air yang memancur dari
104
tanah (kelebutan). Selanjutnya, air dari sumber mata air ini dialirkan ke kolam permandian yang lebih rendah di sebelah selatan melalui 26 buah pancoran. Empat buah pancoran berada pada kolam paling barat berderet dari utara ke selatan, dan 22 buah pancoran berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancoran menurut tradisi masyarakat setempat mempunyai nama tersendiri, di antaranya pancoran penglukatan, pebersihan, sudamala, panglebur gering, dan panegtegan. Pada pancuran yang menghadap ke selatan inilah banyak orang menyucikan diri (melukat), yaitu mandi dengan tetap menggunakan pakaian adat dan pada umumnya mereka juga memper-sembahkan sesajen berupa canang sebelum melukat. Pada harihari tertentu, misalnya hari raya (Umanis Galungan, Umanis Kuningan, Banyu Pinaruh), Purnama (bulan terang), Tilem (bulan mati) atau pada hari libur banyak orang melukat di kolam tersebut, hingga penuh sesak. Di kolam ini orang tidak diperkenankan memakai sabun, tidak diperkenankan mencuci pakaian, serta diwajibkan menghaturkan sesajen seperlunya. Selain taman suci dan kolam permandian, pada halaman ini juga terdapat beberapa bangunan, seperti Bale Pegat, Bale Agung, dan Bale Gong. Bale Pegat terletak di bagian barat halaman ini, Bale Agung di bagian timur, dan Bale Gong di sebelah selatan menghadap ke arah utara. Di tengah-tengah halaman ini juga terdapat tinggalan megalitik berupa batu yang masih disucikan oleh masyarakat setempat. 3.
Jeroan, adalah halaman yang paling
dalam, paling hulu, dan
merupakan bagian halaman yang tersuci. Di halaman ini terdapat pelinggih-
105
pelinggih/ (bangunan suci) untuk memuja Tuhan, para Dewa, atau Bhatarabhatari. Untuk mencapai tempat ini harus melalui sebuah pintu masuk yang disebut candi bentar. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi dari halaman tengah, sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura bertingkat-tingkat semakin meninggi. Bangunan suci terpenting yang terdapat di sini adalah bangunan tepasana berbentuk segi empat menyerupai bangunan candi. Bangunan suci dengan tinggi lebih kurang 5 meter ini adalah tempat bersthananya Dewa Indra, seperti yang diceritakan dalam kitab Usana Bali. Di depan pelinggih inilah biasanya orang atau masyarakat bersembahyang mohon keselamatan, kebahagiaan, ketentraman lahir dan batin. Selain pelinggih tepasana, di halaman ini masih terdapat banyak pelinggih yang lain, berderet dari barat ke timur, antara lain bale priasan, bale pemereman, bale pewedan, pelinggih Mayadanawa, bale priasan Dewa, gedong pengemit, gedong dewa, bale penyimpenan, gedong limas, gedong sari, dan bale pengaruman. Di bagian barat halaman ini terdapat bale penandingan
dan bale gong,
sedangkan di bagian selatan menghadap ke arah utara terdapat bale peselang dan bale pecanangan. Selain ketiga halaman pura tersebut, masih ada satu halaman khusus yang terletak pada sudut barat laut pura, yaitu halaman penyucian (lihat Gambar 4.5). Di halaman ini terdapat beberapa buah bangunan yang berfungsi untuk melakukan persiapan upacara. Bangunan yang terdapat di halaman ini antara lain, bale penandingan, bale penyelaman, bale gede, bale pertemuan, dan bale kulkul.
106
4.2.4
Karakter Pura Pura sebagai tempat suci umat Hindu tersebar di seluruh wilayah Pulau
Bali, baik di daerah pegunungan, dataran, atau tepi pantai. Dari ribuan jumlah pura yang ada, berdasarkan karakternya dapat dikelompokkan atas empat kelompok besar sebagai berikut. 1. Pura Umum, adalah pura yang mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya (para dewa). Pura yang tergolong umum dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut ”Kahyangan Jagat Bali”. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan sebagainya. Pura-pura lain yang juga tergolong umum adalah pura di samping berfungsi sebagai tempat memuja Tuhan, juga untuk memuja kebesaran seorang pendeta guru suci atau Dang Guru, karena pada hakikatnya umat Hindu merasa berhutang jasa kepada Beliau atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi Rna. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter ini adalah Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Silayukti, Pura Sakenan, Pura Tanah Lot, dan lain-lain. Pura-pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra (perjalanan suci) yang dilakukan oleh Empu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha, karena peranannya sebagai Dang Guru Suci.
107
Gambar 4.5
Denah Pura Tirta Empul (Sumber Kantor BP3, Bali, NTB, NTT, 2009)
108
2. Pura Teritorial, adalah pura yang mempunyai ciri kesatuan wilayah (teritorial) sebagai tempat pemujaan dari warga desa yang diikat oleh kesatuan wilayah dari suatu desa. Ciri khas suatu desa adat di Bali adalah memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa atau Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut pada hakikatnya berfungsi untuk memuja Dewa Trimurti, yaitu Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa dengan fungsinya masing-masing sebagai dewa pencipta, pemelihara, dan pemeralina segala yang ada di dunia ini. 3. Pura Fungsional, adalah pura yang mempunyai karakter khusus dan umat penyungsungnya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup, seperti petani, pedagang, dan nelayan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter ini adalah Pura Subak, Pura Ulun Danu, Pura Masceti, dipuja oleh para petani, dan Pura Melanting yang pada umumnya didirikan di dalam suatu pasar dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut. 4. Pura Kawitan, yaitu pura yang mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Pura yang tergolong karakter ini adalah Pura Dadya dipuja oleh kelompok keluarga yang berasal dari leluhur yang sama. Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau merajan yang ada di dalam masing-masing rumah dengan pelinggih/bangunan pokok kemulan taksu. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas terdiri atas beberapa kelompok kerabat
109
dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Paibon atau Pura Panti (Ardana, 1982 : 116-117). Berdasarkan uraian di atas Pura Tirta Empul termasuk pura berkarakter/ berstatus sebagai pura jagat atau Dang Kahyangan. Hal ini terbukti dari banyaknya orang dari seluruh Bali bersembahyang ke pura ini. Sebagai pura jagat, Pura Tirta Empul berfungsi sebagai tempat persembahyangan, penyucian, baik penyucian pretima (arca, prasasti) maupun penyucian diri (melukat) untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan lahir batin. 4.2.5
Tinggalan Arkeologi Seperti pada umumnya pura-pura di Bali, Pura Tirta Empul secara
horizontal terbagi atas tiga halaman, yaitu halaman luar, halaman tengah, dan halaman dalam. Pada halaman luar (jaba) terdapat beberapa bangunan seperti wantilan dan kolam beserta ikan hias untuk memperindah pura. Di halaman tengah terdapat beberapa bangunan, antara lain, Bale Pegat, Bale Agung, Bale Gong, dan Taman suci. Pada halaman dalam yang merupakan halaman tersuci terdapat sejumlah bangunan suci pemujaan seperti Bale Piyasan, Bale Pemereman,
Bale
Pawedan,
Pelinggih
Mayadanawa,
Pelinggih
Patih
Mayadanawa, Bale Priyasan Dewa, Gedong Pengemit, Gedong Dewa, Tepasana, Gedong Sari, Bale Pengaruman, dan Bale Peselang. Tinggalan arkeologi yang merupakan ciri kekunaan Pura Tirta Empul terdapat di halaman tengah dan halaman dalam pura. Beberapa tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.
110
1. Empat buah batu alam Batu-batu alam ini berada di halaman dalam pura, letaknya di dekat bangunan Gedong Sari. Batu-batu alam ini masih dianggap suci oleh masyarakat pengempon pura. Dari pengamatan yang seksama dapat dikatakan bahwa batubatu itu kemungkinan besar adalah menhir atau tahta batu yang terkait untuk kepentingan keagamaan. Menhir adalah batu tegak yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Menhir dapat berdiri tegak atau berkelompok. Menhir merupakan refresentasi monumen megalitik yang didirikan oleh sekelompok masyarakat di tempat-tempat tertentu dan akan melegitimasikan hubungan antar kelompok masyarakat dengan leluhur atau nenek moyangnya. Sementara itu tahta batu adalah salah satu hasil teknologi batu yang mula-mula berfungsi sakral sebagai tahta arwah nenek moyang atau pemimpin yang dihormati. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tahta batu itu dibangun dengan teknik susun tumpuk, yaitu dengan jalan menyusun tumpuk batu-batu menurut keperluan tanpa mengubah bentuk aslinya (Sutaba, 1995 : 74-75). Dalam perkembangan selanjutnya, teknik susun tumpuk telah mengalami penyempurnaan sehingga menjadi teknik susun timbun dalam pembangunan candi-candi. Dengan demikian terbukti bahwa teknik susun tumpuk telah menjadi dasar teknik pembangunan yang berkembang belakangan di daerah Bali. Di Kabupaten Gianyar hanya ditemukan dua buah tahta batu, yaitu sebuah tahta batu yang dibuat dari sebuah batu kali yang dipangkas menjadi bagian sandaran dan alas tempat duduk. Tahta batu ini sampai sekarang dipandang sebagai media
111
pemujaan yang sakral disimpan di Pura Sakenan, Ubud, bersama-sama dengan bentuk-bentuk megalitik lainnya. Tahta batu yang kedua, adalah deretan tahta batu disusun memanjang, ditemukan di Desa Lebih yang juga berfungsi sakral. Menurut fungsinya dewasa ini, tahta batu itu berfungsi sebagai media pemujaan kepada leluhur atau pemimpin dengan harapan dapat memberi kesejahteraan kepada masyarakat. 2. Lingga-Yoni Lingga yoni terdapat pada sebuah pelinggih arca di halaman tengah di sebelah barat kolam suci Tirta Empul (lihat Gambar 4.6). Lingga yang terletak (berdiri) pada lubang yoni dibuat dari bahan batu padas, dengan ukuran tinggi 21 cm dan lebar 16 cm. Sedangkan yoni yang berada di bawahnya, bagian sisinya berukuran 50 cm. Sebagai sarana peribadatan benda ini diketahui melambangkan kesatuan Dewa Siwa dengan saktinya
Dewi Parwati.
Adakalanya yoni ditemukan tanpa ada lingganya. Sedangkan lingganya dapat diwujudkan dalam bentuk phalus sebagaimana dijumpai di Pura Pusering Jagat, di Desa Pejeng, Gianyar. Pasangan lingga-yoni pada umumnya dijumpai pada bilik candi-candi Hindu, di daerah Jawa Timur maupun Jawa Tengah untuk menggantikan arca Dewa yang seharusnya terdapat dalam sebuah candi. Ada kalanya kedua benda itu dijumpai tanpa ada suatu bangunan yang diduga memiliki kaitan dengan keberadaannya, misalnya lingga-yoni sebagai lambang kesuburan. Yoni adalah benda berbentuk seperti lumpang batu yang mempunyai cerat pada salah satu sisinya. Menurut kepercayaan Hindu, yoni merupakan simbol
112
pasangan Dewa Siwa dalam wujud lingga. Oleh karena itu, yoni mempunyai pasangan berupa lingga yang bentuknya seperti tiang atau batu penumbuk yoni juga merupakan lambang unsur wanita, sedangkan lingga merupakan lambang unsur laki-laki. Persatuan kedua unsur tersebut dianggap sebagai lambang penciptaan dan kesuburan (Kempers, 1956 : 42-43).
Gambar 4.6
Lingga Yoni di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
3. Arca Binatang Tokoh binatang tentu paling mudah diketahui karena jelas identitasnya. Namun, dalam kaitannya dengan dunia kedewataan, arca binatang seringkali bukanlah binatang dalam arti biasa, tetapi merupakan kendaraan Dewa tertentu, sehingga kehadiran tokoh ini seringkali dapat dijadikan petunjuk mengenai Dewa Utama yang hadir bersamanya. Di Pura Tirta Empul
113
ditemukan dua arca binatang, yaitu lembu dan singa yang ditempatkan bersama-sama dengan lingga-yoni tersebut di atas. Sebuah arca lembu dari bahan batu padas ditemukan di Pura Tirta Empul (Gambar 4.7). Arca ini berukuran panjang 82 cm dengan lebar 37 cm. Binatang ini pada umumnya dijumpai sebagai arca, baik sebagai kendaraan Dewa Siwa maupun sebagai musuh Durga (Mahisa Asura). Arca lembu pada umumnya ditampilkan sebagai binatang dalam posisi mendekam. Sebagai wahana Dewa Siwa, lembu biasanya ditampilkan terpisah dari Siwa. Namun sebagai musuh Durga, lembu (bersama asura) selalu digambarkan dalam bentuk adegan di mana Durga dalam posisi menginjaknya. Penggambaran seperti itu ditemukan di Pura Bukit Dharma, Desa Kutri, Gianyar. Sedangkan Arca Singa terutama yang terbuat dari bahan batu padas umumnya dipajang sebagai penjaga bangunan suci.
Gambar : 4.7
Arca Lembu/Nandi di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
114
4. Fragmen Arca Perwujudan Di samping kiri Bale Peselang kompleks Pura Tirta Empul dijumpai beberapa buah arca perwujudan seorang tokoh (Gambar 4.8) . Arca yang sudah agak aus ini ada yang berukuran tinggi 49 cm dan lebar 27 cm, dibuat dari bahan batu padas. Sebagai komponen yang berdiri sendiri, arca adalah sarana ritual yang digunakan untuk melambangkan kehadiran seorang tokoh.
Gambar 4.8 Pragmen Arca Perwujudan yang sangat aus (Dok. Setiawan, 2010) Arca dipandang sebagai media yang dapat ”hidup” ketika esensi tokoh tertentu masuk ke dalamnya melalui suatu upacara tertentu. Dalam pemikiran keagamaan Hindu cara pandang di atas dinyatakan dalam perwujudan arca. Temuan arca-arca seperti tersebut di atas merupakan bukti bahwa sistem relegi
115
masyarakat berpusat kepada kultur nenek moyang. Pada waktu itu masyarakat, percaya kepada roh nenek moyang yang dapat memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat yang masih hidup. Masyarakat juga percaya bahwa arwah nenek moyang itu bersemayam di puncak gunung atau bukit. Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa gunung sebagai tempat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Agama Hindu masuk ke Bali, gunung tetap dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya para Dewa. Paparan di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa manusia Bali (baca Manukaya) pada akhir masa prasejarah, atau menjelang masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial budaya, religi, teknologi, yang relatif maju dan kompleks. Dengan bekal itulah mereka menyongsong kehadiran pengaruh budaya asing, yaitu budaya Hindu-Buddha yang berasal dari daratan India. Pada masa Bali Kuno atau masa pengaruh Hindu-Buddha, pengertian arca dihubungkan dengan istilah vigraha atau bimba yang dalam bahasa Sanskerta berarti ”perwujudan dewa”. Selain itu, di Bali dikenal pula istilah pralina, yaitu penggambaran tokoh/raja yang sudah diperdewakan. Kedua jenis penggambaran tersebut digunakan sebagai media untuk
mengadakan
hubungan
secara
langsung
dengan
dewa
yang
digambarkan. Menurut kepercayaan Hindu, dewa adalah personifikasi kekuatan alam. Menurut pemikiran tersebut, angin, gunung, laut, matahari, bulan, api, air, dan sebagainya adalah kekuatan yang berada di luar diri manusia dan diwujudkan dalam bentuk manusia super. Kekuatan manusia super tersebut antara lain diwujudkan melalui penggambarannya yang tidak
116
wajar, misalya mempunyai kepala lebih dari satu atau mempunyai lengan banyak. Setiap dewa atau dewi mempunyai laksana (ciri atau atribut) yang membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Selain laksana, dewa juga dapat dibedakan melalui mudra (sikap atau posisi tangan), dan asana (posisi duduk atau berdiri seorang tokoh). Dengan demikian, laksana, mudra, dan asana merupakan penentu identitas tokoh (Atmosudiro, 2001 : 75-76). 5. Fragmen Bangunan dan Bangunan Tepasana Tidak jauh dari temuan arca perwujudan, ditemukan pula fragmen bangunan. Berdasarkan bentuknya, fragmen bangunan ini diperkirakan merupakan bagian dari susunan atap prasada atau candi. Fragmen yang berbahan dari batu padas ini pada bagian sisi-sisinya telah ditumbuhi lumut, sedangkan bagian sudut dan bawahnya dalam keadaan aus. Selain fragmen bangunan, di Pura Tirta Empul terdapat bangunan utama, yaitu tepasana yang mirip dengan bentuk candi (lihat Gambar 4.9). Candi adalah salah satu bangunan keagamaan yang mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buddha. Dari kitab Negarakertagama dan Pararaton diperoleh keterangan bahwa pembangunan candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabadikan dharma-Nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya (Seokmono, 1993 : 67). Secara konseptual bentuk fisik candi yang menjulang tinggi merupakan replika gunung, tempat bersemayam para Dewa dan roh-roh suci. Candi yang berfungsi sebagai kuil pemujaan agama Hindu dan Buddha biasanya mempunyai ruang untuk menempatkan arca/patung yang menggambrkan
117
Dewa, sekaligus raja titisannya. Di Bali, roh leluhur lebur menyatu dengan Dewa yang di dunia manusia diwakili oleh raja. Dengan demikian, pemujaan terhadap Dewa agama Hindu dan Buddha waktu itu merupakan bentuk baru dari pemujaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang (Atmosudiro, 2001 : 47).
Gambar 4.9
Bangunan Tepasana Tempat Memuja Dewa Indra (Dok. Setiawan, 2010)
Secara vertikal candi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap candi. Ketiga bagian itu melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwah loka, dan swahloka. Kaki candi melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Di dalam kaki candi
118
di bagian tengah terdapat sumuran untuk menempatkan pripih, yaitu wadah berisi kepingan-kepingan logam, batu mulia, dan biji-bijian, yang menjadi media bagi para Dewa untuk memasukkan ”zat inti” kedewaannya. Tubuh candi melambangkan bhuwahloka, yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, Dalam tubuh candi di atas sumuran itulah ditempatkan arca Dewa atau obyek pemujaan lainnya. Sedangkan atap candi melambangkan swahloka, yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa. Bangunan tepasana di Pura Tirta Empul yang mirip dengan candi berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Indra. 6. Petirtaan Sebagaimana telah disebutkan di atas di kompleks situs Pura Tirta Empul terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Mata air ini terletak di bagian halaman tengah pura dan merupakan air suci yang dimanfaatkan untuk kepentingan upacara keagamaan. Selain itu masyarakat meyakini bahwa mata air tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat menghilangkan segala macam mala (kotor) dalam tubuh manusia. Sumber mata air itu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar pura. Di situlah pada hari-hari tertentu banyak orang datang dan melukat untuk membersihkan tubuhnya/ menyucikan dirinya (lihat Gambar 4.10). Di Pura Tirta Empul sekarang terdapat tiga buah kolam, yaitu kolam utama sebagai pusat sumber air, sedangkan kolam kedua dan ketiga sebagai tempat penampungan air melalui beberapa pancuran yang berjajar dari barat ke timur. Dari satu mata air yang dianggap suci, air dialirkan melalui pancuran yang dibutuhkan oleh manusia
119
dalam kehidupannya. Di antara air suci (tirta) itu, ada di antaranya yang berfungsi untuk pembersihan, untuk pengobatan, untuk menghilangkan kutukan, dan untuk upacara keagamaan. Tidak terhitung jumlah orang yang datang menyucikan diri ke kolam suci Pura Tirta Empul. Dari hari biasa sampai pada hari tertentu yang dianggap suci, jumlah umat yang datang sungguh luar biasa. Mereka rela menunggu giliran dalam antrean panjang, dengan kesabaran dan ketulusan hari untuk memohon berkah dari yang Maha Kuasa. Air dari kolam ini sebagian dialirkan ke jaringan irigasi untuk mengairi sawah di Desa Pejeng, dan sebagian lagi dialirkan ke sebuah kolam permandian yang ada di sebelah timur, dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang berada di sisi timur pura.
Gambar 4.10
Umat Sedang Melakukan Prosesi Melukat di Kolam Suci Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
120
4.2.6
Fungsi Pura
4.2.6.1 Pura Tirta Empul Sebagai Tempat Peribadatan Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum tahun 1980-an pura ini belum populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci. Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui berdasarkan keterangan Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno Jayasingha Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar (Goris, 1954 : 75-76). Selain Prasasti Manukaya, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan Kitab Kakawin Usaha Bali karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan pertempuran Mayadanawa dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra beserta pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-96). Tirta Empul adalah ”air suci” yang diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti membersihkan diri (melukat), membuang aib, termasuk juga untuk kepentingan upacara keagamaan. Dari kedua sumber tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada mulanya Pura Tirta Empul jelas didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan kata lain, Pura Tirta Empul sebagai tempat suci berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan bagi masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap
121
mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya (Agus, 2006 : 1). Kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib telah ada sejak zaman purba bahkan sampai ke zaman modern sekarang ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius. Mengadakan upacara-upacara pada hari-hari tertentu, pada suatu tempat, juga berlangsung sejak lama hingga zaman modern ini. Mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sakral juga ciri khas kehidupan beragama. Demikian juga adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama. Semua itu menunjukkan bahwa kehidupan beragama merupakan gejala universal yang ditemukan dalam kehidupan individu dan masyarakat (Koentjaraningrat, 1977 : 228-229). Di samping universal, kehidupan beragama di zaman modern ini sudah demikian kompleks. Kehidupan beragama dewasa ini ada yang dijadikan tempat penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk-pikuk ekonomi dan sosial politik seharihari. Ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan ekonomi dan sosial politik. Di samping itu, ada pula yang dijadikan alasan untuk mendapatkan ketenangan, kebahagiaan rohani, dan keselamatan dalam kehidupan di dunia ini. Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu, hampir setiap hari didatangi umat dengan tujuan bersembahyang. Lebih-lebih pada hari purnama
122
(bulan terang), tilem (bulan gelap), kajeng keliwon, atau hari-hari libur lainnya, umat membludak datang ke tempat suci ini. Di samping melakukan persembahyangan, kebanyakan di antara mereka melakukan pembersihan jasmani rohani (melukat) pada kolam suci yang terdapat di halaman luar Pura Tirta Empul. Karena banyaknya umat datang untuk melukat pada hari-hari tertentu belakangan ini, desa adat dewasa ini telah menyiapkan tempat ganti pakaian berupa kotakkotak yang terbuat dari papan kayu. Dengan menyewa sebesar Rp. 3.000,- mereka dapat menaruh pakaian pada kotak-kotak tersebut disertai kunci untuk membuka dan menutup kotak.
Gambar 4.11 Suasana Ketika Umat Sedang Bersembahyang di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
123
Sembahyang adalah perwujudan rasa bakti manusia terhadap Hyang Widhi/Tuhan dengan segala manifestasinya. Dengan ketulusan hati serta rasa cinta kasih yang mendalam umat menyembah Tuhan mohon anugrahNya agar selalu dibimbing dalam kehidupan di dunia ini. Selain itu, umat juga memohon berkah dan kekuatan untuk menjalani segala ujian dan cobaan yang mungkin datang setiap saat. Pada pokoknya upacara persembahyangan itu terdiri atas dua macam kegiatan yang harus dilakukan oleh para umat, yaitu ”mebanten” atau mempersembahkan sesaji dan ”mebaktii” atau menjalankan persembahyangan. Desa Adat Manukaya, Panempahan, dan Malet yang terdiri atas lima banjar merupakan satu kesatuan wilayah kemasyarakatan dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Tirta Empul. Pemerintahan desa adat dalam mengaktifkan upacara-upacara keagamaan tampak memiliki rasa kesatuan sebagai desa adat dengan menjalankan konsep filosofi kearifan lokal yang disebut Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga faktor, yaitu parhyangan (unsur ketuhanan), pawongan (manusia) dan palemahan (unsur alam). Parhyangan adalah merupakan jiwa dari pada palemahan (karang desa) yang tidak bisa dipecah-pecah dengan seluruh aktivitas kehidupan desa. Palemahan adalah karang desa yang ditentukan secara definitif batas-batasnya, dan pawongan adalah kerama desa yang merupakan warga desa itu sendiri. Oleh karena Pura Tirta Empul sebagai tempat suci yang disakralkan, maka diadakan tata tertib masuk ke dalamnya. Beberapa larangan masuk ke pura
124
yang tertulis dalam awig-awig desa antara lain : dalam keadaan sebel karena punya kematian, sebel karena kotor kain, sebel karena sakit lepra (gede), menyusui anak, dan membuang air kecil/besar (wawancara dengan dengan Bendesa Adat Manukaya I Made Mawi Arnata Tgl. 12 Mei 2010). Pura Tirta Empul merupakan tempat suci untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Dengan demikian, upacara untuk menghormati Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi yang dilakukan disini bermacam-macam dan sangat kompleks. Perkataan upacara artinya sama dengan istilah aci, karya, yaitu suatu istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan upacara yang berlaku pada pura-pura di Bali. Upacara ini dilaksanakan dengan cara menghaturkan persembahan berupa upakara, yaitu alat-alat perlengkapan upacara berbentuk saji-sajian dan perlengkapan kepada Hyang Widhi dengan pengharapan memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk semua makhluk. Adapun jenis-jenis upacara dilaksanakan di Pura Tirta Empul menurut Jero Mangku Gde Wenten yang diwawancarai (14 Mei 2010) mengatakan. Boleh dikata hampir setiap hari di sini (Pura Tirta Empul) ada upacara persembahan yang dilakukan oleh umat yang tidak saja berasal dari Desa Adat Manukaya tetapi juga dari desa-desa lain terutama di Kabupaten Gianyar dan Bangli. Selain itu, setiap hari Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon upacara rutin diadakan, lebih-lebih belakangan ini banyak sekali umat datang dengan maksud membersihkan diri/melukat, sudah tentu juga ngaturin canang untuk memohon izin serta mengharapkan keselamatan dari Ida Bhatara yang melinggih di pura ini. Selain upacara sehari-hari, berdasarkan jangka waktu, maka upacara rutin yang berlangsung di Pura Tirta Empul dilaksanakan setiap 6 bulan (210 hari) dan setiap satu tahun (420 hari). Upacara setiap 6 bulan adalah upacara ngebekin yang dilaksanakan bertepatan dengan hari Raya Galungan dan Kuningan.
125
Sebelum upacara ini juga diadakan upacara ngeresigana yang diadakan pada hari Sugihan Jawa (enam hari sebelum Galungan). Sedangkan upacara setiap satu tahun adalah upacara petirtaan atau odalan yang dilaksanakan setiap purnama kapat yang jatuh setiap bulan Oktober. Petirtaan atau odalan pada hakikatnya adalah hari ulang tahun suatu pura atau hari ulang tahun peresmian (pemelaspas) bangunan itu. Penyelenggara upacara dilakukan oleh pemangku Pura Tirta Empul dengan berkoordinasi dengan Bendesa Adat Manukaya. Pura Tirta Empul juga memiliki fungsi memperkokoh kehidupan beragama, khususnya agama Hindu. Agama dan kehidupan beragama demikian kompleks. Untuk memahami fenomena kehidupan beragama, diperlukan pengetahuan tentang aspek yang dimiliki oleh agama. Koentjaraningrat (1987 : 80) menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurutnya ada lima komponen religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5) umat beragama. Agama sebagaimana yang difahami, adalah pandangan dan prinsip hidup yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap menyakralkan sesuatu, baik tempat maupun benda. Bagi penganut agama atau masyarakat yang menyucikan benda sakral, sifat suci pada benda itu tentu dianggap sifat sungguhan. Benda suci itu dipercaya suci karena punya kelebihan. Sesuatu yang sakral selalu dipuja, dihormati, disembah, dan diperlakukan dengan tata cara dan upacara tertentu. Dalam agama, upacara ritual biasa dikenal dengan ibadah, kebaktian, berdoa atau sembahyang. Sembahyang bagi umat Hindu berarti
126
bersujud atau menyembah kepada yang disucikan, yang dimuliakan sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan dengan segala manifestasinya. Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Agama pada hakikatnya menyangkut kepercayaan atau keyakinan suci kepada Tuhan beserta ajarannya yang selalu dijunjung tinggi dan dalam pelaksanaannya dipakai sebagai pegangan untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin (Agus, 2006 : 33). Pada dasarnya agama mempunyai tiga unsur pokok atau tiga kerangka dasar, yaitu (1) filsafat agama (tattwa), (2) etika (tata susila), dan (3) ritual (upacara). Filsafat agama adalah yang pertama menjawab persoalan yang berkaitan dengan dunia ini, baik mengenai asal-usul maupun mengenai nasib seseorang. Hanya saja filsafat agama memberi semua jawaban dalam bentuk mitos, wahyu, yang sukar dibuktikan kebenarannya dengan akal. Dalam filsafat agama biasanya dipaparkan secara teoretis dan filosofis tentang berbagai doktrin atau ajaran pokok keagamaan, seperti konsep theologi (ketuhanan) beserta sifatsifatnya, kosmologi (wujud alam), kosmogoni (terjadinya alam), dewa-dewa, roh nenek moyang, makhluk halus, dan lain sebagainya. Ajaran pokok keyakinan biasanya diuraikan secara panjang lebar dan merupakan inti hakikat ajaran agama. Kerangka kedua adalah etika/tatasusila. Etika adalah tingkah laku yang berpola diatur oleh aturan-aturan tertentu (norma) sehingga tindakan itu disebut baik atau buruk. Jadi yang menjadi sasaran etika adalah manusia, khususnya sikap dan tingkah lakunya di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang disebut baik
127
adalah sesuatu yang dibenarkan menurut agama, sebaliknya apa yang disebut tidak baik adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Kemudian mengenai ritual/upacara dapat dikatakan sebagai realisasi dari agama itu yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa, roh nenek moyang, dan makhluk-makhluk lainnya. Upacara agama berlangsung berulang-ulang, setiap hari, setiap bulan, tiga bukan, enam bulan, setahun, dan seterusnya. Dalam agama, upacara ritual ini biasanya disebut ibadah, berdoa, sembahyang. Setiap agama mengajarkan berbagai macam ibadah, doa, dan bacaan-bacaan pada momenmomen tertentu. Kecendrungan agama mengajarkan ibadah dalam kehidupan sehari-hari agar manusia selalu ingat dengan Tuhan. Agama juga mengatur tindakan manusia, baik dalam hukum maupun ajaran moral. Hukum dan moral perilaku lahiriah dalam kehidupan sehari-hari menjadi perhatian hampir setiap agama. Ada makanan dan minuman yang diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalalkan. Ada perilaku yang diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalalkan dan diwajibkan. Agama pada umumnya mengajarkan sikap tertentu dalam kehidupan sehari-hari secara keseluruhan. Menurut Durkheim (1965 : 38-42), upacara-upacara ritual dan ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat, menghilangkan perhatian kepada kepentingan individu, serta memperkokoh kehidupan beragama. Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, dalam konteks ini jelas
128
fungsinya adalah memperkokoh kehidupan beragama, khususnya agama Hindu, bagi masyarakat Desa Manukaya. Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai tempat suci pemujaan bagi umat Hindu, khususnya di wilayah Desa Manukaya. Masyarakat senantiasa memohon keselamatan dan kesejahteraan di sana dengan cara bersembahyang dan menghaturkan sesajen pada hari-hari tertentu. Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai tempat pemujaan adalah merupakan tujuan dari pelestariannya. Pelestarian pusaka budaya living monument hendaknya dikaitkan dengan keamanan dan kegunaannya, sehingga pelaksanaannya bertalian erat dengan peningkatan kualitas bagi pemakainya. Sementara itu, kepercayaan keagamaan oleh masyarakat penyungsung Pura Tirta Empul didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib, yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang berada di atas alam ini. Tuhan Yang Maha Esa, roh, tenaga gaib, alam gaib adalah hal-hal di luar alam nyata. Kepercayaan kepada adanya kekuatan gaib dalam ilmu Antropologi lebih dikenal dengan supernatural beings, merupakan inti kepercayaan keagamaan. Oleh karena itu, agama sebagaimana yang biasa difahami adalah pandangan dan prinsip hidup yang didasarkan atas kepercayaan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Wujud supernatural pertama dalam kehidupan beragama adalah kepercayaan kepada adanya Tuhan. Tuhan dipercaya sebagai yang mahakuasa, mahaadil, mahapenyayang, mahapengasih, mahasuci, dan lain sebagainya. Dalam pandangan Hindu, Tuhan Yang Maha Esa adalah satu, ekam evadvityam brahman (hanya ada satu Tuhan Brahman, tiada
129
duanya). Demikian disebutkan di dalam Mahavakhya yang berarti ungkapan agung atau wahyu yang utama kitab suci Weda, kitab sucinya agama Hindu. Selain percaya akan adanya Tuhan, umat Hindu juga percaya dengan adanya para Dewa yang jumlahnya banyak. Dewa-dewa itu bukanlah Tuhan, tetapi perwujudan atau personifikasi dari sifat-sifat kemahakuasaan atau keagungan Tuhan yang mengatur alam semesta, dunia, dan akhirat dengan segala isinya. Selain itu, roh-roh suci, para Nabi atau Maha Rsi, roh raja-raja, roh orangorang yang berjasa dan rohaniawan yang dianggap telah menjadi Dewa. Demikian juga arwah-arwah leluhur yang telah disucikan dari dosa-dosanya melalui persembahan suci dan permohonan pengampunan kepada Tuhan. Semua itu dibuatkan tempat-tempat suci yang disebut pelinggih di pura-pura pemujaan. Itulah menyebabkan terdapat banyak pelinggih/bangunan sudi di pura pemujaan di Bali termasuk di Pura Tirta Empul yang pada umumnya berbentuk meru, gedong, padmasana, dan lain-lain. Kompleksitas pemujaan itulah yang sesungguhnya merupakan aspek kehidupan budaya, khususnya kehidupan agama, yang cukup banyak mengikat partisipasi anggota masyarakat di lingkungan desa adat. Sejumlah upacara dan kegiatan lain yang menunjang kehidupan agama memerlukan partisipasi dan aktivitas dari sebagian besar warga masyarakat demikian pula Pura Tirta Empul. Para pengempon pura adalah warga yang terhimpun dalam sebuah desa adat secara bersama-sama mengorganisasikan dan menggiatkan upacara di pura yang bersangkutan. Para pengempon pura melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara,
130
pencarian dana atau biaya upacara, menjaga kesucian pura, membangun dan memperbaiki bangunan-bangunan/ pelinggih-pelinggih yang ada di pura. Umat Hindu memfungsikan pura sebagai tempat persembahyangan. Persembahyangan yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan tulusan akan menumbuhkan rasa cinta kasih pada setiap diri manusia. Rasa cinta kasih dapat mendorong tenggang rasa/toleransi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan solidaritas di antara sesama manusia. 4.2.6.2 Pura Tirta Empul Sebagai Tempat Penyucian Diri Proses internasionalisasi yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah menjadikan Bali sebagai masyrakat dunia yang multibudaya. Namun demikian pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam mencari identitas yang bisa disebut sebagai proses tradisionalisasi. Proses ini antara lain ditandai dengan meningkatnya kegairahan beragama atau religiusitas masyarakat. Kegairahan religiusitas dapat dilihat melaui indikator antara lain adanya intensitas pelaksanaan ritual, intensitas keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia, dan keyakinan akan adanya benda/objek sakral (Pitana, 2005 : 147-148). Keyakinan akan kekuatan gaib dan kekuatan supranatural yang mempengaruhi kehidupan manusia masih sangat kuat di antara masyarakat Hindu dewasa ini. Seiring dengan keyakinan itu, berbagai simbol dan objek diyakini mempunyai kekuatan yang tidak mampu dijelaskan dengan logika rasional, dan objek tersebut bagi masyarakat adalah wujud sekala dari berbagai kekuatan niskala, sehingga objek tersebut benar-benar disakralkan. Perilaku masyarakat
131
Bali (Hindu) terhadap objek sakral ini dengan mudah dapat diamati dalam setiap kegiatan ritual. Banyak
masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religius
sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama, seperti kelompok-kelompok spiritual, kelompok tirta yatra, dan sejenisnya. Pura Tirta Empul adalah salah satu tempat suci yang banyak mendapat kunjungan dari kelompok spiritual tersebut di atas. Keberadaan Pura Tirta Empul sebagai tempat peribadatan dan penyucian diri (melukat) memungkinkan masyarakat atau kelompok-kelompok spiritual melakukan
prosesi ritual
keagamaan. Belakangan ini prosesi pembersihan diri (melukat) sangat ramai dilakukan masyarakat di kolam suci Pura Tirta Empul. Tidak terhitung jumlah orang yang datang menyucikan diri di kolam suci di kompleks pura tersebut, mulai dari anak-anak, orang dewasa, orangtua, bahkan para turis dari mancanegara. Secara umum, melukat (penyucian diri) dilakukan dengan tujuan untuk menyucikan badan jasmani dan rohani. Sehubungan dengan adanya air yang dianggap suci (tirta) di Pura Tirta Empul, proses melukat yang dilakukan oleh masyarakat (lokal, asing) tidak hanya untuk membersihkan jasmani dan rohani, tetapi juga untuk tujuan tertentu, misalnya penyembuhan penyakit, kelancaran rejeki, keselamatan perjalanan, dan sebagainya. Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta Empul (menurut Kakawin Usana Bali) adalah untuk mengobati pasukan para Dewa dari penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur melawan pasukan Mayadanawa. Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain
132
menyembuhkan penyakit, juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa yang sudah mati. Keterangan Kitab Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan khasiat air suci tersebut tampaknya menjadi salah satu
faktor pendorong
masyarakat melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam kehidupan ini. Mata air keramat ini tidak pernah kering sepanjang zaman. Dalam Kekawin Usana Bali disebutkan pula bahwa kolam suci di Pura Tirta Empul juga sebagai tempat permandian para Dewa serta dilengkapi dengan tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Dewa Pasupati. Mata air Tirta Empul diciptakan dengan tujuan untuk memelihara alam semesta beserta isinya, seperti untuk kesuburan alam, pengobatan, pembersihan, dan untuk upacara keagamaan. 4.2.6.3 Pura Tirta Empul Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di belahan dunia lain serta keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata mengakui peran budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata lain, sumberdaya budaya dimungkinkan menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75). Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatan sumberdaya budaya sebagai modal utama dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata
133
ini memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya mulai dari seni pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk juga bangunan bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang bagi wisatawan untuk mengalami, memahami, dan menghargai kekayaan atau keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak pribadi secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus tentang suatu objek budaya. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Seperti diketahui bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik. Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu berharap mendapatkan sesuatu yang memberikan kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau dari keunggulan mutu dari benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan dapat memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan khas, serta merasa puas karena mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang ditemukan di dalam pura. Wisata budaya secara umum bertujuan mendekatkan bangsa-bangsa, baik pada dimensi kultural maupun kemanusiaannya. Sudah tentu dari segi penyelenggara pariwisata sendiri yang penting adalah keuntungan yang dapat diperoleh. Namun untuk menjamin kepercayaan konsumen atau wisatawan, maka kualitas layanan merupakan prasyarat yang tidak dapat dianggap remeh. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, telah berkembang menjadi daya tarik wisata (lihat Gambar 4.12).
134
Gambar 4.12 Pura Tirta Empul Sebagai Obyek Wisata (Dok. Setiawan, 2010) Sebagai daya tarik wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, Pura Tirta Empul mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak. Seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, jumlah kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul dalam tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah ini. Tabel 4.4 Perbandingan Kunjungan Wisatawan Asing di Beberapa Obyek Daya Tarik Wisata Unggulan di Kabupaten Gianyar Tahun 2007-2009.
1
Nama Daya Tarik Wisata Goa Gajah
2
Tirta Empul
No
Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2009
109.668
113.418
121.067
218.621
221.034
232.971
65.740
67.421
3 Gunung Kawi 71.032 Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2010.
135
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa Pura Tirta Empul mendapat kunjungan wisatawan terbanyak dibandingkan dengan daya tarik wisata lain di Kabupaten Gianyar. Selain faktor keindahan alam, Pura Tirta Empul juga didukung oleh daya tarik wisata lain yang berdekatan, seperti Pura Mangening dan Istana Presiden Tampaksiring. Pura Tirta Empul
sebagai salah satu
sumberdaya budaya dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Gianyar dibuka untuk para wisatawan. Namun demikian, setiap pengunjung diharapkan tetap menaati ketentuan yang berlaku di Desa Adat Manukaya Let yang menekankan pada unsur kesucian, mengingat Pura Tirta Empul adalah sebuah tempat suci. Untuk pengamanan Pura Tirta Empul, siang dan malam dijaga oleh petugas keamanan secara bergiliran yang ditunjuk berdasarkan aturan yang menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Para petugas, selain memungut retribusi, juga menjaga kebersihan, keamanan, serta ketertiban di objek dan daya tarik wisata. Untuk membantu umat yang akan melakukan persembahyangan di Pura Tirta Empul, Desa Adat Manukaya Let menugaskan tiga orang pemangku. Mereka bertugas secara bergiliran setiap hari mulai sekitar pukul 09.00 hingga 17.00 Wita, kecuali pada hari-hari tertentu (hari-hari besar Hindu) disesuaikan dengan kehadiran umat yang datang bersembahyang. Dengan bantuan sejumlah prejuru adat, pemangku berkewajiban memimpin upacara serta mengawasi semua kegiatan ritual di pura tersebut. Selain petugas tersebut, secara khusus Desa Adat Manukaya Let menunjuk warga untuk menjaga dan mengamankan pura beserta seluruh warisan
136
budaya yang ada di dalamnya. Untuk siang hari, pura ini dijaga oleh enam orang pecalang, sedangkan di malam hari dijaga oleh sembilan orang pekemit, yang diatur bendesa adat secara bergiliran. Keberadaan para petugas tersebut di atas diharapkan dapat menjamin kelangsungan pura sebagai tempat suci dan sekaligus sebagai daya tarik wisata yang menarik untuk dikunjungi. Seorang wisatawan yang selesai berkunjung ke suatu obyek wisata, termasuk kunjungan ke Pura Tirta Empul, akan memperoleh kesan tertentu mengenai citra obyek yang dikunjunginya itu. Apabila banyak wisatawan, dan dari berbagai asal kebangsaan, mendapatkan kesan citra yang sama, maka citra itu akan benar-benar menjadi citra umum dari bangsa dan negara bersangkutan. Suatu hasil budaya yang menggambarkan suatu pencapaian tertentu di masa lalu, umumnya dikagumi. Pencapaian itu dapat dalam hal teknologi, konsep yang direpresentasikan, nilai keindahan, atau kesemuanya. Pura Tirta Empul merupakan suatu contoh produk budaya yang memiliki ketiga jenis keunggulan tersebut. Dewasa ini Pura Tirta Empul telah menjadi daya tarik wisata budaya unggulan di Kabupaten Gianyar. Mengingat sifatnya sebagai pusaka budaya, maka obyek tersebut pada pertamanya harus digarap sebagai sumber ilmu, sumber belajar, sumber informasi, dan bukan sebagai tempat hiburan (Sedyawati, 2008 : 249). Kalaulah harus memiliki kualifikasi rekreasi, maka haruslah rekreasi yang bermanfaat dan terjaga tingkat akurasi informasinya. Perlu diingat bahwa wisatawan tidak semata-mata terdiri dari orang-orang dangkal yang hanya mencari hiburan. Tidak sedikit di antara mereka mungkin tergolong sebagai
137
special interest tourists yang bepergian ke luar dari tempat tinggalnya untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang suatu kebudayaan. Menurut penjelasan Bourdieu (dalam Barker, 2005), kekayaan budaya seperti itu oleh masyarakat pemiliknya dapat dijadikan modal budaya (cultural capital). Masyarakat Desa Manukaya telah mencoba mentransformasikan modal budaya (baca Pura Tirta Empul) menjadi modal ekonomi (economic capital) dalam pengembangan pariwisata budaya. Kawasan pariwisata berbasis pusaka budaya di Desa Manukaya sebagai modal ekonomi mengintegrasikan beberapa komponen industri pariwisata. Sebagai daerah wisata, desa ini tidak hanya memiliki kekayaan pusaka budaya Pura Tirta Empul, tetapi juga berbagai komponen industri pariwisata lainnya. Hanya, Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya di desa ini dapat dikatakan modal terpenting kepariwisataan, sehingga tetap membutuhkan berbagai komponen industri pariwiasta lainnya. Hal ini membutuhkan kerjasama bisnis pariwisata dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pusaka budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai modal pengembangan pariwisata, merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari sistem pembangunan daerah. Untuk itu, proses tersebut dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada upaya secara sengaja dan penuh kesadaran untuk menjadikan produk budaya tersebut menjadi barang dagangan yang siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi karena menjadi komoditas. Menurut Barker (2005 : 408),
138
komoditas adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar. Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, sebagaimana yang sudah lama terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan dengan pariwisata budayanya, menjadi penanda penting posmodernitas.
139
BAB V PROSES KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL
Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada pembahasan mengenai masalah bagaimana proses terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar. Untuk mendapatkan pemahaman yang berkaitan dengan hal tersebut, maka analisis pembahasan menggunakan teori komodifikasi. Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu perlu dijelaskan mengenai istilah proses. Kata proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 703) berarti runtunan perubahan peristiwa dalam perkembangan sesuatu, atau rangkaian tindakan, pembuatan/pengolahan yang menghasilkan produk. Perkembangan sesuatu yang dimaksud di sini adalah komodifikasi Pura Tirta Empul menjadi produk komoditas. Dalam kerangka pikir Fairclough komodifikasi tidak hanya menyangkut produksi, tetapi juga distribusi dan konsumsi. Meminjam kerangka pikir Fairclough tersebut, analisis proses komodifikasi Pura Tirta Empul dalam penelitian ini menyangkut proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Produksi adalah barang, dalam hal ini produk budaya Pura Tirta Empul yang dihasilkan dari suatu sistem yang tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai tukar. Distribusi adalah menyalurkan atau mempromosikan produk budaya agar diketahui masyarakat, dan konsumsi adalah pengguna atau pemakai suatu produk (budaya). 138
140
5.1 5.1.1
Proses Produksi Pura Tirta Empul Awal Komodifikasi
5.1.1.1 Gejala Komodifikasi Masyarakat Desa Manukaya sebagaimana umumnya masyarakat Bali cenderung menjalankan kehidupannya ke sisi religius. Nilai religiusitas ini diasumsikan dapat membangun sikap pikir yang selalu berusaha menemukan keseimbangan terhadap alam sekitarnya. Sikap ini dilandasi oleh kesadaran bahwa alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lain terkait dan membentuk sistem kesemestaan. Totalitas alam yang demikian itu memiliki kekuatan untuk menarik orientasi religi manusia agar selalu menyesuaikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitarinya. Mereka pada umumnya senantiasa ingin menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman, tidak saja sesama makhluk, namun juga terhadap elemen-elemen alam raya. Pola pemukiman masyarakat Desa Manukaya yang berbasis kosmologi semacam itu tidak saja dipedominya dalam menjalankan kehidupan sosialnya, tetapi juga ketika memutuskan untuk membangun suatu bangunan dalam ruang tertentu. Dalam kawasan yang lebih luas, topografi kawasan pedesaan tradisional Bali, misalnya masih dapat dilihat adanya pengejawantahan konsep keseimbangan tri hita karana yang membawakan pesan filosofis. Konsep filosofis tri hita karana menghendaki adanya hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan ketuhanan. Bagus (1996 : 32) menyebutkan bahwa keterkaitan tersebut telah
141
mengikat masyarakat, yang kemudian melahirkan berbagai bentuk kegiatan dan kreativitas dalam wujud budaya agraris. Persoalannya kemudian ketika industrialisasi pariwisata masuk ke kawasan wisata, termasuk Pura Tirta Empul, tentulah terdapat nilai-nilai baru yang terbawa oleh industrialisasi pariwisata dan mempengaruhi prilaku sosial ekonomi masyarakat setempat. Sebagai desa agraris yang kini sedang mengalami dinamika sosial, penduduk Desa Manukaya tetap mengkonsepsikan diri bahwa desa adalah bagian dari dirinya sendiri. Persepsi loyalitas etnis ini menyebabkan mereka memandang semua warga desa adalah keluarga. Perwujudan dari perasaan bersama itu dituangkan melalui adanya pusat orientasi bersama berupa tempat pemujaan, yaitu Pura Tirta Empul. Sebagai pusat orientasi bersama, maka semua warga dapat dikelompokkan ke dalam satu wilayah yang disebut desa adat. Perkembangan tata nilai tersebut dipengaruhi oleh adanya transformasi budaya dari budaya agraris ke sektor pariwisata/industri. Perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan terjadi pesat sejak Bali menjadi pusat pengembangan pariwisata (Bagus, 1980 : 297). Sejalan dengan proses komodifikasi, produk budaya Pura Tirta Empul sebagai salah satu bagian dari ikon budaya masyarakat Desa Manukaya pun mengalami dinamika dalam dialektika sakral dan profan. Di satu sisi masyarakat dengan berbagai komponen di dalamnya berusaha melestarikan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesakralan,
tetapi di sisi lain adanya pengaruh
berbagai faktor, khususnya faktor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadikan masyarakat pendukung budaya Pura Tirta Empul dilematis.
142
Kedatangan para wisatawan dengan berbagai latar belakang budaya ke Pura Tirta Empul sesungguhnya secara tidak langsung telah menggeser nilai-nilai sakral ke nilai profan. Pergeseran Pura Tirta Empul dari sakral ke profan tidak dengan sendirinya terjadi, tetapi melalui suatu proses pertentangan-pertentangan, sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Selanjutnya, jika dikaitkan dengan perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbukanya akses-akses pengaruh luar terhadap pandangan hidup masyarakat Desa Manukaya, maka perlahan-lahan, disadari atau pun tidak, mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi. Sesuatu dikatakan sakral terkait dengan Pura Tirta Empul di Desa Manukaya, dibangun dan berkaitan dengan adanya klasifikasi terhadap eksistensi Pura Tirta Empul yang lebih menekankan fungsi ritual daripada fungsi lainnya sebagai produk budaya yang hanya memenuhi tuntutan wisatawan dan selera pasar. Namun demikian, jika tetap mempertahankan nilai kesakralan, maka lambat atau pun cepat akan ditinggalkan oleh generasi berikutnya. Hal itu terjadi sebagai akibat proses globalisasi yang tidak bisa dihindari melanda seluruh penjuru dunia. Potensi budaya yang dimiliki Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata, masuk ke dalam industri budaya. Strinati (2003 : 67-68) memberikan penjelasan bahwa masuknya produk budaya ke dalam industri budaya, berarti dia tunduk kepada hukum ekonomi sehingga dia berubah menjadi budaya massa. Perubahan ini berimplikasi terhadap aura kebudayaan yang tidak lagi mengikuti kehendak pembuatnya, tetapi tunduk kepada mekanisme pasar. Akhirnya produk budaya terlepas dari pengalaman
143
estetis dan terkena fetisisme komoditi sehingga nilai gunanya dilepaskan, diganti dengan nilai tukar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa gejala yang tampak pada Pura Tirta Empul pada dasarnya mencerminkan produk budaya itu telah masuk ke dalam industri budaya. Gejala ini berkaitan dengan motif mencari keuntungan atau usaha memanfaatkan kebudayaan sebagai modal budaya menjadi modal ekonomi, sehingga komodifikasi
terhadap Pura Tirta Empul tidak
terhindarkan. Kesemuanya ini tidak bisa dilepaskan dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan uang. Uang sangat penting, karena globalisasi mengakibatkan manusia terjerat pada ideologi pasar. Kondisi ini menjangkit masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul. Hal ini berkaitan pula dengan perubahan yang dialami oleh masyarakat, yakni dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, bahkan lebih jauh lagi, yakni masyarakat pascamodern atau pascaindustri. Bersamaan dengan itu maka masyarakat pun terjangkit pemikiran modern, yakni apa yang bisa dikomodifikasi termasuk modal budaya guna mendapatkan uang. 5.1.1.2 Kreativitas Memperindah Pura Proses komodifikasi sebagai dasar pengembangan pariwisata Pura Tirta Empul tidak terlepas dari semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke pura tersebut. Komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak proses produksi, distribusi, dan dalam berbagai bentuk konsumsi, baik sebagai satu kesatuan elemen budaya, maupun komodifikasi pada unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari Pura Tirta Empul. Produksi Pura Tirta Empul dilakukan atas inisiatif sendiri dan secara
144
kelembagaan dengan adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya memperindah dan melestarikan sebuah produk budaya. Sejak kedatangan pada wisatawan, Pura Tirta Empul menjadi kajian yang tiada habisnya. Demikian juga ketika Pura Tirta Empul dijadikan daya tarik wisata, Pura Tirta Empul lebih dikenal sebagai tempat yang indah, perpaduan antara tempat suci yang agung dan pertamanan yang layak untuk dikunjungi. Menarik untuk dikaji, yang terjadi di Pura Tirta Empul, termasuk tradisionalisasi, tidak terlepas dari pengaruh
pariwisata. Segala sesuatu yang
terjadi di Pura Tirta Empul selalu dibungkus dalam wacana tradisi dan kebudayaan, yang justru selama ini dianggap harus dilestarikan daripada disikapi. Pembangunan dan pariwisata pada akhirnya mereduksi kebudayaan menjadi sebuah benda, objek berharga, yang bisa diberi merk dagang dan dijual kepada wisatawan melalui jalur pariwisata budaya. Akhirnya masyarakat pemilik kebudayaan
melakukan
tradisionalisasi
diri,
menyesuaikannya
dengan
”permintaan pasar” dengan tujuan untuk mendapat keuntungan finansial dari pariwisata. Terkait dengan hal itu dan seirama dengan perkembangan pariwisata, Pura Tirta Empul lalu ditata, dikembangkan atau direproduksi sehingga semakin menarik untuk dikunjungi. Renovasi dilakukan secara bertahap, mulai dari pelinggih-pelinggih (bangunan suci) di halaman pura, kolam suci, bale wantilan, pertamanan di depan pura, dan perluasan parkir. Dalam kaitan ini, Made Mawi Arnata yang diwawancarai (26 April 2010) mengatakan :
145
Pura Tirta Empul sebagai tempat suci telah berkali-kali mengalami renovasi sesuai dengan kemampuan masyarakat pengempon pura, mulai dari hanya mengganti atap bangunan dari alang-alang dengan ijuk, mengganti bahanbahan kayu yang rusak dengan kayu yang lebih berkualitas. Demikian pula memperbaiki kembali pura yang bahannya sudah aus dengan bahan baru yang lebih modern serta penambahan berbagai variasi berupa ragam hias sesuai dengan kreativitas para undagi untuk memperindah pura. Sudah tentu penambahan berbagai jenis ragam hias ini disesuaikan dengan peruntukan serta nilai-nilai simbolis yang terkandung di dalamnya sehingga tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam Kitab Asta Kosala Kosali. Untuk renovasi bangunan suci diperlukan perancang ahli dan pelaksana yang mampu mewujudkan gagasan dan ide ke dalam
bentuk bangunan.
Penentuan bentuk bangunan, pengumpulan bahan, dan tenaga pekerja merupakan langkah-langkah persiapan untuk renovasi bangunan. Dalam proses pelaksanaan suatu bangunan, setiap langkah harus disertai atau didahului oleh suatu upacara. Penyusunan rencana kerja pada tahap persiapan diawali dengan musyawarah anggota penyungsung/penyiwi pura. Langkah-langkah pelaksanaan disesuaikan pula dengan kemampuan, keadaan, dan peraturan adat untuk suatu bangunan. Rancangan untuk mewujudkan ide dimusyarawahkan dengan undagi dan sangging. Demikian pula untuk ragam hiasnya. Penentuan hari baik atau dewasa ayu dalam proses reproduksi bangunan dimusyawarahkan dengan pengarah upacara, yaitu Pedanda, Pemangku dan tukang banten yang akan membuat banten sebagai sarana upacara. Untuk
bangunan,
lebih-lebih
bangunan
suci,
selain
memenuhi
persyaratan fisik juga harus memenuhi persyaratan tataguna dan penempatan sesuai dengan macam dan fungsi bangunan. Untuk keserasian hubungan dengan manusia dan alam, pengadaan bahan berusaha memilih bahan-bahan dari alam
146
sekitarnya. Batu bata sebagai batu buatan dan batu alam dari berbagai jenis dipasang dalam keadaan telanjang untuk bebaturan atau dinding tembok. Kayu, bambu, ijuk, genteng, juga dipasang telanjang agar menampakkan warna alam atau warna aslinya. Pemantapan estetika dalam bangunan tradisional terletak pada proporsi, komposisi, ragam hias, dan pemakaian bahan. Keindahan bangunan adalah keselarasan bangunan, manusia, alam, dan lingkungan (Gelebet, 1986 : 126). Ragam
hias
pada
bangunan-bangunan
tradisional
umumnya
menampakkan warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam. Untuk bentuk-bentuk lelengisan dan pepalihan, keindahan warna alam merupakan penonjolan keindahan hiasan. Keserasian bentuk-bentuk ukiran juga didukung oleh keserasian warna-warna asal dari jenis-jenis batu alam atau jenis-jenis kayu yang diukir. Hitamnya batu bazolt, merah bata, kelabunya batu padas merupakan pokok-pokok warna yang dapat divariasi dalam berbagai kombinasi. Warna buatan sebagai pewarna hiasan pada bentuk-bentuk hiasan memakai warna pokok, biru, merah, kuning, dan hijau. Hitam dan putih juga merupakan warna yang digunakan untuk mempermuda atau mempertua warna dalam suatu susunan irama warna. Bentuk-bentuk hiasan yang dilukiskan dengan pewarnaan umumnya menggunakan warna kontras. Pewarnaan pepulasan memakai dua warna, yaitu warna dasar dan warna yang di pulaskan di atas bidang pulasan. Warna kuning perade emas sebagai warna pulasan di atas kayu diberi warna-warna pokok. Merah, biru, hijau, jingga, hitam merupakan warna dasar dipulas dengan warna
147
kuning emas perade atau perade gede. Hampir semua bangunan suci di halaman dalam Pura Tirta Empul, terutama bagian konstruksi kayunya yang berukir dipulas dengan perade, sehingga kelihatan sangat indah dan agung, seperti Gambar 5.1 dibawah ini.
Gambar 5.1
Konstruksi Kayu Berukir Dengan Pulasan Perada Untuk Memperindah Pura (Dok. Setiawan, 2010)
Selain bangunan suci, kolam suci juga telah dimodifikasi. Modifikasi kolam suci ini diawali dengan perbaikan dinding pada ke empat sisi. Batu-batu lama yang kebanyakan telah aus diganti dengan batu-batu baru yang merupakan batu-batu alam yang lebih keras. Bebaturan dibuat dengan pasangan batu tegak sebagai tepi lantai di atas pasangan pondasi dasar bebaturan. Pasangan tegak tepi bebaturan juga merupakan pondasi pasangan dinding tembok kolam. Tangga naik dengan lebar atampak ngandang dibuat pada sisi-sisi arah naik turun dari
148
halaman ke kolam atau dari kolam ke halaman. Bagian lantai dasar kolam diisi kerikil atau batu-batu kali warna hitam yang sangat keras. Sejumlah pancoran tampak juga ada berbagai hiasan dengan beberapa varian-varian ukiran untuk memperindah. Tahap akhir dari pekerjaan konstruksi adalah penyelesaian bagianbagian konstruksi yang memerlukan penyelesaian akhir. Menghias dinding tembok kolam, menghaluskan elemen-elemen konstruksi, dan merapikan sudutsudut kolam. Untuk bagian-bagian elemen yang dihias, ragam hias juga dikerjakan pada tahap penyelesaian sebagai tahap akhir. Bentuk-bentuk
hiasan,
tata
warna,
dan
penempatannya
semua
mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan dibentuk dalam pola-pola yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari sebuah bangunan atau elemen-elemen yang memerlukannya. Benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampakkan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahan. Estetik, etika, dan logika juga merupakan
dasar-dasar
pertimbangan
dalam
mencari,
mengolah,
dan
menempatkan ragam hias. Secara umum, ragam hias yang digunakan untuk memperindah bangunan suci (baca Pura Tirta Empul) adalah flora, fauna, dan alam (Gelebet, dkk., 1986 : 331). 1. Flora Motif-motif flora ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk pahatan relief. Cerita-cerita pewayangan, legenda, dan kepercayaan yang dituangkan ke dalam pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan untuk menunjang
149
penampilannya. Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan yang sagat indah. Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan kompleks Pura Tirta Empul dari jenis-jenis flora umumnya dipahatkan pada kekarangan dan pepatraan. Kekarangan umumnya menampilkan suatu bentuk hiasan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan. Ada tiga jenis kekarangan yang tampak pada bangunan-bangunan suci di Pura Tirta Empul, yaitu karang simbar, karang bunga dan karang suring. Karang simbar adalah suatu hiasan rancangan yang menyerupai tumbuhtumbuhan dengan daun terurai ke bawah (simbar manjangan). Karang simbar dipakai untuk hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu sebuah bangunan. Karang bunga adalah suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelompok dan sehelai daun, yang juga digunakan untuk hiasan sudutsudut bebaturan atau hiasan tonjolan bidang-bidang tertentu. Sedangkan karang suring adalah suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh dalam bentuk singa bersayap (Ardana, dkk., 1993 : 108). Tentang pepatraan yang menghias bangunan suci Pura Tirta Empul juga banyak didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora. Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola berulang yang dapat diwujudkan dalam pola berkembang. Masing-masing pepatraan memiliki identitas yang kuat untuk penampilannya, sehingga mudah diketahui.
150
Gambar 5.2
Hiasan Patra Punggel Pada Pelinggih di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan 2010
Beberapa jenis pepatraan yang dapat diamati antara lain (1) patra sari, (2) patra punggel, (3) patra samblung, dan (4) patra sulur. Patra sari bentuknya menyerupai flora dari jenis daun berbatang jalar melingkar timbal balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan ciri khas patra ini. Daun-daun dan bunga-bunga dilukiskan melalui batang yang melingkar merupakan pola-pola identitas yang mudah dikenali. Patra punggel umumnya mengambil bentuk dasar liking paku, yaitu sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun pohon paku (lihat Gambar 5.2). Bagian-bagiannya ada yang disebut batun poh, kuping guling, util, sebagai identitas patra punggel. Pola patra ini merupakan pengulangan dengan lengkung timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut atap bangunan. Patra punggel paling banyak digunakan, selain bentuknya yang murni dan utuh, patra ini pada umumnya melengkapi segala jenis dan bentuk kekarangan. Patra samblung
151
umumnya berbentuk pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dihias lengkung-lengkung yang sangat harmonis. Serupa dengan patra samblung, ada pula patra olanda, patra Cina, patra Bali yang banyak menghias bangunan suci Pura Tirta Empul. Terakhir adalah patra sulur. Patra ini melukiskan pohon jalar jenis beruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun berulang-ulang. 2. Fauna Sebagai materi
hiasan, fauna dipahatkan
dalam bentuk-bentuk
kekarangan yang merupakan pola tetap, relief dan patung yang bervariasi dari berbagai macam binatang. Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil jenis kera dari cerita Ramayana.
Gambar 5.3
Hiasan Karang Gajah pada bagian sudut bebaturan bangunan suci (Dok. Setiawan, 2010)
152
Gambar 5.4
Hiasan Karang Goak (Dok. Setiawan, 2010)
Ukiran fauna pada bidang relief di dinding, panil, umumnya berbentuk cerita rakyat, legenda, dan Cerita Tantri dari dunia binatang. Ragam hias dari jenis-jenis fauna umumnya mengandung arti dan maksud edukatif konstruktif (Gelebet, 1986: 372). Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan dalam bentuk kekarangan dan patung. Ragam hias kekarangan fauna yang banyak ditemukan di Pura Tirta Empul adalah bentuk gajah, burung goak, dan binatang-binatang khayal. Karang gajah/asti (Gambar 5.3) mengambil bentuk gajah yang diabstrakkan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Sesuai dengan kehidupan gajah, karang asti ini ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah
153
bangunan. Tentang karang goak (Gambar 5.4), bentuknya menyerupai kepala burung gagak/goak. Karang goak digambarkan paruh atas bertaring, gigi runcing, dan mata bulat. Sesuai dengan kehidupan burung gagak sebagai binatang bersayap, hiasan karang goak ini ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas sebuah bangunan. Karang goak umumnya disatukan dengan karang simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah karang goak. Terakhir adalah ragam hias fauna yang mengambil bentuk binatang, yaitu karang boma dan karang sae. Karang boma berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lengkap dengan hiasan dan mahkota yang diambil dari cerita Bomantaka. Karang boma ada yang tanpa tangan dan ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan dengan jari-jari mekar. Karang boma di Pura Tirta Empul dilengkapi dengan patra punggel, ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu masuk sebuah kori agung. Sedangkan karang sae berbentuk kepala kelelawar raksasa bertanduk dengan gigi-gigi runcing. Seperti halnya karang boma, karang sae dilengkapi dengan hiasan flora patra punggel. Mengenai ragam hias fauna yang berbentuk patung umumnya mengambil bentuk-bentuk burung dan binatang, misalnya burung garuda, binatang singa, dan naga. Patung Garuda sebagai ragam hias dibuat dengan sikap tegak siap terbang, sayap dan ekor mengepak melebar. Patung ini ditempatkan pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak atap bangunan. Patung singa berwujud seekor singa bersayap. Fungsinya sama dengan patung Garuda untuk sendi alas tugeh. Sedangkan patungnya merupakan
154
perwujudan ular naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong leher, anting-ating telinga, rambut terurai, rahang terbuka, taring gigi runcing, dan memiliki lidah api bercabang. Patung naga (Gambar 5.5) digambarkan dalam sikap tegak, bertumpu pada dada, ekor menjulang ke atas, dan gelang permata di ujung ekor. Patung naga sebagai penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga menghadap ke depan, dan lekuk-lekuk ekornya mengikuti tingkatan tangga ke arah atas. Pemakaian patung naga sebagai pengapit tangga digunakan pada tangga bangunan suci sebagai tempat pemujaan.
Gambar 5.5
Ular Naga Sebagai Hiasan Simbolik Pada Bangunan Suci (Dok. Setiawan, 2010)
3. Alam Ragam hias alam sebagai ungkapan keindahan banyak dijumpai pada bangunan-bangunan suci di kompleks Pura Tirta Empul. Ragam hias alam adalah
155
perwujudan yang alamiah dan naturalis benda-benda alam yang tampak di alam raya ini. Berbeda dengan pepatraan yang menampilkan keindahan bagian-bagian flora dan fauna, alam sebagai ragam hias umumnya ditampilkan dalam keadaan lengkap sebagaimana adanya di alam ini, misalnya pohon kayu digambarkan lengkap dengan akar-akarnya, batang, cabang, dan daun-daunnya. Benda-benda alam sebagai hiasan diwujudkan sebagaimana adanya sesuai dengan kebebasan kreativitas para seniman atau sangging. Nama-nama ragam hias alam diambil dari nama unsur yang menjadikan adanya alam beserta isinya, misalnya air, api, awan, gunung, kekayuan, dan lainlain. Air dalam penampilannya sebagai ragam hias berwujud sebagai kolam/ telaga, danau, sungai, dan laut. Dalam penampilannya, ragam hias air biasanya dilengkapi dengan ragam hias yang lain, seperti pepohonan, bebatuan, atau ikanikan yang berada dalam air. Demikian juga ragam hias yang memperlihatkan suasana di udara menampilkan awan yang ada di langit, atau suasana pegunungan dengan berbagai pepohonan sering dijumpai dalam relief-relief bangunan suci. Kayu-kayu sebagai isi alam merupakan ragam hias naturalis yang melukiskan keadaan yang sebenarnya dan pada umumnya ragam hias ini melengkapi penampilan suatu cerita dalam bentuk relief. Ragam hias yang diambil dari alam, perwujudannya mendekati keadaan yang sebenarnya dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, dan pepulasan. Ragam hias dalam bentuk ukiran dibuat dalam dinding yang relatif luas. Pasangan batu padas sebagai dinding tembok di Pura Tirta Empul diukir dengan menampilkan cerita-cerita yang dilatarbelakangi keadaan alam. Bentuk-bentuk ukiran relief
156
dengan materi alam disesuaikan dengan imajinasi dan kreasi para sangging sesuai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Alam sebagai materi ragam hias ada pula yang ditampilkan dalam bentuk tatahan. Pada bentuk-bentuk ukiran relief, penampilan tiga dimensi dari satu sisi memungkinkan penampilan yang lebih jelas. Bentuk tatahan memperjelas penampilan dengan warna kontras atau gelap terang. Hiasan yang mengambil materi dari unsur-unsur alam juga dibuat dengan bentuk-bentuk pepulasan. Pada bentuk-bentuk pepulasan bahan pewarna tidak diharuskan sama dengan warna benda alam yang dijadikan materi hiasan. Pepulasan dengan komposisi beberapa jenis mengutamakan keindahan dan kemegahan dan tidak sepenuhnya menyamai warna alam. Ragam hias dengan nama-nama dan berbagai macam bentuknya ditempatkan sesuai dengan aturan penempatannya. Ragam hias dalam bangunan suci mengandung arti dan maksud-maksud tertentu, antara lain sebagai unsur yang membangun keindahan, ungkapan simbolis, dan sebagai media pendidikan dan komunikatif. Berbagai jenis hiasan yang menghias sebuah bangunan dimaksudkan untuk memperindah penampilannya. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan tampak lebih indah, agung, megah, dan menyegarkan. Sementara itu, ragam hias untuk ungkapan simbolis dapat mengungkap simbol-simbol yang terkandung di dalamnya. Penampilan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Beberapa jenis hiasan fauna, seperti berdawang naga sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan
157
di bumi dijadikan dasar bangunan tepasana di Pura Tirta Empul. Demikian juga patung singa bersayap, gajah sebagai simbol ketangkasan dan kekuasaan. Terakhir adalah ragam hias sebagai alat komunikasi dan edukatif. Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada bangunan tertentu dapat memberi informasi dari hiasanhiasan tersebut. Ragam hias dari jenis-jenis fauna misalnya, bagian-bagian cerita Tantri sebagai legenda yang telah memasyarakat mengandung arti dan maksud edukatif konstruktif. Sesungguhnya banyak cerita-cerita Tantri yang digunakan sebagai ragam hias suatu bangunan mengandung arti dan maksud edukatif. Cerita-cerita wayang Mahabharata dan Ramayana yang dipahatkan pada relief juga mengandung maksud-maksud
edukatif,
yaitu
menanamkan
pengertian
kebenaran,
kepahlawanan, dan sikap hidup sesuai ajaran agama. Falsafah keagamaan atau nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diungkapkan dalam
bentuk
perwujudan ragam hias pada bangunan suci. Tata cara penempatan, fungsi, dan bentuk penampilannya memperhatikan ketentuan-ketentuan etika yang berlaku dalam agama Hindu. Dengan kata lain, sebagai pelengkap, peralatan, dan sarana keagamaan, ragam hias juga menerapkan nilai ajaran agama dan kepercayaan dalam berbagai bentuk perwujudan simbolis. 5.1.2
Komodifikasi Pura Tirta Empul Tahun 1980-an Sampai Sekarang
5.1.2.1 Komodifikasi Tahun 1980-an Dalam rentang waktu sejak tahun 1980-an Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan Pura Tirta Empul itu tampaknya sangat berkaitan erat
158
dengan perkembangan kepariwisataan di daerah Bali yang menuju kearah modernisasi. Dalam proses modernisasi yang didorong pula oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan yaitu komersialisasi produk budaya, yang sebelumnya hanya untuk kepentingan upacara, sekarang sudah berorientasi pada pasar. Berbicara masalah modernisasi, memang mencakup pengertian yang sangat luas, termasuk pembangunan dan pengembangan budaya secara fisik, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pola-pola akupasi masyarakat. Terkait dengan Pura Tirta Empul, pada mulanya
masyarakat
hanya
berorientasi
pada
kepentingan
agama
dan
kepercayaan, tetapi karena berbagai kemajuan seperti transportasi, sehingga mereka berubah kepada kegiatan perdagangan serta berorientasi kepada pasar (Geriya, 2008 : 103). Dalam
dekade
sejak
tahun
1980-an
perkembangan
di
bidang
kepariwisataan di Bali sangat berpengaruh terhadap aspek mobilitas sosial yang ditandai oleh meningkatnya mobilitas penduduk, baik antar daerah maupun antar negara. Proses transformasi ini sangat meluas dan membesar melalui fenomena globalisasi dengan substansi yang berintikan empat revolusi utama (four revolutions), yakni telekomunikasi, transportasi, perdagangan, dan pariwisata (Abdullah, 2007 : 29-30). Transformasi ini berangkat dari sistem fisik dan lahirlah menembus dengan sangat pesat ke dalam tataran kelembagaan dan sistem nilai sampai menyentuh jiwa kebudayaan Bali. Pada tataran fisik, berkembang pesat berbagai kegiatan konstruksi, rekonstruksi, renovasi bangunan. Pembangunan kebudayaan lebih diwujudkan
159
melalui pembangunan sarana dan pelestarian artefak dibandingkan dorongan kreativitas budaya, revitalisasi nilai-nilai dasar dan konstruksi nilai-nilai baru yang cocok bagi kemajuan peradaban. Demikian pula pembangunan agama menekankan pembangunan tempat ibadah dibandingkan usaha pendalaman kesradaan. Pada tataran ideal, nilai-nilai baru dalam masyarakat terkonstruksi dari lingkungan
dan
perspektif
materialisme
atau
komersialisme,
sehingga
memanifestasikan fenomena keserakahan dan feodalisme baru. Pada hakikatnya transformasi membuka peluang secara sangat luas dan beragam yang terkait dengan kemajuan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dengan kata lain, di satu pihak membuka berbagai peluang yang bersifat ekonomi, teknologi, sosial, dan kultural, serta di pihak lain membawa ancaman komersialisme, materialisme, dan individualisme. Sejak kedatangan para wisatawan, kebudayaan Bali tidaklah hanya milik orang Bali saja, karena yang mencitrakan Bali sebagai daerah tujuan wisata adalah perpaduan yang khas antara upacara agama, kegiatan adat, dan kreaktivitas seni. Sehingga berkat keterpikatan wisatawan terhadap Bali, kebudayaan yang merupakan
salah
satu
modal
utama
harus
dimanfaatkan,
dipasarkan,
dipromosikan, di pasaran pariwisata internasional, termasuk di antaranya adalah Pura Tirta Empul. Dalam kaitan dengan hal ini, Picard (2006 : 270) menyatakan sebagai berikut.
160
”Bagaimanapun juga, justru adanya peralihan dari nilai warisan ke nilai modal yang memungkinkan wacana pariwisata budaya memperoleh pembenaran dengan memberi prioritas kepada pengembangan pariwisata, oleh karena kini pariwisata yang dianggap mampu membina kebudayaan yang melandasi perkembangannya. Sebetulnya, meskipun berkali-kali dilontarkan pernyataan bahwa nilai-nilai budaya tidak akan dikorbankan demi kepentingan industri pariwisata, ternyata instansi-instansi Bali justru menyerukan kepada masyarakat agar melestarikan kebudayaannya oleh karena nilai ekonomi modal pariwisata Bali sangat tergantung pada nilai kultural warisan budayanya, atau dengan perkataan yang lebih gamblang, untuk lebih banyak menarik wisatawan datang ke Bali. Dan kebudayaan yang dimaksud di sini bukan lagi warisan budaya, tetapi sudah merupakan modal pariwisata, karena dia tidak berubah dari suatu nilai budaya yang harus dipertahankan menjadi nilai ekonomi yang harus dibuat berlimpahruah”. Pariwisata budaya tampak sebagai suatu ragam pariwisata yang melestarikan sumber-sumber yang dimanfaatkannya, yaitu ragam pariwisata yang mengembangkan budaya. Sumberdaya yang dapat dikelola adalah kebudayaan dan jenis produk yang dapat dipasarkan adalah produksi-produksi seni, upacara, dan pusaka budaya yang telah mengangkat reputasi Pulau Bali di mata para pengunjung. Wisatawan yang mengunjungi Bali diajak ke desa-desa yang merupakan pusat-pusat yang sesungguhnya dari kebudayaan Bali tradisional. Wisatawan diajak menyaksikan kegiatan budaya “asli Bali”. Kegiatan tersebut umpamanya terdiri dari berbagai perayaan dan upacara, seperti upacara di pura, arak-arakan, upacara pembakaran mayat yang menyajikan tontotan serba megah yang amat menarik. Dengan menarik wisatawan untuk mengunjungi desa-desa pedalaman, diharapkan para wisatawan memberikan sumbangan nyata pada pembangunan merata di Pulau Bali.
161
Demikian juga, melalui kekayaan pusaka budaya yang penuh dengan nilai sejarah, termasuk di antaranya Pura Tirta Empul, merupakan potensi pariwisata yang luar biasa. Namun demikian, pariwisata budaya bukanlah sekedar cara untuk memenuhi harapan wisatawan yang mencari kegiatan-kegiatan budaya asli, tetapi juga diusahakan suatu perlindungan sejenis benteng untuk menempatkan kebudayaan di luar jangkauan sentuhan komersialisasi budaya. Karena dalam proses pencampuran itu terdapat benih penodaan dan pencemaran budaya, yang pada akhirnya akan berpeluang menghilangkan identitas (Ardika, 1995 : 7 ; Pitana, 1997 : 18). Untuk menghindari ancaman “polusi budaya” masyarakat Manukaya hendaknya memperkuat lembaga-lembaga adat dan keteguhan moral, dengan pengertian bahwa semakin kokoh landasan pijakan, dalam hal ini dasar religius yang menjadi jatidiri, semakin teguh pula sikap dalam menghadapi godaangodaan yang ditimbulkan oleh uang para wisatawan. Selain itu, kesadaran tentang betapa tingginya nilai pusaka budaya Pura Tirta Empul harus lebih dipertajam, sehingga orang merasa berkepentingan melindunginya. Ajaran agama harus dikembangkan agar dapat meningkatkan pemahaman tentang landasan filsafat dan upacara-upacara yang sangat semarak. Harus disadari bahwa kegiatan seni berasal dari agama. Apabila semangat dan pemahaman religius berhasil ditanamkan, diharapkan makin sedikit orang dipengaruhi oleh materialistis yang lazim dilakukan para wisatawan terhadap pura-pura dan upacara-upacara lainnya.
162
Usaha membedakan mana yang termasuk budaya dan mana yang tergolong pariwisata hendaknya difahami oleh masyarakat. Intisari budaya senantiasa diusahakan berada di luar jangkauan wisatawan, sedangkan yang dapat diberikan hanyalah “kulit” budayanya. Akhirnya masalah yang dihadapi orang Bali adalah sejauh mana nilai-nilai budaya mereka dapat diukur dengan takaran ekonomi. Bila mereka tidak mampu membedakan apa yang termasuk budaya dan mana yang tergolong pariwisata, mereka menanggung resiko tidak mampu juga memisahkan nilainilai mereka dari nilai-nilai wisatawan. Dan seandainya itu terjadi, pertanda budaya Bali sudah menjadi “kebudayaan pariwisata”, yaitu suatu situasi gamang di mana nilai budaya dan nilai pariwisata bercampur aduk (Picard, 2006 : 199). Untuk menghindari budaya berubah menjadi kebudayaan pariwisata, dianjurkan agar sebagian dari keuntungan yang didapat dari industri pariwisata dipakai untuk usaha pelestarian dan pembinaan kebudayaan. Hal itu berarti harus meyakinkan
perusahaan-perusahaan
pariwisata,
bahwa
mereka
juga
berkepentingan menanam modal dalam sektor kultural, demi melestarikan sumberdaya. Berkat sumber pembiayaan itu, pusaka budaya Pura Tirta Empul tetap tegak dan lestari, upacara-upacara agama serta pertunjukkan-pertunjukkan terkait lainnya akan dapat diselenggarakan dengan megah, sehingga para wisatawan akan lebih banyak jumlahnya datang guna menyaksikan
dan
menikmatinya. Oleh karena itu, sejak Pura Tirta Empul ditetapkan oleh pemerintah untuk dijadikan daerah tujuan wisata yang utama, pemerintah sendiri berkepentingan seperti juga industri pariwisata untuk melindungi, melestarikan, dan membina kelestariannya. Upaya-upaya pengembangan pariwisata pusaka budaya dilakukan dengan adanya kesadaran akan pentingnya kekayaan warisan sejarah. Hal itu
163
menunjukkan pentingnya dikembangkan pariwisata postmodern, yaitu pariwisata pusaka budaya (heritage tourism). Seluruh jenis pengembangan pariwisata mutlak membutuhkan peran dan partisipasi masyarakat di sekitarnya, termasuk dalam pengembangan pariwisata pusaka budaya. Dalam pariwisata pusaka budaya, faktor masyarakat menjadi sangat penting, karena secara umum mereka adalah pemilik, pendukung, dan pelaku kebudayaan. 5.1.2.2 Komodifikasi Tahun 1990-an Mulai tahun 1990-an sampai tahun 2000-an komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi secara besar-besaran, seiring semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke pura tersebut. Uang yang diperoleh dari pariwisata digunakan untuk merenovasi semua bangunan yang ada di pura tersebut termasuk lingkungannya. Masyarakat menyadari akan keberadaan Pura Tirta Empul yang mempunyai potensi besar untuk mendatangkan keuntungan ekonomi. Di era globalisasi seperti sekarang ini, proses modernisasi melalui pembangunan yang sangat kapitalisme dapat menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi pembangunan yang dimaksud di sini adalah bagaimana Pura Tirta Empul dijadikan komoditas oleh pemiliknya untuk memperoleh uang sebanyakbanyaknya. Komodifikasi Pura Tirta Empul harus diakui tidak saja terjadi pada proses pembangunan kebudayaan, tetapi juga pada proses pengembangan pariwisata budaya. Secara teoretis, komodifikasi telah merambah pariwisata sedemikian intens. Dalam konteks ini Pura Tirta Empul yang merupakan produk budaya masyarakat Desa Manukaya mengalami objektivasi dan menjadi daya tarik wisata sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang
164
dan pemenuhan kepuasan wisatawan. Pura Tirta Empul memang secara sengaja dipromosikan sebagai suatu yang menjadi alasan mengapa wisatawan harus datang dan melihatnya. Dengan paparan di atas, maka sesungguhnya komodifikasi telah dan sedang terjadi pada daya tarik wisata Pura Tirta Empul. Sebagai produk komoditas, Pura Tirta Empul yang sebelumnya tidak diperjualbelikan, tetapi sekarang sudah menjadi produk komersial yang memiliki nilai jual. Proses komodifikasi Pura Tirta Empul di era globalisasi adalah Pura Tirta Empul diproduksi, didistribusi dalam bentuk kemasan objek yang indah dan menarik untuk disaksikan dan dinikmati. Namun demikian, dibalik itu semua sesungguhnya perlahan tapi pasti, ketradisian dan kesakralannya diabaikan. Pura Tirta
Empul
sebagai
produk
budaya
oleh
masyarakat
pendukungnya
dikomersialisasikan seperti barang dan jasa atau dikomodifikasi dalam berbagai bentuk dan tampilan. Komersialisasi produk budaya dapat juga dianggap sebagai bentuk adaptif dengan budaya global melalui pariwisata yang menghasilkan bentuk dan makna baru (Piliang, 2004 : 286-287). Kecenderungan pengaruh budaya kapitalisme membawa budaya konsumerisme, budaya citra, dan budaya tontonan, yang sesungguhnya proses produksi kapitalisme global sedang dalam proses penghancuran budaya lokal. Di era tahun 1990-an Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi karena diciptakan, diproduksi untuk dijadikan barang dan jasa perdagangan dalam bentuk tampilan. Dengan demikian, pembahasan dalam subbab ini akan diarahkan pada sejumlah permasalahan komodifikasi yang memerlukan penjelasan sejalan dengan pemikiran Fairclough (2005 : 206-207), bahwa komodifikasi difahami sebagai
165
suatu proses produksi komoditas yang tidak terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu hanya pada persoalan penjualan barang-barang kebutuhan, tetapi juga mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi, distribusi, dan konsumsi. Perubahan budaya masyarakat dari budaya agraris ke budaya pariwisata membawa dampak yang sangat besar terhadap perubahan pola ruang Pura Tirta Empul. Hal ini sejalan dengan pendapat Rochim (2004 : 154) yang menyatakan bahwa perubahan pola aktivitas manusia akan berpengaruh terhadap pola ruang yang mewadahinya. Pertumbuhan
industri jasa pariwisata yang
dilanjutkan
dengan
pembangunan inprastruktur (listrik, jalan, telepon, dan lain-lain) menimbulkan pergerakan dalam fenomena globalisasi. Fenomena globalisasi sebagaimana dicirikan oleh pergerakan manusia, uang, teknologi, media massa, dan ideologi, telah mendorong terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Desa Manukaya yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial (Abdullah, 2007 : 107). Informasi yang disalurkan melalui berbagai media telah membentuk ideologi yang paling mendasar, yakni perbedaan karena pilihan informasi begitu seragam sehingga banyak pilihan tersedia untuk membangun perbedaanperbedaan (Bourdieu, 1994 : 27). Perbedaan merupakan tanda penting dalam
166
kehidupan masyarakat modern. Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan pembentukan perbedaan antara orang. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi yang kurang ideal sebelum tahun 1990-an dan masuknya peluang industri pariwisata sebagai alternatif baru yang menjanjikan, menyebabkan sebagian masyarakat Desa Manukaya membuat keputusan secara rasional dengan beralih profesi dan mulai menekuni profesi ganda. Pariwisata semakin berkembang dan hal ini tentu dimanfaatkan sebaikbaiknya sebagai peluang untuk membuka usaha demi peningkatan tarap hidup. Sementara itu, Pura Tirta Empul sebagai produk budaya juga selalu ramai mendapat kunjungan para wisatawan. Meningkatnya pendapatan masyarakat dimaknai sebagai rakhmat dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga wajib untuk mempersembahkan kembali sebagai bagian dari upacara pengorbanan atau yadnya. Yadnya yang dibuat dilakukan secara tulus sebagai umat beragama yang bakti kepada Tuhan dan Leluhur. Untuk itu, salah satu bentuk yajna adalah kesepakatan masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk merenovasi secara menyeluruh pola ruang Pura Tirta Empul dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam lontar Asta Bumi dan Asta Kosala-kosali. Pura Tirta Empul yang pada mulanya hanya dikelola secara parsial oleh warga Banjar Manukaya Let dianggap relevan untuk dijadikan pemersatu warga Desa Adat Manukaya Let, yang terdiri dari tiga banjar, yaitu Manukaya Let,
167
Bantas, dan Tatag. Aktualisasinya adalah keterlibatan seluruh warga Desa Adat Manukaya Let dalam bentuk ayah-ayahan pada saat upacara odalan. Perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, terutama ketika umat melakukan persembahyangan yang dirasa sudah sangat sesak, sehingga memerlukan ruang yang lebih luas daripada kondisi sebelumnya. Hal itu juga menjadi pemikiran bagi masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk memperluas halaman pura, bahkan melengkapi dengan halaman-halaman yang belum tersedia. Berdasarkan hal itu, globalisasi yang merambah sebagian besar masyarakat telah menggeser wujud-wujud kebudayaannya, dari wujud nilai ke wujud perilaku, dan wujud fisik, sebagaimana yang akhirnya terlihat saat ini di Pura Tirta Empul. Perkembangan pariwisata yang terus meningkat tahun 1990-an berpengaruh terhadap perkembangan Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul kemudian terus direnovasi dan dimodifikasi dengan pola tri mandala, yaitu yang terdiri atas tiga halaman, yaitu jeroan, halaman tengan dan halaman luar. Pada masing-masing halaman terdapat sejumlah bangunan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya. Pertamanan di depan pura (Gambar 5.6 dan 5.7) ditata sedemikian rupa sehingga menambah kenyamanan, kesejukan, dan keindahan aral Pura Tirta Empul. Para pengunjung dapat memanfaatkan pertamanan untuk beristirahat atau melepas lelah setelah bersembahyang atau melukat di Pura Tirta Empul.
168
Gambar 5.6 Pertamanan di depan Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar 5.7 Penataan pertamanan yang asri sebagai pelestarian lingkungan (Dok. Setiawan 2010)
169
Antusias dan semangat masyarakat Desa Adat Manukaya Let secara kelembagaan untuk merenovasi Pura Tirta Empul secara total menunjukkan bahwa konsep rna (hutang) yang diwariskan sejak dahulu tetap dipertahankan, sehingga sesungguhnya di Desa Adat Manukaya Let telah terjadi global paradox, yaitu pergerakan informasi dan teknologi modern yang direspon dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai agama Hindu. Pengembangan pola ruang terhadap area Pura Tirta Empul yang dilakukan oleh masyarakat pengemong pura, baik dengan tujuan memperluas halaman atau memperindah mandala pura pada hakikatnya merupakan praktikpraktik komodifikasi. Selain pola ruang, komodifikasi juga dilakukan terhadap pola bangunan. Pola bangunan yang dimaksud dalam perspektif spasial bangunan suci adalah bentuk bangunan serta tata letak bangunan dalam lingkungan mandala. Hal ini perlu dikaji karena bentuk bangunan, dalam pengertian denah dan dimensi bangunan yang berubah akan berpengaruh terhadap fungsi secara keseluruhan. Demikian pula perubahan tata letak bangunan, baik pengurangan maupun penambahan bangunan pada area pura akan berpengaruh pada luas halaman pura. Pura Tirta Empul yang telah mengalami renovasi secara total mulai tahun 1990-an meliputi semua bangunan pelinggih yang ada di halaman dalam/ jeroan, di halaman tengah, dan di halaman luar. Demikian pula renovasi dilakukan terhadap Candi Bentar dan Candi Kurung (Gambar 5.8) yang membatasi masing-masing halaman pura. Dari segi bentuk denahnya, bangunan-
170
bangunan yang direnovasi tidak mengalami perubahan yang berarti dari bentuk aslinya.
Gambar 5.8
Candi Kurung beserta kolam yang dipenuhi ikan-ikan hias di bagian Barat Daya, Kompleks Pura Tirta Empul. (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas berupa kolam dan candi kurung yang direnovasi tahun 1992 sebagai wujud pengembangan dan perubahan pola bangunan. Selain perubahan pola bangunan, perubahan yang menonjol terjadi pada ornamen dan ragam hiasnya. Walaupun secara dimensional ornamen dan ragam hias tidak banyak mempengaruhi spasial, namun secara persepsi dapat memberikan kesan yang berbeda. Secara filosofi, penempatan ornamen pada bangunan tidak mengalami perubahan, misalnya ornamen pada bataran pelinggih berwujud karang asti, pada bagian atas berupa karang goak, dan di atas pintu berupa karang boma atau karangsae. Namun secara estetika, hal itu mengalami
171
perubahan menurut perkembangan zaman. Perubahan yang lain adalah penggunaan bahan bangunan yang jauh lebih baik kualitasnya dari bahan sebelumnya, baik bahan yang berasal dari kayu maupun dari batu yang digunakan untuk membuat bangunan, seperti kayu jati, nangka, atau paras hitam, batu bata yang mempunyai kualitas tinggi. Hal
itu menunjukkan bahwa tingkat
kemampuan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi dan tingkat kehidupan yang semakin baik. Bagi masyarakat Manukaya, salah satu wujud dalam membayar hutang kepada Tuhan adalah dengan memperbaiki pura sebagai sthanaNya sesuai dengan keyakinan dan kemampuan masyarakat. Pura sebagai life monument diusahakan selalu disempurnakan, lebih-lebih pada dewasa ini Pura Tirta Empul banyak memberi materi finansial bagi masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk membangun desanya. ”Kami bersyukur keberadaan Pura Tirta Empul yang sangat kami banggakan telah banyak memberi keuntungan finansial bagi masyarakat di sini. Kunjungan wisatawan baik lokal maupun asing telah mendatangkan sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat. Kami memandang hal itu sebagai berkah yang harus disyukuri sebagai pican Ida Bhatara, semoga pica itu terus menerus turun, sehingga kami dapat membangun desa ke arah kemajuan yang lebih baik di kemudian hari” (wawancara dengan Ngh. Putu Sujana, 26 April 2010). Pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa materi uang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Namun demikian kesucian pura semaksimal mungkin berusaha dipertahankan, sehingga kebutuhan jasmani dan rohani berjalan secara seimbang. Selain konsep rna, sistem terbuka masyarakat juga memberi peluang untuk melakukan perubahan yang bersifat selektif-adaptif. Sikap selektif-adaptif
172
masyarakat terhadap perubahan tercermin dari penggunaan material bagian pura. Misalnya bahan atap alang-alang yang banyak dipakai tahun 1970-an sekarang diganti ijuk, sehingga lebih memberikan kesan sakral dan magis. Produk-produk modern sebagai bagian dari budaya asing diterima sebagai penunjang aktivitas di pura selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Hal itu dapat dilihat pada ruang dapur umum dan bangunan wantilan di Pura Tirta Empul. Dapur yang digunakan untuk menyiapkan konsumsi bagi para pemangku dan pengayah pura, serta wantilan yang multifungsi ditata dengan pola modern. Demikian juga toilet dan lampu penerangan telah memanfaatkan teknologi modern. Dalam perkembangan dewasa ini Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi mengikuti perubahan zaman dan selera kreativitas masyarakat. Pola ruang dan pola bangunan beserta ornamen dan ragam hiasannya diciptakan sebagai sebuah tanda yang dapat menjadi komoditi. 5.1.2.3 Komodifikasi Tahun 2005 Sampai Sekarang Di era global, tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global yang meresap ke segenap sendi-sendi kehidupan manusia tidak
bisa dibendung atau ditolak.
Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru telah tiba, dan hal ini berarti banyak aspek tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat yang berubah. Salah satu wujud globalisasi adalah kapitalisme dengan fokus penekanannya pada masalah ekonomi. Wacana globalisasi turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional
173
saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker, 2005 : 133). Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme, seperti munculnya industri budaya yang mengacu pada komodifikasi bentuk-bentuk budaya untuk mengikuti ideologi pasar. Pada awalnya Pura Tirta Empul bukan produk budaya yang sengaja dibuat untuk tujuan komersial. Di era kekinian produk tersebut telah mengalami komodifikasi karena dibuat dengan tujuan dijadikan barang dagangan untuk berbagai kepentingan. Proses berlangsungnya industri budaya, di dalamnya termasuk industri pariwisata dapat menyebabkan komodifikasi. Gejala komodifikasi Pura Tirta Empul tampak pada objek, kualitas, ruang, tanda, serta pola-pola hias dijadikan sebagai komoditas untuk menarik selera konsumen (pasar).
Gambar 5.9
Kunjungan wisatawan asing ke Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
174
Sebagai suatu proses, komodifikasi dapat dirujuk dari pemikiran Marx, bahwa
akibat
ekonomi
uang
yang
berdasarkan
kapitalisme,
semangat
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul yang disebabkan oleh industri pariwisata sesungguhnya telah dan sedang berlangsung, lebih-lebih Bali telah ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata unggulan (Pitana, 2005 : 156157).
Gambar 5.10
Beberapa wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Tirta Empul juga melakukan prosesi melukat dan bersembahyang. (Dok. Setiawan 2010)
Gambar 5.9 dan 5.10 di atas menunjukkan betapa ramainya wisatawan asing berkunjung ke Pura Tirta Empul, bahkan ada di antara wisatawan itu ikut melukat dan bersembahyang di pura tersebut. Mereka membayar kontribusi ketika memasuki pura sebagai turis atau melukat di kolam suci dengan menyewa kotak
175
tempat pengganti pakaian. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa betapa Pura Tirta Empul sebagai tempat suci telah berkembang ke arah komersialisasi sebagai wujud ideologi pasar. Membicarakan ideologi pasar atau selera konsumen, erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Pada dewasa ini, apa pun produk yang dihasilkan, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul, keinginan pasar atau ideologi pasar memegang peranan penting. Ideologi menurut Atmaja (2008 : 247) adalah salah satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media utama bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia. Ideologi pasar tujuan utamanya adalah mengalihkan modal budaya, dalam hal ini Pura Tirta Empul menjadi modal ekonomi. Pemanfaatan modal budaya sebagai modal ekonomi berimflikasi atas pemaknaan manusia terhadap barang, yakni segala hal adalah komoditas. Setiap barang tunduk pada logika komodifikasi, yakni bisa ditukarkan lewat pasar guna mendapatkan uang. Logika komodifikasi memunculkan pemaknaan yang berbeda terhadap produk budaya. Masyarakat yang menganut logika komodifikasi memaknai produk budaya Pura Tirta Empul adalah komoditas atau barang dagangan. Dengan meminjam Hobermas (2006 : 87-88) bisa pula dikatakan bahwa masyarakat pendukung Pura Tirta Empul telah terjebak pada rasionalitas instrumental. Hal itu menimbulkan imflikasi terhadap pemaknaan Pura Tirta Empul, yakni bukan saja sebagai tempat yang sakral, melainkan sebagai instrumen untuk mendapatkan uang. Uang adalah bagian dari nafas kehidupan, mengingat bahwa pemenuhan lima indra manusia bergantung pada uang. Manusia terjerat pada budaya
176
konsumsi, budaya tontonan, dan materialisme. Kesemuanya itu sangat bergantung pada uang, karena apa pun yang mereka konsumsi lewat pasar mutlak memerlukan uang. Berkenaan dengan itu, maka meminjam gagasan Barthes (2007 : 14) bahwa zona suci pura telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, Atmaja (2008 : 249) mengatakan sebagai berikut. ”Masyarakat telah mengalami perubahan sehingga zona suci telah mengalami difersifikasi makna. Zona suci telah mengalami pembongkaran semiologis dan dekonstruksi untuk memperoleh makna lain yang baru, yakni ruang, yang dapat mendatangkan uang dan nilai ekonomi”. Marx memberi makna bahwa melalui kerja dihasilkan suatu produk, dan apa pun yang diproduksi adalah untuk diperjualbelikan. Sebagai sebuah komoditas, produk tidak hanya penting dan berguna tetapi juga berdaya jual. Masyarakat konsumen adalah mereka yang menikmati Pura Tirta Empul sebagai suatu barang komoditas. Budaya konsumen dipandang sebagai bentuk yang spesifik dari budaya materi/benda yang memberi jarak kritis mengenai pemahaman (konsep) konsumsi sehari-hari dengan konsumsi dalam praktikpraktik budaya. Menurut Boudrillard (2009 : 28) ciri adanya suatu masyarakat komodifikasi adalah adanya suatu masyarakat konsumen yang tidak lagi membeli suatu barang untuk mendapatkan nilai guna dari benda tersebut, melainkan dibeli sebagai tanda suatu komoditas. Konsumsi tidak lagi difahami sebagai konsumsi nilai manfaat suatu kebutuhan berdasarkan fungsi material, tetapi sebagai konsumsi tanda (Featherstone, 2008 : 142).
177
Kebudayan posmoderinisme telah memutarbalikkan kategori-kategori kebudayaan atau menjungkirbalikkan nilai-nilai budaya, serta berperan besar dalam menciptakan perubahan kultural. Posmodernisme mengusulkan narasinarasi kecil yang plural,
membangun heterogenitas budaya, menghidupkan
kembali lokalitas dan etnisitas dalam rangka menghargai perbedaan. Selain itu, posmodernisme merupakan dekonstruksi terhadap tembok pemisah antara budaya tinggi dan budaya rendah, sehingga klaim-klaim luhur/murahan, indah/tidak indah tidak lagi relevan. Menurut Piliang (2004 : 427-429) posmodernisme dapat juga dilihat sebagai
sebuah
kecenderungan
”politik
kebudayaan”,
yaitu
bagaimana
kebudayaan berhimpitan dengan soal kekuasaan, yang di dalamnya ada kecenderungan-kecenderungan baru beroperasinya kekuasaan dalam kebudayaan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Politik konsumsi, artinya politik kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari ekonomi politik kapitalisme, yang di dalamnya berkembang masyarakat konsumer (consumer society). Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang menjadikan konsumsi sebagai ideologi, yaitu bagaimana nilai dan makna kehidupan diperoleh lewat tindak konsumsi. Objek konsumsi tidak lagi bersadar pada logika fungsi dan kebutuhan, melainkan pada logika tanda. 2. Politik tontonan, artinya masyarakat posmodern adalah masyarakat tontonan (society of the spetacle). Di dalam tontonan (televisi, hiburan, iklan, musik) menjadi titik pusat kehidupan budaya dan tontonan menjadi penentu relasi di
178
antara kelompok-kelompok sosial. Tontonan adalah cara manusia memaknai hidup atau menjajah dunia kehidupan. 3. Politik tanda, artinya budaya posmodern adalah budaya tanda (sign culture) dalam bentuknya yang baru. Tanda digunakan bukan untuk menyampaikan pesan, tetapi menampakkan kelucuan atau kegilaan. Motif komunikasi telah berakhir dari pencarian pesan ke arah keterpesonaan yang ditimbulkan oleh permainan dan kecanggihan teknologi media. 4. Politik citra, yaitu strategi dalam sistem produksi dan konsumsi yang di dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada objek konsumsi untuk dijadikan memori publik. Citra (image) atau pencitraan (imagology) merupakan instrumen untuk menguasai kehidupan jiwa serta mengatur tingkah laku eskternal setiap orang yang dipengaruhinya. Citra menjadi landasan rasional dalam memilih, menentukan baik-buruk, benar, salah, berguna-tak berguna. Bertolak dari kecenderungan politik kebudayaan posmodern tersebut maka dapat dikemukakan bahwa tindakan mengkomodifikasikan Pura Tirta Empul memiliki latar belakang ideologis. Artinya, apa yang mereka lakukan tidak saja merupakan pengaplikasian dari suatu ideologi, tetapi juga untuk mempertahankannya. Hal itu sejakan dengan gagasan Althusser (2004 : 31) bahwa ideologi diselinapkan pada setiap aktivitas manusia. Karena itu, suatu ideologi bisa bersembunyi dibalik suatu aktivitas sehingga seseorang tidak menyadarinya.
179
Dengan mengacu kepada gagasan Marcuse (2004 : 27) masyarakat industi modern dewasa ini adalah masyarakat berdimensi satu. Cirinya adalah segala segi kehidupan diarahkan pada satu tujuan, yakni
sistem kapitalisme.
Manusia melakukan kegiatan ekonomi secara bebas dengan sasaran mendapatkan laba sebanyak-banyaknya. Sistem ekonomi kapitalis pada masyarakat secara luas mempengaruhi
unsur
superstruktur
ideologi.
Pengungkapan-pengungkapan
simbolik yang memiliki nilai estetika, emosional atau intelektual bagi suatu masyarakat, berubah menjadi komoditas guna mendapatkan keuntungan bagi pendukung suatu produk budaya. Sementara itu, Sanderson (1993 : 27) menyatakan apapun bentuk tindakan manusia tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang ada dibaliknya. Superstruktur ideologi berfungsi sebagai resep bertindak bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh suatu kelompok (Oenil, 2001 : 33). Sedangkan menurut Steger (2005 : 7), ideologi sebagai sistem gagasan dengan diikuti keyakinan yang berpola, norma, dan nilai terpadu, serta gagasangagasan regulatif yang diterima sebagai kenyataan/kebenaran oleh suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, ideologi merupakan suatu gagasan yang di dalamnya mencakup nilai dan norma yang diyakini benar oleh penganutnya. Karena itu, gagasan tersebut diaktualisasikan sebagai praktik material guna melakukan penataan terhadap kenyataan sosial. Aspek-aspek yang bertentangan dengannya, sengaja disembunyikan guna memberikan pembenaran terhadap gagasan yang
180
tercakup dalam ideologi yang mereka anut. Ideologi bisa dijumpai dalam praktik kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya dalam bentuk ide-ide tertentu, tetapi bisa pula melahirkan jurang kekuasaan. Namun orang tidak menyadarinya, karena mereka terbius secara ideologis (Storey, 2003 : 8). Bertolak dari gagasan tersebut maka dapat dikemukakan bahwa komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global memiliki latar belakang ideologis, yaitu ideologi pasar. Ideologi pasar semakin kuat melandasi kehidupan masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul bersamaan dengan adanya globalisasi. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa ideologi pasar tidak saja melandasi globalisasi, tetapi sekaligus juga nafas atau semangat yang diembuskan oleh globalisasi. Pasar telah menjadi kekuatan penting terutama melalui proses integrasi dan ekspansi. Integrasi pasar telah menghasilkan suatu penyatuan sistem kerja dan ketergantungan pada struktur pasar yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi. Ekspansi pasar tidak hanya memperkenalkan barang-barang baru, tetapi juga memperluas jaringan distribusi barang yang mempengaruhi tata nilai dan hubungan-hubungan sosial. Ekspansi pasar juga kemudian mengubah kehidupan menjadi suatu proses transaksi dan setiap orang menghitung cost dan benefit dari setiap hubungan sosial (Abdullah, 2007 : 112). Pasar kemudian berfungsi ganda, yaitu sebagai penekan dengan batasan-batasan dan pengaturan, serta sebagai solusi yang memberikan jalan ke luar dengan menyediakan berbagai fasilitas untuk meningkatkan kapasitas pribadi dalam usaha memenuhi aturan main yang ditetapkan oleh pasar.
181
Etos kerja kapitalistik yang terbentuk merupakan contoh nyata dari ekspansi pasar di mana orang berorientasi kepada pencarian kehidupan yang lebih baik dalam berbagai bentuk dan tingkat. Segmentasi pasar, yang menentukan keterlibatan seseorang berdasarkan prasyarat yang ditentukan untuk kepentingan pasar, merupakan kekuatan baru yang mempengaruhi tata kehidupan. Pariwisata sebagai media yang memperkuat daya tarik Pura Tirta Empul, telah menempatkan masyarakat Desa Manukaya pada jalan bercabang. Di satu sisi mereka berusaha untuk bertahan dalam ketradisionalannya, namun di sisi lain, pada saat yang sama mereka ingin menjadi modern dengan memanfaatkan pariwisata untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Akibatnya, Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global, artinya Pura Tirta Empul diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi dalam bentuk tampilan yang indah, tetapi sesungguhnya perlahanperlahan
ketradisian
kesakralannya
diabaikan.
Pura
Tirta
Empul
dikomersialisasikan, diperdagangkan seperti barang atau komoditi. Pura Tirta Empul sebagai komoditi dalam konteks ini dimaksudkan sebagaimana dialami sekarang, yaitu pengalaman lahir karena budaya konsumsi dan didukung oleh teknologi informasi baru. Dengan kata lain, produk budaya ini lahir dan bertahan karena kehendak media (dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi. Media dan konsumsi menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan aspek moral dan kognisi dengan ikatan estetik (Strinati, 2007 : 13). Pura Tirte Empul sebagai daya tarik wisata budaya unggulan di Kabupaten Gianyar tidak pernah sepi dari kunjungan wisawatan, baik lokal
182
maupun asing. Mereka dengan menyewa kain dan selendang dapat dengan leluasa berkeliling di areal pura bahkan dapat memasuki halaman dalam tersuci dari sebuah pura (Gambar 5.11 dan 5.12)
Gambar 5.11 Suasana sehari-hari di halaman dalam Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010) Status kekinian yang diemban Pura Tirta Empul sebagai budaya massa dimulai ketika produk budaya tersebut mengalami komodifikasi. Dengan status ini maka Pura Tirta Empul dalam proses produksi dan distribusi tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah estetika sebagai suatu ilmu, tetapi telah bergeser dari estetika sakral ke estetika profan, dengan fungsi pemaknaannya untuk tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Pura Tirta Empul lebih diapresiasi sebagai barang dagangan/komoditas yang keberhasilannya diukur dari berapa jumlah keuntungan yang didapatkan.
183
Gambar 5.12 Umat dan wisatawan asing berbaur di halaman dalam pura (Dok. Setiawan, 2010) Produk budaya Pura Tirta Empul didistribusi sebagai budaya massa boleh dikatakan bersifat sementara, karena sifat budaya massa sangat tergantung pada konsumen atau pasar. Pura Tirta Empul bukan lagi menjual estetika sakralitas, tetapi estetika posmodern berupa keindahan arsitektur bangunan, panorama alam, atau permandian suci beserta pancuran-pancuran yang berjejer menghiasinya. Parameter budaya massa berkaitan erat dengan apresiasi pengunjung/penonton, karena tujuan utamanya adalah menarik perhatian massa. Kepopuleran Pura Tirta Empul yang didasarkan atas keuntungan sebesar-besarnya semakin nyata ketika agen distribusi memainkan peran aktifnya melalui televisi, majalah, brosur, koran, dan media lainnya, menjadikan Pura Tirta Empul semakin populer, tidak saja di Bali, tetapi di berbagai tempat belahan dunia.
184
Dalam kaitannya dengan kapitalisme, azas pertukaran akan selalu mendominasi azas manfaat, karena ekonomi kapitalis berputar-putar di sekitar produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas yang selalu mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Uang merupakan contoh betapa berbagai relasi sosial di antara masyarakat bisa mengambil perwujudan luar biasa dari suatu hubungan, sekaligus merupakan sarana utama tempat nilai komoditas dalam masyarakat kapitalis (Strinati, 2007 : 101). Pura Tirta Empul sebagai budaya massa menjadi objek pertarungan makna dan ideologi yang berlangsung terus menerus dalam rangka mengejar citra dan merebut hati konsumen. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global yang tidak terelakkan akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional dengan batas-batas yang tidak begitu jelas. Namun demikian, pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang berlawanan, yaitu suatu proses untuk mencari identitas melalui pendalaman ajaran agama. Selain munculnya kegairahan pendalaman tattwa (membawa kitab agama), muncul pula kegairahan mencari pengalaman batin (spiritual experience) dalam masyarakat Bali. Hal ini bisa dilihat dari munculnya kelompok-kelompok spiritual yang melakukan tirta yatra (perjalanan ke tempat-tempat suci) untuk memperoleh ketengan batin. Tirta yatra dalam bahasa sehari-hari adalah mendatangkan tempattempat suci, tempat yang mendukung konsentrasi untuk melakukan prosesi pemujaan kehadapan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi. Penyucian lahir dan batin pada diri manusia dapat dianggap sebagai tujuan melakukan tirta yatra. Umat
185
tampaknya semakin menyadari bahwa tirta yatra adalah sebuah yadnya yang mudah dilakukan oleh siapa pun. Bagi masyarakat umum atau masyarakat yang mempunyai tingkat pemahaman spiritual yang belum begitu tinggi, maka kegiatan tangkil ke pura atau tirta yatra mempunyai tujuan praktis, yaitu memohon keselamatan, kesehatan, penebus dosa, kesuksesan atau ketenangan jiwa. Pura Tirta Empul salah satu tempat suci yang sangat ideal sebagai tempat tirta yatra. Areal pura yang cukup luas, hawa yang cukup sejuk, suasana yang tenang, sangat memungkinkan orang melakukan kegiatan keagamaan untuk memperoleh ketenangan lahir batin. Mulai pada sekitar tahun 2005 (informasi dari Bendesa Adat Manukaya Let dan Jero Mangku Pura Tirta Empul) umat banyak sekali datang melukat dan bersembahyang di pura tersebut. Tidak terhitung jumlah orang yang datang terutama melukat di kolam suci pura. Mereka rela bergiliran dalam antrean panjang melakukan prosesi tersebut. Mereka umumnya percaya bahwa air suci di pura tersebut memiliki khasiat untuk menyucikan diri bahkan dapat menyembuhkan penyakit, seperti yang disampaikan oleh Wayan Kantun (58 tahun) dari Payangan (wawancara 5 Juni 2010) yang menyatakan sebagai berikut. ”Tiang mencoba datang ke sini karena mendengar informasi bahwa air suci di pura ini juga dapat menyembuhkan penyakit. Tiang menderita penyakit rematik, dan sudah tiga kali melukat di kolam suci melalui pancuranpancuran itu. Dengan ketulusan hati tiang memohon kemurahan Ida Bhatara yang melinggih di Pura Tirta Empul, melalui sarana canang sari, agar Ida Bhatara berkenan memberi anugerah. Dan tiang merasakan ada sedikit perubahan pada kedua kaki ini, tiang akan terus tangkil di sini, mudah-mudahan permohonan tiang dikabulkan oleh Ida Bhatara”.
186
Pengharapan yang sama juga disampaikan oleh Ketut Rembyok (52 tahun) dari Desa Batuan yang menderita penyakit kulit (wawancara 25 Mei 2010) yang mengatakan: Saya secara rutin seminggu sekali melakukan melukat di kolam ini. Saya senantiasa berdoa agar Ida Bhatara berkenan memberi anugerah untuk kesembuhan penyakit ini. Selain melakukan prosesi melukat, saya juga melakukan persembahyangan, semoga doa-doa saya didengar oleh Ida Bhatara. Pernyataan kedua orang di atas jelas memperlihatkan betapa yakinnya mereka terhadap khasiat air suci di Pura Tirta Empul. Namun demikian mereka sepenuhnya menyerahkan semua itu kepada Ida Bhatara. Tidak hanya dilakukan oleh masyarakat lokal, turis asing pun banyak yang melakukan kegiatan melukat ini. Mereka umumnya ingin tahu dan terlibat langsung sebagai pengalaman pribadi. Wisatawan melakukan sesuatu kegiatan yang terkait dengan objeknya, yaitu untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya. Kegiatan pariwisata sendiri adalah salah satu ungkapan budaya. Mungkin tidak semua kebudayaan mempunyai konsep yang sama mengenai kegiatan berwisata. Bahkan mungkin ada yang sama sekali tidak mengenalnya. Pariwisata sebagai sebuah upaya yang sengaja, bertujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman khusus di tempat lain, di luar kawasan hunian wisatawan. Seperti halnya cerita pemutaran Gunung Mandara, ketika air laut diaduk oleh para Dewa dan Raksasa, maka keluarlah air suci. Demikian pula mata air suci di Pura Tirta Empul menghasilkan bermacam tirta yang keluar dari masingmasing pancuran, yang berfungsi berbeda-beda. Di antara fungsi-fungsi air pancuran itu, ada yang berfungsi sebagai tirta pembersihan, tirta menghilangkan
187
kutukan, dan tirta untuk penyembuhan penyakit (informasi Pemangku Pura Tirta Empul). Tirta (air suci) adalah air yang telah mendapat berkah dari Tuhan. Dalam hal ini berkah itu dapat berupa limpahan energi atau sinar suci. Tirta sebaai media penyembuhan bukanlah semata-mata air dalam pengertian harfiah, melainkan lebih pada pengertian yang dipengaruhi oleh sosiokultural, di mana air suci itu dipercaya dapat memberikan pengaruh pada diri manusia (Astawa, tt, 38). Untuk mendapatkan manfaat seperti telah disebutkan di atas, satu hal yang harus diperhatikan adalah melakukan secara ikhlas dan pasrahkan semuanya kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi, karena semua yang terjadi adalah kuasa Tuhan semata. 5.2
Proses Distribusi Pura Tirta Empul Distribusi dalam penelitian ini adalah menyalurkan dalam arti
memperkenalkan, mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul, agar dapat diketahui oleh masyarakat umum, termasuk wisatawan nusantara dan wisatawan asing. Dengan diperkenalkan atau dipromosikan Pura Tirta Empul masyarakat luas menjadi tertarik dan berkeinginan untuk mengetahui lebih dekat bahkan mengonsumsinya. Mengonsumsi sesungguhnya adalah tujuan akhir dari proses produksi dan distribusi. 5.2.1
Media Elektronik Di zaman ini, setelah kebudayaan manusia dikatakan telah mengalami
lonjakan perkembangan ilmu informatika, maka ranah informasi menjadi
188
berfungsi strategis bagi proses pembentukan kebudayaan dalam berbagai skala. Benda-benda hasil industri pun dapat diisi dengan informasi budaya, sehingga berkembanglah apa yang secara umum diberi label ”industri budaya”. Bendabenda ini melalui kandungan isinya, mempunyai dampak budaya terhadap siapa pun yang menjadi konsumennya. Perdagangan produk-produk industri budaya di satu sisi dapat menyumbangkan kepada pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain dapat merupakan penyelinapan budaya yang dapat menggerogoti jatidiri budaya suatu daerah yang diposisikan sebagai konsumen bagi kebudayaan asing (Sedyawati, 2008 : vii). Sejajar dengan ini adalah industri budaya, yaitu media elektronik (radio, televisi, internet). Media, khususnya media elektronik tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut. Di dalam perkembangan media mutakhir, ada satu kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economic interest). Keberadaan sebuah iklan yang media massa seperti sekarang ini bukanlah wacana yang langka dalam diskursus kultur ekonomi kapital. Iklan di media massa bukan lagi sebagai elemen pelengkap sistem industrialisasi dan kapitalisme, melainkan telah menjadi salah satu instrumen paling vital di era globalisasi seperti sekarang ini. Iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk membujuk hasrat konsumen terhadap produk melalui serangkaian ideologi citra yang dibangunnya. Iklan difahami sebagai aktivitas penyampaian pesanpesan visual kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk membeli produk barang dan jasa yang direproduksi (Kasiyan, 2009 : 149). Iklan dirancang sebagai penyampaian pesan untuk
189
mempersuasi khalayak tertentu, untuk menerima penawaran produk dengan mengeluarkan biaya. Kehadiran televisi (TV) merupakan tanda dari perubahan peradaban. Pada saat TV mulai menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas sebagai titik pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai berpusat pada TV. Peran orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan seorang penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara menghadirkan ”suatu” yang dia pilih dalam proses konsumsi waktu luang. TV sesungguhnya telah mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan ”deteritorialisasi” suatu dunia baru dengan batas-batas wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu proses penting, karena ia menjadi titik balik peradaban kontemporer yang memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial (Abdullah, 2007 : 55). Program TV secara langsung mentransformasikan sistem nilai yang berlaku. Suatu
hal
yang
sangat
mencolok
bahwa
TV
telah
mentransformasikan suatu produk menjadi simbol yang terkait pada sistem pemaknaan tertentu. Nilai-nilai simbolik dari suatu praktik dewasa ini menjadi sangat dominan dibandingkan dengan kegunaan dari produk itu sendiri. Suatu corak kehidupan yang dihadirkan oleh TV menjadi model dari realitas sosial telah melanda masyarakat modern. Kehidupan sebagai proses etis tampaknya mengalami pergeseran secara mendasar sejalan dengan dominannya nilai simbolik dalam proses kehidupan sosial yang menunjukkan adanya kecenderungan penekanan pada aspek material.
190
Proses produksi pun mengalami estetisasi di mana suatu nilai telah menjadi kekuatan dalam produksi suatu barang yang dipresentasikan di berbagai acara dalam berbagai bentuk wacana yang dibangun dalam pertukaran sosial di TV. Selain TV, radio juga merupakan salah satu media elektronik yang bisa dimanfaatkan oleh seseorang atau masyarakat untuk mengiklankan produk, baik radio milik pemerintah maupun radio milik swasta. Radio mempunyai visi dn misi yang cukup kompleks, tidak hanya sebagai lembaga penyampaian berita, tetapi juga sebagai media pendidikan, media hiburan, serta media yang bersifat sosial dan ekonomis. TV, radio, dan internet dimanfaatkan oleh banyak pihak yang berkepentingan untuk mengiklankan produknya, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul. Media elektronik tersebut dimanfaatkan sebagai media untuk mempromosikan Pura Tirta Empul dalam bentuk tayangan atau pengumuman yang dikemas dalam acara sosial. Tujuannya tidak lain adalah agar dapat diketahui dan sekaligus mampu menarik minat masyarakat, baik lokal maupun asing. Tayangan produk budaya Pura Tirta Empul dalam TV One melalui acara ”Riwayatmoe Doeloe” dan TV lokal (Dewata TV) melalui acara ”Prasasti Dewata” dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk mengonsumsinya. 5.2.2
Media Massa Cetak Selain media massa elektronik, media massa cetak juga digunakan untuk
mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul. Media massa cetak
191
mengutamakan pesan-pesan visual, dan umumnya media ini berbentuk lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto bagian-bagian yang menarik dari produk tersebut. Media cetak jenis ini terutama berbentuk surat kabar, majalah, brosur, selebaran, dan poster. Media sebagai sebuah diskursus sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan
kesalingberkaitan
antara bahasa yang
digunakan
di dalamnya,
pengetahuan yang melandasinya, dan bentuk-bentuk kepentingan yang beroperasi di baliknya. Dengan kata lain, media tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membentuknya, yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa yang digunakan dan pengetahuan yang dihasilkan (Piliang, 2009 : 134). Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting. Persoalan ideologi pada media muncul ketika apa yang disampaikan media memunculkan berbagai problematika di dalam kehidupan sosial budaya. Rekayasa di dalam media juga sering kali berlangsung secara halus dan tidak tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu rekayasa. Salah satu bentuk rekayasa media adalah apa yang disebut dengan ”hiperealitas media”, yaitu penciptaan realitas-realitas artifisial di dalam media yang menciptakan realitas tandingan. Istilah hiperealitas media digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan makna di dalam media. Hiperealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata dari pada kenyataan.
192
Berkembangnya hiperealitas media tidak terlepas dari perkembangan teknologi media, yang disebut teknologi simulasi. Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu para realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realias kedua yang refrensinya adalah dirinya sendiri yang disebut simulakra. Simulakra tampil seperti realitas yang sesungguhnya, pada hal ia adalah realitas artifisial, yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realita media ini dipercaya lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya (Piliang, 2009 : 141). Pura Tirta Empul sebagai produk budaya masyarakat Desa Manukaya juga telah dipromosikan melalui media massa cetak. Beberapa media massa cetak telah digunakan untuk mendistribusikan Pura Tirta Empul kepada konsumen. Berbagai benda cetakan tersebut diantaranya ada yang berbentuk brosur, koran, dan buku, seperti Gambar 5.13 di bawah ini
193
Gambar 5.13
5.3 5.3.1
Pura Tirta Empul dalam berbagai media massa cetak (Dok. Setiawan, 2010)
Proses Konsumsi Pura Tirta Empul Karakteristik Konsumen Konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pemakai atau
pengguna suatu produksi. Dalam kontek penelitian ini, konsumsi Pura Tirta Empul ditekankan pada analisis bagaimana Pura Tirta Empul dikonsumsi oleh para konsumennya untuk memenuhi kebutuhan rohaninya melalui kegiatan wisata, khususnya wisata budaya. Seperti diketahui bahwa tujuan wisata yang berupa kebudayaan pada dasarnya diarahkan kepada terjadinya suatu penghayatan pengalaman bagi wisatawan, yang sering kali merupakan sesuatu yang baru dan dirasakan unik. Pada diri wisatawan diharapkan tumbuh kesan yang dalam serta penghargaan yang tinggi terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu. Seorang atau serombongan wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata sudah tentu berharap untuk mendapatkan sesuatu yang memberinya kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan atau dari keunggulan suatu objek yang bersangkutan. Mereka dapat memperoleh kesan mendalam mengenai suasana Pura Tirta Empul yang nyaman dan khas, atau merasa puas karena mendapat pengetahuan baru dari apa yang dilihat di sana. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa yang menjadi konsumen produk budaya Pura Tirta Empul adalah masyarakat lokal, wisatawan
194
nusantara, dan wisatawan asing. Masing-masing konsumen tentu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat lokal hanya mengonsumsi Pura Tirta Empul terkait dengan kepentingan keagamaan, terutama bersembahyang untuk mendekatkan diri dengan Tuhan atau melukat (menyucikan diri) di kolam suci Pura Tirta Empul untuk memperoleh ketenangan lahir dan batin. Aktivitas yang dilakukan oleh umat Hindu seperti itu lazim disebut tirta yatra, yaitu perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci untuk bersembahyang dan membersihkan diri melalui air suci (tirta). Penyucian diri baik lahir maupun batin dipandang sebagai tujuan dari tirta yatra melalui pelaksanaan bakti, tekun, tulus ikhlas, dan sungguh-sungguh. Umat Hindu semakin menyadari bahwa tirta yatra adalah sebuah yadnya yang paling mudah dilakukan oleh siapapun. Kegiatan tirta yatra pada dasarnya adalah upaya orang untuk mendekatkan diri dengan sumbernya, yakni Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi. Pendekatan diri dengan Sang Pencipta dapat dilakukan dengan melatih diri dan dari hati sanubari yang paling dalam. Kesucian hati menyebabkan orang memperoleh kebahagiaan, seperti disampaikan oleh Putu Ayu, wanita asal Desa Angantaka, Badung (wawancara, 2 Agustus 2010) sebagai berikut. ”Saya sering melukat di Pura Tirta Empul. Saat ini saya bersama keluarga menekuni pengobatan alternatif. Setiap kali selesai proses pengobatan selalu diakhiri dengan melukat, sebagai penguat dari proses pengobatan tersebut. Saya merasakan vibrasi yang sangat kuat ketika melukat pada pancoran di tirta gering”. Dalam prosesi melukat, umumnya orang memakai pakaian adat sebagaimana layaknya hendak melakukan pembersihan. Orang laki-laki memakai kain dan selendang seperti hendak bersembahyang, sedangkan para wanita juga
195
memakai kain, baju, dan selendang. Seperti tertulis dalam papan petunjuk, maka setiap orang yang hendak melukat harus menaati aturan, seperti tidak dibenarkan hanya memakai pakaian dalam dan berenang seperti di kolam renang, tidak diperbolekan mandi dengan menggunakan sabun, karena dapat menodai kesucian tempat tersebut. Sementara itu, para wisatawan (asing, nusantara) yang mengonsumsi Pura Tirta Empul secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk mendapatkan kesenangan. Mereka ingin melihat/menyaksikan secara langsung, sehingga memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru tentang sesuatu objek wisata. Di samping pariwisata dengan tujuan umum, terdapat pula pariwisata minat khusus. Para wisatawan minat khusus ini melakukan sesuatu kegiatan yang terkait dengan objek Pura Tirta Empul, seperti ikut bersembahyang (lihat Gambar 5.14) dan juga melakukan prosesi melukat berbaur dengan masyarakat lokal. Mereka melakukan kegiatan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya.
196
Gambar 5.14 Wisatawan asing ikut bersembahyang di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010) Wisatawan nusantara yang berkunjung ke Pura Tirta Empul umumnya adalah rombongan pelajar yang memanfaatkan liburan sekolah. Selain pelajar ada juga kelompok-kelompok lain atau sebuah keluarga dengan berbagai macam kepentingan. Sementara, itu wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Tirta Empul umumnya melalui agen-agen pariwisata. Umumnya mereka tinggal di resort-resort di pinggir laut, seperti Nusa Dua, Sanur, Kuta, dan Jimbaran. Selain di tempat-tempat tersebut di atas, wisatawan yang berkunjung ke Pura Tirta Empul sebagian tinggal di daerah pariwisata yang cukup terkenal, yaitu daerah Ubud. Berbeda dengan resort-resort pinggir pantai, Ubud berfungsi rangkap sebagai kawasan pemukiman dan tujuan wisata. Daerah Ubud menarik wisatawan yang lebih melihat Bali dalam citra seni atau desa pelukis. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan wisatawan asing di lapangan dapat dikatakan bahwa sesungguhnya wisata belum menjadi kebutuhan utama, tetapi wisata menjadi pilihan dalam kehidupan ini. Perjalanan wisata bukan merupakan keharusan, tetapi selalu direncanakan secara matang dan dipersiapkan jauh-jauh hari agar biaya perjalanan bisa dikumpulkan. Jika ada kebutuhan kehidupan lain yang dianggap lebih penting seperti pendidikan, maka dana untuk perjalanan wisata menurut mereka akan dialihkan dan rencana liburan ditunda. Destinasi yang dipilih tidak harus mewah dan terkenal, tetapi daerah tujuan wisata harus bisa memenuhi kebutuhannya. Wisata yang dilakukan harus
197
memberikan pengalaman yang berimbang dengan beban biaya, waktu, dan tenaga yang disisihkan. Mereka umumnya senang berinteraksi dengan budaya baru bahkan dijadikan hidup. Mereka tidak canggung untuk melakukan kontak sosial dengan budaya, bahkan sangat senang saling bercerita dan bertukar pengalaman dengan masyarakat setempat. Dengan demikian, lintas budaya sudah menjadi bagian dalam perjalanan wisata. 5.3.2
Konsumsi dan Pelestarian Pusaka Budaya Industri pariwisata memiliki hubungan yang sangat erat dengan daya
tarik wisata, dalam hal ini Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul merupakan aset pariwisata budaya dan mendapatkan dampak karena sifat situs yang rapuh (fragile) dan tak terpisahkan (inseparability). Bersifat rapuh karena situs merupakan
karya manusia yang jika dirusak belum tentu kembali seperti
sediakala. Bersifat tidak terpisahkan karena manusia harus mendatangi situs untuk dapat menikmatinya. Secara teoretis, hubungan situs dengan pariwisata harus mutual dan bermanfaat. Wisatawan menikmati situs dan pendapatan yang dibayar wisatawan
digunakan
untuk
pelestarian
dan
memelihara
situs
guna
keberlangsungan pariwisata. Pura Tirta Empul sebagai BCB wajib dilestarikan. Pelestarian BCB paling tidak mempunyai dua tujuan, yakni (1) pelestarian wujud fisik dan (2) pelestarian nilai-nilai budaya. Pelestarian fisik bertujuan melestarikan atau menyelamatkan
fisik
sebuah
BCB
(baca
Pura
Tirta
Empul)
beserta
lingkungannya, baik lingkungan alam maupun masyarakat di sekitarnya. Hal ini sangat perlu, karena suatu BCB bersama lingkungannya dalam pengertian yang
198
luas merupakan suatu kesatuan ekosistem, yang secara ideal diharapkan berada dalam suatu kondisi dan hubungan yang selaras dan serasi. Jika salah satu dari unsur ekosistem itu mengalami gangguan, maka akan terjadi ketidakharmonisan yang dapat merusak keindahan (Sutaba, 1991 : 12). Tujuan yang kedua ialah melestarikan nilai-nilai budaya (cultural values) yang terkandung di dalam BCB untuk diwariskan kepada generasi penerus. Penerusan nilai-nilai budaya kepada masyarakat luas sangat perlu dilakukan secara terencana, untuk mencegah hilangnya nilai-nilai luhur itu dari masyarakat. Dengan demikian, kesenjangan budaya dalam masyarakat dapat dihindari. Hal itu berarti bahwa transformasi nilai-nilai akan berjalan dengan baik, sehingga ketahanan budaya akan menjadi kokoh. Jika ketahanan budaya yang kokoh dapat diciptakan, maka kepribadian bangsa tidak tergoyahkan, sehingga pembangunan berkesinambungan dan berwawasan budaya akan berjalan dengan baik. Di dalam Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa pemerintah ”memajukan
kebudayaan
naisonal
Indonesia”.
Untuk
melaksanakan
pembangunan yang bertujuan memajukan kebudayaan nasional tersebut perlu keterpaduan sehingga terwujud keselamatan dan keseimbangan antar bidang. Salah satu unsur sosial budaya yang perlu diperhatikan pelestariannya adalah BCB, yang merupakan pusaka budaya bangsa. BCB sebagai warisan mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Pusaka budaya juga sangat berguna bagi pendidikan, yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa kebanggaan nasional, memperkokoh
199
kesadaran jatidiri sebagai bangsa, serta untuk memperkaya pengetahuan pada umumnya (Sedyawati, 2008 : 188). Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa nilai, tradisi, dan peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa perlu terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk cinta tanah air. Perencanaan tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan benda yang mengandung nilai sejarah. Oleh karena itu, dalam upaya lebih menjamin terpeliharanya BCB dari proses kerusakan dan kemusnahan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang BCB (UU-BCB) yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 1992. Namun kenyataan menunjukkan bahwa BCB sebagai aset budaya yang tak ternilai harganya itu sampai saat ini masih mendapat ancaman kepunahan. Ancaman tersebut dapat berupa peristiwa alam seperti gempa bumi, letusan gunung, cuaca, maupun oleh adanya ancaman karena kegiatan manusia, seperti perusakan, pencurian, dan pengembangan lahan yang berkaitan dengan aktivitas kegiatan pembangunan. Dalam era pembangunan dewasa ini sering terjadi perbedaan kepentingan yang tidak jarang mengancam kelestarian BCB, khususnya BCB yang bergerak. Selain itu, juga masih dirasakan adanya berbagai usaha yang mengarah kepada penggelapan terhadap BCB. Untuk menanggulangi hal tersebut perlu usaha melestarikan BCB dalam bentuk kegiatan yang mempunyai sasaran pokok tertentu, misalnya (1) mewujudkan pelestarian BCB dengan berbagai aspek pemanfaatan secara luas, (2) melindungi BCB secara utuh, (3) mewujudkan
200
pengamanan dengan cara mengarahkan pada pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan, sosial, dan lain-lain, dan (4) menggugah kepedulian dan partisipasi masyarakat luas dalam mendukung pelestarian dan pemanfaatan BCB (Tjandrasasmita, 1983 : 10 ; Sedyawati, 2008 : 189). BCB merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan dalam rangka membentuk rasa kebanggaan dan memupuk rasa memiliki jati diri bangsa. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk melindungi dan melestarikan bangunan yang bernilai sejarah dan purbakala. Bangunan bersejarah merupakan jatidiri dari identitas suatu bangsa.
Gambar 5.14 Pura Tirta Empul sebagai benda cagar budaya (Dok. Setiawan, 2010)
201
Pelestarian dan pemanfaatan bangunan aset budaya dapat dilakukan tanpa meninggalkan prinsip atau kaidah pelestariannya. Kedua prinsip tersebut dapat berjalan bersamaan dengan mematuhi seperangkat ketentuan ICOMOS (1992) yang menyangkut tentang keaslian suatu bangunan, yaitu keaslian bahan, bentuk/desain, tata letak, serta keaslian cara-cara pembuatannya. Dengan demikian, setiap perubahan atau perusakan pada suatu bangunan dianggap mengurangi tingkat keaslian yang seharusnya dipertahankan atau dilestarikan. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian pusaka budaya, termasuk Pura Tirta Empul, yaitu kelembagaan dan sumberdaya manusia. Untuk masyarakat Desa Manukaya, kunci pemertahanan budaya ada di kekuatan institusi keagamaan untuk integrasi internal dengan mempertahankan keberdayaan institusi-institusi tradisional. Di luar itu ada pula sejumlah institusi modern, seperti pendidikan formal dan organisasi-organisasi lintas banjar, yang dapat berperan sebagai dinamisator ”penantang”. Kedua jenis institusi itulah yang harus dilihat sebagai kekuatan kelembagaan inti, sedangkan institusi-institusi ekonomi, termasuk di dalamnya kepariwisataan dan industri budaya, adalah institusiinstitusi ”pinggir”, dalam arti yang mengambil manfaat dalam upaya-upaya pemasaran. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum masyarakat, institusi ekonomi sangat penting, namun tidak boleh dilupakan bahwa sumber inti kreatifnya harus tetap dijaga kekuatannya. Aspek
strategi
yang
kedua
menyangkut
sumberdaya
manusia.
Sumberdaya manusia yang dimaksud di sini adalah anggota masyarakat Desa Manukaya dalam berbagai peranannya. Mereka yang merupakan pelaku dalam
202
perumusan nilai-nilai (pemimpin, pendidik formal dan non formal), sumber keahlian, adalah mereka yang harus dijaga kemandiriannya dan keberadaannya. Di samping mereka yang berperan sebagai pelaku dalam penerusan pusaka budaya, terdapat pula mereka yang berkedudukan sebagai penerima, yaitu khalayak ramai. Melalui jalur-jalur pendidikan dan media massa masyarakat luas dapat dilayani untuk membuat dirinya menjadi masyarakat yang sadar budaya dan sadar sejarah. Warga masyarakat yang demikianlah pada gilirannya mampu menjadikan masyarakatnya masyarakat yang kuat juga dalam segi budaya. Pengembangan
pariwisata hendaknya juga memperhatikan prinsip-
prinsip Kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism), yang antara lain menyatakan bahwa para pelaku pariwisata dan wisatawan wajib memperhatikan tradisi atau praktik-praktik sosial budaya dari masyarakat pendukung budaya tersebut. Kegiatan pariwisata harus dilakukan dalam kondisi yang harmonis sesuai kekhasan dan tradisi daerah yang bersangkutan, serta menghormati Undang-undang, adat-istiadat, dan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut. Selain itu, penduduk setempat harus diikutsertakan dalam kegiatan kepariwisataan dan secara adil menikmati keuntungan ekonomi yang didapat (cf. Chris Ryan dan Aicken, 2005 : 5-6). Dengan kata lain, pengelolaan pusaka budaya untuk kepentingan pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, baik dalam perencanaan maupun implementasinya. Pemanfaatan pusaka budaya untuk pariwisata harus menguntungkan masyarakat lokal. Memperhatikan prinsip-prinsip kode etik pariwisata dunia tersebut di atas, maka sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap kelestarian
203
pusaka budaya atau keberadaan budaya lokal dalam kaitannya dengan kegiatan pariwisata. Kode etik telah mengharuskan pelaku pariwisata dan wisatawan untuk menghormati dan mengapresiasi budaya masyarakat tuan rumah. Sementara itu, dalam pengertian yang lebih luas pelestarian dalam konteks ini juga menyangkut masalah perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan. a. Perlindungan Sarana perlindungan terhadap pusaka budaya adalah berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU No. 5/1992 tentang benda-benda cagar budaya. Dalam UU tersebut telah diatur mengenai penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Semua itu harus ada izin tertulis dari Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kemudian diatur pula masalah pemindah tanganan sebuah artefak, penemuan, larangan penggalian benda-benda monumen tanpa izin tertulis. Terdapat pula pasal mengenai sanksi pelanggaran bahkan diatur pula tentang denda-denda lainnya. Kecuali sarana hukum untuk perlindungan pusaka budaya, pemerintah juga telah membentuk struktur organisasi yang menangani bidang tersebut dengan tugas antara lain sebagai berikut. 1.
Menyelenggarakan pemeliharaan, konservasi, pemugaran, perlindungan, pengawasan terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak beserta situs-situsnya yang mempunyai nilai sejarah dan purbakala.
2.
Menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, bimbingan dan penyuluhan kesejarahan dan kepurbakalaan serta situs-situsnya.
204
3.
Menyelenggarakan pendokumentasian, inventarisasi, dan publikasi, dan
4.
Menyusun saran tentang perlindungan dan perizinan mengenai benda cagar budaya
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku
(Tjandrasasmita, 1980 : 99). Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sudah barang tentu Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala di pusat dan di dearah-daerah bekerja sama dengan semua instansi yang berkepentingan. Lebih-lebih dalam masalah perlindungan atau pengamanan bahkan pemeliharaan dan pemugaran perlu bekerja sama dengan kepolisian, bea cukai, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Kejaksaan, dan sebagainya. Bahkan kerjasama itu tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga dengan luar negeri khususnya dengan badan-badan yang mengelola peninggalan sejarah dan purbakala. Kerjasama dengan badanbadan di luar negeri ada kaitannya dengan UNESCO melalui konvensi-konvensi dan rekomendasi-rekomendasinya serta Badan-badan Internasional seperti ICOMOS (International Council of Monuments and Sites), ICOM (International Council of Monuments), SPAFA (Seameo Project in Archaeology and Fine Arts), dan lain-lain. b. Pengelolaan Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya dewasa ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Pusaka budaya merupakan kekayaan budaya yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kerangka memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Selain itu, Pura Tirta Empul sebagai bangunan suci, secara implisit
205
mencerminkan dekatnya hubungan manusia dengan lingkungan alam. Dikatakan demikian karena pada hakikatnya bangunan suci merupakan hasil adaptasi manusia dengan lingkungan alam, dalam mengatasi berbagai tantangan kehidupan manusia di alam ini. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dan disertai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, serta kegiatan
industri, khususnya pariwisata yang
berkembang
dewasa ini,
menimbulkan perubahan-perubahan yang kurang terkendali, sehingga dapat membahayakan dan mengancam kelestarian produk budaya tersebut. Karena itu, untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kerusakan dan pengrusakan BCB dan lingkungannya, perlu dilakukan pengelolaan
sumberdaya secara proaktif.
Pengelolaan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan terpadu untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan sosial ekonomi, budaya, dan ekologi dalam nuansa pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pengelolaan pusaka budaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan produk budaya dan fungsi lingkungannya melalui kebijakan perlindungan, pembinaan, dan pemanfaatan pusaka budaya untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan. Perkembangan pariwisata di daerah Bali dewasa ini, selain memberi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, di sisi lain juga membawa dampak negatif terhadap kelangsungan suatu produk budaya, lebih-lebih pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya. Dengan kata lain, dalam wacana kepariwisataan dikenal apa yang disebut sebagai wisata budaya (cultural tourism). Badan dunia seperti UNESCO menaruh perhatian sungguh-sungguh
206
pada penggalakan, namun sekaligus penanganan yang amat hati-hati terhadap subjek budaya. Di satu sisi wisata budaya menjanjikan peningkatan dan pendalaman interaksi manusia antarbangsa, namun di sisi lain pemanfaatan khasanah budaya, sekaligus mengandung bahaya ”keausan”. Maka di sinilah terdapat relevansi untuk membicarakan kebijakan pengelolaan terhadap objekobjek budaya yang dijadikan sasaran kunjungan wisatawan. Sebagai landasan berpijak bagi suatu pembahasan mengenai pengelolaan kebudayaan untuk memenuhi berbagai fungsi, serta kebijakan yang mendasarinya, perlu lebih dahulu pemahaman mengenai kebudayaan secara komprehensif. Inti kebudayaan terdiri atas perangkat ide-ide yang terintegrasi, yang terwujud ke dalam berbagai produk mental, seperti konsep dan nilai, yang selanjutnya dapat membangun perangkat-perangkat ide yang lebih khusus, seperti norma, ideologi, estetika, struktur sosial, kaidah pelaksanaan agama, filsafat, dan lain-lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inti kebudayaan sesungguhnya terdapat di dalam akal-budi manusia. Menurut Sedyawati (2008 : 132) perangkat ide-ide itulah yang memberikan arahan bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat, serta juga sejalan dengan tujuan-tujuan hidup tertentu mengarahkan penciptaan atau pembuatan benda-benda hasil budaya, yang pada gilirannya juga dapat menandai suatu masyarakat atau suatu bangsa. Justru perbedaan budaya di antara bangsabangsa inilah yang seringkali dapat menjadikan kebudayaan sebagai daya tarik wisata.
207
Daya tarik terhadap produk budaya Pura Tirta Empul pada dasarnya berkisar sekitar dua hal pokok. Pertama, terdapatnya makna sejarah yang tinggi pada produk budaya bersangkutan dan merupakan sumbangan dalam sejarah peradaban manusia. Sedangkan penyebab daya tarik kedua, adalah terdapatnya unsur yang ”aneh,
eksotis”, yaitu yang asing dan jauh berbeda dengan
kebudayaan pemirsa. Bagi orang awam, atau di mata pelaku ekonomi yang berwawasan sempit, kebudayaan seolah-olah hanya terwakili oleh karya-karya budaya yang terlihat dominan di pasar. Bahkan melalui selera dan pertimbangan sendiri, produsen karya-karya industri budaya pun dapat menciptakan pasar dan mempengaruhi selera massa. Maka yang dibutuhkan adalah, di samping para pembina kebudayaan yang aktif di kawasan hulu, juga pelaku-pelaku ekonomi di kawasan hilir yang semakin cerdas serta berwawasan budaya yang luas dan mendalam, sehingga yang akan terjadi adalah sinergi antara hulu dan hilir, dan juga antara pencipta, mediator, dan konsumen. Suatu keniscayaan yang tak dapat diingkari adalah bahwa produk-produk budaya harus senantiasa dirawat dan dilestarikan agar tidak menjadi kering dan mati. Apabila produk-produk itu kering maka yang ”dijual” pun lama-kelamaan akan menjadi ”tidak bersaing”. Jika diambil contoh-contoh konkret mengenai daya tarik wisata budaya, maka dapat diajukan klasifikasi sebagai berikut. Pertama, yang daya tariknya berasal dari makna sejarah kebudayaan dari suatu unsur khasanah masyarakat, dan kedua, yang daya tariknya disebabkan oleh keunikan atau keanehannya. Golongan pertama misalnya antara lain : (1) tempat atau peninggalan sejarah budaya yang
208
arti pentingnya disebabkan oleh karena peninggalan tersebut merupakan contoh yang spesifik dari suatu pencapaian teknologi maupun gaya arsitektur, dan (2) suatu tempat atau peninggalan sejarah yang arti pentingnya disebabkan oleh adanya peristiwa sejarah penting yang terjadi di tempat tersebut. Adapun golongan kedua yang berdasarkan daya tarik karena keunikan, adalah pelaksanaan tradisi yang berlaku khusus dalam masyarakat, yaitu melakukan prosesi melukat secara masal di kompleks kolam suci Pura Tirta Empul. Prosesi melukat belakangan ini semakin banyak dilakukan oleh masyarakat sehingga menarik perhatian para wisatawan, bahkan beberapa di antara wisatawan tersebut ikut pula melakukan prosesi ini. Dengan menggunakan kerangka klasifikasi tersebut, maka pembinaan budaya untuk menunjang pariwisata dapat diarahkan dengan tepat sasaran. Sarana-sarana industri budaya perlu diperkuat untuk mengarah ke dua sasaran sekaligus, yaitu untuk pendidikan masyarakat sendiri dan untuk meningkatkan daya tarik wisata. Pengemasan dan penyebarluasan informasi budaya merupakan lahan garapan yang amat luas, dan tidak dapat dilakukan secara sembarangan apabila tidak menghendaki terpuruknya budaya masyarakat. Kebijakan wisata budaya perlu tetap dipusatkan pada peningkatan produk industri budaya yang bermutu, menjualnya dengan harga pantas sehingga memungkinkan imbalan yang pantas pula bagi para masyarakat pendukung budaya tersebut, serta sekaligus memperhitungkan imbal-baliknya untuk perawatan sumber-sumber kreatif bagi keberlanjutan
kebudayaan
itu
sendiri.
Dengan
itulah
pembinaan
dan
209
pengembangan industri budaya dan wisata dapat menjadi bermakna untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
c. Pemanfaatan Dalam Undang-undang No. 5/1992 tentang BCB pasal 19 disebutkan bahwa benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Demikian pentingnya sebuah BCB, maka pelestariannya sebagai bagian dari kebudayaan nasional, sangat mutlak diperhatikan. Dalam batasan pengertian mengenai ”pelestarian budaya” yang dirumuskan dalam Undang-undang tentang kebudayaan (1999) dijelaskan bahwa pelestarian budaya berarti pelestarian terhadap eksistensi suatu kebudayaan dan bukan berarti membekukan kebudayaan dalam bentuk-bentuknya yang sudah pernah dikenal. Dalam kenyataannya, kebudayaan senantiasa berada dalam proses berkembang, menyusut, berubah atau berstransformasi. Dalam batasan tersebut di atas pelestarian dilihat sebagai suatu yang terdiri atas tiga aspek, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dalam aspek pemanfaatan itulah terdapat kepentingan pariwisata. Untuk mendeskripsikan konteks yang tepat, maka perlu ditambahkan penjelasan bahwa pemanfaatan pusaka budaya, dalam hal ini Pura Tirta Empul dapat diarahkan ke berbagai tujuan, bukan hanya pariwisata. Ada tiga tujuan pemanfaatan pusaka budaya (Sedyawati, 2008 : 152), yaitu sebagai berikut.
210
(1) Pendidikan (formal maupun non formal, berstruktur maupun tidak berstruktur). (2) Industri, dalam hal ini untuk menghasilkan produk kemasan industri budaya. (3) Pariwisata, baik untuk wisatawan umum maupun wisatawan minat khusus. Pemanfaatan pusaka budaya untuk tujuan pendidikan adalah sebagai substansi untuk disosialisasikan dalam berbagai tujuan yang lebih khusus, seperti (1) untuk memacu internalisasi nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat integritas sebagai bangsa yang mampu menunjang moral yang tinggi, (2) untuk menumbuhkan kepekaan dan toleransi dalam pergaulan antar golongan, dan (3) untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran sejarah. Pemanfaatan untuk tujuan pengembangan industri budaya berarti memberikan pada kemasan-kemasan industri budaya (buku, video, film) isi yang bermanfaat. Kemanfaatan isi tersebut dilihat dari kekuatan pengaruhnya untuk meningkatkan mutu pengetahuan orang mengenai berbagai hal yang bersifat budaya, serta dari kegunaannya sebagai pemberi hiburan yang sehat. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa pasar dibanjiri oleh produk-produk industri budaya asing, atau sebaliknya produk industri budaya lokal yang meniru isi produk asing, yang semuanya sama sekali tidak berfungsi mencerdaskan, melainkan sebaliknya cenderung menggerakkan efek kecanduan. Dalam hal ini, jika industri budaya lokal dapat meningkatkan daya saing dengan sekaligus mengangkut muatan budaya lokal yang dapat dibanggakan, maka dengan besar hati pula produk-produk itu dapat ”dijajakan” kepada wisatawan mancanegara, di samping dipakai sendiri untuk menambah kekuatan jati diri budaya bangsa.
211
Pemanfaatan pusaka budaya yang ketiga yaitu pemanfaatan untuk pariwisata. Pariwisata budaya merupakan aktivitas
yang memungkinkan
wisatawan untuk mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain merefleksikan tradisi religiusnya, dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam pusaka budaya yang belum dikenalnya. Pusaka budaya Pura Tirta Empul sebagai hasil karya manusia mempunyai nilai estetis, simbolis, dan informatif, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Lebihlebih Pura Tirta Empul sebagai living monument sehingga pemeliharaan dan pelestarian dilakukan secara berkesinambungan oleh masyarakat setempat atau pengemong pura bersangkutan. Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata diharapkan memberi dampak positif bagi kelestarian pura tersebut.
212
213
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL
Uraian dalam bab ini difokuskan pada faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya suatu produk kebudayaan termasuk Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi. Bagi masyarakat Desa Manukaya, produk kebudayaan Pura Tirta Empul merupakan pusaka budaya yang dibanggakan serta merupakan bagian hakiki dari suatu identitas. Eksistensi Pura Tirta Empul dalam bentuknya yang sekarang terkait erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
khususnya
telekomunikasi, transportasi, perdagangan, dan pariwisata di era globalisasi dewasa ini sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Desa Manukaya kekinian dalam berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Produk budaya Pura Tirta Empul dalam perkembangan dan perubahannya juga mengikuti dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. Perubahan adalah suatu proses yang harus terjadi dalam kehidupan, sehingga apa pun itu, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul mengalami perubahan dalam bentuk penampilan. Gejala ke arah itu sesungguhnya telah terjadi pada produk budaya Pura Tirta Empul, seperti dapat disimak keberadaannya dewasa ini menjadi produk komoditas yang dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan finansial. 211
214
Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya lokal masyarakat Desa Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi lahir dari dalam diri masyarakat (faktor internal) sendiri, sebagai tanggapan aktif masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor eksternal secara signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas munculnya paradigma baru dalam pola pikir masyarakat lokal, kreativitas memperindah pura, dan motivasi untuk peningkatan kesejahteraan. Selanjutnya faktor eksternal terdiri atas perkembangan pariwisata, kapitalisme dan industri budaya, serta peranan media massa. 6.1 6.1.1
Faktor Internal Munculnya Paradigma Baru dalam Pola Pikir Masyarakat Lokal Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam
masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaan. Tidak ada suatu masyarakat yang statis. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern (Garna, 1992 : 1-2).
215
Demikian juga masyarakat Desa Manukaya, suatu perubahan selalu berlaku pada semua masyarakat. Proses perubahan bisa berlangsung secara lambat atau cepat. Globalisasi pariwisata telah membawa dampak sosial budaya yang signifikan, sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat. Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol, sementara pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi. Tradisi kultur pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga menyebabkan kultur konsumen atau
budaya model Barat menjalar dalam
kehidupan masyarakat. Paradigma secara normatif berarti kerangka berpikir, pola/model dalam teori ilmu pengetahuan (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 648). Paradigma dalam konteks ini diartikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam kehidupan sehari-hari (Ratna : 2008 : 2). Paradigma adalah sebuah teknik atau cara yang sistematis dipraktikkan di lingkungan masyarakat untuk menanamkan suatu kesan bahwa kehidupan dengan cara lama harus mulai ditinggalkan. Berbagai nilai yang akan dirasakan oleh masyarakat dengan melaksanakan paradigma baru, secara terus menerus ditanamkan dalam masyarakat dengan berbagai cara. Pengenalan paradigma baru ini juga disertai dengan alasan tentang fakta yang terjadi di berbagai tempat yang berhasil mengantarkan masyarakat ke suatu keadaan yang lebih baik. Sebuah proses
perubahan
paradigma
dicanangkan
dalam
rangka
meningkatkan
216
kesejahteraan masyarakat. Paradigma yang dimaksud adalah untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Berbagai sumberdaya yang merupakan modal sudah saatnya dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata, termasuk Pura Tirta Empul. Masyarakat Desa Manukaya sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bali tidak terlepas dari fenomena ini. Bahkan proses itu terjadi cukup cepat, terkait dengan kenyataan bahwa Pura Tirta Empul merupakan aset daya tarik wisata yang potensial dan menarik banyak pengunjung, baik oleh wisatawan lokal, nusantara, maupun mancanegara. Kedatangan para wisatawan dari berbagai negara dengan aneka ragama budayanya, sehingga mau tidak mau masyarakat lokal dan kebudayaannya harus berkomunikasi dengan budaya aneka bangsa yang beraneka ragam tersebut. Akibatnya, masyarakat Desa Manukaya berada dalam masa transisi dari masyarakat dengan budaya ekonomi agraris menuju masyarakat dengan budaya ekonomi jasa. Pengaruh globalisasi tampaknya telah berpengaruh terhadap dinamika sosial budaya masyarakat Desa Manukaya sebagai pendukung produk budaya Pura Tirta Empul. Roh globalisasi telah membungkus sedemikian rupa sehingga tanpa terasa keberadaan Pura Tirta Empul, mengalami pergeseran pemaknaan. Masyarakat desa ingin menjadi modern sambil melestarikan budayanya. Untuk itu mereka membutuhkan uang para wisatawan, yang merupakan wahana modernisasi. Akibatnya, terdorong oleh alasan pelestarian budaya dan kebutuhan ekonomi, masyarakat membina tradisinya demi mendapatkan uang yang dibutuhkan untuk modernisasi. Unsur-unsur sakralitas, magis, religius berjalan
217
bersama-sama dengan selera konsumen yang menjadikan Pura Tirta Empul sebagai barang komoditi yang telah bergeser fungsi sosialnya. Masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul dalam perannya untuk pengembangan pelestarian budaya tidak bisa dimungkiri sangat dipengaruhi oleh globalisasi. Secara otomatis syarat-syarat global harus dipenuhi, yang cenderung kepada budaya instan dan populer dalam mengapresiasi sebuah produk budaya. Masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul adalah masyarakat egaliter dan terbuka terhadap modernisasi. Dalam pola pikirnya, mereka memiliki cara untuk menjaring semua yang diperoleh dari pengaruh global untuk ditolak atau digunakan dalam mempertinggi nilai budaya. Dalam proses menuju masyarakat industri/jasa dan kemudian dalam arus globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi. Tantangan-tantangan tersebut bisa saja menggoyahkan sendi-sendi kehidupan sosial budaya atau bahkan bisa mengancam kelangsungannya apabila tidak diantisipasi dengan cermat dan diupayakan agar tantangan-tantangan itu dapat dijadikan peluang bagi masyarakat untuk memperkuat jati dirinya pada masa-masa mendatang sesuai dengan tuntutan modernisasi. Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab moral masyarakat, khususnya masyarakat Desa Manukaya agar Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya yang bernilai luhur dapat dilestarikan, dalam arti, bukan hanya mempertahankan nilainilai lama, tetapi sekaligus menjaga dan mengembangkannya. Dalam hal ini unsur-unsur tradisional yang perlu dipertahankan supaya diperkokoh, sedangkan
218
unsur-unsur yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan, baik masa kini maupun masa datang dapat dicarikan pemecahan permasalahannya. Terkait dengan kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul Bendesa Adat I Made Mawi Arnata mengatakan sebagai berikut. ”Dari pengamatan setiap hari tentang kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul, baik wisatawan lokal, domestik, atau mancanegara, kami mempunyai keyakinan bahwa produk budaya Pura Tirta Empul yang kami banggakan sebagai tempat suci dan juga sebagai daya tarik wisata yang potensial di desa kami, akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena nilai finansial yang diperoleh kami kembalikan untuk membangun desa” (wawancara Tgl. 5 April 2010). Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah, dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT, bekerjasama dengan Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Manukaya secara rutin memberi pembinaan dan ide-ide dalam upaya pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata budaya. Ide-ide yang dilontarkan ke tengah masyarakat lebih banyak mengandung muatan tentang strategi yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk memperoleh keadaan yang lebih baik. Melalui penerapan ide-ide baru tersebut, cara-cara hidup lama yang hanya mengharapkan dari hasil pertanian, perkebunan, harus diganti. Berbagai wacana yang disampaikan oleh penguasa dan tokoh masyarakat menunjukkan adanya kekuasaan yang sangat besar untuk mempengaruhi masyarakat lokal. Hal itu sesuai dengan pendapat Foucoult (2002 : 175) yang mengatakan bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga-lembaga sosial, tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah jaringannya.
219
Berbagai nilai yang akan dirasakan oleh masyarakat dengan melaksanakan paradigma baru, secara terus menerus ditanamkan dalam masyarakat dengan berbagai cara. Penganalan paradigma baru juga disertai dengan alasan-alasan tentang fakta yang terjadi di berbagai tempat yang berhasil mengantarkan masyarakat ke suatu keadaan yang lebih baik. Sebuah proses perubahan paradigma
dicanangkan
oleh
pemerintah
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Paradigma yang dimaksud adalah bahwa untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, sumberdaya yang tersedia, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang merupakan modal yang bernilai tinggi sudah saatnya dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata di Desa Manukaya. Tidak ada pilihan lain bagi kami untuk melaksanakan paradigma baru. Kami harus mempersiapkan diri untuk dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang segera akan berubah, hingga berbagai sumberdaya yang kami miliki akan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan sakralitas pura” (wawancara dengan Nyoman Negara, Tgl. 5 April 2010). Paradigma yang dicanangkan tersebut mempunyai implikasi akan terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat lokal dalam hal pemanfaatan Pura Tirta Empul, yang mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Dalam proses perubahan paradigma tersebut, diperlukan proses sosialisasi yang tidak hanya memerlukan waktu, tetapi harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang disegani dalam lingkungan masyarakat setempat. Untuk meningkatkan kesejahteraan, kita harus merubah pola pikir dan mengikuti perkembangan zaman. Tradisi-tradisi lama yang kiranya menghambat sebuah kemajuan harus ditinggalkan, sementara hal-hal baru yang membawa perubahan ke arah kemajuan dan kesejahteraan, itulah yang harus dikejar. Terkait tentang Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, saya
220
tetap menyucikan sebagai tempat untuk memohon keselamatan/kerahayuan. Namun kemajuan zaman harus pula diikuti sepanjang hal itu dapat membawa kesejahteraan (wawancara dengan I Made Suja, Tgl. 1 April 2010). Pernyataan di atas jelas bahwa masyarakat Desa Manukaya terbuka terhadap hal-hal yang modern dan mengejar sesuatu bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat terbuka terhadap berbagai perubahan yang memang tidak bisa dihindarkan. Namun demikian, prinsip-prinsip kesakralan diusahakan tetap dapat dipertahankan sebagai cerminan identitas budaya masyarakat Desa Manukaya. Pura Tirta Empul salah satu produk budaya dibangun dalam proses akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan representasi masyarakat Manukaya sebagai pemilik budaya. Pura Tirta Empul sebagai representasi etnis dan identitas didomain oleh masyarakat pendukungnya dalam mereduksi wujud komodifikasi makna baru, sesuai dengan representasi yang dibangun oleh mereka untuk kepentingan ekonomi. Representasi dapat saja lahir dari dalam diri masyarakat sendiri (faktor intern), sebagai tanggapan aktif masyarakat Desa Manukaya terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik budaya yang direpresentasikan melalui Pura Tirta Empul. Hal inilah yang memberi tantangan dilematis pada masyarakat Manukaya sebagai pemilik budaya antara melestarikan tradisi magis religius Pura Tirta Empul sebagai representasi etnis dan identitasnya atau mendapatkan ’dolar’ sebagai representasi baru. Dengan semangat kapitalisme Pura Tirta Empul telah menjadi produk komoditas mengikuti selera konsumen.
221
Pura Tirta Empul yang merupakan bukti sejarah, identitas, dan kebanggaan masyarakat telah dikomodifikasi oleh “pemiliknya” dengan dukungan pemerintah untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Komponen budaya telah dijadikan komoditas atau mengalami proses komodifikasi untuk dikonsumsi oleh wisatawan sehingga menimbulkan kesan komersialisasi dan mungkin saja terjadi penurunan kualitas sebuah kebudayaan. 6.1.2
Kreativitas Pengembangan Estetis Faktor internal lain yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul
adalah kemampuan kreativitas masyarakat. Kreativitas adalah salah satu kemampuan intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan memecahkan masalah, berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru yang berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya, atau kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 : 313). Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya, dalam proses kehadirannya, tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas manusia yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan. Kreativitas pengembangan estetis Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiranpemikiran kreatif manusia sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa keindahan yang terus-menerus. Ngakan Putu Sujana seorang undagi bahwa.
(wawancara 2 Mei 2010) mengatakan
222
”Wujud penampilan Pura Tirta Empul seperti yang sekarang ini sesungguhnya adalah merupakan proses kreativitas orang-orang Desa Manukaya yang tidak pernah berhenti dan terus-menerus. Dia akan selalu berproses dan berproses serta terus berkreativitas untuk penyempurnaanpenyempurnaan dalam mencapai nilai estetika tertinggi sebagai identitas suatu etnis”. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kreativitas yang tinggi untuk mencapai nilai estetika tertinggi. Berbagai kreativitas ditunjukkan melalui berbagai bentuk dan variasi hiasan yang ditampilkan pada bangunan suci Pura Tirta Empul. Pola massa spasial bangunan suci adalah bentuk massa (bangunan) dan tata letak massa dalam lingkungan mandala. Bentuk massa berpengaruh terhadap fungsi secara keseluruhan. Perubahan pola ruang dan pola massa berpengaruh terhadap perubahan spasialnya. Sebelum tahun 1980, bentuk dan
massa
bangunan
yang
mengalami
renovasi
total
mencerminkan
kesederhanaan, tetapi tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian. Pura Tirta Empul yang direnovasi secara besar-besaran tahun 1990-an meliputi semua pelinggih di jeroan dan jaba tengah, candi bentar, dan bataran bangunan. Dari segi bentuk (lay-out)nya, bangunan-bangunan yang direnovasi tidak mengalami perubahan dari aslinya. Perubahan hanya terjadi pada ragam hiasannya, sehingga memberikan kesan yang berbeda, seperti penggunaan berbagai hiasan pepatraan pada beberapa pelinggih pura. Dengan kesejahteraan yang mulai meningkat, timbul keinginan untuk memperbaiki pelinggih-pelinggih dengan membongkar bangunan yang lama dan mengganti dengan bangunan baru, dengan ukuran yang lebih besar, material yang lebih baik, dan tampilan ornamen serta ragam hias yang lebih baik. Dengan kata lain, perubahan terjadi tidak saja
223
terbatas pada bentuk-benutk luar bangunan, tetapi juga detail bangunan, seperti bahan, ornamen, dan warna (lihat Gambar 6.1 dan 6.2) di bawah ini.
Gambar 6.1
Bentuk kreativitas diwujudkan dalam bentuk ukiran kayu yang sangat indah pada bangunan suci. (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar 6.2
Ukiran kayu yang dipulas dengan pulasan prada berwarna emas pada pelinggih/bangunan suci. (Dok. Setiawan, 2010)
224
Ukiran kayu dengan pulasan prada pada bangunan suci di atas memperlihatkan betapa besar perhatian masyarakat Desa Manukaya Let terhadap parahyangan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi, sebagai wujud penerapan kearipan lokal tri hita karana. Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat Manukaya, yang merupakan pedoman keseimbangan antara krama desa (warga desa), pekraman (teritorial desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa). Sesuai dengan maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara kedamaian rohani yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Desakan dari prinsip ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan sebagai objek komersial. Atau sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan dengan mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-bentuk baru. Sulitnya kehidupan ekonomi serta peluang pariwisata yang cukup menjanjikan kehidupan yang lebih baik, berpengaruh terhadap dinamika kesadaran budaya masyarakat, seperti munculnya konsepsi dan orientasi bahwa ruang dalam konteks ini adalah Pura Tirta Empul, adalah situs untuk mendapatkan uang atau keuntungan dalam bentuk lain. Konsep tersebut semakin berkembang dan membentuk identitas ke arah komersialisasi, yang ditandai dengan sikap promosi. Sikap itu dapat dilihat dalam realita seperti merenovasi pura, memperindah pura dengan berbagai ornamen dan ragam hias, penataan lingkungan, pembuatan taman, dan lain-lain yang dieksplotir untuk kepentingan komersial.
225
Bersamaan dengan perkembangan pola komersial, hadirnya teknologi juga memberikan corak tertentu terhadap kesadaran tentang konsepsi pura. Dari fungsi sakral sampai dengan fungsi komersial, telah menyajikan suatu bentuk pelayanan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Bangunan dengan bahan yang berkualitas rendah diganti dengan bahan yang berkualitas tinggi, atap bangunan dari alang-alang diganti dengan ubin atau ijuk, lantai bangunan dari tanah diganti dengan keramik, ruang-ruang dengan bentangan lebar, yang sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan bahan kayu, diganti dengan beton cor. Sejalan dengan desakan komersialisasi dan didukung oleh teknologi mutakhir, serta komunikasi yang intensif dengan pihak luar melalui pariwisata dan mediamedia informasi, mempertegas pergeseran pusaka budaya Pura Tirta Empul sebagai situs komersial. Apa yang ditampilkan oleh Pura Tirta Empul dewasa ini adalah hasil kreativitas manusia Desa Manukaya. Dalam berkreativitas, kemampuan adalah faktor penentu. Manusia memiliki ide, kreasi, kemauan dan kemampuan dalam mengekspresikan pengalaman jiwanya. ”Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Manusia dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalaman untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang originial dan mampu menjadikan pengalaman baru yang unik dan estetik bagi orang lain (Wirakusuma, 2005 : 30-31). Pendapat yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kreativitas adalah persoalan kebebasan pribadi dalam berkarya. Kebebasan berkreativitas hendaknya dapat menyatu dengan kehidupan sehari-hari dan selalu berada di tengah-tengah kehidupan bersama. Kreativitas masyarakat dalam upaya memperindah pura, baik
226
sebagai tempat suci maupun sebagai daya tarik wisata, secara langsung atau tidak langsung, berperan ikut mempercepat atau mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul. Dalam perkembangannya, inovasi dan kreativitas masyarakat banyak ditentukan oleh para sponsor, yaitu penguasa ekonomi dan penguasa politik yang mempunyai kepedulian dan kepentingan dengan Pura Tirta Empul. Lembaga atau instansi pemerintah yang secara langsung terlibat adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah dengan giat mencari berbagai farmasi yang mungkin bisa dikembangkan untuk menambah pemasukan daerah. Salah satunya adalah pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai modal dalam upaya pengembangan pariwisata. Aset Pura Tirta Empul menjadi semacam ”magnet” yang dipakai untuk mengajak setiap elemen masyarakat mendukung dan menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan aset daya tarik wisata Pura Tirta Empul. Secara politis, hegemoni di sekitar praktik-praktik pariwisata datang dari pemerintah atau pemegang otoritas (misalnya melalui kebijakan), sebagian lagi datang dari kalangan pengusaha (ekonomi), dan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Desa Manukaya yang memang berkeinginan memanfaatkan Pura Tirta Empul untuk menambah pendapatan finansial. Kelompok-kelompok itu bergerak dalam bidang-bidang yang berbeda, tetapi saling berhubungan dalam suatu formasi sosial. Dalam konteks ini, teori hegemoni menjadi berguna dalam
227
menelusuri bentuk-bentuk hegemoni pemegang kekuasaan (politis), sosial, dan budaya. Globalisasi yang sedang merambah masyarakat dewasa ini tampaknya bagi sebagian masyarakat memahaminya sebagai peristiwa atau proses kebudayaan dalam arti luas. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi di sisi lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas. Dengan demikian kreaktivitas masyarakat untuk pembaharuan merupakan salah satu faktor pendorong komodifikasi Pura Tirta Empul. 6.1.3
Motivasi Untuk Peningkatan Kesejahteraan Sejumlah studi menunjukkan bahwa masyarakat miskin di pedesaan
masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan kultur pedesaan. Mereka umumnya belum mempunyai pendapatan yang cukup untuk bebas dari kekurangan. Mereka masih dililit oleh ketidakberdayaan. Ideologi dan teknologi baru yang diperkenalkan kepada mereka acapkali di respon secara negatif, terutama karena tidak memiliki jaminan sosial yang cukup untuk menghadapi resiko kegagalan (Usman, 1998 : 32). Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perencanaan
dan implementasi
pembangunan hendaknya berisi usaha untuk memberdayakan masyarakat sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah sesungguhnya telah mencanangkan berbagai macam program pembangunan pedesaan. Salah satu diantaranya adalah pembangunan melalui pengembangan pariwisata. Tidak dapat dimungkiri bahwa ketika suatu
228
situs dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, sebuah proses transaksi ekonomi harus terjadi. Realita seperti itu secara nyata terjadi atas situs Pura Tirta Empul. Arus manusia dari berbagai penjuru dunia datang berkunjung untuk menikmati apa sesungguhnya yang ada di area situs tersebut. Pembangunan pedesaan, meskipun kini telah memasuki era baru yang dikatakan “Orde Reformasi” pasca pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, permasalahan mendasar pembangunan masih muncul, terutama keseimbangan antara pembangunan pertanian dan industri pariwisata. Masyarakat Desa Manukaya yang secara geografis dan topografis berbasis pertanian, makin lama makin kehilangan budaya pertaniannya. Tradisi pertanian di sawah, ladang, kebun, mulai ditinggalkan. Sebaliknya, pariwisata yang kelihatan modern dan menjanjikan dolar menjadi ideologi baru. Para anak muda di desa tidak lagi tertarik untuk menjadi petani, tetapi lebih memilih pekerjaan di sektor pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sang Putu Alit (wawancara 11 April 2010) mengatakan: Kehidupan modern yang pada awalnya kami yakini akan mampu memberi kesejahteraan jangka panjang, ternyata juga menimbulkan dampak negatif. Masuknya budaya asing yang tidak dapat dibendung tentu menimbulkan kekhawatiran kami akan dapat merusak nilai-nilai budaya lama yang diwariskan oleh leluhur kami”. Keterangan di atas menunjukkan bahwa walaupun terlibat langsung dalam aktivitas kepariwisataan di wilayahnya, masyarakat lokal menyadari sepenuhnya bahwa budaya kapitalisme maupun konsumerisme yang mulai tumbuh di wilayah mereka akan dapat mengancam budaya lokal. Sadar akan kenyataan tersebut, berbagai aktivitas yang bernuansa sosial budaya sebagai
229
bentuk revitalisasi terhadap berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat lokal, selalu mendapat prioritas dalam pelaksanaannya. Ramainya kunjungan para wisatawan ke Pura Tirta Empul menimbulkan berbagai dampak, khususnya dampak ekonomi yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai aktivitas ekonomi tidak lepas dari usaha-usaha yang secara serius diusahakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat lokal, melibatkan diri secara langsung dalam mengelola usaha pariwisata merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Aktivitas dan berbagai kepariwisataan tidak hanya berdampak kepada pelaku pariwisata yang ada di lingkungan kawasan tersebut, tetapi juga menciptakan berbagai usaha di luar kawasan yang merupakan aktivitas komplementer. Berbagai peluang usaha tumbuh dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berbagai konskuensi dari kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku pariwisata di dalam kawasan, kebutuhan makan dan minum serta kebutuhan lainnya dirasa sangat mendesak oleh para karyawan yang bekerja di berbagai fasilitas pariwisata yang ada di sekitar area Pura Tirta Empul. Masyarakat lokal membaca peluang yang ada, berbagai keputusan bisnis diambil, misalnya membuka warung makan dan minum, menyediakan oleh-oleh sebagai cenderamata, serta fasilitas-fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini I Wayan Parsa Susila yang diwawancarai 11 April 2010 mengatakan : ”Pengembangan dan modifikasi Pura Tirta Empul yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus memiliki tujuan untuk memperindah pura, di samping subakti kepada Ida Bhatara sebagai pralingganya. Kemudian pura yang tampak sekarang ini setidak-tidaknya dapat pula menarik
230
kunjungan para wisatawan. Dengan demikian denyut pariwisata akan terus berjalan, sehingga keuntungan ekonomi bisa di dapat. Keuntungan ekonomi itu tentulah berdampak positif terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sini. Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Pura Tirta Empul sebagai produk kebanggaan masyarakat mempunyai peranan penting dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan tempat suci tersebut dewasa ini telah dirasakan manfaatnya, terutama manfaat ekonomi sehingga masyarakat berkewajiban memelihara dan melestarikannya. Pemerintah Kabupaten Gianyar mendorong pembangunan kepariwisataan yang ditujukan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta mendorong pembangunan desa untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Pembangunan pariwisata juga diarahkan untuk mendorong pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk lokal. Sejalan dengan pembangunan bidang ekonomi, pembangunan kebudayaan diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna dalam segenap dimensi kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, jatidiri, dan kepribadian, mempertebal rasa harga diri, serta memperkokoh
jiwa
persatuan
sebagai
pencerminan
pembangunan
yang
berbudaya. Dalam mengembangkan kebudayaan, perlu ditumbuhkan kemampuan untuk mengembangkan nilai budaya daerah yang luhur dan beradab, serta menyerap nilai budaya asing yang positif untuk memperkaya kebudayaan daerah (Erawan, 1993 : 283). Sejak tahun 1990-an telah terjadi perubahan penting dalam cara memandang dan mendefinisikan kebudayaan, serta perubahan fungsi kebudayaan
231
dalam masyarakat kontemporer, terutama dalam statusnya sebagai komoditi. Telah terjadi peralihan sejak tiga dasawarsa terakhir ini dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri, dan dari kebudayaan modern menuju posmodern. Peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri telah mempengaruhi bagaimana makna-makna dimuati dalam objek-objek kebudayaan dikomunikasikan melalui media massa. Objek-objek pada masyarakat masa lalu dikaitkan dengan upacara-upacara, ritual, magis, mitos, atau pada masyarakat industri dikaitkan dengan upaya-upaya kemajuan dan transformasi, kini pada masyarakat konsumer didefinisikan kembali dengan kode-kode yang baru, dengan bahasa estetik yang baru, dan dengan makna-makna yang baru (Piliang, 2003 : 62). Masyarakat Desa Manukaya memiliki motivasi
yang tinggi untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Motivasi mengandung pengertian dorongan yang selalu menginginkan yang lebih baik/banyak. Keinginan tersebut akan terusmenerus dan baru berhenti jika akhir hayatnya tiba. Motivasi muncul karena meningkatnya kebutuhan hidup. Terdapat beberapa faktor yang melandasi terjadinya pergeseran kehidupan masyarakat dari cara hidup sederhana ke cara hidup modern. Pergeseran cara hidup ditandai dengan perberdayaan berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Manukaya termasuk Pura Tirta Empul. Masyarakat telah merasakan dampak pariwisata dan terjadi interaksi yang intensif antara masyarakat dan para pengunjung yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Nuansa kehidupan masyarakat lokal dengan budaya masyarakat telah tumbuh.
232
Lubis (2004 : 3), modernitas adalah suatu bentuk pengalaman, suatu peristiwa perubahan sejarah, sementara modernisme adalah peningkatan kesadaran tentang aspirasi kemajuan. Modernitas identik dengan perubahan kebudayaan yang sedang berkembang dan terkait dengan proses modernisasi. Pura Tirta Empul dalam konteks modernisasi berperan penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Manukaya, baik kesejahteraan jasmani maupun rohani. Pura Tirta Empul merupakan produk budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Manukaya. Tampilnya Pura Tirta Empul dalam bentuk baru, bagi orang Manukaya merupakan suatu proses untuk memelihara dan menunjukkan identitas kolektifnya serta menguatkan ikatanikatan sosial dan budaya. Identitas dibangun secara berkesinambungan, terus-menerus mengikuti perubahan zaman. Dalam batasan tertentu, membicarakan identitas, erat hubungannya dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik sebagai penanda identitas budaya. Ada kekuatan politik dan ekonomi yang turut memodifikasi Pura Tirta Empul sebagai konstruksi budaya. Keterlibatan pemerintah dan masyarakat lokal serta kekuatan ekonomi politik lainnya, menjadikan Pura Tirta Empul seperti dalam bentuknya yang sekarang. Dampak pariwisata terhadap perekonomian masyarakat Desa Manukaya sangat positif, baik dilihat dari peranannya terhadap penciptaan pendapatan bagi masyarakat, penciptaan kesempatan kerja, sebagai sumber penghasil devisa, untuk mendorong ekspor, khususnya barang-barang hasil industri kerajiinan, serta
233
merubah struktur ekonomi masyarakat ke arah yang lebih seimbang. Banyak konsepsi-konsepsi budaya masyarakat desa yang mampu untuk mendukung pengembangan pariwisata budaya, dan ternyata pariwisata lebih berinteraksi secara dinamis dengan kebudayaan lokal, baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pariwisata dengan kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat. Perkembangan pariwisata pada dasarnya disebabkan oleh unik dan tingginya kebudayaan masyarakat daerah tujuan wisata. Di lain pihak, dengan majunya pariwisata maka kebudayaan dapat dilestarikan dan bahkan ditingkatkan. Perkembangan kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya Pura Tirta Empul di Desa Manukaya, telah mengakibatkan meningkatnya perekonomian masyarakat, yang berarti keadaan sosial ekonominya mengalami peningkatan. Hal ini telah menyebabkan meningkatkan kemandirian perekonomian pedesaan, yang pada akhirnya sudah barang tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata motivasi untuk meningkatkan
kesejahteraan merupakan bagian faktor internal yang menyebabkan terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul. 6.2
Faktor Eksternal Faktor eksternal dalam uraian subbab ini adalah faktor yang cenderung
kepada standarisasi budaya datang dari luar, yang mempengaruhi dan mendorong terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul. Dalam hal ini faktor eksternal yang mendorong terjadinya komodifikasi adalah pariwisata, kapitalisme dan industri budaya, peranan media massa, dan hegemoni pemerintah. Perkembangan
234
pariwisata yang berawal pada tahun 1980-an membuka peluang secara sangat luas dan beragam terkait dengan kemajuan ekonomi, iptek, politik, sosial, dan budaya. Pariwisata membuka peluang ekonomi dan kesempatan kerja yang berskala regional. Era informasi dan komunikasi membuka peluang dialog iptek, serta peluang membangun relasi-relasi multietnis, multinasion secara global. Budaya global dan budaya kapitalisme memainkan peranan penting
dalam
menentukan eksistensi Pura Tirta Empul. Ada dua wajah berbeda yang diperkenalkan globalisasi kebudayaan dalam sistem kapitalisme. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua kebudayaan pada pola kebudayaan yang seragam, namun di sisi yang lain, globalisasi kebudayaan telah memunculkan resistensi dari budaya-budaya lokal yang merasa resistensinya terancam oleh arus penyeragaman tersebut. Kecenderungan ini membuat produk budaya lokal (baca Pura Tirta Empul) menjadi ladang kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan untuk mengekspresikan jati diri. 6.2.1
Pariwisata Pariwisata
mempunyai
pengaruh
yang
sangat
kuat
terhadap
komodifikasi, karena pariwisata meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata, pengusaha, daya tarik wisata, serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan
pariwisata
pada
hakikatnya
merupakan
upaya
untuk
mengembangkan dan memanfaatkan daya tarik wisata yang berbentuk keindahan alam, keragaman flora dan fauna, kemajemukan tradisi dan budaya, serta peninggalan sejarah dan purbakala atau pusaka budaya. Pemaduan daya tarik wisata dengan pengembangan usaha jasa dan sarana pariwisata, akan berfungsi
235
meningkatkan daya tarik wisatawan maupun pengembangan obyek wisata baru dan daya tariknya. Pariwista atau etnoschapes adalah salah satu dimensi gerakan yang dikemukakan oleh Appadurai dari lima dimensi gerakan globalisasi, yaitu pergerakan manusia, baik untuk menetap maupun sebagai turis, dari satu tempat ke tempat lain, dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari suatu negara ke negara lain. Kehadiran manusia sebagai individu atau berkelompok ke suatu tempat yang dilakukan untuk sementara waktu, tidak untuk tujuan menetap dan mencari pekerjaan, namun semata-mata sebagai konsumen untuk menikmati dan memenuhi kebutuhannya, diartikan sebagai pariwisata (Ismayanti, 2010 : 3). Pariwisata mempunyai sifat berlingkup global, berpengaruh luas terhadap ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, perencanaan dan pembangunan pariwisata perlu dilakukan secara terpadu antara berbagai komponen yang menentukan dan menunjang keberhasilannya, seperti daya tarik wisata, akomodasi, transportasi, telekomunikasi, industri cenderamata, maupun peranan swasta dan masyarakat. Semua itu perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang merupakan pelaku utama dalam pembangunan kepariwisataan. Pura Tirta Empul dewasa ini, selain berfungsi sebagai tempat suci umat Hindu, juga dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya melalui kebijakan kepariwisataan. Pariwisata budaya menurut Sedyawati (2007 : 213) dapat dipilah ke dalam tiga jenis menurut sasarannya, yaitu (1) kebudayaan yang hidup, (2) warisan budaya masa lalu yang bersifat benda, dan (3) bentang alam budaya.
236
Tujuan wisata berupa kebudayaan yang hidup pada dasarnya diarahkan kepada terjadinya suatu penghayatan pengalaman bagi para wisatawan, yang seringkali merupakan sesuatu yang baru dan dirasakan unik. Daya tarik wisata budaya jenis ini dapat berupa sajian kesenian, upacara keagamaan dengan berbagai jenis persembahan, tata cara bersembahyang, dan lain-lain. Kebijakan dalam hal ini adalah agar pada diri wisatawan tumbuh kesan yang dalam, serta penghargaan yang baik terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu. Oleh karena itu maka pemahaman nilai-nilai di balik semua ekspresi budaya yang ditampilkan itu perlu dimiliki oleh para pemandu wisata, serta tertuang dalam bahan-bahan informasi yang disediakan. Jenis tujuan wisata budaya yang lain adalah warisan budaya masa lalu, khususnya yang bersifat tangible. Inilah selanjutnya yang dapat dipilah ke dalam struktur-struktur binaan yang “tak bergerak” (benteng, istana, candi, pura, dan lain-lain), dan aneka benda “bergerak” yang dapat dipindah-pindahkan. Yang disebutkan terakhir inilah yang dapat dijadikan koleksi dalam suatu museum, meskipun mungkin pula bahwa bangunan museumnya sendiri adalah juga sebuah warisan budaya. Sementara itu, kunjungan untuk menikmati suatu bentang alam budaya adalah bagian dari wisata budaya yang mempunyai komponen penyerapan kekhasan alam yang kuat. Objeknya adalah bentang alam, namun makna dari bentang alam tersebut adalah makna budaya. Sebagai contoh dapat disebutkan teras-teras persawahan yang indah dan mengesankan di suatu
daerah
pegunungan. Sawah itu sendiri adalah suatu hasil budaya, termasuk teknologi
237
pembuatan teras serta pengairannya, dan juga tahap-tahap pengerjaannya. Dalam hal ini wisatawan akan memperoleh kesan yang mendalam, lebih-lebih dapat dijelaskan mengenai teknologi beserta adat istiadat yang berkaitan dengan pengerjaan sawah tersebut. Pusaka budaya Pura Tirta Empul sesungguhnya telah memiliki ketiga kriteria wisata budaya tersebut, sehingga menarik untuk dikunjungi. Wisatawan secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk mendapatkan kesenangan. Dalam upaya memenuhi kepuasan wisatawan untuk menikmati produk pariwisata budaya, sangat diperlukan tenaga profesional yang dapat memberikan informasi yang akurat dan menarik kepada wisatawan. Para pemandu wisata harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya Bali, baik mengenai budaya fisik maupun nonfisik. Di samping pariwisata dengan tujuan umum, terdapat apa yang dinamakan “pariwisata minat khusus”. Pariwisata jenis ini objeknya bisa alam dan bisa pula budaya. Dalam wisata minat khusus ini terdapat varian antara yang “pasif” dan yang “aktif” (Sedyawati, 2008 : 67). Untuk yang pasif, wisatawan hanya menerima sajian, dalam arti menikmati suatu lingkungan alam yang mengagumkan atau menyaksikan produk-produk budaya yang khas dan mungkin langka seperti upacara keagamaan. Untuk yang aktif, wisatawan melakukan suatu kegiatan yang terkait dengan objeknya, seperti misalnya “ikut melukat berpakaian adat Bali” di kolam kompleks Pura Tirta Empul untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya. Ternyata banyak wisatawan mancanegara yang melakukan
238
kegiatan melukat atau melihat aktivitas-aktivitas keagamaan di halaman dalam Pura Tirta Empul (lihat Gambar 6.3) di bawah ini. Pariwisata sebagai sebuah upaya yang sengaja, bertujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman khusus di tempat lain, di luar kawasan hunian para wisatawan, untuk kemudian kembali pulang, adalah suatu konsep yang pertama kali muncul di kalangan orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu kelanjutan yang lebih “lunak” dari semangat eksplorasi, yang pada gilirannya beberapa abad yang lalu telah membuahkan kolonisasi dan imperialisme oleh bangsa-bangsa Barat. Kini pariwisata telah menjadi kegiatan umum yang dikenal dan dijalankan di hampir semua negara yang ada di dunia ini. Jenis kegiatan ini pun telah berkembang dalam suatu jaringan kerjasama lintas bangsa dengan dilandasi azas saling menguntungkan.
Gambar 6.3
Wisatawan asing dengan sangat leluasa melakukan apa saja di halaman dalam pura. (Dok. Setiawan, 2010)
239
Pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali, termasuk Pura Tirta Empul tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global. Dikatakan demikian, karena sejak dua
dekade terakhir ini di Eropa mulai digalahkan
kembali pariwisata budaya (cultural tourism) (Ardika, 2004 : 23). Komponen budaya dianggap sebagai produk dikemas sedemikian rupa untuk dikonsumsi oleh para wisatawan. Daya tarik wisata budaya Pura Tirta Empul yang mendapat banyak kunjungan wisatawan tidak jarang dikemas dalam bentuk tampilan untuk turis dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Berbagai komponen produk wisata seperti taman, bangunan suci, kolam pemandian ditata sedemikian rupa, dimodifikasi, diperbaharui, demi menambah daya tarik untuk menarik kunjungan wisatawan. Dalam konteks ini, komodifikasi budaya tidak dapat dihindari. Dalam hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan budaya dan kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering kali harus diambil. Namun yang memerlukan kehati-hatian lebih besar adalah dalam mengemas sajian-sajian yang bermakna relegi bagi masyarakat pemiliknya. Dalam tiga dasa warsa terakhir terdapat perubahan yang sangat jelas terhadap masyarakat Bali. Masyarakat mengalami lompatan yang sangat signifikan di bidang ekonomi akibat perkembangan pariwisata. Dalam kaitannya dengan lompatan itu, Sutawan (2002 : 216) mengungkapkan : “Dalam kurun waktu antara tahun 1970-2000 telah terjadi perubahan struktur yang sangat mendasar dalam perekonomian Daerah Bali. Secara relatif peranan sektor pertanian (sektor primer) telah menurun cukup drastis terhadap PDRB Bali. Sebaliknya, sektor industri (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) kontribusinya terhadap PDRB meningkat pesat. Dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB, maka struktur perekonmian Bali didominasi oleh sektor jasa karena peranan industri pariwisata. Keadaan ini
240
mencerminkan bahwa masyarakat Bali telah berada di ambang pintu masyarakat industri dan sekaligus jasa. Dengan kata lain, masyarakat Bali telah berada dalam keadaan transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri jasa”. Pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, dapat menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penghasilan dan standar hidup, serta dapat mendorong timbulnya bidang-bidang kegiatan baru atau menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya. Kondisi itu dapat dilihat di sekitar area Pura Tirta Empul, secara otomatis bermunculan usaha-usaha baru yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Hal itu dapat dilihat antara lain pada maraknya perkembangan berbagai macam kerajinan tangan, baik secara kuantitas, kualitas, variasi, dan gayanya. Adapun kesenian-kesenian yang terdorong berkembang pesat seirama dengan pesatnya perkembangan kepariwisataan antara lain seni lukis, seni patung, seni ukir, dan lain sebagainya. Jika sebelumnya seni lukis, seni pahat, seni ukir, hanya dibuat di pura dan puri, dewasa ini penduduk biasa pun mampu memperindah rumah tinggalnya dengan seni-seni tersebut. Fakta yang terjadi dalam pengembangan pariwisata memang identik dengan pengembangan budaya. Oleh karena itu, dengan sifat budaya yang dinamis terhadap pengaruh luar yang berboncengan dengan pariwisata, maka tidak bisa dihindari budaya telah mengalami perubahan atau pergeseran. Kendatipun sesungguhnya kebudayaan di mana pun di dunia ini sulit menghindari perubahan, lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini. Perubahan hampir terjadi dalam segala hal. Hanya melalui perubahan sesuatu itu menjadi kelihatan maju atau mundur, termasuk kebudayaan. Begitu
241
juga halnya dengan produk budaya Pura Tirta Empul tidak bisa terhindar dari perubahan atau pergeseran. Tidak ada kebudayaan yang terhindar dari perubahan dalam kurun waktu tertentu (Bagus, 1989 : 27). Perubahan tidak dapat dibendung dengan kekuatan apa pun. Hal yang harus dilakukan adalah tidak lain menerima perubahan itu, selanjutnya dikelola secara sistematis dan cermat sehingga pada akhirnya perubahan itu justru dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan
masyarakat,
sehingga
membawa
berbagai
dampak
terhadap
masyarakat setempat. Terlebih lagi, kalau yang dikembangkan adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri budaya, karena dalam sistem pariwisata budaya ada proses produksi, distribusi, presentasi, dan konsumsi. Pariwisata budaya merupakan salah satu bentuk “pemanfaatan” berbagai aspek kebudayaan secara massal. Sebagai sebuah kegiatan ekonomi, aspek pariwisata tidak terelakkan lagi sebagai bagian dari suatu proses komodifikasi yang mulanya bersifat kontemporer lalu menjadi semakin permanen. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam industri pariwisata memunculkan etos kapitalisme yang secara terselubung terdapat hegemoni yang halus, tak terasa, dan karenanya mendapat persetujuan. Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya memperlihatkan segala dan fenomena yang terkomodifikasi ke arah wujud yang baru, sebagai alat politik, ekonomi, aset pariwisata, hiburan yang semuanya telah ke luar dari sifat ketradisian. Selera pasar turut menentukan arah komodifikasi dalam berbagai wujudnya dengan tujuan menjadikan Pura Tirta Empul sebagai
242
alat komoditas untuk dijual, di mana obyek, kualitas, dan tanda diubah untuk dijadikan komoditas yang tujuan utamanya adalah selera pasar. Pura Tirta Empul pada awalnya bukan produk budaya yang diciptakan untuk tujuan komersial. Namun pada masa kini Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi karena diciptakan untuk dijadikan barang dan jasa dalam rangka memenuhi selera pasar. Kepentingan kapitalis menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Di masa lampau peran Pura Tirta Empul sangat besar dalam berbagai aktivitas kehidupan keagamaan. Fenomena budaya Pura Tirta Empul dewasa ini mengalami perubahan dan degradasi pemaknaannya bagi masyarakat pendukungnya. Perubahan Pura Tirta Empul sebagai akibat pengaruh pariwisata global memang sudah dan sedang berlangsung seperti adanya perubahan dari sakral ke profan dari ritual ke teatrikal, dan dari ekspresi seremonial ke limitasi waktu temporal. Akibatnya, memudarnya nilai-nilai sakral sebagai dampak modernisasi dan globalisasi. Kegiatan pariwisata ada karena para wisatawan. Mereka datang dengan waktu yang tidak terlalu lama, dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Hal seperti itu oleh industri pariwisata diterjemahkan dengan ekonomi juga, yakni produk Pura Tirta Empul dijadikan paket wisata yang tidak terlalu lama dan dengan biaya yang dapat dijangkau wisatawan. Industri pariwisata menjadikan Pura Tirta Empul sebagai produk komoditas belaka dan komoditinya sebenarnya adalah ”kreativitas individu atau kelompok”. Padahal jika ditarik latar sejarahnya, hakikat Pura Tirta Empul adalah produk budaya komunal yang di dalamnya kebersamaan, kerjasama, dan persatuan menjadi landasan hidup manusia
243
Manukaya. Oleh karena pasar industri pariwisata, justru yang berkembang adalah kreativitas individual untuk kebutuhan memenuhi industri wisata. Fungsi Pura Tirta Empul pun bergeser dari fungsi ritual melebar konteksnya menjadi nonritual yang komersial dan terkomodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul adalah komersialisasi dan mengarah pada produk budaya massa (lihat Gambar 6.4). Dalam praktik kehidupan manusia sehari-hari di zaman kontemporer ini, indoktrinasi perekayasaan industri budaya menjadi tuntutan manusia. Oleh Berthes (2006 : viii) berbagai produk budaya populer sesungguhnya tidak lebih dari sekedar mitos, metorika, ideologi, yang menjelma dalam masyarakat komunikasi. Budaya populer adalah budaya massa yang dihasilkan oleh industri budaya yang mengamankan stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme. Pura Tirta Empul telah mengalami proses perubahan yang relatif sangat panjang dan terbuai mengikuti arus globalisasi dengan bentuk dan wujud yang beraneka rupa (komodifikasi) ke konsumsi massa (pasar), yang nilainya menjadi diskursus bagi masyarakat Manukaya. Komodifikasi kebudayaan yang disebabkan oleh industri pariwisata telah terjadi dan sedang berlangsung di Manukaya. Komodifikasi kebudayaan adalah proses mengemas dan menjual objek-objek kebudayaan termasuk Pura Tirta Empul. Proses ini termasuk dalam menetapkan sebuah nilai moneter, segala sesuatu diukur dengan nilai uang terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, yang sebelumnya memiliki nilai yang berbeda, terlepas dari konsep pasar, khususnya pasar pariwisata.
244
Gambar 6.4
Suasana Kunjungan Wisatawan asing di Pura Tirta Empul sebagai wujud komersialisasi tempat suci. (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas adalah realitas sehari-hari di Pura Tirta Empul. Mereka dengan menyewa kain dan selendang dapat dengan bebas memasuki tempat suci dan berkeliling sepuasnya. Praktik-praktik pemaknaan tradisi ini pun menjadi kontestasi makna yang beragam untuk pelestarian dengan dikotomi filosofi kesakralan atau mengejar nilai dolar dan kepopuleran. Semua itu terpusat pada akhlak representasi manusia yang memandang Pura Tirta Empul sebagai representasi diri yang telah diobok-obok oleh kapitalisme yang mengikuti selera pasar. Dalam konteks sosial kekinian Pura Tirta Empul memiliki stereotip baru, baik dalam pandangan manusia di Desa Manukaya sendiri maupun masyarakat lain yang peduli dengan kelenyapan suatu tradisi. Identitas suatu masyarakat
245
dipresentasikan melalui banyak cara, salah satu diantaranya adalah melalui representasi pusaka budaya Pura Tirta Empul untuk memperkenalkan dan mempertahankan identitasnya. Pura Tirta Empul sebagai salah satu produk budaya dibangun dalam proses akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan berbagai representasi masyarakat Desa Manukaya sebagai pemilik budaya. Pura Tirta Empul sebagai representasi masyarakat telah dikomodifikasi sesuai dengan konstruksi yang dibangun sendiri untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya sebagai ideologi baru. Dengan semangat kapitalisme, Pura Tirta Empul telah menjadi komoditas produk yang diupayakan untuk mengikuti selera pasar. 6.2.2
Kapitalisme dan Industri Budaya Uraian pada bagian ini difokuskan pada pembahasan mengenai
kapitalisme dan industri budaya sebagai faktor pendorong eksternal komodifikasi Pura Tirta Empul. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan suatu keyakinan dan memberikan kepercayaan penuh pada mekanisme pasar dalam menentukan arah pertumbuhan (Piliang : 2004 : 364). Salah satu bentuk utama dari mekanisme pasar adalah bahwa agar pertumbuhan tetap berlangsung, maka di satu pihak, industri harus tetap berproduksi, di lain pihak, orang harus tetap terus mengkonsumsi. Dengan kata lain, agar tetap hidup kapitalisme harus memproduksi konsumsi itu sendiri. Kapitalisme dibangun di atas dasar prinsip persaingan dalam usaha menguasai pasar, kehendak mendominasi pihak lain untuk mendapat keunggulan kapital sebesar-besarnya. Kehendak untuk mendominasi kapital tanpa batas, telah
246
mendorong diterapkannya berbagai strategi dalam menarik konsumen untuk mengkonsumsi dengan pola tertentu, yang dikaitkan dengan gaya hidup. Kapitalisme dalam bentuknya dewasa ini telah membuka peluang bagi berkembangnya berbagai logika baru kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di antara logika-logika tersebut adalah logika tanda, logika citra, dan logika gaya hidup (Piliang, 2004 : 366). Kapitalisme telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaanperbedaan yang mengarah pada pembentukan status dan kelas dengan orientasi tertentu. Setiap praktik sosial kemudian menjadi bagian dari politik identitas dalam rangka memposisikan sosial individu dalam prinsip-prinsip baru yang mengarah pada kelimpahruahan materi. Kapitalisme kemudian menggiring masyarakat ke arah krisis spiritual dan krisisi moral, dan sebaliknya berperan besar dalam menanamkan ideologi materialisme. Di dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi dijadikan komoditi untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use value), tapi untuk mencari nilai tukar (exchange value). Proses komodifikasi, yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar, merupakan bentuk nyata kapitalisme (Piliang, 1999 : 34). Komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumen, tetapi telah merambah pada bidang kebudayaan. Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme pada
247
kebudayaan adalah menjadikannya ”patuh” pada hukum komoditi kapitalisme. Masyarakat seperti itu akan menghasilkan industri budaya, suatu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan pada mekanisme kekuasaan produsen dalam menentukan bentuk gaya, dan maknanya. Industri budaya digerakkan oleh penguasa ekonomi atau kapitalisme, sebagai suatu sistem yang memproduksi komoditas-komoditas, dan secara natural menciptakan komoditas adalah inti dari ideologi kapitalisme. ”Pura Tirta Empul pada awalnya diproduksi untuk kepentingan keagamaan oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pura tersebut. Dalam perkembangannya, terutama sejak tahun 1980-an sampai sekarang akibat dampak pariwisata, Pura Tirta Empul selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (Nyoman Negara, wawancara 28 April 2010). Penjelasan di atas memberi informasi bahwa selain sebagai tempat suci yang sudah ada sejak lama, Pura Tirta Empul belakangan diproduksi secara profesional dan dijadikan objek pengumpulan modal dan mendatangkan keuntungan melalui penampilan yang indah dan menarik. Pura Tirta Empul ditata dan dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menjadi daya tarik, sekaligus menjadi modal ekonomi potensial bagi masyarakat Desa Manukaya. Di lain pihak, pola-pola kehidupan sosial dan kultural sehari-hari masyarakat Manukaya memperlihatkan berbagai pengaruh yang amat kuat dari apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society) dan budaya global (global culture) lewat berbagai teknologi (teknologi informasi, telekomunikasi, televisi, internet), berbagai agen (kapitalis, produser), dan berbagai produk (barang, tontonan, hiburan) budaya global yang terus menerus menerpa dan mempengaruhi masyarakat. Sebagian masyarakat telah menerima
248
berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup. Keadaan seperti itu ternyata telah mengancam eksistensi berbagai bentuk warisan adat, kebiasaan, nilai-nilai, identitas, dan simbol-simbol yang berasal dari budaya lokal. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa Pura Tirta Empul sudah menjadi budaya populer. Dalam masyarakat kontemporer, modus praktik-praktik budaya kepada pengalihan nilai-nilai orientasi budaya dari yang sakral-religius kepada sifat profan, materialis, sedang berlangsung sebagai bentuk perkembangan ekonomi industri kapitalisme lanjut. Perkembangan masyarakat seperti itu menurut Piliang (2004 : 251), tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat konsumer, yaitu suatu kehidupan masyarakat yang menunjuk pada suatu kondisi sosial yang di dalamnya konsumsi menjadi titik sentral kehidupan. Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah erat kaitannya dengan masyarakat konsumer dan tidak bisa dipisahkan dengan praktik-pratik budaya kapitalisme. Praktik-praktik budaya kapitalisme dengan industri budayanya memerlukan eksploitasi sumber, seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam, termasuk sumber-sumber budaya yang dalam konteks penelitian ini adalah Pura Tirta Empul. Eksploitasi yang dilakukan secara terus-menerus terhadap sumberdaya dengan tujuan mencari keuntungan modal akan mengakibatkan menurun atau dangkalnya nilai budaya dari produk budaya tersebut. Sebagai suatu produk budaya masyarakat, Pura Tirta Empul diciptakan dalam suatu proses pengalaman berbudaya yang sangat panjang, baik secara individual maupun secara berkelompok. Produk budaya Pura Tirta Empul setelah tahun 1990-an diproduksi untuk tujuan komersial sebagaimana yang terjadi dalam
249
proses produksi industri budaya kapitalisme, yakni untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kelangsungan suatu produk. Produk budaya apa pun yang dihasilkan oleh industri budaya telah diciptakan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan kecenderungan massa. Salah satu strateginya adalah menjadikan suatu produk memiliki daya pesona, sehingga mampu mendominasi azas pertukaran nilai tukar suatu produk dengan konsep fetisisme komoditas (Strinati, 2007 : 68-69). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak bisa dihindari pusaka budaya Pura Tirta Empul telah dijadikan sebagai salah satu produk fetisisme komoditas yang memiliki daya pesona konsumsi massa yang disejajarkan dengan produk-produk budaya lainnya, misalnya makanan tradisional, arsitektur, kesenian, dan lain-lain. Industri budaya sebagai agen utama produksi kapitalisme bersama-sama dengan agen-agen distribusinya, cenderung membuat Pura Tirta Empul sebagai bagian dari komoditas dengan berbagai bentuk komodifikasi. Adapun bentuk-bentuk komodifikasi yang dihasilkan dari proses distribusi melalui industri budaya disesuaikan dengan nilai pasaran, artinya sifat dan berbagai bentuk produk budaya ditentukan oleh motif keuntungan. Apabila suatu produk budaya memiliki nilai pasar maka komodifikasi bentuk akan mengalami proses standarisasi, artinya produk budaya tersebut mendapatkan bentuknya yang sama pada semua komoditas (Strinati, 2007 : 70). Jaringan modal kuasa melalui agen distribusi menjadikan Pura Tirta Empul distandarisasi dan masyarakat pemilik dan pendukung budaya tidak menyadari bahwa mereka dalam naungan dominasi kuasa kapitalisme. Fenomena standarisasi dalam Pura Tirta Empul bukanlah hal yang baru. Hal itu dikondisikan oleh modal kuasa dan modal finansial, kapitalisme dengan
250
modal ekonominya, atau pemerintah dengan hegemoninya. Jaringan modal kuasa melalui agen distribusi menjadikan Pura Tirta Empul distandarisasi dan masyarakat pemilik atau pendukung budaya tidak menyadari bahwa mereka dalam bayangan dominasi kuasa kapitalisme. 6.2.3
Peran Media Massa Media massa mempunyai peran penting dalam proses komodifikasi Pura
Tirta Empul. Melalui media massa Pura Tirta Empul dikomodifikasi sehingga menjadi budaya populer. Media, dalam hal ini media massa, di satu sisi merupakan salah satu hasil budaya dan di sisi lain juga merupakan alat atau sarana proses pembudayaan bagi masyarakat luas. Dengan perkataan lain, media sebagai wahana bagi berbagai macam pesan, termasuk pesan nilai-nilai budaya (Sedyawati, 2008 : 126). Adapun sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai kekuatan tersendiri karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai. Media massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya) yang efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat daripada pendidikan formal sebagai sarana pembudayaan. Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economie interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest). Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik menjadikan media tidak netral, jujur, adil, dan objektif. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Di satu pihak, ketika
251
ranah publik dikuasai oleh politik informasi (politics of information) yang menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik tersebut. Di pihak lain, ketika media dikuasai oleh ekonomi politik informasi (political-economy of information), informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik sebagai satu prinsip dasar dari kapitalisme (Piliang, 2009 : 134). Era globalisasi menempatkan media sebagai salah satu faktor komodifikasi yang penting dalam dimensi perubahan sosial budaya. Melalui media, banyak imaji, opini tentang dunia dapat diciptakannnya. Media dapat diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang melahirkan banyak relasi, dan segala sesuatu yang dapat dijadikan agen publikasi, baik secara visual maupun secara tertulis.
Gambar 6.5 Pura Tirta Empul dalam Harian Bali Post (Sumber Bali Post 21 Juli 2008)
252
Gambar 6.5 menunjukkan bangunan produk budaya Pura Tirta Empul menjadi ajang promosi melalui media massa. Media berperan penting dalam mengantarkan produk budaya dalam sistem ekonomi kapitalisme. Media dengan multimedianya sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari manusia. Dalam perkembangannya dewasa ini, media tidak hanya diartikan secara sempit, tetapi telah berkembang maju sebagai ruang publik, yang setiap saat dikonsumsi dan menggiring manusia menciptakan berbagai imajinasi dan opini. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, media sangat mempengaruhi pola pikir manusia. Media massa sebagai bagian dari ruang publik yang di dalamnya bahasa dan simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan bukanlah sebuah hegemoni. Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan penting. Bahwa makna (meaning) dan nilai (value) dominan yang dihasilkan lewat media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial (Ritzer dan Goodman, 2007 : 599). Dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul, media menempatkan dirinya sebagai agen pemegang kekuasaan distribusi. Tawaran-tawaran media menjadikan suatu produk budaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Tanpa disadari, media telah menggiring manusia menjadi konsumen yang diselaraskan dengan ideologi melalui suatu budaya hiburan. Media memediasi
253
budaya menjadi budaya instan demi kepentingan bisnis atau kepentingan komersial. Sementara itu, politik media sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari beberapa konsep dasar ideologi yang berkaitan dengan media, terutama konsep hegemoni. Hegemoni, dalam pengertian tradisionalnya diartikan sebagai sistem kekuasaan atau dominasi politik. Istilah tersebut dalam tradisi Marxisme diperluas ke arah pengertian hubungan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial, khususnya kelas berkuasa.
Gambar 6.6
Pemasaran Pura Tirta Empul melalui Brosur (Sumber Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2009)
Gambar
6.6
menunjukkan
bagaimana
ideologi
media
meng-
komodifikasikan Pura Tirta Empul, dan hal tersebut semata-mata memberi kesan hanya untuk kepentingan komersial. Media massa modern dewasa ini merupakan
254
suatu makanan sehari-hari bagi siapa saja, tidak terbatas pada kaum elite, kaya, atau kaum penguasa. Karena perangkatnya yang multi-lambang, maka yang dapat disampaikannya pun bukan hanya signal-signal, tetapi dapat menyampaikan pesan dalam berbagai gradasi seperti pemberitahuan, pendalaman pengetahuan, anjuran, bujukan, peringatan, kritik, ancaman, dan lain-lain. Kalangan pengisi utama dari media massa adalah kelompok manusia yang sesungguhnya sangat berkuasa dalam pembentukan pendapat umum, sikap-sikap dalam kehidupan, dan nilai-nilai budaya. Oleh keluasan jangkauannya inilah maka dapat ditekankan bahwa media massa mempunyai peran yang sangat besar dalam proses pembentukan kebudayaan suatu bangsa. Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia, mengembangkan pengertian hegemoni secara lebih luas, sehingga tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi antarkelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, termasuk relasi komunikasi dan media lewat penerimaan publik (public consent). Pembentukan opini publik merupakan hal yang sangat sentral dalam prinsip hegemoni. Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip hegemoni. Makna dan nilai-nilai dominan yang dihasilkannya (lewat berbagai media), sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial itu sendiri. Meskipun demikian, di dalam prinsip hegemoni, bahasa, makna, dan nilai-nilai dominan tidak pernah berada dalam kondisi stabil. Ia selalu dipertanyakan, digugat, ditantang, dan dilawan lewat berbagai bentuk perjuangan politik pertandaan (politics of signification) (Piliang, 2009 : 136). Berdasarkan pemahaman konsep hegemoni tersebut di atas, maka media massa membentuk sebuah ruang untuk memperebutkan hegemoni dalam sebuah proses persaingan yang
demokratis. Artinya, media mempunyai tugas untuk
255
selalu menyerap berbagai kepentingan dan ideologi lain yang ada dalam masyarakat, agar ia mendapatkan penerimaan publik yang lebih luas. Pemaksaan dan rekayasa di dalam media seringkali berlangsung secara halus dan tidak tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu pemaksaan atau rekayasa. Artinya, semuanya berlangsung tanpa disadari oleh orang yang menerimanya. Melalui promosi iklan, media massa mampu menjadi industri yang tidak hanya
memenuhi
kebutuhan
masyarakat
akan
informasi,
tetapi
juga
menghidupkan logika industri budaya kapitalisme. Melalui iklan, media massa memoles produk budaya Pura Tirta Empul menjadi produk hiburan massa yang sesuai dengan keinginan citra rasa masyarakat. Inilah cara media mendorong dan menciptakan pasar untuk mencari keuntungan. Media massa berperan besar menjadikan produk budaya Pura Tirta Empul yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan ekonomi. Berikut diberikan contoh bagaimana Pura Tirta Empul di Desa Manukaya dimediakan seperti (Gambar 6.7 dan 6.8) di bawah ini.
Gambar 6.7
Promosi Pura Tirta Empul Lewat Brosur (Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2010)
256
Gambar 6.8
6.2.4
Promosi Pura Tirta Empul Lewat Tayangan TV One dalam acara ”Riwayatmoe Doeloe” 30 Mei 2010, dan 6 Juni 2010.
Hegemoni Pemerintah Hegemoni pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar dalam upaya pengembangan pariwisata mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam upaya pengembangan pariwisata berhasil dibungkus oleh hegemoni melalui diskursus yang segera mendapat persetujuan masyarakat setempat. Janji pemberdayaan ditebarkan dalam diskursus tersebut, seperti membuka lapangan kerja, kesempatan berusaha, yang akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Satu hal pada era reformasi yang menyebabkan sebuah kabupaten mengalami objektivikasi pembangunan yang berlebihan adalah upaya kabupaten itu sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berlindung
257
dibalik gerakan otonomi daerah. Era reformasi sebagai dekonstruksi terhadap Orde Baru yang sentralistik, ternyata tidak selalu menyediakan dampak positif. Semua itu berawal dari terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (saat ini menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004), dengan otonomi daerah yang berlangsung di setiap kabupaten/kota Indonesia. Pada masa reformasi seperti dewasa ini terdapat kecenderungan justru pemerintah kabupaten yang
menjual aset-aset yang dimilikinya. Akibatnya, budaya dan
pusaka budaya juga dilihat bagai aset, yaitu bagaimana caranya agar budaya dan tinggalan budaya yang ada dapat mendatangkan uang untuk meningkatkan PAD. Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalistis dapat menyebabkan komodifikasi. Menurut Marx dan Simmel (Turner, 1992 : 115-118), akibat dari ekonomi uang yang berdasarkan atas spirit menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor kehidupan. Pura Tirta Empul dikomodifikasi oleh pemiliknya dan Pemerintah Kabupaten Gianyar untuk dijadikan komoditas. Agar terjadi monetisasi, yakni proses untuk mendatangkan uang, apa pun aset kabupaten “dijual”, termasuk bangunan bersejarah Pura Tirta Empul, yang tidak lain merupakan bukti sejarah, identitas, dan kebanggaan masyarakat Desa Manukaya. Pembangunan dijadikan kesempatan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Pembangunan direduksi menjadi sekadar pembangunan ekonomi dengan cara memanfaatkan produk budaya dalam pengembangan pariwisata.
258
Dengan mengikuti gagasan Gramsci dalam hubungan yang hegemonik, kelompok berkuasa dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gianyar mendapat persetujuan kelompok subordinat dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya atas subordinasinya. Kelompok berkuasa yakni Pemda Gianyar tidak ditentang oleh kelompok yang dikuasai yakni masyarakat Desa Adat Manukaya, karena ideologi, kultur, nilainilai, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat, maka ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi sehingga penggunaan dominasi oleh Pemda Gianyar terhadap masyarakat Desa Adat Manukaya menjadi tidak penting lagi. ”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upayaupaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan yang sama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti kelompok penguasa harus menguniversalkan pandangan dan kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan kepentingan itu tidak hanya bisa tetapi juga harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok subordinat (Sugiono, 1999 : 41-42)”. Upaya-upaya pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat untuk pengembangan
pariwisata
merupakan
salah
satu
faktor
penting
dalam
komodifikasi Pura Tirta Empul. Secara teoretis, komodifikasi yang telah merambah pariwisata sedemikian intens di antaranya dijelaskan oleh Watson (1994 : 263) dan Darmadi (2006 : 18). Dalam konteks penelitian ini, Pura Tirta Empul sebagai bangunan bersejarah dan bernilai arkeologis yang menjadi produk utama pariwisata budaya mengalami objektivasi dan menjadi daya tarik wisata
259
sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang dari pemenuhan kepuasan wisatawan. Dalam komodifikasi pengembangan pariwisata, semua pihak yang terlihat, termasuk usaha kecil dan menengah, serta masyarakat banyak potensial memperoleh pendapatan yang layak. Hal ini karena pembangunan pariwisata yang diharapkan pada dasarnya berbasis masyarakat (community based). Pendapatan yang diperoleh dari kantong wisatawan, dalam banyak hal, dapat digunakan untuk membantu upaya pelestarian pusaka budaya. Komodifikasi Pura Tirta Empul yang terkait dengan pengembangan pariwisata budaya di Desa Manukaya bersifat saling memberi dan menunjukkan suatu model simbiosis mutualisme yang baik dengan upaya pelestarian produk budaya yang menjadi modal pariwisata. Sementara itu, Istana Presiden yang letaknya berdampingan dengan Pura Tirta Empul (Gambar 6.9 di bawah ini) juga mempunyai peranan yang cukup penting dalam proses pekembangan situs budaya Pura Tirta Empul. Tidak jarang tamu-tamu terhormat yang berkunjung ke Istana Presiden di Tampaksiring meluangkan waktunya untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat Pura Tirta Empul yang memiliki keindahan dan sumber mata air suci yang dialirkan melalui pancuran yang berjejer di kolam halaman luar pura. Semaraknya upacara-upacara keagamaan dan aktivitas-aktivitas ritual lainnya telah menjadikan Pura Tirta Empul tidak pernah sepi dari kunjungan para wisatawan, baik lokal maupun asing. Keberadaan Istana Presiden di Tampaksiring juga memberi pengaruh cukup besar dalam mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.
260
Gambar 6.9 Istana Presiden di Tampaksiring yang berdampingan dengan Pura Tirta Empul. (Dok. Setiawan, 2010) Istana Presiden di Tampaksiring di atas mempunyai andil yang cukup besar bagi perkembangan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, situs cagar budaya, maupun objek wisata budaya. Keindahan alam dan bangunan Istana Presiden juga membawa dampak positif terhadap popularitas Pura Tirta Empul, baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Popularitas ini pada akhirnya mengantarkan Pura Tirta Empul sebagai sebuah tempat atau objek yang menarik untuk dikunjungi karena memiliki keindahan alam, nilai religius, nilai sejarah, dan nilai budaya.
261
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL
Dalam bab ini pembahasan difokuskan mengenai dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Pembahasan pertama berkenaan dengan dampak komodifikasi Pura Tirta Empul, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan makna komodifikasi Pura Tirta Empul pada subbab berikutnya. Perlu dikemukakan bahwa dampak dalam konteks penelitian ini mengandung pengertian pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik positif maupun negatif. Dampak positif berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, sedangkan dampak negatif berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Manukaya. Adapun subbab makna, mencakup makna komodifikasi dalam hubungan Pura Tirta Empul yang telah menjadi komoditas. Makna dalam penelitian ini diartikan sebagai objek, maksud, arti, yang diberikan oleh penulis, pembaca, terhadap suatu bentuk kebahasaan baik berupa kata, kalimat, maupun wacana (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 548). Di dalam sistem pemaknaan kapitalisme, benda-benda diproduksi sebagai tanda, yang tidak hanya mengcu pada realitas di luar dirinya, tetapi sebagai artefak yang terbentuk lewat manipulasi medium. Dunia realitas dikemas lewat mekanisme komodifikasi tanda-tanda. Elemen-elemen
tanda yang
merupakan bagian dari dunia realitas dikombinasikan dengan elemen-elemen tanda yang bukan realitas secara eklektik sehingga menghasilkan realitas baru 259
262
dengan pemaknaan yang baru pula. Menemukan maksud dalam
konteks ini
adalah bagaimana makna budaya yang ditunjukkan masyarakat bersangkutan dalam merasa dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan nilainilai yang sesuai (Geertz, 1992 : vii). 7.1 Dampak Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata Global 7.1.1
Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Dewasa ini, globalisasi secara perlahan-lahan membuat dunia menjadi
satu dengan yang lain, batas-batas politik, budaya, ekonomi, menjadi semakin kabur serta tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia terus bergerak, dan teknologi komunikasi menjadi serba canggih, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi mobilitas sosial. Pergerakan orang (pariwisata) demikian cepat membawa kapitalisme telah masuk ke dunia bisnis kebudayaan. Komodifikasi budaya terjadi karena pasar cenderung memperlakukan budaya sebagai barang dagangan ketimbang memperlakukan budaya sebagai sebuah medan nilai. Selera ideologi pasar telah merajalela ke sendi-sendi budaya tradisi dengan arus global kontemporernya menghanyutkan nilai-nilai estetik fondasi kehidupan masyarakat Desa Manukaya yang dipresentasikan melalui pusaka budaya Pura Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta Empul menggugat akar budaya manusia yang diterminasinya kepada filosofi, jatidiri, dan pandangan hidup masyarakat dewasa ini dan masa yang akan datang, selalu dibayangi oleh kekuatan globalisasi. Oleh karena itu, ideologi selalu melatarbelakangi penilaian
263
tentang kebenaran sebagai kondisi sosial, seperti Pura Tirta Empul sebagai tempat suci ikut bergeser dan didekonstruksi. Dekonstruksi ideologi membongkar dan membangun kembali ideologi baru yang sesuai dengan pergerakan zaman. Dekonstruksi di sini dimaksudkan membongkar kemapanan sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Konsep dekonstruksi sangat lekat dengan pandangan hipersemiotika yang dikembangkan oleh Derrida dalam upaya merekonstruksi makna. Dekonstruksi merupakan satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap pengetahuan, karena mengarahkan perhatian pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya kontemporer (Featherstone, 2005 : 14). Idelogi yang mendasari komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global merujuk dan mengarah pada ideologi pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat pemilik kebudayaan Pura Tirta Empul termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri kekuatan kapitalisme dibidang ekonomi. Pura Tirta Empul yang semula merupakan tempat suci, kemudian merambah, dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Kedua sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling melengkapi dan memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang menjadikan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci dan daya tarik wisata dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
264
Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global disambut sebagai industri yang membawa aliran devisa, lapangan pekerjaan, dan cara hidup modern. Menurut Ismayanti (2010 : 186), industri pariwisata memberikan keunikan tersendiri dibandingkan dengan sektor ekonomi lain karena (1) pariwisata adalah industri ekspor fana (invisible export industry), yaitu segala transaksi yang terjadi berupa pengalaman yang dapat diceritakan kepada orang lain, (2) setiap wisatawan mengunjungi destinasi, selalu membutuhkan barang dan jasa, seperti transportasi dan air bersih, dan (3) pariwisata sebagai produk yang terpisah-pisah, tetapi terintegrasi dan langsung mempengaruhi sektor ekonomi lain. 7.1.1.1 Peningkatan Struktur Ekonomi Pariwisata dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan kebudyaaan antara kebudayaan tuan rumah, kebudayaan wisatawan, dan kebudayaan pendatang pencari kerja. Konskuensi logis bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk dikunjungi wisatawan adalah masuknya berbagai pengaruh kebudayaan asing ke dalam lingkungan kebudayaan tuan rumah. Pengaruh kebudayaan asing akan terasa semakin meningkat ketika perkembangan pariwisata mengarah pada pariwisata massa (Pujaastawa, dkk., 2005 : 31). Dampak pariwisata global dewasa ini adalah masyarakat mengalami globalisasi sehingga orang menjadi bagian dari kampung global (global village). Hal itu menimbulkan implikasi bahwa masyarakat tidak bisa menghindarkan diri dari sasaran yang diinginkan oleh negara-negara pendukung globalisasi, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa, yakni menjadikan
265
kebergantungan kepada sistem ekonomi kapitalisme. Mereka tidak henti-hentinya memasukkan berbagai bentuk kebudayaan global ke dalam masyarakat melalui pasar. Kebudayaan global sarat dengan muatan ideologi, tidak saja kapitalisme, tetapi juga ideologi pasar, hedonisme, materialisme, konsumerisme, dan individualisme (Fakih, 2002 : 17 ; Piliang, 2006 : 113). Kesemuanya itu mempengaruhi pandangan orang, termasuk di dalamnya bagaimana mereka memaknai sesuatu untuk kepentingan kehidupannya. Dalam konteks ini Pura Tirta Empul yang sejak semula dibuat untuk kepentingan keagamaan, mengalami pula perubahan makna yang terus berlanjut pada aspek-aspek lain yang terkait dengannya. Konsep pariwisata budaya kiranya harus dipandang sebagai mekanisme pertahanan jatidiri bagi komunitas lokal. Hal itu dipandang penting mengingat pariwisata tidak selalu membawa anugrah tetapi terkadang juga musibah. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata hendaknya dilakukan melalui pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi disiplien). Pendekatan terpadu ini pada dasarnya bersifat knowledge based dan mengintegrasikan beberapa bidang pengetahuan sebagai landasannya (Spillane, 1994 : 3). Kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan terasa semakin meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama ini manfaat pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang umumnya berasal dari luar masyarakat setempat. Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya
266
merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Hal itu berarti memberi wewenang kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kebijakankebijakan yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan pariwisata berwawasan budaya dipandang sangat penting dan relevan mengingat pariwisata dipandang sebagai fenomena modern yang telah lama disadari mengandung sejumlah konskuensi terhadap kebudayaan masyarakat lokal atau tuan rumah. Menurut Smith (1989 : 16-17), perkembangan pariwisata pada tingkat tertentu di samping membawa manfaat positif bagi perekonomian, juga sering menimbulkan ancaman bagi keberadaan tuan rumah. Menyadari hal tersebut, maka pengembangan pariwisata di daerah Bali, kiranya sangat perlu mengedepankan potensi kebudayaan setempat sebagai daya tarik sekaligus sebagai upaya untuk mempertahankan kelestariannya. Terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata budaya, pengelolaannya paling tidak melibatkan dua lembaga, yaitu Desa Adat Manukaya sebagai penyungsung pura dan Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar. Dewasa ini, dalam pelaksanaan di lapangan, desa adat mengelola wilayah dalam pura dengan menyewakan selendang dan kain bagi para pengunjung yang ingin masuk ke dalam pura serta menyewakan tempat untuk menaruh pakaian ganti berbentuk kotak dari kayu bagi pengunjung yang melukakatan prosesi melukat di
267
kolam suci Pura Tirta Empul. Dinas pariwisata Kabupatn Gianyar sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Kabupaten Gianyar menangani tiket masuk wisatawan, parkir, pertamanan, dan kebersihan. Penanganan oleh kedua lembaga ini diharapkan dapat mendukung konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development). Manfaat positif pariwisata bagi masyarakat Desa Manukaya pada umumnya, antara lain adalah meningkatkan lapangan usaha, meningkatnya lapangan
kerja,
meningkatnya
pendapatan
masyarakat,
dan
mendorong
pertumbuhan sektor perdagangan. Masyarakat Desa Manukaya dan sekitarnya sangat merasakan manfaat positif pariwisata tersebut. Hal ini memberi inspirasi kepada sebagian penduduk untuk membuka kios yang menjual makanan, minuman dan cenderamata di sekitar areal Pura Tirta Empul (lihat Gambar 7.1 di bawah ini.
Gambar 7.1
Berbagai jenis pakaian jadi untuk souvenir dijual di kios-kios areal Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)
268
Gambar di atas menunjukkan bahwa betapa masyarakat memanfaatkan kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul dengan membuka kios-kios untuk menjual berbagai makanan, minuman, dan barang-barang cenderamata. Para pedagang umumnya adalah penduduk sekitar yang mencoba mengais rejeki untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Penduduk menurut jenis pekerjaannya, secara asumtif dapat dikatakan telah terjadi pergeseran orientasi pekerjaan yaitu bergesernya sektor agraris ke sektor industri/jasa pariwisata. Sejalan dengan pemikiran Sifullah (1994 : 27-28) menyatakan bahwa segala yang terjadi di Desa Manukaya dapat disebut sebagai mobilitas lapangan kerja. Ada dua hal pokok yang menjadi dasar mobilitas lapangan kerja itu, pertama, semakin melemahnya sektor agraris memberi daya serap bagi pertumbuhan penduduk desa dan semakin kompleksnya variasi lapangan kerja yang muncul di luar sektor itu. Hal yang kedua, terkait erat dengan perkembangan kepariwisataan di daerah Tampaksiring dan sekaligus menjadi faktor dominan dalam orientasi ekonomi penduduk. Perkembangan pariwisata telah memacu kreativitas masyarakat untuk menciptakan produk-produk baru tentang berbagai barang cenderamata untuk kepuasan konsumen (lihat Gambar 7.2). Terlepas dari surplus produksi, kedua sektor ekonomi di atas terkait dengan penilaian sosial yang tumbuh dan berkembang dalam karakter masyarakat Desa Manukaya. Adapun perbedaan penilaian mengenai jenis-jenis profesi antara dua
sektor,
mengakibatkan
cenderung
muncul
sikap-sikap
yang
lebih
mengutamakan gengsi suatu jenis profesi daripada prinsip ekonomi lainnya.
269
Sementara di kalangan tertentu memandang bahwa profesi sebagai petani menunjukkan identitas sosial yang rendah. Sedangkan di luar sektor itu (terutama sektor pariwisata) kendatipun terkadang ke luar dari prinsip-prinsip moral, mereka masih tetap memandang bahwa profesi ini lebih memberi pretise sosial.
Gambar 7.2
Berbagai jenis barang kerajinan dari kayu, lukisan dan barang kerajinan lainnya dipajang di kios-kios sebagai barang cenderamata (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas menunjukkan betapa tinggi kreativitas masyarakat dalam menciptakan karya seni, terutama karya seni dari bahan kayu dan tulang. Keseluruhan bentuk ekonomi baru ini memberi arah dan karakter tertentu bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Pergeseran orientasi pekerjaan semacam ini tampaknya juga dapat disejajarkan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Arsana (1991 : 35), sebagai proses pemecah katup-katup pengaman prinsip ekonomi subsistensi. Mereka tidak lagi berproduksi untuk memenuhi konsumsi
270
terbatas yang biasa ditandai dengan penuh rasa loyalitas, tetapi terlibat dalam prinsip-prinsip ekonomi yang penuh persaingan. 7.1.1.2 Meningkatnya Pendapatan Masyarakat Walaupun telah terjadi pergeseran mata pencaharian penduduk dari pekerjaan pokok sebagai petani, ke sektor industri, Desa Manukaya masih tetap mencerminkan subkultur agraris sebagai ciri-ciri yang menonjol. Desa adat yang merupakan kesatuan wilayah dan para warganya secara bersama-sama mengaktifkan upacara-upacara keagamaan yang ditata menurut konsep tri hita karana. Penyatuan wilayah dengan tata dasar konsep tri hita karana terkait dengan tiga perwujudan tata ruang desa, yakni ruang peribadatan desa (parhyangan), warga (pawongan), dan ruang-ruang lain sebagai tempat para warganya untuk melangsungkan berbagai kegiatan dan aktivitasnya (palemahan). Harapan untuk hidup lebih baik, merupakan orientasi masyarakat Manukaya ke masa depan. Harapan tersebut selain didukung oleh potensi-potensi internal, juga didukung oleh faktor-faktor eksternal. Potensi internal bersumber dari masyarakat itu sendiri karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan atau keinginan untuk lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Sementara faktor-faktor eksternal di antaranya adalah program-program pemerintah dalam bentuk penyuluhan, promosi dan tentu saja budaya pariwisata. Rendahnya pendapatan petani dari hasil pertanian, pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan terhadap kondisi tersebut. Upaya untuk mengatasinya adalah menggantungkan variasi-variasi usaha yang ada di luar sektor pertanian, khususnya sektor pariwisata.
271
Putu Sarini seorang pedagang souvenir yang diwawancarai tanggal 2 Mei 2010 mengatakan : Kami para pedagang bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang melinggih di Pura Tirta Empul, karena kemurahan hati-Nya, kami dapat berjualan di sini, yaitu menjual barang-barang kerajinan sebagai souvenir, kepada para pengunjung. Walaupun penghasilan setiap hari tidak menentu namun setidak-tidaknya dapat membantu penghasilan suami untuk menunjang kehidupan keluarga. Tentang penghasilan yang diperoleh sangat tergantung dengan kondisi kunjungan wisatawan. Pada bulan-bulan tertentu seperti Desember – Januari, Juli– Agustus, hasil penjualan bisa mencapai antara Rp. 400.000 – Rp. 700.000 tetapi pada bulan-bulan yang lain biasanya berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 400.000. Namun demikian, hal itu tetap kami syukuri. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keberadaan para pedagang yang menempati kios-kios tersebut setidak-tidaknya dapat menambah pendapatan untuk kesejahteraan keluarganya. Lapisan masyarakat Manukaya yang merupakan lapisan dengan sistem terbuka, memberi kemungkinan adanya gerak sosial vertikal yang luas, atau memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan sebagian masyarakat Manukaya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani, karena menganggap pekerjaan tersebut mempunyai tingkatan lebih rendah dari pekerjaan lainnya, khususnya pekerjaan di sektor pariwisata. Wacana mengenai pembangunan pariwisata berwawasan kerakyatan merupakan reaksi keras terhadap kebijakan pembangunan konglomerat yang selama ini lebih berpihak pada pemilik modal. Pembangunan berwawasan kerakyatan
lebih
mengedepan-kan
peningkatan
ekonomi
rakyat
dan
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat sebagai pemilik atas sumberdaya setempat justru sering mengalami marginalisasi sehingga kualitas kehidupannya justru
272
menurun dibandingkan sebelum adanya pembangunan. Atas dasar itu berbagai ahli menekankan pentingnya pembangunan dari bawah (Pujaastawa, dkk., 2005 : 30). Pembangunan dengan paradigma ini menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh masyarakat atau community management (Korten, 1988 : 31-33). Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan terasa semakin meningkat, lebih-lebih daya tarik wisata yang ditawarkan dalam bentuk sumberdaya budaya. Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan pada dasarnya merupakan model pemberdayaan masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembangunan demi kesejahteraannya. Hal itu berarti memberi wewenang atau kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuannya sendiri dalam mengelola sumberdaya budaya yang dimiliki untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam konteks ini, pariwisata memberikan peluang kepada masyarakat Desa Manukaya untuk memperoleh berbagai manfaat dengan cara menawarkan barang atau jasa yang lazim disebut produk wisata. Produk wisata tersebut terdiri atas (1) daya tarik daerah tujuan wisata, termasuk pula citra yang dibayangkan oleh para wisatawan, (2) fasilitas di daerah tujuan wisata yang mencakup akomodasi usaha pengelolaan makanan, usaha cenderamata, rekreasi, dan (3) kemudahan-kemudahan mencapai daerah tujuan wisata. Produk wisata itu dihasilkan oleh berbagai perusahaan, masyarakat, dan alam. Jasa angkutan, penginapan, dan penyelenggaraan wisata merupakan jasa yang disediakan oleh
273
berbagai perusahaan, jasa seperti keramahtamahan penduduk, keamanan, dan kenyamanan merupakan jasa yang disediakan oleh masyarakat, dan keindahan pemandangan alam disediakan oleh alam. Dalam kaitan ini tentu tidak bisa pula diabaikan beraneka rupa produk wisata yang berbentuk benda seperti makanan, minuman, cenderamata, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan oleh para wisatawan. Keseluruhan barang dan jasa atau beberapa di antaranya merupakan hal yang bisa ditawarkan oleh masyarakat setempat kepada para wisatawan untuk meningkatkan pendapatannya. Tidak berlebihan apabila pariwisata dimasukkan ke dalam bidang ekonomi yang pembangunannya mengikuti kaidah-kaidah ekonomi. Dalam program pembangunan ekonomi yang demikian, keberhasilan industri pariwisata selalu diukur dari target (angka) kedatangan wisatawan. Dengan perkataan lain, program pengembangan pariwisata ingin mencapai target kedatangan wisatawan karena kedatangan mereka dapat menambah kekayaan devisa dan kemakmuran masyarakat setempat. Implementasi dari program itu, tentu saja memerlukan berbagai upaya yang mengikuti kaidah-kaidah ekonomi. Implementasi kaedah-kaedah ekonomi yang baik membutuhkan manajemen profesional (SDM berkualitas, terampil, profesional), di samping modal dan orientasi keuntungan berlipat. Tuntutan demikian dianggap wajar karena pariwisata harus dikelola secara modern (Atmaja, 2010, 193). Akan tetapi, modernisasi berjalan seiring dengan kapitalisasi. Karena kapitalisasi dan modernisasi bergerak seiring ibarat sepasang roda yang memiliki dua sisi, yakni sisi satu yang berorientasi keuntungan dan sisi
274
lain adalah idealisme dengan keinginan mensejahterakan masyarakat di daerah tujuan wisata dengan dolar. Dengan demikian, setiap kegiatan wisata menghasilkan pendapatan, khususnya bagi masyarakat Desa Manukaya. Pendapatan itu dihasilkan dari transaksi antara wisatawan dengan mereka dalam bentuk pembelanjaan yang dilakukan oleh wisatawan. Pengeluaran wisatawan terdistribusi tidak hanya ke pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri pariwisata seperti hotel, restoran, biro perjalanan wisata, pemandu wisata, namun juga terserap ke sektorsektor yang lain seperti pertanian, industri kerajinan, angkutan, komunikasi, dan sektor lain yang terkait. Peningkatan pendapatan masyarakat Desa Manukaya dari industri pariwisata membuat struktur ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Masyarakat bisa memperbaiki kehidupan dari bekerja di industri pariwisata. Akhirnya, pariwisata membuka peluang untuk berwirausaha dengan menjajakan berbagai kebutuhan wisatawan, baik produk barang maupun produk jasa. 7.1.1.3 Menciptakan Lapangan Kerja Baru Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global dewasa ini diharapkan lebih berpihak bagi kesejahteraan masyarakat Manukaya serta mampu memberikan manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata dan berkelanjutan. Sebagai komoditas, pariwisata mencakup mata rantai kegiatan yang sangat panjang dan mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya dengan jangkauan yang sangat luas. Sejumlah tenaga kerja terserap ke dalam sektor pariwisata dan sektor-sektor lainnya yang terkait. Semua itu akan
275
memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja khususnya bagi masyarakat Desa Manukaya serta sekaligus menyebarkan pemerataan. Terkait dengan hal itu, Kepala Desa Manukaya yang diwawancarai tanggal 30 Maret 2010 mengatakan sebagai berikut. Pura Tirta Empul sebagai salah satu daya tarik wisata di samping beberapa daya tarik wisata yang lain, seperti Pura Pegulingan, Pura Mangening dan Pura Sakenan sangat membantu perekonomian masyarakat Manukaya. Dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian masyarakat terdistribusi terutama sektor industri dan kerajinan. Peranan pariwisata juga dapat dilihat dari konstribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, walaupun tidak ada angka pasti dalam catatan statistik. Menurut Kepala Desa Manukaya, penyerapan tenaga kerja melalui sektor pariwisata hanya mencapai 10-15% dari jumlah penduduk saat ini. Komodifikasi Pura Tirta Empul juga diarahkan untuk mendorong pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk budaya masyarakat setempat. Keuntungan yang paling jelas akibat adanya pengembangan pariwisata dari segi ekonomi adalah mendatangkan devisa, terciptanya kesempatan kerja, serta adanya kemungkinan
bagi
masyarakat
Manukaya
penerima
wisatawan
untuk
meningkatkan tingkat pendapatan dan standar hidup. Dengan demikian, dampak pariwisata terhadap perekonomian masyarakat sangat positif, baik dilihat dari peranannya terhadap penciptaan pendapatan bagi masyarakat dalam menciptakan kesempatan kerja, efek penggandaan yang ditimbulkan, sebagai sumber penghasil devisa, untuk mendorong ekspor khususnya barang-barang hasil industri kerajinan, dan merubah struktur ekonomi
masyarakat ke arah yang lebih
seimbang (Erawan, 1993 : 293). Pariwisata juga dapat memunculkan perubahan pada struktur pekerjaan dan struktur sosial ekonomi masyarakat Manukaya. Kecenderungan ini tentu
276
dapat dianggap sebagai fenomena yang bersifat positif, karena peluang ekonomi dan sosial yang tercipta dapat mengurangi “ketimpangan sosial” (Dean, 1999 : 64). Akan tetapi, peluang sosial ekonomi saja tidaklah cukup untuk menyatakan bahwa masyarakat lokal (baca Manukaya) telah mencapai tarap kesejahteraan lahir dan batin. Peluang ekonomi dan sosial pastilah juga menimbulkan perubahan-perubahan karakter masyarakat Desa Manukaya, seperti misalnya memasak yang sebelumnya menggunakan kayu bakar, kini menggunakan kompor gas. Demikian juga sebelumnya masyarakat berbelanja untuk keperluan seharihari di pasar tradisional, sekarang mereka berbelanja di pasar swalayan. Sebagaimana halnya teknologi, prasarana transportasi, juga membawa serta berbagai masalah dalam kehadirannya di kawasan komunal. Tataguna ruang yang dilandasi oleh norma-norma agama dan adat-istiadat, tergeser oleh tuntutan ruang gerak kendaraan bermotor. Masuknya lintasan-lintasan umum ke pelosokpelosok desa, juga berpengaruh terhadap sikap ”malu” sebagai warga desa untuk melakukan aktivitas-aktivitas petani seperti halnya mencangkul, memelihara itik, atau kegiatan-kegiatan di sawah lainnya. Dengan bersandar pada tradisi dan konsepsi-konsepsi yang terlanjur dianggap “lokal genius”, seperti tri hita karana, yang juga dianggap (belum tentu sepenuhnya dilaksanakan) menjadi pedoman berperilaku sehingga masyarakat Desa Manukaya semakin tampak romantis dan emosional. Bahkan, aktivitas bisnis atau perdagangan dapat merusak sistem nilai yang memang semakin berkurang kapasitasnya. Reduksi atas sebagian nilai luhur semacam itu juga telah menimbulkan “kejutan budaya”, paling tidak dalam menerima pengaruh budaya
277
global yang terbawa oleh pergaulan antarbangsa melalui kegiatan pariwisata dan menciptakan lapangan kerja baru. Bagaimana pun upaya menjadikan peluang ekonomi sebagai acuan dalam pembangunan fasilitas wisata patut dibenarkan. Karena itu, konsep pembangunan semacam itu tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga sebagian penduduk lokal, terutama yang bertempat tinggal di pinggir-pinggir jalan utama. Mereka secara bersama-sama membangun fasilitas wisata yang dapat diprediksi akan menimbulkan dampak positif dengan mengesampingkan dahulu dampak negatifnya. Sudah dapat diprediksi bahwa dampak positifnya antara lain meningkatkan kesempatan kerja masyarakat lokal. Pariwisata adalah kegiatan dinamis yang melibatkan banyak orang serta menghidupkan berbagai bidang usaha. Pariwisata juga dapat dianggap sebagai kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah, sebagai usaha jasa wisata. Usaha jasa wisata meliputi penyediaan jasa pelayanan dan jasa penyelenggaraan wisata, antara lain terdiri atas usaha jasa perjalanan wisata, pengatur dan pramuwisata, informasi pariwisata, dan impresariat pariwisaa. Usaha jasa perjalanan wisata merupakan usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata. Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.
278
Jasa biro perjalanan wisata merupakan kegiatan usaha yang bersifat komersial yang mengatur, menyediakan, dan menyelenggarakan pelayanan bagi seseorang atau kelompok orang untuk melakukan perjalanan dengan tujuan utama berwisata. Bisnis utamanya membuat atau menyusun paket wisata, menjual kepada wisatawan, dan memberi pelayanan kepada wisatawan yang membeli paket wisata. Paket wisata itu berupa beberapa komponen pariwisata, seperti transport, hotel, makan-minum, objek wisata, pertunjukkan, yang dirangkai menjadi satu paket perjalanan dan dijual dalam satu kesatuan harga. Usaha jasa pariwisata merupakan usaha yang menyediakan tenaga pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Pramuwisata adalah seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk tentang objek wisata. Usaha jasa pramuwisata merupakan kegiatan usaha bersifat komersial yang mengatur, mengkoordinasikan, dan menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan layanan bagi seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata. Jasa informasi wisata merupakan jasa penyediaan informasi, penyebaran dan pemanfaatan informasi kepariwisataan, seperti objek, kalender wisata, adat istiadat, penukaran mata uang, akomodasi dan promosi. Kegiatan usaha jasa informasi pariwisata meliputi usaha penyediaan informasi, penyebaran, dan pemanfaatan informasi kepariwisataan. Informasi kepariwisataan disusun secara lengkap sehingga mampu memberikan daya tarik untuk berwisata dan mampu memberikan kejelasan mengenai daya tarik wisata. Termasuk ke dalam kegiatan penyediaan jasa informasi pariwisata berupa kegiatan promosi dan pemasaran
279
yang dapat dilakukan oleh badan usaha bidang pariwisata, perseorangan, atau kelompok sosial di dalam masyarakat. Terakhir, adalah usaha jasa impresariat atau usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi. Usaha ini merupakan kegiatan pengurusan penyelenggaraan
hiburan,
mulai
dari
mendatangkan,
mengirim,
dan
mengembalikan, dan menentukan tempat, waktu, serta jenis hiburan. Hiburan merupakan bentuk penyajian atau pertunjukkan seni untuk memberi rasa senang kepada
pengunjung
dengan
mendapatkan
imbalan
jasa,
dengan
tetap
memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan kesusilaan (Ismayanti, 2010 : 113120). Berdasarkan
paparan
di
atas
maka
tidak
terbantahkan
bahwa
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global melibatkan banyak orang. Pariwisata merupakan industri yang menawarkan beragam jenis pekerjaan kreatif, sehingga mampu menampung jumlah tenaga kerja yang cukup banyak. 7.1.2
Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Manukaya, sesungguhnya telah lama menjadi perhatian khusus para
pakar arkeologi dan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Prasasti Manukaya pada abad X mencatat intensifnya prosesi ritual keagamaan yang memberi warna tersendiri bagi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Latar belakang sejarah masyarakat Desa Manukaya terbentuk dari perpaduan yang serasi antara agama Hindu, adat-istiadat, seni, pandangan hidup, dan lembaga-lembaga sosial budaya
280
yang ada. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, perubahan dan kelangsungan selalu terjadi dalam perjalanan sejarah. Seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan sosial budaya, maka adat, tradisi, dan budaya masyarakat juga mengalami perubahan. Perubahan dan pergeseran tata nilai sosial dalam suatu kebudayaan tentulah membawa dampak sosial budaya bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Pura Tirta Empul di Desa Manukaya pada awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan masa
kini Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi yang mengarah
komersialisasi karena ditata untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut Sifullah (1994 : 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas yang telah diubah menjadi hubungan komersial. Kepentingan kapitalisme menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Dalam hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi Pura Tirta Empul dalam penampilannya, yakni objek, kualitas bahan, ornamen atau ragam hias, pewarnaan akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar. Berdasarkan asumsi dasar mengenai keterkaitan antara komoditas Pura Tirta Empul dengan kehidupan sosial budaya masyarakat, maka Pura Tirta Empul sebagai produk budaya manusia merupakan hasil kebudayaan dari suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang saling terkait, khususnya antara unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi, dan komersial tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, saling terkait, atau bahkan ada saling
281
bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan saling terkait tersebut berorientasi pada kehidupan atau kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu kesatuan secara menyeluruh. Pengaruh arus budaya global yang berkembang dewasa ini berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme yang mengacu pada komodifikasi bentuk-bentuk budaya, semakin memperjelas arah pergeseran terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Salah satu dampak komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global adalah teralihnya orientasi nilai-nilai magis religius ke nilai profan. Pergeseran dari sakralitas ke profanitas tidak dengan sendirinya terjadi, tetapi melalui proses pertentangan-pertentangan, sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Kemudian, jika dikaitkan dengan perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbukanya akses pengaruh luar dalam bentuk pariwisata terhadap pandangan hidup manusia, maka perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi. Di era globalisasi Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi untuk dijadikan barang dagangan dalam bentuk tampilan. Sebagai sebuah kegiatan ekonomi, pariwisata berpeluang besar dalam proses komodifikasi sebuah produk budaya. Industri pariwisata telah memunculkan etos kapitalisme secara terselubung (Picard, 2006 : 189). Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga memberikan pengaruh terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata mempunyai energi pendobrak yang kuat dan mampu
282
membuat masyarakat setempat mengalami perubahan, baik ke arah perbaikan maupun ke arah penurunan (degradasi) dalam berbagai aspek. Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993 : 26) muncul karena industri pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu wisatawan, masyarakat setempat, dan hubungan wisatawan dan masyarakat. Dampak sosial budaya muncul apabila terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat ketika (1) wisatawan membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal dan tradisional menjadi konsumsi ekonomi. Pengusaha pariwisata mengubah sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan (3) wisatawan dan masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan munculnya ide-ide baru. Terkait dengan penelitian ini, dampak komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dampak komodifikasi Pura Tirta Empul terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Manukaya cenderung bersifat negatif yang dapat mendatangkan kerugian, seperti terjadinya komersialisasi tempat suci, kaburnya identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala hiperspiritualitas.
283
7.1.2.1 Komersialisasi Tempat Suci Pura adalah tempat suci, tempat peribadatan bagi umat Hindu. Demikian pula Pura Tirta Empul, adalah tempat suci bukan saja bagi umat Hindu Desa Manukaya, tetapi juga umat Hindu dari daerah lain di Bali. Dalam pandangan hidup masyarakat Manukaya sebagai suatu perwujudan nilai budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, terkandung suatu konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan serta pemikiran-pemikiran mengenai wujud kehidupan yang dinilai baik. Pandangan hidup yang demikian merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat dan diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, masyarakat Desa Manukaya membangkitkan tekad warganya untuk mewujudkannya. Demikian pula dalam sistem nilai budaya masyarakat Manukaya terdapat suatu pandangan menilai fungsi suatu kehidupan yang didasarkan atas azas kebersamaan, azas kekeluargaan, dan zas berbakti. Ketiga azas itu berpangkal pada pandangan hidup masyarakat yang menganggap bahwa manusia tidak hidup sendiri, melainkan dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Alam pikiran seperti itu disebut sistem makrokosmos, yaitu manusia merasakan dirinya sebagai unsur kecil dari alam semesta ini. Tatakrama kemasyarakatan di Desa Manukaya yang lazimnya disebut sistem sosial, memotivasi warga masyarakat untuk berorientasi kepada pentingnya nilai suka-duka di dalam kehidupan masarakat. Nilai suka-duka memancar dalam semangat gotong-royong yang tampak jelas dalam aktivitas-aktivitas sosial. Di samping itu, nilai suka-duka juga merupakan refleksi daripada solidartas sosial
284
yang muncul dari azas kebersamaan dan kekeluargaan. Gotong-royong sebagai realisasi pernyataan rasa solidaritas persekutuan hidup bersama dalam kelompok sosial, juga merupakan suatu proses yang menjurus kepada kegiatan sosialisasi. Secara konseptual, sosialisasi berarti suatu proses belajar tentang norma-norma dalam masyarakat dan belajar tentang nilai-nilai kepribadian. Nilai-nilai kehidupan luhur warisan budaya yang telah melembaga dalam adat-istiadat yang diwariskan turun-temurun, merupakan landasan fundamental dalam menciptakan suasana kehidupan yang tentram dalam menuju kesejahteraan. Sementara itu, azas kebersamaan juga mendorong manusia untuk berorientasi kepada sesama dan berbakti kepada yang Maha Kuasa. Sesuai dengan keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Manukaya, bahwa rasa bakti diwujudkan dalam bentuk yadnya, yaitu persembahan suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa, dan para leluhur. Pandangan hidup seperti itu menjadi pedoman masyarakat Manukaya yang terhimpun dalam sebuah lembaga adat yang disebut desa adat. Lembaga ini merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun. Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan sosial budaya, maka tradisi dan budaya yang berlaku dalam masyarakat juga bergeser dan berubah. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam alam postmodern, sebagai wilayah kajian budaya dalam penelitian ini berubah tampilan ke arah yang lebih menonjolkan keindahan melalui ragam hias dan ornamen sebagai unsur baru yang disesuaikan dengan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat pendukung produk
285
budaya tersebut. Produk budaya Pura Tirta Empul kemudian dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan hidup masyarakatnya agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, produk budaya yang berbentuk Pura Tirta Empul, selain difungsikan untuk kepentingan keagamaan, juga dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi masyarakat pendukungnya. Masyarakat Desa Manukaya amat menyadari akan perubahan yang memang harus terjadi. Perubahan adalah suatu proses, bahkan perubahan itu diterima sebagai konskuensi perkembangan zaman yang harus terjadi di mana pun juga. Perkembangan pariwisata yang membawa budaya global dewasa ini semakin memperjelas arah perubahan dan pergeseran kondisi sosial budaya masyarakat. Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme. Akibatnya, penginternalisasian berbagai gagasan yang tercakup dalam neoliberalisme tidak terhindarkan bagi masyarakat Desa Manukaya. Bersamaan dengan itu, maka ide-ide yang tercakup dalam neoliberalisme tersebar pada masyarakat (Atmadja, 2008 : 244). Karena itu, tindakan komersialisasi Pura Tirta Empul tidak terlepas dari pengaruh liberalisme. Komersialisasi pura lewat penyewaan kotak-kotak/locker tempat menaruh pakaian terkait dengan banyaknya pengunjung yang melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, terutama pada hari Minggu, Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, dan hari-hari tertentu lainnya. Dengan membayar uang Rp. 4.000, pengunjung dapat memanfaatkan locker tersebut beserta kunci yang diberikan untuk membuka dan menutup.
286
Gambar 7.3
Komersialisasi pura lewat penyewaan kotak untuk menaruh pakaian (Dok. Setiawan, 2010)
Logika komodifikasi memunculkan pemaknaan baru terhadap pura sebagai tempat suci. Logika komodifikasi memaknai pura sebagai suatu komoditas atau barang dagangan. Logika komodifikasi terjebak pada rasionalitas instrumental. Hal itu menimbulkan implikasi terhadap pemaknaan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, yakni bukan sebagai zona yang sakral melainkan sebagai instrumen untuk mendapatkan uang. Kesucian Pura Tirta Empul telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai agama. Masyarakat Manukaya telah mengalami perubahan, sehingga zona suci telah mengalami pembongkaran semiologis dan didekonstruksi untuk memperoleh makna lain yang baru, yakni makna ekonomi.
287
Gambar 7.4
Komersialisasi pura lewat penyewaan selendang dan kain bagi wisatawan untuk memasuki pura (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar di atas menunjukkan bahwa para wisatawan yang ingin masuk pura diharapkan memakai kain dan selendang dengan cara menyewa sebesar Rp.5.000. Kain dan selendang tersebut dikembalikan lagi ketika para wisatawan sudah selesai mengunjungi Pura Tirta Empu. Gambar 7.3 dan 7.4 memperlihatkan bagaimana Pura Tirta Empul dikomersialisasikan untuk mendatangkan uang. Dalam kaitan ini, Bendesa Adat Manukaya, I Made Mawi Arnata (wawancara, 25 April 2010) mengatakan : ”Dalam lembaga dengan pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata, sesungguhnya hati nurani saya kurang senang, karena pura adalah tempat suci, bukan objek wisata. Tetapi karena bakti kepada pemerintah dan sifat toleransi, serta dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat maka hal tersebut dapat diterima dengan catatan kesucian pura betul-betul dipertahankan. Kami mendukung usaha pemerintah dalam rangka pengembangan pariwisata untuk meningkatkan taraf hidup masyaskarat”.
288
Pernyataan di atas jelas mengisyaratkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka potensi dan sumber daya yang dimiliki, termasuk sumber budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai komoditi untuk dipasarkan, karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan bisa mengangkat taraf hidup masyarakat di Desa Manukaya. Dalam sistem ekonomi kapitalis, pasar adalah tempat membeli dan menjual komoditas. Pura Tirta Empul merupakan komoditas bagi pengelolanya, dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya. Di dalamnya mencakup modal kultural, yakni spesifik, memiliki keindahan, keunikan sebagai sebuah pusaka budaya. Penguasa ekonomi telah mampu memainkan perannya untuk memenuhi hasrat manusia dalam berbudaya. Produk budaya Pura Tirta Empul menjadi komoditi bersama-sama dengan promosi komoditi lainnya, yang dibungkus dengan tujuan melestarikan dan memperkenalkan Pura Tirta Empul di dalam dan di luar negeri. Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah memprakarsai program-program duta wisata, duta budaya, dalam rangka kerjasama antar daerah dengan paket kemasan Pura Tirta Empul sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Mereka merintis kerjasama dengan para sponsor sehingga kebebasan berekspresi dan memodifikasi, memproduksi Pura Tirta Empul dalam wujud yang sesuai dengan selera konsumen. Penekanan pada nilai tukar mengharuskan Pura Tirta Empul meningkatkan penampilannya agar selera konsumen terpenuhi secara optimal. Untuk itu, pengelola berupaya terus mengembangkan kreaktivitas dan memodifikasi produk
289
budaya untuk menarik konsumen. Strategi ini mengakibatkan Pura Tirta Empul bergeser menjadi barang komoditi. 7.1.2.2 Kaburnya Identitas dan Nilai Sejarah Pusaka budaya dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang luas di kalangan mayarakat. Tumbuhnya kesadaran tentang arti penting pusaka budaya yang merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi yang diberikan, melahirkan berbagai upaya pengembangan dan pemanfaatan untuk kepentingan peningkatan kehidupan masyarakat. Di era globalisasi dewasa ini, salah satu kecenderungan masyarakat luas adalah tumbuhnya kesadaran untuk memahami warisan budaya masa lalu yang berwujud pusaka budaya. Upaya untuk memahami pusaka budaya tidak hanya dilakukan dalam wilayah negara sendiri, tetapi juga secara lintas negara. Wisatawan dapat mengkonsumsi pusaka budaya sebagai daya tarik karena estetika, emosi, dan nilai sejarah yang dimiliki oleh suatu objek (Ardika, 2007 : 47). Menurut Bourdieu (dalam Harker, 2005 : 56-57), kekayaan budaya seperti itu oleh masyarakat pemilik kebudayaan dapat dijadikan modal budaya. Modal budaya adalah kemampuan untuk membaca dan memahami kode-kode budaya, tetapi kemampuan itu tidak didistribusikan secara merata di antara kelaskelas sosial. Sebuah produk budaya mempunyai makna hanya bagi mereka yang memiliki modal dan bagi yang dapat membaca kode-kode budaya tersebut. Dalam menggali makna selera untuk reproduksi sosial, Bourdieu melihat hubungan
290
timbal balik antara modal budaya dan modal ekonomi. Orang secara aktif menanamkan modal budaya untuk mendapatkan modal ekonomi. Masyarakat Manukaya telah berupaya mencoba mentransformasikan modal budaya berupa Pura Tirta Empul menjadi modal ekonomi (dalam konsep Bourdieu). Dalam teorinya, pusaka budaya berupa Pura Tirta Empul di Desa Manukaya yang dimanfaatkan sebagai modal pengembangan pariwisata merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari sistem pembangunan setempat. Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi karena dijadikan komoditas untuk dijual kepada wisatawan. Richards (1996 : 262) mengidentifikasi hal seperti itu sebagai komodifikasi budaya, yaitu bergesernya batas-batas budaya dan ekonomi sebagaimana telah terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya. Hal penting dari keberadaan Pura Tirta Empul adalah identitas itu sendiri, tercermin dari elemen-elemen fisik bangunan yang ada. Identitas adalah penanda benda, baik secara individual maupun secara kolektif, terlebih benda tersebut dianggap bernilai dan bersejarah yang membedakan dengan identitas lainnya. Pura Tirta Empul sebagai hasil kebudayaan yang memiliki estetika dari suatu masyarakat, memiliki identitas yang membuatnya tidak sama dengan yang lain. Komodifikasi Pura Tirta Empul menyebabkan kaburnya sebuah identitas budaya. Selain
mengaburkan
identitas,
komodifikasi
Pura Tirta
Empul
berdampak pula pada hilangnya nilai sejarah. Dalam kasus Pura Tirta Empul, bukannya sejarah itu tidak ada, tetapi sejarah itu dihilangkan melalui komodifikasi
291
bangunan-bangunan yang ada. Pusaka budaya di mana pun, termasuk Pura Tirta Empul, mampu menceritakan sejarahnya sendiri. Sejarah sangat terkait dengan identitas dan kebanggaan masyarakat. Tidak mengherankan, Pura Tirta Empul saat ini berada dalam ancaman kehilangan sejarah dan identitas akibat komodifikasi terus berlangsung demi memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam kaitan ini IGN Cakradana (yang diwawancarai 26 April 2010) mengatakan. ”Pura Tirta Empul sesungguhnya merefleksikan semangat orisinal dan sumber identitas. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang tidak memiliki identitas/jatidiri. Jadi, jika komodifikasi terus terjadi, tidak ada lagi nilai sejarah yang dikandung dalam Pura Tirta Empul, pura kebanggaan masyarakat Desa Manukaya. Bangunan-bangunan yang berdiri adalah gudang penyimpanan bagi memori sosial budaya yang membingkai kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. Bangunan-bangunan yang ada merupakan sumber inspirasi untuk menginterpretasikan peristiwa sejarah dan pengalaman masa lalu”. Pernyataan di atas jelas sangat menyayangkan terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul yang mengakibatkan kaburnya sebuah identitas, bahkan hilangnya nilai sejarah yang sangat diperlukan oleh generasi yang akan datang. Ia sendiri mengaku menyukai sejarah yang bisa dilihat dari arsitektur bangunan. Jadi, jika bangunan bersejarah yang ada dikomodifikasi, maka tak ada yang istimewa dari sebuah produk budaya Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul hanya tinggal tidak lebih dari suatu komoditas yang bisa menghasilkan uang dari para wisatawan. Masyarakat Desa Manukaya, cepat atau lambat segera akan kehilangan identitas dan nilai sejarah dari sebuah produk budaya yang bernama Pura Tirta Empul.
292
7.1.2.3 Pencemaran Kesucian Pura dan Munculnya Hiperspiritualitas Pura bukanlah objek kunjungan wisatawan, melainkan suatu tempat suci untuk memuja Tuhan
dengan segala manifestasinya dan roh suci leluhur.
Meskipun demikian karena pura memancarkan suasana estetik dan artistik dalam lingkup kesucian, maka pura sebagai tempat suci banyak mendapat kunjungan para wisatawan. Demikian pula Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul sangat disucikan oleh masyarakat Desa Adat Manukaya. Mereka selalu berusaha menjaga kesuciannya serta memanfaatkannya sebagai
tempat
persembahannya
untuk
mendapatkan
keselamatan
dan
kebahagiaan dalam kehidupan ini. Tuhan menurunkan agama ke dunia ini untuk menuntun manusia mengembangkan moral yang luhur dan mental yang tangguh. Moral yang luhur dapat menjalin kehidupan bersama yang harmonis, saling mengasihi, tolong-menolong, dan menghilangkan kebencian satu sama lain. Tuntunan itu untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan agar hidup ini memperoleh kebahagiaan lahir dan batin. Pura Tirta Empul, seperti diketahui, banyak mendapat kunjungan dari para wisatawan mancanegara. Tidak jarang para wisatawan itu bahkan masuk ke dalam pura sampai ke halaman dalam, halaman tersuci dari sebuah pura. Mereka ingin mengetahui lebih mendalam tentang keberadaan tempat suci umat Hindu, seperti bentuk bangunan suci, cara bersembahyang, proses upacara keagamaan, sesaji persembahan kepada Tuhan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sulit menjaga kesucian pura, sehingga memerlukan suatu proses penyucian kembali secara berulang-ulang.
293
Pemangku Pura Tirta Empul Dewa Gde Wenten (wawancara, 10 Mei 2010) mengatakan : ”Sesajen untuk upacara pembersihan pura dihaturkan setiap tiga bulan sekali untuk membersihkan areal pura dari keletehan/kecemaran akibat kunjungan wisatawan yang kita tidak tahu kualitasnya. Bagaimana pun pariwisata telah banyak memberi materi finansial kepada desa adat, dan semua itu harus disyukuri. Para pengunjung kami harapkan selalu berpakaian sopan, paling tidak menggunakan selendang jika masuk pura. Kita sudah memasang pengumuman untuk pelarangan bagi kondisi-kondisi tertentu, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya orang itu ”ketika berkunjung ke tempat suci”. Selanjutnya I Gde Udara mengungkapkan seperti di bawah ini : ”Saya tahu dengan jelas batas antara yang sakral dan yang profan, antara apa yang dapat dijual dan apa yang harus dilindungi”. Saya tahu bagaimana memanfaatkan potensi pariwisata untuk memberi keuntungan ekonomi kepada masyarakat dan meminimalkan kerugian (polusi sosial dan budaya) (wawancara, 29 Maret 2010). Pernyataan-pernyataan
di
atas
menunjukkan
bahwa
masyarakat
sesungguhnya sadar akan dampak negatif pariwisata terhadap kesucian sebuah daya tarik wisata berupa pura. Mereka berusaha meminimalkan dampak-dampak tersebut melalui proses upacara untuk pembersihan kembali. Para wisatawan lebih memandang pura sebagai objek rekreasi sematamata tanpa menghindarkan nilai kesucian pura. Ada perasaan kurang khusyuk di kalangan umat Hindu yang sedang melakukan persembahyangan atau upacara agama jika dikerumuni oleh para wisatawan, seperti penuturan Putu Sulastri (wawancara 2 April 2010) dari Dusun Tatag sebagai berikut. “Ketika sedang bersembahyang dengan khusyuk tiba-tiba datang rombongan wisatawan mancanegara yang ingin melihat-lihat dan mengambil foto di halaman dalam Pura Tirta Empul, mereka dengan bebasnya berkeliaran ke sana-ke mari tanpa begitu mempedulikan orang yang sedang bersembahyang. Bahkan mereka juga dengan seenaknya
294
mengambil foto bangunan suci di depan orang yang lagi sembahyang, dan itu tentu sangat mengganggu konsentrasi umat” Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh I Made Puja (wawancara 22 April 2010) dari Desa Manukaya Anyar. ”Saya lebih sering bersembahyang di Pura Tirta Empul pada malam hari, karena sangat tenang tidak ada gangguan para wisatawan. Pada pagi dan siang hari Pura Tirta Empul banyak dikunjungi para wisatawan yang dirasa sangat mengganggu ketenangan dalam bersembahyang”. Kedua pernyataan di atas memperjelas bahwa kedatangan para wisatawan
pada
saat
melakukan
persembahyangan
sangat
mengganggu
konsentrasi umat. Konsep pariwisata budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali tampaknya masih perlu dipertegas, terutama mengenai sejauh mana para wisatawan diperbolehkan memasuki sebuah tempat suci. Perjalanan pariwisata budaya memang senantiasa diuji dan berbagai permasalahan yang menyentuh adat dan agama tidak terpecahkan, sehingga menggelisahkan umat atau membuat umat seperti kehilangan bahasa untuk memahami hubungan antara fenomena pariwisata dengan kebudayaannya. Masalah wisatawan boleh atau tidak masuk ke pura, mesti berselendang atau tidak, selama ini juga tidak mendapat penanganan dan perwujudan yang standar dan seragam. Pemerintah sudah mengeluarkan larangan untuk wisatawan memasuki Pura Besakih karena dianggap oleh masyarakat aktivitas wisatawan itu mencemarkan kesucian tempat suci, tetapi di banyak pura lain, termasuk Pura Tirta Empul wisatawan boleh leluasa masuk ke pura. Di depan pura ada pengumuman dalam bahasa Indonesia dan Inggris (Gambar 7.5) yang antara lain menyebutkan hanya turis yang “datang bulan” yang tidak boleh masuk dan ada
295
petugas yang siap menyambut wisatawan dengan selendang. Wisatawan pun diarahkan untuk memasukkan uang di kotak donasi yang telah disiapkan.
Gambar 7.5
Pengumuman Larangan untuk Memasuki Tempat Suci Lewat Papan Pengumuman (Dok. Setiawan, 2010)
Papan pengumuman di atas sesungguhnya bertujuan untuk menjaga kesucian Pura Tirta Empul
dari perilaku-perilaku yang tidak pantas ketika
memasuki sebuah tempat suci. Kunjungan para wisatawan juga dirasa cukup mengganggu konsentrasi umat ketika bersembahyang (Gambar 7.6). Bagaimana tidak, sedang khusyuknya bersembahyang, tiba-tiba datang serombongan wisatawan dengan berbagai tujuan dan kepentingannya masing-masing. Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah
296
menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya. Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2009 : 336).
Gambar 7.6
Kunjungan wisatawan di halaman dalam/jeroan pura sangat mengganggu konsentrasi umat yang sedang bersembahyang (Dok. Setiawan, 2010)
Kedatangan wisatawan di halaman dalam Pura Tirta Empul cukup mengganggu konsentrasi umat di dalam persembahyangan. Walaupun demikian, umat tetap melakukan kegiatan keagamaan sebagai wujud bakti bakti kepada Tuhan dan para leluhur. Mereka datang ke pura dengan mengaturkan sesajen, bersembahyang, dan nunas tirta.
297
Aktivitas ritual keagamaan adalah aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh setiap pemeluk agama termasuk masyarakat Desa Manukaya pada waktu yang ditentukan, sebagaimana bentuk-bentuk ibadah lainnya mengikuti contoh yang ada sebelumnya. Artinya ritual keagamaan adalah kegiatan “reproduksi” prinsip dan sifat yang telah ada, meskipun aspek budaya materi yang berkaitan dengan pelaksanaannya bisa beranekaragam, sesuai dengan keragaman tempat, kebiasaan, dan budaya yang berbeda. Ketika berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang dicontohkan, maka yang berkembang adalah apa yang disebut sebagai hiper-ritual, yaitu realitas ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkembang adalah berbagai bentuk realitas ritual artifisial dengan berbagai budaya materi dan gaya hidup yang menyertainya, justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang penyucian jiwa. Kegiatan ritual keagamaan sebaliknya berkembang menjadi ruang pemanjaan jiwa, lewat berbagai bentuk tanda, citra, gaya hidup, dan pesona objek yang ditawarkan di dalamnya. Hiperealitas adalah realitas ritual yang bersifat artifisial, yang tidak lagi berkaitan dengan realitas ritual sejati, referensi, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya, sesuai dengan ajaran kitab suci. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari realitas awal yang menjadi modal atau rujukan. Hiperitualitas menciptakan sebuah kondisi yang di dalamnya tanda ritual (ritual signs) atau citra ritual (ritual image) dianggap sebagai realitas ritual seperti ajaran kitab suci. Di dalamnya, kesemuan dianggap sebagai kenyataan, kepalsuan dianggap sebagai kebenaran. Antara bentuk kebenaran dan kepalsuan ritual, antara citra dan realitas ritual tumpang tindih, sehingga tidak dapat lagi dibedakan (Piliang, 2009 : 338). Perkembangan budaya komoditi, budaya pencitraan, dan gaya hidup dalam masyarakat konsumer telah mengiring kegiatan ritual keagamaan di Pura
298
Tirta Empul ke dalam komodifikasi ritual keagamaan. Dengan kata lain, kegiatan ritual keagamaan digiring ke dalam perangkat budaya massa, yang di dalamnya berbagai bentuk artifisialitas dan citra dikembangkan sebagai cara dalam menciptakan imajinasi kolektif dan manipulasi pikiran massa, yang di dalamnya berlangsung komodifikasi kesucian (Storey, 2003 : 19). Dua atau tiga tahun belakangan ini terjadi lonjakan yang sangat tajam kedatangan umat untuk melukat di kolam suci Pura Tirta Empul, terutama hari-hari tertentu. Kolam suci dipenuhi umat dari pagi hingga malam, mereka secara tertib melakukan prosesi melukat melalui air pancuran yang jumlahnya dua puluh dua buah dari barat ke timur. Bapak bisa lihat tumpukan canang pada masing-masing pancuran dan tempat-tempat lain di sekitarnya (wawancara dengan pecalang Made Suja, 3 Mei 2010). Pernyataan di atas menarik untuk dikaji bahwa umat menghaturkan canang pada masing-masing pancuran, karena fungsi air pada masing-masing pancuran berbeda-beda, ada yang disebut tirta penglukatan, tirta pelebur mala, tirta pelebur ipian ala, tirta sudamala, dan lain-lain. Penyebutan fungsi masingmasing tirta pancuran juga menarik mengingat sumber mata airnya adalah satu yaitu yang terletak di halaman tengah Pura Tirta Empul.
Gambar 7.7
Suasana prosesi melukat, canang-canang dipersembahkan pada masing-masing pancuran. (Dok. Setiawan, 2010)
299
Gambar di atas menunjukkan betapa besar kepercayaan masyarakat terhadap khasiat tirta (air suci) di Pura Tirta Empul yang mengalirkan air dari sumbernya di halaman tengah pura melalui pancuran-pancuran yang ada di halaman luar. Kehidupan spiritual tampak masih sangat kuat dalam masyarakat Bali. Dalam konteks ini, kehidupan spiritual yang terjadi bukan merupakan realitas, walaupun secara riil memang ada. Fenomena seperti itu oleh Baudrillard (1997 : 36-37) disebut dengan simulakra yang menyatakan bahwa semua sistem, semua hal yang ada, merupakan kehampaan. Tidak ada apapun, kecuali kepurapuraan atau simulasi. Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri, tetapi hanya pura-pura menjadi dirinya sendiri. Ketradisionalan mereka hanya sekedar tampilan fisik sebagai suatu bentuk kepura-puraan. Secara sepintas dapat dilihat bahwa masyarakat masih kuat melakukan tradisi spiritualnya. Namun sesungguhnya ternyata merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang modern yang berpura-pura tradisional. Sebagai simulakra, tradisionalisasi yang dilakukan masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah peristiwa kebudayaan, yaitu gejala yang hanya dapat dimengerti bila kita melihat konteksnya. Geertz (1992 : 17) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal dapat dijelaskan secara mendalam. Sebuah peristiwa tidak dapat hadir dalam ruang kosong,
melainkan
melingkupinya.
selalu
hadir
di
tengah-tengah
berbagai
hal
yang
300
Simulakra sebagai sebuah konsep merupakan satu bentuk kepura-puraan, bahwa segala sesuatu yang terjadi bukanlah hal yang sesungguhnya dan tidak ada yang orisinal. Simulakra yang dilakukan oleh masyarakat adalah sandiwara tradisionalisasi yang tidak hanya ditujukan untuk wisatawan, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Secara prinsipil, kegiatan ritual keagamaan seharusnya membawa perubahan yang signifikan pada pola perilaku sosial dan keagamaan, sebagai akibat logis meningkatnya kualitas spiritual. Kegiatan ritual keagamaan menjadi sebuah ruang tempat penempaan kualitas spiritual, dengan cara mengekang berbagai aspek materialitas. Akan tetapi, ketika aktivitas ritual itu terperangkap di dalam jagad komoditi, maka aktivitas ritual akan terpenjara di dalam jagad materialitas yang dikondisikan untuk merayakan citra, tanda, penampakan permukaan, ketimbang makna hakiki, nilai spiritual, dan hikmah-hikmah di balik kegiatan ritual itu sendiri. Yang terjadi adalah pendangkalan ritual itu sendiri, yang semakin tercabut dari makna hakikinya. Hiperitualitas meredusir ritual menjadi fenomena permukaan (surface), penampakan (appearance), dan tanda-tanda (signs), serta menjauhkan setiap orang pada makna dan nilai-nilai spiritual. Ritual direduksi menjadi simbolsimbol yang digunakan sebagai sebuah ungkapan, identitas, dan kepuasan, sebagai sebuah proses semiotisasi ritual dengan makna-makna yang sesungguhnya tidak bersifat hakiki. Kegiatan ritual ini tidak berkaitan dengan konteks ibadah, akan tetapi diciptakan dan dikonstruksi sedemikian rupa, seakan-akan prosesi itu menjadi bagian dari wacana ibadah. Hiperitualitas menjadikan ibadah ritual
301
menjadi bagian dari gaya hidup (life-style) yang mengelompokkan masyarakat Manukaya menjadi kelompok-kelompok gaya hidup, yang menampakkan ciri, tanda, simbol, dan identitas lewat pakaian, hiasan yang dikenakan. Ada kelaskelas sosial dalam prosesi ritual yang memasukkan logika komoditi kapitalisme dan konsumerisme di dalamnya. Nilai guna pakaian dan perhiasan telah bergeser ke arah nilai tanda (sign value) yang menjauhkan setiap orang Manukaya dari hakikat ritual yang sesungguhnya. Kegiatan ritual keagamaan telah menjelma menjadi bagian dari budaya konsumerisme. 7.2 Makna Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata Global Makna dalam konteks penelitian ini diartikan sebagai, arti, maksud, yang ditunjukkan masyarakat dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu objek. Untuk memahami makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global, teori semiotika menjadi sangat penting, karena semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tentang makna sebagai bagian dari kehidupan social.
Penggunaan
teori
semiotika
dalam
berbagai
cabang
keilmuan
dimungkinkan, karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain sebagai fenomena bahasa. Barthes (Piliang, 2003 : 261) mengembangkan sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi
302
(connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan sistem pemaknaan konotasi, yaitu memberikan makna terhadap tanda-tanda yang ada dalam konteks komodifikasi Pura Tirta Empul berdasarkan penafsir dengan cara mengaitkan dengan sikap, keyakinan, dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat sekitarnya. Komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai tanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. Makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global berkaitan erat dengan proses terjadinya komodifikasi budaya, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Proses berlangsungnya industrialisasi terhadap produk budaya Pura Tirta Empul telah menjadikan Pura Tirta Empul sebagai barang komoditi. Untuk kepentingan industri pariwisata, Pura Tirta Empul
dikonstruksi kapitalisme
sebagai suatu bentuk representasi budaya masyarakat Manukaya dengan tujuan komersial. Pembangunan kebudayaan dalam rangka untuk kepentingan pariwisata sebagai bagian dari upaya pelestarian menyebabkan Pura Tirta Empul menjadi produk budaya tontonan. Sadar atau tidak sadar masyarakat sesungguhnya telah
303
ikut ambil bagian dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul. Hegemoni Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam mengkomodifikasikan Pura Tirta Empul diterima oleh masyarakat Desa Manukaya tanp protes apa pun. Makna komodifikasi Pura Tirta Empul terkait dengan penelitian ini dapat ditelusuri dari makna relegius, pelestarian budaya, kesejahteraan, dan identitas budaya. 7.2.1
Makna Religius Komodifikasi Pura Tirta Empul
mengandung makna religius bagi
masyarakat Desa Manukaya. Makna religius sebagai dasar pengembangan pariwisata dapat memperkuat jatidiri dan keyakinan krama desa adat terhadap halhal yang bersifat religius magis serta mempertebal rasa religiusitas. Di Desa Adat Manukaya bisa disaksikan aktivitas krama desa adat yang bersifat sakral berjalan bersamaan dengan aktivitas pariwisata yang profan sehingga terjadi fenomena pospiritualitas, yakni berbaurnya hal-hal duniawi dengan yang illahi. Pariwisata memaksa masyarakat dan budaya lokal berinteraksi dengan budaya global. Namun demikian, pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam mencari identitas ke masa lalu yang
bisa disebut sebagai proses tradisionalisasi. Proses ini antara lain
ditandai dengan meningkatnya kegairahan beragama serta memunculkan fenomena meningkatnya tingkat religiusitas masyarakat, seperti intensitas pelaksanaan ritual, keyakinan akan adanya alam gaib, keyakinan akan adanya benda (objek) sakral dan profan, serta perilaku keseharian yang mencerminkan dogma agama (Pitana, 2005 : 147-148). Makna religiusitas Pura Tirta Empul juga ditunjukkan oleh sebuah patung tokoh Bima yang membawa tirta kamandalu
304
yang ditempatkan di depan Pura Tirta Empul (Gambar 7.8). Tirta kamandalu merupakan air suci yang dapat memberikan kehidupan seperti halnya air suci di Pura Tirta Empul yang mempunyai multifungsi terkait dengan prosesi retual keagamaan.
Gambar 7.8
Patung Bima memegang Tirta Pertamanan Pura Tirta Empul) (Dok. Setiawan, 2010)
Kamandalu
di
Kompleks
Intensitas pelaksanaan ritual dalam kehidupan masyarakat Desa Manukaya di Pura Tirta Empul dewasa ini tidak mengalami penurunan, bahkan meningkat, baik dilihat dari aspek frekuensi maupun kemegahannya. Berbagai jenis upacara besar yang dahulu jarang dilakukan akibat keterbatasan ekonomi, justru sekarang ini dapat dilakukan dengan kegairahan masyarakat, bahkan kegiatan ritual justru berjalan lebih semarak dan megah. Pada saat ada upacara besar di Pura Tirta Empul, sebagai besar masyarakat mengalihkan perhatian sepenuhnya dari bisnis ke upacara.
305
Sehubungan dengan hal itu, Dewa Gde Wenten, pemangku Pura Tirta Empul (diwawancarai 1 April 2010) mengatakan: “Kegairahan beragama masyarakat belakangan ini terlihat sangat meningkat. Hampir setiap hari ada saja umat “ngaturang bakti” ke sini (Pura Tirta Empul), lebih-lebih pada hari-hari bulan Purnama, tilem atau kajeng kliwon umat membludak datang melukat atau bersembahyang. Seiring dengan keyakinan ini, berbagai simbol dan objek diyakini mempunyai kekuatan niskala. Berbagai perilaku umat terhadap obyek sakral dapat diamati dalam setiap prosesi ritual, baik dalam skala besar maupun kecil”. Pernyataan di atas memperlihatkan betapa kegiatan ritual berlangsung secara semarak di Pura Tirta Empul, bersamaan dengan maraknya kunjungan wisatawan baik domestik maupun asing. Dari indikator yang telah disebutkan di atas, secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa religiusitas masyarakat Manukaya tidaklah memudar akibat kemajuan ekonomi dan transformasi yang terjadi dewasa ini. Di samping pengalaman religius yang datang dengan sendirinya, banyak pula masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religius, sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama. Selain munculnya kegairahan pendalaman tatwa, muncul pula kegairahan mencari pengalaman batin (spiritual experience), seperti dapat dilihat dari munculnya kelompok-kelompok spiritual, kelompok tirta yatra, dan sejenisnya. Di samping kegairahan beragama, tradisionalisasi ini juga bisa dilihat dari semakin menguatnya ikatan-ikatan kewargaan. Pengamatan pada warga yang menyungsung Pura Tirta Empul di Desa Manukaya secara meyakinkan menunjukkan bahwa religiusitas yang tinggi telah bermuara kepada kebanggaan akan warga, serta termanifestasikan melalui kegairahan di dalam melakukan upacara di Pura Tirta Empul.
306
Di era globalisasi melalui pintu pariwisata yang menyebabkan perubahan, memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat dan kebudayaan Desa Manukaya. Makna religius dimaksudkan sebagai makna yang berhubungan dengan niskala (gaib). Dalam perubahan tersebut ada tindakan demistifikasi di dalamnya, yaitu semacam proses degradasi kesucian, terutama dalam hal arsitektur tradisional Bali yang masih ada di zaman pariwisata seperti sekarang. Akibatnya adalah hal-hal yang sebelumnya dianggap suci dan tidak bi sa di utak-atik dengan alasan apa pun, kemudian dianggap biasa-biasa saja dan dapat digunakan sekehendak hati. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas. Cara-cara orang mempraktikkan agama juga mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi, tetapi karena budaya yang mengkontekstualisasi agama itu dengan tata nilai yang berbeda. Agama dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Wisata religius mulai menjadi produk alternatif dalam industri pariwisata. Kecenderungan ini
307
menunjukkan proses komodifikasi kehidupan sehari-hari yang dikatakan oleh Baudrillard melibatkan manipulasi tanda, sehingga yang dikonsumsi bukanlah objek, tetapi sistem obyek (Featherstone, 1992 : 270). Sejalan dengan proses komodifikasi, agama kemudian menjadi faktor dalam pembentukan identitas diri yang sekali lagi menjadi alat dalam menegaskan pluralitas agama dan penganutnya. Tampak di sini bahwa agama tidak lagi menjadi suatu sistem ideologi yang memberikan basis pengetahuan dalam proses evaluasi dan praktik kehidupan seseorang, karena agama lebih merupakan ”pelengkap” kehidupan. Pasar telah membuat kehidupan beragama begitu mudah, dengan fasilitas-fasilias yang mampu menghadirkan sesuatu yang jauh menjadi begitu dekat. Konteks ini telah mengikis sifat-sifat sakral dan praktik keagamaan menjadi praktik sehari-hari dengan nilai yang jauh lebih profan. Demistifikasi arsitektural dalam Pura Tirta Empul masa kini merupakan dampak dari gerakan industralisasi pariwisata dalam kehidupan, yang pada dasarnya bersifat tradisi. Era globalisasi melalui pintu pariwisata membuat ruang arsitektur yang ada ikut mengalami posmodernisasi. Hal itu terkait dengan apa yang dalam proses budaya disebut komodifikasi, khususnya dalam hal bagaimana produk-produk seni dan budaya dikonsumsi secara baru dan berbeda oleh pemakainya. Terkait dengan religiusitas, pergerakan dan pergeseran juga terjadi pada penggunaan ukiran-ukiran di rumah-rumah penduduk Desa Manukaya. Pada masa lalu tidak sembarang orang boleh menggunakan ukiran tertentu, karena ukiran memiliki perlambang dan kekuatan magis. Ukiran Boma misalnya, pada saat ini
308
sah saja digunakan oleh kelompok masyarakat mana pun. Keangkeran penggunaannya pada masa lalu telah digeser oleh modernisasi pariwisata, sehingga secara dialektis, pertemuan keduanya melahirkan estetika kontemporer, yaitu bentuk-bentuk budaya yang muncul, seperti ukiran Boma hanya mengikuti kesenangan pemakainya. Hal yang pasti, sebagai akibat dari komersialisasi, terjadi apa yang dalam bidang kajian budaya disebut sebagai proses komodifikasi. Dengan kata lain, komodifikasi budaya telah terjadi akibat kepentingan pariwisata untuk alasan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Perkembangan pariwisata yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, ternyata tidak serta merta mengubah jatidiri masyarakat Desa Manukaya yang memegang teguh kebudayaan Bali dan agama Hindu yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ini berarti, sesuai teori kritis Agger (2007 : 64) masyarakat telah mampu merespons secara kritis, bermanfaat, dan bermakna, perubahan yang terjadi di sekitarnya. Namun demikian dari kajian yang dilakukan tampak terjadi penurunan makna religius pada pusaka budaya Pura Tirta Empul. Keadaan itu tentu disebabkan oleh perkembangan pariwisata yang terjadi belakangan ini melalui praktik-praktik bisnis sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat Desa Manukaya. 7.2.2
Makna Pelestarian Budaya Komodifikasi Pura Tirta Empul juga mengandung makna pelestarian
budaya. Pada dasarnya, setiap kebudayaan sebagai milik suatu masyarakat, dalam intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan. Itu berarti bahwa dari waktu ke waktu dapat terjadi perubahan seiring dengan
309
perubahan lingkungan dalam arti luas. Lingkungan dalam arti luas meliputi lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial. Sejarah suatu kebudayaan dapat dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu (1) pembentukan, umumnya dibentuk pada zaman prasejarah, (2) pemantapan, melalui pembangunan tradisi disertai ketentuan pola tindakan sebagai sarana intensifikasi, (3) perluasan jelajah, seiring dengan dinamika kependudukan atau dinamika politik, dan (4) pembentukan citra budaya baru, sebagai akibat dari proses akulturasi atau asimilasi (Sedyawati, 2008 : 290). Kesadaran budaya bagi seluruh masyarakat Manukaya kiranya perlu senantiasa ditumbuhkembangkan, agar berkembang kepekaan untuk menghargai budayanya. Informasi budaya yang menanamkan pemahaman multikultural, tetapi sekaligus juga memupuk nasionalisme yang sehat, kiranya perlu diberi perhatian serius oleh semua pihak, termasuk oleh media massa. Dewasa ini terlalu banyak pertimbangan komersial dimenangkan terhadap pertimbangan moral dan jatidiri. Pura Tirta Empul merupakan pusaka budaya yang strategis untuk pemertahanan budaya dan sekaligus juga sebagai jatidiri masyarakat Desa Manukaya. Adapun upacara adat dan hukum adat dalam konteks masyarakat yang berubah dewasa ini, kiranya memerlukan reinterpretasi dalam kehidupan masa kini. Tradisi-tradisi masyarakat dapat dilestarikan eksistensinya, tetapi agar tetap relevan bagi kehidupan tidak ada salahnya diberi modifikasi di mana perlu. Jadikan tradisi sesuatu yang indah, dan bukan yang memaksa atau mengekang. Deklarasi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai “the
310
right to culture” pada dasarnya harus diartikan untuk mengambil bagian dalam kehidupan berbudaya, dan mendapat kebahagiaan dari kebudayaan. Pelestarian Pura Tirta Empul dilaksanakan melalui sejumlah program pembangunan kebudayaan, adalah bagian dari pembangunan budaya yang sangat luas dan kompleks. Hal itu sudah jelas, karena tujuan pembangunan ialah untuk membangun manusia/masyarakat seutuhnya, baik yang bersifat material maupun spiritual secara selaras dan seimbang. Pembangunan kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat dianggap sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 khususnya pasal 32 beserta penjelasannya. Dalam pembangunan itu, tentu saja termasuk pembangunan produk budaya Pura Tirta Empul sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Dengan demikian, maka jelaslah betapa pentingnya usaha-usaha pelestarian pusaka budaya, yang tidak semata-mata bertujuan melestarian atau menyelamatkan bangunan kuno, tetapi yang lebih penting adalah melestarikan nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Dalam kaitannya dengan pariwisata budaya yang dikembangkan di daerah Bali, pelestarian Pura Tirta Empul harus menghadapi berbagai masalah. Seperti diketahui, kecuali menjadi daerah tujuan wisata, Bali juga menjadi pusat pengembangan kepariwisataan Indonesia bagian tengah, sehingga perkembangan pariwisata sangat pesat. Dengan demikian, maka interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan mancanegara yang mempunyai latar belakang sosial budaya berbeda menjadi sangat intensif. Pelestarian nilai-nilai budaya sesungguhnya adalah suatu seleksi dan sekaligus pemeliharaan nilai-nilai yang secara fungsional benar-benar dirasakan
311
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, diyakini manfaat dan kegunaannya. Dalam pelestarian inilah akan tercermin seberapa jauh tingkat kesadaran, keyakinan, dan penghayatan terhadap nilai-nilai tadi. Dalam hal ini terjadi pula memperkaya unsur-unsur yang telah lama dimilikinya dengan unsur-unsur baru yang bermanfaat, tanpa mengalahkan unsur-unsur yang telah berakar dalam masyarakat (Sutaba, 1991 : 28). Sebaliknya mungkin ada unsur-unsur lama yang ditinggalkan, karena sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Demikianlah akan berlangsung proses perubahan dan penerusan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam usaha pelestarian nilai-nilai yang terdapat pada pusaka budaya, baik lewat proses pewarisan atau proses lainnya, sebenarnya mengandung makna yang mendalam. Pewarisan nilai-nilai budaya sesungguhnya juga bermakna pelestarian yang di dalamnya terdapat makna yang sangat dalam dan penting bagi masyarakat dan bangsa, yaitu pelestarian untuk memperkuat ketahanan budaya. Ketahanan budaya sangat diperlukan sebagai landasan bagi pembangunan manusia seutuhnya, di atas kepribadian sendiri yang berakar pada sejarah leluhur. Dalam kaitannya dengan perkembangan dunia internasional atau pariwisata dewasa ini, maka ketahanan budaya menjadi senjata penangkal untuk menghadapi pengaruh luar yang tidak selamanya menguntungkan. 7.2.3
Makna Identitas Budaya Masyarakat Bali (baca Hindu) terikat oleh adanya kesatuan budaya dan
diperkuat pula oleh pemakaian bahasa yang sama. Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu merupakan bagian dari kebudayaan nasional dan sekaligus
312
sebagai identitas orang Bali. Dalam perspektif historis, kebudayaan Bali secara garis besar berkembang dalam tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern (Geriya, 2008 : 2-3). Tradisi kecil adalah kebudayaan lokal yang merupakan elemen-elemen kebudayaan Austronesia, sedangkan tradisi besar merupakan akulturasi antara kebudayaan Bali lokal dengan agama dan kebudayaan Hindu, merupakan refleksi dari budaya ekspresif dengan ciri pokok dominan berupa nilai religius, estetika, dan solidaritas. Tradisi modern yang datang kemudian memperlihatkan karakteristik dominannya ciri-ciri kekuasaan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, individualisme, dan materialisme. Sifat-sifat tradisi modern ini lebih menunjukkan karakteristik budaya progresif (Geriya, 2008 : 142). Dalam kaitannya dengan arus kebudayaan global, terutama dengan perkembangan pariwisata, telah berkembang dialog nilai-nilai lama dengan nilainilai baru dalam kebudayaan Bali. Dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade (1980-2010), proses pembangunan Bali diwarnai dengan terjadinya konflik dan kompromi antara sektor pariwisata dan kehidupan sosial budaya. Hal itu bisa dilihat dari dominannya wacana atau perdebatan sosial di media massa, antara kalangan profesional (intelektual, seniman, pengusaha pariwisata) dan pemerintah yang terfokus pada dampak positif dan negatif pariwisata. Kenyataan menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan kebudayaan Bali adalah karena pariwisata. Sebaliknya, pariwisata senantiasa memikat, karena daya tarik kebudayaan. Kebudayaan yang ekspresif mampu berkembang ke arah watak kebudayaan progresif, yakni yang memberikan pendukungnya peluang
313
untuk meraih manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi itu terasa lewat komodifikasi produk budaya, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul. Dalam penelitian ini, terkait dengan makna identitas budaya dapat dikatakan bahwa identitas merupakan ciri khas, yaitu tanda dari kepribadian yang tidak dimiliki oleh orang lain. Identitas digambarkan sebagai gejala yang ditimbulkan oleh adanya interaksi antara manusia dan lingkungannya (Sadali, 2000 : 12). Sementara identitas budaya adalah ciri khas suatu kebudayaan yang membedakan kebudayaan tersebut dengan kebudayaan yang lain. Identitas terbentuk dari unsur-unsur kebudayaan, seperti lambang, sistem nilai, norma, adat dan kesenian (Koentjaraningrat, 1987 : 43). Sehubungan dengan komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai makna identitas budaya, mengandung pengertian produk budaya tersebut memiliki ciri khas yang merepresentasikan idenitas budaya masyarakat Desa Manukaya. Dengan kata lain, identitas budaya di ekspresikan dalam kajian ini terakumulasi lewat penggambaran melalui produk budaya
Pura
Tirta
Empul.
Dalam
kehadirannya,
Pura
Tirta
Empul
mereprestasikan sesuatu lewat tanda dan simbol. Tanda dan simbol itu adalah teks (Barker, 2005 : 11). Produk budaya Pura Tirta Empul, sebagaimana halnya sebuah teks, menyimpan berbagai kemungkinan pembacaan yang beragam dari pembaca teks. Teks-teks tersebut adalah segala sesuatu yang menghasilkan makna melalui praktik pemaknaan. Pura Tirta Empul dewasa ini telah menjadi teks dengan menerima dan menyesuaikan diri dari segala perbedaan dan mengakui satu identitas budaya masyarakat Desa Manukaya. Ikon budaya sebagai bentuk identitas merupakan
314
efek dari sifat ikon budaya yang mengikat masyarakat pendukungnya melalui relasi pandangan dan latar belakang budaya yang sama. Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa makna idenditas budaya tampak semakin melemah akibat terjadinya komodifikasi budaya. 7.2.4
Makna Kesejahteraan Komodifikasi Pura Tirta Empul
dalam konteks pariwisata global
mengandung makna kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Komodifikasi Pura Tirta Empul
hadir dalam bentuk tampilan baru yang diarahkan untuk
kepentingan ekonomi. Komodifikasi Pura Tirta Empul
dilakukan untuk
kepentingan pariwisata, karena pariwisata dianggap dapat memberi nilai ekonomi bagi masyarakat Manukaya. Undang-undang No. 22 tahun 1999 juga memberi peluang yang lebih luas bagi daerah atau desa dalam pengelolaan berbagai potensi sumberdaya, termasuk sumberdaya budaya Pura Tirta Empul. Penekanan otonomi di tingkat daerah dapat merangsang pengembangan pariwisata untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, daerah atau desa-desa akan berusaha menggali dan mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sosial budaya sebagai daya tarik wisata, karena pariwisata mempunyai potensi yang cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi pariwisata digali dan dimanfaatkan untuk mendukung bermacam-macam kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh pendapatan, dan motif-motif ekonomi lainnya. Di masa lalu penduduk Manukaya bersandar pada mata pencaharian pertanian sebagai pekerjaan utama. Belakangan muncul lapangan kerja tambahan
315
seperti menciptakan hasil karya seni yang terkait dengan dunia pariwisata. Dalam perkembangannya muncul lapangan kerja baru sejalan dengan perkembangan pariwisata yang semakin intensif. Aktivitas pariwisata melahirkan lapangan kerja lain, seperti perdagangan, jasa, bahkan perdagangan barang seni. Benda-benda itu tidak lagi dibuat untuk kepentingan pribadi, tetapi dirancang untuk kepentingan komoditi yang ikut meramaikan semaraknya pariwisata. Benda-benda seni, seperti patung, kerajinan tangan, ukiran, dibuat dengan tujuan komersial. Pergeseran
nilai
terjadi
terhadap
kreativitas
budaya.
Akibat
pengembangan pariwisata, kegiatan dan hasil seni yang semula bersifat tradisional murni, mulai bergeser ke arah penyesuaian pasar. Bahkan kegiatan dan hasil karya seni yang semula mengacu kepada kepentingan agama dan adat, kini mulai dimasuki
oleh
kepentingan
komersial.
Pariwisata
dapat
meningkatkan
perekonomian masyarakat Manukaya. Peningkatan pendapatan melalui sektor ekonomi, kemudian mendorong dilakukannya perbaikan-perbaikan terhadap sejumlah pura lainnya yang ada di wilayah Desa Ada Manukaya (wawancara dengan Bendesa Adat, 20 April 2010). Namun perbaikan itu, tentu saja tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan akibat meningkatnya jumlah penduduk di Desa Manukaya. Perkembangan pariwisata menghasilkan manfaat pada kehidupan masyarakat. Kehidupan ekonomi meningkat, rumah-rumah penduduk tampak lebih bagus dari sebelumnya. Demikian juga nuansa seni, tanpa mengabaikan kepentingan-kepentingan tradisi dan agama. Hubungan penduduk, pariwisata,
316
ekonomi, tradisi, dan agama adalah satu keterkaitan adanya pertumbuhan pembangunan yang merupakan prinsip dari fungsi sosial kemasyarakatan. Proses
industrialisasi
pariwisata
juga
menyebabkan
pergeseran-
pergeseran dalam tatanan sosial masyarakat setempat, terutama solidaritas baru dalam cara individu berhubungan dengan individu lainnya akibat modernisasi pariwisata. Namun dalam hubungan sosial di lingkup parhyangan terjadi solidaritas yang bersifat positif. Mereka mensyukuri dan berterima kasih karena berkat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan segala anugrahnya, pariwisata dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Mereka pun secara tulus membayar hutang (rna) dengan cara memperbaiki fisik pura-pura yang ada, termasuk Pura Tirta Empul dan menggelar upacara-upacara yang dibutuhkan. Pura yang semakin bagus (luas, indah, estetik) di era globalisasi modern dengan hadirnya bisnis pariwisata, pada gilirannya membuat komunikasi semua warga masyarakat Manukaya semakin meningkat. Seorang pedagang Putu Sarini yang diwawancarai 6 April 2010 mengatakan : ”Sebagai pedagang cenderamata di areal kompleks Pura Tirta Empul saya merasa bersyukur bisa memperoleh rejeki, meskipun tidak terlalu banyak. Rejeki yang saya dapatkan dari berjualan paling tidak dapat membantu kebutuhan sehari-hari atau membantu uang sekolah untuk anak-anak. Rejeki itu sudah barang tentu amat membantu ekonomi keluarga saya”. Selanjutnya Desak Ketut Widiasih mengungkapkan hal yang sama di bawah ini : Saya bersyukur atas perkembangan pariwisata karena pariwisata sangat membantu kehidupan saya sekeluarga. Sebelum berjualan di sini saya bekerja sebagai buruh dan petani sambilan yang pekerjaannya sangat melelahkan dan hasilnya sangat sedikit. Penghasilan berjualan barang-
317
barang kerajinan di sini tidak melelahkan, walaupun hasilnya tidak terlalu banyak tapi sangat berarti bagi kelangsungan keluarga. Saya tetap bersyukur dan senantiasa memohon berkah dan berbakti kehadapan yang melinggih di Pura Tirta Empul (wawancara, 26 Mei 2010). Ungkapan kedua pedagang tersebut di atas sebagai rasa bersyukur atas rejeki yang mereka dapatkan dari berjualan cenderamata di areal sekitar Pura Tirta Empul. Apa yang mereka peroleh dirasakan sangat membantu ekonomi keluarganya. Pariwisata telah terbukti menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepariwisataan telah memberikan dampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Manukaya, walaupun harus diakui bahwa tidak semua masyarakat secara merata terkena imbas sektor pariwisata, karena pariwisata merupakan fenomena bisnis dan ekonomi. Makna kesejahteraan di sini mengacu pada dampak pariwisata terhadap masyarakat setempat, dalam hal ini baik masyarakat yang hidup atau tinggal di sekitar Pura Tirta Empul, maupun masyarakat lain dalam dimensi yang lebih luas. Menurut penuturan Made Yatna dan Ketut Ludra (wawancara, 17 April dan 6 Mei 2010) : ”Saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kehadiran wisatawan di tempat ini membuat saya mendapatkan dampak ekonomi dan kesejahteraan. Kegiatan pariwisata di Pura Tirta Empul sungguh bermakna bagi saya, dan bersyukur pula karena warga tidak pernah mengeluarkan uang untuk perbaikan dan upacara di Pura Tirta Empul. Perbaikan bangunan-bangunan yang ada di kompleks Pura Tirta Empul dan segala kegiatan upacara termasuk piodalan, dananya bersumber dari hasil retribusi. Sekarang ini boleh dikatakan keadaan pembangunan di pura cukup baik, sehingga dana yang diperoleh juga untuk perbaikan tempat suci/pura lain di lingkungan Desa Adat Manukaya. Pernyataan di atas memperjelas bahwa Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam Undang-undang
318
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 (terlampir) tentang kepariwisataan, pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, Pura Tirta Empul tampaknya telah dapat memberi kesejahteraan kepada warga masyarakat Desa Adat Manukaya pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dari hasil pengelolaan pariwisata yang diterima oleh desa adat tersebut. Berberdasarkan informasi yang diperoleh dari Bendesa Adat Manukaya, dana-dana tersebut selain dimanfaatkan untuk biaya pembangunan, rehabilitasi, dan upacara di Pura Tirta Empul, juga dimanfaatkan untuk perbaikan pembangunan pura-pura lain di wilayah Desa Adat Manukaya. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga, krama desa juga mendirikan koperasi yang menjual berbagai barang kerajinan hasil karya masyarakat (Gambar 7.9). Keberadaan koperasi ini diharapkan dapat membantu kesulitan-kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh warga desa dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata juga telah memberi kesejahteraan kepada krama desa adat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, daya tarik wisata Pura Tirta Empul telah memberikan peningkatan kesejahteraan kepada para pedagang, yaitu dengan memberi kesempatan, yang berarti pula memberi kemudahan untuk memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk menunjang ekonomi keluarga, seperti biaya sekolah anak, biaya upacara adat dan agama, dan biaya kehidupan sehari-hari.
319
Gambar 7.9
Koperasi Perajin di Kompleks Pura Tirta Empul Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. (Dok. Setiawan, 2010)
Gambar 7.10 Kios-kios yang menjual berbagai barang kerajinan yang dapat menambah pendapatan masyarakat. (Dok. Setiawan, 2010)
320
Secara tidak langsung, keberadaan Pura Tirta Empul telah memberi keringanan dan jaminan kepada masyarakat berupa bantuan dana untuk biaya pembangunan dan upacara di pura. Dengan demikian komodifikasi Pura Tirta Empul mengandung makna kesejahteraan terhadap masyarakat Desa Manukaya. Temuan Baru Penelitian Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global menghasilkan beberapa temuan yang merupakan pemahaman baru. Adapun temuan baru penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, Pura Tirta Empul, selain sebagai tempat suci juga sebagai situs cagar budaya dan daya tarik wisata budaya. Oleh karena itu, pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan bahkan pemerintah pusat. Proses komodifikasi Pura Tirta Empul, yaitu mulai proses produksi, distribusi, dan konsumsi dilakukan oleh masyarakat pemilik kebudayaan, pemerintah, dan pemilik modal (kapitalisme). Mereka menjadikan Pura Tirta Empul sebagai barang komoditas. Proses komodifikasi berjalan secara terencana, karena didorong oleh sikap krama desa adat dan adanya hegemoni pemerintah daerah menerima pariwisata dengan sikap terbuka dan kreatif. Kedua, produk budaya Pura Tirta Empul ternyata dalam konteks kekinian terjadi perkembangan pemaknaan sebagai sebuah ciri kajian budaya, yaitu munculnya praktik pemakmaan terhadap suatu
produk budaya.
Perkembangan makna itu dapat dilihat pada munculnya ikon Pura Tirta Empul dalam media massa sebagai industri budaya. Dengan munculnya Pura Tirta Empul sebagai industri budaya, berkembanglah pemaknaan Pura Tirta Empul ke makna
321
ekonomi, yaitu pengguna ikon Pura Tirta Empul sesungguhnya telah menggunakan modal budaya untuk mengumpulkan modal ekonomi. Dengan demikian,
pengumpulan
modal
ekonomi
akan
mampu
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga, berkembangnya industri pariwisata global juga menyebabkan bergesernya nilai-nilai religius ke nilai-nilai profan. Dalam pengamatan di lapangan, sesungguhnya telah terjadi hiperealitas dalam aspek spiritualitas atau hiperspiritualitas. Namun demikian, fungsi pura masih tetap sama, yaitu sebagai sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, dan roh suci leluhur beserta segala manifestasinya yang bersifat niskala. Dalam perkembangannya fungsi sekala mengikutinya. Globalisasi yang intens masuk ke dalam ranah kehidupan masyarakat telah mengubah pandangan sebagian orang tentang hal-hal yang religius magis. Bahkan hal itu membuat semakin menifisnya keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai religius. Refleksi Keindahan alam dan potensi budaya yang dimiliki, Bali akhirnya memutuskan dan menetapkan konsep pariwisata
budaya (cultural tourism)
sebagai ideologi pengembangan pariwisata. Tahapan kesadaran untuk menetapkan budaya sebagai daya tarik, akhirnya sampai pada wujud legitimasi penetapan Perda No. 3/1991 (terlampir) tentang pariwisata budaya. Perda No. 3/1991 Bab I, Pasal 1 mendefinisikan pariwisata budaya sebagai berikut. ”Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai
322
potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal-balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang”. Rumusan di atas tampak jelas bahwa pengembangan pariwisata di Bali menggunakan budaya sebagai modal utama. Rumusan itu bersifat dialogis, karena secara eksplisit menegaskan hubungan timbal-balik antara pariwisata dan kebudayaan. Target yang ingin dicapai dalam pembangunan pariwisata budaya adalah terwujudnya kemajuan yang serasi, selaras, dan seimbang antara sektor pariwisata dan budaya. Dewasa ini pariwisata sudah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Desa Manukaya pada khususnya. Internasionalisasi lewat pariwisata, khususnya
pariwisata budaya yang
dikembangkan di Bali, membawa masyarakat Manukaya terjepit di antara dua kutub kekuatan. Di satu pihak mereka wajib memelihara tradisi dan adat budayanya yang merupakan komoditas yang dapat dijual, di sisi lain, internasionalisasi melalui jaringan pariwisata berarti membenturkan kebudayaan lokal dengan dunia modern. Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Manukaya secara dinamis dan kreatif telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dengan tradisionalisasi untuk melakukan metamorfosis. Jika dilihat dalam kurun waktu yang panjang, masyarakat dan kebudayaan sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat. Perubahan sosial budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan internasionalisasi dan tradisionalisasi menyebabkan masyarakat Desa Manukaya seakan-akan melakukan ”konversi”. Namun konversi tersebut dilakukan tetap
323
dalam agama Hindu dengan nuansa Bali. Meskipun terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas kebalian ternyata masih tetap kuat. Masyarakat Desa Manukaya sadar bahwa mereka harus beradaptasi dengan dunia yang sedang berubah, sementara pada saat yang sama mereka juga sadar untuk menjaga kontinyuitas budaya dan identitasnya. Dengan cara ini masyarakat Manukaya secara terus-menerus mengukir kembali identitasnya, sementara benang merah masa lalunya tidak diputus. Pengembangan
pariwisata,
khususnya
pariwisata
budaya,
dapat
menyebabkan komodifikasi budaya. Pariwisata budaya yang dikembangkan Pemerintah Daerah Provinsi Bali sangat berpotensi terjadinya komodifikasi sebuah produk budaya, termasuk Pura Tirta Empul. Dalam kehidupan di era globalisasi dewasa ini serta maraknya semangat desentrasilisasi dan otonomi daerah, komodifikasi sulit dihindarkan. Ketika lahan semakin dibutuhkan untuk pengembangan pembangunan ekonomi sebagai pendapatan, pusaka budaya yang seharusnya dilestarikan justru dikomodifikasi untuk mendatangkan keuntungan ekonomi. Upaya pengembangan pariwisata berbasis pusaka budaya harus melibatkan empat pilar, yakni masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan pusaka budaya. Masyarakat merupakan pilar sosial, pemerintah merupakan pilar politik, pengusaha merupakan pilar ekonomi, dan pusaka budaya merupakan pilar budaya. Pusaka budaya merupakan aset pariwisata yang dapat dimasukkan ke dalam industri pariwisata.
324
Dalam pandangan Nuryanti (1996 : 250), para wisatawan tua menjadi pasar potensial pariwisata budaya, karena mereka umumnya ingin mencari dan mengkonstruksi pemahaman sendiri mengenai objek-objek yang dilihat. Abad ke20 ditandai dengan kesadaran baru untuk mencari cara-cara baru dalam berkomunikasi dengan masa lalu. Hal itu merefleksikan adanya kecenderungan di antara wisatawan global mencari sesuatu yang baru melalui pencarian nilai-nilai sosial tradisional. Semua itu dapat ditemui melalui pariwisata budaya. Pariwisata budaya dan pusaka budaya sendiri baru dikenal sejak dua dasawarsa terakhir sebagai pasar pariwisata spesifik (Richards, 1996 : 265). Pariwisata budaya mencakup semua jenis pariwisata yang menyangkut kebudayaan, baik dalam pengertian ideofact, sociofact, dan artefact, sehingga pariwisata pusaka budaya atau bangunan bersejarah merupakan bagian daripada pariwisata budaya. Masuknya serangkaian perkembangan budaya yang disebut paradigma budaya baru dalam pariwisata dan munculnya kondisi-kondisi sosiologis masyarakat masa kini, merupakan sesuatu yang diistilahkan sebagai pos modernisme. Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya serta menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata. Tinggalan arkeologi mempunyai peran penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, karena produk budaya tersebut memiliki potensi untuk dijual kepada para wisatawan. Nilai ekonomi yang diperoleh akan sangat berguna bagi pengembangan berbagai macam pembangunan untuk kemakmuran masyarakat. Melalui pusaka budaya Pura Tirta Empul, masyarakat Desa
325
Manukaya bisa memperoleh pendapatan yang cukup besar bagi kesejahteraan hidup masyarakatnya. Namun demikian, keuntungan ekonomi yang diperoleh hendaknya dikembalikan untuk pelestariannya dan pengembangan kehidupan sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang sebagai identitas dan kebanggaan budaya. Berbagai program penyelamatan pusaka budaya, pengembangan budaya, akan lebih lancar jika kesadaran masyarakat akan program pembangunan pariwisata tersebut sudah jelas. Untuk itulah, sosialisasi ideologi pariwisata budaya harus dilaksanakan secara berlanjut, dengan memanfaatkan lembagalembaga modern dan tradisional yang ada, termasuk melalui media massa. Sasarannya adalah pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pemerintah mempunyai kekuatan dan kewenangan untuk mengatur dan mengkoordinasikan komponen-komponen yang ada, pengusaha mempunyai kekuatan di bidang finansial, dan masyarakat sebagai penerima informasi dan pemilik kebudayaan juga mempunyai kekuatan dalam upaya pelestarian produk budaya. ICOMOS (International Council of Monument and Site) pada sidangnya bulan Oktober 1999 (Ardika, 2007 : xi-xii) telah mengadopsi International Cultural Tourism Charter dalam kaitannya dengan pemanfaatan pusaka budaya sebagai daya tarik wisata.
Pemanfaatan pusaka budaya untuk kepentingan pariwisata harus
melibatkan dan menguntungkan masyarakat lokal.
326
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1
Simpulan Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang komodifikasi Pura
Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Berdasarkan pembahasan dengan menggunakan teori komodifikasi, hegemoni, dekonstruksi, dan teori semiotika maka mengenai proses komodifikasi Pura Tirta Empul, faktor-faktor yang mendorong komodifikasi, serta dampak dan makna komodifikasi dapat dikemukakan simpulan-simpulan sebagai berikut. Pura Tirta Empul sebagai tempat suci merupakan suatu yang ideal di masa lampau. Namun dalam perkembangannya, perubahan zaman menghasilkan perubahan budaya telah mengakibatkan apa yang menjadi patokan atau awigawig tidak selalu berjalan mulus. Semua bergulir dan berubah. Pura Tirta Empul yang sebelumnya bukan merupakan komoditi, kini menjadi komoditi melalui proses komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya telah mengalami proses sejarah yang panjang, diawali dengan adanya gejala komodifikasi yang cenderung mengarah pada pergeseran nilai-nilai yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan pengusaha dalam memproduksi dan mendistribusikan dalam upaya memenuhi permintaan pasar. Gejala-gejala komodifikasi Pura Tirta Empul seperti dialektika sakral dan profan atau memudarnya aspek ritual sehingga komodifikasi Pura Tirta Empul hadir dalam bentuk tampilan yang indah, namun perlahan-lahan dan pasti kesakralan 324
327
diabaikan. Bentuk-bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak proses produksi, distribusi, dan konsumsi, sebagai satu kesatuan. Produksi dan distribusi bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri dan secara kelembagaan dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT. Meningkatnya pendapatan masyarakat dari bisnis pariwisata yang berkembang, estetika tradisi pun mengalami reinterpretasi. Pariwisata berintikan peristiwa bisnis, yaitu kegiatan jual-beli produk, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul. Dalam konteks kehadiran industri pariwisata, tidak dipungkiri bahwa masyarakat Manukaya berhasil menanggapi secara positif melalui proses adaptasi. Industri pariwisata berhasil membawa perubahan masyarakat ke arah rasionalitas, khususnya rasionalitas ekonomi. Dari sisi lain dapat dikatakan bahwa masyarakat Desa Manukaya telah mengalami modernisasi. Produk budaya dalam sistem kepariwisataan telah dimanfaatkan sebagai modal budaya oleh masyarakat setempat yang dapat ditransformasikan menjadi modal ekonomi. Faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul mencakup faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang muncul dari konstruksi budaya lokal, seperti munculnya pola pikir baru masyarakat pendukung kebudayaan, kreativitas dan inovasi untuk memperindah pura di tengah-tengah pusaran arus budaya global. Adapun faktor eksternal adalah faktor yang cenderung kepada penguasaan, stadarisasi, yang dapat melengserkan budaya lokal. Faktor eksternal adalah bagaimana arus budaya global, budaya kapitalisme memainkan peran dalam menentukan eksistensi Pura Tirta Empul,
328
seperti perkembangan pariwisata, industri budaya, peran media massa, dan hegemoni Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata. Dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul adalah implikasi yang kuat berkaitan dengan bergesernya nilai magis-religius. Komodifikasi Pura Tirta Empul berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya. Dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi adalah meningkatnya taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Hasil modernisasi melalui pariwisata juga dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali kehidupan tradisinya. Mereka tidak melupakan tradisi yang dimiliki, begitu mereka menapaki keberhasilan dalam kehidupan modernitas. Uang yang diperoleh dari penyedaiaan fasilitas wisata kepada wisatawan dikembalikan kepada adat dan tradisi, seperti pelaksanaan upacara-upacara keagamaan serta sarana dan prasarana yang mendukungnya. Dari sisi ini tampak bahwa masyarakat Desa Adat Manukaya Let begitu arif memaknai keberhasilan yang diperolehnya. Wujudnya adalah pelaksanaan upacara agama secara lebih teratur dan berkualitas, di samping memperbaiki pura sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat itu sendiri. Sedangkan dampak terhadap sosial budaya cenderung kurang menguntungkan karena telah terjadi komersialisasi tempat suci. Komersialisasi tempat suci dapat mengakibatkan bergesernya atau menurunnya nilai-nilai religius dalam tempat suci tersebut. Makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global, selain makna komodifikasi itu sendiri, lahir pula makna-makna lainnya seperti makna religius yang berkaitan dengan keagamaan, makna pelestarian budaya terkait dengan keberlangsungan produk budaya. Makna identitas budaya yang
329
menghadirkan makna-makna lain seperti makna kebanggaan, makna ideologi, makna sosial, makna solidaritas, makna kebersamaan, dan makna komunikasi budaya. Makna identitas budaya secara internal diekspresikan ke dalam banyak hal melalui elemen-elemen bangunan seperti ragam hias dan ornamen-ornamen yang menghias bangunan sehingga menghadirkan makna-makna baru. Dan yang terakhir adalah makna kesejahteraan yang terkait dengan peningkatan pendapatan masyarakat melalui berbagai usaha dengan memanfaatkan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata. Masyarakat Manukaya pun memaknai secara baru segala seluk-beluk pemaknaan konsep-konsep kebalian. Hal itu dianggap penting karena jika mereka justru kaku pada penerapannya, mereka akan tergilas dan tidak bisa berjalan dengan kebutuhan pariwisata, yang berarti bahwa peluang ekonomi akan hilang begitu saja. Apa yang dilakukan sekarang, keuntungan didapat karena di satu sisi masyarakat
dapat
menjalankan
kehidupan
adat
dan
budayanya
secara
berkesinambungan, sementara di sisi lain, mereka dapat menjawab peluangpeluang pariwisata secara menguntungkan. 8.2
Saran Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk
penelitian lebih lanjut dan mendalam bagi berbagai disiplin ilmu sesuai dengan karakteristik kajian budaya yang multidisipliner. Modal budaya berupa pusaka budaya dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi yaitu sebagai aset agar dapat memberikan kontribusi yang signifikasn dalam pembangunan untuk
330
mensejahterakan masyarakat, dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai cirikhasnya. Ditinjau dari segi nilai-nilai budaya, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai budaya lama dan baru bukanlah merupakan dua hal yang bersifat terpisah. Cukup banyak nilai budaya yang masih dianut dewasa ini pada hakikatnya merupakan produk masa lampau. Dalam upaya memanfaatkan nilai-nilai budaya lama dalam menghadapi masa kini dan masa yang akan datang diperlukan kearifan menyeleksi agar didapat nilai-nilai yang betuk-betul bermanfaat bagi kehidupan. Kepada para peneliti yang tertarik dengan permasalahan pusaka budaya dalam kaitannya dengan pariwisata atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik, dan terbuka untuk penelitian lanjutan, untuk dikaji secara mendalam agar mendapat pemahaman yang lebih kritis berbagai dimensi komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan di tingkat desa, kabupaten, pimpinan organisasi kelembagaan sosial budaya dengan memecahkan berbagai permasalahan untuk kesejahteraan bersama. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan disiplin ilmu kajian budaya, di samping sebagai sumber rujukan dalam dinamika kreativitas kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Manukaya.
331
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Acharya, Prasanna Kumar. 1933. Architecture of Manasara. London : Oxford University Press. Adorno, Theodor. 1991. The Culture Industry : Selected Essay on Mass Culture Routledge : London. Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis, Praktik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana. Agus Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Alam, Bahtiar. 1988. “Globalisasi dan Perubahan Budaya Perspektif Teori Kebudayaan” dalam Antropologi Indonesia. Vol. 21 No. 54, h. 1-11. Althusser, L. 2004. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra. Anderson, Ben. 1991. Imagined Communities. London : Verso. Appadurai, Arjun. 1993. “Disjuncture and Difference in the Global Economy”. Dalam Featherstone (ed) Global Culture, Nationalism, Globalization and modernity. London : SAGE Publication Ltd. Hal. 295-310. _______. 1996. Modernity at Large : Cultural Dimensions of Globalization. London : Routledge. Ardana, I Gst. Gde. Dkk. 1983. Inventarisasi Aspek-aspek Nilai Budaya Bali. Denpasar. Pemda Provinsi Bali. Ardika, I Wayan. 1995. “Nilai dan Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Sumberdaya Budaya”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi IAAI Komda Bali. _______. 2004. “Pariwisata Bali : Membangun Pariwisata Budaya dan Mengendalikan Budaya Pariwisata” dalam Bali Menuju Jagadhita. Aneka Persepktif. Denpasar : Pustaka Bali Post. 329
332
________. 2006 “Pengelolaan Warisan Budaya Sebagai Objek dan Daya Tarik Pariwisata”. Dalam Bali Bangkit Kembali. Denpasar : Universitas Udayana. _______. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar : Pustaka Larasan. _______. 2008. “Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali”. Dalam Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas. Denpasar : Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Unud. Arsana, I.G.A. dkk. 1991. Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat Bali. Jakarta : Departemen P & K. Astawa, I Made, t.th. Tirta Empul Untuk Kesehatan Fisik dan Mental. Denpasar : Dharma Duta. Astika, I Ketut Sudhana. 1986. Peranan Banjar Pada Masyarakat Bali : Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. _______. 1994. ”Seka Dalam Kehidupan Masyarakat Bali”. Dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Penerbit Bali Post. Astra, I Gede. Semadi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrafis (Diss. belum diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. _______. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Memperkokoh Jatidiri Bangsa di Era Global” Dalam Politik Kebudayaan dan Indentitas Etnik. Denpasar. Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Bali Mangsi Press. Atmaja, Nengah Bawa. 2008. “Ideologi Tri Hita Karana – Noeliberalisme = Vilanisasi Radius Suci Pura (Perspektif Kajian Budaya”) Dalam Dinamika Sosial Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Unud. Atmaja, Jiwa. 2010. ”Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan Bali”. Dalam Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar : Udayana University Press. Atmosudiro, Sumijati, dkk. 2001. Jawa Tengah : Sebuah Potret Warisan Budaya. Yogyakarta. Bagus, I Gusti Ngurah. 1971. “Kebudayaan Bali” Dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal 279-299. Jakarta : Penerbit Jambatan. _______. 1975. Bali Dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar.
333
_______. 1999. “Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun di Bali : Beberapa Catatan Tentang Perubahan Sosial di Era Globalisasi”. Dalam Panggung Sejarah Persembahan Kepada Prof. D. Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik (terjemahan : Tim Kunci Cultural Studies Centre). Yogyakarta : Bentang (PT. Bentang Pustaka). Barthes, Roland. 2006. Mitologi (penerjemah Nurhadi, A. Sihabul Millah). Yogyakarta : Kreasi Wacana. Baudrillard, Jean P. 1981. For Critique fot The Political Economy of the Sign. United States : Telos Press. _______. 1997. Simulacra and Simulation. Michigan : The University of Michigan. _______. 2009. Masyarakat Konsumsi (penerjemah : Wahyunto). Yogyakarta : Kreasi Wacana. Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Cambridge : Polity. Budhisantoso. 1980. “Pariwisata dan Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa” Dalam Analisis Kebudayaan, Tahun I, No. 1. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 11-19. Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Cleere, Henry F. 1990. “International The Rationale of Archaeological Heritage Management”. Dalam Archaeological Heritage Management in the Modern World. London : Unwin – Hyman. Coover, C. et.al. 1993. Tourism Principles and Pratice. London : Pitman Publishing. Couteau, J. 1986. Milicu et Peinture, Lecas de Bali. (Thesis) Untuk Memperoleh Gelar Doktor di EHEES. Paris. Covarrubias, Miquel. 1972. Island of Bali. Oxford : University Press. Darmadi,
IGN. Eka. 2006 “Pariwisata Antara Kewirausahaan dan Kewirabudayaan”. Jurnal Kajian Budaya. Vol. 3. No. 5. Januari. Hal. 67-87.
334
Dean, Y. Gee. 1999. International Tourism : A Global Perspektive. USA : University of Hawai at Manoa. Drajat, Hari Untoro. 1991. Exploitative Management of The Archaeological Heritage Management in Indonesia. A Thesis of Subsmitted for the Degree of Master Art in Archaeological Heritage Management. University of York. England. Dwipayana, A.A. GN. Ari. 2005. Globalism : Pergulatan Politik Representasi Atas Bali. Denpasar : Uluangkep Press. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, dan Teknik Penelitian Kebudayaani. Yogyakarta : Pustaka Widyatama. Erawan, I Nyoman. 1993. ”Pariwisata Dalam Kaitannya dengan Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : Upada Sastra. Fairclough N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge : Polity Press. Fakih, M. 2002. Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Featherstone, Mike, 1991. Consumer Cultural and Post Modernism. London. Sage Publication. _______. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Foucoult, Michel. 1980. Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings. 1972-1977. New York : Partheon. Froment, GJ. 1981. Feril a Bali “Repertoire des Voyages, 351 : 75-84. Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pajajaran. Geertz, C. 1977. Penjaja dan Raja Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Penerjemah R. Soepomo). Jakarta : PT. Gramedia. Gelgel, I Putu. 2006. Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa. Bandung : PT. Refika Aditama.
335
Geriya, I Wayan. 1993 “ Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata Pada Masyarakat Bali”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : PT. Upada Sastra. _______. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Surabaya: Penerbit Paramita. Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self Identity. Cambridge : Polity Press. Gollsmit, Marshall. 1998. “Global Commnities of Choice”. dalam Community of The Future. San Fransisco : Jassy-Bass Publishers. Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Bandung : NV Masa Baru. Gramsci, Antonio. 1971. Selections International Publisher.
from Prison Note Books. New York :
Griaddhi, I Ketut Writa. Dkk. 1991. “Subak Dalam Perspektif Hukum”. Dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar : Upada Sastra. Hanna, W.A. 1972. “Bali in The Seventies Cultural Tourism” American Universities Field Staff Report, Southeast Asia Series. 20/2 : 1-7. Harker, Richards (eds). 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprejensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra. Hebermas, J. 2007. Teori Tindakan Komunikatif, Kritik Atas Rasio Fungsionalis (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana. Hidayat, R. 2004. Ilmu yang Seksis Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta : Jendela. Ibrahim, Idi Subandy. 1997. “Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia”. Dalam Ecstasi Gaya Hidup. Bandung : Mizan. Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jaman, I Ketut. 1999. Kemitraan Lembaga Adat dengan Pemerintah dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Studi Kasus di Desa Manukaya Tampaksiring (Tesis). Denpasar : Program Studi S2 Kajian Budaya.
336
Jary, David, dkk. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow : Harfer Collins Publisher. Kaeppler, AL. 1997. ”Polynesian Dance as Airport Art”. Dalam Asean and Pacific Dance. St. Al. Card. Hal. 71-84. Kasiyan. 2009. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Kempers, AJ. Bernet. 1960. Bali Purbakala : Petunjuk Tentang Peninggalan Purbakala di Bali. Djakarta : PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar. Korten, David. C. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyakatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. Kekawin Usana Bali Karya Danghyang Nirartha. Denpasar : Pustaka Larasan. Lee, Martin. 2006. Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Bentang. Lipe. W.D. 1984. “Value and Meaning in Cultural Resource”, Dalam Approaches to The Archaeological Heritage. Hal. 1-11. Cambridge : University Press. Lubis,
Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern, dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Macdonell, Diane. 2005. Teori-teori Diskursus, Kematian Strukturalisme dan Kelahiran Poststrukturalisme, dari Althusser Hingga Foucault (Terjemahan). Jakarta : Teraju – Mizan. Marcuse, H. 2004. Cerita dan Peradaban (Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mariyah, Emiliana. 2006. “Kekinian Kajian Budaya di Bali” Dalam Jurnal Kajian Budaya. Hal. 1-18. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana. Meleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Miles, Matthew B. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta : UI Press
337
Millau, C. 1974 “Pitie four Bali” Le Nouveau Guide 68 : 66-72. Mundardjito. 1993. Tantangan Arkeologi Indonesia Dalam Pembangunan Nasional. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap. Fakultas Sastra UI. Jakarta. Norris, Christopher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta : Ar Ruzz. Nuryanti, Wiendu. 1996. “Heritage and Posmodernism Tourism”. Dalam Heritage and Tourism, Special Issue, Annals of Tourism Research Social Sciences, Jurnal, Vol. 23 Number 2. hal. 249-260. O’neil. WF. 2001. Ideologi-ideologi Pendidikan (Penerjemah Omi Intan Naomi). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper Realitas Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. _______. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra. ______. 2006a. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung : Percetakan Jalasutra. ______. 2006b. ”Cultural Studies dan Posmodernisme” : Isyu, Teori, dan Metode” hal. 19-34. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana. Pitana, I Gede. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post. _______. 1999. ”Kepariwisataan Bali Dalam Konteks Kompetisi Global dan Otonomi Daerah”. Denpasar. _______. 2006, “Industri Budaya dalam Pariwisata Bali : Reproduksi, Presentasi, Konsumsi dan Konservasi Kebudayaan”. Dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udayana. _______. 2008. ”Kepariwisataan Bali dalam Jejaring Nasional dan Global”. Dalam Kebudayaan dan Modal Budaya Bali Dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Denpasar : Widya Dharma.
338
Pitana, I Gde, Gayatri, Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta. Penerbit Andi. Pujaastawa, I.B.G. dkk. 2005. Pariwisata Terpadu Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar : Penerbit Universitas Udayana. Putra, IB. Wyasa. 1998. Bali dalam Perspektif Global. Denpasar : PT. Upada Sastra. Putra, I Nyoman Darma. 2002. “Pariwisata Budaya antara Polusi dan Solusi : Pengalaman Bali”. Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar : Progam Studi Magister (Kajian Budaya Universitas Udayana. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _______, 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Richard, G. 1996. “Production and Consumption of European Cultural Tourism”. Dalam Annal of Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283. _______. 1997. Cultural Toursm in Europe : The Social Context of Cultural Tourm. London : CAB International. _______. 1999. Cultural Tourism in Europe. London : Cab International. Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan). Yogyakarta. Kreasi Wacana. Ritzer, Geog, and Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenata Media Group. Ryan, Chris and Michelle Aicken. 2005. Indigenous Tourism : The Commodification and Management of Culture. Advances in Tourism Research Series. Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 1997. Cultural Studies for Beginners. Cambridge : Icon Book Ltd. Sedyawati, Edi, 2002. “Pembagian Peranan dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya” dalam Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar : PT. Upada Sastra
339
________, 2007. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. _______. 2008. Keindonesiaan Dalam Budaya. Jakarta : Penerbit Wedatama Widia Sastra. Seojono, RP. 1977. Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali (Disertasi) Belum Diterbitkan. Jakarta : Universitas Indonesia. Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan”, dalam Majalah Prima, No. x, Edisi Juli, hal. 32-41. Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Jendela. Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern. Jakarta : Gramedia. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survay. Jakarta : LP3ES. Smith, V.L. 1989. Host and Guests the Anthropology of Tourism. Philadelphia : The University of Pensylvania Press. Sodali, Ahmad. 2000. ”Azas-azas Identitas Seni Rupa Nasional” dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia, Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta : Balai Pustaka. Soedarsono, RM. 1993. “Industri Pariwisata : Sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara Berkembang”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : Upada Sastra. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali. Soekmono, R. 1993. “Peninggalan-peninggalan Purbakala Zaman Majapahit” Dalam 700 Tahun Majapahit. Surabaya : Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. Spradley, James, P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana Steger, M.B. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar (Penerjemah Heru Prasetia). Yogyakarta : Lofadi Pustaka.
340
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskop Konseptual “Cultural Studies” (Terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Qalam. ______. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Pengantar Paling Komprehensif Teori dan Metode (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra. Strinati, Dominic. 2007. Popular Cultural : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Terjemahan). Yogyakarta. Penerbit Jejak. Stutterheim, WF. 1929. Oudheden van Bali I, Het Oude Rijk van Pejeng. Singaradja : Kirtya Lieffrinck van der Tuuk. Sugiono, M. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sutaarga, Moh. Amir. 1992. ”Museum dan Pelayanannya Kepada Masyarakat” dalam Analisis Kebudayaan. No. X Tahun II. Hal. 40-49. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sutaba, I Made. 1991. Pelestarian Peninggalan Purbakala di Daerah Bali Dalam Pembangunan Berwawasan Budaya. Denpasar : Universitas Warmadewa. ______. 2000. “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat Pada Milenium Ketiga”. Dalam Forum Arkeologi No. II, hal. 27-33. Denpasar. ______. 2007. Sejarah Gianyar dari Zaman Prasejarah Sampai Masa Baru – Modern. Pemerintah Kabupaten Gianyar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Sutawan, I Nyoman. 2002. “Prospek Kajian Subak dalam Pergeseran Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri”. Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam pembangunan. Denpasar : Program Studi S2 Kajian Budaya UNUD. Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto, ed. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada Media Group. Tim Penyusun Kamus, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
341
Tjandrasasmita, Uka. 1980. “Fungsi Peninggalan Sejarah dan Purbakala Dalam Pembangunan Nasional”. Dalam Analisis Kebudayaan No. 4 Tahun IX. Jakarta Dep. P & K hal. 95-102. Triono, Lambang. 1996. “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa : Tantangan Integrasi Nasional Dalam Konteks Global”. Analisys CSIS Tahun XXV No. 2. Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wallace, W.L. 1973. The Logic of Science in Sociology. Chicago : Aldine. Wiana, I Ketut. 2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar : Penerbit PT. Bali Post. Wignyosubroto, Sutandyo. 2003. “Globalisasi, Budaya dan Hukum”. Dalam Suara Udayana. Mei 2003 No. 10/15-V. Wirakusuma, I Nengah. 2005. Perkembangan Kreativitas Fotografer dan Seni Fotografi. Mudra Jurnal Seni Budaya. Vol. 13. No. 3 September, hal. 25-32. Yadav. Jai Singh. 1998. ”Seni dan Filosofi Bangunan Candi di Indonesia-India”. Dalam Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Cempaka Kencana. Zoest, Aart Van. 1992. ”Interpretasi dan Semiotika”. Dalam Serba-serbi Semiotika. Jakarta : PT. Gramedia.
342
343
Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN 1.
2.
3.
4.
Nama
:
I Made Mawi Arnata
Umur
:
57 tahun
Pendidikan
:
Diploma III
Pekerjaan
:
Bendesa Adat Manukaya
Alamat
:
Dusun Manukaya Let
Nama
:
Dewa Putu Kencana
Umur
:
46 tahun
Pendidikan
:
SMA
Pekerjaan
:
Kepala Desa Manukaya
Alamat
:
Dusun Manik Tawang
Nama
:
Dewa Gde Mangku Wenten
Umur
:
63 tahun
Pendidikan
:
SLTP
Pekerjaan
:
Pemangku Pura Tirta Empul
Alamat
:
Dusun Bantas
Nama
:
Dewa Gde Mangku Moyo
Umur
:
57 tahun
Pendidikan
:
SLTP
Pekerjaan
:
Pemangku Pura Tirta Empul
Alamat
:
Dusun Manukaya Let
340
344
5.
6.
7.
8.
9.
Nama
:
Nyoman Negara
Umur
:
37 tahun
Pendidikan
:
SMA
Pekerjaan
:
Sekretaris Desa Manukaya
Alamat
:
Br. Bantas
Nama
:
I Gde Udara
Umur
:
31 tahun
Pendidikan
:
SMA
Pekerjaan
:
Kelian Dinas Br. Bantas
Alamat
:
Br. Bantas
Nama
:
I Wayan Gerinda
Umur
:
34 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Kelian Dinas Br. Manukaya Let
Alamat
:
Br. Manukaya Let
Nama
:
I Made Yatna
Umur
:
38 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Kelian Dusun Tatag
Alamat
:
Dusun Tatag
Nama
:
Putu Sulastri
Umur
:
31 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Alamat
:
Dusuh Tatag
345
10.
11.
12.
13.
14.
Nama
:
Putu Sarini
Umur
:
41 tahun
Pendidikan
:
SLTP
Pekerjaan
:
Pedagang
Alamat
:
Tampaksiring
Nama
:
Desak Ketut Widiasih
Umur
:
36 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Pedagang
Alamat
:
Dusun Manukaya Let
Nama
:
Sang Putu Alit
Umur
:
38 tahun
Pendidikan
:
SLTP
Pekerjaan
:
Perajin Patung
Alamat
:
Dusun Manukaya Let
Nama
:
I Made Suja
Umur
:
35 tahun
Pendidikan
:
SLTP
Pekerjaan
:
Perajin tulang
Alamat
:
Dusun Manukaya Anyar
Nama
:
Drs. I Nyoman Sumartika
Umur
:
55 tahun
Pendidikan
:
Sarjana
Pekerjaan
:
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali
Alamat
:
Bedulu, Gianyar
346
15.
16.
17.
18.
19.
Nama
:
Drs. I Wayan Parsa Susila
Umur
:
52 tahun
Pendidikan
:
Sarjana
Pekerjaan
:
Guru SMK 2 Sukawati Gianyar
Alamat
:
Br. Kelandis, Denpasar
Nama
:
I Wayan Suarsana
Umur
:
42 tahun
Pendidikan
:
Diploma III
Pekerjaan
:
Praktisi Pariwisata
Alamat
:
Jl. Kecubung 12 Denpasar
Nama
:
Dewa Ketut Margi
Umur
:
44 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Perajin tulang
Alamat
:
Dusun Manukaya Anyar
Nama
:
Wayan Padit
Umur
:
41 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Perajin ukiran kayu
Alamat
:
Dusun Tatag
Nama
:
I Ketut Ludra
Umur
:
39 tahun
Pendidikan
:
SLTA
Pekerjaan
:
Kelian Dinas Dusun Malet
Alamat
:
Dusun Malet
347
20.
21.
22.
Nama
:
Ngakan Nyoman Wisnu Wardana
Umur
:
45 tahun
Pendidikan
:
SMA
Pekerjaan
:
Staf Kepala Desa
Alamat
:
Manukaya Anyar
Nama
:
Ngakan Putu Sujana
Umur
:
60 tahun
Pendidikan
:
PGAH
Pekerjaan
:
Tokoh Masyarakat
Alamat
:
Manukaya Let
Nama
:
IGN. Cakradana
Umur
:
61 tahun
Pendidikan
:
SLTP
Pekerjaan
:
Mantan Bendesa Adat
Alamat
:
Manukaya Let
348
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA Pedoman wawancara ini merupakan bahan pertanyaan untuk wawancara dengan para informan yang terkait dengan penelitian “Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata Global”. Sebagai pedoman dalam bentuk bahan pertanyaan, seluruh pertanyaan yang ditulis tidak disampaikan secara kaku, melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat melakukan wawancara. Seluruh jawaban dicatat dalam buku catatan yang telah disiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan terhadap empat jenis informan, yaitu kelompok masyarakat, pemerintah, praktisi pariwisata dan industri pariwisata. A.
Pertanyaan Untuk Umum
1.
Apa yang Anda ketahui tentang Pura Tirta Empul?
2.
Bagaimana latar belakang sejarah Pura Tirta Empul?
3.
Bagaimana status Pura Tirta Empul?
4.
Siapa saja yang menyungsung Pura Tirta Empul?
5.
Kapan upacara/piodalan diadakan dan siapa yang melaksanakan?
6.
Siapa yang dipuja di Pura Tirta Empul?
7.
Apa fungsi Pura Tirta Empul?
8.
Pura Tirta Empul di samping sebagai tempat suci juga sebagai sebagai daya tarik wisata. Bagaimana partisipasi masyarakat tentang adanya wisatawan berkunjung ke sana?
9.
Bagaimana Desa Adat menjaga kebersihan dan kesucian Pura Tirta Empul?
10.
Peninggalan purbakala apa saja yang ada di Pura Tirta Empul?
11.
Ada kendala yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata Pura Tirta Empul?
345
349
B.
Pertanyaan Mengenai Proses Komodifikasi Pura Tirta Empul
1.
Bagaimana perkembangan Pura Tirta Empul sejak dulu sampai sekarang ?
2.
Sebagai daya tarik wisata, apa yang sesungguhnya menarik dari Pura Tirta Empul?
3.
Sejak kapan Pura Tirta Empul dikunjungi wisatawan?
4.
Berapa jumlah wisatawan rata-rata berkunjung ke pura ini setiap hati/bulan?
5.
Bagaimana upaya perbaikan dan pengembangan Pura Tirta Empul?
6.
Siapa saja pihak yang terlibat dalam perbaikan dan pengembangan tersebut?
7.
Apa saja yang dilakukan pemerintah dalam upaya pelestarian Pura Tirta Empul?
8.
Bagaimana kerjasama antara desa adat dengan aparat pemerintah dalam pengelolaan Pura Tirta Empul?
9.
Apakah ada pihak lain (swasta, LSM) yang ikut melakukan kegiatan pelestarian Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global?
C.
Pertanyaan Mengenai Faktor-faktor Pendorong Komodifikasi Pura Tirta Empul
1.
Faktor apa yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul?
2.
Upaya apa yang dilakukan agar Pura Tirta Empul tetap menarik para wisatawan?
3.
Apa yang paling menarik Anda di Pura Tirta Empul?
4.
Bagaimana pendapat anda dengan perkembangan Pura Tirta Empul seperti sekarang ini ?
5.
Apa kelebihan daya tarik Pura Tirta Empul dibandingkan dengan obyek yang lainnya?
6.
Apakah
faktor
politik
kebudayaan
lokal
dan
kebudayaan
global
mempengaruhi perkembangan dan perubahan Pura Tirta Empul ? 7.
Dengan tetap berkomitmen pada pengembangan pariwisata, apa harapan Anda kepada pemerintah?
350
D.
Pertanyaan Mengenai Dampak dan Makna Komodifikasi Pura Tirta Empul
1.
Seberapa besar nilai atau makna Pura Tirta Empul bagi Anda dan kebudayaan masyarakat Desa Manukaya?
2.
Makna apa yang melatarbelakangi masyarakat Manukaya melakukan komodifikasi Pura Tirta Empul?
3.
Sejauh mana dampak ekonomi dan sosial budaya Pura Tirta Empul memiliki arti bagi Anda?
4.
Adakah kecenderungan semakin lemah dan hilangnya sakralitas Pura Tirta Empul?
5.
Apa dampak pariwisata bagi pemerintah dan masyarakat di sekitar Pura Tirta Empul?
6.
Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata, apakah yang harus dilakukan terkait dengan situs Pura Tirta Empul?
7.
Ketika sedang bersembahyang, apa Anda merasa terganggu dengan kedatangan para wisatawan?
8.
Bagaimana pemaknaan Pura Tirta Empul yang berkembang saat ini ?
9.
Apa sajakah makna Pura Tirta Empul yang Bapak ketahui sekarang ?
10.
Apakah
Pura Tirta
masyarakat?
Empul
dapat menjanjikan
kesejahteraan
bagi
351
LAMPIRAN 1 DAFTAR INFORMAN
352
LAMPIRAN 2 PANDUAN WAWANCARA PENELITIAN
353
LAMPIRAN 3 UNDANG-UNDANG NO. 10/2009 TENTANG KEPARIWISTAAAN
354
LAMPIRAN 4 PERATURAN DAERAH NO. 3/1991 TENTANG PARIWISATA BUDAYA